Anda di halaman 1dari 9

5.

Hasil Kebudayaan pada Masyarakat Praaksara Tingkat Lanjut: Tradisi Lisan

Kesadaran sebagai sebuah komunitas membuat masyarakat Nusantara pada masa praaksara
melembagakan aturan-aturan yang sudah ada, dan bahkan muncul nilai-nilai baru yang harus dihayati
semua anggota komunitas. Singkat kata, mereka sadar hidup itu harus bermakna dan dimaknai, tidak
sekadar mencari makan dan menunggu ajal. Oleh karena itu, perlahan-lahan terbentuk semacam
pandangan hidup atau falsafah hidup di tengah-tengah mereka, yang terejawantah dalam nilai-nilai,
etos, norma, sikap-perilaku, dan ritual-ritual keagamaan mereka. Semua ini merupakan bentuk hasil-
hasil budaya yang bersifat nonfisik.

Masyarakat Nusantara pada masa praaksara ingin nilai dan pandangan hidupnya tidak hanya menjadi
milik mereka, tetapi juga milik generasi-generasi berikutnya. Maka, hasil-hasil budaya yang bersifat
nonfisik ini (kepercayaan, nilai, norma, etos, etiket, sikap-perilaku yang dihormati, moralitas yang dianut,
dan lain-lain) mereka warisi (sosialisasikan) ke generasi baru.

Oleh karena belum mengenal tulisan, proses pewarisan yang mereka lakukan dilakukan tidak secara
tertulis. Meski demikian, pada masa ini, kemampuan berkomunikasi mereka dengan menggunakan
bahasa sudah berkembang pesat. Dengan sarana bahasa, mereka mewariskan nilai-nilai danpandangan
hidup mereka ke generasi-generasi berikutnya. Tokoh-tokoh penting dalam sosialisasi atau pewarisan itu
adalah keluarga, masyarakat, dan para penatua (tokoh masyarakat).

Ada dua cara menyampaikan nilai-nilai dan pandangan hidup komunitas tersebut, yaitu secara langsung
melalui nasihat-nasihat dan petuah-petuah, dan secara tidak langsung melalui contoh hidup dan folklor
(mitos, legenda, dongeng, upacara, nyanyian rakyat, dan lain-lain). Nasihat dan petuah yang
disampaikan orang tua biasanya juga merupakan nasihat

dan petuah leluhur mereka. Folklor bukanlah sebuah cerita dan/atau aktivitas tanpa makna. Di
dalamnya terkandung pandangan hidup, etos, sistem kepercayaan, kebiasaan, atau adat istiadat
masyarakat praaksara. Dalam kajian sejarah, folklor itu disebut juga tradisi lisan. Dalam bagian ini, kita
akan membahas tentang folklor Itu. Namun, sebelumnya kita perlu tahu apa itu tradisi lisan.

a. Tradisi, Tradisi Lisan, dan Folklor

Kata tradisi berasal dari bahasa Latin tradition, yang berarti "menyampaikan" atau "meneruskan". Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata tradisi diartikan sebagai hal yang disampaikan atau yang diteruskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal tersebut dapat berupa pesan atau kesaksian, yang
disampaikan melalui ucapan, dongeng, nyanyian, pantun, cerita rakyat, nasihat, dan balada. Tradisi juga
dipahami sebagai suatu adat kebiasaan yang dipertahankan turun-temurun dan masih dihayati oleh
masyarakat pendukungnya.

Pada masyarakat praaksara, penyampaian kebiasaan kebiasaan yang berlaku di masyarakat dilakukan
dengan cara bertutur atau berbicara secara lisan. Karena penyampaiannya dilakukan secara lisan,
kemudian dikenal istilah tradisi lisan.
Tradisi lisan terangkum dalam folklor. Jejak sejarah masyarakat praaksara dalam bentuk dongeng,
legenda, mitos, musik, upacara, pepatah, lelucon, takhayul, lagu rakyat, kebiasaan-kebiasaan,
kepercayaan, alat musik rakyat, pakaian dan perhiasan tradisional, obat-obatan tradisional, arsitektur
rakyat, dan kerajinan tangan merupakan bagian dari apa yang disebut folklor (dari kata bahasa Inggris
folklore, folk berarti "rakyat" dan lore berarti "tradisi" atau "ilmu pengetahuan")

Folklor adalah bagian dari kebudayaan suatu masyarakat yang tersebar dan bersifat tradisional yang
diwariskan secara lisan dan turun-temurun. Setiap masyarakat atau kebudayaan di Nusantara memiliki
folklornya sendiri dan diwariskan dari generasi ke generasi. Bahkan, kita dikenal sangat kaya dengan
folklor. Berikut ciri-ciri folklor.

• Penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan.

• Bersifat tradisional, artinya terikat dalam bentuk dan aturan yang baku.

• Bersifat anonim, artinya nama penciptanya tidak diketahui.

• Memiliki gaya bahasa yang suka melebih-lebihkan (hiperbol), serta sering menggunakan kata-kata
klise, misalnya jika ingin menggambarkan kecantikan seseorang akan dikatakan "Wajahnya bersinar
seperti bulan purnama".

• Menggunakan kalimat pembuka dengan kata-kata, "menurut empunya cerita" atau "menurut
sahibulhikayat", dan menutupnya dengan demikianlah mereka hidup berbahagia selamanya ...."

• Memiliki fungsi penting dalam kehidupan bersama dalam suatu masyarakat: selain sebagai hiburan,
pendidikan nilai, juga untuk menyampaikan protes sosial dan bahkan untuk mengungkapkan keinginan
yang terpendam.

• Merupakan milik bersama masyarakat pendukungnya.

b. Jenis-jenis Folklor

1) Mitos

Mitos (dari kata bahasa Yunani mythos; Inggris: mithology) adalah cerita prosa rakyat yang tokohnya
para dewa atau makhluk setengah dewa yang terjadi di dunia lain pada masa lampau dan dianggap
benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau oleh penganutnya.

2) Legenda

Mirip dengan mitos, legenda adalah prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai
sesuatu yang benar-benar terjadi. Bedanya dengan mitos, tokoh dalam legenda lebih

bersifat duniawi. Terdapat beberapa ciri legenda, di antaranya:

a) bersifat duniawi, artinya bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang dan terjadi pada masa
yang belum terlampau lama;
b) ditokohi oleh manusia, yang ada kalanya mempunyai sifat dan kekuatan yang luar biasa, serta sering
kali dibantu oleh makhluk-makhluk gaib;

c) milik bersama suatu komunitas tempat legenda tersebut lahir;

d) sering mengalami penyimpangan dari versi sebelumnya (terutama karena tidak ditulis);

e) diwariskan secara turun-temurun; dan

f) banyak mengandung ajaran tentang kebaikan dan kejahatan sehingga dapat dijadikan pedoman
hidup.

Jan Harold Brunvand menggolongkan legenda menjadi

empat kategori, yakni sebagai berikut.

(1) Legenda keagamaan. Legenda keagamaan, yaitu legenda yang berkisah tentang para pemuka agama.
Contohnya, legenda mengenal Wali Songo.

(2) Legenda alam gaib. Sesuai namanya, legenda ini berbentuk kisah yang benar-benar terjadi atau
pernah dialami manusia sehubungan dengan makhluk gaib, hantu, siluman, genderuwo, gejala-gejala
alam gaib, sundel bolong, dan sebagainya.

(3) Legenda perseorangan. Legenda perseorangan adalah kisah tentang orang-orang tertentu dan
dianggap benar benar terjadi. Contohnya, legenda mengenai cerita Panji (Jawa Timur). Panji adalah
seorang pangeran dari Kerajaan Kahuripan yang senang sekali menyamar menjadi orang biasa untuk
mengetahui keadaan rakyatnya. Si Pitung dan Nyai Dasima dari Jakarta, Lutung Kasarung dari Jawa
Barat, Rara Mendut dan Jaka Tingkir dari Jawa Tengah, Suramenggolo dari Jawa Timur, serta Jayaprana
dan Layonsari dari Bali.

(4) Legenda tempat (lokasi). Legenda tempat adalah kisah yang berhubungan dengan nama tempat atau
bentuk topografi suatu daerah. Legenda ini berkembang hampir di semua tempat di Indonesia.
Contohnya legenda terjadinya Danau Toba di Sumatra, legenda Gunung Tangkuban Perahu di Jawa
Barat, legenda asal-usul nama Kota Banyuwangi.

