Anda di halaman 1dari 6

Tradisi Sejarah Masyarakat Indonesia Sebelum

dan Sesudah Mengenal Tulisan (Aksara)

A. Tradisi Masyarakat Indonesia Sebelum Mengenal Aksara

Kehidupan sebelum masyarakat mengenali tulisan atau aksara disebut


kehidupan prasejarah. Setiap bangsa di muka bumi ini pasti pernah mengalami masa
prasejarah. Bangsa-bangsa kuno yang terkenal berkebudayaan tinggi pun, seperti
Babilonia, Mesopotamia, Asyiria, Yunani, Romawi, Maya-Inka, Cina, India, pasti
pernah mengalami era prasejarah yaitu zaman sebelum mengenal sistem tulis.
Memang, tiap-tiap bangsa mengalami masa pra-aksara berbeda-beda. Masa
prasejarah Cina tentu tak sama dengan masa prasejarah Indonesia. Bangsa Cina telah
mengenal sistem aksara jauh sebelum periode Masehi. Sedangkan, rakyat Nusantara
baru mengenal sistem tulis setelah masa masehi. Selain itu, aksara yang dipakai oleh
kedua bangsa ini berbeda, Cina memakai aksara Cina sedangkan Indonesia
menggunakan aksara Pallawa. Aksara Pallawa ini pun hasil pengaruh dari orangorang India Selatan.
Akibat dari tiadanya informasi dalam bentuk tulisan ini maka para peneliti
sangat sukar untuk mengetahui kehidupan masa prasejarah ini. Manusia-manusia
prasejarah hanya meninggalkan benda dan artefak kebudayaan mereka. Dengan
demikian, para peneliti hanya mampu menafsirkan tentang kehidupan manusia masa
prasejarah berdasarkan peninggalan-peninggalan yang ditemukan.
Kita tak mungkin mengetahui segala kejadian manusia secara keseluruhan.
Namun, bukan berarti benda-benda prasejarah tersebut tidak bermanfaat. Benda-

benda tersebut memberitakan kepada kita tentang bagaimana manusia-manusia zaman


dahulu memperlakukan alam sekitar.

Salah satu fungsi sejarah adalah untuk memberikan identitas kepada


masyarakatnya. Sebuah masyarakat dengan kebudayaan, nilai-nilai, norma-norma,
tradisi, dan adat istiadat yang sama, pasti memiliki jejak-jejak sejarahnya di masa
lampau. Dengan demikian kisah sejarah dianggap perlu untuk menunjukkan jati
dirinya yang membedakan dengan masyarakat lainnya. Kisah sejarah juga dianggap
perlu sebagai pengalaman kolektif bersama di masa lampau. Bahkan seringkali garis
keturunan yang sama dapat mempererat rasa solidaritas di antara anggota
masyarakatnya secara turun-temurun. Oleh karena itu, suatu kisah sejarah yang dapat
menjelaskan keberadaan suatu kolektif dianggap perlu, baik pada masyarakat sebelum
maupun sesudah mengenal tulisan.

Pada masyarakat yang belum mengenal tulisan kisah sejarah disebarluaskan


dan diwariskan secara lisan sehingga menjadi bagian dari tradisi lisan mereka. Sebuah
tradisi lisan seringkali mengisahkan pengalaman masa lampau jauh ke belakang, sejak

adanya manusia pertama bahkan sebelum adanya manusia sampai terciptanya suatu
kolektif yang dikenal sebagai masyarakat atau pun suku bangsa.
Sebagai sebuah karya sejarah tradisional maka tradisi lisan tidak
menggunakan prosedur penulisan sejarah ilmiah. Karya-karya yang disebarkan
melalui tradisi lisan seringkali memuat sesuatu yang bersifat supra-natural di luar
jangkauan pemikiran manusia. Dalam karya-karya tersebut antara fakta dan imajinasi
serta fantasi bercampur baur.
Karya-karya dalam tradisi lisan biasanya dikenal sebagai bagian dari folklor.
Tradisi lisan ini antara lain berupa mitos, legenda, dan dongeng. Tradisi lisan itu
kemudian disebarkan dan diwariskan. Dalam pandangan sejarah modern tentunya
cerita rakyat semacam itu tidaklah mengandung nilai sejarah. Akan tetapi, bagi
masyarakat tradisional hal itu dianggap sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi.
Cerita itu kemudian dijadikan sebagian dari simbol identitas bersama mereka dan
sebagai alat legitimasi tentang keberadaan mereka.
Penyebaran dan pewarisan tradisi lisan memiliki banyak versi tentang satu
cerita yang sama. Hal ini menunjukkan dalam penyebaran dan pewarisan tradisi lisan
telah terjadi pembiasan dari kisah aslinya, walaupun seringkali tokoh yang menjadi
figur dalam cerita itu adalah tokoh sejarah. Hal ini disebabkan ingatan manusia yang
terbatas dan adanya keinginan untuk memberikan variasi-variasi baru pada ceritacerita itu. Oleh karena itu, kisah sejarah yang disalurkan lewat tradisi lisan itu akan
terus mengalami perubahan. Perubahan yang diakibatkan oleh imajinasi dan fantasi
dari pencerita. Akibatnya, fakta sejarah itu makin kabur atau tenggelam sama sekali
karena adanya penambahan atau pengurangan dari masing-masing nara sumber.
Contoh lainnya, yaitu epos tentang Hang Tuah, pahlawan Melayu yang
merupakan tokoh sejarah. Karena dijalin oleh berbagai tambahan dan penafsiran yang
subjektif maka tokoh Hang Tuah mengalami proses metamorfosis menjadi tokoh
dongeng. Hang Tuah digambarkan tidak pernah mati. Ia selalu hidup terus dan
sesekali muncul menolong bangsa Melayu. Tradisi lisan Hang Tuah ini akhirnya
dinaskahkan. Akan tetapi, karena penulisannya tidak berazaskan ilmiah, kisah Hang
Tuah menyimpang dari fakta sejarah sesungguhnya dan menjadi dongeng atau cerita
dalam rangka kesusastraan lama. Di Jawa tokoh-tokoh penyebar Islam pada masa
awal penyebaran Islam yang dikenal sebagai para wali, kemudian juga dikenal
sebagai tokoh legenda yang memiliki kemampuan supra-natural dan makamnya
dianggap keramat dan ditafsirkan oleh masyarakat yang belum mengenal tulisan.

