Anda di halaman 1dari 23

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Folklor

Folklor tak luput dari sorotan para peneliti indonesia. Hal ini menjadi suatu

pertanda naiknya pamor mereka dalam kancah akademis. Kajian mengenai folklor,

sastra lisan, dan mitos sangat menarik untuk diuraikan karena bermanfaat bagi

dasar teori pengkajian sastra lisan di indonesia. Pengkajian teori folklor, sastra

lisan, dan mitos di indonesia dewasa ini masih memanfaatkan teori dari dunia Barat

(Rafiek, 2012:50).

Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran

unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya yang oleh orang

modern seringkali disebut takhyul itu terdiri atas pernyataan yang bersifat lisan

ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib. Bentuk-

bentuk folklor yang tergolong dalam kelompok besar ini, selain kepercayaan rakyat

adalah permainan rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-

lain.

Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun

cara membuatnya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi

dua subkelompok, yaitu yang material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk

folklor yang tergolong yang material antara lain arsitektur rakyat (bentuk rumah

asli daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat,

pakaian dan perhiasaan tubuh adat, makan dan minum rakyat dan obat-obatan

tradisional. Sedangkan yang termasuk yang bukan material antara lain gerak isyarat
11

tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya di

Jawa atau bunyi gendang untuk mengirim berita seperti yang dilakukan di Afrika),

dan musik rakyat (Rafiek, 2012:53).

Sastra lisan adalah karya yang penyebarannya disampaikan dari mulut ke

mulut secara turun temurun. Ciri-ciri sastra lisan itu adalah; (1) Lahir dari

masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional; (2)

Menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tak jelas siapa penciptanya;

(3) Lebih menekankan aspek khayalan, ada sindirian, jenaka, dan pesan mendidik;

(4) Sering melukiskan tradisi kolektif tertentu. Di samping itu, terdapat juga ciri-

ciri lain seperti; (1) Sastra lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan-

ungkapan klise; dan (2) Sastra lisan sering bersifat menggurui (Endraswara,

2006:151).

2.1.2. Sastra Lisan

Berbicara mengenai sastra tidak akan terlepas dari hasil kreativitas

masyarakat penghasilnya. Sastra yang merupakan hasil kebudayaan turun-temurun

suatu daerah mempunyai nilai-nilai luhur yang perlu dikembangkan dan

dimanfaatkan yang terkait dengan usaha menangkal efek negatif globalisasi. Sastra

adalah bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah

masyarakat (Jarkasi dalam Armina, 2013:18). Pemanfaatan bahasa dalam sastra

dapat dalam bentuk tulisan dan dapat pula dalam bentuk lisan.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sastra lisan adalah

salah satu gejala kebudayaan yang terdapat pada masyarakat. Ragamnya pun sangat
12

banyak dan masing-masing ragam mempunyai variasi yang banyak pula. Isinya

dapat berupa peristiwa yang terjadi atau kebudayaan pemilik sastra tersebut.

Dengan demikian, sastra lisan mengandung nilai-nilai budaya masyarakat

di mana sastra itu tumbuh dan berkembang. Nilai-nilai budaya yang dikandung

dalam sastra lisan adalah nilai-nilai budaya masa lampau yang dituturkan dari

mulut ke mulut. Sastra lisan merupakan gambaran kehidupan masa lampau,

cerminan nilai-nilai budaya pada masa lampau juga merupakan institusi dan kreasi

sosial yang menggunakan bahasa sebagai media (Shipley dalam Armina, 2013:20).

Artinya, sastra lisan adalah bagian khazanah pengungkapan dunia sastra tidak lepas

dari pengaruh nilai-nilai baru yang hidup dan berkembang pada masyarakat.

Banyak sastra tradisi lisan yang tidak lagi dikenal masyarakat, padahal bentuk ini

dipandang secara antropologis yang dibentuk oleh tradisi masyarakat. Ini berarti

pula bahwa terdapat nilai-nilai budaya yang pernah dianut oleh

masyarakat penciptanya.

2.1.3. Cerita Rakyat

a. Pengertian Cerita Rakyat

Cerita rakyat pada hakikatnya merupakan cerita lisan yang telah lama hidup

dan berkembang di kalangan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa cerita rakyat

adalah bagian dari kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki setiap bangsa. Cerita

rakyat menyebar dan berkembang secara lisan dari satu generasi ke generasi

berikutnya dalam suatu masyarakat. Sebuah cerita rakyat dianggap sebagai hasil

dari sastra rakyat atau masyarakat setempat, karena lahir di kalangan rakyat,
13

menjadi warisan suatu masyarakat, merujuk masa lampau, dan merupakan sebagian

dari kehidupan budaya masyarakat. Senada dengan itu, Fang (2013: 1) menyatakan,

“Folk literature is a literature that lives in the midst of the people.”