3) Dongeng

Dongeng adalah cerita fiktif atau imajinatif yang diceritakan turun-temurun. Di dalam dongeng, mungkin
kita akan menemukan manusia dapat terbang atau hewan dapat berbicara. Contoh dongeng adalah Si
Kancil yang Cerdik, Bawang Merah dan Bawang Putih, Joko Kendil, dan sebagainya. Umumnya, dongeng
tidak diketahui pengarangnya (anonim). Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak
juga dongeng yang mengajarkan tentang baik-buruk (ajaran moral) dan bahkan sindiran. Dengan
demikian, selain menghibur, dongeng juga merupakan sarana sosialisasi nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat.
Salah satu jenis dongeng yang terkenal adalah fabel, yaitu dongeng yang tokoh-tokohnya berupa hewan
dengan perilaku seperti manusia.

4) Nyanyian rakyat

Menurut ahli folklor, Jan Harold Brunvand, nyanyian rakyat adalah jenis folklor yang terdiri dari teks dan
lagu.Dalam nyanyian rakyat, kata-kata dan lagu merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Namun,
teks yang sama tidak selalu dinyanyikan dengan lagu yang sama. Sebaliknya, lagu yang sama sering
dipakai untuk menyanyikan beberapa teks nyanyian yang berbeda. Sifat lentur seperti inilah yang
membuat nyanyian rakyat berbeda dengan lagu pop atau klasik.

Tidak semua nyanyian rakyat selalu disertai lirik lagu yang menonjol. Beberapa hanya menirukan bunyi
alat musik atau bunyi-bunyian tertentu. Contohnya kecak dari Bali yang umumnya digunakan untuk
mengiringi tarian tradisional.

5) Upacara

Upacara merupakan rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan-aturan tertentu
seperti adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Contohnya adalah upacara penguburan, mendirikan
rumah, membuat perahu, upacara memulai perburuan, upacara perkabungan, upacara pengukuhan
kepala suku, dan upacara sebelum berperang.. Setidaknya ada dua tujuan diadakannya upacara, yakni

sebagai berikut. Pertama, berterima kasih kepada kekuatan-kekuatan yang diyakini telah memberikan
perlindungan dan pertolongan, serta menghindari amarah kekuatan-kekuatan itu. Kedua, memperkuat
keberadaan dan pengakuan akan peran kekuatan-kekuatan itu dalam kehidupan sehari hari
masyarakatnya. Contohnya upacara adat Penti di Manggarai, NTT, upacara "Kasodo" oleh masyarakat
Tengger di sekitar Gunung Bromo, upacara "Larung Samudra" yaitu melarung makanan ke tengah laut,
upacara " Seren Taun" di daerah Kuningan, dan sebagainya.

C. Tradisi Lisan yang Masih Lestari

Berikut beberapa contoh tradisi lisan di Indonesia yang masih dipertahankan keberadaannya oleh
masyarakat pendukungnya.

1) Wayang

Wayang diperkirakan mulai dikenal orang sejak masa praaksara, yaitu sebagai media yang digunakan
dalam upacara mengundang roh nenek moyang. Wayang kemudian berkembang menjadi pertunjukan
dalam bentuk teater, dengan menggunakan boneka-boneka berbentuk pipih. Setiap boneka memiliki
perilaku dan karakternya masing-masing mirip dengan manusia yang dapat kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Bentuk fisik wayang sangat bervariasi, bergantung imajinasi dan tradisi dari kelompok
masyarakat pendukungnya.
Awalnya, wayang hanya berkembang di Jawa dan Bali, tetapi sekarang banyak suku bangsa lain
mempunyai wayang bahkan hingga ke mancanegara. Lakon dalam cerita wayang pada umumnya
mengambil tema dari dua epos Hindu, yaitu Mahabharata dan Ramayana.

Karena wayang banyak disukai orang dan mudah diterima di berbagai kalangan, muncul berbagai jenis
wayang, di antaranya:

a) Wayang kulit: tokoh-tokohnya terbuat dari kulit (kulit sapi ataupun kambing), dengan tampilan
warna-warni yang menarik untuk menghidupkan karakter tokohnya;

b) Wayang wong: tokoh-tokohnya manusia dengan kostum yang sesuai tuntutan cerita; dan

c) Wayang golek: tokoh-tokohnya dibuat dari kayu, seperti wayang dari Jawa Barat.

d) Wayang beber: menggunakan media gambar yang lakon lakonnya dilukis di atas kertas (daluang)
dengan ukuran antara 200 x 70 cm, lalu dibentangkan (dibeber).