Dalam pewarisan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi, terdapat banyak
keberpihakan dalam penafsiran dan penjelasan suatu peristiwa masa lalu, walaupun
demikian, tradisi lisan memiliki fungsi yang penting bagi masyarakatnya. Tradisi lisan
dalam bentuk mitos, legenda maupun dongeng melukiskan kondisi fakta mental dari
masyarakat pendukungnya. Tradisi lisan juga merupakan simbol identitas bersama
masyarakatnya sehingga tradisi lisan juga merupakan simbol solidaritas dari
masyarakatnya. Tradisi lisan juga menjadi alat legitimasi bagi keberadaan suatu
kolektif, baik sebuah marga, masyarakat maupun suku bangsa.
Sehubungan dengan hal itu, tradisi lisan tidaklah melukiskan kenyataan atau
fakta yang sesungguhnya. Walaupun tokoh-tokoh dan waktu terjadinya peristiwa itu
memang benar-benar ada, tetapi keseluruhan kisahnya banyak mengalami perubahan.
Hal-hal yang pada awalnya merupakan fakta atau kenyataan, akhirnya menjadi bentuk
mitos dan legenda karena adanya penambahan-penambahan atau pengurangan fakta
sejarah. Dalam bentuk mitos dan legenda sulit sekali memisahkan antara fakta dengan
kepercayaan yang ditafsirkan oleh masyarakat yang belum mengenal tulisan.
Dalam pewarisan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi, terdapat
banyak keberpihakan dalam penafsiran dan penjelasan suatu peristiwa masa lalu,
walaupun demikian, tradisi lisan memiliki fungsi yang penting bagi masyarakatnya.
Tradisi lisan dalam bentuk mitos, legenda, maupun dongeng melukiskan kondisi fakta
mental (mentifact) dari masyarakat pendukungnya. Tradisi lisan juga bisa merupakan
simbol identitas bersama masyarakatnya sehingga tradisi lisan juga bisa menjadi
simbol solidaritas dari masyarakatnya. Tradisi lisan ini juga menjadi alat legitimasi
bagi keberadaan suatu komunitas yang manyangkut suku bangsa.

B. Tradisi Sejarah Masyarakat Indonesia Setelah Mengenal Aksara

Sebelum masyarakat mengenal sistem tulisan, masyarakat Indonesia telah


berhubungan dengan para pedagang asing, terutama dari Cina Selatan dan India
Selatan. Karena Kepulauan Nusantara terletak di antara jalur pelayaran Cina-India
maka para pedagang yang pergi dari Cina ke India atau sebaliknya dipastikan
melewati perairan Indonesia. Selama pelayaran ini, para pedagang asing
menyempatkan diri singgah di tempat-tempat di Indonesia.
Persinggahan para pedagang asing tersebut dapat berlangsung sementara atau
untuk waktu yang cukup lama. Adakalanya mereka singgah di pelabuhan-pelabuhan
yang ramai didatangi para pelaut dan pedagang lain, sekadar menawarkan barang
dagangnya. Dan adakalanya pula mereka mencari dan membuka lahan baru sebagai
tempat tinggal sementara sebelum melanjutkan pelayaran. Ingat, pelayaran mereka
sangat tergantung pada kondisi cuaca.
Para pedagang dan pelaut asing yang berdiam relatif lama itu pada akhirnya
bersosialisasi dengan penduduk pribumi Nusantara. Dengan demikian, terjadilah
kontak budaya antara mereka dengan orang-orang pribumi. Memang, pengaruh India
dan Cina terhadap kehidupan pribumi tidak sama. Ini terlihat dari segi politik. Kita
akan mengetahui bahwa ternyata orang-orang Indialah yang banyak memainkan peran
politik di awal-awal tarikh masehi di Nusantara. Ini terlihat dari sistem pemerintahan
kerajaan yang diadopsi dari sistem di India.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para pakar, bangsa Indonesia


memasuki zaman sejarah sekitar abad ke-5 Masehi, yaitu dengan ditemukannya tujuh
buah prasasti yang berbentuk yupa di daerah Kutai, Kalimantan Timur. Pengaruh
India sangat kental dalam penemuan yupa tersebut yaitu terdapatnya huruf Pallawa
yang tertulis dalam yupa tersebut. Dari sinilah kemudian tradisi sejarah pada
masyarakat Indonesia mulai terbentuk. Mereka mulai membuat catatan tertulis atau
merekam pengalaman hidup masyarakatnya. Berikut contoh beberapa rekaman
pengalaman masyarakat Indonesia yang berwujud prasasti sebagai berikut:

Anda mungkin juga menyukai