Anda di halaman 1dari 89

LEGENDA CIREBON

Cerita Rakyat Tentang Asal Usul,


Tokoh dan Peristiwa di Cirebon
TIM KERJA

Pengarah :
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon

Penanggung Jawab :
Kepala Bidang Kebudayaan

Penyusun :
T.D. Sudjana, BA.
Kartani, BA.
Drs. Askadi Sastrasuganda
Drs. Adin Imaduddin Nur
Sugiono, SPd
H. Yatna Supriatna, SPd.
Maryono Kurniadi, S.IP
Sukma Inprasari, S.Sos
Dede Wahidin, S.Sn
Dodi Subkhi, S.Hum.

Penyunting :
Drs. Adin Imaduddin Nur

Desainer cover dan ilustrasi :


Hasnan Syambasari, dkk

Legenda Cirebon
2
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb.


Puji syukur kita panjatkan ke khadirat Allah SWT atas selesainya penyusunan
buku LEGENDA CIREBON : Cerita Rakyat Tentang Asal Usul, Tokoh dan
Peristiwa di Cirebon. Buku ini menguraikan deskripsi singkat asal usul daerah,
tokoh dan peristiwa di Cirebon.
Cirebon adalah kota tua dengan warisan budaya yang kaya. Legenda merupakan
salah satu kekayaan khasanah kebudayaan dimaksud.
Para pendahulu kita telah menempuh beragam cara untuk menjaga tertib
kehidupan dan penghidupan. Mereka menyakralkan sungai, mata air atau sumur
sebagai upaya menjaga ketersediaan sumber air yang layak dikonsumsi. Mereka
menyakralkan suatu kawasan sebagai upaya menjaga daerah resapan. Mereka
menceritakan sepak terjang tokoh atau dramaturgi kehidupan sebagai upaya
menjaga sistem norma pergaulan. Cerita-cerita yang seringkali berbau mistik itu,
adalah wejangan ihwal ketertiban yang semestinya, yang dikemas sedemikian rupa
agar kita tidak bosan atau merasa digurui.
Namun demikian, perubahan kebudayaan adalah keniscayaan. Perkembangan
internal dan arus informasi global pada gilirannya melapukkan nilai budaya lama
dan mengintroduksikan sistem norma yang tidak selalu selaras bahkan cenderung
menyebabkan disorientasi. Padahal pada waktu yang sama kita juga membutuhkan
sistem nilai untuk panduan tingkah laku bagi terciptanya tertib sosial. Dengan
demikian, maka pengenalan masyarakat, khususnya anak-anak terhadap nilai
budaya lokal sebagai sumber pembentukan jati diri bangsa perlu dilakukan.
Pengenalan nilai budaya lokal ini diharapkan dapat menggugah kita untuk
membentuk, mempertahankan dan menguji kembali nilai budaya yang kita dukung.
Dalam kesempatan ini, kami ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada :
❑ Bapak Walikota Cirebon, yang telah memprogramkan Kegiatan Peningkatan
Apresiasi Masyarakat Terhadap Kebudayaan Cirebon;
❑ Tim kerja, yang telah mengumpulkan dan menyusun data aspek nilai tradisional
Cirebon dengan ketelatenan dan penuh kesungguhan;
❑ Semua pihak, baik lembaga maupun perseorangan, yang telah mendukung
kegiatan ini, yang tidak dapat disebutkan satu demi satu.
Uraian dalam buku ini memang belum mencakup kekayaan nilai budaya kita
yang senyatanya. Belum selengkap seperti yang diinginkan. Namun demikian, kami
berharap semoga buku kecil ini dapat bermanfaat, memberikan inspirasi untuk
kegiatan kebudayaan, keilmuan maupun kepariwisataan.
Wassalamu alaikum wr. wb.

Cirebon, September 2006


Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Cirebon,

MOCH. HANAFIAH, SH, MH


Pembina Tingkat I
NIP 010 085 424

Legenda Cirebon
i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi

Legenda

Cerita Rakyat tentang Asal Usul Daerah di Cirebon


1. Cirebon
2. Argasunya
3. Kalijaga
4. Kanggraksan
5. Kanoman
6. Kejawanan
7. Kesunean
8. Lawanggada
9. Panjunan
10. Pasuketan
11. Pekalipan
12. Pesantren

Cerita Rakyat tentang Tokoh-Tokoh Cirebon


1. Nyi Mas Ratu Pakungwati
2. Nyi Mas Gandasari
3. Syarif Durakhman
4. Syekh Lemahabang
5. Raden Gilap
6. Raden Johar
7. Pangeran Sumajaya
8. Adipati Tandha Moe alias Bagus Jaka
9. Syekh Birawa dan Nyi Mas Ratu Kalitanjung
10. Ki Kaji Sela : Ulama Sesat yang Membatu

Cerita Rakyat tentang Peristiwa-Peristiwa di Cirebon


1. Saida Saeni
2. Pemberontakan Ki bagus Rangin
3. Pasukan Sarwajala : Dari Penumpasan Perompak hingga Perebutan Sunda Kelapa
4. Tenggelamnya Kapal Gajah Mada Pertempuran di laut Cirebon, 5 januari 1947

Daftar Pustaka

Legenda Cirebon
ii
LEGENDA

Legenda adalah sebagian dari kebudayaan yang tergabung dalam folklore, yang
merupakan pencerminan hidup dan kehidupan serta pernyatan sikap dan jalan
pikiran dari suatu masyarakat, yang diwariskan dari satu ke lain generasi secara
turun-temurun. Dengan demikian, legenda-legenda yang berkembang di Cirebon
adalah pencerminan kehidupan serta pernyataan sikap dan jalan pikiran masyarakat
Cirebon. Oleh karena itu, legenda perlu digali, diselamatkan, dibina dan dipelihara
agar kita tidak kehilangan panduan dari para pendahulu.
Meskipun demikian, perlu diakui bahwa apa yang ada dalam legenda tidak
semuanya terus berlaku dan hidup di tengah-tengah masyarakat sekarang. Malahan
banyak diantaranya yang sudah ditinggalkan. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa
legenda tidak lagi berarti dan ditinggalkan begitu saja. Sebagai pencerminan hidup
serta pernyataan sikap dan jalan pikiran dari masyarakat pendukungnya, legenda
masih tetap diperlukan dalam mengidentifikasi nilai-nilai budaya yang ada pada
masyarakat pendukungnya. Dengan mengerti hal itu, maka kita akan lebih
memahami masyarakat tersebut. Selain itu, legenda yang masih tergolong dalam
sastra lisan juga sangat diharapkan sumbangannya dalam mengembangkan apresiasi
Sastra Indonesia sekarang ini.
Legenda yang banyak beredar di masyarakat adalah cerita prosa rakyat yang
dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh
terjadi. Legenda yang bersifat sekuler terjadi pada masa yang belum begitu lampau,
dan berpijak di dunia seperti yang kita kenal sekarang. Legenda seringkali dipandang
sebagai “sejarah” kolektif (folk history). Akan tetapi, karena “sejarah” kolektif itu
tidak tertulis dan telah mengalami distorsi, maka seringkali jauh berbeda dengan
kisah aslinya. Oleh karenanya, jika kita hendak mempergunakan legenda sebagai
bahan merekonstruksi sejarah suatu masyarakat, maka kita harus membersihkan
dahulu bagian-bagiannya yang mengandung sifat-sifat folklor, misalnya yang bersifat
pralogis atau yang merupakan rumus-rumus tradisi lisan.
Legenda biasanya bersifat migratoris, yakni dapat berpindah-pindah, sehingga
suatu legenda dapat dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda. Selain itu, legenda
acapkali tersebar dalam bentuk pengelompokan yang disebut siklus, yaitu
sekelompok cerita yang berkisar pada suatu tokoh atau suatu kejadian tertentu. Di
Jawa, misalnya, legenda mengenai panji termasuk golongan legenda siklus itu.
Menurut Jan Harold Brunvand, legenda dapat digolongkan ke dalam 4 kelompok.
Kelompok-kelompok itu adalah:
1. Legenda Keagamaan
Yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah legenda orang-orang suci
Islam. Di Jawa legenda orang saleh adalah mengenai para wali agama Islam,
yakni para penyebar agama (proselytizers) Islam pada masa awal perkembangan
agama Islam di Jawa. Para wali yang paling penting di Jawa adalah yang disebut
wali sanga. Mengenai siapa saja yang tergolong sebagai ke sembilan wali itu ada
bermacam-macam versi. Salah satunya adalah yang telah diterbitkan oleh Salam
Solihin dalam karangan kecilnya yang berjudul Sekitar Wali Sanga (1963);
2. Legenda Alam Gaib
Legenda semacam ini biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-benar
terjadi dan pernah dialami seseorang. Karena merupakan pengalaman pribadi,
maka legenda seperti ini biasa disebut memorat. Fungsi legenda ini adalah untuk
meneguhkan kebenaran “takhyul” atau kepercayaan rakyat. Isinya mengandung
banyak motif cerita tradisional yang khas ada pada kolektifnya. Di Jawa Timur,
misalnya, orang-orang yang pernah melihat hantu selalu menggambarkannya
dengan bentuk-bentuk yang sudah ada dalam gambaran kepercayaan kolektifnya.
Umpamanya orang-orang yang sering pergi ke hutan, pada umumnya telah

Legenda Cirebon
1
mengalami bertemu dengan hantu yang dapat tumbuh dari bentuk kecil menjadi
sangat besar dalam waktu yang singkat. Hantu itu mereka sebut gendruwo. Maka
dapat dikatakan bahwa memorat adalah legenda alam gaib yang merupakan
pengalaman seseorang yang erat berhubungan dengan suatu kepercayaan;
3. Legenda Perseorangan
Adalah cerita mengenai tokoh-tokoh tertentu yang dianggap oleh yang empunya
cerita benar-benar pernah terjadi. Misalnya di Jawa Timur terkenal legenda tokoh
Panji. Legenda ini pernah diteliti R.M.Ng.Poerbatjaraka dalam karangannya yang
berjudul Tjerita Pandji dalam Perbandingan (1968). Panji adalah seorang putra
raja Kerajaan Kuripan (Singasari) yang senantiasa kehilangan istri. Akibatnya
timbullah banyak cerita yang temanya selalu perihal ia mencari istri yang telah
menjelma menjadi wanita lain. Cerita Panji mempunyai beberapa versi dalam
bentuk tulisan yang versi-versinya diperoleh di Jawa, Sumatera dan Kamboja.
Legenda Panji yang berasal dari tradisi lisan sering berintegrasi dengan dongeng
“Ande-ande Lumut” (dongeng Cinderella Jawa) dan dongeng “Ketek Ogleng”
(seorang pangeran disihir menjadi monyet). Legenda Panji tertulis yang tertua
tahun 1277 disebut dalam naskah “Pamalayu”;
4. Legenda Setempat
Adalah cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk
topografi, yakni bentuk permukaan suatu daerah, apakah berbukit-bukit,
berjurang, dan sebagainya. Legenda setempat yang berhubungan dengan nama
suatu tempat adalah “legenda Kuningan”, “legenda Anak-anak Dalem Solo yang
Mengembara Mencari Sumber Bau Harum” yaitu menceritakan asal mula nama
beberapa desa di sekeliling Danau Batur, legenda “Asal Mula Nama Banyuwangi”,
legenda “Asal Nama Kota Banyuwangi”, dan legenda “Asal Mula Nama Desa
Jember”.
Legenda Setempat yang berhubungan erat dengan bentuk topografi suatu tempat
adalah legenda “Tangkuban Perahu”. Tangkuban Perahu adalah suatu gunung di
Jawa Barat yang memperoleh nama itu karena bentuknya yang menyerupai
perahu terbalik. Perahu itu menurut kepercayaan orang Sunda dibuat
Sangkuriang atas permintaan Dayang Sumbi, seorang perempuan yang
dicintainya, yang diluar sepengetahuannya sebenarnya adalah ibu kandungnya
sendiri. Selain itu legenda yang mirip dengan legenda Tangkuban Perahu adalah
legenda “Asal Mula Nama Tengger dan Terjadinya Gunung Batok” yang berasal
dari Jawa Timur.
Tidak jarang legenda yang beredar memuat gambaran tentang struktur sosial
(social structure) masyarakat yang bersangkutan. Struktur Sosial di sini diartikan
sebagai perumusan azas-azas hubungan antar individu dalam kehidupan
masyarakat. Suatu masyarakat akan tetap sehat jika hubungan-hubungan itu dapat
berjalan dengan baik. Sebaliknya, masyarakat akan terganggu jika hubungan antar
anggotanya tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam memetakan struktur sosial tersebut, legenda biasanya memuat tokoh
masyarakat yang sangat dituakan atau disucikan. Di samping itu legenda sering
melibatkan makhluk gaib atau makhluk supranatural, seperti lelembut, dedemit.
Karena melibatkan tokoh masyarakat dan makhluk halus seperti ini, gambaran
struktur sosial masyarakat dalam legenda menjadi semakin diakui sebagai struktur
sosial yang harus diterapkan. Dengan kata lain, karena melibatkan tokoh yang
dituakan dan makhluk halus, maka gambaran struktur sosial masyarakat semakin
mendapat legalitas (keabsahan).
Pada masyarakat Cirebon yang Islamcentris tentu saja tokoh masyarakat dan
makhluk supranatural yang dilibatkan dalam legenda adalah tokoh-tokoh agama
Islam dan makhluk-makhluk gaib sesuai kepercayaan Islam. Tokoh-tokoh itu tidak
jauh berkisar pada Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga, di samping beberapa
tokoh lain seperti Mbah Kuwu Cerbon. Sementara makhluk-makhluk halus yang

Legenda Cirebon
2
paling sering diulas adalah jin yang dibedakan dalam jin jahat dan yang baik. Dalam
kenyataan, karena melibatkan tokoh-tokoh agama dan makhluk-makhluk halus
demikian, legenda yang beredar dalam masyarakat menjadi acuan terutama dalam
memetakan masyarakat secara hierarkis.
Tidak jarang legenda yang beredar dalam masyarakat juga berisikan cerita
sejarah. Cerita sejarah yang teradopsi dalam legenda biasanya tidak dilakukan secara
utuh, hanya diambil sebatas bagian-bagian tertentu. Namun demikian, tidak sedikit
pula cerita legenda didominasi oleh cerita sejarah. Akan tetapi, karena sifatnya, tidak
ada cerita legenda yang seluruhnya merupakan certa sejarah. Cerita legenda yang
mendasarkan pada cerita sejarah tidak lain merupakan cerita sejarah karena
dibumbui dengan bagian-bagian yang sama sekali tidak memiliki nilai sejarah. Tentu
saja dengan memuat cerita yang mengandung nilai sejarah, maka akan semakin
menambah kepercayaan masyarakat akan kebenaran cerita legenda. Dan karena
memuat cerita-cerita sejarah, maka tidak jarang legenda dianggap sebagai cerita yang
telah benar-benar terjadi. Kondisi ini tentu saja berkonsekwensi pada penggunaan
gambaran dalam legenda sebagai patokan dalam kehidupan masyarakat, terutama
yang menyangkut struktur masyarakat.

Legenda Cirebon
3
CERITA RAKYAT TENTANG
ASAL USUL DAERAH DI CIREBON

1. C I R E B O N

Cerita rakyat ihwal asal usul Cirebon sudah banyak dibicarakan orang dengan
beragam versi. Namun diantara kesemuanya, ada kesamaan bahasan, yaitu bahwa
masyarakat Cirebon sudah majemuk dari sejak awal, baik secara sosial maupun
kultural. Diantara yang berkembang di masyarakat, cerita rakyat tentang asal usul
Cirebon yang ditulis oleh Masduki Sarpin dalam tajuk Kisah Masyarakat Cirebon :
Pengembaraan Putra Padjadjaran Pangeran Walangsungsang yang dimuat Harian
Pikiran Rakyat Edisi Cirebon beberapa tahun silam menarik untuk disimak.
Tulisannya adalah sebagai berikut.
Dikisahkan, dari perkawinan Prabu Siliwangi dengan Nyi Mas Rara
Subangkranjang dikaruniai dua orang anak, masing-masing bernama Pangeran
Walangsungsang dan Nyi Mas Rarasantang. Sementara dari perkawinan dengan Nyi
Mas Rara Tajar Yakti, Prabu Siliwangi juga punya keturunan yang diberi nama
Pangeran Kiansantang.
Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas Rarasantang semenjak kecil diajari
ajaran Islam oleh kakek gurunya Syekh Quro. Sebaliknya, sedari kecil Pangeran
Kiansantang dididik oleh kakeknya sendiri Ki Hajar Yakti supaya membenci agama
Islam.
Setelah empat tahun Prabu Siliwangi dan rakyat negeri Pajajaran memeluk
agama Islam para sesepuh-sesepuh negeri yang tidak senang terhadap
berkembangnya agama Islam di negeri Pajajaran mulai merongrong Prabu Siliwangi
supaya tidak memeluknya. Awalnya rongrongan-rongrongan itu dapat dielakan.
Setelah Ki Majalaku, yang juga penasehat negerinya, memberi saran supaya sang
Prabu menanggalkan agama Islam dan kembali ke agama leluhurnya, jugar akyat
negeri Pajajaran memberi dukungan agar Prabu Siliwangi mengangkat Pangeran
Kiansantang sebagai putra mahkota, akhirnya Prabu Siliwangi tidak bisa
menolaknya. Prabu Siliwangi berubah pikiran karena Ki Majalaku adalah manusia
Sanghyang yang pangandika dan ramalannya tidak pernah sirnahing patah, selalu
menjadi kenyataan. Prabu Siliwangi linggihang pata agamaha wang sulaha jagat
kang kawitan.
Pada suatu hari, tanpa terlebih dahulu berunding dengan Nyi Mas Rara
Subangkranjang, Prabu Siliwangi mengumumkan kepada rakyatnya, bahwa agama
Islam di negeri Pajajaran dibubarkan dan Pangeran Kiansantang diangkat sebagai
putra mahkota. Beberapa hari setelah pembubaran agama Islam di negeri Pajajaran
Nyi Mas Rara Subangkranjang meninggalkan negeri Pajajaran tanpa memberitahu
putra dan putrinya. Kepergiannya bukan karena Pangeran Walangsungsang tidak
diangkat sebagai putra mahkota, tetapi karena berkeinginan mendapatkan
keturunan yang wujud linggihing tunggal sirnahingkang alaha tan madep miwitaha
kang panutaha, ajarannya dapat dianut sampai pada hari kiamat (kelak do’a Nyi Mas
Rara Subangkranjang akan terkabul setelah lahir cucunya yang bernama Syarif
Hidayatullah).
Sepeninggal Nyi Mas Rara Subangkranjang, Pangeran Walangsungsang dan Nyi
Mas Rarasantang tiap waktu selalu dikawal ketat; mereka tidak diperbolehkan keluar
dari Keraton dan Prabu Siliwangi tidak mengijinkan Syekh Quro menengok kedua
cucu muridnya itu.
Pada suatu malam Pangeran Walangsungsang mimpi bertemu dengan seorang
kakek-kakek yang berpesan agar dia berguru kepada Syekh Datul Kahfi di Gunung
Jati. Pada pagi harinya Pangeran Walangsungsang dengan diam-diam dan tanpa

Legenda Cirebon
4
memberitahu Nyi Mas Rarasantang meninggalkan Keraton Pajajaran hanya dengan
satu tujuan : berguru Kepada Syekh Datul Kahfi di Gunung Jati. Lembah, gunung,
hutan dan rawa-rawa dilaluinya, perjalanan Pangeran Walangsungsang mencari
pelinggihan Gunung Jati.
Dalam perjalanan Pangeran Walangsungsang bertemu dengan Begawan
Danuwarsih. Kepada sang Begawan Pangeran Walangsungsang menceriterakan akan
berguru ajaran Islam kepada Syekh Datul Kahfi di Gunung Jati. Begawan
Danuwarsih adalah manusia pengagem agama Sanghiyang yang berilmu luhung,
weruh sedurunge winarah paningal soroting jalma. Dia mengatakan kepada Pangeran
Walangsung bahwa sebenarnya Agama Islam itu akan pesat berkembang di tanah
Jawa. Akan tetapi, sekarang belum pada waktunya. Begawan Danuwarsih
menyarankannya agar menetap di pondoknya saja untuk sementara, untuk
mempelajari ilmu Sanghiyang demi siarnya agama Islam di tanah Jawa. Menurut
Begawan Danuwarsih, tanpa mempelajari ajaran nenek moyangnya Pangeran
Walangsungsang akan mendapat kesukaran dalam mengislamkan rakyatnya.
Pangeran Walangsungsang patuh, dia pun menjadi murid Begawan Danuwarsih, dan
selanjutnya menikah dengan putrinya yang bernama Nyi Mas Endang Geulis.
Dua tahun lamanya Pangeran Walangsungsang berada di pondok Begawan
Danuwarsih, hampir seluruh ilmu sang Begawan dapat diwarisinya, hingga Pangeran
Walangsungsang menjadi manusia gerharung lampah soroting bumi landep pangocap
cukup ilmunya. Setelah dianggap cukup, Pangeran Walangsungsang diijinkan
meninggalkan pondok dengan membawa istrinya. Begawan Danuwarsih memberinya
pengagem Golok Cabang dan Ali-Ali Ampar, dan memberi nama lain : Pangeran
Cakrabuana.
Setelah Nyi Mas Rara Subangkranjang dan Pangeran Walangsungsang
meninggalkan Keraton Pajajaran keadaan Nyi Mas Rarasantang sangat bersedih hati.
Karena kesedihan yang tak berkesudahan, maka Nyi Mas Rarasantang bertekad
mencari Pangeran Walangsungsang di mana saja kakaknya berada.
Setelah membujuk para pengawal akhirnya Nyi Mas Rarasantang dapat keluar
keraton dan selanjutnya masuk hutan keluar hutan, lembah, gunung dilaluinya
untuk mencari sang kakak. Akan tetapi, karena Nyi Mas Rarasantang adalah wanoja
yang lemah, maka dalam perjalanan di tengah hutan
belantara jatuh pingsan. Begitu siuman Nyi Mas
Rarasantang sudah berada di pondok Nyi Mas Sukati.
Dan kemudian ia pun menceriterakan, bahwa dirinya
sedang mencari Pangeran Walangsungsang.
Nyi Mas Sukati mengatakan, seorang wanita
seperti Nyi Mas Rarasantang, tidak akan dapat
menemukan seseorang di hutan belantara tanpa
dibekali ilmu kesaktian. Dia juga menyarankan agar Nyi
Mas Rarasantang untuk sementara menetap sebagai
murid di pondoknya. Dan sebenarnya Nyi Mas Sukati
adalah kakaknya sendiri dari lain ibu.
Dua tahun lamanya Nyi Mas Rarasantang menja-
di murid Nyi Mas Sukati. Hampir seluruh ilmu dapat
diwarisinya dan kemudian diagemi sebuah Selendang
kumayang.
Nyi Mas Sukati adalah wanoja berilmu tinggi,
sakti mandraguna, wanita kang sejatining lenggah,
maka setelah mendapatkan ilmu dan restunya, Nyi Mas
Rara-santang tidak akan menga-lami kesukaran untuk
mene-mukan Pangeran Walang-sungsang yang sedang
ber-sama istrinya dalam perja-lanan mencari
pelinggihan Gunungjati.

Legenda Cirebon
5
Pertemuan kedua putera Prabu Siliwangi itu sangat mengharukan. Setelah
menceritakan pengalaman masing-masing, Pangeran Walangsungsang
memperkenalkan Nyi Mas Endang Geulis istrinya kepada Nyi Mas Rarasantang.
Selanjutnya bersama-sama berangkat ke Gunungjati untuk berguru kepada Syekh
Datul Kahfi.
Dalam perjalanan tiba-tiba Pangeran Walangsungsang melihat gerombolan
burung bangau di sebuah puncak gunung. Setelah diamati ternyata burung-burung
itu penjelmaan manusia-manusia yang memiliki ilmu Sanghiyang. Maka Pengeran
Walangsungsang pun mendatangi tempat tersebut. Melihat kedatangan Pangeran
Walangsungsang dan Nyi Mas Endang Geulis burung-burung bangau segera
berterbangan memasuki sarang mereka di dalam gua. Pangeran Walangsungsang
pun mengejar, dan begitu ia sampai di depan gua, gua itu berubah wujud menjadi
sebuah istana dengan maha rajanya, yakni Sanghiyang Bangau
Seterusnya Sanghiyang Bangau mengatakan, bahwa sesungguhnya kedua putra
dan menantu Prabu Siliwangi itu adalah cucunya sendiri, karena Sanghiyang
Bangau dan para Sanghiyang lainnya yang berada di istana ini adalah leluhur negeri
Pajajaran yang sudah meninggalkan alam dunia (merad). Dengan rendah hati
Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Rarasantang dan Nyi Mas Endang Geulis
memohon maaf atas kelancangan mereka, juga meminta petunjuk arah Gunung Jati
tempat bermukim Syekh Datul Kahfi.
Diceriterakan oleh Sanghiyang Bangau, bahwa sebenarnya ajaran Islam akan
berkembang dengan pesat di tanah Jawa melalui Pangeran Walangsungsang. Namun
Pangeran Walangsungsang harus terlebih dahulu mempelajari ajaran nenek
moyangnya, yaitu pangegem Sanghiyang, karena tanpa ajaran itu, Pangeran
Walangsungsang akan mendapat banyak kesukaran dalam mengembangkan agama
Islam.
Setelah Sanghiyang Bangau memberikan wejangan dan memberi ilmu
pengagem Sanghiyang, akhirnya Pangeran Walangsungsang dianugerahi pusaka
Kelambi Waring dan Batok Badong.
Kedatangan Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Rarasantang dan Nyi Mas
Endang Geulis di Gunungjati disambut hangat Syekh Quro’ dan kakeknya, Ki
Jumajan Jati (Ki Ageng Tapa). Sekian tahun lamanya Pangeran Walangsungsang, Nyi
Mas Rarasantang dan Nyi Mas Endang Geulis di Gunung Jati, sehingga ketiganya
benar-benar sempurna dalam mendalami ajaran Islam dan mendapatkan gelar
waliyullah.
Windi kersa pangandikaha sejarah, setelah datang pada waktunya, Pangeran
Walangsung diperintahkan Syekh Datul Kahfi supaya membuka hutan di sebelah
Selatan Gunungjati untuk dijadikan pedukuhan. Wilihang jalatama sujud rantanaha
kang paningalh desa. Pangeran Walangsungsang dengan golok cabangnya dengan
mudah dapat membuka hutan. Sedang asyik membabat hutan belantara yang
berawa-rawa angker, singid miwa ahil tiba-tiba Pangeran Walangsungsang dikejutkan
oleh sapaan Ki Pangalang-ngalang. Dia mengatakan bahwa dirinya dahulu bekas
Temenggung negeri Pajajaran dan karena tidak dapat memenuhi permintaan Prabu
Siliwangi, Ki Pangalang-ngalang harus tinggal di dalam hutan ini selamanya. Setelah
menceritakan pengalaman masing-masing akhirnya Ki Pangalang-ngalang diislamkan
oleh Pangeran Walangsungsang.
Hutan yang lebat itu dibuka dengan jerih payah Pangeran Walangsungsang.
Sekarang sudah menjadi pedukuhan dengan jumlah penduduk sekitar 106 jiwa, yang
berasal dari beberapa negeri.
Dalam kehidupan sehari-hari, Pangeran Walangsungsang dan Nyi Mas
Rarasantang tidak menunjukkan bahwa mereka adalah putra Raja Pajajaran yang
sangat berkuasa. Pangeran Walangsungsang, Nyi Mas Rarasantang dan Nyi Mas
Endang Geulis berlaku laiknya rakyat biasa yang sehari-hari bekerja mencari rebon

Legenda Cirebon
6
(udang kecil) di laut untuk dibuat terasi yang airnya (ci) dibuat petis dan ampasnya
dinamakan Gerage.
Kelezatan trasi dan petis buatan Pangeran Walang-sungsang dikenal ke mana-
mana, sehingga mengundang rakyat dari beberapa negeri untuk membelinya. Tidak
sedikit diantara para pembeli itu akhirnya menetap menjadi penduduk pedukuhan,
dan dengan perlahan Pangeran Walangsungsang mengislamkan mereka.
Kelezatan petis dan trasi Pangeran Walangsungsang juga sudah dinikmati oleh
Prabu Cakraningrat Raja Negeri Galuh. Bahkan sang prabu meminta Pangeran
Walangsungsang agar mengirimkannya setiap bulan.
Setiap tahun penghuni pedukuhan bertambah banyak. Untuk memudahkan
mereka memeluk agama Islam, Pangeran Walangsungsang berupaya memadukan
ajaran agama nenek moyang dengan ajaran Islam. Paduan kedua ajaran itu terkenal
dengan nama Ilmu Caruban. Dengan ilmu Caruban itulah nenek moyang kita dahulu
merasa tidak dipaksa menjadi pemeluk agama Islam.
Karena penduduk pedukuhan sudah berjumlah lebih dari 1000 jiwa dan berada
di wilayah negeri Galuh, maka Prabu Cakraningrat memerintahkan Pangeran
Walangsungsang agar memberi nama pedukuhan itu dan mengangkat seorang kuwu.
Dengan restu Syekh Datul Kahfi dan wali lainnya pada tanggal 1 Asyura tahun 791 H
atau pada tahun 1389 M, pedukuhan itu diberi nama Cirebon yang asalnya dari
Cairebon. Selanjutnya pedukuhan itu pun dikenal dengan nama Cirebon.
Saat ini pedukuhan tersebut telah berkembang menjadi kota. Dalam
administrasi pemerintahan, Cirebon merupakan 2 nama daerah tingkat II, yakni Kota
Cirebon dan Kabupaten Cirebon. Bahkan jika kita melihat pembagian wilayah
pembangunan di Jawa Barat, Cirebon merupakan salah satu Wilayah Pembangunan
dengan nama “Wilayah Cirebon”. Sementara itu jika mengacu kepada wilayah
administrasi di tingkat kecamatan, Cirebon juga dijadikan nama beberapa
kecamatan, yakni Kecamatan Cirebon Utara, Cirebon Barat, dan Cirebon Selatan
yang semuanya berada di Kabupaten Cirebon.

Legenda Cirebon
7
2. A R G A S U N Y A

Pada sekitar abad ke-15 Argasunya adalah hutan belantara dengan kondisi
lingkungan yang agak berbukit-bukit. Pada masa itu manusia konon belum
menghuni lingkungan ini. Keadaan mulai berubah ketika para wali menjadikan
kawasan ini sebagai tempat peristirahatan dengan membangun pelinggihan.
Pelinggihan adalah tempat menyepi atau mengasingkan diri untuk berkholwat,
melakukan tahanut atau tafakur. Pembangunan pelinggihan di kawasan ini terkait
erat dengan perkembangan petilasan Kalijaga yang terletak lebih hilir, yang pada
mulanya juga digunakan tempat menyepi. Setelah daerah sekitar petilasan Kalijaga
mulai ramai, para wali memerlukan tempat lain yang lebih sepi. Tempat yang
sekarang dinamakan Argasunya dan letaknya di daerah yang lebih hulu dianggap
memenuhi syarat untuk tempat peristirahatan baru.
Pada abad ke-17, ketika VOC mulai menguasai ekonomi politik Kesultanan
Cirebon, Argasunya menjadi sebuah perkampungan. Perkampungan ini dibangun
oleh Mbah Sarpin anak Kuwu Cerbon ke-8 yang menyingkir dari Kesultanan
Kanoman karena tidak mau tunduk terhadap tekanan orang Belanda yang mulai
mencampuri urusan kehidupan keraton. Perkampungan itu dibangun di sekitar
kawasan pelinggihan.
Mbah Sarpin sengaja memilih Argasunya sebagai tempat pengasingan karena
berada di hulu sungai. Dan sungai ini dianggap dapat menghalangi dan mempersulit
jangkauan mereka yang berasal dari hilir, terutama orang-orang Belanda. Jadi,
kondisi medan seperti ini berfungsi sebagai benteng alam. Di samping itu, Argasunya
juga memiliki sumber air (ada beberapa mata air) yang cukup dan merupakan daerah
yang subur, sehingga ideal dijadikan pemukiman. Dengan sumber air yang cukup
dan tanah yang subur, maka sangat baik untuk menyangga keperluan hidup
penghuninya.
Perkampungan yang dibuka oleh Mbah Sarpin terus berkembang. Pesawahan
terus meluas dan peternakan dengan kerbau sebagai ternak utama pun terus
bertambah. Pesawahan yang dibuka meliputi areal yang sekarang masuk dalam
wilayah Kelurahan Kalijaga. Lahan peternakan (pangonan dan kandang) terdapat di
tempat yang sekarang dinamakan Kampung Kedungkrisik. Kedung sendiri berarti
kubangan, sebutan untuk tempat mandi kerbau. Di sini kerbau merupakan tenaga
utama dalam pengolahan (membajak) sawah.
Karena masih digunakan tempat menyepi, maka tempat yang dibangun Mbah
Sarpin ini kemudian dikenal dengan nama Argasunya. yang berarti raga yang sepi
(arga = raga, sunya = sunyi). Dalam administrasi pemerintahan masa kini, Argasunya
merupakan kelurahan, yang terdiri atas Kampung Kedungkrisik, Surapandan,
Cadasngampar, Benda, Dulangjero, Lebakngok, Sitopeng, Cibogo, Kopiluhur, dan
Jumbleng.
Pada masa tersebut Argasunya mengalami masa kejayaan. Islam yang dijadikan
anutan berkembang dengan pesat. Kebutuhan hidup terutama pangan tersedia
cukup. Dan yang terpenting mereka dapat hidup bebas tanpa ada tekanan Belanda.
Namun, pada suatu ketika, kebebasan masyarakat Argasunya diusik serangan
Belanda. Belanda yang semakin menancapkan kekuasaan di Bumi Cirebon
menyerang Argasunya karena warganya tidak mau tunduk kepada Pemerintah
Kolonial Belanda. Argasunya dianggap ancaman karena sewaktu-waktu dapat
menjadi kuat dan menyerang mereka. Namun, serangan Belanda mengalami
kegagalan. Konon, hal ini terjadi karena orang-orang Belanda yang bertubuh besar
tidak dapat melewati licinnya sungai yang membentang di depan perkampungan.
Dengan demikian, “otonomi” masyarakat Argasunya relatif terpelihara sebagaimana
terejawantahkan dalam tradisi kehidupan mereka pada saat ini.
Pada saat ini, meski secara administratif termasuk kawasan perkotaan
(Pemerintah Kota Cirebon), namun kehidupan sebagian masyarakat Argasunya masih

Legenda Cirebon
8
menunjukkan kedesaan. Mereka masih menjalankan hidup sesuai dengan nilai-nilai
tradisi. Pengaruh yang datang dari luar tidak mudah mereka terima. Secara fisik hal
ini dapat kita lihat pada cara berpakaian kaum lelaki yang masih mengenakan kain
sarung. Secara sosial, hal ini dapat dilihat pada pandangan tradisional mereka
tentang stratifikasi masyarakat. Dalam penyusunan starifikasi masyarakat mereka
masih berpatokan, bahwa yang mendapatkan nafkah dengan mengambil langsung
dari bumi dan berkedudukan penting dalam agama berderajat lebih tinggi ketimbang
mereka yang mendapatkan nafkah tidak langsung dari bumi. Ini berarti kalangan
kyai dan petani berstrata sosial atas. Sementara strata sosial bawah terdiri atas
mereka yang mendapatkan nafkah tidak secara langsung berasal dari bumi, seperti
pedagang, penjahit, pegawai, pengemis, tunakisma (tidak memiliki tanah sama sekali)
atau mereka yang tidak memiliki peran penting dalam kegiatan keagamaan.
Pandangan seperti ini berpengaruh terhadap bidang pendidikan. Mereka yang
bergelar sarjana atau pegawai negeri yang hasil kerjanya tidak langsung dari bumi
dan tidak memiliki posisi penting dalam agama ditempatkan pada strata yang lebih
rendah daripada petani, pedagang, atau penjahit sekalipun.
Seiring perkembangan jaman, penolakan terhadap unsur-unsur dari luar
berangsur pudar. Mereka sudah mulai menerima kehadiran tayangan radio dan
televisi yang sebelumnya dianggap haram. Fenomena ini terjadi di hampir semua
kampung di Kelurahan Argasunya. Satu-satunya kampung yang tetap menolak
segala macam pengaruh dari luar adalah Kampung Benda yang berada di tempat
paling hulu.
Saat ini bekas-bekas petilasan tidak dapat dijumpai lagi, tertutup badan jalan
tol Palimanan – Kanci. Menurut desas desus yang beredar di kalangan warga
Kelurahan Argasunya, kecelakaan lalu lintas yang terjadi hampir setiap hari di jalan
tol pada lintasan kawasan tersebut merupakan akibat penutupan bekas petilasan
itu.

Legenda Cirebon
9
3. K A L I J A G A

Alkisah, Lokacaya putra Ki Wilatikta Tumenggung Tuban bermaksud berguru


kepada Syarif Hidayatullah. Ketika sampai di Keraton Pakungwati Cirebon, ternyata
Jeng Sinuhun sedang tidak di tempat. Maka Lokacaya pun menunggunya.
Terlintas dalam pikiran Lokacaya, apakah Syarif Hidayatullah tidak me-
ngetahui kedatangan-nya? Apa-kah Syarif
Hidayatullah tidak me-ngetahui dia telah
lama menunggu? Tidak lama kemudian
ada sepasang cangkir batu merah penuh
berisi. Ia mengambil cangkir itu hendak
meminum isinya. Cangkir berkata, “Belum
ada yang mengijinkan kok berani minum
?”. Lokacaya terkejut, ada cangkir bisa
bicara. Dia merasa malu, lalu cangkir pun
diletakkan kembali. Sungguh keramat
Sinuhun Cirebon, karenanya Lokacaya
lebih mantap kemauannya setia tuhu
kepada guru.
Tidak lama kemudian, Jeng Sunan datang di hadapan Lokacaya. Ia segera
sungkem menghaturkan bakti. Bathin Sunan Jati melihat, bahwa Lokacaya adalah
sungguh waliyullah, segera dibimbingnya untuk duduk sejajar. Berkata Jeng Sunan,
“Selamat datang adik Lokacaya dan bagaimana kabar di Ampel dan para saudara di
Bonang dan Undung?”. Lokacaya menjawab, “Berkah Dalem, semua saudara
sekarang ada sehat-sehat saja, namun hamba mohon kemurahan Dalem semoga
diberi wejangan sejatinya syahadat dan sempurnanya tauhid”. Sunan Jati melihat
dalam laukhil mahfud seharusnya Nabi Khaidir yang memberinya wejangan itu. Lalu
Sunan berkata, “Kalau sang adik sungguh-sungguh menginginkannya, mari ke
tempat yang sunyi”.
Lokacaya bersama Jeng Sunan Jati segera ke hutan. Mereka sampai ke pinggir
sungai di bawah pohon andul. Berkata Jeng Sunan, “Ini buah kemiri seratus
banyaknya untuk bilangan, seyogyanya jangan pergi dari pinggir sungai ini, dan sang
adik aku beri nama Kalijaga.” Sunan Jati lalu pulang.
Lokacaya pun mematuhi perintah gurunya. Pada malam hari dia naik ke
pohon andul, sementara siang hari membuka perkebunan. Kawasan ini kemudian
masyhur disebut Kebun Kalijaga. Dan sejak itu sampai sekarang orang-orang
menamai daerah tersebut Kalijaga. Dalam administrasi pemerintahan, Kalijaga
adalah nama kelurahan dalam wilayah Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.

Legenda Cirebon
10
4. KANGGRAKSAN

Pada jaman dahulu di daerah agak ke hulu Sungai Subah atau Kriyan tinggal Ki
Anggaraksa. Di daerah itu ia merupakan seorang ambau-reksa, yakni orang yang
bertanggungjawab atas ketertiban dan keamanan daerah tersebut (sekarang
semacam Ketua RW). Ambau reksa adalah kedudukan dalam struktur masyarakat
yang dibentuk sejak masa Sunan Gunung Jati.
Dalam hidupnya Ki Anggaraksa dikenal sebagai tokoh yang berdedikasi baik dan
mulia. Hal ini tercermin dari banyaknya kegiatan yang dilakukan. Salah satu
kegiatan yang dilakukannya pada zaman Panembahan Cirebon II (Panembahan
Girilaya) adalah, selain mengabdikan diri kepada Sunan Cirebon seperti yang
dilakukan ambau-reksa yang lain, dia juga menjadi anggota Tim Jaksa Pepitu ketika
Cirebon menggunakan Undang-undang Perdata dan Pidana Papakem Jaksa Pepitu.
Konon pada masa Ki Anggaraksa menjadi anggota Tim Jaksa Pepitu, jabatan
ketua pada saat itu dipegang oleh putra bungsu Panembahan Girilaya yang bernama
Pangeran Wangsakerta atau disebut Panembahan Tohpati yaitu Pangeran
Mohammad Nasarudin. Para hakimnya adalah Sultan Sepuh I (Sultan Sepuh
Martawijaya), Sultan Anom I (Sultan Anom Syamsudin Kertawijaya) dan Panembahan
Carbon I alias Panembahan Tohpati. Mereka bertiga adalah pemutus perkara di
dalam maupun luar wilayah mereka. Jadi, mereka juga disebut jaksa wilayah.
Begitulah antara lain struktur lembaga yang disebut Papakem Jaksa Pepitu.
Saat meninggal Ki Anggaraksa dikuburkan di wilayah yang pernah menjadi
kekuasaannya. Namun demikian, lokasi pemakaman Ki Anggaraksa juga merupakan
tempat dikebumikan anggota-anggota tim Jaksa Pepitu lain. Anggota Tim Jaksa
Pepitu dimaksud adalah Purbanegara, Raksanegara, Nayapati, Anggaprana,
Nitinegara dan Anggapati. Makam mereka tersebar di wilayah Kanggraksan, tetapi
situs makam yang paling besar adalah situs makam Ki Anggaraksa.
Karena terdapat makam tersebut, akhirnya tempat ini dikenal dengan nama
Kanggraksan yang berasal dari kata Ki Anggaraksa. Saat ini lokasi makam berada di
belakang gedung Bazkot. Makamnya disebut orang makam Ki Anggaraksa.
Saat ini di samping menunjuk ke suatu tempat, Kanggraksan juga menunjuk
nama jalan yang melintasi kampung tersebut.