2) Mak Yong

Mak yong adalah sejenis pertunjukan tradisi lisan yang berasal dari Pattani, Thailand bagian selatan.
Mak yong masuk ke Indonesia melalui Riau, lalu Sumatra Utara, kemudian Kalimantan Barat. Mak yong
kemudian menjadi bagian dari kebudayaan Melayu.

Ada banyak unsur seni dalam pementasan mak yong, seperti drama, tari, musik, dan mimik. Dialog
disampaikan dalam bentuk prosa dan tanpa naskah. Beberapa tokoh utamanya adalah punakawan (para
pengasuh) dan Wak Pedanda (orang bijak dan ahli ilmu pengetahuan). Mak Yong sendiri berperan
sebagai putri raja.

Cerita yang paling disukai dalam pertunjukan Mak Yong adalah kisah cinta antara Mak Yong dan Dewa
Muda. Meski melakonkan kisah cinta, semua pelakonnya perempuan. Pertunjukan ini merupakan
bentuk ucapan terima kasih kepada Tuhan; dengan demikian, sering dianggap sebagai pertunjukan suci.
Oleh karena itulah, awal pertunjukan selalu didahului pembacaan doa yang dilakukan oleh panjak atau
bomah.

3) Didong

Didong merupakan kesenian tradisional masyarakat Gayo, Provinsi Aceh. Kata didong berasal dari kata
dendang yang artinya sama dengan denang atau donang yang dalam bahasa Gayo, yaitu menghibur diri
sendiri dengan menyanyi.

Unsur-unsur yang ada di dalam didong meliputi seni sastra, seni tari, dan seni suara. Tokoh utama dalam
tradisi ini adalah ceh yang mempunyai kemampuan untuk menggubah lagu. Untuk menghidupkan
pertunjukan, sajak-sajak yang disampaikan oleh ceh akan diiringi dengan tepukan tangan, entakan kaki,
dan ketukan pada panci. Isi sajak yang dinyanyikan umumnya merupakan gambaran kehidupan sehari-
hari seorang petani yang sederhana.
4) Rabab Pariaman

Rabab pariaman adalah salah satu tradisi lisan yang berasal dari Sumatra Barat. Rabab adalah sejenis
alat musik gesek yang menggunakan tempurung kelapa sebagai badannya, ditutup dengan bambu dan
diberi kayu dan hiasan bunga pada kepalanya. Cara membunyikannya adalah dengan dipetik atau
dimainkan dengan busur gesek yang terbuat dari kawat nilon halus. Bentuknya secara keseluruhan dan
cara memainkannya persis seperti biola.

5) Tanggomo Tanggomo merupakan salah satu bentuk puisi tradisional dalam tradisi lisan yang berasal
dari Provinsi Gorontalo. Pertunjukan puisi tersebut dinyanyikan oleh seorang penyanyi yang disebut to
motanggomo. Mereka datang dari berbagai latar belakang, seperti petani, pedagang, dan nelayan.
Mereka menggubah suatu cerita jadi untaian tanggomo, dilakukan secara lisan, di sela-sela bekerja.
Penyampaian tanggomo dapat diiringi alat musik seperti gambus dan kecapi, dapat juga tanpa musik
sehingga si pembawa cerita harus mengandalkan gerakan tangan, muka, kepala, dan mimik wajah untuk
menghidupkan cerita. Tanggomo dapat disampaikan di mana saja: di pasar, di tepi sungai, juga dalam
hajatan pernikahan.

B. Jalur Rempah di Indonesia pada Masa Praaksara

Apakah Anda mengenali buah ini? Menurut Anda, apakah kaitan antara buah ini dengan sejarah Jalur
Rempah? Berdiskusilah dengan temanmu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Anda
dapat juga menyusun pertanyaan sendiri dengan menggunakan rumusan 5W1H berdasarkan gambar
tersebut.

Nenek moyang bangsa Indonesia sejak 4.500 tahun lalu meninggalkan warisan tak ternilai, yaitu Jalur
Rempah. Nusantara sendiri menjadi titik nol dari semua tata niaga rempah dunia, mulai dari pala,
cengkih, dan cendana di bagian timur Nusantara hingga lada, merica, kemenyan, dan kapur barus di
belahan barat Nusantara.

