Anda di halaman 1dari 12

II-1

BAB II. Landasan Teori dan Data



2.1 Pemahaman Dan Teori Dasar

2.1.1 Pengertian Folklor Dan Dongeng
Berdasarkan buku Folklor Indonesia yang ditulis oleh James Danandjaja, dongeng tradisional
adalah termasuk dalam satu disiplin atau cabang ilmu yang berdiri sendriri di Indonesia dan
belum lama dikembangkan orang, yaitu folklor. Kata folklor sendiri adalah penyerapan dari
kata Bahasa Inggris folklore.

Menurut Alan Dundes
1
folklore berasal dari kata folk ; sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri
pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan. Isitilah lore merupakan tradisi yang dimiliki oleh folk,
yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun secara lisan atau melalui
suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic
device
2
). Cara lisan dan aksi ini disebut budaya yang diwariskan secara tutur. (Pindi, 2002)

Definisi folklor berarti sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun
temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda baik
dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat..

Ciri-ciri pengenal utama folklor pada umumnya yaitu sebagai berikut
1. Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui
tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai gerak isyarat, dan
alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya.
2. Bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk
standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling
sedikit dua generasi)
3. Tersedia dalam versi-versi bahkan varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara
penyebarannya yang lisan sehngga secara alamiah mengalami proses interpolasi
(penambahan atau pengisian unsur-unsur baru pada bahan folklor; bisa karena ada unsur

1
Dalam buku Brown Country Superstitions, Midwest Folklore. XI. Hlm 25-26
2
Istilah dari majalah ilmiah folklor Belanda; De Vries, J . Het Oost Indische Sprookje van den Gulzigaard
Nederlandsch Tijdshrift voor Volkskund. XXX. Uthrecht. Hlm. 97-108 dan lihat pula definisi J an Harold
Brunvand ; Folklore may be defined as those materials in culture that circulate traditionally among
members of any group in different versions, wheter in oral or by means of customary example. (Brunvand,
1968 : 5)
II-2
budaya yang tidak sesuai atau lain hal), walaupun demikian bentuk dasarnya dapat tetap
bertahan.
4. Bersifat anonim, yaitu penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.
5. Memiliki bentuk berumus atau berpola. Sering menggunakan kata-kata klise dan sarat akan
penggunaan majas bahasa maupun penggunaan istilah tradisional.
6. Memiliki kegunaan dalam kehidupan bersama suatu masyarakat. Cerita rakyat misalnya
mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi
keinginan terpendam.
7. Bersifat pralogis; yaitu berarti mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika
umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.
8. Merupakan milik bersama (collective) dari suatu masyarakat tertentu.
9. Pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali berkesan kasar atau terlalu
spontan.

Makna folklor tidak bergeser apabila telah diterbitkan dalam bentuk media, baik cetakan atau
rekaman. Identitas sebagai folklor akan tetap ada selama diketahui bahwa ia berasal dari
peredaran lisan.

Menurut ahli folklor Swedia, Carl Wilhelm von Sydow, orang (folk) yang mengetahui suatu
bentuk folklor dibagi menjadi:
Pewaris pasif adalah pewaris folklor yang sekadar mengetahui dan dapat menikmati suatu
bentuk folklor, namun tidak dapat atau tidak berminat untuk menyebarkannya secara aktif.
Golongan ini adalah merupakan kalangan mayoritas dalam suatu masyarakat.

Pewaris aktif adalah pewaris folklor yang dapat menghafal detail suatu kumpulan
peribahasa dan cerita folklor dari masyarakatnya, mampu membawakannya secara lengkap
dan cepat, serta memiliki tanggung jawab serta minat untuk menyebarkannya secara aktif,
baik di masyarakat maupun di kalangannya sendiri sebagai sesama pewaris aktif ke generasi
pewaris aktif berikutnya. Golongan ini adalah kalangan sangat minoritas dalam masyarakat
karena tidak banyak.