Legenda Cirebon
11
5. K A N O M A N

Diceritakan, pada suatu ketika di Kerajaan Mataram terjadi kekisruhan. Huru


hara ini berawal dari kebijakan Panembahan Amangkurat I, Raja Mataram pada
waktu itu yang dalam menjalankan roda pemerintahannya cenderung membantu
penjajah kompeni. Dengan dipimpin Trunojoyo, mereka yang tidak menyetujui
kebijakan Panembahan Amangkurat I akhirnya melakukan perlawanan.
Di tengah kecamuk pemberontakan, Penembahan Adiningkusuma Cirebon
yang bergelar Panembahan Ratu II berkunjung ke Kerajaan Mataram untuk
memenuhi undangan Panembahan Amangkurat I. Dalam kunjungan ini,
Adiningkusuma membawa dua putra dari tiga putra hasil perkawinannya dengan
adik kandung Raja Mataram itu. Kedua putranya itu adalah Pangeran Syamsudin
dan Pangeran Badridin. Sementara itu, putera yang satunya lagi, yakni Pangeran
Wangsakerta ditinggalkan di Cirebon untuk menjalankan roda pemerintahan.
Pada mula kunjungannya, Panembahan Adiningkusuma diperlakukan dengan
sangat baik. Hal ini terlihat dari kedatangannya yang disambut dengan upacara
kebesaran karena diakui sebagai Penguasa Cirebon. Dalam kunjungan itu
Panembahan Amangkurat I menyatakan keinginannya agar Panembahan
Adiningkusuma dengan pasukan Kerajaan Cirebon menyerang Kesultanan Banten
yang terus berkembang sebagai bagian dari dukungan Kerajaan Cirebon pada
Kerajaan Mataram. Namun, Panembahan Adiningkusuma tidak dapat mengabulkan
keinginan itu. Penolakkan ini membuat Raja Mataram marah. Dia tidak
memperkenankan Panembahan Adiningkusuma kembali ke Cirebon hingga beliau
wafat di sana pada tahun + 1662 M dan jasadnya dikebumikan di Girilaya. Karena
dimakamkan di tempat ini akhirnya ia juga dikenal dengan nama Panembahan
Girilaya sesuai tempat di mana ia dikebumikan.
Dalam pemberontakan yang kian membesar dan menimbulkan korban di
pihak tamu yang berasal dari Cirebon itu, Pangeran Syamsudin dan Pangeran
Badridin diculik oleh Telik Sandi (mata-mata) pasukan pemberontak Trunojoyo.
Kedua putera Panembahan Adiningkusuma ini kemudian “dibuang” secara terpisah.
Pangeran Syamsudin dibuang ke Kediri, sedangkan Pangeran Badridin dibuang ke
Madura. Tersiarnya peristiwa ini menimbulkan kegemparan luar biasa di kalangan
penguasa dan rakyat Cirebon.
Berita yang sangat memukul masyarakat Cirebon ini kemudian terdengar pula
oleh Sultan Banten, Ki Ageng Tirtayasa. Setelah mendengar kasus penculikan itu,
Sultan Banten segera menemui Pangeran Wangsakerta untuk membahas upaya
pengembalian kedua pangeran tersebut ke Cirebon.
Ternyata apa yang dilakukan Sultan Banten Ageng Tirtayasa dan Wangsakerta
tidak sia-sia. Mereka kemudian berhasil menemukan satu dari dua pangeran, yakni
Pangeran Badridin. Dia kemudian diboyong ke Banten dan oleh Sultan Banten
dinobatkan sebagai Sultan Cirebon.
Selang dua tahun kemudian Pangeran Syamsudin, kakak Pengeran Badridin
pun ditemukan. Seperti yang dilakukan kepada adiknya, Sultan Ageng Tirtayasa pun
menobatkan Pangeran Syamsudin sebagai Sultan Cirebon.
Karena Pangeran Badridin sudah terlanjur dinobatkan menjadi Sultan
Cirebon, maka untuk memberikan kekuasaan kepada Pangeran Syamsudin yang
memang lebih berhak karena lebih tua, maka Cirebon dipecah menjadi dua, yaitu
Kesultanan Kanoman dan Kesultanan Kesepuhan. Pangeran Badridin menjadi Sultan
di Kesultanan Kanoman dengan gelar Sultan Anom Badridin Kartawiaya. Sedangkan
Pangeran Syamsudin menjadi Sultan di Kesultanan Kesepuhan bergelar Sultan
Sepuh Syamsudin Martawijaya.
Adapun Pangeran Wangsakerta diangkat menjadi Panembahan Cirebon yang
tidak memiliki wilayah dan kekuasaan. Beliau membantu Sultan Sepuh Kesepuhan
bergelar Panembahan Tohpati.

Legenda Cirebon
12
Karena terdapat keraton Kesultanan Kanoman, maka kampung di mana
keraton ini berada dikenal dengan Kanoman. Dalam stratifikasi administrasi
pemerintahan Kota Cirebon, Kanoman adalah kampung-kampung yang terdapat
dalam Kelurahan Pekalipan. Kampung-kampung dimaksud adalah Kanoman Utara,
Kanoman Tengah, dan Kanoman Selatan.

Legenda Cirebon
13
6. K E J A W A N A N

Pada zaman Kesunanan Cirebon dipimpin oleh Sunan Gunungjati, datanglah


seorang guru agama beraliran Syiah bernama Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti
Jenar. Kedatangannya ke Cirebon tidak lain ingin menyebarkan aliran Syiah di bumi
Cirebon. Syekh Lemah Abang beranggapan, bahwa penganut Islam di Cirebon masih
banyak melakukan kekeliruan dalam menjalankan ajaran agama. Penyebaran aliran
syiah dimaksudkan agar mereka beribadah sesuai dengan ajaran Islam.
Pada mulanya kegiatan Syekh Lemah Abang berjalan tanpa hambatan yang
berarti. Akan tetapi, karena ajarannya agak berbeda dengan yang difahami
masyarakat, sepak terjangnya mulai merisaukan, terutama ahli-ahli Islam. Terlebih
bagi Sunan Gunungjati yang lebih dahulu menanamkan fondasi Islam bermadzab
sunah wal jamaah, yang berseberangan dengan madzab syiah. Karena sepak
terjangnya kian merisaukan dan Syekh Lemah Abang tidak mau mengubah
pendiriannya, maka akhirnya Sunan Gunungjati memerintahkan menangkapnya
untuk kemudian diadili. Dalam pengadilan akhirnya Syekh Lemah Abang dijatuhi
hukuman mati.
Tatkala Syekh Lemah Abang dimakamkan di daerah Kemlaten, Sunan Cirebon
berfirasat, bahwa makam ini dapat dijadikan tempat pemujaan para pengikutnya.
Mereka akan berziarah ke sana secara berlebihan. Oleh karena itu, Sunan Cirebon ini
memerintahkan secara rahasia agar makam Syekh Siti Jenar secara diam-diam
dipindahkan ke Gunung Sembung disandingkan dengan makam Syekh Datuk Kahfi.
Kemudian di luwatnya dikubur seekor anjing hitam (aswa ireng).
Pada suatu hari datanglah sekitar 900 orang laki-laki pengikut Syekh Siti
Jenar dari Pengging Jawa Timur memohon kepada Sunan Cirebon agar diijinkan
menggali kubur gurunya untuk kemudian dipindahkan ke Pengging Jawa Timur.
Permohonan itu dikabulkan. Saat mereka menggali kubur gurunya, mereka histeris
dan menangis karena ternyata jasad Syekh Siti Jenar tidak ditemukan. Yang mereka
dapati hanya bangkai seekor anjing yang telah membusuk. Sunan Cirebon kemudian
berkata kepada mereka, bahwa mengabdi dan setia kepada seseorang secara
berlebihan akan dikufurkan Tuhan. Yang manusia sembah bukanlah manusia lagi,
tetapi yang utama manusia harus menyembah Tuhan.
“Lagipula kalian datang jauh dari Pengging hanya mau memindahkan makam
guru kalian. Padahal jiwa kalian terancam maut. Karena Sultan Demak, Raden Patah
memerintahkan harus menangkap penganut Syiah murid Syekh Siti Jenar. Sekarang
aku bertanya kepada kalian, apakah kalian mau menyerahkan nyawa kepada tentara
Demak karena kalian dianggap pembangkang?” ucap Sunan Cirebon.
Lalu mereka bersembah dan ingin hidup, pasrah pati jaluk urip kepada Sunan
Cirebon. Kata Sunan Cirebon, “Kalau minta perlindungan kepadaku gampang saja
Kalian tidak akan ditangkap dan diserahkan kepada Demak. Syaratnya kalian harus
melepas aliran Syiah yang kalian anut, dan kembalilah kepada Suni (Sunnah Wal
Jamaah). Kalian akan aku lindungi di Cirebon ini”. Lalu mereka mengikuti apa yang
diperintahkan.
Karena kesediaan itu Sunan Cirebon kemudian mengijinkan mereka tinggal di
Cirebon. Dan karena seorang pejabat wilayah yang berkuasa di sekitar pantai sebelah
timur bersedia menampung mereka, maka ke 900 orang laki-laki yang berasal dari
Jawa itu akhirnya memilih wilayah pantai sebelah timur sebagai tempat tinggal
mereka. Karena menjadi tempat tinggal orang-orang Jawa ini, maka kampung ini
akhirnya dikenal menjadi Kejawanan. Dan Pejabat Wilayah yang berkuasa di daerah
tersebut akhirnya dikenal dengan julukan Pangeran Kejawanan.
Sebenarnya bermukimnya sekitar 900 orang Jawa itu tidak berlangsung
mulus. Pada zaman Panembahan Girilaya, Pangeran Kejawanan kedatangan
Pangeran Tan Kondhur (Panembahan Amangkurat I /Pangeran Tegal Arum), utusan
Mataram, yaitu musuh yang ingin menguasai Cirebon. Pangeran Kejawanan yang

Legenda Cirebon
14
membantu Cirebon agar terhindar dari musibah besar itu mengangkat seorang
Tandha untuk Cirebon, yaitu Pangeran Tandha Prapti, yang kelak menjadi Pangeran
Tandha Moë. Pangeran Tandha Prapti menghadapi Adipati Tan Kodhur dari Mataram
dan berhasil menghalaunya dari Cirebon, sehingga Mataram gagal menguasai
Cirebon.
Setelah wafat, Pangeran Kajawanan dimakamkan di daerah Kejawanan yaitu di
pinggir jalan besar Pegambiran. Saat ini selain nama kampung, Kejawanan juga
dikenal sebagai pelabuhan nelayan. Bahkan dalam masyarakat Cirebon nama
Pelabuhan Kejawanan lebih dikenal ketimbang nama Kampung Kejawanan sendiri.

Legenda Cirebon
15
7. K E S U N E A N

Syahdan, pada awal tahun 1502, Syekh Lemahabang divonis hukuman mati
oleh para wali. Jenazahnya dimakamkan di Kemlaten. Siang malam para pejiarah tak
henti-henti menjiarahi makamnya. Mereka datang dari Cirebon dan berbagai daerah
sekitarnya. Melihat situasi ini, Sunan Gunung Jati memerintahkan makam Syekh
Lemahabang agar digali dan jenazahnya dipindahkan ke Amparan Jati, di samping
makam Syekh Datuk Kahfi. Pemindahan ini dilakukan secara rahasia.
Suatu hari datanglah murid-murid Syekh Lemahabang yang berasal dari
Pengging. Mereka berjumlah sekitar 900 orang, memohon kepada Sunan Gunung Jati
untuk memindahkan jenazah Syekh Lemahabang ke Pengging. Sunan Gunung Jati
mengabulkan permintaan itu. Namun, betapa terkejut, ketika digali jenazah Syekh
Lemahabang tidak ditemukan, yang ada hanya bangkai anjing hitam yang telah
membusuk.
Betapa sedihnya orang-orang Pengging melihat kenyataan ini. Sunan Gunung
Jati kemudian mengumpulkan mereka untuk diberi wejangan. Kepada mereka
dijelaskan bahwa Syekh Lemahabang sudah pergi, lebih baik mereka mendoakan
agar arwah Syekh Lemahabang memperoleh tempat di sisi Tuhan.
Murid-murid Syekh Lemahabang sebenarnya sedang dicari Kerajaan Demak.
Jiwa mereka sedang terancam. Sunan Gunungjati juga menjelaskan bahwa Syekh
Lemahabang beraliran Syiah. Jika murid Syekh Lemahabang melepaskan ajaran itu
dan mengikuti ajaran orang-orang suni, maka mereka tidak akan ditangkap dan
dibunuh orang-orang Demak. Atas wejangan Sunan Gunung Jati, akhirnya mereka
pasrah.
Murid-murid Syekh Lemahabang mengikuti nasihat Sunan Gunung Jati,
mereka menjadi pengikut ajaran suni atau ahlu sunnah waljamaah. Setelah manjadi
pengikut ajaran itu, mereka ditempatkan di suatu kampung. Karena mereka menjadi
pengikut aliran suni, maka kampung yang mereka tempati dikenal dengan nama
kesunean yang berasal dari ke-suni-an. Saat ini Kesunean merupakan kampung yang
termasuk ke dalam Kelurahan Pulasaren, Kecamatan Lemahwungkuk. Selain itu,
nama kesunean yang lebih diperuntukkan bagi nama kampung, juga dikenal sebagai
nama jalan raya yang melintasi kampung itu. Bahkan saat ini jalan Kesunean
merupakan jalan penting, salah satu bagian dari jalan lintas Utara Jawa.

Legenda Cirebon
16
8. LAWANGGADA

Jaman dahulu Kesultanan Kesepuhan dan Kanoman merupakan kerajaan


yang tentam dan damai, sehingga mereka dapat melaksanakan kegiatan kenegaraan
dengan lancar. Salah satu karya yang dapat mereka wujudkan adalah pembangunan
tembok panjang yang membentang dari sekitar rel kereta api terus ke Timur dan di
sebelah Barat Keraton Kacirebonan tembok tersebut membelok ke Selatan dan
berakhir di Sungai Kriyan Tembok tersebut dikenal dengan nama kutha kosod. Selain
untuk pertahanan, kutha kosod juga dibangun sebagai lambang keagungan
kekuasaan raja-raja Cirebon sekaligus alat pemisah antara tempat tinggal bangsawan
yang berada di sebelah Timur tembok dengan rakyat jelata yang berada di sebelah
Barat.
Di ujung kutha kosod sebelah Barat dibangun sepasang patung “Dwarapala”
yang sedang membawa gadha, yang satu di sebelah kanan dan yang satunya lagi di
sebelah kiri jalan, mengapit jalan masuk ke kawasan keraton. Patung ini sengaja
ditempatkan di sini sebagai gerbang kawasan keraton. Dengan berdirinya patung ini
diharapkan keagungan Kerajaan Kesepuhan dapat lebih terangkat.
Dalam perjalanan waktu, seiring dengan semakin intensifnya campur tangan
Belanda dalam pemerintahan kerajaan-kerajaan itu, ketentraman dan kedamaian
yang telah lama mereka nikmati menjadi semakin pudar. Mereka menjadi tidak
leluasa melaksanakan roda pemerintahan seperti yang diwariskan pendahulunya.
Raja yang dianggap tidak loyal kepada Belanda diasingkan atau dibuang dan diganti
dengan yang patuh. Sementara itu, untuk mengawasi kegiatan para raja yang
mungkin akan melakukan perlawanan, Belanda membangun pos-pos pengawasan
atau menempatkan orang-orangnya di tempat sekitar kawasan keraton.
Campur tangan Belanda semakin jauh, pada tahun 1800-an mereka meminta
kerajaan untuk merelakan patung yang berfungsi sebagai pintu gerbang ke kawasan
keraton dihancurkan. Tidak hanya itu, kuthakosod di sebelah barat yang memiliki
banyak fungsi pun diminta dihancurkan. Permintaan penghancuran ini terkait
dengan pembangunan rel kereta api yang sedang digalakkan di Pulau Jawa. Pihak
Belanda meminta patung tersebut dirobohkan karena tempat di mana patung itu
berada termasuk daerah lintasan rel kereta api. Sementara sebagian tembok juga
perlu dirobohkan karena orang Belanda memperkirakan, bahwa getaran kereta api
lewat akan merobohkan tembok itu. Permintaan ini tidak dapat ditolak, akhirnya
patung dan sebagian tembok pun dihancurkan.
Untuk mengenang patung dan tembok yang pernah menjadi kebanggaan masa
kejayaan kerajaan dahulu itu, rakyat menamai Lawanggada untuk sebagian jalan
yang pada masa lalu merupakan merupakan jalan utama antara pintu gerbang
dengan keraton. Lawanggada sendiri berasal dari kata lawang yang berarti gerbang
dan gadha menunjuk pada bagian dari patung yang dihancurkan. Sebagian tembok
yang tersisa saat ini masih dapat kita lihat, yakni yang membentang dari utara ke
selatan yang dikenal dengan khutagara, tepatnya membentang di sebelah barat Jalan
Pegajahan Utara dan Jalan Pegajahan Selatan.

Legenda Cirebon
17
9. P A N J U N A N

Pada tahun 1464 M mendaratlah Syarif Abdurrahman dengan sekitar 1200


orang pengikut di Pelabuhan Cirebon, termasuk tiga adiknya, yaitu Syarif
Abdurrahim, Syarif Kafi dan Syarifah Baghdad. Keempatnya adalah putra Sultan
Sulaeman dari Bagdad (Irak) yang berniat berguru kepada Syekh Nurul Jati di
Gunung Jati Cirebon.
Mereka kemudian memohon ijin menetap di Cirebon kepada Syekh Nurul Jati
dan Mbah Kuwu Cirebon. Permohonan ini dikabulkan. Di tempat ini beliau bersama
pengikutnya membangun mesjid yang di kemudian hari digunakan berdakwah agama
Islam. Di samping itu beliau juga membangun sebuah taman lelangu (taman untuk
istirahat) untuk memandang panorama Gunung Ciremai. Tempat ini disebut Plangon
yang berada di luar Kota Cirebon, dan di sini pula beliau dikebumikan.
Syahdan pada suatu
hari para murid berkumpul
menghadap Ki Kuwu. Mereka
adalah Pangeran Panjunan,
Pangeran Kejaksan, Syekh
Datuk Kahfi, Syekh
Majagung, Syekh Maghribi
dan para Gegedeng. Ki Kuwu
berkata, “Sekarang Rama
memasrahkan putri saya
Ratna Pakungwati dan
keratonnya berikut seluruh
wilayah Cirebon yang dapat
bebayaksa Sri Rama pribadi,
terimalah semuanya, semoga
Putra menjabat sebagai Nata Cirebon memangku Keraton Pakungwati”. Jeng Maulana
menerima menurut kehendak Rama Uwa.
Berkata Pangeran Panjunan, “Pula Si Raka (kakak) menyerahkan adik Siti
Bagdad serombongannya berikut Dukuh Panjunan serakyatnya, hanya semoga
rakyat Panjunan diberi tanah untuk penghidupannya (tanah liat untuk membuat
gerabah) seturunannya, oleh karena si Raka akan pergi bertapa”.
Oleh masyarakat setempat tanah pemberian Pangeran Panjunan ini kemudian
dibuat gerabah. Dan karena kegiatan pembuatan gerabah tersebut, mulai saat itu
kampung ini dinamakan Panjunan yang berarti tempat pembuatan gerabah dari
tanah liat. Dalam susunan Pemerintahan Kota Cirebon, Panjunan merupakan
kelurahan yang termasuk dalam Kecamatan Lemahwungkuk.

Legenda Cirebon
18
10. P A S U K E T A N

Sejak Benteng de Besehermingh berdiri, orang Belanda semakin banyak yang


menapakkan kaki di Cirebon. Namun demikian, kehidupan mereka tidak berjalan
mulus. Mereka kerap mendapat serangan penduduk yang mulai tidak senang dengan
kehadiran mereka di bumi Grage. Mereka mengganggap orang Belanda sebagai orang
kafir yang perlu diperangi. Dan karena serangan-serangan ini mereka belum dapat
tinggal di luar kawasan pelabuhan. Hal ini disebabkan kawasan ini terjamin
keamanannya karena benteng de Beschermingh terdapat di sini.
Secara keseluruhan, pemberontakan memerangi orang-orang yang dianggap kafir
itu berlangsung sekitar 10 tahun (1808–1818). Dan salah satu kejadian besar yang
diakibatkan pemberontakan
ini adalah Benteng de
Besehermingh yang dibangun
pada tahun 1686 dan yang
lokasinya dahulu di sebelah
belakang Bank Eskomto
(sekarang menjadi Bank
Mandiri) hancur akibat
serangan besar-besaran.
Karena keberadaan benteng
tersebut, saat ini jalan yang
melintas di tempat itu
dinamakan jalan Benteng.
Setelah benteng de
Besehermingh hancur dan
pemberontakan yang telah berlangsung sekitar 10 tahun itu mulai dapat
dipadamkan, orang-orang Belanda mulai berpikir untuk membangun kembali rumah-
rumah mereka. Kini mereka mulai berani tinggal di luar kawasan pelabuhan. Namun
karena kepentingan dagang, tempat tinggal yang mereka pilih tidak dapat jauh dari
kawasan pelabuhan. Tempat baru yang mereka pilih adalah di kawasan yang
sekarang berada di sebelah barat bekas bioskop Abadi Murni, sebelah Cirebon Mall
yang sebenarnya ada di gerbang pelabuhan.
Seiring dengan berdirinya rumah-rumah orang Belanda, Staadsgemeente van
Cheribon mendirikan pasar. Pasar sengaja didirikan terutama untuk memenuhi
kebutuhan hidup orang Belanda yang bermukim di tempat baru. Dan karena
perumahan di sini semakin banyak, maka tidak mengherankan jika pasar yang
dibangun berkembang dengan pesat.
Seiring dengan perkembangan pasar, semakin banyak pula delman (kendaraan
berkuda) berlalu lalang. Pada masa itu delman adalah alat angkutan yang sangat
penting, baik untuk mengangkut barang dagangan maupun manusia. Camat dan
serdadu Marsose pun menggunakan kuda dalam menjalankan tugasnya.
Karena ramainya kendaraan berkuda, maka di sekitar pasar didirikan tempat
penambatan kuda. Dengan demikian, di pasar tersebut terdapat “terminal” kuda.
Selain itu, penggede Belanda kadang-kadang mengistalkan kereta kuda mereka di
sana. Karena ada istal kereta kuda, maka tidak mengherankan jika tempat ini
menyerupai gedogan jaran.
Kawasan ini kelihatan bersih dan indah karena ditanami pohon asam, mangga
dan palem. Di tempat ini juga diperjualbelikan rumput untuk makanan kuda. Karena
banyaknya rumput yang disediakan, akhirnya penduduk mengenal tempat tersebut,
tepatnya jalan besar yang membentang dari arah pelabuhan ke Barat, dengan nama
pasuketan. Kata pasuketan berasal dari kata suket yang berarti rumput.

Legenda Cirebon
19
11. P E K A L I P A N

Setelah Pangeran Badridin ditemukan, dia segera dinobatkan sebagai penguasa


Cirebon. Penobatan Sultan Badridin juga diikuti perubahan istilah sistem
pemerintahan, yang semula kerajaan dirubah menjadi kesultanan. Begitu pun
sebutan untuk pucuk pimpinan, dari raja dirubah menjadi sultan. Dengan demikian,
Pangeran Badridin mendapat julukan Sultan Badridin.
Penobatan ini tidak dapat dilepaskan dari upaya Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan
Banten pada waktu itu, yang dengan gigih mencari keturunannya yang pernah
berkuasa di Bumi Grage dan menghendaki mereka dapat mengisi kekosongan
kepimpinan pemerintahan di Cirebon.
Namun kondisi ini tidak berlangsung lama. Berselang 2 tahun, Pangeran
Syamsudin, kakak kandung Pangeran Badridin juga ditemukan. Dan kemudian
dinobatkan juga sebagai Sultan Cirebon. Oleh karena itu, Cirebon kemudian dibagi 2
wilayah, yaitu wilayah yang dikuasai Pangeran Badridin dan yang dikuasai oleh
Sultan Syamsudin. Wilayah kekuasaan Pangeran Badridin dikenal dengan nama
Kesultanan Kanoman dan Pangeran Badridin bergelar Sultan Anom. Sementara
wilayah yang diperuntukkan bagi Pangeran Syamsudin kemudian dikenal dengan
nama Kesultanan Kesepuhan, dan Pangeran Syamsudin bergelar Sultan Sepuh
Syamsudin Martawijaya.
Saat Keraton Kanoman didirikan, rakyat berdatangan untuk menunjukkan
bakti kepada rajanya. Rakyat yang datang ini diantaranya berasal sekitar istana.
Kelompok ini dikenal dengan sebutan abdi dalem atau magersari. Para abdi dalam ini
di antaranya bertugas sebagai pembuat gamelan. Dan setiap ada upacara di keraton,
para magersari inilah yang berperan. Upacara-upacara keraton ini di antaranya
adalah Muludan, Rajaban dan Ruwahan.
Selain dari sekitar keraton, banyak pula rakyat yang datang dari tempat yang
jauh. Mereka datang bukan saja dari wilayah eks Karesidenan Cirebon, namun dari
wilayah lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan luar Jawa. Bahkan ada
pula yang berasal dari mancanegara. Berbeda dengan kelompok magersari, kelompok
ini hanya datang untuk mengikuti kegiatan-kegiatan istana tanpa terlibat dalam
penyelenggaraannya.
Pada suatu saat datanglah Syekh Maulana Maghribi ke Kesultanan Kanoman.
Di sini ia banyak menghabiskan waktu untuk kegiatan keagamaan, terutama syiar
Islam. Karena sudah menganggap Kanoman sebagai bagian dari hidupnya, Syekh
Maulana Maghribi menjalani masa tua di Cirebon. Ketika meninggal, jasadnya pun
dikuburkan di Cirebon.
Dalam kehidupan Keraton Kanoman mereka yang datang ke Keraton Kanoman
baik yang terlibat dalam penyelenggaraan atau hanya sekedar mengikuti kegiatan
kekeratonan, melekat istilah kafilah. Karena para kafilah itu ditempatkan di suatu
kampung dalam lingkungan Keraton Kanoman lambat laun tempat ini dikenal
dengan nama Pekalipan yang berasal dari kata pe-kafilah-an.
Saat ini Pekalipan yang berasal dari kata kafilah yang digunakan untuk nama
tempat dimana Keraton Kanoman berada menunjuk kepada nama Kelurahan
Pekalipan, dan wilayah kecamatannya pun menggunakan nama yang sama,
Kecamatan Pekalipan.

Legenda Cirebon
20
12. PESANTREN

Sebelum jaman Jepang, Kampung Pesantren masih merupakan hutan dan


semak belukar. Ular dan kera masih berkeliaran di antara semak-semak dan
pepohonan yang tinggi menjulang. Pada masa itu belum ada pemukiman.
Pada jaman Jepang datanglah serombongan penduduk Cibogo, kampung yang
tidak jauh letaknya dari tempat baru ini. Kedatangan mereka adalah untuk
mendapatkan lahan bercocok tanam baru yang lebih subur. Pada awal
pembukaannya, kampung itu hanya dimukimi 5 rumah.
Tidak lama kemudian datanglah Kyai Muqoyim dari Banten yang bermaksud
menyebarkan agama Islam. Dia juga bermukim di kampung baru ini dan selanjutnya
mendirikan pesantren.
Kiai Muqoyim tidak pernah diam. Ia selalu kesana kemari sambil membawa
ketel dan parang untuk membabat pohon dan semak belukar. Karena bentuk tubuh
yang gagah dan selalu kesana kemari, warga setempat menjulukinya Ki Gagareto
(gaga = gagah, reto = selalu kesana-kemari dengan membawa ketel dan parang).
Dalam membangun tempat belajar para santri itu, yang pertama dilakukan Ki
Gagareto adalah membangun mushola (langgar). Lahan yang dipilihnya adalah
tempat yang sekarang dinamai Kebon Kelapa. Tempat ini dekat sungai dimana para
santri dan jamaah musholla mengambil wudlu. Sejak didirikan mushola akhirnya
perkampungan ini dinamai Pesantren. Sementara sungai yang mengalir di sekitar
mushola dinamai Kedungsantri.
Seiring perjalanan waktu, kampung baru terus berkembang, penghuninya pun
semakin banyak, baik karena kelahiran maupun perpindahan.
Setelah Ki Gagareto wafat dan dikuburkan di sekitar mushola, kegiatan
keagamaan terhenti. Kevakuman ini mungkin disebabkan karena dia tidak
berketurunan dan diantara santrinya tidak melanjutkan kegiatan keagamaan yang
sudah dirintis guru mereka. Nemun demikian, hingga sekarang kampung ini masih
dikenal dengan nama Kampung Pesantren.
Kegiatan keagamaan di Kampung Pesantren menggeliat kembali pada tahun
1980-an. Kegairahan ini diprakarsai oleh Ki Mukri anak Mama Sail bin Raban
dengan mendirikan Masjid Al Baroqah pada tahun 1985. Masjid ini dibangun di atas
tanah wakap milik Ki Mukri dengan biaya swadaya masyarakat. Dengan dibangunnya
masjid ini maka kegiatan keagamaan yang semula dilakukan di mushola yang
didirikan oleh Ki Gagareto kemudian dipindahkan ke Masjid Al Baroqah.
Ki Mukri yang menganut aliran sunnah waljamaah memiliki murid 80 orang.
Sebagian besar murid Ki Mukri adalah fakir miskin. Enam puluh dari delapan puluh
muridnya adalah janda, sedangkan sisanya adalah bapak-bapak. Pada hari minggu
kegiatan keagamaan di mesjid ini lebih ramai daripada hari-hari biasa. Para jamaah
mesjid ini ternyata bukan dari kampung Pesantren saja, namun datang juga dari luar
kampung.
Kini Kampung Pesantren termasuk ke dalam Kelurahan Kalijaga Kecamatan
Harjamukti, Kota Cirebon. Dalam kedudukannya dalam Kelurahan Kalijaga kampung
Pesantren adalah RW, yakni RW 2 dan terdiri dari 7 RT.

Legenda Cirebon
21
CERITA RAKYAT
TENTANG TOKOH - TOKOH CIREBON

1. NYI MAS RATU PAKUNGWATI

Secara etimologis, Pakungwati berasal dari kata pakung dan wati. Pakung
berarti udang, wati berarti perempuan. Jadi, Pakungwati dapat diartikan udang
perempuan. Tetapi ada juga yang menerangkan, bahwa Pakungwati adalah udang
pemimpin atau bisa pula pemimpin udang.
Menurut sejarah Cirebon, Nyi Mas Ratu Pakungwati adalah anak Pangeran
Cakrabuwana atau Tumenggung Sri Mangana, yang kemudian disunting oleh Sunan
Cerbon, Syekh Syarif Hidayatullah. Ibunya bernama Nyi Indang Ayu atau biasa pula
dipanggil Indang Geulis, anak Resi Ki Danu Warsih dari pertapaan Gunung Maraapi.
Oleh Sri Mangana nama Pakungwati kemudian dijadikan nama Keraton Cirebon
takkala dia menjabat Tumenggung Cirebon Pertama. Dalam Purwaka Caruban Nagari
disebutkan, bahwa Nyi Mas Ratu Pakungwati bersahabat dengan Nyi Mas Kadilangu
(adik Sunan Kalijaga) dan dua perempuan Cirebon keturunan Arab yang tak
disebutkan namanya. Namun demikian, dalam tulisan ini kiprah Nyi Mas Pakungwati
akan diceritakan sebagaimana tuturan legenda atau cerita rakyat, yang belum tentu
bermakna sejarah.
Dalam legenda diceritakan, bahwa Nyi Mas Ratu Pakungwati adalah buah hati
masyarakat Cirebon. Pengidolaan ini bukan hanya karena ia anak Sri Mangana,
Tumenggung Pertama di Cirebon, atau istri orang nomor satu di Cirebon yang
solehah, tetapi juga karena ia seorang perempuan cantik rupa dan elok budi serta
berbakti kepada suami.
Diceritakan, pada suatu waktu di Cirebon atau tepatnya di Mesjid Agung Sang
Ciptarasa terjadi musibah dan kemelut besar. Para jamaah sholat di mesjid itu
diganggu dan mandapat ancaman yang mematikan dari seorang pemuda asing dan
sakti mandraguna yang mencoba mengganggu keimanan umat muslim. Pemuda ini
amat jail terhadap santri dan jamaah yang selalu memakmurkan Mesjid Sang
Ciptarasa. Pemuda itu dijuluki Satria Menjangan Wulung. Ia sakti mandraguna. Ia
memiliki racun mematikan luar biasa, siapa pun yang menghirup aroma racunnya
akan lunglai. Oleh karena kesaktiannya ini ia menjadi takabur dan sombong, bahkan
berani sesumbar dan menantang Sunan Cerbon : “Ayo, siapa berani menghadapi
kesaktianku ini akan mati!” Kesaktian yang dahsyat itu dijadikannya alat
pembunuh. Tentu saja Mesjid Sang Ciptarasa menjadi sepi, karena jamaahnya
menjadi ketakutan.
Pada suatu hari Menjangan Wulung menaiki atap mesjid dan nongkrong di
memolo mesjid (ratna mesjid), lalu ia sesumbar sambil tertawa terbahak-bahak :
“Mana Sunan Cerbon yang katanya digjaya dan tak terkalahkan. Inilah orang yang
akan mengalahkannya,”.
Menghadapi musibah dan kemelut yang tak beralasan ini Sunan Cerbon
bersikap waspada. Ia selalu berhalwat, mencari petunjuk yang baik kepada Tuhan
Yang Maha Esa untuk menghadapi musuh yang sulit diduga ujung pangkalnya.
Singkat cerita, Sinuhun atau Sunan Cerbon memperoleh petunjuk untuk
mengatasi musibah ini. Akan tetapi petunjuk itu merupakan kerugian besar bagi
dirinya karena dia harus mengorbankan buah hatinya. Dia harus mengorbankan Nyi
Mas Ratu Pakungwati sebagai tumbal. Tidak hanya itu, untuk menanggulangi
musibah dan kemelut yang tidak ringan itu mereka juga harus mengorbankan salah
seorang sahabat istrinya, yaitu Nyi Mas Kadilangu.
Sunan Cerbon mendiskusikan penanggulangan masalah ini dengan wali-wali
yang lain. Pertemuan para wali pun segera berlangsung. Pada kesempatan itu Sunan

Legenda Cirebon
22
Kalijaga berujar kepada Sunan Cerbon, “Duhai Sinuhun Cerbon aku relakan adikku
si Kadilangu menjadi tumbal keganasan malapetaka ini. Dan aku mendukung
kebijaksanaan yang diputuskan Sinuhun”.
Mendengar jawaban Sunan Kalijaga yang demikian itu lalu ia memutuskan agar
kepada seluruh para wali, pejabat tinggi di Cirebon dan semua umat Islam
berkumpul di Mesjid Sang Ciptarasa untuk berhalwat dan berdzikir bersama mulai
lepas Isya sampai menjelang Subuh. Nyi Mas Ratu Pakungwati dan Nyi Mas
Kadilangu pun harus hadir di sana.
Diceritakan, Mesjid Sang Ciptarasa kala itu penuh sesak oleh jamaah. Maka
berlangsunglah shalat Isa berjamaah dan dilanjutkan dengan dzikir semalam suntuk.
Tentu saja Mesjid Sang Ciptarasa menjadi bergema dengan suara dzikir sampai
menjelang subuh.
Kala suara adzan subuh yang dikumandangkan 7 orang (adzan pitu) dengan
alunan suara yang amat merona hati itu berakhir, meledaklah memolo mesjid agung
terbang menuju arah barat. Tubuh Menjangan Wulung satria Megananda pun hancur
berkeping-keping dan racunnya beterbangan ke angkasa. Bersamaan dengan itu, Nyi
Mas Ratu Pakungwati dan Nyi Mas Kadilangu gugur dalam posisi sujud. Jenazah Nyi
Mas Ratu Pakungwati dan Nyi Mas Kadilangu pun kemudian dimakamkan di sana,
di komplek Mesjid Agung Sang Ciptarasa (sekarang kedua makam itu tak ditemukan
lagi). Masyarakat Cirebon percaya, bahwa memolo yang terbang itu mendarat di
memolo Mesjid Agung Banten.
Setelah ledakan itu, maka Mesjid Agung Sang Ciptarasa pun menjadi makmur
kembali, setiap solat wajib selalu penuh jemaah. Apalagi pada waktu shalat Jum’at.
Itulah akhir cerita legenda masyarakat Cirebon ini.
Wallahu alam bissyawab!

Legenda Cirebon
23
2. NYI MAS GANDASARI

Pada abad ke-16 Masehi, di Desa Selapandan berdiri sebuah pesantren putri
dengan Ki Ageng Selapandan sebagai sesepuhnya sekaligus guru bagi para santri-
santri di sana. Dia dibantu oleh kemenakannya, yakni Syarif Hidayatullah, salah
seorang Wali Sanga di tanah Jawa. Diantara para santri itu, ada salah seorang santri
yang cantik rupawan berilmu tinggi. Dia anak seorang bangsawan dari Kesultanan
Basem Paseh. Namun karena sejak kecil dititipkan dan dipelihara oleh Ki Ageng
Selapandan, sehingga sudah dianggap sebagai anaknya sendiri.
Karena kecantikan putri itu, pesantren Selapanda terkenal dimana-mana.
Banyak para pemuda, para bangsawan dari segala penjuru negeri ingin
meminangnya untuk dijadikan istri. Putri cantik itu tak lain adalah Nyi Mas
Gandasari. Dia adalah putri Sultan Hud dari Kesultanan Basem Paseh. Ia berguru
dan diangkat anak oleh Ki Ageng Selapandan yang merupakan nama lain dari
Pangeran Cakrabuana.
Karena banyak ksatria dan bangsawan yang ingin melamarnya, akhirnya Nyi
Mas Gandasari menyatakan, “Aku tidak mau diperistri oleh sembarang lelaki, apalagi
seseorang yang tidak memiliki ilmu bela diri, tanggungjawab dan sanggup melindungi
negeri ini dari gangguan musuh”. Ki Ageng Selapandan tercenung sejenak atas
pernyataan putri angkatnya, ia mencoba memaknai apa yang tersirat dari ucapan
murid kesayangannya itu. Kemudian telapak tangannya menengadah ke atas,
memohon Sang Pencipta memberikan keputusan yang bijak atas permintaan
putrinya tersebut.
Dari banyak para pelamar, satu persatu harus tanding dulu dan sanggup
mengalahkan dirinya, maka dialah yang akan berhak menjadi suaminya. Namun
hampir tak ada yang sanggup menandingi kesaktian Nyi Mas Gandasari. Akan
tetapi, dari sekian banyak pria yang datang ke sayembara ternyata ada seorang
pemuda asing yang hendak turut menantang Nyi Mas Gandasari. Pemuda asing
tersebut adalah Pangeran Soka yang datang dari Yaman.
Pangeran Soka mempunyai keahlian bela diri yang cukup tinggi, serta
mempunyai kesaktian yang terletak pada rambutnya. Oleh karena rambut saktinya,
beliau dikenal juga dengan nama Syekh Magelung Sakti. Beliau datang dari Yaman
untuk menemui seseorang yang dapat memotong rambutnya. Dan kemudian
diketahui, bahwa orang yang dapat memotong rambutnya itu adalah Syarif
Hidayatullah. Dalam pencarian ini tanpa disengaja dia masuk dalam gelanggang
sayembara. Karena berilmu sangat tinggi, maka diapun mampu menandingi
kesaktian Nyi Mas Gandasari.
Pertempuran antara Nyi Mas Gandasari dan Pangeran Soka berlangsung seru
dan begitu hebatnya. Bahkan Nyi Mas Gandasari hampir dapat dikalahkan. Akan
tetapi, Nyi Mas Gandasari kemudian lari dan bersembunyi di belakang Syarif
Hidayatullah. Pertempuran pun berakhir tanpa kemenangan; Syarif Hidayatullah
melerai mereka. Syarif Hidayatullah lalu berujar, “Kita harus ingat, kalau jodoh,
kematian dan rejeki itu adalah kehendak Yang Maha Kuasa”.