Selain itu, karena rempah-rempah Nusantara, dunia mengalami kemajuan teknologi pelayaran dan
maritim dunia, yang melahirkan era penjelajahan samudra. Lebih daripada itu, di setiap simpul Jalur
Rempah terjadi perjumpaan lintas suku bangsa yang menghasilkan pertukaran budaya, agama, politik,
ekonomi, dan kesenian. Dengan demikian, Jalur Rempah ikut mengubah peradaban dunia.

Meskipun demikian, warisan berharga tersebut terancam hilang dari memori bangsa. Dunia, mungkin
termasuk kita, lebih mengenal Jalur Sutra yang dirintis bangsa Tiongkok daripada Jalur Rempah yang
dirintis bangsa sendiri. Padahal, rempah-rempah (Nusantara) merupakan komoditas utama yang
diperdagangkan di Jalur Sutra.

1. Gambaran Umum tentang Jalur Rempah

Jalur Rempah (Spice Route) adalah jaringan niaga rempah rempah yang menghubungkan antara belahan
barat dan timur dunia, yang dimulai dari wilayah timur Nusantara, melintasi ujung barat Sumatra, India,
Sri Lanka, Mesir, Afrika timur, Afrika selatan, Madagaskar, kemudian daratan Timur Tengah (Asia Barat),
Mediterania, hingga Eropa. Perjalanan melewati jalur ini menempuh jarak lebih dari 15.000 kilometer.

Sebagaimana namanya, rempah utama yang diperdagangkan meliputi lada, merica, kayu manis, pala,
dan cengkih.

Jalur Rempah merupakan jaringan niaga tertua dalam peradaban manusia, warisan nenek moyang kita
sejak 4.500 tahun yang lalu. Jalur ini dibangun jauh sebelum Dinasti Han (Tiongkok) merintis Jalur Sutra
(abad ke-3 SM) melalui daratan di Asia Tengah hingga Eropa.

Pada masa praaksara, wilayah yang dilintasi Jalur Rempah membentang sampai Sri Lanka, India, Afrika,
dan Madagaskar. Nenek moyang kita juga membawa rempah ke Asia Tenggara, termasuk ke Campa
(Vietnam dan Kamboja sekarang). Hal ini terbukti dari penemuan benda-benda logam dari Dong Son
(Vietnam) di wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua.

Nenek moyang bangsa Indonesia itu adalah ras Australomelanesoid yang datang ke Nusantara ± tahun
2500 SM (4.500 tahun yang lalu). Diperkirakan, mereka datang dari Asia bagian tenggara setelah
sebelumnya bermigrasi dari Laut Tengah dan menetap di India (Restu Gunawan, dkk: 2013). Sumber lain
menyebutkan, mereka adalah gelombang pertama bangsa Melayu Austronesia (bangsa Proto-Melayu)
yang datang ke Nusantara dari Yunnan (Tiongkok) melalui dua jalur (barat dan timur) pada 1500 SM.
Meskipun demikian, dari bukti arkeologis yang ada, mereka diperkirakan sudah mendiami Nusantara
sejak tahun 2500 SM. Migrasi ke tempat yang jauh melintasi lautan tidak terlepas dari revolusi baru
dalam sejarah peradaban, yaitu penemuan perahu layar dan kemampuan memahami arah angin dan
ilmu perbintangan (astronomi).

Rempah Nusantara sudah masuk ke pasar Tiongkok sejak abad II SM (131 SM), seabad sebelum
terbentuknya Jalur Sutra. Dari Tiongkok, rempah melewati Asia Tengah, terus ke Mediterania, lalu ke
Eropa. Komoditas utama yang diperdagangkan di Jalur Sutra adalah rempah (juga kemenyan) Nusantara,
bukan sutra. Sutra sendiri lebih banyak dipakai sebagai alat tukar berbagai komoditas, termasuk
rempah. Jadi, ramainya Jalur Sutra sejak abad ke-3 SM sebagian besar dipengaruhi lalu lintas
perdagangan rempah. Rempah Nusantara lebih diminati karena lebih lengkap, bermutu, dan harganya
lebih terjangkau dibandingkan rempah-rempah India dan Sri Lanka (hanya memiliki lada dan kayu
manis). Itulah sebabnya, menurut sejarawan A.G. Frank (1998), Jalur Sutra tidak lain adalah Jalur
Rempah.

