Anda di halaman 1dari 3

SASTRA LISAN SEBAGAI CERMIN PERADABAN

Herni Paembonan
(Staf Teknis Kantor Bahasa Provinsi Maluku)

Pada dasarnya sastra bagi masyarakat adalah kenyataan sehari-hari. Masyarakat


mengaktualisasikan dirinya melalui sastra. Bersastra, baik secara aktif maupun pasif dapat
memperluas cakrawala pandangan dan memperdalam sifat-sifat kemanusiaan. Sastra adalah
sesuatu yang dipandang realistik dalam kehidupan kita dan mengaktualisasikannya pada
dimensi-dimensi yang transenden.
Ilmu tentang sastra lisan merupakan bagian dari ilmu kebudayaan. Aspek kebudayaan
yang banyak memanfaatkan kata-kata atau istilah dalam hubugannya dengan bahasa adalah
sastra. Medium/media (tolong pilih salah satu yang lebih lazim utama sebuah sastra adalah
bahasa. Bahasa mengikat keseluruhan aspek kehidupan. Sastra lisan dalam masyarakat terikat
pada ekspresi kebudayaan estetis, metaforis, dan simbolis yang dilisankan melalui media bahasa.
Pelaku sastra lisan pada umumnya menghadirkan sastra dalam tuturan bahasa daerah
berdasarkan wilayahnya dan varian yang berbeda-beda. Mereka yang bersastra mengekspresikan
peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya seperti kelahiran, kehidupan, kematian, kesakitan,
ketakutan, kekhawatiran, kebahagiaan, dan sebagainya. Semua itu diungkapkan dengan bahasa
yang berwibawa, gerak yang simbolis, dan kesadaran partisipasi dengan totalitas.
Indonesia sebagai Negara kepulauan yang lazim dikenal dengna sebutan Nusantara,
pengetahuan tentang sastra lisan bukanlah hal yang baru. Seseorang yang masih memahami dan
mampu melakukan sastra lisan secara utuh di daerahnya daerahnya akan dipandang memiliki
kedudukan yang tinggi. Hal itu berangkat dari fakta bahwa sastra lisan di suatu daerah lebih
banyak dipahami oleh tetua-tetua adat. Generasi muda tidak lagi mengapresiasi sastra lisan di
daerahnya.
Sastra lisan dianggap sudah ketinggalan zaman. Pewarisan sastra lisan terhadap generasi muda
sudah jarang dilakukan.Walaupun anak-anak ada yang tahu tentang sastra lisan di daerahnya
tetapi sangat terbatas pada ‘sekadar tahu’. Ketika mereka diminta untuk melakonkannya, mereka
sudah tidak bisa. Hal itu juga dipengaruhi oleh kurangnya penguasaan terhadap bahasa
daerahnya. Bahkan, Ppelajaran tentang sastra di sekolah-sekolah hanya disisipikan pada mata
pelajaran Bbahasa Indonesia. Padahal,pPelestarian sastra lisan sebenarnya dapat dilakukan
melalui pelajaran muatan lokallocal. di sekolah-sekolah. Sayangnya, sudah jarang ditemui
sekolah yang memiliki pelajaran muatan lokal.
Yoseph Yapi Taum dalam bukunya yang berjudul Studi Sastra Lisan (2011) menjelaskan
bahwa sastra lisan atau oral literature adalah sekelompok teks yang disebarkan secara turun-
temurun secara lisan, yang secara instrinsik mengandung sarana-sarana kesusastraan dan
memiliki efek estetik dalam kaitannya dengan konteks moral maupun kultur dari sekelompok
masyarakat tertentu. Sastra lisan merupakan sebuah warisan kultural yang di dalamnya banyak
mengandung kearifan lokal. Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Endraswara dalam
bukunya Antropolgi Sastra Lisan (2018) yang menyampaikan bahwa sastra lisan merupakan
sekumpulan karya sastra atau teks-teks lisan yang disampaikan dengan cara lisan, atau
sekumpulan karya sastra yang bersifat dilisankan yang memuat hal-hal yang berbentuk
kebudayaan, sejarah, atau pun social masyarakat.
Sastra lisan sebagai ekspresi budaya memang tidak terbantahkan. Penelitian atau pun
kajian sastra lisan, tidak bisa dipisahkan dari aspek budaya. Sastra lisan yang disampaikan secara
turun-temurun dari mulut ke telinga dapat menghasilkan suatu budaya pada masyarakatnya. Oleh
Karena itu, sebagai peneliti atau pengkaji sastra lisan bertugas untuk menggali informasi budaya
sebanyak-banyaknya melalui sastra lisan. Kata budaya dalam bahasa Latin “cultura” berarti ada
budidaya yang di dalamnya ada usaha keras untuk mencapai sesuatu. Sastra lisan merupakan
dokumen budaya yang banyak memberikan ungkapan tentang usaha mencapai sesuatu hal.
Usaha itulah yang menciptakan sebuah peradaban.
William dalam Endraswara (2018) menulis bahwa “cultura” artinya merawat. Maksudnya
ialah merawat atau menjaga perilaku manusia agar semakin baik. Manusia akan merawat sikap
dan tindakannya sehingga menjadi manusia yang berbudi baik. Manusia yang mampu merawat
sikap dan perilakunya sehingga menjadi teladan, termasuk orang yang beradab. Peradaban
tersebut memuat kepercayaan, pengetahuan, moral, kebiasaan, dan kebiasaan lainnya yang
dilakukan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Sastra lisan sangat kaya. Kesadaran berbudaya dan nilai-nilai kearifan lokal yang
terkandung di dalamnya dapat menjadi sumber pendidikan karakter dan memberikan teladan
untuk saling menghargai perbedaan-perbedaan dari setiap budaya di suatu daerah sehingga
melahirkan peradaban yang baik. Nilai kearifan lokcal dalam sastra lisan melahirkan sebuah
peradaban. Jadi, Walaupun sastra lisan walaupun hanya sastra mulut, tetapi getarannya dapat
membangun peradaban. Peradaban itulah yang menciptakan bangsa yang tersebut menjadikan
bangsa yang bermanfaat dan bermartabat.
Apabila sastra lisan digali lebih dalam lagi, sastra lisan maka akan memantulkan sebuah
pancaran peradaban yang mencerahkan hidup. Sastra lisan akan selalu melekat dalam kehidupan
manusia sebagai kelisanan dasar. Kelisanan tersebut merupakan pantulan budaya original
manusia.
Sastra lisan memiliki kekuatan untuk memperbaharui opini masyarakat.
Sastra lisan sebagai cermin peradaban membutuhkan perhatian khusus dari berbagai
kalangan. Salah satu dari beberapa sastra lisan yang dimiliki Indonesia yang cukup
membanggakan ialah pantun. Suatu kehormatan luar biasa yang kita dapatkan di akhir tahun
2020, ketika pantun ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO di Paris,
Prancis.
Kita berharap kedepan sastra lisannnya akan lebih banyak lagi, sastra lisan yang bukan
hanya dikenal di Nusantara, tetapi juga populer di luar Nusantara.

Anda mungkin juga menyukai