Legenda Cirebon
24
3. SYARIF DURAKHMAN

Syarif Durakhman, putera Adipati Tuban itu amat tergila-gila dengan segala
ilmu. Dia pun rela membayar 2.000 dinar kepada seorang kakek tua yang akan
mengajarinya ilmu dan sekaligus akan menjadi gurunya.
Panda suatu hari Syarif Durakhman diperintahkan gurunya untuk berkelana
dengan berbekal wejangan yang harus diamalkan. Wejangan itu adalah :
1. Ana deleng den deleng, ana rungu den rungu lan yen ana rusiyah aja den buka.
(Yang tampak cukup dilihat, bunyi cukup didengar, dan apabila ada rahasia
janganlah dibuka);
2. Rejeki najan cilik aja den tampik. (Rejeki bagaimana pun kecilnya janganlah
ditolak);
3. Rabi ayu aja gancang sinareyan. (Memperoleh isteri cantik jangan segera
ditiduri).
Syarif Durakhman kemudian diberi sepotong baju “tambalan” yang jika
dikenakan akan membuatnya mampu terbang ke angkasa, tidak basah terkena air
dan tidak terbakar terkena api. Pengembaraan ini mengantarkan Syarif Durakhman
ke negara Ngurawan, dan dia kemudian mengabdikan dirinya kepada sang Prabu
Sukadana. Di sana dia hanya menjadi “panakawan” dengan mengaku dirinya
bernama Doblang. Walau demikian, ia sudah bagaikan kerabat dekat sang prabu.
Prabu Sukadana adalah raja yang suka bersenang-senang. Salah satu
kesenangannya adalah berburu. Dia memiliki padang perburuan yang bukan saja
luas dan lengkap dengan segala khewan buruan, tetapi ia pun melengkapi padang
perburuannya itu dengan pesanggrahan-pesanggrahan yang cukup mewah dan indah
di tengah-tengah.
Karena kesukaannya yang amat berlebihan itu akibatnya Sang Prabu tidak
begitu memperhatikan keadaan permaisurinya. Sang putri yang bernama Sri Gading
yang cantik itu sering merasa kesepian. Apabila sang prabu pergi berburu dan kali ini
merupakan perburuan yang paling besar dan tentu akan memakan waktu lama,
maka tidak ketinggalan paman Doblang pun turut serta dalam perburuan itu.
Sampai di padang perburuan sang prabu teringat, tongkat “tempelak” yang
berkhasiat mampu melumpuhkan seluruh khewan, tertinggal di puri. Oleh karena
itu, Doblang segera diperintahkan untuk mengambilnya. Doblang pun mematuhi
perintah sang prabu. Agar cepat sampai ke kerajaan, Doblang mengenakan baju
tambalnya lalu terbanglah ke angkasa.
Sampai di puri Doblang langsung saja masuk ke puri sang prabu, sebab
merasa dirinya sudah menjadi kerabat keraton yang tak asing lagi. Akan tetapi ia
harus menahan kegugupan dan keterkejutan ketika menyaksikan sang permaisuri
sedang berkasih-kasihan di kasur sarinya dengan seorang pemuda yang ia kenal
benar. Pemuda itu adalah Raden Jaka Taruna anak Adipati Jodipati, Kerajaan
Ngurawan. Syarif Durakhman senantiasa ingat kepada wejangan gurunya, ia tahu
benar bahwa kejadian ini adalah satu rahasia yang harus ia tutup rapat. Oleh karena
itu, ia langsung mengambil tongkat khasiat sang prabu, kemudian pergi lagi. Akan
tetapi, ia tidak sadar bahwa dirinya telah membuat suatu kesalahan.
Tentu saja dua insan yang tengah memadu kasih itu tidak saja terkejut, tetapi
juga malu bercampur marah. Terlebih Sri Gading malu tak terkirakan dan timbullah
amarahnya, sebab Doblang dianggap telah berbuat kurang ajar. Masuk puri tanpa
memberi tahu terlebih dahulu. Doblang didamprat habis-habisan. Namun Doblang
tidak ambil peduli, dia langsung kembali ke medan perburuan.
Sementara itu betapa heran seluruh yang ada di hutan perburuan, karena tiba-
tiba sang putri datang tanpa pengawalan seorang prajurit pun. Sang putri langsung
menghamburkan dirinya ke haribaan sang prabu sambil meratap, memohon agar
sang prabu menghukum mati Doblang.

Legenda Cirebon
25
Tentu saja sang prabu tidak mengerti. Sambil menangis manja kemudian sang
putri pun menceritakan segalanya. Diceritakan, bahwa si Doblang telah berbuat
kurang ajar. Ia bermaksud memperkosanya. Berkata begitu sang putri sambil
memperlihatkan busananya yang telah robek-robek. Padahal busana itu telah
dirobek-robeknya sendiri.
Sang prabu sebenarnya tidak mempercayai cerita itu, ia hanya mengangguk-
anggukan kepalanya. Kemudian ia segera menulis sepucuk surat yang ditujukan
kepada Jodipati. Isi surat itu kurang lebih demikian :
“Pembawa surat ini segera dihukum pancung. Apabila tidak mampu
melaksanakan hukuman itu, Jodipati akan dipancung sebagai gantinya”.

Setelah surat itu distempel lalu digulung rapat-rapat, kemudian Sang Prabu
memerintahkan Doblang untuk menyerahkan surat itu kepada yang dituju.
Dalam perjalanan, Doblang terpaksa harus menuruti ajakan anak-anak
gembala yang sedang mengadakan slametan “bancakan”, karena ada seekor kerbau
betina baru saja beranak. “Biarlah mengantar suratnya ditunda dulu,” begitu pikir
Syarif Durakhman sambil menyisipkan lipatan surat itu pada ikat kepalanya, lalu
segera menyantap “bancakan” dengan amat lahap. Dia senantiasa ingat, bahwa inilah
rejeki yang tidak patut ditolak.
Sedang enak-enaknya menyantap bancakan, tiba-tiba Raden Jaka Taruna
datang sambil marah. “Menduakan perintah raja adalah perbuatan biadab. Biarlah
kamu tetap di sini, dasar orang dusun. Biasa kurang makan! Dasar anjing kurapan,
ada bangkai di jalan pun dilahap!”, demikian ucapan Raden Jaka Taruna sambil
merebut lipatan surat yang terselip di ikat kepala Doblang.
Di pendopo kadipaten, beberapa perwira kerajaan tengah menghadap Jodipati
membicarakan kesiagaan keamanan kerajaan berkenaan sang prabu tidak ada di
tempat. Wajah Jodipati sedikit murung, kadang-kadang ia resah. Sebentar-sebentar
menarik nafas panjang. Pikirannya masih terpaut pada impian semalam yang
ditakwilkan sebagai “impian buruk”.
Tidak lama datanglah putranya, Raden Jaka Taruna, dengan wajah cerah
sambil menunjukkan sepucuk surat dari sang prabu. Gayanya menunjukkan, bahwa
dirinya paling dipercaya sang prabu dalam segala hal.
Jodipati sangat terkejut membaca surat sang prabu. Hampir-hampir tidak
percaya pada isi surat itu. Bumi terasa goncang, berdiri pun ia kuat-kuatkan. Akan
tetapi, ia menyadari bahwa perintah sang prabu harus dilaksanakan kendati harus
kehilangan putera kesayangannya. Dia segera memerintahkan algojo untuk
mempersiapkan upacara hukum pancung di alun-alun di dekat weringin kurung.
Selesai upacara hukum pancung, Syarif Durakhman datang sambil berlagak
diperintah raja mengambil kepala Raden Jaka Taruna yang telah terpisah dari
badannya. Tentu saja Jodipati segera menyerahkan kepala puteranya sambil berujar,
“Katakan kepada raja, aku sudah melaksanakan perintah beliau.”
Di pesanggrahan hutan perburuan sang prabu dengan permaisurinya tengah
bercengkarama dengan mesra. Doblang datang sambil menyerahkan kepala. Sang
permaisuri terkejut bukan kepalang dan jatuh pingsan melihat potongan kepala
kekasih gelapnya. Dengan berat hati sang prabu kemudian mengusir Doblang dengan
halus. Doblang disuruhnya pergi ke negara Girilawungan.
Dalam perjalanan menuju Girilawungan, Syarif Durakhman mengkaji seluruh
pengalaman pahit dan manis selama pengabdiannya di negara Ngurawan. Semua itu
berkat wejangan gurunya. Ia kini semakin mantap bahwa perjalanan hidupnya
semata-mata kehendak Sang Khalik. Dan dengan demikian ia ingin lebih dalam lagi
mencari keunikan dunia ini.
Syarif Durakhman tersesat. Ia heran melihat di sekitarnya banyak makam yang
bagus. Makam-makam itu nampak terpelihara. Terlebih heran lagi makam-makam

Legenda Cirebon
26
itu seluruhnya tampak baru. Dalam kebingungan, Syarif Durakhman amat terkejut
ketika tiba-tiba prajurit mengepung dirinya dari berbagai penjuru.
Setelah mengadakan perlawanan akhirnya ia tertangkap, karena prajurit-
pa\rajurit perempuan itu memang bukan prajurit sembarangan. Syarif Durakhman
diserahkan kepada raja putri. Dan secara tidak sengaja Syarif Durakhman ternyata
telah sampai di kerajaan Girilawungan.
Kerajaan Girilawungan ini diperintah oleh raja putri yang amat cantik,
membuat para lelaki yang melihatnya akan terpesona. Disamping kecantikannya ia
juga memiliki kesaktian yang amat membahayakan bagi lelaki yang berkeinginan
menyuntingnya. Selama ini sang raja putri telah melakukan perkawinan 99 kali dan
seluruhnya berakhir dengan kematian suami-suaminya itu. Raja putri di
Girilawungan ternyata memiliki seekor kelabang beracun ganas yang ia simpan di
dalam organ kewanitaannya. Tidak heran apabila lelaki yang menggaulinya akan mati
karena sengatan beracun kelabang itu. Sampai-sampai ada ketentuan di kerajaan
itu, “Bagi lelaki yang hadir di lingkungan keraton akan dijadikan suaminya”.
Syarif Durakhman akan dinikahkan dengan raja itu, dan apabila mati berarti
Syarif Durakhman akan merupakan korban yang ke-100. Oleh karena itu ia bertekad
tidak akan segera menggauli raja (isterinya) sesuai dengan wejangan gurunya. Tiap
malam, setiap sang putri mengajak naik ke peraduan, Syarif Durakhman selalu saja
ada akal untuk mengalihkan kepekaan sang raja. Ia dengan amat pandai
mendongeng apa saja untuk menarik raja sampai jauh malam hingga tertidur.
Pada malam yang ke-40 sang raja sangat terangsang birahinya, namun Syarif
Durakhman selalu saja mampu meredamnya, hingga sang putri tertidur lelap dengan
busana tersingkap karena lelahnya.
Dalam keheningan malam Syarif Durakhman yang masih terjaga itu mendengar
suara mendesis-desis. Suara desis itu ternyata bersumber dari organ kewanitaan
raja. Baru saja Syarif menyadari desisan, ternyata sang kelabang telah
menyerangnya.
Akan tetapi Syarif Durakhman amatlah tangkas. Kelabang itu ia sambut dengan
kain ikat kepala, lalu dibantingkan sekuat tenaga. Ajaib, kelabang itu menghilang.
Yang ada hanya sebilah keris “kala munyeng” dan segera keris itu di”wangking”kan.
Sinarnya merah kebiru-biruan.
Sang putri terbangun dan langsung menjatuhkan dirinya dan berlutut di bawah
kaki Syarif Durakhman sambil meratap sedih, “Duhai kakanda suami hamba
tercinta. Kakandalah suami junjungan hamba sejati. Hamba senantiasa setia dan
mengabdi. Bawalah hamba kemana kanda pergi.”
Mendengar ratap sang raja, Syarif Durakhman segera merangkul dan
mengangkat tubuhnya yang masih berlutut itu. Dia pun mengajaknya ke peraduan.
Disusukannya di kasur sarinya, lalu ujarnya, ”Dinda, sesungguhnya kanda amat
mencintaimu. Oleh karena itulah kanda selama itu tidak berani mengusikmu. Kanda
berbuat demikian karena menyadari, betapa berat dan takutnya meninggalkan
seorang istri seperti dinda ini.”
“Mengapa begitu?” sela istrinya.
“Ketahuilah dinda, kanda sebenarnya harus meninggalkan negeri ini, untuk
berkelana mencari ilmu kepada seseorang yang hingga kini belum kanda temui. Oleh
sebab itu ijinkanlah hari ini juga kanda mohon diri.”
Sang raja merasa dirinya takluk dan jatuh cinta kepada pemuda tampan yang
menjadi suaminya itu. Ia berjanji akan setia dan mengabdikan dirinya kepada lelaki
tampan yang sakti itu dan untuk menunjukkan kesucian dirinya (masih perawan)
kepada Syarif Durakhman, ia menerjunkan diri ke laut kidul dan sanggup menunggu
Syarif Durakhman setelah selesai dari perkelanaannya mencari agama Allah yang
dituntun oleh ajaran Muhammad Rasulullah S.AW.

Legenda Cirebon
27
4. SYEKH LEMAHABANG

Syekh Lemahabang adalah seorang anggota wali sanga, satu-satunya wali yang
beraliran syiah, pengikut Al Muntadhar Baghdad. Ia biasa juga disebut Syekh Siti
Jenar, Syekh Jabaranta atau Syekh Jarugem. Nama aslinya adalah Datuk Abdul
Jalil, anak Syekh Datuk Sholeh dari Malaya. Syekh Datuk Shaleh adalah adik Datuk
Isa. Datuk Isa adalah ayah Syekh Datuk Kahfi yang bermukim di Gunungjati, guru
Pangeran Cakrabuana. Datuk Abdul Jalil mendapat julukan Syekh Lemahabang
konon karena apabila berjalan, kakinya tampak bagai bara bersinar.
Setelah dewasa ia bermukim di Baghdad dan mempelajari aliran Syiah Al
Muntadhar. Dari sana ia kembali ke Malaya dan kemudian menikah dengan Siti
Halimah, perempuan dari Gujarat. Ketika mendengar kakak misannya pergi ke Jawa
dan kerabatnya juga yaitu Syekh Kuro bermukim di Karawang, maka Syekh Siti
Jenar menyusul ke Gunungjati. Dia lalu ke Cirebon Girang dan bermukim di rumah
Pangeran Carbon (putra Pangeran Cakrabuana) yang telah menjadi Kuwu Cirebon
Girang. Pangeran Carbon pun diangkat menjadi muridnya yang utama.
Dari Cirebon Girang kemudian ia pergi ke Pengging, Jawa Timur, dan di sana Ki
Kebo Kenongo (Ki Ageng Pengging) menjadi muridnya yang utama. Ki Ageng Pengging
adalah ayah Jaka Tingkir atau Mas Karebet, yang kelak menjadi Sultan Pajang
dengan gelar Sultan Hadiwijaya.
Wali Sanga kurang menyukai Syekh Siti Jenar, mungkin karena ia beraliran
Syiah dan dianggap dapat mengacaukan syiar Islam wali lainnya. Lagipula ia telah
berani mengajari murid-muridnya secara terbuka, bahwa Tuhan ada dalam diri
manusia (mengajarkan konsep kawula gusti dan analhak, Tuhan adalah aku, dan
aku adalah Tuhan). Hal ini mengusik pemikiran wali lain karena dianggap
membahayakan keberagamaan umat. Lagipula sikapnya cenderung ekstrim.
Salah satu sikap ekstrimnya adalah memerintahkan Ki Ageng Kebo Kenongo
(salah seorang pewaris Majapahit) untuk memberontak Sultan Demak (Raden Patah)
dan merebut kekuasaannya. Setelah intrik itu diketahui Sultan Demak, maka Sunan
Kudus diperintahkan menangkap Syekh Siti Jenar dan konco-konconya. Dalam huru
hara itu konco utama Syekh Siti Jenar, seperti Ki Kebo Kenongo, Ki Ageng Butuh
dan Pangeran Panggung, dapat dibunuh Sunan Kudus (sebagai Mahapatih Demak).
Sementara Syekh Siti Jenar berhasil lolos dan melarikan diri ke Cirebon Girang.
Selanjutnya Raden Patah melayangkan surat kepada Sunan Cerbon, Syekh Syarif
Hidayatullah, yang isinya meminta mengeksekusi Syekh Siti Jenar yang diduga para
telik sandi Demak berada di Cirebon.
Pangeran Carbon sebagai Ki Ageng Carbon Girang selain menjadi Kuwu Cirebon
Girang juga Adipati Carbon (Panglima Perang Cirebon). Pangeran Carbon tidak
terprovokasi seperti Ki Ageng Kebo Kenongo. Adipati Carbon selalu disiplin dan setia
kepada Sinuhun Cirebon. Sunan Carbon kemudian bermusyawarah dengan seluruh
Ki Gedheng, pejabat tinggi dan masyarakat yang berindikasi memiliki hubungan
dengan Syekh Lemahabang di Keraton Pakungwati untuk menjelaskan sepak terjang
Syekh Lemahabang. Dan peserta musyawarah setuju untuk menangkapnya.
Wali Sanga sudah berkumpul di Mesjid Sang Ciptarasa, Sinuhun Cirebon
memerintahkan pasukan bayangkara yang dikomandani Ki Lodaya dan Ki Bawuk untuk siaga.
Dalam tutur babad Cirebon, Syekh Lemahabang diundang untuk berkumpul di Mesjid Sang
Ciptarasa. Kurir itu dimarahi agar mengatakan bahwa Syekh Lemahabang tidak ada, yang ada
adalah Tuhan. Lalu kurir itu juga ditolak, bahwa Tuhan itu tak ada, yang ada adalah Syekh
Lemahabang. Oleh karena itu, Sunan memerintahkan kurir itu agar keduanya diundang, baik
Tuhan maupun Syekh Lemahabang. Syekh Lemahabang pun datang.
Para wali dan bayangkara sudah berkumpul di mesjid Sang Ciptarasa. Pengikut
Syekh Lemahabang juga ikut hadir di sana. Hari itu Syekh Lemahabang akan diadili.

Legenda Cirebon
28
Sunan Kudus bertugas sebagai jaksa, Sunan Kalijaga sebagai hakim dan wali lain
menjadi saksi.
Setelah Sunan Kudus membaca tuntutan, terjadi huru hara. Ada dua orang
murid Syekh Lemahabang menerobos akan menikamkan kerisnya kepada Sunan
Kudus dan Sunan Kalijaga. Namun, berkat kesigapan Komandan Bayangkara
Cerbon, Ki Lodaya dan Ki Bawuk, dua perusuh itu bisa diamankan dengan baik.
Jenazah mereka dikuburkan di lahan yang oleh masyarakat disebut Astana Gubed.
Kemudian ada perubahan total menurut keinginan tersangka agar jaksa
penuntut umum adalah Sunan Ceribon. Maka tertib kembali sidang itu dan
pengadilan bisa dilanjutkan. Akhirnya vonis disampaikan, bahwa Syakh Lemahabang
dihukum mati.
Dalam Babad Cirebon diceritakan, bahwa pada tusukan pertama Syekh
Lemahabang mengeluarkan darah putih atau bening. Dia belum mati. Syekh Siti
Jenar bangkit kembali. Sunan Kudus kemudian menikamkan lagi kerisnya, Syekh
Siti Jenar terbujur dengan bersimbah darah, namun belum mati. Bahkan Syekh Siti
Jenar bangun lagi dalam keadaan bersih tanpa simbahan darah. Sunan Kudus
menikamkan kembali kerisnya pada bagian tubuh yang keras. Syekh Siti Jenar
kembali bangun. Setelah para Wali secara berbarengan membaca Lahaula wala
quwwata illa billahi aliyuladhim, La ilahailallahu Muhammadar Rasullullah, badan
Syekh Siti Jenar lunglai dan jatuh terbujur, wajahnya seperti orang tidur dan
bercahaya. Barulah para wali mengucapkan Innalillahi wa innaillahi rojiun.
Dalam Nagara Kertabumi disebutkan, bahwa ia diadili dengan hukuman mati.
Ia ditusuk oleh Sunan Kudus dengan keris Kanthanaga milik Sunan Cerbon, lalu
jenazahnya dikebumikan di Kampung Kemlaten di tepi Kali Tanjung, dan sekarang
makamnya dikeramatkan. Pengadilan Syekh Lemahabang terjadi pada tahun 1502,
sementara hukuman mati dilaksanakan di alun-alun Keraton Kesepuhan.
Diceritakan pula dalam Nagara Kertabumi, bahwa setelah Syekh Siti Jenar
dimakamkan di Kemlaten, secara rahasia Sunan Ceribon memerintahkan agar
makamnya digali, jenazahnya dipindahkan ke Gunungjati bersama kerabatnya
(Syekh Datuk Kahfi). Pada bekas lubangnya dikuburkan bangkai anjing hitam. Hal
itu dilakukan karena Sunan Cirebon berfirasat, bahwa makam tokoh itu akan
dikeramatkan para pengikutnya.
Beberapa hari kemudian datanglah serombongan pengikut Syekh Lemahabang
dari Pengging, Jawa Timur. Mereka memohon ijin Sunan Carbon untuk menggali
makam guru mereka dan akan dialihkan ke Pengging. Sunan Cerbon mengabulkan
permintaan itu. Tetapi setelah kuburnya digali, mereka histeris dan menangis
memelas. Sunan berkata, “Para sahabatku sekalian, jangan menangisi jenazah guru
kalian. Lebih baik berdoa dan memohon kepada Tuhan agar jasad guru kalian
diterima di sisinya. Yang lebih penting lagi keselamatan kalian terjamin bisa hidup
tentram, karena apabila perbuatan kalian diketahui Pemerintah Demak akan merugi
besar!” Mereka pun memelas, ”Duhai Sinuhun, kami serahkan apa saja yang
sebaiknya menurut Sinuhun.” Sinuhun pun berkata, “Saya minta agar kalian
kembali dan menjadi penganutku”. Mereka menyerahkan nasib kepada Sinuhun.
Sinuhun Cerbon kemudian memerintahkan Pangeran Kejawanan agar memukimkan
mereka di kampung yang sekarang dikenal Kampung Kesunean. Sementara Kemlaten
tetap menjadi pemakaman sang tokoh.
Demikian, wallahu salam bisawab.

Legenda Cirebon
29
5. RADEN GILAP

Alkisah, dalam sebuah sayembara memperebutkan seorang perempuan, hampir


tak seorang pun diantara peserta yang mampu mengalahkan kesaktiannya.
Perempuan dimaksud adalah Nyi Mas Gandasari, seorang puteri pinilih asuhan Ki
Kuwu Cakrabuana yang tidak hanya berparas cantik, tetapi juga pandai bersilat.
Hanya ada seorang perserta yang hampir dapat mengalahkannya. Dia seorang lelaki
Dermayu, Ki Dampu Awang namanya. Dengan disaksikan oleh Sunan Kalijaga, pada
awalnya perang tanding itu nampak seimbang, namun akhirnya Ki Dampu Awang
berhasil mendesak Nyi Mas Gandasari hingga hampir jatuh ke sungai. Melihat gelagat
itu Sunan Kalijaga, yang juga terpikat pada sang puteri, tersentuh hatinya, ia segera
merubah wujudnya menjadi sebuah titian (jembatan), yang dengan cara seperti itu
Nyi Mas Gandasari dapat terselamatkan
Perang tanding pun diteruskan di atas titian. Tanpa diduga titian itu patah, Ki
Dampu Awang terjatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus. Sementara Nyi Mas
Gandasari terduduk di atas titian yang merupakan penjelmaan Sunan Kalijaga.
Ketika merasakan sentuhan seorang wanita, Sunan Kalijaga tak kuasa menahan
berahi, hingga tanpa disadari mengeluarkan air mani (sperma) dan hanyut terbawa
arus.
Dikisahkan air mani Sunan Kalijaga sedikit demi sedikit berubah menjadi besar
seperti sebuah bukit. Melihat keajaiban seperti itu Sunan Kalijaga segera
memerintahkan seluruh rakyat untuk menghancurkan bukit tersebut. Namun sia-
sia, bukit semakin membesar hingga akhirnya pecah, dan dari dalamnya keluar
seorang bayi berbentuk bencari yang menakutkan. Sunan Kalijaga segera
memerintahkan masyarakat agar bayi bencari dimasukan ke dalam kandaga (peti)
untuk dikubur hidup-hidup.
Sunan Gunung Jati merasa khawatir tatkala mendengar adanya penguburan
bayi bencari. Sunan Gunung Jati pun segera bertindak dengan memerintahkan salah
seorang Patih untuk menggali kembali kuburannya. Setelah bersusah payah Patih
pun berhasil menemukan kuburan, kemudian menggalinya dan selanjutnya sang
bayi dibawa ke Keraton.
Dengan disaksikan oleh para kadang wargi serta hadir pula Ki Gedeng Bungko
peti bayi itu dibuka. Ternyata bayi itu masih hidup. Akhirnya Gusti Sinuhun Sunan
Gunung Jati menugaskan Ki Gedeng Bungko untuk merawat bayi tersebut.
Ki Gedeng Bungko pun memelihara sang bayi dengan sepenuh hati, yang
diberinya nama Dewi Minasari atau biasa dipanggil Nyi Minasari. Nyi Minasari
tumbuh dalam manja, setiap permintaannya mesti dipenuhi, dan Ki Gedeng Bungko
pun dengan tulus mengabulkannya. Akan tetapi, ketika menginjak remaja,
permintaan Nyi Minasari sangat mengejutkan Ki Gedeng Bungko. Pada suatu hari Nyi
Minasari dengan manja meminta memegangi alat kelamin ayah angkatnya itu,
bahkan minta memakannya. Ki Gedeng Bungko menjadi geli, marah dan diliputi
ketakutan. Apalagi jika mengingat asal-usul anak asuhannya itu. Perasaan kalut
akhirnya menguatkan hati Ki Gedeng Bungko untuk mengusir Nyi Minasari dari
kehidupannya. Hingga suatu malam, saat tertidur pulas, Ki Gedeng Bungko
membawa Nyi Minasari pergi dan meninggalkannya di sebuah hutan dekat wilayah
Palimanan.
Hingga matahari telah meninggi, Nyi Minasari masih tidur lelap. Dia baru
terjaga ketika mulai banyak orang yang memasuki hutan. Pada hari itu kebetulan Ki
Gedeng Palimanan pun tengah berada di tengah hutan untuk berburu. Dia merasa
kaget saat seorang anak perempuan tiba-tiba menyapanya dengan manja. Nyi
Minasari seperti tidak tahu ia berada di mana dan berhadapan dengan siapa. Nyi
Minasari memperlakukan Ki Gedeng Palimanan sama seperti pada Ki Gedeng Bungko
dan dianggapnya ayahnya. Ki Gedeng Palimanan yang kebetulan tidak memiliki anak
pun akhirnya mengajaknya pulang dan mengangkat Nyi Minasari menjadi anak.

Legenda Cirebon
30
Pada suatu hari Nyi Minasari terlihat murung. Dengan penuh kasih sayang Ki
Gedeng Palimanan pun menanyakan latar kegundahannya. Nyi Minasari segera
menjelaskan, bahwa ia tengah jatuh cinta kepada seorang pemuda tampan. Namun
dia sakit hati karena pemuda itu tidak mengacuhkannya. Ki Gedeng Palimanan pun
segera mafhum akan paras anak angkatnya. Sebagai seorang sakti mandraguna,
maka Ki Gedeng pun “merubah” wajah Nyi Minasari dari wujud bencari menjadi
seorang putri cantik rupawan. Setelah berubah wujud, Ki Gedeng Palimanan
memperingatkan, bahwa sejak saat itu Nyi Minasari harus berganti nama menjadi
Dewi Sekar Palupih dan dilarang memakan daging mentah serta membuka gelung
(sanggul) di sembarang tempat. Dalam kegembiraan yang tak terkira, setelah
menyanggupi pesan ayahnya, dengan ditemani emban (pengasuh), Nyi Minasari yang
kini bernama Dewi Sekar Palupih bergegas menemui pemuda idamannya.
Sang pemuda menyambut hangat kedatangan Dewi Sekar Palupih. Maka, dari
satu pertemuan pun berlanjut ke pertemuan berikutnya, hingga mereka pun
bersepakat untuk menjadi sepasang kekasih.
Sekembalinya dari sebuah pertemuan, dengan gembira Dewi Sekar Palupih
menceritakan, bahwa sang pemuda idaman akan datang melamarnya. Ki Gedeng
Palimanan tersenyum kecut karena tahu siapa pemuda itu. Ia adalah orang Cirebon
yang sengaja datang untuk menaklukan dirinya. Namun demikian, semua itu
dirahasiakannya.
Kegembiraan kencan siang itu rupanya terbawa ke alam mimpi. Pada suatu
malam Dewi Sekar Palupih bermimpi dilamar sang pemuda idaman, yang ternyata
bernama Sunan Gunung Jati. Setelah lamaran diterima kemudian mereka pun
menikah dengan upacara yang sangat meriah, maklum pemangku hajat itu adalah Ki
Gedeng Palimanan yang disegani banyak orang. Dalam mimpinya itu, rumah tangga
mereka bahagia dan tak lama kemudian Dewi Sekar Palupih pun hamil. Saat merasa
sedang melahirkan, Dewi Sekar Palupih terjaga. Ia menjadi sedih, karena semua itu
ternyata hanya mimpi.
Keesokan harinya Dewi Sekar Palupih diam-diam berkunjung ke tempat sang
pemuda. Dewi Sekar Palupih harus menelan kekecewaan karena rumah itu kosong,
sang pemuda telah pergi entah kemana. Dewi Sekar Palupih menjadi gusar, dia pun
mengurung diri dalam kamar. Dewi Sekar Palupih baru terjaga dari bayangan mimpi
indahanya ketika perutnya terasa lapar karena terlupa makan sedari pagi. Dia
bergegas menghampiri meja makan dimana tersaji daging segar kesukaan Ki Gedeng
Palimanan. Ia lupa akan pesan ayah angkatnya. Ia pun memakannya dengan lahap.
Tiba-tiba Ki Gedeng Palimanan telah berada di sampingnya dan menegurnya. Dewi
Sekar Palupih kaget dan langsung bersujud memohon ampun.
Namun karena telah melanggar larangan, setelah memakan daging itu Dewi
Sekar Palupih merasakan ada suatu keanehan pada perutnya. Ia hamil secara gaib
tanpa suami. Hal itu diketahui Ki Gedeng Palimanan. Sejak saat itu Dewi Sekar
Palupih pun tidak pernah keluar rumah hingga tiba waktunya melahirkan. Dewi
Sekar Palupih melahirkan seorang anak laki-laki tampan. Melihat hal itu Ki Gedeng
Palimanan segera memanggil dukun bayi untuk merawatnya dan disuruhnya mencari
sebuah peti kandaga. Bayi laki-laki itu dimasukan ke dalam kandaga dengan
“dibekali” sebuah surat yang menerangkan nama bayi itu Raden Johar putra Syarif
Hidayatullah dan sebuah keris pusaka “Braja Denta”, dan kemudian dihanyutkan ke
sungai Ciwaringin. Kelak peti itu ditemukan di wilayah Cirebon oleh seorang nelayan
bernama Ki Mendar.
Setelah menghanyutkan R. Johar, Ki Gedeng Palimanan kembali ke rumah dan
menemui putrinya. Ia kaget bukan kepalang melihat Dewi Sekar Palupih sedang
memeluk bayi laki-laki tampan. Hati Ki Gedeng Palimanan tersentuh, ia berjanji
dalam hati tidak akan mengulangi kembali perbuatannya dan akan merawat bayi itu.
Bayi itu diberi nama Raden Gilap.

Legenda Cirebon
31
Suatu ketika, Dewi Sekar Palupih menghadap ayah angkatnya, Ki Gedeng
Palimanan. Raut wajahnya tampak sedih dan gundah. Ki Gedeng Palimanan
mengetahui apa yang membuat putri angkatnya sedih. Lalu ia memberinya saran bila
keinginan Raden Gilap yang selalu menanyakan siapa ayahnya lebih baik katakan
saja, siapa dan di mana ayahnya berada.
Tiba-tiba R. Gilap muncul, ia tampak murung, Ki Gedeng Palimanan dan Dewi
Sekar Palupih segera menyambutnya dengan penuh kasih. Kemudian Dewi Sekar
Palupih dengan disaksikan ayahnya, menjelaskan siapa dan dimana ayah R. Gilap
berada. Mendengar cerita ibunya, seketika itu R. Gilap pun ceria, lalu segera
memohon ijin akan pergi ke Cirebon untuk menemui Sunan Gunung Jati yang
dikatakan sebagai ayahnya. Sebelum pergi R. Gilap dibekali pusaka Si Bumbung
Bumbas.
Sementara itu, setelah berhasil mendirikan Keraton Pakungwati, Sunan
Gunung Jati memerintahkan para patih agar mengerahkan masyarakat untuk
mambabad Alas Loyang yang terkenal dihuni para dedemit menjadi lahan pertanian.
Mendapat titah itu ketiga patih pun segera berkoordinasi dengan para Ki Gedeng
untuk membuka lahan pertanian yang tersebar di daerah Junjang, Tirtayasa,
Kapetakan, Pelangon dan Dermayu.
Singkat cerita rakyat serentak membabat alas Loyang untuk dijadikan lahan
pesawahan. Namun, baru saja satu hari hamba rakyat terserang wabah penyakit.
Mengetahui hal itu Pangeran Kejaksan segera menghentikan para pekerja dan
melaporkannya pada Kanjeng Sinuhun. Mendapat laporan itu Sunan Gunung Jati
diam tak berucap. Sesaat kemudian Patih Jaba datang menghadap, melaporkan
kehadiran seorang tamu. Sunan Gunung Jati mengijinkan tamunya masuk.
Sang tamu segera bersujud, Sunan Gunung Jati pun bertanya ihwal maksud
dan tujuannya. Awalnya sang tamu memperkenalkan diri bernama R. Gilap dari
Palimanan putra Dewi Sekar Palupih. Tujuan kedatangannya adalah mencari ayah
yang katanya seorang Ratu di Cirebon. Mendengar pengakuan sang tamu, Sunan
Gunung Jati terhenyak. Ia merasa tidak pernah menikah dengan seorang perempuan
dari Palimanan. Suasana menjadi hening. Melihat gelagat yang kurang enak, Sunan
Kalijaga segera menengahi. Dia menyarankan Sunan Gunung Jati agar menerima R.
Gilap sebagai putranya tetapi dengan syarat harus mampu membabad alas Loyang
menjadi pesawahan dalam waktu tak lebih dari 24 jam. Persyaratan itu disanggupi R.
Gilap, kemudian ia pun mohon diri untuk melaksanakan tugas.
Selain menggunakan pusaka Si Bumbung Bumbas, dalam melaksanakan
tugasnya itu R. Gilap juga dibantu oleh sang kakek (Ki Gedeng Palimanan) serta
binatang besar berupa gajah putih dan harimau putih peliharaan mereka. Saat
pembukaan lahan tengah berlangsung, tiba-tiba terjadi perkelahian antar dua
makhluk besar. Ternyata Ki Gedeng Palimanan sedang bertempur dengan Ki Gedeng
Pesawahan yang dibantu tiga orang saudaranya, yaitu Sapu Jagat, Lebak Lindu dan
Badak Dua. Mereka sengaja datang untuk menghalangi pekerjaan R. Gilap. Namun
Ki Gedeng Palimanan berhasil mengalahkan mereka. Dalam sekejap hutam rimba
pun berubah menjadi lahan pesawahan yang siap ditanami. Pagi menjelang,
pekerjaan R. Gilap pun selesai. Sunan Kalijaga datang berkunjung lalu mengajaknya
menghadap Sunan Gunung Jati.
Mendengar laporan Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati tidak yakin begitu saja.
Kendati merasa terkesan atas jasa R. Gilap, namun ia ingin mengujinya kembali.
Sunan Gunung Jati pun memanggil R. Gilap, untuk menyampaikan ujian kedua.
Sunan Gunung Jati meminta R. Gilap membuat Kutha Kosod di depan keraton.
Pekerjaan itu harus dikerjakan seorang diri dan selesai dalam waktu semalam.
Kendati diliputi kebimbangan, R. Gilap menyanggupi ujian ini. Dengan diantar
Sunan Kalijaga, R. Gilap menuju lokasi pembuatan Kutha Kosod. Setelah mendapat
pengarahan Sunan Kalijaga, R. Gilap ditinggalkan sendirian. R. Gilap tercenung, dia
tidak mengetahui sama sekali bentuk bangunan itu, apalagi cara membuat dan apa

Legenda Cirebon
32
bahan-bahannya. Tanpa disadari, hari pun telah berangkat senja. Dalam keadaan
bingung, tiba-tiba kakeknya datang sembari mengabarkan, bahwa ia sudah
mempersiapkan segalanya, mulai dari bahan sampai para pekerja.
Bantuan sang kakek sangat membesarkan hati, dan R. Gilap pun segera
mengerjakan tugasnya. R. Gilap menyaksikan beberapa tukang batu tengah
membangun kutha kosod. Mereka bekerja dengan rapih dan cekatan, sehingga dalam
waktu singkat pekerjaan pun hampir dirampungkan. Akan tetapi, ada satu hal yang
dilupakannya, bahwa ia tidak boleh dibantuan siapa pun, harus dikerjakan sendiri.
Lalu apa yang terjadi ? Pekerjaan belum selesai ketika hari menjelang pagi. R. Gilap
menjadi frustasi karena para pekerja telah pergi entah kemana. Dia tidak menyadari,
bahwa para pekerja yang dikerahkan kakeknya itu adalah para siluman yang takut
sinar matahari. Merasakan dirinya akan mendapat malu, maka ia pun segera pergi
meninggalkan tempat itu. R. Gilap tidak pulang ke Palimanan. Ia bergegas ke arah
Utara namun tidak jelas tujuannya. Penyesalan terus bergelayut di sepanjang
perjalanan. Mengapa pekerjaan yang tertunda tidak dirampungkannya sendiri ?
Akhirnya dia menyadari, bahwa seorang wali memang tidak mudah dikelabui.
Kegagalan itu adalah karena ulahnya sendiri.