Menurut ahli folklor AS Jan Harold Brunvand
3
, bentuk-bentuk folklor dapat digolongkan menjadi
tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu ;

1. Folklor lisan (verbal folklore)

3
Dalam buku Folklor Indonesia, James Danandjaja.
II-3
Folklor yang bentuknya memang murni lisan, dimana dongeng tradisional termasuk di
dalamnya. Yang termasuk dalam golongan ini antara lain
Bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, atau titel
kebangsawanan
Ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, pemeo
Pertanyaan tradisional; seperti teka-teki atau adat berupa tanya jawab dalam suatu prosesi
pernikahan
Puisi rakyat seperti pantun, gurindam, syair
Cerita prosa rakyat, seperti mite (myth) legenda, dan dongeng
Nyanyian rakyat

2. Folklor sebagian lisan
Folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Misalnya
kepercayaan rakyat yang oleh orang modern seringkali disebut dengan takhayul; terdiri dari
pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna
gaib. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok besar ini selain kepercayaan
rakyat, adalah permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat istiadat, upacara, pesta
rakyat, dan lain sebagainya

3. Folklor bukan lisan
Bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Terbagi lagi
menjadi dua subkelompok, yakni material dan bukan material. Bentuk yang tergolong material
antara lain berupa arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung, dsb),
kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman tradisional,
serta obat-obatan tradisional.

Sedangkan yang termasuk bukan material antara lain gerak-gerik isyarat tradisional (gesture),
bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (misalnya kentongan atau gendang untuk mengirim
berita) dan musik rakyat.

Dongeng adalah salah satu jenis bentuk dari folklor lisan (verbal folklore). Pengertian dongeng
adalah cerita pendek kolektif kesusasteraan lisan. Atau dalam pengertian lain dongeng adalah
cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi.

Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang menggunakannya
untuk melukiskan kebenaran, memberikan pelajaran moral terutama untuk anak-anak, atau
bahkan sindiran, biasanya mempunyai kalimat pembukaan dan penutup yang bersifat klise
II-4

Di dunia internasional kata yang menggambarkan istilah dongeng ada bermacam-macam,
seperti fairytales, nursery tales, marchen, aeventyr, spookje, dan lain-lain

Jenis-jenis dongeng terbagi ke dalam empat golongan besar
4
yaitu ;
Dongeng binatang.
Adalah dongeng yang ditokohi binatang, baik peliharaan maupun binatang liar, seperti burung,
ikan, serangga, mamalia, dan lain-lain. Binatang dalam cerita jenis ini digambarkan dapat
berbicara dan memiliki akal seperti manusia. Si kancil adalah tokoh paling terkenal dalam
dongeng binatang di Indonesia.

Suatu bentuk khusus dongeng binatang adalah fabel. Pengertian fabel adalah dongeng binatang
yang mengandung moral., yakni ajaran baik buruk perbuatan dan kelakuan. Jenis dongeng ini
yang paling sering diceritakan kepada anak-anak sebagai salah satu sarana proses pendidikan
moral bagi mereka.

Dongeng biasa
Adalah dongeng yang ditokohi manusia dan biasanya adalah kisah suka duka seseorang tokoh
utamanya. Biasanya terdapat persamaan genre atau motif dalam cerita yang terkenal dengan
penggambaran cukup universal yang terdapat dalam satu kawasan tertentu meskipun berbeda
dalam penuturannya. Penyerapan budaya kadangkala terlihat dengan sangat jelas disini.
Dongeng Mundinglaya Di Kusumah termasuk dalam kategori ini.

Lelucon dan anekdot
Adalah dongeng yang dapat menimbulkan rasa geli di hati, sehingga menghasilkan tawa bagi
yang mendengarnya, maupun yang menceritakannya. Anekdot digolongkan ke dalam dongeng
karena anekdot bersifat fiktif, walaupun diceritakan seperti benar-benar terjadi. Perbedaan
antara lelucon dan anekdot adalah pada subjek dalam cerita.

Lelucon menyangkut kisah fiktif lucu suatu masyarakat (atau suku bangsa, ras, golongan)
sedangkan anekdot menyangkut kisah fiktif lucu perseorangan atau beberapa tokoh yang benar-
benar ada.