Danandjaja (1997: 2) mengemukakan bahwa cerita rakyat merupakan salah

satu bentuk folklor. Folklor itu sendiri adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif

yang tersebar dan diwariskan turun-temurun diantara macam kolektif apa saja

secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun

contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Sejalan dengan

pendapat di atas, Sikharulidze (2012: 91) mengatakan, “Folklore had been orally

created during centuries and orally transferred from generation to generation”,

yang artinya adalah folklor telah ada sejak masa lampau dan penyebarannya

dilakukan secara turun-temurun. Jadi, dari dua pendapat di atas dapat diketahui

bahwa cerita rakyat merupakan salah satu bentuk folklor yaitu folklor lisan.

Cerita rakyat biasanya diturunkan secara lisan dari satu generasi ke generasi

berikutnya. Dalam cerita rakyat tersimpan kearifan lokal dan aset budaya

masyarakat, sehingga kearifan lokal yang ada dalam cerita rakyat tersebut dapat

digunakan sebagai pembelajaran dari generasi ke generasi. Pendapat senada

tentang hal di atas juga dikemukakan oleh Bronner (2007: 56) yang menyatakan,

“The history of folklore studies reveals that folklorists in many different countries

have often been inspired by the desire to preserve their national heritage ”, yang

artinya sejarah kajian cerita rakyat mengungkapkan bahwa folkloris di berbagai

negara sering terinspirasi oleh keinginan untuk melestarikan warisan nasional

mereka.
14

Cerita rakyat diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi ke

generasi berikutnya dalam masyarakat tertentu. Tradisi lisan dalam cerita rakyat

merupakan bagian dari folklor, yaitu folklor lisan. Menilik dari pengertian tersebut,

jika dicermati pendapat itu benar adanya, karena semua tradisi lisan dalam cerita

rakyat memang merupakan bagian dari folklor. Lebih lanjut Ingemark (2007: 281)

menyatakan, “Taking the oral traditions constituting ancient folklore as a point of

departure, it is also possible to approach the social reality and mentality of the

period from a slightly different angle, which is why we choose to emphasise these

aspects in the present course”, yang artinya ialah dari tradisi mulut ke mulut, kita

bisa melihat kenyataan sosial dan mentalitas dari sebuah periode. Karena dari

tradisi lisan yang ada di dalam cerita rakyat dapat terungkap berbagai kreativitas

berbahasa untuk mewujudkan nilai-nilai yang ada dalam suatu masyarakat.

Cerita rakyat merupakan salah satu bagian folklor lisan yang dijumpai di

Indonesia. Pada mulanya, cerita rakyat hanya disampaikan secara lisan berupa bagian-

bagian cerita kepahlawanan yang digambarkan melalui wayang maupun bentuk

lainnya yang berupa pertunjukan. Cerita rakyat biasanya hidup atau pernah hidup

dalam suatu masyarakat. Cerita tersebut tersebar, berkembang, dan diturunkan secara

lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Cerita rakyat juga merupakan bagian

dari sastra daerah, yaitu sastra yang biasanya diungkapkan dengan bahasa daerah.

Misalnya, cerita rakyat dari daerah Jawa Tengah biasanya diceritakan dengan

menggunakan bahasa Jawa, begitu pula dengan cerita dari Bali, Papua, maupun Padang

pasti juga diceritakan dengan bahasa daerahnya masing-masing. Cerita rakyat tersebut

tentunya sangat digemari warga masyarakat karena dapat dijadikan sebagai suri

teladan, pelipur lara, bahkan bersifat jenaka. Oleh karena itu, cerita rakyat biasanya

mengandung ajaran budi pekerti dan hiburan bagi masyarakat.


15

Cerita rakyat disebarkan dari satu orang ke orang yang lain secara turun

temurun dan paling sedikit dua generasi. Cerita rakyat sangat digemari warga

masyarakat karena dapat dijadikan sebagai suri teladan, pelipur lara, bahkan

bersifat jenaka. Oleh karena itu, cerita rakyat biasanya mengandung ajaran budi

pekerti dan hiburan bagi masyarakat. Namun di era modernisasi ini, sudah banyak

cerita rakyat yang dibukukan.

b. Ciri Pengenal Cerita Rakyat

Dalam sebuah cerita rakyat tentunya memiliki ciri pengenal. Ciri pengenal

tersebut akan memudahkan kita untuk membedakan cerita rakyat dengan hal

lainnya. Selain itu juga akan mempermudah kita dalam mengetahui sesuatu yang

berkaitan dengan cerita rakyat. Endraswara (2010: 6) mengemukakan bahwa ada

sepuluh ciri pengenal utama yang membedakan cerita rakyat dari yang lainnya. Di

bawah ini akan dijelaskan secara lebih rinci mengenai kesembilan ciri pengenal

tersebut.