2. Jalur Rempah pada Masa Praaksara

a. Bukti Arkeologis

Kemampuan berlayar nenek moyang Indonesia sejak 4.500-5.000 tahun yang lalu ditunjukkan melalui
gambar perahu layar dan manusia dengan senjata terselip di pinggang di situs Liang Kacamata
(Kalimantan Selatan). Mereka adalah kelompok manusia berbahasa Austronesia, yang masuk ke
pedalaman Kalimantan melalui jalur sungai menggunakan perahu rakit dan dayung. Dalam
perkembangan selanjutnya, dayung sebagai penggerak perahu mulai digabungkan dengan penggunaan
layar sehingga perahu bergerak lebih cepat.

Ada pula lukisan perahu serta lukisan penari dan gendang logam di batu di situs Here Sorot Entapa di
Kisar, Maluku. Di situs tersebut juga ditemukan gendang Dong Son dari Vietnam utara dan Tiongkok
barat daya era ±2.500 tahun yang lalu. Penemuan ini menunjukkan, pada ±2.500-3.500 tahun yang lalu
(Zaman Logam), nenek moyang bangsa Indonesia telah berlayar hingga ke Vietnam, membarter pala dan
cengkih dengan gendang dan kebutuhan pokok.

Di galeri Mesir, terdapat lukisan yang menggambarkan ekspedisi kapal besar yang diprakarsai Ratu
Hatshepsut (berkuasa 1503-1482 SM). Di bawah lukisannya, tertera huruf Hieroglif yang menjelaskan
kapal itu membawa pulang berbagai jenis tanaman dan bahan wewangian untuk pemujaan. Di Terga,
sebuah situs kuno di Mesopotamia (sekarang Suriah), ditemukan jambangan berisi cengkih di gudang
dapur rumah sederhana tahun 1721 SM (Liggett, 1982). Selain itu, di dalam lubang hidung Ramses II
(1224 SM) ditemukan lada hitam sebagai bahan pengawetan mumi. Rempah-rempah tersebut diyakini
dibawa oleh para pelaut-pelaut Nusantara.

Sementara itu, manik-manik kaca, karnelian, dan gerabah dari Arikamedu (India selatan) banyak
ditemukan di Situs Karangagung (Sumatra Selatan), situs Buni dan Patenggeng (Jawa Barat), dan situs
Sembiran (Bali). Benda-benda tersebut diperkirakan berasal dari tahun 600 SM-200 M. Di situs Seririt,
Buleleng, Bali, ditemukan cermin perunggu (sebagai bekal kubur) dari zaman Dinasti Han/Tiongkok
(tahun 8-23 M) (Kurniawan, 2014). Kemungkinan besar, benda-benda tersebut ditukar dengan rempah-
rempah.

b. Bukti Tulis

Sejak abad ke-5 SM, perdagangan di antara bangsa Romawi, Persia, India, dan Tiongkok mulai
berkembang, tetapi tidak reguler Perdagangan dilakukan melalui jalur daratan di Asia Tengah.
Penggunaan jalur laut yang menghubungkan Laut Tengah, Laut Merah, Teluk Persia, Tiongkok, India, dan
Jepang baru dimulai sejak abad ke-2 SM. Rempah Nusantara belum dikenal.

Sumber tertulis India dari abad ke-3 SM berulang kali menyebut "Jawa" sebagai asal rempah-rempah.
Kitab Petunjuk Pelaut ke Lautan Erythrea (nama kuno Yunani untuk Samudra Hindia) menyebut kapal
rempah-rempah dari arah timur.

Meskipun demikian, sampai permulaan abad Masehi, India berfokus pada perdagangan emas. Dalam
perkembangannya terjadi kekacauan besar di Asia Tengah, pemasok utama emas India. India sempat
mengimpor emas dari Romawi, tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena segera dilarang oleh Kaisar
Vespasianus (69-79 M). India kemudian mencari sumber emas dan mitra niaga yang baru.