Dongeng-dongeng dengan rumus (formula tales)
Strukturanya terdiri dari pengulangan, dan memiliki beberapa sub-bentuk antara lain:

4
Berdasarkan buku The Types of the Folktale (a Classification and Bibliography) oleh Anti Aarne dan
Stith Thompson. Helsinki, 1964.
II-5
o Dongeng bertimbun banyak (cummulative tales)
Disebut juga dongeng berantai (chain tales) adalah dongeng yang dibentuk dengan cara
menambah keterangan lebih terperinci pada setiap pengulangan inti cerita.
o Dongeng perdaya (catch tales)
Cerita fiktif yang diceritakan khusus untuk memperdayai orang karena akan menyebabkan
pendengarnya mengeluarkan pendapat yang bodoh. Dimulai dengan sebuah cerita dan
mengandung unsur pertanyaan yang membuat pendengarnya bingung, biasanya memiliki akhir
cerita yang tak disangka-sangka oleh pendengar.
o Dongeng tanpa akhir (endless tales)
Dongeng yang jika diteruskan tidak akan sampai pada batas akhir. Dan biasanya memang
dirancang supaya tidak memiliki penutup sama sekali. Sering juga disebut dengan dongeng
menggantung.


2.1.2 Pengertian Novel Visual

Berdasarkan sumber Answers.com, pengertian novel visual adalah
A visual novel is an interactive fiction game featuring mostly static graphics, usually
with anime-style art. As the name might suggest, they resemble mixed-media novels or
tableau vivant stage plays. Visual novels are also called novel games or sound novels,
and games that are not interactive and consist of following a set story are sometimes
referred to as kinetic novels (a term coined by publisher VisualArt's.)
Visual novels are distinguished from other game types by their extremely minimal
gameplay. Typically the majority of player interaction is limited to clicking to keep the
text, graphics and sound moving (most recent games offer 'play' or 'fast-forward' toggles
that make even this unnecessary).
Most visual novels have multiple storylines and many endings; the gameplay mechanic
in these cases typically consists of intermittent multiple-choice decision points, where
the player selects a direction in which to take the game. This style of gameplay has
been compared to the Choose Your Own Adventure novels. Most, however, strive for a
higher level of plot and character depth than the aforementioned series of interactive
children's books. These can be more closely compared to story-driven interactive
fiction. While the plots and storytelling of mainstream video games is often criticized,
many fans of visual novels hold them up as exceptions and identify this as a strong
point of the genre.
II-6

Pada novel visual secara standar, tampilan terdiri dari satu set latar belakang generik
5
,
penggambaran karakter yang disebut dengan sprite
6
. Pada beberapa adegan penting bisa diberi
tampilan efek spesial tertentu, bisa berupa penggambaran karakter dengan lebih detail
ataupun menggunakan sudut pandang yang tidak biasa untuk menambah keasyikan bermain.

Novel visual adalah istilah untuk game fiksi interaktif yang sudah berkembang. Dimana menurut
Answers.com, kata fiksi interaktif memiliki pengertian ;
An adventure game that has been created or modified for the computer. It has
multiple story lines, environments and endings, all of which are determined by choices
the player makes at various times.
The term "interactive fiction" is also occasionally used to refer to hypertext fiction,
collaborative fiction, or even a participatory novel, according to the New York Times.
It is also used to refer to literary works that are not read in a linear fashion, but rather
the reader is given choices at different points in the text; the reader's choice
determines the flow and outcome of the story. The most famous example of this form
of interactive fiction is the Choose Your Own Adventure book series

Fiksi interaktif versi digital dimainkan di komputer, dengan versi paling sederhana berupa text
adventure game dimana pemain cukup mengetikkan kata-kata untuk dapat melanjutkan ke
babak berikutnya. Fiksi interaktif menggunakan teks yang terdapat pada layar monitor sebagai
alat interaksi utama, meski banyak pula yang menggunakan suara secara jelas dan sederhana
untuk memungkinkan para penyandang tuna netra untuk turut bermain.

Sekarang ini game fiksi interaktif telah berkembang pesat seiring bertumbuhnya macam-macam
media baru yang memungkinkan untuk digabungkan menjadi satu sehingga menghasilkan jenis
lebih maju dari fiksi interaktif biasa yang kini lazim disebut novel visual.







5
biasanya satu scene memiliki satu tampilan background lokasi kejadian berlangsung
6
set karakter yang ada dalam cerita, baik berupa perseorangan maupun objek tersendiri
II-7
2.2 Data dan Analisis
2.2.1 Target Sasaran Dan Analisis Data Survey
Sebagaimana telah dibahas pada bab I, target sasaran terbesar yang dibidik adalah anak-anak
usia sekolah dasar yang berasal dari keluarga menengah atas dan sudah memiliki kemampuan
dasar mengoperasikan komputer secara sederhana.