Legenda Cirebon
33
6. RADEN JOHAR

Dikisahkan Sunan Kalijaga sedang sedang memimpin pembuatan Kuta Keliling


(kutha kosod) di sepanjang Kali Kriyan. Tersebutlah seorang sakti bernama Ki Mandra
putra Ki Gedeng Buntalan bernama Buyut Sinta, turut terlibat dalam pekerjaan itu.
Di tengah kesibukan, ia melihat sebuah peti kandaga terapung di sungai, ia segera
menangkapnya lalu dibawanya ke tepi. Dengan hati penasaran Ki Madra membuka
peti tersebut. Ki Mandra terkejut ketika melihat isi peti itu ternyata seorang bayi laki-
laki. Ia segera mengangkat dan memeriksanya, bayi itu masih hidup. Dari dalam peti
itu juga ia menemukan sepucuk surat yang isinya menjelaskan, bahwa bayi itu
bernama Raden Johar putra Sunan Gunung Jati, dan ditemukan pula sebuah keris
bernama Braja Denta. Penemuan itu segera dilaporkan kepada Sunan Kalijaga.
Mendapat laporan tersebut, Sunan Kalijaga memerintahkan Ki Mandra untuk
merawat si bayi sekaligus berpesan agar penemuan bayi tersebut dirahasiakan.
Singkat cerita, R. Johar telah tumbuh menjadi seorang pemuda.
Pertumbuhannya begitu cepat dan penuh keanehan. R. Johar sejak kecil suka
bertapa, hingga tak heran bila pada usia remaja ia menjadi seorang yang sakti
mandraguna seperti ayah angkatnya. Pada suatu hari R. Johar menyampaikan
hasratnya, ingin seperti ayahnya yang selalu pergi ke keraton di Cirebon. Ia ingin
sekali mengabdi pad Gusti Sinuhun Sunan Gunung Jati. Secara halus Ki Mandra
menolak keinginan tersebut seperti yang telah dipesankan oleh Sunan Kalijaga.
Untuk menghibur putra angkatnya disuruhnya R. Johar bertapa di sebuah daerah
bernama Duwan Sikaca.
Saat R. Johar sedang bertapa, tiba-tiba ada seorang kakek tua
menyambanginya, entah datang dari mana? Kakek tua itu membangunkan R. Johar
dari tapanya, lalu bertanya kenapa harus bertapa siang dan malam. R. Johar
menjawab, ia menjelaskan bahwa apa yang dilakukannya selain atas perintah ayah
angkatnya juga untuk mendapatkan jalan kemuliaan. Si Kakek tersenyum sambil
berkata; “Jalan kemuliaan sudah dekat dan engkau anak muda yang suka bertapa
kini aku beri nama Raden Surakaca.”
R. Johar segera bersujud, namun si kakek telah menghilang. Sejenak R. Johar
tercenung heran. Suasana menjadi hening dan tiba-tiba dua orang musafir
mendatanginya. Kedua orang musafir itu bertanya, dan R. Johar pun segera
menjawabnya. Dengan jujur ia meminta sesuap nasi untuk mengakhiri tapanya.
Melihat kondisi fisik R. Johar yang nampak lesu, dua orang musafir itu memintanya
menunggu sebentar. Lalu keduanya pergi meninggalkan R. Johar.
Tak jauh dari hutan Duwan ada sebuah perkampungan yang dipimpin oleh
seorang janda kaya bernama Nyi Mas Baduran. Nyi Mas Baduran kedatangan dua
orang musafir yang hendak meminta nasi untuk seorang pemuda yang kehabisan
tenaga setelah lama bertapa. Nyi Mas Baduran segera memberi sebungkus nasi
lengkap dengan lauk pauknya. Di tengah jalan kedua orang musafir itu mencampur
adukkan nasi dengan lauk pauknya agar R. Johar tidak mau memakannya karena
jijik.
Setelah sampai kedua musafir itu segera memberikan bungkusan nasi kepada
R. Johar. Begitu bungkusan dibuka, R. Johar terkejut melihat nasi yang telah
diaduk-aduk. Ia segera membungkusnya kembali, lalu menanyakan siapa pemberi
nasi itu. Dengan gugup kedua musafir menjawab, bahwa nasi didapat dari seorang
janda kaya di kampung dekat hutan Duwan. Dengan penuh kemarahan R. Johar
pergi menuju kediaman janda kaya seperti yang disebutkan kedua musafir.
Setiba di rumah Nyi Mas Baduran, R. Johar alias R. Surakaca bertemu dengan
seorang gadis bernama Nyi Mas Pulung Ayu, R. Surakaca bertanya siapa pemberi
bungkusan nasi. Mendengar pertanyaan seorang pemuda dengan nada marah, ia
segera memanggil ibunya. Nyi Mas Baduran terkejut melihat kondisi pemuda kurus
dan berpakaian compang camping. Sebaliknya R. Surakaca dengan tangan gemetar

Legenda Cirebon
34
memegang bungkusan nasi sambil berkata; “Aku bukan pengemis!”, lalu
diberikannya bungkusan nasi itu pada Nyi Mas Baduran.
Nyi Mas Baduran mengenali bungkusan nasi tersebut. Dengan tenang ia
berkata pada R. Surakaca, bahwa benar ia telah memberikan nasi, tetapi tidak
dicampur adukkan melainkan dibuat menjadi dua bungkusan. Nyi Mas Baduran
menduga, bahwa yang mecampur adukan nasi itu adalah dua musafir itu.
Mendengar penjelasan itu R. Surakaca segera meminta maaf, dan berucap bahwa
perbuatan dua orang musafir itu adalah perbuatan syetan. Tanpa diduga, dua orang
musyafir itu berubah wujud menjadi sosok yang mengerikan. Keduanya segera
bersujud di hadapan R. Surakaca memohon ampun. Setelah keduanya dimaafkan
dan dinasihati, kemudian diberi nama Cuplis dan diperintahkan bertapa di
Pemancingan, sedang yang satunya diberi nama Criwis dan disuruh bertapa di
Krawokan.
Melihat kesaktian R. Surakaca, Nyi Mas Baduran merasa trenyuh dan berniat
menjodohkannya dengan putrinya. Keinginan ini disambut dengan suka hati oleh
keduanya, hingga akhirnya R. Surakaca dan Nyi Mas Pulung Ayu dinikahkan.
Di lain tempat, masyarakat Cirebon sedang disibukkan oleh kekacauan yang
mengganggu ketertiban penduduk. Pengacau yang dicari adalah Ki Gedeng
Palimanan yang berusaha mencari tahu keberadaan kedua cucunya R. Gilap dan R.
Johar yang hilang entah kemana.
Sementara Gusti Sinuhun Sunan Gunung Jati telah memerintahkan Sunan
Kalijaga untuk mencari tahu siapa gerangan pengacau itu. Dengan diikuti oleh para
ki gedeng, Sunan Kalijaga mendatangi tiap pedukuhan hingga akhirnya sampai di
pedukuhan tempat kediaman Nyi Mas Baduran.
Di rumah Nyi Mas Baduran, Sunan Kalijaga mengabarkan ihwal di Cirebon
sedang terjadi kekacauan. Ia juga menyampaikan bila Nyi Mas Baduran diminta
bantuan Gusti Sinuhun agar mengirimkan utusan untuk menghadang Ki Gedeng
Palimanan. Selain itu, ia juga mengabarkan bahwa barang siapa yang mampu
mengalahkan Ki Gedeng Palimanan, akan mendapat hadiah dan kedudukan di
keraton Cirebon.
Percakapan Sunan Kalijaga dan Nyi Mas Baduran didengar oleh R. Surakaca
dan Nyi Mas Pulung Ayu, maka setelah Sunan Kalijaga pergi, R. Surantaka
menghadap mertuanya untuk menawarkan diri mewakili Nyi Mas Baduran pergi ke
Cirebon. Keinginan R. Surakaca disambut baik dan diijinkan berangkat ke Cirebon.
Di alun-alun keraton Cirebon, Ki Gedeng Palimanan mengamuk dan para ki
gedeng Cirebon tak ada yang sanggup menandingi kesaktian Ki Gedeng Palimanan.
Ketika R. Surakaca maju ke medan laga dan sekaligus berhadapan dengannya, Ki
Gedeng Palimanan semakin marah, karena yang dihadapan hanya seorang anak
muda. Namun pada saat Ki
Gedeng Palimanan akan
menghunjamkan kerisnya,
tiba-tiba R. Surakaca
mencabut keris Braja Denta.
Melihat musuhnya memegang
keris pusaka yang sangat
dikenalnya, ia menghentikan
pertarungannya. Lalu ia
bertanya, siapa anak muda
itu. R. Surakaca segera
menjawab bahwa dirinya
bernama R. Johar alias R.
Surakaca.
Mendapat jawaban itu, Ki
Gedeng Palimanan menyarungkan kembali kerisnya lalu mencoba memeluk R.

Legenda Cirebon
35
Surakaca; “Wahai cucuku. Engkau adalah cucuku dan keris Braja Denta adalah
kepunyaanku yang aku wariskan kepadamu.” R. Johar kaget mendengar musuhnya
menyebut cucu dan mengenali pusakanya. Dengan heran ia berkata; “Mengapa
engkau memanggilku cucu dan membuat kekacauan di Cirebon?”
Ki Gedeng Palimanan menceritakan kisah R. Johar waktu bayi. Untuk menebus
dosa, maka Ki Gedeng Palimanan berusaha mencari kedua cucunya yang telah
hilang. Mendengar semua itu R. Johar segera memeluk kakeknya. Lalu ia memohon
agar kakeknya pergi meninggalkan Cirebon. Permintaan itu disetujui. Ki Gedeng
Palimanan berharap, dengan kepergiannya R. Surakaca akan mendapatkan
kemuliaan hidup dan dapat mengabdikan diri kepada Gusti Sinuhun Sunan Gunung
Jati.
Peristiwa ini tidak diketahui oleh para ki gedeng Cirebon, terkecuali Sunan
Kalijaga. Namun ia pun tak banyak cerita. Yang tahu hanya kebahagiaan R.
Surakaca mengalahkan Ki Gedeng Palimanan. Dan bagi semua jasanya, R. Surakaca
dinobatkan menjadi salah seorang abdi dalem di Keraton Cirebon.
Setelah mendapatkan penghargaan dari Gusti Sinuhun, R. Surakaca segera
kembali menemui istrinya dan melaporkan keberhasilannya kepada mertuanya.
Sejak itu Ki Gedeng Palimanan tidak pernah mengganggu Kesultanan Cirebon,
bahkan ia segera memerintahkan rakyatnya agar memeluk agama para wali, dan ia
sendiri pergi bertapa.

Legenda Cirebon
36
7. PANGERAN SUMAJAYA

Syahdan, pada abad ke-15 di Cirebon berdiri kerajaan Islam, penerus silamnya
Kerajaan Galuh Pajajaran. Negara Pajajaran dipimpin oleh raja yang bergelar Prabu
Siliwangi. Dia berputra Dewi Rara Santang (H. Syarifah Muda’im). Sang dewi berputra
Syarif Hidayatullah, yang kemudian bertahta sebagai Kepala Negara Cirebon pada
tahun 1452. Istananya di Dalem Agung Pakungwati, yang dibangun oleh Pangeran
Cakrabuana pada tahun 1430.
Sunan Gunung Jati berputra P. Moh. Arifin I (P. Pasarean), bercucu P. Suwarga
Arya Kemuning yang bergelar Adipati Carbon I, bercicit P. Emas Moh. Arifin II yang
pada tahun 1506 menggantikan kedudukan Sunan Gunung Jati dengan gelar
Panembahan Gusti Pakungwati I. Pada awalnya dia juga bertahta di Dalem Agung
Pakungwati, namun pada tahun 1529 membangun istana sendiri di sebelah Barat
Daya. Istananya disebut Kraton Pakungwati.
Panembahan Pakungwati berputra P. Sedang Gayam dengan gelar P. Adipati
Carbon II. Dia berputra P. Saputra yang pada tahun 1597 menggantikan kedudukan
kakeknya, dengan gelar Panembahan Ratu Pakungwati II (Panembahan Ratu Girilaya
II). Dari istri permaisuri Panembahan Ratu Girilaya II berputra P. Martawijaya. Dari
istri selir pertama dia berputra Pangeran Sumajaya yang berbakat menjadi ulama
bahkan mencapai derajat waliyullah. Dari istri selir kedua berputra P. Kartawijaya
dan P. Mas Wangsakerta.
Panembahan Ratu Girilaya II wafat di Mataram pada tahun 1622. Jenazahnya
dimakamkan di Girilaya. Kematiannya menyebabkan Negara Cirebon mengalami
“kekosongan”. Urusan kenegaraan dikelola oleh Pangeran Sumawijaya dan
pelaksananya adalah Patih Arya Seminingrat.
P. Martawijaya dan P. Kartawijaya berebut tahta Kepala Negara Cirebon karena
usia mereka sudah cukup dewasa. Sultan Banten yang merasa masih keturunan
Sunan Gunung Jati menyelesaikan perselisihan tersebut. VOC mencampuri urusan
keraton dengan alasan membantu ketertiban dan keamanan. Namun pengangkatan
Kepala Negara Cirebon tak dapat ditertibkan.
Daripada terjadi perselisihan antar saudara, maka disepakati P. Martawijaya
dinobatkan sebagai Sultan Sepuh dengan gelar Sultan Sepuh Syamsudin I pada
tahun 1678 dan adiknya P. Kartawijaya dinobatkan sebagai Sultan Anom dengan
gelar Sultan Anom Komarudin pada tahun 1678 juga. Keduanya bersemayam di
Kraton Pakungwati. Tanah Negara Cirebon dibagi dua antara Sultan Sepuh dan
Sultan Anom.
Keadaan di Kraton Pakungwati selalu ricuh karena kedua Sultan selalu berebut
wewenang. Untuk meredakan ketegangan P. Sumajaya diangkat sebagai martani
(penasehat) di Kesultanan Cirebon. Martani berpendapat Sultan Anom sebaiknya
dibuatkan kraton di sebelah Utara Kraton Pakungwati, di Karang Jimat peninggalan
Ki Gedeng Lemahwungkuk, atas biaya Negara. Kraton yang disebut Kraton Kanoman
itu dihuni Sultan Anom pada tahun 1679. Kraton Pakungwati kemudian disebut
Kraton Kasepuhan sampai sekarang.
Sejak awal P. Sumajaya cenderung kurang tertarik dunia politik. Ketika menjadi
juru martani Sultan Sepuh Kasepuhan pun kegiatan keagamaan tak pernah
ditanggalkan. Pada malam hari ia sering bersemedi dalam lubang, di bawah semak-
semak pohon api-api. Tempat persemedian itu adalah di Dukuh Siapi-api.
Pada tahun 1530 VOC sudah memasuki Cirebon. Pada tahun 1681 Gubernur
Jenderal Speelman memerintahkan Vektor dan Kapten Karank untuk menegosiasi
Sultan Sepuh agar hidup atas pengampuan VOC. Mereka akan menjamin kehidupan
Sultan Sepuh dengan gaji yang dibayar tiap tahun. Sebagai imbalannya tanah
kesultanan dikonversi menjadi tanah ondernemeeng, terkecuali tanah kramat,
petilasan dan pekuburan dalam wewengkon Kesultanan Kasepuhan. Prajurit

Legenda Cirebon
37
Angkatan Perang pun dibubarkan, kecuali prajurit keamanan dalam baluwarti
kraton. Sultan Sepuh menandatangani perjanjian itu.
Mendengar berita itu, P. Sumajaya yang tidak menyetujui perjanjian tersebut,
segera mendatangi Sultan Sepuh agar mencabut kembali perjanjiannya. Apabila
pihak Belanda bergerak ia menyanggupi akan menanggulanginya dengan
kemampuan apa saja. Sultan Sepuh menyatakan tak sanggup menyabut kembali
perjanjian karena akan mengakibatkan kehancuran Kasultanan Kasepuhan.
Mendengar jawaban itu, P. Sumajaya sangat kecewa, akhirnya dia mengembara ke
Priangan bersatu dengan rakyat Dukuh Cidamar.
Di Dukuh Cidamar, P. Sumajaya berganti nama menjadi Ki Mendura. Untuk
melampiaskan dendam kepada VOC, pada tahun 1682 P. Sumajaya dan murid-
muridnya mengadakan pemberontakan, menyerang markas VOC di Cianjur,
Sukabumi dan Pasar Gede Bandung. Serangan itu mereka lakukan di kala malam,
kadang kala siang hari. VOC kewalahan menghadapi serangan yang berlangsung
selama setahun itu.
Pihak Belanda pada akhirnya mengetahui, bahwa pimpinan pemberontakan,
yang dipanggil Ki Gede Mendura itu adalah P. Sumajaya, saudara Sultan Kasepuhan.
Mengetahui hal itu, Gubernur Jenderal VOC dari Batavia kemudian mengutus
Vektor untuk menyelesaikannya dengan Sultan Kasepuhan.
Vektor didampingi Kapten Karank yang berada di Cirebon, menghadap Sultan
Sepuh untuk menyampaikan perihal pemberontakan yang terjadi di Priangan. Sultan
Sepuh diminta untuk memperingatkan P. Sumajaya agar menghentikan serangan.
Apabila gagal, Kasultanan Kasepuhan akan dikenai sanksi. Sultan Sepuh meminta
waktu selama satu bulan.
Sultan Sepuh segera mengutus Jagabaya ajudan membawa surat panggilan
kepada abangnya yang sedang melamur itu. P. Sumajaya menerima surat itu dan
mengerti maksudnya. Dia pun segera pulang menemui Sultan.
P. Sumajaya : “Bayi (adik) Sultan, saya tak ridlo atas tindakan Belanda
perjuanganku belum pudar, saya tahu kekuatan Company pada ukurannya.”.
Sultan Sepuh menjawab : “Ya terima kasih Raka (abang) atas pembelaanmu.
Namun Belanda banyak angkatan lautnya, kini sudah ada dua armada berlabuh di
pelabuhan Muara Jati, menantang kita. Pokoknya bila abang terus berontak, kami
yang jadi korban malah Kraton Kasepuhan sejarahnya dimusnahkan.”.
P. Sumajaya : “Mari Dik ke pesisir melihat kapal perang Belanda”. Setibanya di
Pelabuhan Muara Jati P. Sumajaya menuding kapal dengan tongkatnya, dengan
kramatnya mendadak datang angin ulur-ulur meniup air laut ke arah kapal, sehingga
kedua kapal tersebut goyang terampul-ampul. “Lihat Dik, kapal itu tidak begitu
kokoh, akhirnya juga tentu pada jatuh terbenturan”.
Sultan Sepuh : “Yah! Sekarang terserah Abang, juga kami nyerah kepada
Dalang yang berwenang pada lakon”. Lalu keduanya pulang ke kraton.
Pada malamnya, Sultan Sepuh bersemedi di Dalem Agung. Panda malam itu
juga P. Sumajaya bermimpi kedatangan Sunan Kalijaga yang melambaikan tangan
tanda berhenti.
Pada keesokan pagi, P. Sumajaya menghadap Sultan, katanya : “Oh Bayi
Sultan, tadi malam saya bermimpi dihadiri Sunan Kalijaga yang melambaikan
tangan tanda berhenti. Saya sekarang tak mau melanjutkan pemberontakan lagi
pada Company Belanda, agar kita selamat dan Kraton lanjut”.
Selanjutnya Sultan Sepuh melapor kepada pihak Belanda, bahwa P. Sumajaya
sudah dapat ditentramkan. Dia juga agar P. Sumajaya tidak ditindak pidana karena
Sultan sanggup menjaga keamanannya. Hal tersebut dapat diterima pihak Belanda.
Seterusnya P. Sumajaya ditempatkan di Gedung Keputran.
Sekalipun deemikian, hati hati tidak mudah dipadamkan. P. Sumajaya masih
memendam dendam kepada penjajah. Oleh karena itu, ia sering sakit-sakitan, hingga
usianya hanya kurang lebih setengah abad.

Legenda Cirebon
38
Jenazahnya dikubur di Gunung Sembung, sebelah Barat pengimaman Masjid
Kramat Astana Gunung Sembung. Beliau tidak meninggalkan putra seorang pun.
Adapun bekas pertapaan P. Sumajaya di Kejawanan, sebagai peninggalan
sejarah dan benda keramat bagi orang-orang yang berziarah di situ. Lubang petilasan
diberi cungkup oleh Sultan Sepuh I. Petilasan kramat P. Sumajaya termasuk
wewengkon Kesultanan Kasepuhan Cirebon.

Legenda Cirebon
39
8. ADIPATI TANDHA MOE alias BAGUS JAKA

Di Desa Pesawahan Kecamatan Mandirancan Kabupaten Kuningan ada makam


yang dikeramatkan oleh masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Makam itu disebut
Makam Embah Sapujagat, letaknya di puncak sebuah bukit di kawasan pemukiman.
Cerita tentang Embah Sapujagat ini berkembang menjadi berbagai macam dongeng
yang berbau mistis dan legenda. Maka tidak nengherankan apabila makamnya pun
hingga dewasa ini banyak dijiarahi orang.
Embah Sapujagat atau biasa pula dipanggil Kiai Sapujagat adalah seorang
pahlawan dan salah satu tokoh penting di Kerajaan Cirebon pada jaman
pemerintahan Panembahan Ratu II. Dia amat berjasa dalam menyelamatkan
Kerajaan Cirebon dari tekanan Kerajaan Mataram (Sunan Amangkurat I Tegalarum).
Hingga kini Kyai Sapujagat telah menjadi tokoh mitologi dan legenda dengan berbagai
alur dongeng yang amat menarik untuk diceritakan. Cerita “Adipati Tandha Moe”
(“Bagus Jaka”) adalah kisah perjalanan hidupnya.
Adipati Tandha Moe alias Bagus Jaka adalah seorang pemuda desa yang amat
tampan. Dia dididik khusus oleh kakeknya, Kyai Waridhenta, dalam ilmu agama,
kesaktian, kanuragan dan pengetahuan lainnya, sehingga ia menjadi pemuda
tangguh fisik, mental dan moralnya. Singkat cerita ia merupakan pemuda sakti
mandraguna punjul lima papak.
Kakeknya, Kyai Waridhenta, adalah salah seorang andalan dan orang penting
Kerajaan Cirebon sejak Pemerintahan Panembahan Ratu I (cicit Sunan Gunung Jati)
yang mengasingkan diri dari percaturan politik kenegaraan Cirebon.
Setelah dianggap cukup dan cakap, maka Bagus Jaka dilepas oleh kakeknya.
Dari pertapaannya Bagus Jaka disuruh mengabdikan diri di Kerajaan Cirebon. Dan
Bagus Jaka pun memenuhi keinginan itu. Bahkan Bagus Jaka amat diandalkan oleh
Panembahan Ratu II, berkat kecerdasan, keberanian dan ketangguhan ilmunya.
Setelah usia tua Adipati Tandha Moe alias Bagus Jaka menjadi seorang ulama
yang amat disegani dan akhirnya ia disebut Kyai Sapujagat atau Embah Sapujagat
hingga wafatnya.
Selanjutnya siapakah ayah dan bunda Adipati Tandha Moe (Bagus Jaka) ? Ikuti
saja dalam naskah cerita Adipati Tandha Moe (Bagus Jaka) ini.
Mentari seperti digayuti dahan-dahan kayu honje dan palar siang itu, membuat
bayangan redup di danau Astagina, seredup bayangan Gunung Ciremai membiru
pekat bergoyang-goyang di permukaan air talaga. Astagina adalah sebuah telaga alam
yang amat sejuk airnya, sesejuk air tersimpan di guci tanah liat selama tujuh windu.
Beningnya bagaikan lantai kaca Keraton Indraprahasta dan gelombangnya selembut
deret sirap kaca atap gedung Keindran Jung Puri Salaka. Keindahan panorama di
sekitar telaga sungguh asri bagaikan Taman Sriwedari di Maespati. Rumput, rumput
spora dan lumut–lumut membeludru hijau bagaikan kambal gedung megah abad ke-
20 dengan ruangan penuh putaran air conditioner.
“Engkau tidak berangkat ke padepokan Eyangmu, Jaka?” begitu selontar ucap
dari seorang ibu kepada pemuda bagus yang sejak tadi mempersiapkan gendewa.
Lalu pemuda yang disebut Jaka terperangah heran, tidak menduga ibunya akan
hadir berdiri di tepi telaga, tempat biasa ia menyendiri.
Perempuan yang menegurnya adalah bukan lain ibunya, Nyi Rasmi. Perempuan
berusia sepertiga abad ini masih kelihatan cantik apabila tidak ditutupi
kesederhanaan busana dan ronaan batin yang senantiasa pasrah dalam penantian
sang suami yang tak kunjung menyambanginya.
Untuk menutupi kegugupannya Bagus Jaka berkata, “Duhai Ibunda, seribu
ampun selaksa hampura. Hamba belum menyelesaikan ini”, sambil memperlihatkan
gendewa panah yang sedang ia selesaikan beberapa hari lalu. Lanjutnya, “Lihatlah,
Bunda ! Bukankah gendewa ini amat bagus? Hamba kerjakan sangat hati-hati, untuk
hamba persembahkan kepada Ramanda Panembahan Pakungwati. Lihat, kayunya

Legenda Cirebon
40
kuning bagaikan gading, bukan? Begitu gembiranya ia ucapkan kata-kata itu di
hadapan ibunya. Akan tetapi, kegembiraan Jaka malah menambah sendu kerinduan
sang ibu, teringat kepada serat-serat kehidupan seorang perempuan terpisah dari
suami yang ia rindukan.
Melihat gelagat ini Bagus Jaka terperangah untuk kedua kalinya. Jaka
meyadari bahwa akhir-akhir ini memang ibunya lebih banyak bersedih dan kadang
tidak berminat apabila obrolan dibawa ke hal yang menyangkut pribadi, apalagi
menyebut–nyebut suaminya. Jaka sendiri merasa larut dalam kerinduan; kerinduan
seorang anak kepada bapak yang dicintainya.
Dahulu, waktu dia masih bocah, ayahnya sering mengajak berburu di hutan
Ciangkup ini. Menelusuri tebing dan semak, merasakan redup dan lembabnya
humus yang ia injak. Ia sendiri paling senang menangkap pacet sebesar biji kemiri
dari dahan pinus. Ia juga gemar menangkap ular gadung di sana. Ingat kata–kata
ayahnya, “Ular adalah musuh manusia.” Akan tetapi ia sendiri tidak merasa takut
akan bahayanya, ular dianggap sahabatnya saja. Bagus Jaka memang seorang
pemuda yang amat pandai menjinakkan binatang. Semua binatang yang ada di
sekitar desa dan hutan dijadikan sahabat dekatnya.
Pada suatu saat ia pernah mendengarkan ucapan ayahnya, “Jaka, engkau
akan menjadi pemuda kebanggaanku.” Kata–kata ayahnya itu selalu terngiang–
ngiang di telinga, namun arti dan maknanya ia tidak tahu.
Demikian dalam lamunannya itu, sampai–sampai rangkulan tangan ibunya
yang penuh cinta tidak ia sadari. Tetapi Jaka terkejut merasakan ada titik–titik air
hangat jatuh dari sudut mata ibunya.
“Ayahmu tak akan mau lagi datang kemari. Tak akan berburu di hutan lagi,
tak akan mengenal desa kita lagi, Jaka,” begitu rintih ibunya. Lalu lanjutnya,
“Namun ia bukan melupakan kegemarannya, bukan melupakan ibu dan kamu,
keadaanlah yang tidak mengizinkan ayahmu untuk datang kemari.”
“Hamba rindukan dia, bunda !” begitu desah Jaka, suaranya bergetar mungkin
larut juga dalam kerinduan ibunya. Ibunya tidak tahan lagi menahan gejolak batin,
cuma mampu mendekap anaknya semakin erat. Kalau saja ibunya mampu
mengutarakan dengan kata–kata, tentu kesedihan ini tidak berkepanjangan. Lain
dengan Jaka yang menyadari akan kenyataan ini, karena setiap saat selalu diberinya
petuah agar dirinya jangan menjadi pemuda cengeng.
Jaka menyadari bahwa ibunya hanya seorang selir raja. Apalah artinya seorang
selir, tidak kuasa dan tidak punya hak untuk turut memikirkan urusan seorang raja.
Walau sang selir memahami betul akan situasi dan kondisi pemerintahan suaminya,
keadaan negara dan rakyatnya. Jaka seperti juga ibunya hanya pasrah hidup sebagai
orang desa yang hidup tidak mengenal tata krama, wawasan, situasi politik negara.
Memang kadang–kadang pemikiran setiap orang tidak mesti sama, meski
rambut sama hitam dan sungai akan mengalir ke muara, tetapi lekuk likunya tentu
akan berbeda. Seperti yang ada dalam pikiran Nyi Rasmi, Jaka sendiri dan Ki
Waridhenta, kakeknya.
Sesungguhnya Bagus Jaka sejak meningkat remaja waktunya dihabiskan oleh
didikan dan gemblengan kakeknya. Kakeknya adalah seorang yang tajam pemikiran,
berwawasan luas dan dalam. Ilmunya mengalahkan pandita di seluruh Cirebon.
Bagus Jaka akan dicetaknya menjadi pemuda tangguh punjul lima papak, baik dalam
ilmu keprajuritan maupun ilmu agama dan pengetahuan lainnya.
Selama lima belas tahun Bagus Jaka sudah bagaikan baja, di tubuhnya
mengalir arus petir tinggi. Di seluruh tubuhnya mengalir tegangan tinggi di bidang
agama. Iman tauhid ma’rifat Islam telah digenggamnya erat–erat. Pandangan
tassawuf sebagai jalan terarah mardhotillah, jalan yang dibanggakan Tuhan sebagai
manusia sempurna insanul kamil. Olah tirakat dan bertapa bagi Bagus Jaka seperti
asam, rasanya ya namanya. Peribahasa mengatakan apabila ia sedang menjalankan
tapa “Jalma mara jalma keplayu, setan mara setan mati dan jin mara jin mati,” untuk

Legenda Cirebon
41
dijuluki sebagai manusia sakti mandraguna, “tan tedhas tapak paluning pande.”
Namun sejauh itu ibunya tidak mengetahui anaknya menjadi manusia sehebat itu.
Kakeknya, Kyai Waridhenta, sesungguhnya seorang kepercayaan Panembahan
Pakungwati awal, mendiang eyang Panembahan Pakungwati yang sekarang. Namun
semenjak anak perempuannya, yaitu Nyi Rasmi diperistri Panembahan Pakungwati II,
dia lebih banyak menyendiri dan menekuni segala ilmu di puncak bukit Ciangkup ini.
Nama Waridhenta bagaikan hilang dari lingkungan Keraton Pakungwati. Karena dia
amat sakti maka masyarakat menyebutnya sebagai Raja Jin, dan Nyi Rasmi anak
perempuannya disebut sebagai Putri Jin. Dan Bagus Jaka tentunya tidak mustahil
apabila disebut anak keturunan jin. Oleh sebab itu Padepokan Waridhenta di puncak
bukit Ciangkup itu jarang dikunjungi orang karena amat angkernya. Hal ini
membuat Waridhenta merasa leluasa dalam menggembleng Bagus Jaka.
Lebak reundeuh sejak lama merupakan tempat bercokolnya ilmu hitam, sebuah
tempat pemujaan bagi orang-orang yang ingin segera kaya dengan jalan ilmu setan.
Letak lebak reundeuh justru amat dekat dengan Padepokan Waridhenta. Hal ini
menyebabkan masyarakat semakin tajam beralibi, bahwa Panembahan Ratu II salah
satu selirnya adalah putri jin. Jadi Bagus Jaka adalah hasil percampuran manusia
dan jin.
Lebak reundeuh merupakan tempat orang mencari kekayaan dengan jalan
setan atau nyupang. Kyai Sapujagat memberantas tempat tersebut, sehingga tempat
“penyupangan” itu lenyap dari benak masyarakat. Padahal yang dipuja mereka
adalah sebuah batu dolmen, batu tumpang tempat penyimpanan abu jenazah para
leluhur jaman dulu.
Kembali ke kisah perjalanan hidup Bagus Jaka. Kala itu sang surya telah lingsir
ke Barat, menandakan saat dhuhur telah usai. Angin muson dari Gunung Kumbang
merebak semilir dingin di musim kemarau panjang seperti ini. Di puncak bukit
Ciangkup tampak sepi seperti biasa, kecuali dua sosok tubuh yang duduk saling
berhadapan di hamparan tikar pandan pada sebuah padepokan. Pendopo padepokan
itu merupakan bangunan kayu dengan atap ijuk, di situlah mereka berdua
mengadakan “pawejang”. Sesosok tubuh muda kekar sedang duduk bersila dengan
sikap amat takjim menghadap sosok tubuh tua renta, namun sorot matanya masih
menunjukan sinar keajaiban.
“Bagus Jaka, cucuku. Telah sampai saatnya untukmu mengabdikan diri ke
haribaan ayahandamu di kota Grage. Ayahmu sangat membutuhkan baktimu saat
ini, demi Kerajaan Pakungwati dan masyarakat Cirebon,” begitu ujar Ki Waridhenta
kepada Bagus Jaka, sambil tangannya melilit daun enau kering sebagai bahan
pembungkus tembakau rokok. “Ilmu yang aku berikan selama ini semoga ada
manfaatnya.”
“Apabila itu kehendak eyang, titah ini akan hamba laksanakan sebaik-baiknya,”
jawab Bagus Jaka, lalu lanjutnya, “Namun eyang, hamba ini hanya seorang pemuda
desa yang tidak tahu tata krama kerajaan. Tidak pernah bergaul dengan orang kota.”.
Eyangnya tidak berkomentar, hanya melontarkan senyum penuh arti.
Dedaunan kering yang terhempas angin di pelataran padepokan bukit Ciangkup
menimbulkan suara gemerisik, lalu daun-daun kering itu saling berkejaran menuruni
tebing curam. Di tebing sana ada jalan setapak, jalan yang biasa di lalui mereka
berdua untuk berlatih olah jurit atau ilmu bela diri.
Sambil memandang jauh ke arah tebing Bagus Jaka terketuk ingatannya, lalu
bergumam, “barangkali sejak saat ini aku tidak akan lagi menuruni tebing itu”.
Namun dadanya terguncang keras, matanya beringas serta merta mengangkat
sembah, lalu ujarnya, “Eyang hamba pikir Ayahanda tidak akan menerima bakti
hamba sebab sudah lama beliau tidak pernah menyambangi kemari.”
“Jangan risau cucuku, barangkali pamanmu Pangeran Kejawanan akan
berkunjung kemari. Masih ingatkah engkau pada pamanmu yang seorang ini ?’
begitu timpal kakeknya.

Legenda Cirebon
42
“Oh hamba ingat benar. Paman Demang Kejawanan adalah orang yang paling
hamba sukai. Hamba pun merindukan kedatangan beliau, Eyang.”
“Dia pasti akan datang hari ini, walaupun tidak kita undang. Dia akan aku
jadikan saksi nanti, karena Eyang sebentar lagi akan meninggalkanmu, ibumu dan
semua yang ada di dunia fana ini. Dan hari ini adalah hari wisuda bagimu, hari di
mana terjadi penyerahan mandat segala kekuatan padamu.”
Mendengar ucapan kakeknya yang aneh ini, Bagus Jaka bagai berhenti
bernapas. Ucapan kakeknya bagai sambaran petir tiada mendung. Dalam benaknya
berkata, “Bila demikian Eyang akan meninggalkan aku selama-lamanya?” Bagi Bagus
Jaka, eyangnya adalah milik satu-satunya yang amat berharga. Ia hormati, ia puja
seluruh jiwa dan raga. Ia menyadari bahwa seluruh hidup dibesarkan dan
didewasakan oleh beliau.
“Engkau tidak usah was-was. Semua itu karena kuasa Tuhan semata. Eyang
hanya dari sekian juta umat dan semua umat beragama di dunia ini akan mengalami
hal serupa. Lahir, dewasa, tua, lalu mati. Ini yang patut disyukuri. Berarti orang
semacam Eyang termasuk hitungan yang lengkap, yaitu lahir, dewasa, tua, lalu mati.
Tugas yang Eyang jalani hanya sampai hari ini.”
Tiba-tiba pembicaraan terhenti, sudut mata Eyang Waridhenta melirik ke arah
jalan pendakian sana, lalu melontarkan senyum sambil berujar, “Jemputlah
pamanmu, ia benar-benar datang hari ini, dan rupanya bersama dengan ibumu.”
Bagus Jaka terhenyak dari rasa sedih, lalu bergerak sembah meninggalkan
Eyangnya. Langkahnya menggebu menuruni bukit. Kadang ia melayang-layang,
berjalan dengan telapak kaki tanpa menyentuh tanah. Di kelokan jalan pendakian itu
Bagus Jaka benar-benar melihat kedatangan paman Demang Kejawanan bersama
ibunya. Bagus Jaka tersenyum lalu gumamnya, “Memang Eyang orang yang aneh,
sebegini jauhnya jarak, tamu sudah diketahui.”
“Hai, Jaka! Engkau tanggap rasa benar jauh-jauh sudah menghadang,” begitu
tukas Demang Kejawanan.
“Eyanglah, paman. Hamba disuruh menjemput,” lalu Jaka merangkul ibunya
dengan penuh kasih sayang, setelah mencium tangan pamannya. Namun wajah Jaka
terkilas sedih. Sedih karena ucapan Eyangnya barusan.
“Lho, ada apa, Jaka ? Kok bersedih ?”, ibunya bertanya, tapi Jaka tidak
menjawab.
“Oh, paman mengerti. Pasti kau telah diberitahu eyangmu”. Jangan bimbang,
Jaka. Teguhkan imanmu !”, begitu ujar pamannya membesarkan hati.
“Hamba kurang mengerti kata-kata Eyang, Paman. Mengapa beliau berkata
begitu? Ada sandiwara apa sesungguhnya semua ini ?“ keluh Jaka.
“Jangan salah mengerti, anakku. Eyang memang hari ini akan meninggalkan
kita semua. Memangnya mengapa?”
“Begini, Paman. Eyang sebagai makhluk Tuhan, mengapa beliau tahu betul
akan hari ajalnya? Bagi hamba kurang masuk akal”, begitu desak Jaka.
“Lihatlah dengan mata hati, Jaka. Bagi orang seperti eyangmu itu soal hari
baatnya sendiri akan mengetahuinya. Bagi dirinya bukan suatu keajaiban. Nah, oleh
karena itu engkau harus menuruti apa kehendak beliau hari ini. Dan terimalah
kenyataan ini dengan hati terbuka dan ikhlas. Darah Eyangmu sebagian besar telah
mengalir ke dalam jantungmu, terimalah seadanya nanti. Mari, Eyangmu sudah
menunggu kedatangan kita!” Lalu mereka bertiga bergegas mendaki bukit Ciangkup
dengan saling membisu. Begitu juga Nyi Rasmi, pasrah dalam kebisuan.
Tatkala sampai di pelataran padepokan, Eyang Waridhenta telah berdiri tegak
dengan pandangan mantap dan uluran tangan ikhlas menggapai mengajak mereka
segera menaiki pendopo pawejang. Entah oleh suatu daya kekuatan gaib macam apa,
mereka tidak mengerti. Bertiga hanya duduk bersimpuh dengan muka tertunduk

Legenda Cirebon
43
dalam keheningan pekat. Margasatwa di puncak bukit Ciangkup tidak ada yang
bersuit. Keheningan itu seperti di alam gaib, memukau.
Sinar matahari seolah jatuh meredup, angin bergerak melembut dan musim
kemarau memanjang tidak sebagaimana biasa. Semua itu barangkali merupakan
tanda akan berakhirnya seorang sakti mandraguna tutup usia.
“Cucuku, majulah duduk dekatku. Ulurkan tangan kananmu dan perlihatkan
jari manismu. Hari ini adalah hari amanat ayahmu Eyang laksanakan. Oleh
karenanya Eyang taati benar. Amanat ini Eyang rahasiakan, sampai-sampai lutut
Eyang pun tidak tahu. Eyang berbuat begitu karena dia adalah rajaku dan raja kita.
Raja yang paling agung.”
Lalu Eyang Waridhenta memasangkan sebentuk cincin permata berkilau,
kemudian ucapnya, “Cincin ini milikmu, hadiah dari ayahmu. Namun harus
diserahkan apabila Eyang merasa telah cukup memberikan ajaran ilmu kepadamu,
begitu pesan ayahmu. Nah, hari ini melekat di jari manismu, berarti semuanya telah
uai, janji Eyang. Berangkatlah kau menuju ke kerajaan ayahmu, setelah engkau
selesai membereskan jasad Eyang ini. Eyangmu hanya sekedar memberikan sebuah
kenang-kenangan untukmu. Terimalah, barangkali ada manfaatnya.”
Bagus Jaka pun menerima kenang-kenangan dari kakeknya itu. Sebilah patrem
tidak begitu panjang bentuknya. Tidak lebih dari sebilah badik besi berwarna hitam
pekat.
“Nah, engkau, Rasmi. Relakan kepergian anakmu. Ia pergi akan membaktikan
diri kepada ayahandanya, kepada rajanya dan kepada rakyatnya yang perlu
pertolongan. Dan engkau, Jawanan. Dampingilah Jaka, selama kau masih ada detak
nafas di tubuhmu. Agar kesaksian ini kau ukir dalam wahana kehidupanmu yang
paling dalam.”
Setelah selesai memberikan petuah Eyang Waridhenta beranjak dari sila
mengajak anak cucunya untuk menuruni pelimbahan pancuran berwudhu dan
mereka memasuki mushola untuk melakukan ashar bersama. Selesai salam
Waridhenta dipanggil ke haribaan akhirat di alam Barzah sana. Tubuhnya melemas
bersinar dibarengi oleh ramainya kicau margasatwa dan serangga di senja itu, bagai
menghantarkan dan bela sungkawa atas kepergian seorang yang mereka cintai dan
mereka segani selama ini.
Begitu pula Nyi Rasmi, Demang Kejawanan dan terlebih Bagus Jaka merasa
dipaksakan untuk pasrah dan ikhlas melepas kepergiannya. Bagus Jaka merasa
jakunnya berat untuk menelan ludah kepedihan.
Satu hari setelah kematiannya ternyata banyak orang dari jauh berdatangan.
Berziarah ke kuburnya dan memberi tanda bakti bela sungkawa kepada Nyi Rasmi
dan Bagus Jaka. Mereka yang berdatangan, bergantian dari hari ke hari, akan tetapi
Nyi Rasmi tidak mengenal mereka seorang pun.
Maka ramailah orang mempertanyakan siapakah sesungguhnya Eyang
Waridhenta ? Tak ada seorang pun tahu. Tapi yang jelas ia manusia biasa seperti
kita-kita ini. Ia berumur panjang. Dahulu tatkala Panembahan Losari menjabat
Adipati di Kapanembahan Losari, Waridhenta salah seorang pendamping terdekatnya.
Ia tidak diketahui dari mana asalnya. Keturunan siapakah ia, keturunan ningratkah
ia atau orang biasakah ia ?
Tatkala Panembahan Losari mempertahankan perbatasan sebelah Timur
kerajaan, Waridhenta banyak mengambil bagian dalam memperkuat pertahanan
kawasan Cirebon dari penetrasi Mataram dan Kompeni Belanda yang selalu
memperoleh fasilitas Mataram. Setelah Sunan Agung Mataram wafat, Waridhenta
masih berada di Losari. Panembahan Losari wafat, Waridhenta menghilang,
menyisihkan diri menjadi pertapa dengan anak gadisnya Rasmi yang kemudian
diperisteri oleh Panembahan Cirebon yang sekarang. Mengapa ia seperti
meninggalkan tanggung jawab moral dan tugas mulia di Losari?