Berdasarkan informasi dalam kitab-kitab sastra India, sumber emas yang baru tersebut ada di
Nusantara. Itulah cikal-bakal pelayaran ke Nusantara. Dalam perjalanan waktu, India menyadari emas
yang dimaksud dalam kitab-kitabnya itu adalah rempah. Selain lada dan kayu manis, ditemukan juga
cengkih, pala, kayu cendana, kapur barus, kemenyan, dan berbagai hasil hutan. Kitab Ramayana (tahun
200 M) juga menyebutkan sumber kayu gaharu dan cendana berada di daerah timur Nusantara.

Sejak abad-abad pertama Masehi, kontak dagang Nusantara dengan India berkembang. India
menawarkan tekstil untuk dibarter dengan rempah. Rempah-rempah Nusantara pun membanjiri pasar
Romawi. Romawi ketika itu tengah menikmati Pax Romana, yang meningkatkan permintaan atas
rempah. (Catatan: Pax Romana adalah periode panjang yang relatif damai dan minim ekspansi militer
selama 206 tahun (27 SM-180 M).

Rempah dikirim ke wilayah-wilayah Kekaisaran Romawi, baik oleh pelaut-pelaut India maupun secara
langsung oleh pelaut-pelaut Nusantara. Penulis berkebangsaan Romawi bernama Gaius Plinius Secundus
alias Pliny the Elder (23/24-79 M) dalam catatan perjalanannya menyebutkan tentang para pelaut
pemberani dari timur yang datang membawa kayu manis dengan menggunakan perahu sederhana
(Tanudirjo, 2010). Perahu ini sedemikian sederhana sehingga Plinius mengatakan mereka bukan
digerakkan oleh layar, melainkan oleh semangat dan keberanian. Plinius sendiri menyebutkan daerah itu
"Etiopia", tetapi dia meyakini tanaman tersebut merupakan Gam endemik Asia Tenggara.

Membanjirnya rempah Nusantara di wilayah-wilayah Kekaisaran Romawi diperjelas melalui peta "Guide
to Geography" (abad ke-1 M) yang dibuat astronom Alexandria (Mesir), Claudius Ptolomaeus. Dalam
peta tersebut, Ptolomaeus menulis nama sebuah kota bernama Barus. Tempat ini merupakan kota
pelabuhan kuno sumber kapur barus, komoditas yang diburu pelaut Yunani-Romawi, Mesir, Arab,
Tiongkok, dan Hindustan pada masa itu (Guillot, 2014).

Kontak dagang dengan India semakin intens saat memasuki abad V M. Informasi dalam kitab
Raghuvamsa yang ditulis Kalidasa sekitar tahun 400 M menyebutkan sumber rempah berupa lavanga
(cengkih) di wilayah Dvipantara (Nusantara). Kemungkinan besar, sekitar masa tersebut, kapal-kapal
pelaut India sudah sering lalu-lalang ke dan dari Nusantara untuk mendapatkan rempah-rempah.

Bagaimana dengan Tiongkok? Hingga abad I M, Tiongkok masih berfokus pada perdagangan melalui
darat dengan Timur Tengah (Asia Barat). Perdagangan jalur darat dengan Asia Tenggara memang sudah
dibuka melalui Funan, tapi itu dilakukan sejauh terkait dengan Asia Barat.

Kontak dagang dengan Nusantara baru dimulai sejak abad II M. Berita Tiongkok menyebutkan utusan
Raja Bian dari Kerajaan Jawa (Yediao) berkunjung ke Tiongkok (131 M). Berita dari Dinasti Han (abad III
M) menyebutkan tentang kewajiban bagi para pejabat tinggi yang hendak menghadap kaisar untuk
mengulum cengkih untuk menghilangkan bau mulut. Sumber lain menyebutkan cengkih (chi shelting
hsiang) dari mo wu (Maluku) yang digambarkan berbentuk seperti paku.

Adanya kontak dengan Tiongkok juga dibuktikan dengan catatan perjalanan ke Jawa (Yeh-po-tilShe-po)
melalui laut dari dua pendeta Buddha, yaitu Fa Hsien (413 M) dan Gunavarman (antara 424-453 M).
Dalam berita Tiongkok lainnya, disebutkan tentang kunjungan dari utusan dari Ho-lo-tan, sebuah negeri
di She-po (Jawa) pada 430 M. Sejak saat itu, Tiongkok mendapat pasokan rempah Nusantara secara
berkala, meski dalam jumlah terbatas.

Anda mungkin juga menyukai