Keterangan survey :
1. Responden anak-anak usia 7-12 tahun sebanyak 200 orang
2. Lokasi : SD BPI Gunung Halimun dan SD As Salaam Sasakgantung, Bandung pada tanggal 16,
17, dan 28 April 2007
3. Jenis pertanyaan : -
Judul dongeng yang mampu mereka sebutkan dan tahu isinya;
Frekuensi membaca dongeng (atau dibacakan dongeng)
Apakah mereka tahu mengenai dongeng Mundinglaya Di Kusumah
4. Responden remaja dan dewasa muda usia 13-22 tahun sebanyak 100 orang.
5. Lokasi : Institut Teknologi Bandung, SMPN 1 Bandung, warga kompleks Batu Indah Buah
Batu Bandung, siswa ILP dan LIA Buah Batu, dan random.
6. Jenis pertanyaan (sama dengan pertanyaan untuk responden dewasa > 23 th):
Judul dongeng yang mampu mereka sebutkan dan tahu isinya
Frekuensi membaca dongeng (atau membacakan dongeng)
Apakah mereka tahu mengenai dongeng Mundinglaya Di Kusumah
7. Responden dewasa > 23 tahun sebanyak 58 orang (hingga tanggal 14 Mei 2007 dan masih
terus berlangsung)
8. Lokasi : SD BPI Gunung Halimun dan SD As Salaam Sasakgantung (16-18 April 2007), Institut
Teknologi Bandung, warga kompleks Batu Indah Buah Batu Bandung, dan random.
9. Survey dilakukan secara on site dan grounded di kota Bandung, dan terbatas pada orang-
orang yang berasal dari suku Sunda, suku Jawa, dan suku lainnya yang telah lama berdiam
di Bandung. Dengan pertimbangan bahwa Mundinglaya Di Kusumah adalah dongeng
tradisional dari tanah Sunda.

Untuk pertanyaan pertama, saya mendapat data sebagai berikut
Usia Responden 0-3 >3 Tahu isinya
7-12 tahun 45% 55% 20%
13-22 tahun 8% 92% 85%
>23 tahun 12% 88% 75%

II-8
Dari sini saya mendapat data bahwa anak-anak usia sekitar 10-12 tahun (atau setara dengan
kelas 4-6 SD) dapat menyebutkan lebih dari tiga judul dongeng. Rata-rata menjawab judul
dongeng populer, dan saat ditanyai mengenai isinya mereka masih bisa menjawab dengan
cukup baik.

Pada anak-anak usia lebih muda (7-9 tahun) rata-rata hanya bisa menyebutkan kurang dari tiga
judul; hanya beberapa yang bisa menyebut lebih dari itu; dan saat ditanya apakah mereka tahu
mengenai ceritanya sebagian besar mengaku tidak tahu.

Angka pengetahuan terhadap dongeng tertinggi ada pada kategori usia remaja dan dewasa
muda. 90% dari kategori usia dewasa muda (18 tahun ke atas) sanggup memberikan lebih dari 5
judul dan tahu isinya dengan baik serta dapat menceritakan kembali saat diminta. Usia remaja
(13-17 tahun) hanya 6 orang yang tidak bisa memberikan judul lebih dari tiga. Tingkat
pengetahuan mengenai isi cerita terbilang tinggi. Rata-rata jawaban yang didapat adalah judul
dongeng populer, meskipun ada beberapa juga yang menjawab judul-judul semi populer seperti
Roro Jonggrang, atau Legenda Gunung Tengger.

Kategori usia dewasa memiliki tingkat pengetahuan tinggi dalam dongeng. Persentase yang
hanya bisa menyebutkan judul kurang dari tiga 100% berasal dari kalangan dewasa muda (8
orang) dengan rentang usia 23-28 tahun. Sedangkan dewasa menengah ke atas (>28 tahun dan
senior) dapat menyebutkan lebih dari 5 judul dengan lancar dan mampu menceritakan kembali
saat diminta. Akan tetapi para senior (dewasa > 45 tahun) beberapa mengaku sudah mulai lupa
mengenai isi cerita pada saat ditanyakan. Judul yang saya dapat antara lain judul populer, dan
dari responden yang bukan berasal dari suku Sunda tetapi sudah berdiam lama di Bandung saya
mendapat beberapa judul lokal daerah lain seperti Si Anok Lumang, Legenda Batu Belah, Joko
Kendil, dan Si Malin Kundang