Legenda Cirebon
44
Masalahnya karena perubahan elite politik yang berkembang ke arah
perpecahan antara Mataram - Banten yang kemudian Cirebon akan dijadikan
jembatan bahkan mitra untuk memenangi Banten. Tentu saja banyak tokoh politik,
seperti Waridhenta ini, yang tidak senang terhadap Mataram (Sultan Amangkurat
Tegalarum) yang melancarkan penetrasi dan tekanan terhadap Cirebon untuk retak
dengan Banten. Itulah mengapa Waridhenta, sebagai tokoh andalan Cirebon, memilih
jalan surut dan mundur dari percaturan politik demikian. Mengapa Waridhenta mati
semangat ? Tidak gigih mempertahankan keutuhan Cirebon? Masalahnya anak
perempuannya, yakni Nyi Rasmi telah dijadikan selir Panembahan. Sedangkan garwa
padmi Panembahan adalah seorang putri yang tidak lain adik kandung Sultan
Mataram Tegalarum. Jadi pikiran dan kesimpulannya sudah pasti martabat Cirebon
akan mengambang, seperti Cirebon memakan buah simalakama; dimakan ibu mati,
tidak dimakan ayah mati. Itulah perkiraan Waridhenta. Oleh karena itu, ia lebih baik
mengundurkan diri dari percaturan politik itu.
Dahulu pertemuan antara anak gadisnya dengan Panembahan karena secara
kebetulan sang Panembahan gemar berburu di kawasan hutan dimana sang gadis
tinggal. Pertemuan diantara mereka diakhiri dengan pertalian jodoh. Dan telah
membuahkan seorang anak laki-laki yang telah ia beri nama Bagus Jaka.
Akan tetapi di desa terpencil yang dijadikan tempat tinggal Waridhenta dan
anak gadisnya ini dianggap amat misterius di kawasan bukit Ciangkup dan amat
diangkerkan masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu, ayah dan anak gadisnya
dianggap makhluk halus, sehingga Panembahan Cirebon itu dinyatakan oleh
kalangan keraton memiliki istri jin, yaitu dengan Nyi Rasmi, anak gadis Ki
Waridhenta yang menjadi kakek Bagus Jaka.
Kata Rasmi ini artinya sama dengan “kasmaran”. Oleh sebab Panembahan Ratu
II seorang yang suka bermain asmara, maka ia disebut pula dengan nama itu.
Panembahan Ratu II adalah seorang romantis dan tampan. Tidak mengherankan, jika
ia seorang penembahan yang banyak memiliki isteri selir.
Bagus Jaka memohon ijin keberangkatannya di hadapan ibunya dengan dada
berdegup dan kerongkongan terasa tersumbat, sebab disambut derai air mata dan
isak tangis Nyi Rasmi. Sebetulnya Nyi Rasmi bukan perempuan cengeng. Tetapi
karena nasib dan cobaan yang terlalu berat, maka sekarang menghadapi perpisahan
dengan anaknya seolah-olah bayangan kepahitan dan kegetiran hidup bermunculan
membanjiri benak, dan bayangan kepahitan itu membuat dirinya tidak mampu
menguasai diri.
Kelahiran Nyi Rasmi dibayar dengan kematian ibunya. Terpaksa bayi Rasmi
dibesarkan berbagai macam air susu; susu kijang, susu kuda dan lain-lain. Berbagai
perempuan tangan pengasuh yang selalu berganti, karena ayahnya, Waridhenta
hidup berpindah-pindah dan berkelana memperdalam ilmu dan tapa. Waridhenta
adalah lelaki yang dibayangi ketakukan terhadap perempuan. Kematian isteri
membuat dirinya merasa bersalah, juga memendam protes berkepanjangan, mengapa
istri tercinta direnggut begitu mudah oleh malaikat maut. Oleh karena inilah ia tidak
mau beristri lagi. Dirinya merasa dibayangi dosa, dibayangi rasa bersalah.
Setelah Rasmi menjadi gadis remaja, ditikah oleh rajanya yang sebelumnya
tidak bisa terelakan. Bisa dibayangkan, menjadi seorang istri raja yang berstatus selir
amat jarang memperoleh kasih sayang, jarang ditemui suami, walau tidak kurang
suatu apa. Sekarang, milik satu-satunya ialah anaknya, akan meninggalkan dia yang
baru saja kehilangan ayah. Inilah untungnya orang yang memiliki ketebalan iman
dan takwa; Nyi Rasmi seperti memperoleh petunjuk Tuhan sekalian alam. Galau
perasaan, kecamuk emosi, akhirnya dapat ia redakan.
Setelah melihat emosi Nyi Rasmi stabil kembali, barulah Demang Kejawanan
berani memberikan petuah seperlunya sebagai obat pelipur. Akhirnya sang ibu
memberikan restu atas kepergiannya, lalu ujarnya “Hati-hatilah Jaka, anakku! Hidup
di kerajaan sama halnya hidup di pelimbahan ilmu tetapi juga penuh sekat yang

Legenda Cirebon
45
tidak sembarang dikuak. Bila engkau tidak mampu terjun mengayuh, maka sekat-
sekat itu akan menjeratmu.”
“Ibunda, hamba pergi bukan buat selamanya. Apabila hamba tidak diperlukan
oleh ayahanda di sana pasti Jaka akan segera pulang. Percayalah, Jaka lebih senang
hidup bersama Bunda,” begitu sambut Jaka sambil mohon pamit dan menciumi
tangan dan kaki ibunya.
Dengan langkah mantap Bagus Jaka sempat pula mengunjungi pusara
eyangnya di puncak bukit Ciangkup. Kalau saja tidak karena pesan-pesan eyangnya,
Bagus Jaka lebih senang hidup mendampingi ibunya. Akan tetapi pesan adalah
amanat. Lalu ia ingat cincin pemberian eyangnya, ia pun segera mengeluarkannya
dari saku. Benaknya bergumam, “Cincin ini adalah tugas. Tugas apa pun akan saya
laksanakan demi eyang.”
Ia sujud di hadapan makam eyangnya. Eyang yang sekarang hanya berbentuk
imajinya itu tetap sama, seolah memberi semangat. Oleh karenanya, Bagus Jaka
pergi sambil memperlihatkan punggung dan dalam hati bergumam.”Ya Tuhan,
tabahkan diriku, hatiku dan jiwaku karena hamba sekarang harus berpisah dengan
eyang.” Lalu ia bergegas melangkahkan kaki dengan mantap dan pamannya
mengikuti dari belakang tanpa komentar.
Sudah beberapa belokan jalan dan sudah beberapa lembah mereka lalui. Pagi-
pagi lumut penuh humus, telapak kaki mereka basah oleh sisa embun yang
berkelipan menemel di rerumputan terkena matahari. Jaka tidak banyak bicara.
Hanya kadang-kadang ia memandang wajah pamannya yang mulai basah oleh
keringat. Begitu pula pamannya, enggan membuka percakapan.
Pamannya yang menyandang jabatan demang itu dan dianggap terpandang oleh
pejabat lebih awalnya, karena ia seorang yang bersikap tenang, tidak sombong dan
tinggi hati. Kepada keponakannya yang satu ini ia amat hormat dan setia. Dia merasa
bahwa sampai hidup berkecukupan dan terpandang tidak lain sebab jasa dan
didikan Ki Waridhenta.
Pandangan Bagus Jaka mulai meredup, sengatan matahari pada musim
kemarau seperti ini memang terasa lebih panas dibanding musim hujan. Wajahnya
basah oleh keringat dan ingatannya tajam waktu sudah menunjuk tengah hari.
Tatkala di turunan jalan pandangannya jauh ke depan, tampak menara surau yang
berbentuk kubah menjulang di sela pepohonan yang menggelimang hitam
tampaknya.
“Jaka, baiknya kita dhuhur di surau ini! Agar kita nanti bisa istirahat di rumah
Ki Sampan. Paman memang telah berjanji, pulangnya mampir kepadanya,” begitu
ucap pamannya memecah kebisuan sedari tadi.
Ki Sampan yang kebetulan sedang tidak bertugas dan sedang membelah kayu
bakar di pekarangan rumah, tampak sangat terkejut dan gugup. Kedatangan Ki
Demang bersama pemuda bagus pada kali ini tidak seperti baiasanya. Berpakaian
sebagai seorang petani dan tidak berkuda. Tetapi seperti biasa Ki Sampan segera
memerintahkan isterinya untuk menyiapkan makan dengan lauk pauk dan
kegemaran Ki Demang, yaitu sambel dan petai.
Ki Sampan adalah salah satu anggota pasukan “telik sandi” kerajaan. Asal
kelahirannya dari Tuban. Memperoleh jodoh dengan gadis di desa Tenjolayar dan
memperoleh keturunan seorang gadis, Rodiah namanya. Ki Sampan sudah lama
sekali menjadi anggota telik sandi, seumur dengan anak gadisnya yang sekarang
sudah berusia 16 tahun. Istrinya memang orang asli Desa Tenjolayar, anak seorang
lurah desa. Oleh karena itu Ki Sampan sangat senang dan bahagia hidup di desa
kelahiran istrinya.
“Ah, hamba jadi serba heran kedatangan Ki Demang hari ini,” ujar Ki Sampan.
“Lho, mengapa harus heran?” tanya Ki Demang.

Legenda Cirebon
46
“Bukan begitu, Ki. Rupanya Ki Demang sudah jadi telik sandi. Pakaiannya
seperti petani, jalan kaki, apakah sedang dalam perjalanan yang penting?” sahut Ki
Sampan sambil melirik pada seorang pemuda yang baru dikenalnya.
“Ki Sampan, aku memang sudah antara dua pekan meninggalkan kota raja.
Aku baru pulang dari Ciangkup, menyambangi sahabat lama. Dan ini cucunya aku
bawa serta. Nah, karena seperjalanan, jadi aku sekalian mampir ke rumahmu dan
kebetulan kamu ada di rumah.”
Ki Sampan mengangguk-angguk tanda mengerti, tetapi dalam hati Ki Sampan
tidak begitu percaya dengan penjelasan Ki Demang. Yang lebih penasaran lagi kepada
pemuda yang dibawanya serta. Rupanya tampan dan wajahnya membersit sinar
keajaiban. Seperti bukan pemuda desa. Akhirnya angannya jauh melayang ingat
anak gadisnya sendiri si Rodiah, rasa-rasanya seimbang bila menjadi pasangannya.
Lamunannya buyar, karena istrinya sudah memberi kode bahwa makanan sudah
disiapkan.
“Ki Demang, hari sudah lewat bahkan matahari telah lingsir, hamba
persilahkan Ki Demang nyekul”.
“Baiklah, Ki Sampan. Aku memang belum makan siang. Ayo Jaka, kita jangan
menolak rejeki.” Begitu ujar Ki Demang, lalu ia menuju balai-balai pelupuh lebar di
ruang tengah. Kelihatan sajian sudah tertata rapi dan merangsang rasa lapar
mereka.
Bagus Jaka sekilas pandang kepada perempuan yang lewat di dapur, rupanya
mata Ki Demang juga melirik kepada perempuan itu, sambil melahap petai bakar
dengan sambal terasi, dia berujar, ”Ki Sampan, gadismu cantik. Mengalahkan
ibunya, ya?”
Ki Sampan menjawab gugup sambil menelan nasi di mulutnya, “Si Rodiah itu
anak kami satu-satunya, Ki Demang. Yah cantiknya orang desa tetap saja bau dedak”
“Ah, bau dedak itu kan bisa mandi. Soal cantik sih ya cantik. Apakah sudah
punya pasangan, Ki?”
“Walaaah …………., di desa sini itu sepi Ki Demang, tidak ada pemuda. Apalagi
rumah ini kan paling ujung.”
Bagus Jaka diam-diam amat memperhatikan obrolan mereka dan memang
benar, rumah ini paling ujung. Sejauh mata memandang sampai menembus birunya
laut.
“Tapi kamu pinter dalam membuat rumah ini, Ki. Lihat kota raja terlihat jelas
dari sini. Laut biru menyatu langit. Bila ada perahu besar kelihatan dari sini.” Ujar Ki
Demang.
Sesungguhnya Rodiah tidak sebodoh itu. Gadis yang sudah berumur 16 tahun
akan lebih sensitif penglihatannya. Buktinya, sedari kehadiran pemuda itu ia sudah
memperhatikan dengan seksama. Dari jendela kamar ia dengan leluasa
memperhatikan Bagus Jaka. Darahnya terkesiap dan angannya jauh melayang.
Sepertinya Rodiah sudah ingin mendekap dan meletakkan wajahnya di dada pemuda
yang bidang itu. Mungkin saja nanti malam Rodiah bisa jadi bermimpi-mimpi.
Benarlah, setelah kedatangan Bagus Jaka ke rumahnya, Rodiah berubah sikap.
Yang biasanya lincah, bicara dengan kawan ngaji Quran di suraunya, sekarang lebih
banyak diam. Raut wajahnya seperti orang yang sedang mengingat-ingat sesuatu. Si
Tursinah kawan dekat Rodiah juga menjadi serba bingung melihat perubahan
sikapnya.
Bi Karni, ibu Rodiah sekarang lebih banyak ngomel tentang anaknya yang suka
melamun. Ki Sampan mengerti, pasti anak gadisnya merindukan pemuda yang
pernah dibawa Ki Demang. Ia berjanji dalam benaknya, suatu saat anak gadisnya
akan ia bawa ke tempat kediaman Ki Demang Kejawanan. Siapa tahu anak gadisnya
bisa bertemu dengan pemuda itu.
Pagi cerah bersemburat cahaya surya menghangati bumi pantai kaum Suni
yang telah bercokol sebagai nelayan tangguh memagari benteng kerajaan Pakungwati

Legenda Cirebon
47
sebelah Timur. Mereka itu amat setia dan bakti. Mereka disebut kaum Suni dan
kampungnya disebut demikian, yaitu Kesunian. Mereka adalah keturunan tokoh-
tokoh murid Syekh Lemahabang, wali yang beraliran Syiah Muntadzar, sehingga
kurang disenangi wali lainnya. Oleh karenanya Syekh Lemahabang harus gugur
dalam peradilan Wali Sanga.
Murid-murid Syekh Lemahabang dari Pengging banyak yang bermukim di
Cirebon. Kita tahu, kala itu Sultan Demak bersikap keras. Bagi siapa saja yang
termasuk murid Syekh Lemahabang harus dilenyapkan. Sedangkan di Cirebon bekas
murid-murid Syekh Lemahabang itu mendapat ampunan dengan syarat kembali
sebagai kaum Sunnah wal Jamaah. Oleh karena itu dahulu Sunan Gunung Jati
memberikan fasilitas dan ampunan kepada mereka. Orang-orang Pengging yang
berjumlah sekitar 900 orang itu ditempatkan di kampung Suni, sehingga tempat itu
bernama Kesunian atau Kesunean. Nama itu wajar, karena penduduknya memang
berasal dari Jawa (Pengging).
Pangeran Suryapranata dijadikan Demang, oleh karena itu ia disebut Pangeran
Kejawanan, yaitu Ki Demang Kejawanan.
Bagus Jaka beberapa saat bermukim di kampung Suni itu bersama Ki Demang
Kejawanan. Di sini ia lalu mengetahui seluk-beluk situasi dan kondisi kerajaan.
Mengertilah ia sekarang duduk persoalannya. Setelah Panembahan Losari wafat,
datanglah kaum infiltran Mataram yang membuat kekacauan di perbatasan. Dalam
menghadapi keadaaan itu Panembahan segera mengirim Pangeran Suryanegara
untuk meredam kekacauan, dan berhasil. Namun keberhasilan Pangeran
Suryanegara telah meningkatkan rekadaya kaum infiltran. Oleh karena itu dikirim
lagi Pangeran Sutawijaya Wira Upas untuk membasmi perusuh-perusuh ganas di
Alas Roban. Sutawijaya Wira Upas berhasil gemilang, sehingga diangkat menjadi
Dipati Losari berkedudukan di Gebang.
Setelah beberapa tahun kemudian Mataram rupanya tidak mengendurkan
tekanan terhadap Cirebon, namun Cirebon tetap tidak membuat reaksi formal,
karena Cirebon dan Mataram sesungguhnya merupakan mitra, bahkan Panembahan
Ratu II itu adalah suami adik perempuan Sunan Mataram.
Bagus Jaka menghayati benar bahwa ayahandanya seperti berdiri di ujung
tanduk. Tetapi ayahandanya termasuk orang yang gigih mempertahankan prinsip
dan martabat.
Keinginan Mataram Sultan Tegalarum itu jelas bukan karena ia kakak iparnya,
tetapi memang sikap keserakahan manusia yang berambisi menjadi kholifah di Jawa.
Sedangkan ayahandanya tidak mendukung ide serakah dan ambisius itu. Ki Ageng
Tirtayasa Banten pun akhirnya bersikap kurang respek kepada Panembahan Ratu II
karena dianggap lamban dan penakut.
Dalam kebisuan sambil mengambil nafas dalam-dalam, Bagus Jaka berkata
dalam kalbu, “Biar ayahanda memiliki seratus tokoh perang seperti Sutawijaya Wira
Upas tidak akan mampu membendung keserakahan kakak iparnya.“ Akhirnya Bagus
Jaka tergolek kelelahan di kamarnya. Dan penuh dengan mimpi-mimpi yang
mengerikan.
Dari penghayatan inilah Bagus Jaka semakin menggebu-gebu darah mudanya.
Ia ingin mengabdikan diri kepada Panembahan Cirebon alias ayah yang posisinya di
ujung tanduk itu. Maka di suatu senja ia memberanikan diri untuk menyampaikan
sesuatu kepada pamannya.
“Duhai, Paman. Barangkali senja ini hamba menyatakan siap untuk
dihadapkan kepada ayahanda.”
Mendengar ucapan Bagus Jaka, sang Demang tersenyum serta ucapnya,
“Bagus, memang aku tunggu-tunggu kesiapanmu, Jaka?”
“Tetapi bagaimanakan caranya, Paman?” ujar Bagus Jaka sambil mengerutkan
dahi.

Legenda Cirebon
48
“Engkau jangan sampai memperkenalkan dirimu sebagai anaknya. Kebetulan
Panembahan membutuhkan tenaga untuk seorang “pemayung”. Dengan demikian
engkau akan kuhadapkan dengan tugas itu !”
“Apakah pemayung itu, Paman?” tukas Bagus Jaka.
“Pemayung adalah staf ahli untuk menguasai segala kegiatan di keraton, yang
bersifat protokoler. Yah, sebagai petugas urusan dalam keraton. Maka oleh karena itu
engkau akan kuperkenalkan sebagai orangku, mengerti? Bersabarlah, engkau jangan
terlalu emosi untuk segera diketahui bahwa engkau adalah putranya.”
Bagus Jaka tidak menimpali kata-kata pamanannya ini, setelah lama baru ia
berkata, “Duhai, Paman. Bagaimana baiknya saja menurut Paman. Hamba menurut
apa yang akan direncanakan Paman.”
Pamannya tersenyum riang sambil mengajak Bagus Jaka makan bersama, dan
kemudian keduanya duduk-duduk di serambi muka menunggu saat Maghrib tiba.
Dan Bagus Jaka merasakan pengalaman pertamanya makan cara orang pejabat dan
priyayi keraton itu rasanya lezat, lalu benaknya bergumam, ”Oh, begitukah cara
makan seorang pejabat kerajaan. Lauk pauknya serba lengkap dan rasanya lezat.”
Menurut singkatnya kata sahibul hikayat, Bagus Jaka sudah menjadi seorang
pemayung di keraton ayahnya. Panembahan amat menyenangi Bagus Jaka.
Orangnya bagus, tampan dan selalu menjaga tata krama serta lincah dan cerdas
dalam bertugas. Segala tugas yang dibebankan selalu berjalan dengan rapi dan
bagus. Hingga Panembahan ada perubahan sikap. Dahulu sedikit-sedikit marah,
sekarang hatinya selalu gembira. Keadaan keraton jadi cerah dan bercahaya.
Minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Jaka telah dikenal sebagai
pemuda saleh dan berdisiplin serta tahu diri akan tugasnya. Putra-putra ayahnya
ada tiga orang, tapi Bagus Jaka amat dekat dengan putra bungsu yang bernama
Mohammad Nazarudin. Umur putra bungsu ini berada dibawahnya dan orangnya
pandai serta cerdas. Namun Bagus Jaka secara diam-diam semakin menyadari
bahwa kedudukan ayahnya semakin memprihatinkan. Ibu suri sudah lama pulang ke
Mataram karena diperintah Sunan Mataram agar tidak tinggal di Cirebon. Putra-
putranya seolah itik tanpa induk. Mungkin itu suatu akal halus Sunan Mataram,
agar Panembahan menyusul ke Mataram.
Pada suatu pagi yang cerah di Keraton Pakungwati terjadi kesibukan yang tidak
dimengerti oleh rakyatnya, sepertinya ada hal yang dirahasiakan. Tetapi rakyat kecil
tahu apa yang sedang dihadapi Panembahan Cirebon itu, sebab selama berbulan-
bulan ini para prajurit bayangkhara keraton selalu siaga. Penjagaan siang malam
silih berganti. Para Adipati, Tumenggung, Demang dan Ki Gedeng selalu berkumpul
di bangsal Pancaratna setiap harinya, seperti ada yang dibicarakan secara rahasia.
Memang benar, kemelut itu sesungguhnya telah tersiar lama.
Pagi itu sang Panembahan mengadakan seba (pertemuan) paripurna tertutup di
bangsal jinem dan bangsal Panigara yang dihadiri para adipati, tumenggung, demang
dan Ki Gedheng. Pradjurit dari setiap Pademangan berbaris di alun-alun Kertasaba.
Wajah sang Panembahan kelihatan bermuram durja. Rona kecut dan memucat bagai
kapas, tetapi kadang-kadang terlihat menahan amarah. Perilaku itu diperhatikan
benar oleh Bagus Jaka. Sebenarnya Bagus Jaka tahu persoalannya, namun Bagus
Jaka berlaku diam, pura-pura tidak mengetahui kegundahan hati sang Panembahan.
Perilaku seperti itu tentu saja sangat mempengaruhi suasana seba paripurna.
Musyawarah menjadi tegang tatkala sang Panembahan berkata, ”Keputusanku, aku
tetap tidak akan mengakui kedaulatan Mataram di bumi Pakungwati ini. Aku
dipersalahkan karena beberapa tahun ini aku dan keluarga tidak seba ke Mataram.
Oleh karena itu wahai para Adipati dan hadirin semua sikapku ini supaya
diberitahukan kepada seluruh rakyat. Pengumuman yang mencerminkan Cirebon
tidak mau tunduk di bawah kekuasaan Mataram. Kalian telah tahu, bahwa sepuluh
hari ini pasukan Mataram pimpinan Adipati Tan Kondur telah menunggu jawaban
kita. Mereka datang kemari karena perintah Sunan Mataram untukku. Suratnya

Legenda Cirebon
49
mengatakan agar Cirebon tunduk dibawah perintah Mataram. Baiklah, aku sebagai
Panembahan Cirebon maupun sebagai adik ipar, tersinggung. Kalau saja aku tidak
menghormati ia sebagai “sedulur tua”, pasukan itu mudah saja kita usir. Tapi demi
Tuhan! Demi keturunanku! Aku tidak mau ada pertumpahan darah selagi masih
dapat dicari jalan yang terbaik.”
Hadirin semakin hening dan tertunduk. Lalu sang Panembahan menyapu
keringat di dahinya, melanjutkan kata-katanya, “Nah, justru karena itulah aku
mengundang kalian untuk bermusyawarah. Kalian tahu, di sidang ini tidak kelihatan
Adipati Gebang, tidak kelihatan Ki Demang Kejawanan. Mereka sedang menahan
nafas di perbatasan sana menunggu perintahku. Mereka telah mengatur strategi
perlawanan bila keadaan memaksa demi keselamatan kotapraja.. Duhai engkau
Pangeran Winduhaji, bagaimana pendapatmu ?”
Pangeran Winduhaji kemudian mengangkat sembah, lalu katanya, “Duhai Gusti
Panembahan, maafkan hamba. Adipati Tan Kondur datang kemari tujuannya jelas,
menantang prajurit Cirebon. Kalau toh ia datang hanya sebagai utusan Kerajaan
Mataram tidak perlu membawa pasukan besar. Seribu pasukan adalah sama halnya
untuk membumihanguskan Cirebon. Baragkali satu-satunya jalan lebih baik kita
hadapi dengan kekuatan pula, Panembahan !”
“Bagus, memang benar pendapatmu ! Tapi masalahnya aku tidak mau ada
pertumpahan darah.” Sidang hening kembali. Tidak ada seorang pun yang mau
angkat bicara.
“Baiklah, dengarkan baik-baik! Barang siapa diantara kalian yang hadir
sekarang ini sanggup menjadi Tandha untuk menghadapi Adipati Tan Kondur ?”
Para Ki Gedheng kemudian menimpali, “Hamba setuju dengan mengangkat
Adipati Tandha !”
“Bagus, aku setuju mengangkat seorang Tandha. Nah, siapa yang sanggup?”,
begitu pinta Panembahan.
Lama sidang itu hening, tak ada seorang pun yang berusik. Semua wajah
tertunduk dengan rona takut. Tentu saja tak akan seorang pun berani untuk
diangkat menjadi Tandha walaupun pangkatnya cukup lumayan, menjadi Adipati!
Karena Adipati Tan Kondur sudah amat terkenal sakti dan bengis.
Suasana di ruangan itu bagai di museum diorama, semua hadirin mematung.
Tetapi beberapa menit kemudian Bagus Jaka beringsut dari duduk, maju
mengangkat sembah.
“Ada apa kau, Jaka?” tegur Panembahan.
“Ampun Gusti Panembahan. Apabila dipercaya, hamba akan melaksanakan
perintah Gusti. Sarat dan kehendak Gusti Panembahan akan hamba sanggupi.”
Begitu ujarnya mantap.
“Jangan mimpi engkau, Jaka !” tukas Panembahan.
“Demi Tuhan, ijinkanlah hamba melaksanakan tugas itu. Bukan karena hamba
ingin menjadi Tandha dengan pangkat Adipati, tetapi hamba tulus dari hati
sanubari.”
“Baiklah, mendekatlah kemari.”
Bagus Jaka kemudian maju lebih dekat ke hadapan Panembahan sambil
bersembah. Ujarnya dalam hati, “Barangkali sekarang tepat saatnya aku harus
berbuat.” Lalu ia unjuk bicara. “Duhai Gusti Panembahan, hamba bukan
menyombongkan diri, hamba hanya seorang desa yang amat bodoh. Namun karena
hamba mengerti permasalahannya, demi Kerajaan Cirebon dan demi rakyat Cirebon,
ijinkan hamba melaksanakan kehendak gusti dan hamba sanggup menghadapi
Adipati Tan Kondhur yang terkenal sakti itu.”
Panembahan terperangah mendengar kata-katanya, seraya mengingat-ingat
sesuatu, lalu ucapnya, “Jaka, sebab aku sudah jatuh janji dan nyatanya para Adipati
tak ada yang sanggup melaksanakan perintahku dan kau sanggup melaksanakan
tugas itu, maka baktimu aku terima. Tetapi sebelum aku melantikmu agar tidak

Legenda Cirebon
50
tambuh ing aran (tidak tahu asal-usulmu), maka aku bertanya, siapakah engkau
sesungguhnya ? Perasaanku seperti pernah melihat dan mengenalmu, tapi aku lupa
dimana ?”
“Paduka Gusti, ampunilah hamba. Sesungguhnya hamba sendiri tidak tahu
asal hamba, namun Eyang hamba telah memberikan benda ini.” Begitu tutur Bagus
Jaka sambil mengeluarkan sebuah cincin dari saku bajunya.
Panembahan memeriksa cincin itu dengan seksama dan benaknya berusaha
mengumpulkan ingatan. Maka tergugahlah ingatannya dua puluh tahun silam, saat
mereguk masa muda yang indah. Lalu kepalanya merasakan sedikit pusing karena
dalam benaknya tergambar seorang perempuan bernama Rasmi dan seorang anak
lelaki yang suka digendongnya di hutan perburuan. Tetapi Panembahan segera
menguasai diri, lalu ujarnya, “Baiklah Jaka, aku terima baktimu.”
Selanjutnya Panembahan memerintahkan agar segera memaklumatkan di
hadapan sidang, bahwa Bagus Jaka akan mengenakan busana Adipati dengan
menyandang selempang kuning dan wangkingan keris sang Tandha. Saat itu gong
dipukul tiga kali dan disambut dengan sorak-sorai gegap gempita. Tandu sang
Adipati Tandha pun dikeluarkan dari garasi. Bagus Jaka memperoleh gelar Adipati
Ingalaga Tandhaprapti. Bagus Jaka bagaikan Prabu Arjuna Sasrabahu dari Maespati,
gagah pertentang anggun dan berwibawa. Seluruh hadirin terpukau mengiring
kepergian Bagus Jaka menuju bangsal Malangsemirang di Siti Inggil.
Semua adipati merasa kecut, hati mereka kasoran melihat kenyataan ini. Dalam
batin mereka merasa minder. Namun sikap manusia biasanya selalu mendua dalam
melihat segala kejadian. Pertama, memberikan pujian dan kebanggaan. Kedua,
mencibir, merasa kurang puas.
Ramainya orang bertempik sorak barisan Prajurit Pakungwati di alun-alun.
Sesampai di balai Pangadha telah dijemput oleh penggamel (perias busana kuda)
yang menuntun kuda tujuh ekor. Kepala seekor diantaranya dihiasi dengan jambul
prabangkara berwarna gula kelapa (merah putih). Pelananya disebut “sungge-runggi”
dengan teretes emas. Kudanya hitam cemani meringkik girang. Kuda itu digiring
menjuju Pancaniti, sementara Bagus Jaka atau Adipati Tandhaprapti akan diadakan
upacara pelepasan oleh Panembahan di bangsal Malangsemirang di Siti Inggil.
Selesailah sudah upacara pelepasan dibarengi suara gemuruh orang-orang
bersorak. Tak lama majulah kuda-kuda itu setelah merasa diatas punggung mereka
diduduki tuannya. Suara pelana gemerincing dan lajunya bagai terbangnya sebuah
andaru jatuh ke bumi, lalu menghilanglah dari pandangan sang Panembahan. Tetapi
Panembahan masih tiada berkedip, terpaku memandang kepergian Bagus Jaka. Ya,
Bagus Jaka anaknya sendiri. Dalam dadanya ada seberkas penyesalan atas perilaku
yang pernah dilakukan kepada perempuan desa yang cantik, dikasihi, tetapi ia
campakkan begitu saja, sehingga berbuah keturunan yang sekarang ia tugasi sebagai
Adipati Tandha. Seorang Tandha biasanya konyol. Kalau tidak mati, ya cacat oleh
perlakuan musuh. Tetapi Panembahan tidak khawatir sedikit pun, apalagi bayangan
Ki Waridhenta selalu melingkar di benaknya.
Angan sang Panembahan lalu jauh melayang, ingat kepada perempuan yang
bernama Rasmi. “Apakah ibu anak itu kini masih ada ? Bisakah aku bertemu
dengannya ?”
Sementara itu, di luar perbatasan kota praja sebelah timur selama sepekan ini
terlihat ramai. Masyarakat sibuk melayani para prajurit Mataram, karena rakyat
diperintah agar melayani tamu mereka dengan baik. Tetapi tetap saja dalam hati kecil
mereka merasa takut dan tegang. Sebab rakyat juga mngerti, bilamana terjadi perang
dengan prajurit Cirebon, tentu mereka akan sengsara. Lebih-lebih termakan berita-
berita yang mengerikan, bahwa Kerajaan Cirebon akan dibumihanguskan.
Siang malam selama sepekan ini prajurit Mataram selalu mendapat hiburan
kesenian yang didatangkan dari wewengkon sekitar. Ada juga prajurit yang suka
mengganggu gadis-gadis sekitar, membuat hati rakyat menjadi kecut.

Legenda Cirebon
51
Tatkala matahari sepenggal tingginya, di perkemahan prajurit Mataram
berkumpul sedang menerima perintah Adipati Tan Kondur. Mareka telah mengambil
keputusan, apabila sampai tengah hari ini utusan pihak Kerajaan Cirebon tidak juga
datang, maka pada matahari gingsir ke barat pasukan Mataram akan bergerak maju
memasuki kotapraja.
Sejak pagi tadi para kurir saling menyampaikan informasi. Pihak Mataram
tentu tidak bisa bersabar. Sebaliknya, pihak Cirebon senantiasa menyampaikan
informasi dengan sikap melunakkan sikap keras Mataram. Anggota telik sendi
Cirebon, antara lain Ki Sampan sibuk mondar-mandir memberikan masukan kepada
Demang Kejawanan, sehingga situasi tiap jam bisa dicermati dengan baik.
Akhirnya apa yang mereka tunggu pun datang. Adipati Tandhaprapti tiba
dengan disambut tempik sorak para prajurit Cirebon suku cadang Losari, Gebang
dan Ender. Dengan tergopoh-gopoh Adipati Gebang menyambut kedatangan
rombongan Tandhaprapti. Pandangannya nanar bercampur heran tatkala terbentur
memperhatikan Adipati Tandhaprapti yang belum ia kenal selama ini. Tetapi
kepenasaranan itu mereka simpan dalam benak. Adipati Gebang dan Adipati
Sutawijaya Wira Upas lalu memperkenalkan diri.
“Selamat datang tuan Adipati,” begitu ucap Adipati Gebang sambil
menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Lalu disusul ucapan Ki Demang
Kejawanan, “Perkenalkan Tuan Adipati, inilah Adipati Gebang Sutawijaya Wira Upas.”
“Ya, aku sudah mendengar kehebatan tuan,” ucap Adipati Tandhaprapti sambil
tersenyum.
“Tetapi maaf tuan Adipati, aku sendiri belum mengenal tuan. Tuan adalah
orang baru buat aku,” ujar Adipati Gebang yang bertubuh kekar itu.
“Aku sesungguhnya bernama Jaka, aku khusus dijadikan Tandha oleh Gusti
Panembahan untuk urusan dengan Adipati Tan Kondur. Aku sekarang bergelar
Adipati Tandhaprapti.”
“Oh, terima kasih. Aku amat senang. Lalu bagaimana rencana tuan ?”
“Yah, … tentu aku minta informasi terakhir apa maunya pihak Mataram itu?”
“Baru saja kurir datang, mereka sudah bersikap mengancam. Apabila matahari
lingsir ke Barat tidak juga datang utusan dari Gusti Panembahan, mereka akan
menerobos Kotaraja.”
“Sudah anda siapkan pertahanan kita ?” tanya Adipati Tandhaprapti.
“Sudah !”
“Bagus,….tetapi kita tidak usah gentar. Begini, Tuan. Dimohon anda bersiap
siaga sesuai dengan rencana anda, sementara aku menghadap langsung dengan
diiring Paman Demang Kejawanan. Apabila nanti ada tanda panahku ini, berarti
perang tidak bisa dielakkan. Tetapi bila tidak juga ada panahku ini Tuan
mengerahkan seluruh barikade pasukan menghadang jalan-jalan yang dianggap
rawan. Nah, aku berangkat. Selamat bertugas !”, begitu ucap Adipati Tandhaprapti
sambil meloncat ke kuda cemaninya itu.
Pangeran Sutawijaya Wira Upas tidak bergeming sambil memandangi Adipati
Tandhaprapti di punggung kuda itu. Begitu pula para komandan pasukan saling
bengong menyaksikan sikap dan laku Adipati Tandhaprapti, tenang, tidak terlihat
gelisah, membuat hati harap-harap cemas, “Apakah dia akan mampu menghadapi
Adipati Tan Kondur itu?”
“Nah, paman. Mari kita berangkat. Tegakkan panji-panji perdamaian di
belakang. Jalan kuda kita diatur congklang dan formasinya berbanjar dua. Paman
hendaknya selalu ada di sisi kananku.”
“Baik !”, tukas Demang Kejawanan sambil memberi komando kepada lima
pengiring di belakangnya.
Para penggede dan perwira yang lain mengikuti pandang laju rombongan
tandha itu memasuki daerah luar perbatasan. Mereka kemudian bubar ke tempat
tugas masing-masing setelah ada perintah dan aba-aba dari Adipati Gebang.

Legenda Cirebon
52
Suasana tegang menyelimuti seluruh pasukan Cirebon menunggu tanda yang
dijanjikan Adipati Tandhaprapti. Matahari sudah lingsir ke barat, tetapi tanda itu
tidak kunjung muncul, membuat mereka semakin harap-harap cemas dan dada
berdegup.
“Ah, celaka. Jangan-jangan utusan tandha kita telah dihabisi nyawanya,” bisik
Adipati Gebang kepada Ki Gedheng Ender.
“Semoga jangan terjadi demikian , Tuan. Hamba kira mereka berunding saling
adu prinsip, sehingga memakan waktu panjang. Semoga Tuhan memberkati mereka
!” begitu jawab Ki Gedheng Ender dengan suara berbisik pula, takut didengar para
prajurit.
Memang kejadian apa pun bisa saja terjadi dalam saat-saat tegang seperti ini.
Bayangkan, seperti prajurit-prajurit pilihan dari Losari, Luragung, Sanggarung,
Ender, Japura, Mundu yang tak pernah mengenal menyerah ini seandainya
menghadapi 1000 pasukan dari Mataram apakah mampu ?
Pasukan tandha yang berjumlah tujuh orang terus melaju. Bagus Jaka dan
Demang Kejawanan melarikan kuda mereka congklang, sambil menatap lurus ke
kemah permukiman prajurit Mataram.
“Memang hebat Sultan Mataram, benar juga kata orang bahwa Mataram ingin
menjadi raja diraja di Nusantara ini,” begitu benak Bagus Jaka. Di depan tenda-tenda
itu sudah mulai jelas kelihatan, umbul-umbul dan panji-panji berwarna warni
berkibaran ditebak angin.
Kira-kira dua ratus langkah ke depan ada pos jaga prajurit Mataram yang siap
menghadang dengan wajah angkuh. Mereka menghentikan barisan Tandha itu
dengan nada perintah, “Tuan-tuan, berhent i!” mereka kemudian mengepung dari
segala jurusan. Ada seorang yang berani memegang tali-tali kekang kuda, tetapi
barisan Tandha itu tak ada yang turun dari kudanya.
“Minggir! Aku tidak butuh kalian! Antarkan aku sampai ke perkemahan
Adipatimu, mengerti ? Apakah kalian prajurit yang tidak diajari tata krama ?” begitu
gertak Adipati Tandhaprapti. Mereka lalu terbengong dan akhirnya mempersilakan
tamu itu menuju perkemahan Adipati Tan Kondur.
Kudanya congklak perlahan, lalu Bagus Jaka berkata berbisik kepada Demang
Kejawanan, “Paman, para prajurit Mataram tadi kelihatannya sudah kelelahan.
Kelihatan dari wajah mereka. Kasihan.”
“Yah, mereka hanya alat orang-orang ambisius. Dari komandan yang ambisius
terus sampai kepada kekuasaan tertinggi. Mereka dilingkungi kuasa-kuasa ambisi
bersusun. Memang manusia di dunia menjadi aneh, suka menyengsara diri sendiri,”
begitu Demang Kejawanan menggerutu seperti berbicara untuk dirinya sendiri.
Tandhaprapti sudah bisa menebak, pasti dialah orangnya yang disebut Adipati
Tan Kondur itu. Bertubuh tegap tinggi dan berkulit kebule-bulean. Benar dugaan itu.
Adipati Tan Kondur telah menyongsong kedatangan Adipati Tandhaprapti dengan
gapaian hormat.
“Selamat datang, tikus-tikus ingusan Cirebon ! Nyaris sebentar lagi aku harus
sudah melemparkan komando kepada pasukanku untuk menyerbu tanah negerimu
!” begitu ucapan Adipati Tan Kondur raman-raman nylekit.
Tandhaprapti tidak menunjukkan perasaan tersinggung, tetap bersikap wajar
saja, lalu ujarnya, “Bolehkah aku duduk?”
“Oh, ya, ya, tentu saja boleh. Eh, ike lupa kasih sopan sama tamu, Ike
memaafkan.” Kata-katanya memang gagap.
“Aku pikir tidak usah berkenalan, Tuan. Aku hanya membawa surat dari
Panembahanku. Baca dulu yang tenang, karena surat itu ditujukan buat anda,
bukan untuk Sunan Mataram.”
Beberapa menit kemudian Tan Kondhur membaca surat yang bunyinya singkat.
Tiba-tiba dia berteriak sambil tertawa terbahak-bahak, “Ha, ha, ha, memang lucu
sang Panembahan Cirebon. Ike disuruhnya pulang ke Mataram dengan tangan

Legenda Cirebon
53
kosong? Busyet, aku bukan anak ingusan disuruh membeli permen, bangsaaaat
……!”
“Sudah mengerti maksud surat itu, Tuan?”
“Eh, Ike hargai keberanian kalian datang ke sini. Apalagi kamu yang seorang
ini, masih ingusan. Aku jengkel! Jengkeeeel setengah mati, tahu ! Apa aku ini
dianggap anak kecil. Busyeeet, Panembahan Cirebon ! Aku kenal dia, orangnya baik.
Eh, sekarang ia hina aku setengah mati, bangsat !” begitu marah Tan Kondhur,
hingga tidak bisa menguasai dirinya lagi.
“Baiklah, Tuan Adipati. Aku pun mengenal Tuan. Tuan terkenal sebagai Adipati
yang berkuasa di kawasan Kedu. Kesaktian, ketangguhan Tuan sudah tidak
diragukan lagi, membuat miris para ahli perang di belahan Nusantara ini. Nah, aku
di sini Tuan anggap masih ingusan. Baiklah, itu hak anda, tapi itu bukan prinsip
bagi seorang Tandha. Yang aku tunggu adalah jawaban Tuan. Sekarang apa mau
Tuan. Apakah tidak mau merubah niat, mau menghancurkan hubungan baik
Mataram dan Cirebon ?” desak Tandhaprapti dengan suara lantang.
“Kurang ajar! Kamu menantang, hah? Aku tetap dengan keputusan semula,
mengerti! Cirebon akan aku hancurkan !” begitu ujarnya dengan penuh emosi dan
napasnya turun naik.
“Baiklah, sebelum Tuan menyerang negeriku, beresi dulu kami ini yang masih
ingusan. Apabila telah beres nyawa kami ini sirna dari tubuh barulah Tuan kami
persilahkan membumihanguskan rakyat negeriku dan kerajaanku.” Begitu tegas
Tandhaprapti.
“Busyeeet ! Habisi nyawa mereka !” perintah Tan Kodhur kepada seorang
perwira yang siap dengan tombak. Mendengar perintah Adipatinya itu ia segera
menghujamkan tombak ke arah dada dua orang itu, tetapi berbarengan dengan itu
melecitlah dua sosok tubuh itu keluar dari tenda.
“Keparat! Sebelum kalian mati, siapakah sesungguhnya kalian ini?” begitu ujar
Adipati Tan Kondhur sambil menghunus keris di tangannya.
“Baiklah, ini adalah Demang Kejawanan, Pangeran Suryanata namanya.
Sedangkan aku biasa dipanggil Jaka bergelar Adipatai Tandhaprapti, puas?”
Tandhaprapti dan Demang Kejawanan belum sempat menghunus senjatanya
masih dalam keadaan kosong, lalu ujar Tandhaprapti, ”Baiklah, hadapi aku.
Pamanku ini jangan Tuan hiraukan. Ia hanya seorang Demang. Lawanlah aku, sama-
sama Adipati,” begitu ujar Tandhaprapti membuat darah Adipati Tan Kondhur
mendidih.
Berbarengan dengan itu tombak dihujamkan tepat mengenai Tandhaprapti.
Tetapi apa? Tubuh Tandhaprapti pecah jadi tiga. Dan selanjutnya ditombak lagi yang
seorang menjadi sembilan orang. Tubuh Tandhaprapti apabila dikenai tombak
menjadi tambah secara deret ukur, sehingga Adipati Tan Kondhur kebingungan, lalu
geramnya, ”Iblis !” Tetapi dalam hati ia benar-benar dibuat kecut, sebab selama ini
baru menemui lawan diatas kesaktiannya. Lalu benaknya bertanya-tanya, “Oh,
biyung, ilmu apa itu?”
Dahulu, menurut cerita, di dunia ini banyak sekali ilmu yang sungguh
mengagumkan. Diantaranya seperti ilmu yang dimiliki Tandhaprapti yang disebut
ilmu sasra bahu, yaitu ilmu yang sanggup menggandakan tubuh hingga seribu.
Apalagi para prajurit dan komandan pasukan Mataram, menyaksikan kejadian
itu menjadi bengong terlolong-lolong. Beratus-ratus bentuk Tandhaprapti itu
kemudian serentak berkata hingga suaranya menderu bagaikan suara tawon
menggema, “Adipati Tan Kondhur! Coba tikamkan senjata pusakamu ke tubuhku!
Tak urung kau akan jatuh lemas, ayo pilih yang mana sama saja!”
Benarlah, Adipati Tan Kondhur jatuh ke bumi lunglai tak bertenaga dan di sisi
lain Tandhaprapti jumlahnya semakin banyak, sehingga prajurit Mataram bubar
ketawuran. Tandhaprapti lalu mendekati Tan Kondhur sambil berucap, “Puaskah,
Tuan Adipati?”