1) Disebarkan secara lisan, artinya dari mulut ke mulut, dari satu orang ke

orang yang lain, dan secara alamiah tanpa paksaan. Nilai-nilai tradisi amat

menonjol. Tradisi ditandai dengan keberulangan atau yang telah menjadi

kebiasaan.

2) Dapat bervariasi antara satu wilayah, namun hakikatnya sama. Variasi

disebabkan keragaman bahasa, bentuk, dan keinginan masing-masing

wilayah.
16

3) Pencipta dan perancangnya tidak jelas. Meskipun demikian, ada cerita

rakyat yang telah dibukukan, sehingga bagi yang kurang paham seolah-olah

pengumpulnya adalah penciptanya.

4) Cenderung memiliki formula atau rumus yang tetap, namun ada pula yang

bersifat lentur.

5) Mempunyai kegunaan dalam kehidupan suatu masyarakat, misalnya

sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes spasial, dan proyeksi keinginan

terpendam.

6) Bersifat pralogis, yaitu memiliki logika sendiri sehingga berbeda dengan

logika umum.

7) Menjadi milik bersama dari kolektif tertentu. Hal ini disebabkan karena

pencipta pertamanya sudah tidak diketahui lagi.

8) Umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali terlihat agak kasar.

9) Memiliki unsur humor dan wejangan.

Selain itu, Sumaryadi dan Wiharsih (tt: 13) menyebutkan bahwa ciri-ciri cerita

rakyat adalah sebagai berikut.

1) Cerita rakyat mengungkapkan secara sadar atau tidak bagaimana suatu

kolektif masyarakat berpikir, bertindak, berperilaku, dan memanifestasikan

berbagai sikap mental, pola pikir, tata nilai, dan mengabadikan hal-hal yang

dirasa penting oleh kolektif pendukungnya.


17

2) Cerita rakyat tidak berhenti manakala telah diterbitkan dalam bentuk

cetakan atau rekaman. Suatu cerita rakyat akan tetap memiliki identitasnya

selama tahu bahwa itu berasal dari peredaran lisan.

3) Cerita rakyat terdiri atas budaya, termasuk cerita, musik, tari, legenda,

sejarah lisan, peribahasa, lelucon, kepercayaan, adat, dan lain sebagainya.

Senada dengan pendapat di atas, Brunvand (Danandjaja, 1997: 2-3) juga

mengemukakan bahwa ciri-ciri cerita rakyat ada lima. Kelima ciri tersebut ialah

sebagai berikut.

1) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni

disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut. Namun, saat ini

penyebaran cerita rakyat dengan bantuan mesin cetak dan elektronik.

2) Cerita rakyat bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif

tetap atau dalam bentuk standar.

3) Cerita rakyat ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang

berbeda.

4) Bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi.

5) Cerita rakyat biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola.

Kemudian Carvalho-Neto (Danandjaja, 1997: 3) menambahkan ciri cerita rakyat

sebagai berikut ini.

1) Cerita rakyat mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama

suatu kolektif.
18

2) Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan

logika umum.

Danandjaja (1997: 3) juga menambahkan ciri-ciri cerita rakyat seperti yang tertulis

di bawah ini.

1) Cerita rakyat menjadi milik bersama dari kolektif tertentu, karena

penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga

setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.

2) Cerita rakyat pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga

seringkali terlihat kasar dan terlalu spontan.

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa cerita rakyat

mempunyai banyak ciri-ciri. Dikarenakan sebagai bagian dari folklor lisan, maka

penyebarannya dilakukan secara lisan, yaitu dari mulut ke mulut. Oleh sebab itu,

banyak cerita rakyat yang ceritanya dikurangi atau dilebih-lebihkan meskipun tidak

mengurangi esensi cerita. Selain itu, sumber utama yang menceritakan atau

menciptakan cerita rakyat tidak jelas, karena cerita rakyat telah ada sejak jaman

dahulu dan diwariskan secara turun-temurun. Namun saat ini banyak cerita rakyat

yang telah dibukukan, sehingga orang awam yang tidak tahu mengira bahwa

pengarang buku ialah sumber utama atau yang menciptakan cerita rakyat.
19

c. Fungsi Cerita Rakyat

Keberadaan cerita rakyat memang memiliki fungsi penuh bagi suatu

masyarakat. Selain sebagai media hiburan, cerita rakyat juga berfungsi sebagai

media pendidikan. Bascom (Danandjaja, 1997: 19) menyatakan bahwa cerita

rakyat mempunyai empat fungsi, yakni: (a) sebagai sistem proyeksi, yaitu sebagai

alat pencermin angan-angan kolektif; (b) sebagai pengesahan pranata-pranata

dalam kebudayaan; (c) sebagai alat pendidikan; dan (d) sebagai alat pemaksa dan

pengawas agar norma-norma yang ada di dalam masyarakat akan selalu dipahami

oleh anggota kolektifnya. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Hamidy (2003:

28) bahwa fungsi cerita rakyat adalah sebagai sarana pendidikan, harga diri, dan

sebagai hiburan atau pelipur lara. Berkaitan dengan hal di atas, Atmazaki (2007:

138) menyatakan bahwa fungsi cerita rakyat meliputi: (a) untuk mengekspresikan

gejolak jiwa dan renungannya tentang kehidupan oleh masyarakat terdahulu, (b)

untuk mengukuhkan solidaritas masyarakat, dan (c) digunakan untuk memuji raja,

pemimpin, dan orang atau benda yang dianggap suci, keramat, atau berwibawa oleh

kolektifnya.

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa cerita rakyat merupakan

bagian dari folklor yang berkembang di masa lalu dan diceritakan secara lisan dari

satu generasi ke generasi berikutnya. Karena diceritakan secara lisan, seringkali

mendapat beberapa variasi atau tambahan. Hal ini tergantung pada kemahiran

tukang cerita atau pawang cerita. Namun lambat laun, sudah banyak cerita rakyat

yang telah dibukukan. Sehingga, sering dijumpai cerita yang sama namun dalam

versi yang berbeda-beda. Keberadaan cerita rakyat juga memiliki fungsi penuh

dalam suatu masyarakat.


20

Munculnya Kungkum Sinden itu sendiri tentu tidak lepas dari sejarah yang

ada, yang menceritakan tentang kisah Sendang Made bermula dari pernikahan putri

Prabu Darmawangsa yang bernama Dewi Sekarwati dengan seorang pangeran dari

kerajaan Bali yang bernama Airlangga, namun kehidupan mereka tidak tenteram

karena diserang Prabu Wora Wari dari Tulungagung. Kelompok ini kemudian

diselamatkan oleh Prabu Narotama ke gunung Lawu dan berakhir di sebuah kolam

dengan ditemani lima orang wanita dayang-dayang. Sejak saat itu Sendang Made

berfungsi sebagai tempat menyepi atau meditasi Prabu Airlangga dan istrinya,

sambil dijaga banyak wanita dayang-dayang dan pasukan. Ini dilakukan setelah

mendapat serangan dari beberapa kerajaan tetangga. Lokasi kolam masih terjaga

dengan rapi dan alami. Beberapa bangunan di sekitar sendang juga masih terawat

dengan baik. Juga terdapat sebuah ruangan yang dipercaya sebagai tempat

peristirahatan Prabu Brawijaya dan bala tentaranya pada zamannya. Ada sisi unik

pengelolaan Sendang Made yang masih dipertahankan sampai sekarang. Yaitu ada

larangan untuk membangun atau merenovasi sebagian ataupun seluruh bangunan

yang ada di kompleks Sendang Made. Pantangan ini tetap berlaku sampai sekarang.

Entah apa maksud dan tujuannya. Sebagian orang berpendapat larangan tersebut

diberlakukan semata-mata untuk menjaga nilai historis Sendang Made yang sempat

menjadi tempat peristirahatan para raja di tanah Jawa.

Budaya masyarakat Jombang tidak lepas dari budaya Jawa yang

mengandung ajaran animisme dan dinamisme. Dalam kompleks Sendang Made

terdapat makam Dewi Pandansari yang konon masih ada keturunan dari Prabu

Brawijaya. Makam Dewi Pandansari inilah yang menjadi tempat pemujaan

sejumlah golongan orang. Pada hari-hari tertentu mereka membawa sesajen, bunga
21

dan kemenyan untuk ditaruh ke dalam makam. Maka dengan adanya sejarah

tersebut, tentunya dapat memberikan fungsi hiburan yang berupa tontonan Ludruk

yang sampai sekarang dapat kita lihat. Selain fungsi hiburan, Ludruk juga

memberikan fungsi pendidikan, khususnya dalam hal penanaman pendidikan budi

pekerti bagi siswa.

d. Struktur Cerita Rakyat

Salah satu cara memahami karya sastra adalah dengan pendekatan

strukturalisme. Strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia, terutama dalam

kaitannya dengan persepsi dan deskripsi struktur. Struktur sebagai kesatuan organis

pada dasarnya disusun atas tiga ide dasar, yaitu ide kemenyeluruhan (the idea of

wholeness) , ide transformasi (the idea of transformation),dan ide kaidah mandiri

(the idea of self regulation). Pendekatan struktural amat berhasil untuk mengupas

karya sastra atas dasar strukturnya. Namun, pendekatan ini baru merupakan kerja

pendahuluan, karena karya sastra merupakan bagian atau mata rantai sejarah sastra

dan sejarah bangsanya.