Untuk pertanyaan kedua, data yang saya dapat adalah sebagai berikut ;

Usia Responden Sering ( 5 kali
perminggu)
Jarang (< 3 kali
perminggu)
Tidak pernah.
7-12 tahun 18% 67% 15%
13-22 tahun 5% 73% 22%
>23 tahun 35% 50% 15%

Catatan: Kategori dongeng yang dimaksud bermacam-macam, tidak hanya dongeng tradisional
Indonesia, tetapi juga dongeng secara universal.
II-9
Untuk kategori anak-anak, 36 orang menjawab sering dibacakan dongeng oleh orang tua
mereka atau membaca sendiri buku dongeng yang dibelikan oleh orang tua mereka. 134 anak
mengaku jarang dengan faktor penyebabnya lebih suka menonton televisi di waktu luang. Dan
30 orang anak mengaku tidak pernah sama sekali dengan faktor penyebab kedua orang tua
bekerja.

Akan tetapi seratus persen anak-anak mengaku pernah dibelikan buku dongeng bergambar oleh
orang tuanya. Hanya saja kategori dongeng yang dibelikan adalah dongeng luar negeri seperti
HC Andersen, cerita pengantar tidur, atau cerita keluaran Disney. Hanya 3 orang (6%) yang
mengaku dibelikan buku dongeng tradisional Indonesia yang berjudul Si Kancil, atau
Sangkuriang. Waktu mereka dibacakan dongeng adalah pada saat hendak tidur, atau kapan saja
selama mereka meminta sendiri kepada orang tuanya.

Kategori remaja dan dewasa muda memiliki tingkat paling rendah dalam hal frekuensi
membaca atau membacakan dongeng. Hanya 5 orang yang mengaku senang membaca buku
cerita dengan frekuensi membaca lebih dari lima kali dalam seminggu. 73 orang responden
mengaku masih suka membaca buku dongeng atau buku cerita tapi dengan frekuensi tidak
terlalu tinggi atau jarang. Sedangkan sisanya (22 orang) mengaku tidak pernah membaca
dongeng sama sekali. Faktor penyebab yang umum dari rendahnya frekuensi membaca atau
membacakan dongeng antara lain karena merasa sudah tidak pantas membaca dongeng, lebih
suka menonton TV atau main internet, kesibukan sekolah / kuliah, dan tidak memiliki objek
(adik atau anak kecil) yang bisa dibacakan dongeng.

Untuk kategori usia dewasa, 24 orang yang terdiri dari orang tua muda yang memiliki anak kecil
usia sekolah dasar mengaku sering membacakan dongeng untuk anak-anak mereka. Sedangkan
34 orang yang terdiri dari orang tua usia menengah dan para senior mengaku jarang
membacakan dongeng untuk anak dan cucu mereka, sedangkan 10 orang lagi menjawab tidak
pernah. Faktor penyebabnya antara lain kesibukan dalam pekerjaan, lebih suka menonton TV,
jarang bertemu cucu (bagi para senior), dan (sedang) tidak memiliki objek untuk dibacakan
dongeng karena anak-anaknya sudah beranjak remaja.

Mengenai pertanyaan ketiga yaitu apakah mereka mengetahui dongeng Mundinglaya Di
Kusumah, saya mendapatkan hasil dengan penggambaran sebagai berikut
Usia Responden Ya Tidak Pernah dengar tapi lupa
7 -12 tahun 0 % 100% 0%
13- 22 tahun 2% 90% 8%
> 23 tahun 30% 20% 50%
II-10

Semua anak usia sekolah dasar yang ditanyai apakah mereka mengetahui dongeng Mundinglaya
Di Kusumah menjawab tidak tahu sama sekali. Mereka bahkan masih menjawab tidak tahu saat
ditanyai mengenai detail dongeng populer seperti Bawang Merah Bawang Putih, Si Malin
Kundang, atau Jaka Tarub. Mereka tahu bahwa cerita itu ada, mengenal judulnya dengan baik,
tetapi saat ditanyai lebih lanjut soal isi cerita, hanya beberapa orang yang bisa menceritakan
kembali, itupun hanya garis besarnya saja dan tidak sampai pada detail.

