COVER
OLEH
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Dr.s. I Nengah Duija, M.Si.
i
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Hormat kami,
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER..............................................................................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
4.1 Kesimpulan...................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................14
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam
Candi Sukuh yang berangka tahun 1439. Asal-usul tokoh Semar juga memiliki
beberapa versi, namun semua percaya tokoh Semar sebagai dewa turun dari langit
dan menyatu dengan kehidupan manusia. tokoh Semar memiliki tugas
membimbing manusia untuk memiliki budi pekerti dan menjunjung tinggi
kebenaran. Karena tugasnya, tokoh Semar juga disebut sebagai Dewa Pamonging
Satriya, Sinamar Dadi Kawula (Dewa pengasuh kesatriya yang menyamar
sebagai hamba). Seperti dikisahkan dalam kitab-kitab Manikmaya, Kandha dan
Paramayoga, tokoh Semar berasal dari alam kadewatan (Jagad Dewa).
Dr. Serruireir yang mengatakan bahwa “Wayang tokoh Semar berasal dari
India” munculah sarjana besar yang menyanggah dan menggugurkan pendapar
Dr. Serruireir dalam suatu mimbar ilmiah, yaitu teori yang diajukan oleh Dr.
Godard Areno Johanes Hazeu pada tahun 1897. Bahwa teori dari Dr. Serruireir
tidak dapat dipertahankan dengan penjelasan sebagai berikut: pertunjukan bayang-
bayang di jawa yang kemudian disebut wayang adalah ciptaan orang-orang
Indonesia di jawa. Khusus mengenai tokoh Semar dan anak-anaknya baik nama
maupun cara mempertunjukkan dan bentuknya, menunjukkan bahwa mereka
berasal dari Indonesia asli, bukan berasal dari india.
Menurut Dr. Hazeu, tokoh Semar selalu tampil dalam setiap Drama,
tampak bahwa nama-nama mereka sangat kuno bahkan tidak dapat didefinisikan
secara pasti arti nama tersebut. Dan boneka-boneka wayang yang menggambarkan
tokoh Semar, memiliki tipe yang berlainan sekali dengan tokoh yang digambarkan
di India. Terutama tokoh Semar tampil dalam posisi yang lebih dari sekedar
pelawak atau pelayan biasa. tokoh Semar senantiasa melindungi tuannya,
termasuk keturunan Pandawa yang disegani dan dihormati. Ia juga senantiasa
memberi nasehat-nasehat yang bijak kepada leluhur dan anak cucu mereka. tokoh
Semar lebih mengetahui kejadian yang akan terjadi, sehingga tuan-tuannya selalu
minta nasehat dari tokoh Semar jika mereka menemui kesulitan. Bahkan tokoh
Semar sanggup terbang ke kahyangan.
Dari penjelasan tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
dalam banyolan atau lawak yang khusus dan khas itu dapat diketahui bahwa itu
merupakan peninggalan jaman purba, dan jelaslah bahwa tokoh Semar merupakan
nama dari seorang leluhur (nenek moyang) Jawa asli yang bayangannya sudah
dipertunjukan dalam permainan wayang dari jaman purba itu yang sifatnya sudah
religius atau keagamaan. (Dikutip: “apa dan siapa tokoh Semar”:26, Dr. Sri
Mulyono).
Menurut Niels Mulder (1983), orang jawa kelihatannya tidak dapat
membayangkan konsep alam semesta tanpa adanya Yang Maha Kuasa.
5
Sang Hyang Wenang berputra satu yang bernama Sang Hyang Tunggal.
Sang Hyang Tunggal kemudian beristri Dewi Rekatawati putrid kepiting raksasa
yang bernama Rekata. Pada suatu hari Dewi Rekatawati bertelur dan dengan
kekuatan yang menetap dari Sang Hyang Tunggal. Telur tersebut terbang
menghadap Sang Hyang Wenang, akhirnya telur tersebut menetas sendiri dengan
berbagai keajaiban yang menyertainya, dimana kulit telurnya menjadi Tejamantri
atau Togog, putih telur nyamenjadi Bambang Ismaya atau tokoh Semar dan
kuning telurnya menjadi Manik maya yang kemudian menjadi Bhatara Guru.
Dalam riwayat lain telur tersebut menetas menjadi langit, bumi dan cahaya
atau teja. Sehingga dikatakan bahwa tokoh Semar adalah tokoh dominan sebagai
pelindung bumi. Togog dari kerak telur menggambarkan bahwa hidup laksana
kulit sebagai pelindung isi. Disini Togog ditugaskan untuk membimbing dan
mengontrol tokoh-tokoh yang buruk, semisal Bala Kurawa.
Tokoh Semar berasal dari putih telur sebagai pencermin hidup yang suci
yang lebih mementingkan isi dari pada wadahnya. Ia selalu memihak kebenaran
dan keadilan, meluruskan yang bengkok, jujur, sederhana. tokoh Semar
ditugaskan untuk membimbing tokoh yang baik-baik seperti pandawa lima.