Legenda Cirebon
54
“Bunuhlah aku, Tandhaprapti!” begitu Adipati Tan Kondhur memasrahkan diri
kepada lawannya.
“Aku tidak akan membunuhmu, Tuan. Tuan hanya seorang Adipati dan menjadi
Tandha Mataram seperti aku sebagai tandha Cirebon. Apakah Tuan akan mematuhi
bunyi surat Panembahanku ?”
“Tobat, biyung! Badanku ngilu-ngilu, habislah riwayatku. Aku menyerah,
Tandhaprapti,” begitu keluh Adipati Tan Kondhur, tetapi ia belum bisa bangun.
Tubuhnya terasa lemah dan kepalanya terasa berputar-putar.
“Bangunkan aku, Tuan. Pasrah pati njaluk urip, Tuan. Kembalikan tenagaku,
aku menyerah. Tobaat, biyung!”
Tandhaprapti lalu membangunkan tubuh Adipati Tan Kondhur dengan
dipegang dua belah tangannya, lalu seketika itu juga Adipati Tan Kondhur berdiri
dan tenaganya pulih seperti sediakala.
“Baik Tuan Tandhaprapti, aku akan mengabulkan isi surat Panembahan
Carbon. Dia sebenarnya orang baik. Dan aku sekali-kali tidak benci sama dia,” begitu
ujar Adipati Tan Kondhur sambil menyeka wajahnya yang penuh keringat, lalu
ujarnya lagi, “Tetapi Tuan, apakah tanda kenang-kenangan dari Cirebon untuk
Panembahan Mataram, agar aku tidak dianggap anak kecil?”
“Baiklah, akan aku beri oleh-olehmu! Mana kuda tunggangmu yang paling kau
sayangi?” tanya Tandhaprapti.
Tan Kondhur sambil tengok sana sini, lalu teriaknya, “Ambil si jalak, cepat !”
kepada prajurit pengawalnya. Tidak lama kuda yang disebut si Jalak dituntun ke
hadapan Adipatinya. Kudanya memang bagus sekali. Bulunya coklat, mulus dan
berkilat. Tingginya bukan main.
Setelah kuda si Jalak itu mendekat, segera saja Tandhaprapti menempelkan
telapak tangannya di pangkal paha atas sambil berkata, “Tandanya ini!” Lalu telapak
tangan itu mengepul mengeluarkan asap dan paha kuda itu sudah tertera gambar
telapak tangan Tandhaprapti.
Melihat kejadian itu Adipati Tan Kondhur dengan berteriak, “Moe! Moe!
Memang Tuan Moe!”
Oleh karena peristiwa itulah Adipati Tandhaprapti amat terkenal dijuluki
Adipati Tandha Moe, yang terkenal sakti dan tak tertandingi.
Moe adalah bahasa Belanda yang artinya bagus atau jitu, sedangkan tandha
adalah utusan, duta, konsulat, atau diplomat. Adipati Tandha Moe adalah nama gelar
kehormatan, yang dilatarbelakangi peristiwa yang amat istimewa tadi.
Akhirnya Adipati Tan Kondhur dari Mataram itu mengikuti dan pasrah kepada
apa yang Cirebon inginkan. Mereka pulang kembali ke Mataram dengan seluruh bala
tentaranya.
Namun, mari kita kembali kepada para prajurit Cirebon pimpinan Adipati
Gebang yang menunggu aba-aba atau komando dari Adipati Tandhaprapti, yang
menahan keresahan dan ketegangan. Baru menjelang ashar mereka bisa
mengendurkan ketegangan. Karena gembira para prajurit tak kuasa menahan luapan
hatinya. Hal ini karena Demang Kejawanan menceritakan semua kejadian secara
rinci. Tentu saja bala tentara Cirebon bergembira-ria, sampai-sampai pemberian gelar
Adipati Tandha Moe juga tak ketinggalan. Seluruh prajurit memberi teriakan-
teriakan, “Hidup Adipati Tandha Moe! Hidup Adipati Tandha Moe!”
Benarlah, tatkala Adipati Tandhaprapti sampai di perbatasan kotapraja, semua
prajurit yang menghadang di tepi jalan saling meneriakkan yel-yel, “Hidup Adipati
Tandha Moe. Hidup Adipati Tanha Moe !”
Bagus Jaka alias Adipati Tandhaprapti atau dijuluki Adipati Tandha Moe terus
diiring oleh para prajurit dari kontingen Losari, Gebang, Ender, Japura, Sanggarung,
Mundu, Luwung, Kejawanan, sampai memasuki alun-alun Keraton Pakungwati. Di
depan Pancaratna barisan tandha itu lalu turun dari kuda masing-masing, langsung

Legenda Cirebon
55
menuju ke dalam keraton. Masyarakat pun membanjiri alun-alun karena mendengar
riuhnya orang bersorak-sorai menyambut kegembiran yang tiada tara.
Begitu Sang Panembahan mendapat laporan yang menggembirakan, ia amat
bersyukur kepada Tuhan bahwa usahanya dikabulkan. Bagus Jaka yang telah
bergelar Adipati Tandhaprapti dan memperoleh gelar Adipati Tandha Moe itu
memohon pamit, karena merasa laporannya sudah diterima. Tetapi Panembahan
Cirebon bangkit dari kursi singgasana lalu mendekati Bagus Jaka. Bagus Jaka
disuruhnya berdiri, sang Panembahan Cirebon lalu menubruk dan merangkul erat-
erat Bagus Jaka dengan ucapnya bergetar, ”Oh, anakku, Ramanda tidak menyangka
kamu begitu gagah perkasa.”
Bagus Jaka alias Adipati Thanda Moe tidak tahu apa yang mesti diperbuat.
Sekilas terlihat wajah sang Panembahan dilelehi air larangan dari sudut-sudut
matanya. Air mata seorang ayah yang mengagumi anaknya, yang telah melaksanakan
baktinya bukan saja untuk dirinya, tapi juga untuk rakyat dan kerajaannya.
Panembahan memandangi kepergian Bagus Jaka dari bangsal Prabayasa seraya
bergumam, “Sekarang aku bergembira dan bukan suatu persoalan ini dianggap
selesai. Aku yakin kanda Sunan Mataram akan menyusul persoalan lain yang harus
aku pikirkan.”
Di bangsal Prabayasa itu mulai gelap temaram. Petugas keraton mulai
menyalakan dian-dian minyak, lampu-lampu duduk satu persatu menyala, kemudian
dari tajuk agung Sang Cipta Rasa adzan Magrib mengumandang. Suaranya bernada
sedih, sama sedihnya dengan hati Panembahan yang masih berdiri di bangsal
Prabayasa itu.
Kegembiraan malam itu di luar kedaton memang diadakan syukuran, juga
dibarengi dengan kesenian rebana yang mengumandangkan kebesaran Ilahi dan Nabi
Rasulullah. Tapi Panembahan bersemedi, berdzikir dan wirid seorang diri.
Bukit Ciangkup sudah beberapa bulan kelihatan ramai. Hal ini berkenaan
dengan Bagus Jaka sudah beberapa bulan ini berada di rumah kediaman ibunya.
Tentu saja tamu dari kotaraja membuat perhatian khusus masyarakat di sana.
Malam hari pun ronda-ronda giat meningkatkan kerja, karena penduduk di bukit
Ciangkup bertambah.
Nyi Rasmi sore itu kelihatan bergembira. Ia sudah menyesuaikan diri dengan
anaknya yang sekarang menjadi orang gede. Pakaiannya selalu rapi, sehingga Nyi
Rasmi kelihatan lebih muda sepuluh tahun. Memang Nyi Rasmi cantik alami, bahkan
bila dirias putri raja pun kalah kecantikannya.
“Jaka, tidak adakah engkau memikirkan soal memilih teman hidupmu,
anakku?” begitu suara ibunya dengan tiba-tiba sambil menyajikan secangkir kopi.
Tentu saja pertanyaan demikian itu membuat Jaka gugup, lalu ujarnya, “Ah,
Bunda kok bertanya begitu? Membuat Jaka jadi kaget. Apakah Ibunda punya
pilihan?”
“Oh, tidak. Ibu cuma mengingat-ingat umurmu sekarang sudah duapuluh
tahun lebih.” Begitu alasan ibunya sambil duduk di kursi goyang.
Sekilas Jaka teringat kepada wajah perempuan anak Ki Sampan yang bernama
Rodiah. Ya, gadis Tenjolayar anak pasukan Telik Sandi Kerajaan yang amat setia itu,
lalu menengok kepada ibunya, dan ucapnya, “Jaka masih senang hidup bersama Ibu
sambil mengenang almarhum Eyang di sini. Jadi Jaka pikir pertanyaan Ibu itu bisa
ditunda dulu. Bisa kan Bu?”
Ibunya pun memandang anaknya sambil senyum penuh kebahagiaan, lalu
mengangguk penuh arti.

Legenda Cirebon
56
9. SYEKH BIRAWA DAN NYI MAS RATU KALITANJUNG

Raden Birawa adalah seorang Adipati Kerajaan Pajajaran. Dia kemenakan Prabu
Siliwangi, karena dia adalah putra Nyi Mas Sukati kakak Prabu Siliwangi. Sejak
ditinggalkan Raden Walangsungsang dan Ratu Rarasantang pergi berguru agama
Islam kepada Syekh Datil Kahfi di Gunung Jati, maka untuk mengobati rasa rindu
akan kedua putra putrinya itu, Prabu Siliwangi mengambil dan mencurahkan kasih
sayang kepada Raden Birawa. Raden Birawa mempunyai keunggulan dalam ilmu
kanuragan dan keprajuritan berkat didikan Pandita Datuprana dari Padepokan
Sangga Buana.
Dalam sembahnya kali ini, selain bertemu dengan gurunya, Raden Birawa
bertemu pula dengan Pandita Danuwarsih yang sedang berkunjung di Padepokan
Sangga Buana.
Selain memperoleh wejangan dan petunjuk gurunya, Raden Birawa pun
mendengar cerita ihwal perkembangan zaman yang bakal terjadi di wewengkon Barat
Jawa, khususnya di wilayah Kerajaan Pajajaran, yaitu makin pesatnya
perkembangan Islam yang berpusat di Gunung Jati, tempat saudara sepupunya
Raden Walangsungsang berguru Agama Islam. Setelah mendengar hal itu, Raden
Birawa tergerak untuk menyusul saudara sepupunya. Niat tersebut menjadi tekad
yang sangat kuat dan bahkan tidak dapat dicegah oleh Pandita Datuprana.
Sebelum pergi ke Gunung Jati, Pandita Datuprana menikahkan putrinya Nyi
Rarasukma dengan Raden Birawa, sebagaimana sebelumnya Pandita Dunuwarsih
menikahkan putrinya Nyi Endang Geulis dengan Raden Walangsungsang untuk
dibawa serta.
Kedua pandita itu meramalkan, bahwa sudah tiba saatnya agama Islam akan
berkembang pesat di wilayah Pajajaran dan hal ini sudah tidak mungkin lagi
dipertahankan oleh tokoh-tokoh sakti agama Sang Hyang. Atas dasar itu, maka
banyak pandita merelakan putra-putri dan murid-murid mereka memasuki pintu
keislaman.
Di Pangguron Islam Gunung Jati, Raden Birawa bertemu dengan sepupunya
Raden Walangsungsang dan Syekh Datil Kahfi. Dia langsung memeluk agama Islam.
Karena menguasai ilmu ketatanegaraan dan ilmu kanuragan Raden Birawa dipercaya
pula mendampingi Ki Gede Pangalang- alang selaku Ki Kuwu Cirebon yang pertama
untuk mengembangkan Pedukuhan Cirebon, semasa Raden Walangsungsang pergi
menunaikan ibadah haji. Sambil membina warga masyarakat bersama Ki Kuwu
Pangalang-alang, Raden Birawa terus mendalami agama Islam dan menyebarkannya
ke seluruh penjuru Cirebon.
Dari perkawinan dengan Nyi Mas Rarasukma, Raden Birawa mempunyai
seorang anak perempuan bernama Nyi Mas Sekar Kemuning. Pada usia dewasa, Nyi
Mas Sekar Kemuning dijodohkan dengan Pangeran Ngungsi atau Pangeran
Martakusumah, saudara Pangeran Kejaksan. Dari perkawinan ini lahir seorang putri
bernama Nyi Mas Ratu Kalitanjung.
Dari waktu ke waktu perkembangan Padukuhan Cirebon dan penyebaran agama
Islam makin pesat dan luas diantaranya sampai ke kawasan Selatan.
Sebagai hasil didikan dan binaan Raden Birawa dan kedua orang tuanya,
Pangeran Ngungsi dan Nyi Mas Sekar Kamuning, Nyi Mas Ratu Kalitanjung tidak saja
menjadi wanita handal dalam ilmu kemasyarakatan dan ketatanegaraan, tetapi juga
tangguh dalam ilmu palagan dan olah prajurit berkat satu perguruan dengan Nyi
Mas Gandasari. Keunggulan ilmu kanuragan kedua tokoh wanita ini dibuktikan
ketika berhasil mengalahkan Nyi Mas Tanjung Rarangan, seorang senopati wanita
dari pasukan Kerajaan Telaga dengan raja Prabu Pucuk Umun yang menyerang
Kasultanan Cirebon untuk menghalangi pengembangan agama Islam.
Begitu besarnya peran dan kiprah Nyi Mas Ratu Kalitanjung dalam meluaskan
wilayah dan menata kehidupan masyarakat Kesultanan Cirebon, diantaranya adalah

Legenda Cirebon
57
merintis pendirian sebuah pedukuhan di sebelah Selatan yang kemudian disebut
Kalitanjung. Di pedukuhan inilah kakek dan ayahnya, Raden Birawa dan Pangeran
Ngungsi, menjadi tokoh dan ulama penyebar Islam.
Untuk menampung jamaah yang makin banyak, maka dibangunlah Masjid Jami
Syekh Birawa, beberapa waktu setelah pembangunan Masjid Sang Cipta Rasa
Kasepuhan. Setelah wafat, Raden Birawa dan Pangeran Ngungsi dimakamkan di
seberang Kali Suba, tidak jauh dari masjid yang dibangunnya.
Dalam masjid tersebut sampai sekarang masih dapat disaksikan benda-benda
bersejarah peninggalan kedua tokoh tersebut, antara lain al-Qur’an yang ditulis pada
kulit, lampu penerangan pengajian dan senjata pusaka, diantaranya tombak dan
gada serta keris. Sedangkan Nyi Mas Ratu Kalitanjung setelah wafat, atas pesan
Sultan Cirebon, dimakamkan di Astana Gunung Sembung.

Legenda Cirebon
58
10. KI KAJI SELA : ULAMA SESAT YANG MEMBATU

Alkisah, siang itu di tepi timur Danau Jati (masyarakat Sunyaragi menyebutnya
Segaran Jati) yang indah di bawah pohon kapilayu gung (kapilayu raksasa) yang
rimbun dan rindang, di atas batu ceper setinggi lutut, duduk seorang pemuda
perkasa berbadan tinggi besar dan kekar. Berkulit kuning langsat, berikat kepala
hitam, berbaju kampret hitam, bercelana komprang juga berwarna hitam, mirip
Baduy Luar keletihan. Kumisnya yang baplang sudah tidak sekaku ijuk lagi, malah
menjadi lemas, selemas benang lawe basah. Sekali-kali mulutnya menguap di
tengah-tengah keletihan dan akhirnya terpejam juga, tidak mampu menahan kantuk.
Sambil duduk, pemuda tersebut tertidur pulas di atas batu ceper di bawah kapilayu
gung yang rindang. Pakaiannya yang kumal, dan debu-debu jalanan serta dedaunan
hutan belantara yang menutupi sebagian tubuhnya menunjukkan, bahwa dia telah
menempuh perjalanan jauh. Dengan kata lain, dia adalah seorang musafir atau
seorang pengembara.
Dia seorang musafir dari tanah sebrang yang sedang mencari ilmu sejatining
sampurna. Sudah triwarsa lebih dia berkelana mencari ilmu itu, tetapi belum juga ia
temukan. Keletihan yang amat sangat membuat dia duduk tertidur di atas batu ceper
itu. Begitu pulasnya dia tertidur, sehingga dengkurnya pun deras meluncur dari
kerongkongan melalui mulutnya yang menganga bagai kancra menghadang mangsa.
Sekali-sekali tenggorokannya tersedak oleh dengkuran sendiri, hingga membuat dia
terjaga. Akan tetapi kantuk yang demikian hebat membuatnya tidak mampu lagi
membuka mata.
Saat mentari sedikit condong ke ufuk Barat, datanglah seorang kakek renta,
dengan sepikul kayu bakar di pundaknya, berhenti di bawah pohon kapilayu gung
itu. Tubuh bagian atas, yang tak tertutupi sehelai benang pun membuat tulang-
tulang iganya terlihat jelas, mirip papan penggilasan yang dibasahi keringat
keletihan; matanya yang cekung, secekung sendok bebek, memantapkan ketuaannya.
Kepalanya yang tertutup iket trusmian menjadikan rambutnya tersembunyi dari
pandangan siapa pun. Kakek itu pun nampaknya mengalami keletihan yang cukup
melelahkan. Dipandanginya bagian kosong batu ceper, tempat sang musafir duduk
tertidur, lalu dihampiri dan duduklah sang kakek, beristirahat pada batu yang sama,
di sebelah kiri pemuda musafir itu.
Sementara itu dengkur pemuda musafir semakin nyaring, senyaring mesin
gergaji kayu mekanis, semakin lama semakin nyaring dan sang kakek pun merasa
terganggu oleh suaranya, sampai akhirnya dia terjaga sendiri oleh dengkurannya.
Begitu terjaga, dia menoleh ke kiri; betapa terkejut, setelah dilihatnya seorang kakek
tua renta dengan santai duduk di sebelahnya. Seketika itu juga pengembara
meloncat ke depan, menjauhi kakek renta.
Matanya yang sebesar jengkol membelalak memandang tajam sang kakek tanpa
kedip; kumisnya yang selemas benang lawe basah menjadi keras, sekeras sapu lidi;
nafasnya pun terengah-engah penuh amarah. Akan tetapi sang kakek
menghadapinya dengan tenang dan disapanya pengembara itu dengan santun.
“Ki sanak, ada apa, kok seperti keranjingan angge-angge.”
“Diam! Tua bangka, gak tahu malu,” hardik sang pengembara.
“Lha sih ada apa Ki sanak? Kok membentak saya,” tanya si kakek,
kebingungan.
“Gara-gara kamu aku jadi terbangun tua bangka. Badanmu itu yang membuat
aku terbangun.”
“Badanku? Memang kenapa dengan badanku Ki sanak? Bukankah aku tidak
mengganggumu ? ”
“Bau, kalau kau mau tau. Bau badanmu itu yang menggangguku.”

Legenda Cirebon
59
“Bau? Bukankah tadi Ki sanak melompat terkejut karena ketakutan? Janganlah
ki sanak menutupi kekuranganmu dengan menyalahkan orang lain, lebih-lebih
dengan menghardik-hardik,” bantah sang kakek.
“Diam! Atau kubunuh kau.”
“Eeee… jangan begitu anak muda. Lebih baik kita berteman daripada
bermusuhan. Siapa namamu Nak, dari mana asalmu dan apa tujuanmu sampai
terhampar ke sini? Barangkali saja saya bisa membantumu.”
“Sudah jangan banyak bacot. Aku tidak butuh teman, lebih-lebih orang tua
renta seperti kau ini. Sekarang pergilah. Pergi aku bilang, atau kubunuh kau.”
“Sabar anak muda. Sabar. Ki sanak pasti butuh orang untuk menemanimu,
mencapai tujuan utamamu,” bujuk si kakek.
“Terimakasih atas tawaranmu,” ujar pengembara, mereda. “Tetapi sekarang
pergilah. Aku sudah tak tahan mengendus bau badanmu.”
“Pikirkanlah Ki sanak. Jangan kau umbar amarahmu,” bujuk sang kakek lagi.
“Pergi kek. Pergi kataku. Pergiiiii…..!” usir sang pengembara sambil
menggenggam sebilah keris dan menodongkannya ke arah kakek renta.
“Baik, baik anak muda, baik. Saya akan pergi anak muda. Assalamu’alaikum
warohmatullahi wabarokatuh!”
Melihat gelagat tidak begitu bersahabat, kakek renta pun langsung bergegas,
pergi meninggalkan tempat tersebut. Mendengar salam yang diucapkan kakek renta,
sang pengembara kebingungan. Salam tersebut belum pernah dia dengar sebelumnya
dan dia pun kebingungan menjawabnya. Sementara otak sedang berkecamuk
memikirkan salam yang baru saja meluncur dari mulut kakek renta, matanya
tertarik pada sepikul kayu bakar yang diletakkan kira-kira lima langkah dari batu
ceper ke utara oleh sang kakek tadi. Di dalam benaknya dia berpendapat, “Pasti kayu
bakar ini kepunyaan si kakek.” Dihampirinya sepikul kayu bakar tersebut, lalu dia
menyoba mengangkatnya.
Betapa membingungkan, kayu bakar tersebut ternyata tidak bergeming sedikit
pun oleh tangan dan tubuhnya. Spontan sang pengembara berucap, “Dia bukan
orang sembarangan. Aku harus minta maaf atas sikap kasarku. Ya, aku harus
mengejarnya. Siapa tahu dialah orang yang sedang kucari. Atau paling tidak, dia bisa
kasih petunjuk untuk memperoleh ilmu sejatining urip.”
Dikejarnya sang kakek sambil berteriak, “Kakek tunggu kek. Kakek tunggu,
maafkan aku kek. Tunggu.” Tetapi tidak juga terkejar, bahkan menghilang, entah
kemana. Akhirnya dia cari kakek tersebut, di sekitar hutan yang mengelilingi segaran
jati sambil terus berteriak, “Kakek maafkan aku Kek. Kakek…kakek…Dimana Andika
kek? ”Akan tetapi sang pengembara tidak berhasil menemukannya walau hutan
segaran jati telah habis dikelilinginya.
Syahdan, kocapa carita, langit jingga di ufuk Barat telah mengaplus tugas
mentari yang telah sumurup mengusung malam. Sementara itu, sang pengembara
sudah memasuki perkampungan demi mencari kakek renta yang menghilang entah
kemana. Setelah itu berkumandanglah azan Maghrib. Kemudian dilihatnya banyak
orang dengan obor di tangan, berdatangan menuju bangunan (yang tidak lain
merupakan sebuah surau) tempat dikumandangkan azan Maghrib tadi. Mereka satu
persatu ditanya, kalau-kalau melihat atau mengenal kakek renta dengan ciri-ciri
sesuai yang dilihatnya. Tetapi mereka selalu menjawab tidak tahu. Hatinya
bertanya-tanya, ada apa banyak orang berdatangan ke sebuah bangunan pada
malam-malam begini. Tak lama kemudian, orang-orang yang berkumpul dalam
bangunan itu pun dilihatnya mulai melakukan acara ritual, yaitu shalat Maghrib
yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Hatinya semakin penasaran ingin
mengetahui kegiatan ritual yang berlangsung dalam rumah ibadah itu.
Dihampirirnya rumah ibadah tersebut kemudian dia pun menyelinap ke teras di
bawah jendela. Sambil sembunyi, bagai pencuri takut mati, dia perhatikan gerakan
orang-orang shalat Maghrib di dalam langgar itu hingga selesai, yang kemudian

Legenda Cirebon
60
dilanjutkan dengan kegiatan dzikir dan wirid serta membaca al Qur’an sampai
berkumandang azan Isya. Yang membuat dia merasa aneh, kini suara azan telah
menggetarkan jiwa, entah mengapa tiba-tiba dia merasa banyak dosa yang harus
dileburnya. Baginya suara azan itu merupakan nyanyian magis yang mampu
menggetarkan jiwa yang sebelumnya tidak pernah ia dengar sama sekali.
Diperhatikannya lagi orang-orang di dalam surau, setelah adzan selesai mereka
melakukan gerakan-gerakan ritual lagi, yang tidak lain shalat sunnah. Kemudian
terdengar lagi suara yang tidak lain dari iqamah, yang dapat mengatur orang-orang di
dalam surau untuk melaksanakan gerakan-gerakan ritual bersama, yaitu shalat
berjama’ah. Sifat keingintahuan menjadikannya tidak bergeming mengintip kegiatan
orang-orang (jama’ah) yang berada di dalam surau hingga selesai dari semua
rangkaian kegiatan shalat Isya. Ketika mereka bubar, keluar dari surau, sang
pengembara pun bersembunyi di kegelapan malam agar tidak diketahui
keberadaannya. Sementara itu, imam surau masih berada di dalam, melanjutkan
dzikir, yang tak lama kemudian berkata, “ Masuk Ki sanak, jangan di luar. Silakan
masuk, jangan sungkan-sungkan.”
Pengembara menjadi kebingungan, kepada siapa sapaan tersebut ditujukan,
sedangkan di luar surau tidak ada orang lain selain dirinya. Menurutnya tidak ada
seorang pun yang mengetahui keberadaan dirinya. Peristiwa tesebut menimbulkan
keheranan, seandainya tiba-tiba imam surau tersebut mempersilakan dia masuk ke
dalam surau.
“Ki sanak, masuklah. Silakan Ki sanak! ”
Sang pengembara semakin kebingungan, setelah diulangnya sapaan tersebut,
sehingga dia terpaksa menjawab sapaan sang imam.
“ Maaf Ki tua, apakah Andika berbicara dengan saya ?” tanya pengembara,
penasaran.
“Betul Ki sanak. Kenapa harus bingung? Bukankah di luar situ sudah tidak ada
orang lain selain Ki sanak ?”
“Betul Ki tua. Sepertinya tidak ada orang lain, selain saya.”
“Maka itu, masuklah, ayo jangan ragu-ragu.”
“Terimakasih Ki. ”
Masih diliputi rasa heran, bingung dan aneh, sang pengembara memasuki
surau, menghampiri sang imam.
“Duduklah anak muda,” sambut sang imam.
“Terimakasih Ki tua. ”
Sang pengembara pun kemudian duduk menghadap imam dan sebuah cangkir
bambu serta kendi berisi air minum.
Setelah sang pengembara duduk di hadapan imam, selanjutnya mereka asyik
terlibat percakapan yang cukup serius.
“Siapa namamu anak muda? Dari mana asalmu? Dan apa tujuanmu hingga
sampai ke surau ini ?” tanya imam surau sambil mempersilakan minum kepada sang
pengembara.
Diberondong pertanyaan seperti itu, sang pengembara menceriterakan hal
ihwalnya dari awal keberangkatan mencari ilmu sejatining sempurna hingga bertemu
kakek pencari kayu bakar dan bertemu imam surau.
“Hebat sekali pengalamanmu anak muda. Pantas kalau kamu tidak punya rasa
takut karena ilmu kanuraganmu begitu banyak kamu peroleh di sepanjang
perjalanan dan pengembaraan. Terima kasih sudah kau ceriterakan semua
pengalamanmu, tetapi dari tadi sepertinya saya belum pernah mendengar Ki sanak
menyebut nama. ”
“ Maaf Ki tua. Saya sudah berjanji pada diri sendiri, bahwa saya akan
memberitahukan nama saya hanya kepada orang yang mau mengangkat saya
menjadi murid. Begitu juga terhadap Andika. Saya akan menyebutkan nama

Legenda Cirebon
61
bilamana Ki tua dapat menerangkan atau mengajarkan saya ilmu sejatining sampurna
dan mengangkat saya sebagai murid.”
“Ki sanak, selama Ki sanak ada kemauan untuk belajar, saya rasa tidak ada
alasan untuk tidak mengangkatmu menjadi muridku. Sekarang sebutkanlah
namamu dan anggaplah aku ini sebagai orang-tuamu sendiri.”
“Terimakasih Ki tua. Terimakasih atas kesediaan Andika mengangkat saya
sebagai murid. Sekarang panggil saja saya Tolok.”
“ Tolok. Singkat sekali namamu.”
“Betul Ki. Nama itulah yang diberikan orang tua saya sejak lahir di dunia.”
“Tolok, sungguh-sungguhkah kamu ingin memperoleh ilmu sejatining
sampurna?”
“Benar Ki. Perjalanan dan pengembaraan yang cukup jauh serta pengelanaan
yang cukup lama saya alami tidak lain hanya untuk mencari ilmu sejatining
sampurna.”
“Kalau begitu langkah pertamamu adalah tinggalkan agama lamamu. Lalu
anutlah agama Islam. ”
“Kapan dapat saya mulai ?”
“Lebih cepat lebih baik ?”
“Sekarang ? ”
“Bagus.“
“Caranya ?”
“Ucapkan dua kalimat syahadat. Setelah itu belajar dan dirikan shalat.”
“Caranya ?”
“Untuk dua kalimat syahadat, ikuti saya, Asyhadu alla ilaaha illaallaah, wa-
asyhadu anna Muhammadarrosullallaah.”
Ucapan imam surau tersebut kemudian diikuti dengan seksama. Setelah itu
imam surau mengajarkan bacaan-bacaan shalat dan mempraktekanya hingga azan
Subuh berkumandang dan Ki Tolok pun ikut shalat Subuh berjama’ah yang pertama
kali dalam hidupnya, yang kini berstatus sebagai mu’alaf. Hari-hari berikutnya Ki
Tolok diajarkan membaca al Qur’an dan ilmu-ilmu agama Islam. Karena kecerdasan,
daya tangkap dan daya ingatnya sangat luar biasa, maka dalam waktu yang relatif
singkat Ki Tolok telah menguasai ilmu agama Islam setaraf ulama atau kyai yang
memperoleh julukan punjul kalima papak.
Legista, kocapa carita, sudah setengah dasa warsa lebih Ki Tolok tinggal
bersama imam surau dan mengabdikan diri untuk pangguron milik imam surau,
yang kemudian menjadi ayah angkatnya. Oleh imam surau, ayah angkat Ki Tolok,
ilmu agama Islam yang dimiliki Ki Tolok dianggap sudah mumpuni. Kini saatnya
imam surau yang tidak memiliki anak lelaki itu, harus mengangkat salah seorang
murid yang dapat dipercaya untuk kelak dapat memimpin pangguron yang
dikelolanya. Pilihan tersebut, nampaknya jatuh kepada Ki Tolok, sehingga suatu hari
Ki Tolok dipanggil menghadap. Sang imam berkata di depan anak tunggal (seorang
perempuan yang dikawin oleh cucu Ki Kuwu Cerbon) dan cucunya yang bernama
Raden Wulu Keling serta beberapa orang muridnya,
“Tolok, aku pikir sekarang sudah saatnya kamu mempersiapkan diri
menggantikan aku kelak, kalau aku mangkat menghadap Sang khalik. Ilmu agama
yang aku miliki pada dasarnya sudah aku sampaikan padamu dan nampaknya
engkau pun telah menguasai semuanya. Ilmu Sejatining Sampurna yang engkau cari
sebenarnya tidak lain dari ilmu agama Islam yang kini telah kamu kuasai, tetapi
kamu perlu menyempurnakannya, yaitu dengan berguru kepada Sunan Jati Purba,
Syeikh Syarif Hidayatullah, sebagai langkah persiapan menggantikan aku.”
“Baik Rama Guru, insyaallah pesan Rama akan saya laksanakan,” jawab Ki
Tolok
Ki Tolok memang sudah bukan orang sembarangan lagi, penguasaan ilmu
agama dan petarekan-nya cukup diperhitungkan di kalangan ulama, kyai dan

Legenda Cirebon
62
bahkan kaum sufi. Namanya semakin terkenal, setelah diketahui bahwa dia dapat
pergi ke tanah suci Mekah dan Medinah dalam sekejap mata untuk menunaikan
ibadah haji. Peristiwa itu menjadikannya dijuluki Ki Kaji. Ki Tolok memang murid
punjul kalima papak yang sangat pantas menggantikan ayah angkatnya, memimpin
dan mengelola pangguron. Akan tetapi sayang, anjuran ayah angkatnya untuk
menyempurnakan ilmu sejatining sampurna kepada Sunan Jati Purba, Syekh Syarif
Hidayatullah dijawab hanya secara merah bibir, mulut berkata iya tetapi hati berkata
tidak. Hati Ki Tolok sebenarnya merasa keberatan untuk menuruti anjuran ayah
angkatnya, berguru kepada Sunan Jati Purba atau Syekh Syarif Hidayatullah.
Baginya, ilmu yang dimiliki oleh Syekh Syarif atau Sunan Jati Purba tidak ada apa-
apanya jika dibandingkan dengan ilmunya. Belum pernah terdengar, Syekh Syarif
dapat pergi ke tanah suci atau kemana hanya dengan mengerlingkan mata. Belum
pernah terdengar olehnya bahwa Syekh Syarif Hidayatullah memenangkan suatu
pertempuran, sayembara atau adu tanding. Oleh karenanya, hati Ki Tolok tetap
menolak untuk berguru kepadanya. Walupun demikian, demi rasa hormat kepada
guru dan sekaligus orang-tua (angkat), Ki tolok tidak berani mengungkapkan
penolakannya. Untuk menjaga perasaan imam surau, Ki Tolok banyak bersandiwara;
dua sampai tiga hari dalam sepekan dia keluar rumah seakan-akan dia pergi berguru
ke Sunan Jati Purba. Padahal sesungguhnya diam-diam kepergiannya itu untuk
merekrut murid yang mau dijadikan pengikutnya. Tanpa sepengetahuan rama guru
atau imam surau, Ki Tolok mengajarkan ilmu-ilmu yang dimilikinya kepada para
pengikutnya dengan cara keluar rumah (di luar pangguron).
Tiba saatnya sang imam surau meninggal dunia. Oleh karena wasiat rama guru
menghendaki Ki Tolok menggantikan kepemimpinan dan pengelolaan pengguron,
maka baik pihak keluarga maupun murid atau para pengikut imam surau tidak ada
yang keberatan mendukung Ki Tolok menjadi rama guru dan pemimpin tunggal
pangguron milik imam surau.
Pada awal kepemimpinnya, Ki Tolok mengelola pangguron dengan baik bahkan
mampu meningkatkan animo lebih banyak dan mengajarkan ilmu agama Islam
dengan benar. Akan tetapi keadaan seperti itu tidak berlangsung lama. Belum satu
warsa Ki Tolok memimpin dan mengelola pangguron, dia sudah mulai lepas kendali.
Kemampuan supra naturalnya yang luar biasa membuat dia masygul, seakan hanya
dirinyalah yang hebat di dunia ini. Dia juga mulai lupa, bahwa Allah itu Mahabesar,
Mahahebat dan Maha segalanya. Ki Tolok atau Ki Kaji kini mengajarkan murid-
muridnya faham yang menyesatkan. Dia mengajari murid-muridnya untuk tidak
menunaikan ibadah ke tanah suci Mekah yang dapat menyita waktu berbulan-bulan.
Katanya, menunaikan ibadah haji itu cukup dengan menuruti apa yang Ki tolok
kehendaki dan menjauhi apa yang Ki Tolok larang. Kini Ki Tolok melakukan
penistaaan agama. Keadaan pangguron menjadi tidak senyaman dan setentram
dahulu. Banyak murid Ki Kaji yang hengkang dari pangguron, termasuk
keponakannya sendiri—yaitu anak adik angkatnya— yang bernama Raden
Wulukeling, dan pindah berguru kepada Sunan Jati Purba. Banyak sudah yang
mengingatkan Ki Kaji untuk kembali ke jalan yang benar, jalan yang diridhoi Allah.
Akan tetapi, Ki Kaji atau Ki Tolok bukannya sadar, malah bersikap bagai jangkrik
mambu kili, menjadi murka, dia sering mengajak jajal kesakten kepada yang
mengingatkannya. Semakin lama Ki Kaji Tolok semakin memperoleh banyak musuh.
Keadaan ini akhirnya terdengar Sunan Jati Purba, yang berdasarkan laporan
masyarakat ditambah penegasan Wulukeling –keponakan Ki Tolok yang pindah
berguru kepada Sunan Jati Purba—serta laporan murid-murid Ki Tolok yang
hengkang, bahwa Ki Kaji atau Ki Tolok telah melakukan penistaan agama dan
mengajarkan ilmu sesat.
Sunan atau Sinuhun Jati Purba bukan hanya seorang ulama besar tetapi juga
seorang kepala negeri yang terkenal sangat bijak. Mengatasi Ki Tolok, beliau tidak
melakukan pemanggilan, terlebih penangkapan. Pendekatan silaturahmi baginya

Legenda Cirebon
63
adalah yang terbaik. Dengan dikawal beberapa orang kaum, penghulu dan
didampingi Raden Wulukeling, beliau mendatangi Ki Tolok di pangguronnya. Pada
mulanya Ki Tolok menyambut kedatangan Sinuhun Jati beserta rombongan dengan
baik dan penuh hormat. Bahkan mereka pun sempat terbenam dalam suasana
keakraban. Akan tetapi setelah pembicaraan mengarah pada sasaran, yang intinya
mengingatkan dan mengajak Ki Tolok untuk kembali kepada jalan yang benar dan
diridhoi Allah, spontan dia mengajak jajal kesakten kepada Sunan Jati Purba.
“Ki Syarif, awakku ini bukan orang bodoh yang mudah dipengaruhi bujuk rayu
Andika. Sekarang kita jajal kesakten saja, siapa yang lebih unggul di antara kita.
Kalau Andika lebih unggul, awakku akan berguru dan tunduk kepada Andika. Tetapi
bilamana awakku yang lebih unggul, siap-siaplah Andika menjadi taklukanku. ”
“Hai, Wa’ Tolok! Lancang sekali Andika’…” tiba-tiba Raden Wulukeling
menghardik Ki Tolok. “ Langkahi dulu mayatku sebelum bitotama dengan Gusti
Sinuhun. ”
Betapa terkejutnya Ki Tolok mendengar hardikan keponakannya sendiri dan
bahkan menantangnya untuk bitotama. Sungguh di luar dugaan kalau
keponakannya dapat senekad itu.
“Keling !? ”
“Kenapa Wa’? Kaget ya? Saya tidak niat melawan Uwa’, yang saya lawan adalah
kedholiman Uwa’”
“Diam kau Keling. Jangan banyak bacot. Maju kalau berani, ” ujar Ki Tolok
penuh amarah.
“Sabar Ki Tolok, ” cegah Sunan Jati, “Dia hanya seorang anak ingusan yang
belum banyak makan asam garam. Andika harus malu kalau mau bitotama
dengannya, sebab dia bukan tandingan Andika. Hayo, kita kembali kepada jalan yang
benar. Ajarkan Islam kepada murid-murid Andika dengan sebaik-baiknya dan
sebenar-benarnya. ”
“Sudah aku katakan, awakku akan berguru kepada Andika bilamana Andika
dapat mengalahkan aku. ”
“Dasar keras kepala. Hai Ki Tolok, ingat! Andika pernah mencari seorang kakek
renta pencari kayu bakar. Kakek renta yang Andika cari itu sebenarnya tidak lain
adalah aku sendiri, ” ujar Sunan Jati Purba.
Mendengar ujaran seperti itu Ki Tolok langsung ingin minta maaf. Akan tetapi
mulut dan seluruh tubuhnya tiba-tiba terkunci, kaku tidak dapat digerakkan sama
sekali.
“Kesombonganmu telah meresahkan masyarakat pedukuhan ini dan negeri
Cerbon.”
Tubuh Ki Tolok semakin ingin bergerak, semakin terkunci kaku. Matanya yang
sebesar jengkol tidak dapat berkedip. Kumisnya yang baplang dan sekeras ijuk tetap
baplang dan sekeras injuk, tidak melemas lagi. Tubuhnya masih tegap berdiri, tetapi
terkunci kaku.
“Daripada kesombonganmu mengganggu ketentraman dan kenyamanan
masyarakat, lebih baik aku kembalikan kamu sebagaimana aku menjumpaimu.
Tidurlah kamu di atas batu ceper di bawah kapilayu gung di tepi danau Segaran Jati
yang indah,” ujar Sunan Jati Purba.
Begitu Sunan Jati Purba selesai berujar, tiba-tiba tubuh Ki Tolok bergetar
kencang dan semakin lama semakin kencang. Kepulan asap pun keluar dari seluruh
tubuhnya. Tidak lama kemudian tubuh Ki Tolok muksa, yang ada hanyalah
seonggok lebu setinggi tubuh Ki Tolok. Seketika itu juga tiba-tiba berhembus angin
puyuh menyapu onggokan lebu. Lebu pun beterbangan, menjadikan atap-atap rumah
di pedukuhan itu berwarna abu-abu sesuai warna lebu umumnya. Menyaksikan
kejadian itu, Raden Wulukeling, keponakan Ki Tolok, merasa terharu, air matanya
berlinang membasahi pipi. Sunan Jati Purba merasa menyesal, namun apa mau
dikata, nasi sudah menjadi bubur. Allah sudah mentakdirkannya seperti itu. Dari

Legenda Cirebon
64
peristiwa itu akhirnya pedukuhan itu diberi nama Kampung Lebu. Sedangkan batu
yang berwujud patung seorang haji disebut patung Kaji Sela (patung haji batu)
karena semasa hidupnya Ki Tolok juga dikenal dengan sebutan Ki Kaji. Patung
tersebut sekarang terletak di sudut Barat Daya alun-alun Gua Sunyaragi atau di
sebelah Tenggara Gua Pangawal.