Pada remaja, hanya yang berusia di atas 18 tahun yang bisa menjawab tahu mengenai dongeng
Mundinglaya Di Kusumah. Hanya 2 orang yang bisa menceritakan kembali dongeng tersebut
dengan cukup baik, 8 orang mengaku pernah diceritakan dan pernah tahu tentang isinya tetapi
tidak dapat mengingat kembali apa yang diceritakan. Sisanya yang terdiri dari remaja awal
mengaku tidak tahu sama sekali

Yang cukup menarik adalah pada saat saya menanyakan kepada sejumlah orang tua. Pada orang
tua muda yang memiliki anak usia balita dan sekolah dasar, hampir semua menjawab tidak
tahu. Sedangkan pada orang tua yang memiliki anak usia remaja atau menjelang dewasa
menjawab tahu dan beberapa dari mereka masih bisa menceritakan ulang mengenai detail
dongeng tersebut meski sebagian besar mengaku lupa mengenai isi ceritanya sekalipun mereka
tahu dongengnya. Dan pada orang tua yang memiliki anak berusia dewasa (kalangan senior, dan
sudah memiliki cucu) sebagian besar mereka mengaku masih ingat dengan dongeng Mundinglaya
Di Kusumah dan masih dapat menceritakannya kembali dengan cukup detail .

2.2.2 Media
Media yang digunakan adalah komputer standar pada umumnya. Novel visual tidak memerlukan
kriteria khusus untuk menjalankan programnya selama komputer yang digunakan masih
memiliki keyboard dengan tombol enter dan memiliki speaker.

Perancangan programnya disesuaikan dengan komputer standar yang biasa digunakan anak usia
sekolah dasar untuk belajar di rumah. Dan penggunaannya juga disederhanakan sehingga bisa
diakses dengan mudah oleh anak-anak.

Untuk bisa dimainkan, syarat minimumnya, komputer yang dibutuhkan adalah Microsoft
Windows XP ke atas, prosesor Pentium III, dan 128 MB RAM.

II-11
Aplikasi ini bisa diterapkan pada laptop, PDA, PC, dengan basis Windows, Linux, dan Mac OS.
Juga bisa diterapkan pada beberapa perangkat lain seperti iPod 5G, Sony PSP, OS2/Warp, Net
BSD, Sony PS3, dan console DreamCast.

2.2.3 Analisis Program Sejenis
Berdasarkan survey on-site di toko buku besar di kota Bandung, saya menemukan beberapa
jenis program pendidikan anak yang dinamakan Edu-Games atau Edutaintment; yang ditujukan
untuk anak-anak mulai usia 5 tahun ke atas.

Jenis program yang dijual antara lain program pembelajaran baca tulis, permainan berbasis
petualangan, atau hanya berupa game arcade sederhana. Program edutaintment ini rata-rata
menggunakan tampilan sederhana dengan pemilihan warna yang cerah, sesuai dengan selera
anak-anak.

Program-program ini sudah banyak yang menggunakan sistem interaktif dalam permainan,
dimana anak-anak bisa meng-klik ikon (icon) atau wimba (image) tertentu untuk
menggerakkannya ataupun mendengarkan suara. Dan ada pula program yang mengajarkan
anak-anak mengenai cara membaca dan mengenal tulisan atau mengenal warna bagi anak usia
pra sekolah.

Contohnya adalah pada game Divine Edu dimana anak-anak bisa bermain sebagai superhero,
sambil belajar bahasa Inggris sekaligus belajar mengenali jenis-jenis buah dan warna.

Akan tetapi di antara semua jenis program yang ada, belum ditemukan adanya program
berbasis novel visual yang mengangkat cerita mengenai dongeng tradisional Indonesia. Sehingga
dapat dikatakan bahwa novel visual yang berjudul Mundinglaya Di Kusumah adalah hal yang
termasuk baru.
II-12

BAB II. Landasan Teori dan Data...................................................................................... 1
2.1 Pemahaman Dan Teori Dasar................................................................................... 1
2.1.1 Pengertian Folklor Dan Dongeng...................................................................... 1
2.1.2 Pengertian Novel Visual .................................................................................... 5
2.2 Data dan Analisis...................................................................................................... 7
2.2.1 Target Sasaran Dan Analisis Data Survey......................................................... 7
2.2.2 Media............................................................................................................... 10
2.2.3 Analisis Program Sejenis................................................................................. 11

Anda mungkin juga menyukai