Manik Maya Kuning telur perlambang kekuasaan, menjadi raja kahyangan dengan
gelar sang Hyang Jagat Giri Nata atau Betara Guru.
Mereka bertiga sangat sakti dan semua ingin berkuasa seperti Ayahandanya
Sang Hyang Tunggal, akan tetapi menjadi perdebatan sehingga menimbulkan
pertengkaran. Dikisahkan (Manikmaya) yang sebenarnya ia pun mempunyai
keinginan yang sama dengan mereka, Manikmaya mengajukan usul perlombaan
untuk menelan gunung kemudian memuntahkannya kembali. Dari sini banyak
pelajaran yang dapat diambil karena gunung itu merupakansesuatu untuk
menancapkan atau mengokohkan kedudukan dibumi akan tetapi diperlombakan
untuk ditelan walau kemudian untuk dimuntahkan kembali. Kemudian pelajaran
yang diambil adalah janganlah memperebutkan sesuatu yang bukan haknya serta
janganlah terhasut oleh usul yang nampaknya baik dan masuk akal.
7
3.2 Filosofis tokoh Semar Terhadap Budaya Spiritual Nenek Moyang Jawa
Banyak sekali ajaran yang dibawakan oleh nenek moyang kita yang
dianggap kuno ternyata memiliki karya sastra dengan muatan sosio spiritual
menakjubkan. Sebuah karya adiluhung, karya pujangga jawa yang menawarkan
jalan keselamatan dan kebahagiaan sebuah jalan yang sangat dirindukan
keberadaannya oleh segenap manusia di sepanjang zaman. Melalui karya
bervisualkan figur tokoh Semar dalam pewayangan yang banyak mengandung
Wewarah (ajaran atau nasehat).
Dalam tokoh Semar menganjurkan Manusia memohon dan mendekatkan
diri kepada Tuhan Yang Esa dengan “Eling lan Percoyo, Sumarah lan seumeleh
lan mituhu” kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sumarah: berserah, pasrah, percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan sumarah, manusia di harapkan percaya dan yakin akan kasih sayang dan
kekuasaan Gusti Kang Murbeng Dumadi, Bahwa Dialah yang mengatur dan akan
membrikan kebaikan dalam kehidupan kita. Keyakinan bahwa apabila kita
menghadapai gelombang kehidupan maka Tuhan akan memberikan jalan keluar
yang terbaik bagi kita. Seperti gelombang kehidupan adalah ujian untuk sebuah
perjalanan spiritualitas.
Sumeleh artinya patuh dan bersandar kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa
atau Tuhan Yang Maha Esa. Manusia sebagai umat hanya lah berusaha dan
keberhasilannya tergantung Kuasa Tuhan Yang Maha Esa, maka dengan sumeleh
ini manusia di harapkan tak mudah putus asa dan teguh dalam usahanya. Bekerja
tanpa memikirkan hasilnya, semua kembali kepada-Nya.
Mituhu artinya patuh taat dan disiplin patuh dan menaati setiap larangan-
Nya dan disiplin dalam mengaji diri dan mengaji rasa satu ciri Khas tokoh
Punakawan yang sampai saat ini tidak akan lenyap. Punakawan yang selalu lucu
dan nyeleneh. Dan petuah tokoh Semar, Kaki tokoh Semar, Sang Hyang Ismaya.
Eyang Ismaya yang paling sering di ungkapkan kepada cucunya para pejalan
10
spiritual yang ditemaninya adalah Ojo Dumeh, Ojo Gumunan, Eling Lan
Waspada. Bekti Marang Gusti Maha Agung. Gusti Kang Murbeng Dumadi. Ojo
Dumeh, Ojo Gumunan, Eling lan Waspodo merupakan satu kesatuan yang
dipahami secara utuh, sehingga manusia di harapkan menjadi pasrah dan yakin
kepada kekuasaan Tuhan serta menjadi bijaksana, sederhana dan hati hati.
Manusia menjadi “Bisa Merasa, bukan Merasa Bisa”.
Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan
terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang tokoh Semar,
jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Islam di tanah Jawa.
Filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka dalam lakon tokoh Semar mbabar jati diri mengandung
ajaran tentang sangkan paraning dumadi “asal dan tujuan hidup” manusia. (Ir Sri
Mulyono, apa dan siapa tokoh Semar, : 85)
Dalam etika Jawa disebutkan bahwa tokoh Semar dalam pewayangan
adalah punakawan abdi/pamomong yang paling dicintai. Apabila muncul di depan
layar, tokoh Semar disambut oleh gelombang simpati para penonton. Seakan-akan
para penonton merasa berada dibawah pengayomannya. (Sesuno, 1988:188).
