Anda di halaman 1dari 1

… Cari

Folklor
tradisi dalam suatu budaya, subkultur, atau kelompok

… … …
"Folklore" beralih ke halaman ini. Untuk kegunaan lain,
lihat Folklore (disambiguasi).

Folklor meliputi legenda, musik, sejarah lisan,


pepatah, lelucon, takhayul, dongeng, dan
kebiasaan yang menjadi tradisi dalam suatu
budaya, subkultur, atau kelompok. Folklor juga
merupakan serangkaian praktik yang menjadi
sarana penyebaran berbagai tradisi budaya.
Bidang studi yang mempelajari folklor disebut
folkloristika. Istilah filklor berasal dari bahasa
Inggris, folklore, yang pertama kali
dikemukakan oleh sejarawan Inggris William
Thoms dalam sebuah surat yang diterbitkan
oleh London Journal pada tahun 1846.[1]
Folklor berkaitan erat dengan mitologi.
Berdasarkan klasifikasinya folklor yang
pertama adalah folklor esoterik, yang artinya
sesuatu yang memiliki sifat yang hanya dapat
dimengerti oleh sejumlah besar orang saja.
Kedua, folklor eksoterik adalah sesuatu yang
dapat dimengerti oleh umum, tidak terbatas
oleh kolektif tertentu. Folklor esoterik dianggap
lebih sakral karena hanya berlaku dan diketahui
oleh beberapa kelompok orang saja.
Sedangkan, folklore esoterik lebih bebas dan
tidak kuno.[2]

Supay dalam tarian diablada.


Supay merupakan dewa atau iblis
kematian dalam folklor Inka.

Ciri-ciri …

Ciri-ciri folklor, dimaksudkan untuk mengetahui


folklor dengan kebudayaan lainnya. Folklor
memiliki ciri-ciri sebagai berikut.[3] Ciri-ciri
tersebut berdasarkan James Dananjaya
(seorang ahli folklor).[4]

1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya


dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur
kata dari mulut ke mulut dari satu generasi
ke generasi selanjutnya.[3]

2. Bersifat tradisional, yaitu disebarkan


dalam bentuk relatif tetap atau dalam
bentuk standar.[3]

3. Berkembang dalam versi yang berbeda-


beda. Hal ini disebabkan penyebarannya
secara lisan sehingga folklor mudah
mengalami perubahan. Akan tetapi,
bentuk dasarnya tetap bertahan.[3]

4. Bersifat anonim, artinya pembuatnya


sudah tidak diketahui lagi orangnya.[3]

5. Biasanya mempunyai bentuk berpola.


Kata-kata pembukanya misalnya. Menurut
sahibil hikayat (menurut yang empunya
cerita) atau dalam bahasa Jawa misalnya
dimulai dengan kalimat anuju sawijing dina
(pada suatu hari).[3]

6. Mempunyai manfaat dalam kehidupan


kolektif. Cerita rakyat misalnya berguna
sebagai alat pendidikan, pelipur lara,
protes sosial, dan cerminan keinginan
terpendam.[3]

7. Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika


sendiri yang tidak sesuai dengan logika
umum. Ciri ini terutama berlaku bagi
folklor lisan dan sebagian lisan.[3]

8. Menjadi milik bersama (collective) dari


masyarakat tertentu.[3]

9. Pada umumnya bersifat lugu atau polos


sehingga sering kali kelihatannya kasar
atau terlalu sopan. Hal itu disebabkan
banyak folklor merupakan proyeksi
(cerminan) emosi manusia yang jujur.[3]

Jenis …

Berdasarkan pendapat Jan Harold Brunvand,


seorang ahli folklor Amerika Serikat, folklor
dibagi ke dalam tiga kelompok besar
berdasarkan tipenya yaitu folklor lisan,
sebagian lisan, dan bukan lisan.[3]

Folklor lisan

Folklor jenis ini dikenal juga sebagai fakta
mental (mentifact) yang meliputi sebagai
berikut:

bahasa rakyat seperti logat bahasa (dialek),


slang, bahasa tabu, otomatis;

ungkapan tradisional seperti peribahasa dan


sindiran;

pertanyaan tradisonal yang dikenal sebagai


teka-teki;

sajak dan puisi rakyat, seperti pantun dan


syair;

cerita prosa rakyat, cerita prosa rakyat dapat


dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu:
mite (myth), legenda (legend), dan dongeng
(folktale), seperti Malin Kundang dari
Sumatra Barat, Sangkuriang dari Jawa Barat,
Roro Jonggrang dari Jawa Tengah, dan Jaya
Prana serta Layonsari dari Bali;

nyanyian rakyat, seperti “Jali-Jali” dari


Betawi.[3]

Folklor sebagian lisan



Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial
(sosiofact), meliputi sebagai berikut:

kepercayaan dan takhayul;

permainan dan hiburan rakyat setempat;

teater rakyat, seperti lenong, ketoprak, dan


ludruk;

tari rakyat, seperti tayuban, doger, jaran,


kepang, dan ngibing, ronggeng;

adat kebiasaan, seperti pesta selamatan, dan


khitanan;

upacara tradisional seperti tingkeban, turun


tanah, dan temu manten;

pesta rakyat tradisional seperti bersih desa


dan meruwat.[3]

Folklor bukan lisan



Folklor ini juga dikenal sebagai artefak meliputi
sebagai berikut:

arsitektur bangunan rumah yang tradisional,


seperti Joglo di Jawa, Rumah Gadang di
Minangkabau, Rumah Betang di Kalimantan,
dan Honay di Papua;

seni kerajinan tangan tradisional,

pakaian tradisional;

obat-obatan rakyat;

alat-alat musik tradisional;

peralatan dan senjata yang khas tradisional;

makanan dan minuman khas daerah.[3]

Fungsi …

Adapun fungsi folklor, yaitu sebagai sistem


proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-
angan suatu kolektif; sebagai alat pengesahan
pranata-pranata dan lembaga-lembaga
kebudayaan; sebagai alat pendidik anak; dan
sebagai alat pemaksa dan pengawas agar
norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi
anggota kolektifnya.[3]

Rujukan

Bacaan lanjutan

Pranala luar

Terakhir disunting 1 bulan yang lalu ole…

HALAMAN TERKAIT

Legenda

Sastra Banjar

Folklor Tiongkok

Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0 kecuali


dinyatakan lain.

Ketentuan Penggunaan • Kebijakan privasi •


Tampilan PC

Anda mungkin juga menyukai