Sebuah karya sastra merupakan sebuah totalitas yang dibangun secara

koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Struktur karya sastra dapat

diartikan sebagai susunan penegasan, dan gambaran dari semua bahan dan bagian

yang menjadikan komponennya yang secara bersama membentuk suatu kebulatan

(Burham Nurgiyantoro, 2002: 36). Selain itu struktur karya sastra juga mengacu

pada pengertian hubungan antar unsur (instrinsik) yang bersifat timbal balik, saling
22

menentukan, saling mempengaruhi, dan bersama membentuk satu kesatuan yang

utuh.

Menurut pendapat Teeuw (2003: 112) makna unsur-unsur karya sastra

hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan

fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya sastra. Menurutnya tanpa dilakukan

analisis struktural , kebulatan makna instrinsik yang hanya dapat digali dari karya

itu sendiri tidak akan tertangkap. Untuk itu, analisis yang menjadi prioritas pertama

pada tahab awal adalah analisis struktur terhadap karya sastra. . Ditambahkan oleh

Zainuddin Fananie (2001: 76) bahwa sebuah karya sastra baru bisa disebut bernilai

apabila masing-masing unsur pembentuknya (unsur instrinsiknya) tercermin dalam

strukturnya, seperti tema, karakter, plot, setting, dan bahasa merupakan satu

kesatuan yang utuh.

Menurut Burham Nurgiantoro (2002: 37) strukturalisme dapat dipandang

sebagai salah satu pendekatan penelitian kesusasteraan yang menekankan pada

kajian hubungan antar unsur pembangun karya yang bersangkutan. Jadi,

strukturalisme dapat disamakan dengan pendekatan objektif.

Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi,

mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik yang

bersangkutan . mula-mula diidentifikasikan dan dideskrepsikan, misalnya tema,

plot, tokoh, latar, amanat, dan lain-lain. (Burhan Nurgiantoro, 2002: 37). Pada

dasarnya analisis bertujuan untuk memaparkan secermat mungkin fungsi dan

keterkaitan berbagai unsur karya sastra yang secara bersamaan menghasilkan

sebuah kebulatan.
23

Pendekatan struktural dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji,

dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur instrinsik. Kajian struktural

dilakukan agar setiap penelitian bersifat internal dan tidak mengabaikan elemen

yang ada. Dengan demikian, jika menganalisis karya sastra, dalam hal ini cerita

rakyat dengan pendekatan struktural, maka unsur-unsur pembangun itulah yang

menjadi objek utama. Hal tersebut merupakan ciri khas analisis struktural karena

dengan pendekatan ini karya sastra dapat dikupas secara detail sesuai dengan fungsi

sebuah unsur dalam cerita rakyat yang bersangkutan. Lebih lanjut dapat dilihat,

dipahami, dan dinilai kualitas karya sastra atas dasar tempat dan fungsi setiap unsur

yang ada.

Pendekatan strukturalisme tidak bertujuan memotong-motong sebuah karya

sastra menjadi bagian-bagian yang terpisah-pisah. Pendekatan struktural ditujukan

pada menyatunya antarunsur yang ada untuk memperoleh makna secara total. Jadi

kajian struktural sebagai titik tolak pengkajian karya sastra akan dihasilkan

keutuhan unsur pembangun sebagai penentu makna. Totalitas selalu dipegang

sehingga jalinan tiap-tiap unsur yang ada tetap terjaga.

Pendekatan strukturalisme merupakan kajian terhadap unsur pembentuk

karya sastra (unsur instrinsik) seperti tema, karakter, tokoh, plot, setting, dan

amanat yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Tujuannya adalah menyatunya

antarunsur yang ada untuk memperoleh makna secara total.

Struktur formal karya sastra adalah struktur yang terefleksi dalam suatu

teks. Karena itu, struktur formal karya sastra dapat disebut sebagai elemen atau

unsur-unsur yang membentuk karya sastra. Hal ini dapat diartikan bahwa kodrat
24

setiap unsur dalam sistem struktur itu baru mempunyai makna setelah berada dalam

hubungannya dengan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya (Zainuddin

Fananie , 2001: 83).