Legenda Cirebon
65
CERITA RAKYAT
TENTANG PERISTIWA-PERISTIWA DI CIREBON

1. SAIDA-SAENI

Sebagaimana kisah-kisah lain yang tersebar di masyarakat Cirebon, kisah


Saida-Saeni merupakan ceritera rakyat yang bisa digolongkan dalam kanda
patopengan. Banyak kandungan nilai luhur yang larut dalam isi ceritera. Ceritera ini
mengalami masa jaya setelah diolah dan disuarakan melalui mulut emas Ibu Carini
(alm), seorang seniman tarling, pesinden lagu-lagu klasik Cirebonan. Beliau
menggubah dan mengolah kisah ini dalam bentuk gending dan lagu yang lebih
dikenal dengan Kiser Saida.
Mula-mula lagu ini terkenal hanya pada kalangan masyarakat tani dan nelayan,
kemudian merambah ke seluruh lapisan masyarakat. Irama lagunya sangat
menyentuh pendengarnya. Kemelaratan, kesengsaraan, kebodohan dan dekadensi
moral akibat ulah penjajah, melatarbelakangi kisah ini. Tidak jelas siapa penulis
kisah ini. Namun, keberhasilan seniman dalam membawakan kisah ini telah
menimbulkan anggapan, bahwa kisah ini bukan sekedar ceritera rekaan, tetapi
peristiwa yang betul-betul terjadi.
Para tokoh dalam cerita ini adalah Mang Sarkawi, Mbok Lemek, Saida, Saeni,
Nyi Maemunah dan Ki Guru. Cerita ini berkonteks kondisi masyarakat Cirebon pada
masa penjajahan Belanda. Sementara yang namanya penjajah, di mana pun dan
dalam zaman kapan pun, jarang mau memperhatikan kesejahteraan rakyat
jajahannya. Demikian pula yang terjadi di Cirebon. Rakyat hanya merupakan sapi
perahan yang harta dan tenaganya terus diperas semata-mata untuk kepentingan
penjajah. Penderitaan, kenistaan, kemelaratan dan dekadensi moral mewarnai
kehidupan masyarakat Cirebon dan Indonesia pada umumnya. Ditambah dengan
adanya sistem onderneming yang memungkinkan para tuan tanah bertingkah
selayaknya raja yang bisa berbuat semaunya.
Alkisah, pada zaman itu di Desa Cikedung (Indramayu), dekat hutan loyang,
hiduplah Mang Sarkawi beserta istrinya, Nyi Lemek, dan dua orang anak mereka,
yaitu Kacung Saida dan Bayi Saeni. Kedua anak ini merupakan remaja tanggung
yang tak sempat mengenyam pendidikan.
Kehidupan keluarga Mang Sarkawi sangat susah. Sebagai buruh tani yang
sesekali menyakap (menyewa, bagi hasil) lahan, hidupnya selalu dalam kekurangan :
esuk mbubur sore nganggur, sehari makan nasi, dua hari tidak. Ubi dan singkong
hampir merupakan makanan pokok. Itu pun terkadang tidak terbeli. Maklum, Mang
Sarkawi terjerat sistem ijon dan gadai tenaga.
Pada awalnya keluarga Mang Sarkawi masih bisa bertahan dalam segala
kemelaratan. Namun derita itu dirasakan sangat berat manakala Nyi Lemek, ibu
kedua anaknya itu jatuh sakit. Sakitnya sangat parah. Mang Sarkawi berikhtiar ke
mana-mana demi kesembuhan istrinya. Apa yang masih ada dijualnya meski dengan
harga yang sangat murah demi membiayai pengobatan istrinya. Makan sehari-hari
tidak dipikirkan lagi. Tidak jarang anak mereka hidup terlantar, dua tiga hari tidak
makan, sehingga badan mereka yang sudah kurus menjadi semakin kering. Kendati
harapan kesembuhan Nyi Lemek sangat tipis, namun keduanya tetap tekun
mengurus ibu mereka.
Pada suatu hari, apa yang tidak diharapkan terjadilah. Jerit tangis memilukan
Saida dan Saeni sangat menyayat hati. Ibu mereka berpulang dalam derita,
meninggalkan kedua anaknya yang belum bisa apa-apa. Sekarang Mang Sarkawi jadi
duda maesan yang hidup sengsara bersama kedua anaknya.

Legenda Cirebon
66
Enam bulan sepeninggal istrinya, kehidupan keluarga Mang Sarkawi belum
memperlihatkan tanda-tanda perubahan. Malah Mang Sarkawi merasakan bintang
kehidupannya seakan semakin gelap. Manakala terlihat mata kedua anaknya, ia
teringat kepada almarhumah istrinya. Karena kasih sayang Mang Sarkawi kepada
kedua anaknya sangat besar, maka Mang Sarkawi bertekad tidak akan beristri lagi.
Disamping tidak mampu untuk menghidupinya, juga khawatir kalau istri barunya
nanti tidak sayang kepada kedua anaknya. Namun denikian, manusia punya
rencana, Tuhan jua yang menentukan.
Tidak jauh dari rumah Mang Sarkawi, hanya lewat beberapa tombak, juga masih
sekampung, hiduplah seorang janda agak muda, Maemunah namanya. Maemunah
telah lama ditinggal pergi suaminya entah ke mana, yang seakan raib di tanah
onderneming ketika sedang bekerja sebagai kuli kontrak. Sang suami mungkin
dimakan harimau, mungkin pula karena kecelakaan lain. Sejauh itu belum pernah
ada kabar berita karena penguasa memang tidak berniat untuk menyelidikinya.
Lain dengan Mang Sarkawi yang merasakan tekanan batin akibat ditinggal mati
istrinya, nampaknya janda yang satu ini tidak demikian. Hanya beberapa hari ia
merasakan duka. Dasar genit, belum genap empat puluh hari kematian suami,
peristiwa itu berlalu begitu saja. Tiap hari ia berhias, bersolek, berdandan sejadi-
jadinya. Segala gerak langkah sengaja dibuat untuk memancing perhatian pria.
Orang mengatakan ia adalah seorang janda ganjen. Ada juga datang laki-laki yang
tertarik kepadanya. Namun lebih banyak yang sekedar iseng ketimbang untuk tujuan
baik. Rata-rata mereka sudah punya anak-istri. Dari sekian laki-laki yang datang,
nampaknya belum ada juga yang berkenan di hati sang janda, sedangkan ia masih
mendambakan bersuami lagi. Sore hari Maemunah sering pergi menonton ronggeng
ketuk telu - ronggeng ketuk telu adalah satu-satunya sarana hiburan yang masih
bertahan pada zaman itu - dengan harapan ada laki-laki yang tertarik kepadanya.
Pada suatu hari sepulang kuli nyangkul di sawah tetangga, di jalan menuju
rumah, Mang Sarkawi jalan beriringan dengan Nyi Maemunah. Diawali dengan tegur
sapa sebagaimana layaknya tetangga, akhirnya mereka terlibat obrolan ngalor ngidul.
Entah mengapa saat itu Nyi Maemunah kepincut pada pribadi Mang Sarkawi yang
duda itu. Maka dalam obrolan itu tidak jarang Nyi Maemunah menyinggung dan
memancing obrolan yang mengarah pada kehidupan rumah tangga. Tidak munafik
dalam dada Mang Sarkawi pun mulai terasa getaran naluri kelelakian. Katakanlah
Mang Sarkawi sebagai laki-laki normal tertarik juga pada Nyi Maemunah.
Sejak saat itu dengan berbagai alasan Nyi Maemunah sering berkunjung ke
rumah Mang Sarkawi. Demikian pula Mang Sarkawi. Witing tresna jalaran saka
kulina, demikian kata orang. Akhirnya cinta Nyi Maemunah tidak bertepuk sebelah
tangan. Hubungan mereka kian intim saja. Nyi Maemunah bukan hanya
menunjukkan kasih sayang kepada Mang Sarkawi, tetapi juga kepada kedua
anaknya. Terlintas dalam hati untuk meminang Nyi Maemunah. Namun, tatkala
teringat pesan terakhir istrinya menjelang najah agar jangan menikah dulu sebelum
kedua anak mereka bisa hidup mandiri, maka niat Mang Sarkawi dipendam saja
dalam hati.
Sementara itu, tetangga dan warga masyarakat sekampung sudah mulai ramai
mempergunjingkan hubungan Mang Sarkawi dan Nyi Maemunah. Dimana pun
mereka berada selalu menjadi bahan gunjingan.
Menyadari hal ini, maka Nyi Maemunah dengan berterus terang mendesak Mang
Sarkawi agar segera mengawininya. Mang Sarkawi bimbang, nampaknya banyak
yang harus dipertimbangkan untuk menjawab hal ini. Selain biaya kawin dan biaya
hidup sehari-hari yang belum menentu, dia juga khawatir kedua anaknya akan
terbengkalai atau tidak disayang ibu tiri mereka.
Tanggap akan situasi Mang Sarkawi, maka Nyi Maemunah pun bersumpah
bahwa dia sanggup menjadi ibu yang baik bagi kedua anaknya, serta sanggup sama-

Legenda Cirebon
67
sama memikul biaya nikah dan biaya hidup di kemudian hari. Akhirnya Mang
Sarkawi pun menikah dengan Nyi Maemunah.
Pada bulan-bulan pertama perkawinan mereka pasangan Mang Sarkawi dan Nyi
Maemunah nampak cukup bahagia. Terkadang bikin iri yang melihatnya. Mang
Sarkawi sudah bisa melupakan almahumah istrinya, karena agaknya Nyi Maemunah
menyayangi juga kedua anaknya. Namun keadaan yang demikian tidak berlangsung
lama. Ternyata kasih sayang Nyi Maemunah kepada Saida dan Saeni selama ini
hanya pura-pura belaka. Di hadapan Mang Sarkawi, Nyi Maemunah menyayangi
kedua anak tirinya. Manakala Mang Sarkawi pergi, kedua anak itu diumpat dan
dicerca malah tak jarang ditampar. Makanan dan pakaian mereka tidak diurus.
Salah sedikit saja sudah cukup mengundang amarah. Saida dan Saeni kini semakin
sengsara. Mereka sering nangis bersama, teringat almahumah ibu mereka. Dua tiga
hari terkadang mereka tak diberi makanan apa-apa. Namun sejauh itu mereka belum
berani mengadu kepada ayahnya. Percuma saja mengadu, sebab ibu tiri mereka
selalu melaporkan yang baik-baik saja. Saida dan Saeni semakin kurus, tinggal kulit
membalut tulang. Matanya cekung, tenaga pun sangat lemah. Akhirnya, karena tak
tahan menanggung derita, pada suatu hari tatakala Mang Sarkawi baru pulang kerja,
mereka mengadu. Belum selesai mengadu, sang ibu tiri datang melabrak. Rupanya
Nyi Maemunah mendengarkan juga pengaduan mereka. Dikatakannya bahwa Saida
dan Saeni anak yang tak tahu membalas budi, anak yang tahu diuntung. Tak kalah
gencarnya Nyi Maemunah memutarbalikkan fakta, yang putih dikatakan hitam dan
seterusnya. Sedangkan Saida dan Saeni hanya bengong sambil menelan pahitnya
fitnah. Mereka hanya bisa diam seribu bahasa, air mata pun mengalir deras
membasahi pipi mereka.
Kejadian serupa terus berulang. Lama-lama Mang Sarkawi terpengaruh laporan
manis Nyi Maemunah. Mungkin terdorong cinta atau karena lihainya berdalih serta
pintarnya menghasut, tak jarang tangan Mang Sarkawi melayang ke muka kedua
anaknya.
Suatu malam, manakala Saida dan Saeni sedang tidur di balai bambu yang tak
beralas, yang hanya berselimutkan kain lusuh penuh sobekan, di kamar satu-
satunya di gubuk itu, samar-samar terdengar obrolan Mang Sarkawi dan Nyi
Maemunah yang agaknya serius sekali. “Kang, kalau memang kakang masih sayang
sama saya, singkirkan saja kedua anak kakang. Mereka hanya mengadu domba kita
!” demikian Nyi Maemunah memohon kepada Mang Sarkawi. Mang Sarkawi yang
sudah terkena racun fitnah istrinya, selalu mengiyakan apa pun yang dikatakan
istrinya.
Suatu pagi, tatkala orang-orang sibuk berangkat kerja, Mang Sarkawi beserta
keluarga nampak sibuk juga. Mereka menyiapkan bekal karena konon pada hari itu
Mang Sarkawi akan membawa kedua anaknya mencari kayu bakar di hutan Loyang.
Kampak dan wadung disiapkan. Seonggok nasi tumpeng juga telah disediakan. Tak
biasanya, pagi itu Nyi Maemunah pun bersikap baik kepada kedua anak tirinya.
Setelah segala yang diperlukan dalam perjalanan telah dianggap beres, maka mereka
bertiga berangkat. Nyi Maemunah mengiringkan kepergian mereka dengan rasa puas.
Kini tiada lagi penyakit dalam rumahnya. Biarlah mereka mati kelaparan atau
dimakan binatang buas. Demikian hatinya berharap.
Mang Sarkawi, Saida dan Saeni memasuki hutan. Semak belukar disibakkan.
Onak dan duri tak jarang terpijak mengganggu perjalanan mereka. Jerit monyet,
dengus babi hutan, lengking kijang, aum harimau serta suara binatang buas lain tak
jarang terdengar. Saeni mulai ketakutan, namun Saida membesarkan hatinya serta
selalu membimbingnya dalam berjalan. Pohon-pohon lebat yang besar dan tak
beraturan mulai dilalui. Sekali-kali melewati jurang dan tebing. Perjalanan sejauh itu
baru untuk pertama kali bagi Saida dan Saeni.

Legenda Cirebon
68
Kelelahan sangat dirasakan, namun Mang Sarkawi terus berjalan belum
berhenti juga. Dikatakannya, bahwa belum menemui kayu yang bagus harganya
untuk dijual di pasar.
Setengah hari mereka berjalan, akhirnya mereka berhenti di bawah pohon
beringin besar yang tumbuh liar. Bekal nasi tumpeng pun mulai dimakan dengan
lauk pauk apa adanya. Saida dan Saeni nampak sangat lahap. Maklum mereka
jarang ketemu nasi. Seusai makan, kedua anak merasa haus. Namun air tidak ada.
Saida dan Saeni baru sadar bahwa mereka tidak membawa bekal air. Karena haus
yang amat sangat, kedua anak tampak gelisah. Maka Mang Sarkawi berpesan pada
anaknya agar tidak kemana-mana karena ia akan mencari air.
Berangkatlah Mang Sarkawi meninggalkan kedua putranya. Dia pergi untuk
tidak kembali. Memang segalanya telah diatur. Sesungguhnya hati Mang Sarkawi
ragu juga untuk meninggalkan mereka, namun apa dikata, setan telah merajai
hatinya.
Gelisah dan ketakutan menyelimuti hati Saida dan Saeni manakala sampai
malam ayahnya belum kembali. Saeni mulai menangis. Sebagai anak lelaki, Saida
berusaha untuk bertahan tidak menangis. Rasa tanggung jawab terhadap
keselamatan adiknya sangat besar. Ditenangkannya adiknya, dibujuknya untuk tidak
terus menangis.
Sampai saat itu Saida dan Saeni belum juga mengerti, bahwa mereka sengaja
dibuang sebagai korban kekejaman orang tua. Malahan mereka mengkhawatirkan
keselamatan ayah mereka. Takut kalau ayahnya dimakan binatang buas.
Hari, minggu terus berganti. Tiga bulan telah dilalui hidup apa adanya dalam
hutan. Kesengsaraan sudah menyatu dengan hidup mereka. Mereka makan apa saja
yang bisa dimakan. Harapan untuk kembali pulang atau bertemu lagi dengan orang
tua sudah sirna. Mereka sudah pasrah dan menyerah akan nasib. Mencari jalan
pulang malah tambah jauh menyesatkan. Hanya karena nasib dan faktor kebetulan
mereka belum disantap binatang buas. Rupanya ketika berangkat, Mang Sarkawi
sengaja memutar-mutar jalan untuk menyesatkan kedua anaknya agar tidak bisa
kembali pulang. Bayangan ibu selalu membayangi mereka.
Suatu saat, tatkala Saida dan Saeni bersiap hendak memanjat pohon untuk
beristirahat, sekonyong-konyong dikejutkan oleh suatu gambaran aneh yang terlihat
oleh keduanya. Sore hari yang biasanya nampak gelap, sekonyong-konyong nampak
terang. Bulu kuduk mereka berdiri. Saeni yang sudah mulai tidak penakut lagi, kali
ini merasakan takut luar biasa. Ia mendekap erat kakaknya.
Belum hilang rasa takut, tiba-tiba di hadapan mereka terlihat gumpalan kabut
yang seakan keluar dari perut bumi. Gumpalan kabut berangsur berubah bentuk,
yang akhirnya terlihat seorang kakek tua berjubah putih, bersorban putih, berjenggot
panjang serta bermisai putih pula. Saeni semakin erat mendekap kakaknya.
Kakek tua tersenyum penuh misteri, sorot matanya tajam. Sang kakek tua
berkata, “Sudahlah Nak. Kalian tak perlu takut. Aku adalah Eyang Guru yang ingin
menolong kalian. Aku telah lama memperhatikan kalian. Tak usah bertanya siapa
aku. Aku adalah Sang Kala Bajul, penolong bagi yang sengsara dan mau ditolong.
Aku tahu kalian dibuang ayahmu karena hasutan ibu tirimu.” Sementara itu, Saida
dan Saeni yang bengong baru mengerti bahwa mereka sengaja dibuang ayahnya.
Hendak berkata ia belum mampu. Seakan mulutnya terkunci rapat. Dalam hati
mereka bertanya, mengapa kakek tua ini tahu segalanya. Siapakah gerangan dia?
Sang Kala Bajul melanjutkan pembicaraan, ”Engkau tak usah ragu anak-anakku!
Sekali lagi aku datang untuk menolong kalian. Maukah aku tolong?”. Secara serentak
mereka menjawab “Mau Eyang, terima kasih !”
Sang kakek nampak puas, maka ia berkata lagi, ”Syukur kalau kalian mau
kutolong. Dengarlah anak-anakku! Sebentar kalian berdua akan ku-wisih. Pejamkan
mata kalian.” Maka Saida dan Saeni secara serentak pula memejamkan mata. Terasa

Legenda Cirebon
69
angin segar menghembus mereka. Manalaka sang kakek menyuruh membuka mata
kembali, mereka merasakan kesegaran dan timbulnya kekuatan.
“Engkau telah kuwisih dengan ajian pengasih Paninggeng dan Pengabaran,”
demikian kata sang Kakek selanjutnya. “Pulanglah engkau segera menuju ke arah
sana dari pohon serut ini dan jangan menoleh. Sampai di kampung engkau Saida
harus jadi juru gendang ketuk telu dan engkau Saeni harus jadi ronggengnya. Tak
usah ragu, engkau berdua pasti berhasil. Engkau akan bisa hidup layak dan dihargai
orang. Bapak dan ibu tiri kalian akan datang mencari dalam kepapaan. Namun ingat,
pada saatnya engkau akan kembali untuk bersamaku lagi dalam wujud lain.
Sanggupkah engkau anak-anakku?”
Tak berpikir panjang lagi keduanya menyanggupi. Kesengsaraan membuat iman
mereka rapuh. Kefakiran membawa mereka kepada kekufuran. Setelah mengucapkan
terima kasih mereka mohon diri untuk kembali ke desa, menempuh jalan sesuai
dengan petunjuk sang kakek. Sementara itu, sang kakek telah raib pula.
Sangat aneh, perjalanan pulang dirasakan begitu cepat, mereka telah datang di
kampung. Sesampai di kampung, mereka hanya menyempatkan berziarah sebentar
di kubur ibu mereka. Selanjutnya mereka pergi lagi meninggalkan kampung. Ayah
mereka pun sengaja tak ditemui. Konon mereka bergabung dengan grup kesenian
ketuk telu di Desa Sukaratu. Singkatnya, jadilah Saeni sebagai primadona ketuk telu,
dan Saida jadi juru gendang favorit. Kecantikan ronggeng Saeni serta kelincahan juru
gendang Saida, terkenal ke mana-mana. Dimana mereka manggung, di situ diserbu
pengunjung. Mereka datang dari mana-mana, sengaja untuk berjoget bersama
ronggeng Saeni yang cantik jelita. Para mandor, kuli kontrak dan juragan perahu
nelayan banyak yang mabuk kepayang. Mereka tak sayang memberi uang banyak
kepada sang ronggeng dan juru gendangnya.
Kini Saida dan Saeni dihormati orang. Ia telah membangun rumah yang layak,
uang mereka banyak, harta benda melimpah ruah. Mereka tidak kikir. Banyak orang
sengsara yang ditolong. Keduanya belum mau berumah tangga walau banyak para
juragan dan priyayi desa yang meminangnya.
Sementara itu Mang Sarkawi dan Nyi Maemunah kini hidup melarat dan
semakin sengsara. Dikejar perasaan berdosa dan rindu pada anaknya, menyebabkan
Mang Sarkawi sakit-sakitan hingga matanya menjadi buta. Semenara Nyi Maemunah
yang dulu genit, kini telah renta. Keduanya sudah tidak mampu lagi bekerja. Untuk
mengisi perut mereka terpaksa meminta-minta. Rupanya Tuhan telah mulai
membalas perbuatan mereka.
Kedermawanan serta kekayaan Saida dan Saeni akhirnya sampai juga ke telinga
Mang Sarkawi dan Nyi Maemunah. Semula mereka tidak yakin bahwa kedua anak
yang dibuang itu masih hidup dan bisa menjadi kaya. Namun karena terdorong rindu
jugalah Mang Sarkawi mengajak istrinya mendatangi kedua anaknya. Mereka siap
meminta maaf. Perjalanan yang cukup jauh mereka tempuh juga, sambil Mang
Sarkawi dituntun istrinya.
Konon kedatangan Mang Sarkawi dan Nyi Maemunah semula tidak dikenali lagi
kedua anak mereka. Mereka dianggap tamu biasa yang datang untuk meminta-
minta. Namun, setelah Mang Sarkawi yang sudah buta menjelaskan, akhirnya
mereka saling berangkulan dan bertangisan. Ayah dan ibu tiri mereka dibawa masuk,
dihormati secara layak sebagaimana anak kepada orang tua. Saida dan Saeni telah
memaafkan mereka. Mereka diberi pakaian baru yang bagus. Dijamu makan minum
secukupnya.
Malu, sedih, menyesal dan gembira menyelimuti perasaan hati Mang Sarkawi
dan Nyi Maemunah. Anak yang dulu disengsarakan dan dibuang kini menunjukkan
bakti yang tulus. Tak sanggup rasanya berlama-lama bersama anak mereka, meski
segalanya tercukupi. Perasaan dosa selalu menghantui. Apalagi Nyi Maemunah, tak
sanggup lagi bertatap pandang dengan kedua anak tirinya. Mereka ingin segera pergi
saja dari situ untuk kembali ke kampung.

Legenda Cirebon
70
Sebenarnya Saida dan Saeni berniat menahan kepulangan mereka. Ia
berkehendak mengurus serta memelihara mereka dalam usia yang sudah setua itu.
Saida dan Saeni ingin menunjukkan bakti sebagaimana anak terhadap orang tua.
Namun rupanya Mang Sarkawi sudah bertekad pulang, meski anaknya selalu
menghalangi. Dengan alasan yang dicari-cari maka mereka akhirnya diijinkan juga
pulang kampung. Diberilah bekal secukupnya untuk di jalan serta uang untuk modal
biaya hidup. Mereka pergi dengan diiringi linangan air mata. Mereka dimohon sering
datang manakala menghadapi kesulitan.
Beberapa tahun telah berlalu. Saida dan Saeni yang kaya semakin kaya. Namun
apalah artinya harta yang melimpah kalau didapat dari jalan yang tidak diridhoi
Allah. Mereka sudah melupakan janji akhir kepada Eyang Guru. Kekayaan yang
didapat seakan harta yang wajar saja.
Saeni jatuh sakit. Mula-mula seperti demam biasa saja, makin lama tubuhnya
dirasakan semakin panas. Tidur tak enak, makan tak hendak. Beberapa orang pintar
hilir berganti didatangkan untuk dimintai tolong. Berbagai cara diusahakan pula oleh
Saida untuk kesembuhan penyakit adiknya, sesuai dengan apa kata orang. Namun
tak ada tanda-tanda sembuh juga. Malah penyakit jenis lain dirasakannya. Badannya
terasa gatal-gatal. Pada kulit tubuhnya terlihat noda-noda putih kekuningan bagai
sisik dan sangat kaku dirasakan. Kedua kakinya membujur lurus dan kaku tak bisa
digerakkan sama sekali.
Suara-suara aneh yang misterius selalu terdengar dari sekeliling rumah.
Diantara sadar dan tidak Saeni seakan didatangi Eyang Gurunya yang
mengingatkan, bahwa tak lama lagi ia harus memenuhi janjinya. Saeni menjerit
mengigau. Saida terkaget dari lamunan. Dia pun telah ingat, bahwa mereka mengikat
kontrak dengan setan. Mereka berdua bertangisan.
Sementara itu, Saeni merasakan tubuhnya amat sangat panas disertai gatal
yang luar biasa. Kakinya bagaikan menjadi satu susah untuk dilepas. Saeni pasrah
akan nasib. Ia meminta malam nanti yang kebetulan malam Jumat Kliwon agar Saida
bersedia menggendongnya untuk mandi di Sungai Sewo.
Malam harinya dengan susah payah Saida membopong adiknya menuju Sungai
Sewo. Keadaan amat sepi. Tak seorang pun ditemui mereka di jalan. Suasana aneh
selalu mengikuti.
Mereka telah sampai di pinggir Sungai Sewo. Dari dalam dan sekitar sungai
terdengar suara riuh seakan menyambut kedatangan mereka. Luar biasa, Saeni yang
tadinya sangat lemah dengan kaki yang telah menjadi rata, cepat bagaikan kilat
terjun ke sungai, suara tertawa semakin riuh.
Saeni sebagai manusia hilang sudah, yang ada hanyalah Saeni yang telah
berganti wujud menjadi buaya putih yang berenang kian kemari di hadapan Saida,
seakan mengucapkan selamat tinggal. Dalam bengong Saida sadar, bahwa adiknya
telah memenuhi janjinya. Ia bersumpah untuk tidak akan meninggalkan adiknya
sampai mati. Tiba-tiba seakan
ada halilintar yang
menyambar. Pandangannya
menjadi gelap. Saida berganti
wujud menjadi rumput ilalang
yang akan selalu menaungi
buaya putih manakala berada
di darat. Mereka berdua selalu
bersama sampai hari kiamat.
Buaya dan ilalang tak bisa
dipisahkan.
Ada pun Mang Sarkawi
dan Nyi Maemunah saat itu
merasakan kerinduan yang

Legenda Cirebon
71
luar biasa kepada anaknya. Pemberian modal hidup dari anaknya, tidak menolong
nasibnya. Mereka selama ini tidak pernah datang lagi menemui anaknya, karena
khawatir batinnya makin tersiksa. Namun rasa rindu tak tertahankan lagi. Mereka
berangkat juga sambil tuntun-tuntunan. Mereka nyasar ke mana-mana. Mereka
saling menyalahkan. Mang Sarkawi selalu dimarahi istrinya. Di dekat Sungai Sewo
Mang Sarkawi ditinggalkan. Nyi Maemunah bertekad meninggalkan suaminya untuk
pergi sendiri. Mang Sarkawi sasar susur berusaha mengejar istrinya. Namun apa
dikata, matanya telah buta.
Sampailah Nyi Maemunah di pinggir Sungai Sewo di hamparan rumput ilalang.
Dia dalam kehausan dan bersiap minum. Tiba-tiba dirasakan benda keras
menghantam dirinya. Ia jatuh terjebur sungai dan tidak diketahui lagi nasibnya.
Mungkin juga tubuhnya disantap buaya-buaya anak buah buaya putih. Jadilah Nyi
Maemunah sebagai wadal pertama buaya putih di Sungai Sewo. Jerit Nyi Maemunah
ketika ditampar ekor buaya putih terdengar sampai ke telinga Mang Sarkawi yang
sedang sasar susur mengejar istrinya. Mang Sarkawi mempercepat jalannya menuju
suara jerit istrinya. Tak lama ia sampai di pinggiran sungai. Ia menginjak duri ilalang
penjelmaan putra sulungnya, si Saida. Mang Sarkawi kaget dan jatuh terguling
masuk sungai dan mati seketika. Jasadnya diterima oleh buaya putih, didukung
diatas punggungnya dibawa berenang dan menyelam entah ke mana. Maka jadilah
Mang Sarkawi wadal yang kedua. Sejak saat itu tiap saat berjatuhan korban buaya
putih. Buaya putih Saeni dendam pada setiap manusia, karena dirinya tersiksa
berada di alam lain dan dalam wujud lain pula.
Demikian akhir kisah anak manusia yang rapuh iman dan mental karena
kesengsaraan dan kemelaratan. Fakir membawa kafir. Melarat membawa maksiat.

Legenda Cirebon
72
2. PEMBERONTAKAN KI BAGUS RANGIN

Dalam pandangan Pemerintah Kolonial, pemerintahan raja-raja Cirebon pada


zaman Vereenigne Oost Indische Compagnie (VOC) merupakan sumber kemelaratan
dan kekacauan. Terlalu banyak bangsawan yang tidak bekerja, menyandarkan hidup
dari hasil perasan keringat rakyat, sehingga menimbulkan kegelisahan dan gangguan
keamanan. Sekitar tahun 1759 rakyat Cirebon dilanda penderitaan akut yang
disebabkan tekanan pajak, penanaman tebu dan kapas secara paksa oleh pemerintah
kolonial di atas tanah milik rakyat atau lazim disebut tanah komunal. Namun, dalam
sumber lain(Fernando, 1988) disebutkan, bahwa penderitaan rakyat bukan hanya
disebabkan kebijakan cultuurstelsel semata. Yang membuat kaum tani lebih
menderita adalah ulah para calo, yang telah memanipulasi harga hasil-hasil
pertanian demi kepentingan mereka, sehingga kaum tani tidak menikmati standar
harga hasil usaha mereka yang senyatanya. Dengan demikian, yang diuntungkan
adalah para pedagang dan elite lokal saja.
Bertolak dari pandangan itu, maka pada tahun 1792 J.L. Umbgrove, Residen
Cirebon pada masa itu, mengurangi jumlah pangeran dan ratu dan mengubah fungsi
mereka menjadi pegawai pemerintah. Dengan demikian, diharapkan negeri ini tidak
lagi dihisap habis-habisan dan memperoleh lebih banyak berkat demi kepentingan
rakyat.
Pandangan pemerintah kolonial ternyata keliru. Kendati telah diturunkan secara
politis, namun pengaruh kharismatis pangeran dan ratu tidak hilang. Pelucutan
kekuasaan mereka justru telah memicu rasa tak puas yang terus menjalar dan
secara diam-diam atau terang-terangan mengambil bentuk berupa tuntutan. Mereka
menuntut agar kedudukan mereka dipulihkan, bahkan alasan inilah yang memicu
pemberontakan.
Tidak lama sesudah masa pengalihan kekuasaan oleh Inggris kepada Belanda
pada akhir Nopember dan awal Desember 1816, keadaan sudah mulai bergolak.
Dicarilah sebab-sebabnya antara lain adanya hasutan pihak Inggris, kesewenangan
pemilik tanah partikelir dan berlakunya landrente secara sembrono.
Pajak baru ini masih berjalan sementara me-nurut
peraturan yang di-buat Inggris dengan ma-cam-macam
istilah dise-but sebagai “peraturan” yang keterlaluan,
semau yang berkuasa, berke-dok sewa tanah yang
membuat Raffles telah menciptakan perpajakan bagi
rakyat Jawa dan menyebabkan penduduk teraniaya,
menderita per-kosaan atas hak tanahnya selama 80
tahun.
Begitulah kenyataannya. Pemerintahan yang tak
menentu itu, telah menu-suk perasaan dan hati
rakyat secara men-dalam. Akibatnya rak-yat tidak
bisa lagi memenuhi hidup dari apa yang tersisa,
betul-betul miskin dan tidak tahu lagi kepada
siapa harus mengadukan nasib. Dalam
keputusasaan, mulailah mereka mencoba
melawan kekuasaan penjajah secara sporadis,
namun tak satu pun yang berhasil karena tidak
ada seorang pimpinan yang kuat.
Baru pada tahun 1804, setelah ada beberapa
putera sultan yang keluar dari keraton dan
membuang semua atribut kebangsawanannya,
bersama-sama dengan rakyat melawan tindak
kekejaman penjajah, dimulai dari Desa
Kedongdong dan sekitarnya. Para pangeran itu
kemudian mengganti nama depan mereka dengan

Legenda Cirebon
73
nama Bagus, seperti Bagus Rangin, Bagus Serit yang bergabung dengan Ki Arsitem
dan Kuwu Sarman yang berhasil mengobarkan semangat rakyat dan menolak segala
apa yang diperintahkan penguasa kolonial.
Hal demikian membuat penguasa kolonial menjadi sangat marah dan Desa
Kedongdong dibumihanguskan. Namun rakyat Desa Kedongdong tidak ada di tempat
karena sebelumnya telah mengetahui siasat ini. Bahkan pada malam harinya rakyat
Kedongdong menyerbu pasukan Belanda dan membawa korban Adipati Nitidiningrat
tewas. Disamping itu puluhan pasukan musuh terbunuh.
Pihak penjajah tidak putus asa untuk menangkap para pembangkang, antara
lain dengan menyelenggarakan acara tayuban di Desa Kedongdong. Namun siasat ini
pun tercium oleh para pejuang pembela rakyat. Pada saat para penari ramai
menunjukkan kebolehan mereka, maka di saat itu pula serbuan rakyat dilakukan.
Akibatnya pasukan kolonial kalah total dan banyak pimpinan mereka yang terbunuh.
Kegagalan pihak penjajah untuk menangkap Bagus Rangin, Bagus Serit dan Ki
Arsitem selalu gagal dan akhirnya mereka membabi buta dan penduduk desa
menjadi sasarannya.
Melihat penderitaan rakyat yang demikian dan kerugian yang begitu besar,
maka diantara para pejuang ada yang berusaha menempuh jalan perdamaian.
Namun muslihat penjajah mengguna-kan momentum perundingan itu digunakan
untuk menangkap rakyat kemudian dipenjarakan di Palimanan dan diantara yang
tertangkap tersebut ada yang dibawa ke Batavia kemudian dibuang ke Ambon.
Melihat tingkah laku dan kekejaman penjajah itu, rakyat semakin tidak gentar,
bahkan sebaliknya rakyat mengumpulkan semua kekuatan, mereka bersama-sama
menjebol penjara Palimanan.
Perjuangan Ki Bagus Rangin dan teman-teman dapat semakin memperkuat
pembuktian, bahwa sejak dulu rakyat Cirebon sangat anti penjajahan serta
penindasan, bahkan mampu menghancurkan keangkaramurkaan dalam segala
bentuknya.