Simpati para penonton itu ada hubungannya dengan mitologi Jawa atau Nusantara
yang menganggap bahwa tokoh Semar merupakan tokoh yang berasal dari Jawa
atau Nusantara (Hazeu dalam Mulyono 1978:25). tokoh Semar merupakan dewa
asli Jawa yang paling berkuasa (Brandon dalam Suseno, 1988:188). Meskipun
berpenampilan sederhana, sebagai rakyat biasa, bahkan sebagai abdi, tokoh Semar
adalah seorang dewa yang mengatasi semua dewa. tokoh Semar adalah dewa yang
ngejawantah ‘menjelma’ (menjadi manusia) yang kemudian menjadi pamong para
Pandawa dan ksatria utama lainnya yang tidak terkalahkan.
Oleh karena para Pandawa merupakan nenek moyang raja-raja Jawa
(Poedjowijatno, 1975:49). tokoh Semar diyakini sebagai pamong dan danyang
pulau Jawa dan seluruh dunia (Geertz 1969: 264). tokoh Semar merupakan pribadi
yang bernilai paling bijaksana berkat sikap bathinnya dan bukan karena sikap
lahir dan keterdidikannya (Suseno 1988:190). tokoh Semar merupakan pamong
yang Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Ngawe (sepi akan maksud, rajin dalam bekerja)
dan Memayu Hayuning Bawana (menjaga kedamaian dunia (Mulyono, 1978:119
dan Suseno 1988:193)
11
Dari segi etimologi, Joinboll (Mulyono, apa dan siapa tokoh Semar,
1978:28) berpendapat bahwa tokoh Semar berasal dari sar yang berarti sinar
cahaya. Jadi tokoh Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa
cahaya, sehingga tokoh Semar disebut juga Nurcahya atau Nurrasa. tokoh Semar
juga dapat dijadikan simbol rasa eling ‘rasa ingat’ (timoer 1994:4), yakni ingat
kepada Yang Maha Pencipta dan segala ciptaan-Nya yang berupa alam semesta.
Oleh karena itu sifat ketuhanan dari tokoh Semar dijadikan simbol aliran
kebatinan Sapta Dharma (Mulyono, apa dan siapa tokoh Semar, 1978:35). Dari
tokoh tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas, dimengerti dan dihayati
sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa. tokoh
Semar (pralambang ngelmu gaib) – kasampurnaning pati.
Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-
kamurkan Mardika: yang artinya “merdekanya jiwa dan sukma”, maksudnya
dalam keadaan Merdeka tidak dijajah oleh Hawa nafsu dan keduniawian, agar di
dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang
sejati itu di dalam membersihkan jiwa (ora kebanda ing Kadonyan, ora samar
marang bisane sirna durka murkamu) artinya: “dalam menguji Budi pekerti
secara sungguh-sungguh, maka akan dapat mengendalikan dan mengarahkan
hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup”.
Dari beberapa uraian yang telah disampaikan, bahwa tokoh wayang tokoh
Semar benar benar berasal dari indonesia asli dan berasal dari nenek moyang
nusantara. Dan nenek moyang kita sebenarnya sudah mengetahui tentang konsep-
konsep keTuanan jauh sebelum pengaruh Hindu, Budha dan Islam datang, dan
setelah Islam datang banyak sekali budaya-budaya jawa yang di luruskan sesuai
dengan syariah agama Islam lewat para wali sembilan, salah satunya hasil
kulturasi antara budaya jawa denga ajaran Islam adalah figur tokoh Semar
tersebut. Dari figur tokoh Semar, dapat diambil banyak sekali ajaran dan konsep
hidup dalam kearifan tradisional.
Tokoh Semar bukan hanya suatu tokoh kesayangan mitologi religius
nusantara tetapi juga merupakan suatu konsepsiyang mempunyai nilai filsafat
yang cukup menarik untuk dipelajari. Suatu maha karya nenek moyang yang
mengandung ajaran luhur dan arif. Hal ini merupakan warisan budaya leluhur
yang wajib (diuri-uri) dilestarikan dan dipelajari ajaran yang terkandung
didalamnya. Sebuah karya adiluhung, karya pujangga jawa yang menawarkan
jalan keselamatan dan kebahagiaan sebuah jalan yang sangat dirindukan
keberadaannya oleh segenap manusia di sepanjang zaman.
Dalam pewayangan yang sering digelar, tokoh Semar selalu tampil dan
dipertontonkan oleh dalang. Walaupun banyak yang kurang paham, karena
perkembangan jaman dan arus globalisasi yang semakin pesat dan telah tampak
nilai-nilai budaya leluhur yang semakin pudar an kuran diminati sehingga
menjadikan tokoh Semar dan pewayangan semakin surut, danderasnya budaya
barat yang masuk ke indonesia, lambat laun membawa generasi indonesia
menjauh dari budaya sendiri, sedikit demi sedikit budaya barat melunturkan
budaya ketimuran, termasuk di dalamnyanilai-nilai budaya jawa.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Mulyono, Dr. Sri 1975.Apa dan Siapa tokoh Semar. Jakarta: Gunung Agung;
Sumukti, Tuti. 2005. tokoh Semar Dunia batin Orang Jawa. Yogyakarta: Galang
Press;
Mulkhan, Dr. Abdul Munir. 2003. Strategi Sufistik tokoh Semar. Yogyakarta:
Kreasi Wacana;