Cerita rakyat sebagai bagian dari karya sastra juga memiliki unsur-unsur

yang jalin menjalin sehingga mendukung secara keseluruhan cerita yang ada. Di

dalam cerita rakyat juga terdapat unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur-unsur

intrinsik yang dibahas meliputi : tema, penokohan, alur cerita, latar (setting), dan

amanat.

1. Tema

Untuk menentukan makna pokok sebuah cerita, diperlukan kejelasan

pengertian tentang makna pokok atau tema itu sendiri. Tema merupakan gagasan

dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam

teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau

perbedaan-perbedaan.

Tema adalah masalah hakiki manusia, seperti misalnya cinta kasih,

ketakutan, kabahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan, dan sebagainya (Herman J.

Waluyo, 2002: 142). Tema yang sama kadang-kadang ditulis oleh beberapa

pengarang. Ada pengarang yang menjadikan tema tersebut sebagai tema sentral,

tetapi ada juga pengarang yang menjadikannya sebagai subtema atau tema

sampingan saja.

Menurut Burhan Nurgiantoro (2002: 70) tema adalah dasar cerita atau

gagasan dasar umum sebuah karya sastra yang ditentukan pengarang sebelum

mengembangkan cerita. Sedangkan menurut Panuti Sudjiman (1990: 78) tema


25

adalah gagasan, ide, atau pikiran utama di dalam karya sastra yang terungkap atau

tidak.

Tema yang sering ditemukan dalam karya sastra, baik lisan maupun tertulis,

bersifat didaktis. Artinya, tema biasanya berisi pertentangan antara kebaikan dan

kejahatan. Tema-tema seperti itu dituangkan dalam karya sastra dalam bentuk

keadilan melawan ketidakadilan, kesabaran melawan ketamakan dan sebagainya.

2. Tokoh

Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan

dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Melani Budianta, Ida Sundari Husen,

Manneke Budianta, dan Ibnu Wahyudi, 2002 : 86). Istilah tokoh menunjuk pada

orangnya, pelaku cerita, sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran yang

jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

Walaupun tokoh cerita hanya merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia

haruslah merupakan seorang tokoh yang hidup secara wajar, sewajar sebagaimana

kehidupan manusia yang terdiri dari darah dan daging, yang mempunyai pikiran

dan perasaan. Kehidupan tokoh cerita adalah kehidupan dalam dunia fiksi, maka ia

haruslah bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntutan cerita dengan perwatakan

yang disandangnya.

Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai

pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan oleh pengarang

kepada pembaca. Keadaan ini justru sering (dapat) berakibat kurang


26

menguntungkan para tokoh cerita itu sendiri dilihat dari segi kewajaran dalam

bersikap dan bertindak.

Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang yang

menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain

(Burhan Nurgiantoro, 2002: 110). Kejelasan plot, kejelasan antarperistiwa yang

disahkan secara linear, akan mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita

yang dibacanya. Kejelasan plot dapat diartikan sebagai kejelasan cerita.

Kesederhanaan plot membuat cerita mudah dipahami. Sebaliknya, plot yang tidak

jelas akan menjadikan cerita sulit dipahami.

Plot merupakan jalinan cerita dari awal sampai akhir, berkesinambungan,

dinamis, serta memiliki hubungan kausalitas (sebab akibat). Plot berfungsi untuk

membaca kearah pemahaman secara rinci. Plot juga berfungsi untuk menyediakan

tahap-tahap tertentu bagi penulis untuk melanjutkan cerita berikutnya. Plot

memegang cerita sangat penting dalam cerita.

Herman J. Waluyo (2002: 147-148) membagi alur/plot sebuah cerita

menjadi enam tahapan yaitu: (1) paparan awal cerita (exposition), (2) mulai ada

problem (inciting moment), (3) penanjakan konflik (rising action), (4) konflik yang

semakin ruwet (complication), (5) konflik menurun (falling action), (6)

penyelesaian (denouement).

4. Latar (Setting)

Latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana

terjadinya lakuan dalam karya sastra. Deskripsi latar dapat bersifat fisik, realistis,

dokumenter dan dapat pula


27

berupa deskripsi perasaan (Melani Budianta, Ida Sundari Husen, Manneke

Budianta, dan Ibnu Wahyudi, 2002 : 86).

Sedangkan menurut Atar Semi (1993: 46), Setting ( latar atau landasan

tumpu) adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Yang dimaksud lingkungan di

sini adalah meliputi aspek tempat, waktu dan suasana. Pendapat yang sama

diungkapkan oleh Panuti Sudjiman (1990: 48) yang menyatakan bahwa setting atau

latar adalah segala keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya

lakuan dalam suatu karya sastra.