Legenda Cirebon
74
3. PASUKAN SARWAJALA : DARI PENUMPASAN PEROMPAK HINGGA PEREBUTAN
SUNDA KELAPA

Sebagai kerajaan maritim, Cirebon memiliki kisah kepahlawanan dalam menjaga


kedaulatan di laut. Hal itu dapat dilihat dari adanya pasukan sarwajala (Angkatan
Laut) yang tangguh pada masa kejayaan Cirebon.
Dikisahkan, pada sekitar tahun 1512 -1513 Pangeran Bratakelana atau
Pangeran Gung Anom, Putra Mahkota Kerajaan Cirebon sepulang dari Kraton Demak
Bintara, beserta para pengiringya menaiki perahu niaga milik orang Jawa Timur.
Selain ditumpangi mereka, perahu juga membawa serta penumpang dari Cina, Arab,
Sumatra, Tumasik (Singapura), Jawa Timur dan lainnya. Tanpa mereka duga, sejak
memasuki perairan Tegal kapal ini diikuti kapal perompak. Komplotan perompak ini
dipimpin oleh Lowo Ijo. Mereka beroperasi di sekitar Pulau Karimun Jawa hingga
Tegal dan Gebang. Ketika memasuki perairan Gebang, barulah kawanan perompak
menyerang perahu tersebut dan terjadilah pekelahian. Para bajak laut menyerang
penumpang kapal secara membabi buta. Mereka menyerang dan mengeroyok
penumpang kapal tanpa pandang bulu.
Beberapa awak kapal dan penumpang, termasuk Pangeran Bratakelana
melakukan perlawanan sebisanya. Namun dalam keadaan terdesak, salah seorang
perompak berhasil menghunuskan pedang ke punggung Pangeran Bratakelana. Sang
Pangeran tersungkur dan menemui ajal pada saat itu juga. Mayat Pangeran yang
merupakan putera Sunan Gunung Jati dengan Nyi Mas Syarifah Baghdad dan baru
berusia 23 tahun ini (lahir 1488 M) kemudian dilemparkan ke laut.
Menurut cerita yang berkembang di daerah Bedulan, Kecamatan Kapetakan
sampai ke daerah Indramayu, mayat pangeran terombang-ambing ombak hingga ke
pesisir Indramayu. Konon, seorang penduduk sempat menemukan mayat Sang
Pangeran, namun tidak mengetahui jika itu adalah mayat Pangeran Bratakalana. Ia
membiarkan jenazah tersebut terapung-apung di lautan. Perbuatan itu dilakukan
karena mengira mayat tersebut adalah mayat orang asing yang berkebangsaan
Timur Tengah. Postur tubuh dan raut muka Pangeran Bratakalana memang sangat
mirip dengan orang Timur Tengah karena ayah dan ibunya memang berdarah Timur
Tengah. Tindakan tersebut dipercaya berakibat buruk pada kawasan pantai
Indramayu dan menjadi “kutukan” kelak, yaitu berkurangnya dataran Indramayu
karena abrasi.
Meskipun jenazah Pangeran Bratakelana sudah cukup lama terapung-apung di
lautan, keadaanya masih utuh tanpa kerusakan sedikit pun dan tetap dalam
keadaan segar. Jenazah tersebut kemudian terdampar di perairan Mundu dan
ditemukan oleh kalangan nelayan. Penemuan tersebut kemudian dilaporkan ke
Lobama yang tentu saja mengenalinya. Dia segera pergi ke Keraton Pakungwati dan
melaporkan penemuan tersebut kepada Sunan Gunung Jati. Meski keadaan keraton
sempat gempar, namun kejadian ini tidak berlangsung lama berkat kesigapan Ki
Ageng Bungko yang bersumpah untuk mengusut pelaku pembunuhan tersebut. Ki
Ageng Bungko adalah Senopati Sarwajala Kerajaan Cirebon. Selain itu, ia juga
memiliki gelar Ki Tenun Jagat karena keahliannya dalam menenun alat tangkap ikan
yang bernama sero banjang. Dalam hal menenun atau menganyam alat tangkap ikan
model inilah Ki Ageng Bungko menyelam di lautan dalam waktu yang cukup lama
karena alat model ini cukup panjang jaraknya.
Atas ijin Kuwu Cirebon, Ki Ageng Bungko beserta Pangeran Caruban, Dipati
Keling, Ki Ageng Gebang, Ki Ageng Dermayu, Ki Demang Japura, Ki Demang Bintara
dari Demak, Ki Ageng Surabaya, Ki Ageng Sura beserta pasukan masing-masing dan
700 pasukan cadangan dari Cirebon berusaha mencari dan menumpas habis
gerombolan perompak ke arah Timur.

Legenda Cirebon
75
Tak berapa lama pasukan tersebut berhasil menemukan dan membunuh para
perompak hingga tak bersisa dan kemenangan diraih pihak Kerajaan Cirebon.
Sementara itu, jenazah Pangeran Bratakelana dikebumikan di daerah Mundu.
Menurut satu versi, asal mula nama Sindanglaut berasal dari nama Pangeran Sedang
Lautan. Kelak ibunya, Nyi Mas Syarifah Baghdad juga dikebumikan di daerah yang
sama, tidak jauh dari kuburan Pangeran Bratakelana. Pangeran Brartakelana
kemudian mendapat gelar Sedang Lautan (gugur di laut). Konon, kejadian tersebut
membuat Sunan Gunung Jati amat terpukul dan memberi nasehat kepada anak
cucunya aja layaran ning lautan (jangan berlayar di lautan).
Ketangguhan pasukan Sarwajala Cirebon selain dari kisah di atas juga
dikisahkan dalam peristiwa perebutan Sunda Kelapa.
Pada masa itu, setelah kekalahan Demak dan sekutunya di Sumatera dalam
penyerangan Malaka (1512-1513), Portugis yang dipimpin Alfoso d’Albuquerqe
mengamati Demak khususnya dan kerajaan di Pulau Jawa pada umumnya. Portugis
berfikir keras untuk menaklukkan Demak dan kerajaan lain. Terpikir oleh mereka
untuk mengadakan perjanjian dengan kerajaan yang merupakan musuh bebuyutan,
tetapi memiliki wilayah yang cukup potensial, yakni Pakuan Pajajaran. Kesepakatan
kerja sama kemudian dilakukan pada tahun 1522. Pihak Portugis diwakili oleh
Panglima Henrique Leme, sedangkan Kerajaan Pajajaran diwakili oleh Samayam.
Sesuai perjanjian tersebut Portugis berhak membangun pos di Pelabuhan Sunda
Kelapa. Melihat hal ini, Cirebon selaku daerah Banten yang bertetangga dengan
Sunda Kelapa, merasa tidak nyaman dengan kehadiran Portugis yang semakin lama
semakin meresahkan. Sebagai sekutu Cirebon, Demak segera mengirimkan pasukan
ke Cirebon dan mengutarakan maksudnya kepada Sunan Gunung Jati untuk
menaklukan Sunda Kelapa.
Pasukan Demak yang dipimpin oleh Fadhillah Khan beserta pasukan Sarwajala
Cirebon yang dipimpin oleh Ki Ageng Bungko, Panglima Yudha Laga oleh Pangeran
Cirebon, serta pasukan yang dipimpin oleh Dipati Keling kemudian berangkat
menuju Sunda Kelapa dengan menaiki Perahu Bantaleo. Pasukan yang
keseluruhan berkekuatan 1452 orang ini dipimpin oleh Fadhillah Khan sambil
membawa panji-panji. Singa Barong Dwajalullah dari Cirebon dibawa oleh Dipati
Cangkuang dan pedang bersilang bertuliskan kalimat syahadat dari Kerajaan Demak
dibawa oleh Patih Yudhanagara.
Sementara itu, di Banten tengah terjadi pergolakan yang dipimpin oleh
Pangeran Sabakingkin. Akibat pergolakan tersebut, Bupati Kawunganten (Banten)
terdesak lari ke hutan ke arah ibukota Pajajaran. Hal ini tentu saja mempermudah
pasukan gabungan Cirebon dan Demak untuk melakukan penyerbuan ke Sunda
Kelapa. Bahkan setelah Pangeran Sabakingkin berhasil menaklukan Banten,
pasukan Banten bergabung dengan Cirebon dan Demak dalam penyerangan
tersebut.
Portugis mendapat serangan dari dua arah, darat dan laut. Meski peralatan
perang mereka lebih modern, namun hal tersebut tidak dapat memadamkan
semangat juang pasukan gabungan. Secara singkat pada tahun 1527 pasukan
Portugis berhasil dikalahkan. Untuk mengenang kejayaan tersebut, Sunda Kelapa
kemudian diganti namanya menjadi Jayakarta. Selanjutnya Sunan Gunung Jati
mengangkat Fadhillah Khan sebagai Bupati Jayakarta dan bergelar Pangeran
Jayakarta. Sementara pemimpin di Banten diserahkan kepada Pangeran Sabakingkin
atau Pangeran Hasanudin.
Saat ini kegagahan perahu Bantaleo beserta pasukan Sarwajala Cirebon dalam
merebut Sunda Kelapa terekam dalam salah satu gerak tari Angklung Bungko yang
berjudul Tari Bantaleye dan dalam tembang dolanan anak yang berbunyi :
Pring ketupruk-tupruk
Bubung isi merang

Legenda Cirebon
76
Cilik diepuk-epuk
Barenggeda maju perang
Perang ning betawi
Durung aman during balik
Balik metu ngalor
Nyangking bedil isi pelor
Dor, dor, dor.

Legenda Cirebon
77
4. TENGGELAMNYA KAPAL GAJAH MADA : PERTEMPURAN DI LAUT CIREBON, 5
JANUARI 1947

Pertempuran Laut Cirebon, 5 Januari 1947 mempunyai latar belakang yang


kompleks dan tidak hanya disebabkan oleh ketidaksenangan Belanda atas latihan
perang Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Cirebon yang dianggap melanggar
status quo. Pertempuran Laut Cirebon adalah pertempuran yang direncanakan pihak
Belanda secara matang, dengan memperhitungkan segi teknis militer maupun politis,
terlebih Perundingan Linggarjati baru sampai pada taraf pemarafan. Jika Belanda
menyerang Pelabuhan Cirebon secara langsung tentu akan mendatangkan reaksi dan
kecaman dunia internaisonal. Oleh karena itu, mereka mencari pembenaran
serangan mereka dengan mengatakan, bahwa Indonesia melanggar status quo yang
tercipta melalui Perundingan Linggarjati.
Pada saat itu Cirebon adalah pelabuhan keempat terbesar di Pulau Jawa setelah
Jakarta, Surabaya dan Semarang, dan merupakan pelabuhan besar yang masih
dibawah kekuatan ALRI. Cirebon juga merupakan salah satu pangkalan angkatan
laut yang sudah memiliki perlengkapan yang cukup memadai baik dalam bidang
perkapalan, kendaraan darat, bengkel, peralatan elektronik untuk komunikasi,
markas dan logistik. Armada kapal yang dimiliki oleh Pangkalan III ALRI Cirebon
sebanyak 17 buah kapal. Dilihat dari jenis kapal terdiri atas 9 buah kapal yang
bertonase 60-80 ton, 5 buah motor boat (3 ditempatkan di Cirebon dan 2 di
Indramayu), 2 buah kapal pendaratan dan sebuah kapal coaster yang bertonase 150
ton dengan nama KRI Gajah Mada.
Penyerangan yang dilakukan Belanda atas kapal-kapal perang ALRI Pangkalan
III Cirebon tidak terlepas dari strategi Belanda yang melakukan blokade pelabuhan-
pelabuhan penting yang bertujuan melemahkan kekuatan Indonesia baik dari segi
politik, ekonomi, maupun militer.
Tentu saja blokade Belanda mendapat perlawanan ALRI, terutama Pangkalan III
ALRI Cirebon yang aktif melakukan penerobosan. Dengan dikoordinasikan oleh
Kolonel H.P. Simanjuntak kegiatan penerobosan berhasil membawa keluar berton-
berton gula ke Singapura untuk ditukar dengan obat-obatan, pakaian dan suku
cadang perlengkapan perang. Dari hasil penjualan gula juga, Pangkalan III ALRI
Cirebon membeli sebuah kapal jenis Caster kemudian dimodifikasi menjadi kapal
perang dengan nama KRI Gajah Mada. KRI Gajah Mada bertonase 150 ton, panjang
32 m lebar 5 m dari jenis kapal coaster (kapal kayu). Anjungan kapal dipasang
senapan mitraliur caliber 12,7 mm dan di buritan dipasang senapan pompa pompom
caliber 20 mm, kecepatan maksimum 8 mil per jam, komandan kapal Letnan Satu
Samadikun dan diawaki 22 orang awak kapal.
Belanda menganggap kegiatan penerobosan blokade sebagai penyelundupan.
Untuk itu, melalui angkatan laut, Belanda kemudian melancarkan provokasi
dengan memasuki wilayah perairan Cirebon.
Dalam upaya pengamanan perairan Cirebon dan sekaligus melaksanakan
intruksi Panglima Besar Jendral Soedirman untuk meningkatkan kehati-hatian dan
kewaspadaan, telah mendorong pimpinan AL, AD dan laskar rakyat di Cirebon untuk
mengadakan latihan perang gabungan. Langkah pertama latihan gabungan tersebut
diwujudkan dengan membentuk Komando Gabungan Kesatuan Bersenjata yang
terdiri atas unsur AL, AD, Polisi Tentara, Polisi Tentara Laut, Polisi Negara, dan
seluruh badan perjuangan yang ada di Cirebon dengan dikomandani oleh Letnan
Kolonel Mufreni. Khusus untuk Pangkalan III ALRI Cirebon, diluar latihan gabungan
tanggal 4-6 Januari 1945, ALRI Cirebon juga melakukan latihan tersendiri yang
dilaksanakan pada tanggal 1-3 Januari 1947. Latihan perang dilakukan di perairan
Cirebon dengan menggunakan satuan eskader yang terdiri atas 5 kapal, yaitu
Kapal Gajah Mada sebagai Kapal Pimpinan dan 4 kapal lainnya sebagai kapal
pengawal. Keempat kapal dimaksud adalah kapal patroli P.9 dan P.8, kapal tunda

Legenda Cirebon
78
Semar, dan kapal motor Antareja. Mengenai logistik dan embarkasi dilaksanakan di
pangkalan. Hubungan antara darat dan kapal dilakukan dengan menggunakan radio
telegrafi dan isyarat (bendera dan lampu).
Latihan ALRI Cirebon secara keseluruhan berlangsung selama enam hari. Tiga
hari pertama (1-3 Januari 1947) merupakan latihan tunggal. Latihan tunggal
meliputi latihan formasi, pendaratan dan navigasi (1 Januari 1947), latihan formasi
dan manuver (2 dan 3 Januari). Tiga hari selanjutnya (4-6 Januari 1947) adalah
latihan gabungan.
Pada hari pertama, Rabu, 1 Januari 1947, latihan perang dimulai satuan
eskader bergerak meninggalkan dermaga Pelabuhan Cirebon dengan formasi lini
(garis). Urutan kapal dalam formasi lini dari depan kebelakang adalah kapal P.8,
P.9, Semar, Gajah Mada, dua kapal pendarat, dan kapal motor Antareja. Setelah
berada di luar pelabuhan, formasi lini berubah menjadi formasi tabir (pelindung:
yang depan melindungi yang belakang). Latihan hari pertama diakhiri dengan
latihan pendaratan pasukan marinir yang dilakukan di pantai Gebang. Kemudian
kapal-kapal pendarat pasukan bergabung kembali dengan kapal-kapal eskader ALRI
lain dan bergerak ke pangkalan pada sore harinya. Pasukan pendarat pulang ke
pangkalan melalui jalan darat dengan menggunakan truk ALRI.
Pada latihan perang hari kedua, yang berlangsung pada hari Kamis tanggal 2
Januari 1947, mulai ada pengawasan dari kapal perang Belanda. Ini adalah
bentuk ketidaksenangan Belanda terhadap latihan perang yang dilakukan ALRI
Cirebon. Ketika kapal-kapal eskader milik ALRI berada di luar dermaga dan masih
dengan formasi lini, Komandan Eskader Letnan Satu Samadikun melihat sebuah
kapal perang Belanda sedang melaju dari arah Timur ke Barat. Arah laju kapal
perang Belanda jelas-jelas memotong haluan formasi eskader ALRI yang bergerak
dari Selatan ke Utara. Tindakan provokasi kapal perang Belanda mengakibatkan
molornya waktu latihan. Kapal-kapal eskader ALRI Cirebon yang seharusnya sudah
kembali ke pangkalan pada sore hari, sampai tengah malam ternyata masih
berada di lautan. Eskader ALRI baru pulang ke pangkalan mulai pukul 01.00
dini hari tanggal 3 Januari 1947.
Dalam perjalanan pulang ke pangkalan dengan tidak disengaja justru
mempertemukan kapal-kapal eskader dengan sebuah kapal perang Belanda, yang
kemudian diketahui bernama Hr. Ms. Morotai. Karena keadaan cuaca di laut yang
berkabut pada pukul 05.00 WIB eskader-eskader ALRI tidak dapat menghindarkan
diri dari kapal perang Belanda. Pertemuan dengan kapal perang Belanda
tersebut seolah-oleh sedang dikepung. Jarak antara kedua formasi itu tidak
terlalu jauh hanya bergerak kira-kira 500 meter. Dalam peristiwa itu tidak terjadi
insiden laut karena kapal perang Belanda tidak terprovokasi manuver kapal P.9
dengan memotong haluan kapal perang Belanda. Peristiwa ini berakhir seiring
dengan berlalunya kapal Hr.Ms. Morotai dari posisi melanjutkan pelayaran ke arah
Timur, sedangkan satuan eskader sendiri kembali ke pangkalan.
Masih pada hari yang sama (3 Januari 1947) pukul 16.00 WIB sebuah kapal
perang Belanda berlayar mendekati pantai Cirebon. Keberadaan kapal perang ini
diketahui oleh awak Kapal Gajah Mada yang sedang berpatroli. Komandan Kapal
Gajah Mada, Letnan Satu Samadikun, memerintahkan untuk melakukan pengejaran
dan memberi perigatan kepada kapal patroli Belanda, bahwa mereka mendekati
territorial Indonesia. Kapal patroli Belanda mengetahui kapalnya sedang diikuti Kapal
Gajah Mada. Oleh karena itu, mereka segera melakukan manuver untuk mengubah
arah haluan ke Timur (Semarang). Kapal Gajah Mada kemudian melakukan
pengejaran hingga melewati Tegal. Akan tetapi, kecepatan kedua kapal itu tidak
seimbang, akhirnya kapal musuh tidak berhasil didekati satuan eskader ALRI.
Mengingat kondisi kapal dan persediaan bahan bakar yang tidak mencukupi,
Letnan Satu Samadikun memerintahkan untuk tidak meneruskan pengejaran dan
kembali ke pangkalan (Disjarahal, 1977 : 27-25).

Legenda Cirebon
79
Larinya kapal patroli Belanda tampaknya kesengajaan. Mereka ingin menguji
kecepatan kapal-kapal ALRI Pangkalan III Cirebon. Jadi, bukan karena benar-benar
tidak mau berperang.
Dengan adanya peristiwa tersebut latihan gabungan pada tanggal 4 Januari
1947 tidak dapat dilakukan sesuai dengan jadwal. Latihan yang mestinya sudah
dimulai pukul 06.00 WIB ditunda karena khawatir mendapat gangguan kapal-
kapal perang Belanda. Dugaan itu ternyata benar karena pada pukul 09.00 WIB
pada jarak 7 mil dari pantai, terlihat sebuah kapal perang Belanda dari jenis
Jager Torpedo yang berlayar mondar-mandir dan kemudian lego jangkar (Jusuf,
1971: 60). Jenis kapal perang ini memiliki persenjataan mutakhir dan bukan
merupakan lawan kapal-kapal ALRI Cirebon. Menjelang sore hari kapal perang itu
mengangkat jangkar meninggalkan perairan Cirebon (Disjarahal, 1977: 25).
Dalam pembicaraan selanjutnya diputuskan bahwa latihan tanggal 4 dan 5
Januari akan dilakukan sekaligus secara marathon dari pukul 17.30 WIB (4
Januari 1947) hingga pukul 07. 00 WIB (5 Januari 1947) dengan jeda istirahat 3
jam ( pukul 01.00-04.00 WIB). Jadi, total waktu latihan berlangsung selama 10 jam
30 menit.
Pada tanggal 4 Januari pukul 17.00 WIB seluruh awak kapal eskader sudah
siap di pos masing-masing menunggu perintah pemberangkatan. Tepat pukul 17.00
WIB, satuan eskader berlayar ke laut pelabuhan Cirebon dalam formasi lini dengan
urutan dari depan ke belakang sebagai berikut: P.8, Gajah Mada, Semar, P.9 dan
Antareja. Lepas dari mulut pelabuhan Cirebon kecepatan kapal ditambah menjadi 4
mil per jam dalam formasi yang sama. Pada pukul 19.30 WIB dari kejauhan terlihat
sebuah kapal perang Belanda yang sedang bergerak dari arah Barat menuju Timur.
Untuk menghindari pertemuan dengan kapal tersebut, komandan eskader Letnan
Satu Samadikun memerintahkan juru mudi, Kelasi Surya untuk mengubah haluan
dari Utara ke Barat, yaitu ke arah Tanjung Tanah (Krangkeng, Indramayu). Dengan
manuver tersebut posisi musuh dengan satuan eskader semakin jauh.
Latihan formasi dan isyarat sesuai dengan rencana dilakukan sepanjang malam
tanggal 4 Januari 1947 (Gendreng, 8 Januari 1947). Berdasarkan pertimbangan
situasi di laut pada saat itu, maka latihan malam hari dilakukan di perairan sekitar
Cirebon-Bui (Gunung Jati)-Tanjung Tanah yang dianggap aman. Latihan
berlangsung hingga pukul 23.00 WIB (Disjarahal, 1977: 24-30).
Latihan perang ALRI di perairan Cirebon ternyata dijadikan momentum yang
tepat oleh Angkatan Laut Belanda (Nederlanderlandsche Zeemacht) dalam
meningkatkan kegiatan provokatif. Selain itu, latihan perang ALRI bagi Belanda
berarti tantangan, karena selama ini Angkatan Laut Belanda bebas melakukan
kegiatan patroli di sepanjang perairan Cirebon dengan haluan Barat (Jakarta) atau
Timur (Semarang). Oleh karena itu, kapal perang maupun kapal patroli terus
memantau latihan perang tersebut dan menunggu saat yang tepat untuk melakukan
penyerangan.
Latihan perang hari kelima tanggal 5 Januari 1947, yang kemudian menjadi
perang terbuka antara kapal perang Belanda dengan kapal Gajah Mada, berlangsung
pada pukul 04.30 WIB saat eskader kapal ALRI memulai latihan bukan dari
pangkalan, tetapi dari posisi 93 mil di lepas pantai Cirebon. Karena itu, eskader
kapal ALRI dapat langsung berlayar ke arah Utara dengan formasi lini. Kapal
bergerak dengan kecepatan maksimum, yaitu 8 mil per jam. Kapal dari depan ke
belakang adalah kapal P.8, Gajah Mada, Semar, P.9 dan Antareja. Setelah menempuh
waktu setengah jam, pelayaran kapal–kapal ALRI sudah mencapai Bui (Gunung Jati).
Waktu itu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB Sersan Kasdullah, bagian telegrafi,
diperintahkan menyampaikan berita ke Pangkalan III ALRI Cirebon, bahwa satuan
eskader sudah selesai melakukan manuver dan siap kembali ke pangkalan. Perintah
kembali ke pangkalan diterima dengan perasaan lega oleh seluruh awak kapal

Legenda Cirebon
80
karena sebentar lagi mereka bisa istirahat setelah latihan semalam suntuk
(Disjarahal,1977: 30).
Urutan kapal dalam perjalanan pulang adalah posisi terdepan ditempati kapal
P.8 dibawah pimpinan Letnan Satu Samadikun, kapal Semar dibawah pimpinan
Letnan Satu Toto, P.9 dibawah pimpinan Letnan Dua Supomo, dan paling belakang
adalah kapal Antareja. Menjelang masuk pangkalan, kecepatan kapal dikurangi
hingga 4 mil per jam (Sanna, 1982: 35).
Latihan perang yang dilakukan oleh eskader ALRI ternyata dianggap Belanda
sebagai tindakan yang melanggar zona blokade Belanda. Belanda beranggapan
demikian karena latihan tersebut diadakan di luar jarak 4 mil yang saat itu dianggap
zona internasional. Karena itu, Belanda menggunakan kesempatan ini untuk
menyerang kapal-kapal ALRI yang sedang melakukan latihan perang dan terhindar
dari tuduhan bahwa mereka melanggar kedaulatan wilayah RI.
Kepal Jager Torpedo yang pada pukul 07.00 WIB bergerak ke arah Timur terlihat
memutar kembali haluannya ke arah Barat. Pengawas ‘sein post’ melihat kapal
perang Belanda melakukan manuver dan jelas membahayakan gerakan satuan
eskander ALRI yang sedang berlayar menuju pangkalan (arah Selatan). Pengawas
‘sein post’ segera melaporkannya kepada perwira jaga operasi tentang mendekatnya
kapal musuh ke arah formasi eskader. Kemudian dari perwira jaga operasi laporan
tersebut diteruskan ke Panglima Pangkalan III ALRI. Kolonel H.P. Simanjuntak.
Panglima Pangkalan segera memerintahkan satuan eskader cepat-cepat kembali ke
dermaga pangkalan.
Namun penyampaian perintah Panglima Pangkalan III ALRI mengalami
keterlambatan karena putusnya aliran listrik. Akibatnya jarak antara kapal satuan
eskader dengan kapal perang Belanda semakin dekat. Mepetnya waktu dan jarak
yang demikian dekat tidak memungkinkan kapal-kapal eskader untuk mengadakan
manuver menghindar agar haluan formasinya tetap pada haluan Utara dan semua
kapal diperintahkan melaksanakan alarm roll (Sanna, 1982:36).
Kapal perang Belanda yang kemudian diketahui bernama Hr. Ms. Kortenaer
memberikan isyarat lampu dengan kode K yang berarti berhenti. Isyarat berhenti
disampaikan kapal Hr.Ms. Kortenarer kepada Kapal Gajah Mada dengan alasan
untuk pemeriksaan senjata di tiap kapal. Alasan yang dikemukakan Belanda jelas
tidak rasional mengingat perundangan perdamaian yaitu Perundingan Linggarjati
telah sampai pada proses pemarafan yang berarti harus mulai ditaati kedua belah
pihak. Atas dasar Perundingan Linggarjati, Belanda dan Indonesia tidak boleh
melakukan tindakan ofensif dalam militer. Isyarat berhenti dari kapal Hr.Ms.
Kortenaer tidak dihiraukan oleh Letnan Satu Samadikun dalam haluan formasi tetap
tidak berubah. Komandan eskader berpendapat bahwa mematuhi perintah isyarat
itu berarti memberikan kesempatan kepada musuh untuk mengadakan
penggeledahan di atas kapal. Tindakan yang menyinggung perasaan kebangsaan dan
harga diri sebagai perwira angkatan laut.
Kapal Hr. Ms. Kortenaer memberikan isyarat kedua dan mengancam akan
menghancurkan seluruh kapal apabila isyarat berhenti tidak dipatuhi. Isyarat kedua
pun tetap tidak dihiraukan.
Melihat isyarat pertama dan kedua tidak dihiraukan, kapal Hr. Ms. Kortenarer
mengirimkan isyarat yang ketiga (yang terakhir) agar satuan eskader berhenti.
Karena isyarat yang ketiga ini pun tidak dihiraukan, akhirnya komandan kapal Hr.
Ms. Kortenaer, G.B. Fortuyn, memberi perintah kepada perwira artilerinya untuk
melepaskan tembakan peringatan. Peluru meriam sebagai tembakan peringatan
jatuh tidak jauh di depan Kapal Gajah Mada.
Pada pukul 08.00 WIB kapal Hr.Ms. Kartenaer melakukan tembakan pertama ke
arah formasi eskader ALRI. Tembakan pertama jatuh tidak jauh dari kapal P.8,
melihat kondisi yang sangat kritis itu, Komandan Kapal eskader Letnan Satu
Samadikun memerintahkan tiap komandan kapal untuk mengubah formasi dari

Legenda Cirebon
81
formasi lini menjadi negat-formasi (formasi berpencar). Tiap-tiap komandan kapal
berusaha mencari jalan untuk menjauhkan diri dari jangkauan tembakan kapal Hr.
Ms. Kortenaer. Tiap-tiap kapal menggunakan kecepatan maksimumnya untuk
berputar haluan dan mencari daerah aman. Kapal P.8 memutar haluan menuju
Tanjung Indramayu. Kapal Semar menuju Pantai Gunung Jati. Kapal P.9 menuju
arah Tanjung Tanah (Krangkeng, Indramayu). Hanya kapal Antareja yang berusaha
masuk kepangkalan (Disjarahal, 1977: 33).
Kini serangan kapal Hr. Ms. Kortnaer dipusatkan ke arah Kapal Gajah Mada.
Tembakan pertama yang mengenai Gajah Mada berasal dari senjata yang ada pada
lambung kiri kapal Hr.Ms. Kortenaer. Tembakan tersebut berhasil mengenai
lambung kanan kapal Gajah Mada (Jusup, 1971 : 60). Tembakan itu menimbulkan
kebakaran dan gugurnya Letnan Muda Ismail Jaid dan kelasi Suratman (Jusup,
1971: 60). Tembakan yang ketiga mengenai lambung tengah yang mengakibatkan
kebakaran yang semakin menjadi-jadi. Tembakan keempat mengenai bagian lambung
kiri, dan tembakan yang kelima mengenai bagian mesin yang mengakibatkan
gugurnya Letnan Muda R.S. Sumarjo (kepala bagian mesin).
Pada saat yang sama dengan penembakan Kapal Gajah Mada, kapal
Hr.Kortenaer juga menembaki kapal P.8 dari senjata yang berada di buritannya.
Karena ukurannya lebih kecil, Kapal P.8. dapat melakukan manuver zig-zag untuk
menghindari serangan. Kapal P.8 berhasil mengelakkan diri dari 4 tembakan kapal
perang Hr. Ms. Kortenaer. Kapal P.8 akhirnya selamat dan berhasil melarikan diri
ke Tanjung Indramayu.
Berbeda dengan kapal P.8, Kapal Gajah Mada justru mengalami kejadian yang
menyedihkan. Kebakaran hebat akibat terbakarnya minyak solar menimbulkan asap
yang sangat tebal dan naiknya suhu di atas kapal hingga seolah-olah berada
dalam tungku.
Komandan eskader, Letnan Satu Samadikun, kemudian memutuskan
mengadakan perlawanan dengan harapan dapat menyelamatkan kapal-kapal lain.
Komandan eskader memberikan perintah kepada juru mudi, Kelasi Surya untuk
memutar haluan 202,50 (barat) ke arah posisi musuh yang berada di posisi 1050
(timur). Setelah Kapal Gajah Mada berada pada posisi yang memunginkan untuk
menembakkan senjata 12,7 mitraliur yang sudah dipersiapkan. Tembakan dari
senjata itu tidak ada yang mengenai sasaran, tembakan ini lebih untuk
menunjukkan kepada lawan bahwa tidak ada istilah menyerah dan akan
menggunakan sisa-sisa tenaga untuk menghancurkan kapal musuh.
Melihat manuver Kapal Gajah Mada yang mengarahkan haluannya ke kapal
Hr.Ms.Kortenaer, maka mereka mengimbanginya dengan melakukan manuver dari
posisi 900 menjadi 22,50 9 (Utara). Dalam gerakan manuver itu, kapal Hr.Ms.
Kortenaer melepaskan tembakan berikutnya pada saat kapal Gajah Mada sedang
memutar haluan. Tembakan itu mengenai lambung kiri tengah bawah air dan
kemudian mengenai lambung kiri tengah atas air. Akibat tembakan itu, Kapal Gajah
Mada yang sedang dalam kobaran api di bagian atas dek kini menjadi bocor dan air
mulai masuk melalui lubang baru. Air yang masuk makin bertambah banyak,
sehingga kapal menjadi berat dan kecepatan kapal pun kian berkurang. Namun
demikian, Kapal Gajah Mada masih dapat bergerak ke arah lawan. Asap hitam tebal
mengepul ke udara seolah Kapal Gajah Mada akan tenggelam pada saat itu. Jarak
kedua kapal perang itu kira-kira 2 mi lagi dan waktu menunjukkan sekitar pukul
09.00 WIB 9 (Disjarahal, 1977: 35-36).
Gerakan Kapal Gajah Mada yang menuju ke kapal perang Hr.Ms. Kortenaer
dipandang sebagai ancaman yang membahayakan, sehingga komandan kapal Hr.Ms.
Kortenaer memintahkan untuk melepaskan tembakan salvo. Tembakan tersebut
mengenai haluan, sehingga air masuk bertambah banyak. Tembakan yang
dilepaskan kemudian jatuh mengenai bagian dalam paraka. Dengan terkenanya
bagian ini, minyak di dalam kapal terbakar, sehingga kebakaran bertambah besar.

Legenda Cirebon
82
Komandan eskader berpendapat, bahwa mereka berada dalam keadaan yang
sangat kritis dan membahayakan jiwa seluruh awaknya apabila kapal ini meledak.
Dengan suara yang lantang komandan eskader memerintahkan seluruh awak kapal
agar meninggalkan kapal. Para awak terjun ke air dengan menggunakan segala alat
apung yang ada untuk menyelamatkan diri. Akibat ditinggalkannya kapal oleh juru
mudi, maka jalan kapal menjadi berputar-putar yang membahayakan para awak
yang berada di air. Letnan Sujatmo yang masih berada di kapal mengambil inisiatif
untuk turun ke kamar mesin untuk mengehentikan jalannya kapal. Setelah mesin
dimatikan, kapal berhenti dan air mulai masuk dari haluan, sehingga kapal Gajah
Mada menungging. Saat itulah Letnan Sujatmo terjun ke air untuk menyelamatkan
diri.
Ketika kapal Gajah Mada berada dalam posisi menungging, Komandan Eskader
Letnan Satu Samadikun keluar dari ruangan komando dan naik ke atap anjungan
tempat senjata mitraliur 12,7 mm dipasang. Ia bermaksud mengadakan perlawanan
terakhir sebelum kapal Gajah Mada tenggelam ke dasar laut. Dari kejauhan terlihat
kapal perang Hr.Ms. Kortenaer mengirimkan skoci penolong untuk menangkap awak
kapal Gajah Mada yang terapung di laut. Setelah skoci penolong Belanda berada
dalam jarak tembak senjata 12,7mm, Letnan Satu Samadikun mengurungkan
niatnya mengadakan perlawanan. Tindakan demikian dengan perhitungan anak
buahnya yang sedang terapung-apung itu akan menjadi korban. Pada waktu kapal
Gajah Mada dalam keadaan terbakar dan menungging, kapal perang Hr.Ms.
Kortenaer melepaskan tembakan terakhir yang mengenai anjungan kapal Gajah
Mada. Letnan Satu Samadikun yang berada di atas anjungan terkena pecahan peluru
dan terlempar ke laut, kemudian tenggelam bersama kapal Gajah Mada ke dasar
laut. Posisi tenggelamnya kapal Gajah Mada ini kira-kira 3 mil dari arah timur pantai
Gunung Jati (Disjarahal, 1977: 37) atau kira-kira di dekat muara Sungai Tangkil.
Para awak kapal Gajah Mada yang sedang terapung-apung di laut diperintahkan
menyerah dan dipaksa naik ke atas skoci. Para awak kapal Gajah Mada yang
tertangkap kemudian diangkut untuk selanjutnya dinaikkan ke kapal perang Hr.Ms.
Kortenaer (Dissjarahal, 1977: 37).
Pengawas di darat yang melihat kejadian yang menimpa Kapal Gajah Mada dan
awaknya segera memberi laporan kepada Panglima Pangkalan III Cirebon, untuk
tindakan penyelamatan awak kapal Gajah Mada, dipersiapkan sebuah kapal yaitu
kapal patroli P.7 untuk mengevakuasi dan menyelamatkan awak kapal Gajah Mada.
Ikut dalam kapal tersebut tim kesehatan ALRI Cirebon dibawah Pimpinan Dr. Hadi
dan beberapa anggota PMI Cirebon. Panglima Pangkalan III ALRI Cirebon Kolonel H.
P. Simanjuntak ikut dalam rombongan. Dengan memakai bendera palang merah,
kapal bertolak menuju kedalam pertempuran (Sanna, 1982;1-42). Pada pukul 08.30
WIB, tim evakuasi berhasil medekati kapal perang Hr.Ms. Kortenaer yang sedang
bersiap-siap mengangkat jangkar dan berangkat. Karena terlambat setiba di daerah
pertempuran, tim evakuasi tidak mendapati seorang awak pun.
Pembicaraan Kolonel H. P. Simanjuntak dan G.B. Fortunya memakan waktu
hamper 2 jam. Permohonan Kolonel H.P. Simanjuntak agar Komandan kapal Hr.Ms.
Kortenaer menyerahkan awak kapal yang luka-luka untuk diobati, ditolak oleh GB
Fortunya. Sebagai langkah terakhir, ketua ditawan, dan permintaan itu
dikabulkan. Komandan kapal Hr.Ms. Kortenaer memberikan nama-nama awak kapal
Gajah Mada yang tertawan 21 orang mereka terdiri atas 3 orang perwira pertama, 2
orang calon perwira, 2 orang bintara, 10 orang kelasi dan 4 orang siswa calon kelasi.
Nasib para tahanan beserta tawanan perang dari pihak RI lainnya kemudian
dibicarakan oleh Pemerintah RI (Kabinet Amir Syarifudin) dengan Pemerintah
Belanda dalam Perundingan Renville. Berdasarkan Perundingan Renville, pasal 7
butir f, para tawanan seharusnya dibebaskan semua. Belanda ternyata hanya
membebaskan 18 orang, yang 3 orang lagi malah dikirim ke Nusa Kambangan.

Legenda Cirebon
83
Para tawanan yang dibebaskan setelah Perundingan Renville adalah Letnan
Muda Sujatmo, Sersan Mayor Sumarso, Sersan Kasdullah, Kopral Jahana, Kelasi
Surya, Kelasi Sarip, Kelasi Jamil, Kelasi Sudarman, Kelasi Maksum, Kelasi Satim,
dan empat orang calon kelasi yang namanya tidak berhasil ditemukan. Orang-orang
yang dikirim ke Nusa Kambangan adalah Letnan Satu Ahmad Zein, Calon Letnan
Fred Roti, dan Calon Letnan Cut Lidansyah. Mereka baru dibebaskan setelah
Belanda mengakui kedaulatan RI pada tanggal 27 Desember 1947 (Disajarahal, 1977
: 29-33).
Satu-satunya awak Kapal Gajah Mada yang berhasil menyelamatkan diri adalah
Letnan Muda Maming. Dia menyelamatkan diri dengan berenang dan bersembunyi di
sebuah bagang, tempat nelayan Cirebon mencari ikan yang terbuat dari bambu dan
dipasang di laut yang letaknya tidak terlalu jauh dari daerah pertempuran.
Kedatangan Letnan Maming ke Markas, sedikit banyak menjawab tentang gugurnya
Letnan Satu Samadikun, Letnan Muda R.S. Sumarjo, Letnan Muda Ismail Jaid, dan
Kelasi Suratman.
Panglima Pangkalan III Cirebon kemudian segera mengadakan pencarian
jenazah mereka di bekas kawasan pertempuran pada tanggal 6 Januari 1947.
Setibanya di sana rombongan pencari jenazah mengadakan parade rollen dalam
bentuk melingkar sebagai upacara penghormatan Letnan Satu Samadikun, Letnan
Muda R.S. Sumarjo, Letnan Muda Ismail Jaid, dan Kelasi Suratman yang diyakini
telah gugur dalam tugas.
Pada akhirnya, yang bisa ditemukan hanya jenazah Letnan Satu Samadikun
yang ditemukan secara tidak sengaja oleh nelayan yang sedang melaut pada siang
hari tanggal 7 Januari 1947. Kondisi mayat tidak utuh lagi, tangannya sudah tidak
ada sebelah. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Kesambi. Pada hari itu bagian
penerangan Pangkalan III ALRI Cirebon meminta seluruh lapisan masyarakat untuk
memasang bendera setengah tiang sebagai tanda berduka atas cita gugurnya 4 orang
anggota Pangkalan III ALRI Cirebon dalam menjalankan tugas mempertahankan
kemerdekaan pada pertempuran laut Cirebon 5 Januari 1947 (Cakrawala, 1987:52).
Pertempuran laut Cirebon memberi isyarat kepada seluruh kekuatan RI: AD, AL
dan Laskar Rakyat di Cirebon untuk meningkatkan kewaspadaan. Untuk itu, AD, AL
Laskar Buruh menyatakan siap menga-mankan perusahaan vital di wilayah Cirebon.
Jika Belanda melakukan pendaratan di Cirebon, Laskar Buruh siap mengadakan
taktik bumi hangus.

Legenda Cirebon
84
DAFTAR PUSTAKA

Ajip Rosidi, Pendidikan dan Kebudayaan (artikel), Kompas, 5 Agustus 2004.


Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta, Pustaka
Jaya, 1983.
Gani, Ambo dkk, Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Selatan, Jakarta: Depdikbud, 1984
H.J. de Graaf & Th. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik
Abad XV dan XVI, Jakarta, Grafiti, Cetakan IV, 2001.
Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta, LP3ES, 1987.
Inajati Adrisijanti, Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, Yogyakarta, Penerbit Jendela,
2000.
James Danandjaja, Folklore Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain, Jakarta,
Grafiti Pres, 1984.
James C. Scott, Moral Ekonomi Petani : Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara,
Jakarta, LP3ES, 1981.
Jan Breman, Penguasaan Tanah dan Tenaga Kerja, Jawa di Masa Kolonial, Jakarta,
LP3ES, 1983
Masduki Sarpin, Kisah Masyarakat Cirebon, tanpa penerbit, tanpa tahun.
Mohammed Sugianto Prawiraredja, Cirebon : Falsafah, Tradisi dan Adat Budaya,
Jakarta, Perum Percetakan Negara RI, 2005.
M.R. Fernando dan William J. O’Malley, Petani dan Pembudidayaan Kopi di
Karesidenan Cirebon 1800 - 1900, dalam Anne Booth dkk, Sejarah Ekonomi
Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1988.
P.S. Sulendraningrat, Sejarah Cirebon, Cirebon, Lembaga Kebudayaan Wilayah III
Cirebon, 1974.
Rokhmin Dahuri, Bambang Irianto, Eva Nur Arovah, Budaya Bahari, Sebuah
Apresiasi di Cirebon, Jakarta, Perum Percetakan Negara RI, 2004.
Ririn Sofwan, H. Wasit dan H. Mundiri, Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam
di Jawa, Menurut Penuturan Babad, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004.

Legenda Cirebon
85

Anda mungkin juga menyukai