Menurut Herman J. Waluyo (2002: 198) bahwa latar (setting) cerita selalu

berkaitan dengan waktu dan tempat penceritaan. Misalnya siang dan malam, bulan,

tahun, dan sebagainya. Tempat penvceritaan dapat mengacu pada tempat terjadinya

cerita. Misalnya di sawah, di pantai, di gunung dan sebagainya.

Latar memberi pijakan cerita secara konkrit dan jelas. Hal ini penting untuk

memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang

seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. Dengan demikian, pembaca merasa

dipermudah untuk mengembangkan daya imajinasinya. Selain itu, pembaca

dimungkinkan dapat berperan serta secara kritis sehubungan dengan

pengetahuannya tentang latar.Pembaca dapat merasakan dan menilai kebenaran,

ketepatan, dan aktualisasi latar yang diceritakan sehingga merasa lebih akrab.

5. Amanat

Amanat merupakan pemecahan suatu tema. Di dalam amanat terlihat

pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Amanat dapat diungkapkan secara

eksplisit dan dapat juga secara implisit. Amanat berurusan dengan makna, yaitu
28

sesuatu yang khas, umum, subjektif, sehingga harus dilakukan dengan penafsiran.

Pendapat di atas menunjukkan bahwa amanat merupakan suatu hikmah dari

permasalahan hidup yang terkandung dalam cerita. Melalui amanat pengarang

ingin memberikan sesuatu yang positip, dan dari amanat tersebut diharapkan

pembaca akan bisa mengambil sesuatu manfaat dari cerita. Suatu amanat dikatakan

baik bila amanat tersebut berhasil membukakan kemungkinan-kemungkinan yang

luas dan baru bagi manusia dan kemanusiaan. Begitu juga dalam cerita prosa rakyat

terkandung amanat yang dapat dijadikan teladan oleh warga masyarakat yang

melingkupinya.

e. Cerita Rakyat dalam Pengajaran Sastra

Dalam karya sastra terdapat cerita rakyat yang mana cerita rakyat memiliki

fungsi dan kegunaan dalam pengajaran sastra. Cerita rakyat dapat dipakai untuk

menafsirkan dan memahami masalah-masalah dalam kehidupan nyata. Dengan

cerita rakyat dapat ditunjukkan bahwa karya sastra memiliki kedekatan dengan

kehidupan pada masa yang berbeda. Yaitu masa sekarang, dan masa yang akan

datang. Artinya, cerita rakyat sebagai salah satu bagian dari karya sastra perlu

dipandang sebagai sesuatu yang penting dan ditempatkan pada kedudukan

selayaknya. Cerita rakyat dapat dipilih sebagai bahan pengajaran sastra di sekolah.

Jika pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka pengajaran

sastra dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan

masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat.

Melalui cerita rakyat yang dipilih sebagai bahan pengajaran sastra di sekolah dapat
29

diketahui tradisi, budaya, perjuangan dan sejarah kehidupan pada masa lampau.

Dan hal-hal yang tersurat maupun tersirat dalam cerita rakyat tersebut dapat

diambil hikmahnya dan relevansinya sebagai alternative pemecahan masalah yang

ada pada saat ini. Melalui usaha pemahaman budaya dapat ditumbuhkan sikap dan

rasa bangga, percaya diri, dan rasa ikut memiliki pada anak didik. Usaha untuk

menanamkan budaya melalui pengajaran cerita rakyat ini juga dapat digunakan

untuk mengenalkan pribadi-pribadi dan para pemikir pada masa lalu. Anak didik

dapat mencontoh usaha, prinsip, ajaran, dan sikap para tokoh sehingga apa yang

diciptakan dapat hidup dari zaman ke zaman. Secara lebih mendasar dapat

dikatakan bahwa pengajaran sastra, yakni cerita rakyat, memiliki banyak manfaat

dan dapat membantu pendidikan secara utuh.

Suatu pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh manakala

cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan berbahasa,

meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan

menunjang pembentukan watak.

Melalui cerita rakyat, empat keterampilan berbahasa yang meliputi

menyimak, berbicara, membaca, dan menuIis dapat ditingkatkan melalui

pengajaran cerita rakyat sebagai materi pengajaran sastra. Dalam mempelajari

sebuah karya sastra temasuk cerita rakyat, secara otomatis anak didik akan selalu

dihadapkan pada empat keterampilan berbahasa ini. Anak didik dapat menyimak

cerita dari guru atau teman-temannya. Mereka juga dapat mengungkapkan kembali

isi ceritanya. Kegiatan membaca cerita rakyat di depan kelas dapat dijadikan usaha

untuk meningkatkan keterampilan membaca. Pada sisi lain mereka juga dapat

menuliskan kembali isi cerita dengan bahasa mereka sendiri.


30

Kebudayaan pada masa lampau dapat dipelajari melalui cerita rakyat.

Melalui cerita rakyat para siswa dapat menemukan budaya-budaya yang ada pada

masa lampau. Mereka dapat memahami, menyerap atau mengambil nilai-nilai

positifnya. Anak didik setidaknya juga dapat memahami kemampuan, usaha, dan

daya cipta, dan perasaan para pencipta cerita rakyat.

Hal-haI yang dilakukan para tokoh cerita yang ada dan peristiwa-peristiwa

yang ada dalam cerita rakyat dapat dijadikan inspirasi untuk membentuk dan

mengembangkan cipta dan rasa. Begitu pula dengan usaha untuk membentuk watak

anak didik. Setiap tokoh dalam cerita rakyat pasti memiliki sifat atau karakter.

Mereka dapat mencontoh atau meneladani sikap, perilaku, dan karakter yang baik

dari para tokoh yang ada dalam cerita rakyat. Dan uraian di atas dapat dikemukakan

bahwa pemilihan cerita sebagai bahan pengajaran sastra sangat tepat. Dalam hal ini

cerita rakyat dapat digunakan sebagai bahan pembinaan dan pengembangan

pengajaran apresiasi sastra Indonesia dan daerah di sekolah.

2.1.4. Mitos

a. Pengertian Mitos

Mitos merupakan suatu cerita yang memberikan pedoman atau arahan tertentu

kepada sekelompok orang. Cerita itu dapat ditularkan, dapat pula diungkapkan

lewat tari-tarian, asal-usul sebuah tempat, pementasan wayang dan sebagainya.

Mitos, menurut kamus istilah sastra adalah mite yang sengaja dikembangkan demi

pengesahan dan pengukuhan ideology, kekuasaan, dan kewibawaan. Misalnya,

silsilah raja melayu berasal dari Raja Iskandar Zulkarnain. J. Van Ball (dalam

Minsarwati, 2002) mengatakan bahwa mitos merupakan cerita di dalam kerangka


31

sistem religi yang di masa lalu atau masa kini telah atau sedang berlaku sebagai

kebenaran keagamaan.

Dari kesimpulan di atas dapat disimpulkan bahwa mitos merupakan sebuah

cerita rakyat, sejarah yang berupa mite yang dikembangkan, berhubungan dengan

bahasa yang diucapkan manusia yang diyakini dapat dijadikan sebagai pedoman

hidup dalam hukum sastra lisan yang mengatur perilaku hidup manusia.

b. Asal mula mitos

Mitos menjelaskan bagaimana asal-usul alam, pokok kehidupan manusia

dan tujuan manusia, yang akhirnya dengan mitos manusia dapat tahu apa tujuannya

dan bagaimana seharusnya bertingkah laku. Terdapat 4 penjelasan tentang

terjadinya asal usul dari mitos yaitu : euhemerisme (penafsiran historis), alegori,

personifikasi, dan teori mitos-ritual.

1) Mitos dalam Sejarah, Mitos adalah nenek moyang sejarah. Mitos berupaya

menceritakan

kejadian sejarah di masa lalu. Membedakan mitos dan sejarah hanya pada

dua titik singgung.

2) Mitos memiliki unsur waktu yang tidak jelas.

3) Mitos dianggap memuat kejadian yang tidak masuk akal, menurut sudut

pandang orang masa kini.

c. Ciri-ciri Mitos

Mitos kaya dengan peristiwa dan kejadian yang luar biasa, ganjil dan

aneh.masyarakat Melayu zaman silam mempercayai bahwa setiap kejadian luar


32

biasa, ganjil atau aneh mempunyai tujuan-tujuan atau alamat-alamat yang

tertentu. Hal ini, berlaku sebagai hasil daripada keakraban hubungan

masyaratkat dengan flora dan fauna sekeliling mereka.

d. Nilai mitos

Nilai mitos adalah cerita yang menggambarkan segala sesuatu yang

dipandang penting oleh seseorang atau suatu masyarakat. Nilai mitos mengarahkan

seseorang untuk berperilaku yang sesuai dengan budayanya. Nilai mitos biasanya

berlangsung lama dan sulit berubah. Nilai mitos juga dapat mempengaruhi sikap

seseorang yang kemudian sikap akan berpengaruh pada perilaku masyarakat (Rara

Sihat, 2011)

Anda mungkin juga menyukai