Anda di halaman 1dari 120

MODUL

SASTRA LISAN
KODE MK SIN.D.04
TIM PENYUSUN

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA


FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PAMULANG
Jl. Surya Kencana No. Pamutang Barat, Tangerang Selatan, Banten
Telpon/Fax (021) 7412556

0
BAB I
TRADISI LISAN, SASTRA LISAN, DAN FOLKLOR

Kebudayaan di lndonesia merupakan hal yang tidak dapat lepas


dari tradisi. Tradisi itu sendiri bukanlah hal yang sudah selesai dan
berhenti, melainkan merupakan suatu hal yang masih ada dan terus
berkembang. Tradisi ini berkembang mengikuti arus perubahan sosial,
namun perubahan yangterjadi tidaklah melencengjauh dari akarnya.
Tradisi tetap menjadi seni tradisi bagi masyarakat setempat yang
mengalaminya.
Tradisi lisan telah berkembang di lndonesia sebelum masyarakat
lndonesia mengenal aksara. Tradisi lisan pada awalnya subur dan
berkembang di seluruh nusantara dan menjadi salah satu kekayaan
budaya masyrakat lndonesia. Setelah aksara masuk ke nusantara, tradisi
lisan tidak hilang, tetapi berkembang beriringan dengan tradisi tulisan.
Tradisi lisan menurut B.H. Hoed adalah berbagai pengetahuan dan
adat kebiasaan yang secara turun-temurun disampaikan secara lisan yang
mencakup tidak hanya cerita rakyat, mitos, dan legenda, tetapi juga
dilengkapi dengan sejarah, hukum adat, dan pengobatan. Hal-hat yang
terkandung dalam suatu tradisi lisan adalah hal-hal yang terlahir dan
mentradisi dalam suatu masyarakat yang merupakan warisan nenek
moyang. Pada dasarnya, suatu tradisi dapat disebut sebagai tradisi lisan
jika tradisi tersebut dikatakan (oleh penutur) dan didengar (oleh
penonton).
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam tradisi lisan adalah
sastra, antropologi, dan sejarah. Tradisi lisan tentu tidak akan lepas dari
sastra. Tradisi lisan juga erat kaitannya dengan antropologi karena
berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan di suatu daerah.
Tradisi lisan juga tidak dapat lepas dari sejarah karena tradisi merupakan
hal yang diwariskan secara turun temurun. ltu berarti tradisi lisan tentu
berhubungan dengan masa lalu atau sejarah suatu daerah.

1
Sastra lisan merupakan salah satu bagian dari tradisi lisan. Sastra
lisan disebarkan dari satu orang ke orang lain secara lisan kemudian
prosesnya dilihat, didengar, kemudian dilisankan kembali. Jadi, yang
dilihat dalam tradisi lisan adalah proses dan hasil melisankan.
Orang-orang sering salah paham mengira teknik lisan sebagai
sastra Lisan. Teknik lisan dilakukan saat musikalisasi puisi atau
pembacaan puisi. Teknik lisan tidak mernengaruhi proses penciptaan-
dalam hal ini, misalnya, musikalisasi puisi-saat ditampilkan. Saat
ditampilkan, proses penciptaan sudah selesai sehingga penonton atau
pendengar tidak dapat memengaruhi proses penciptaan. Teknik lisan
adalah salah satu contoh sastra yang dilisankan, seperti orang yang
mendongeng dan orang yang berpantun.
Selain tradisi lisan dan sastra lisan, satu lagi bidang yang
berhubungan dengan kelisanan adalah folklor. Dalam KBBI Edisi
Keempat, folklor adalah adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yg
diwariskan secara turun-temurun, tetapi tidak dibukukan. Pengertian
kedua adalah ilmu adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yg tidak
dibukukan. Menurut Dundles, folktor adalah kebudayaan yang diturunkan
secara turun temurun oleh sekelompok masyarakat atau dalam suatu
komunitas yang kolektif. lni berkaitan dengan pengertian folk yang berarti
komunitas yang kolektif dan lore yang berarti tradisi yang diturunkan
secara turun temurun.
Ciri-ciri folklor adalah anonim, berkembang dari versi yang
berbeda-beda, dan mewakili suatu kelompok masyarakat tertentu. Fungsi
folklor adalah sebagai hiburan, media penyampaian nilai-nilai sosial, dan
representasi masyarakat atau proyeksi dari keinginan masyarakat. Selain
itu, fungsi folklore lainnya adalah menyebarkan ajaran atau pranata
kebudayaan dan alat penguasa untuk memaksakan aturan-aturan masuk
dan diterima ke dalam masyarakat.
Untuk membedakan tradisi lisan, sastra lisan, dan folklor secara
jelas, sebaiknya kita metihat contohnya. Karena sastra lisan adalah

2
bagian dari tradisi lisan, semua yang kita sebut sastra lisan pasti juga
merupakan tradisi lisan. Didong adalah sastra lisan karena disebarkan dari
satu orang ke orang lain secara lisan dan proses pembuatan atau proses
kreatifnya didengar dan dilihat oleh penontonnya. Jadi, Didongjuga
merupakan tradisi lisan.
Perlu ditekankan kembali bahwa tidak semua yang termasuk ke
dalam tradisi lisan merupakan sastra lisan. Di Dalam tradisi lisan juga
terdapat dongeng, mitos, dan lain-lain yang tidak dapat dikategorikan ke
dalam sastra lisan karena proses kreatifnya tidak disaksikan langsung
oleh penonton. Dalam hal ini, yang masih menjadi pertanyaan saya
adalah apakah folklor juga termasuk ke Dalam tradisi lisan? Pertanyaan
tersebut muncul karena dalam pengertian folklor menurut Dundles tidak
disebutkan mengenai tradisi yang dilisankan. Dengan kata lain, saya
menangkap bahwa di dalam folkior tidak hanya terdapat tradisi dalam
bentuk lisan tetapi juga tradisi Dalam bentuk tulisan.
Di dalam folklor terdapat tarian, permainan, dan lain-lain yang
seluruhnya bersifat tradisional. Saya akan mengambil contoh wayang.
Wayang berkembang sangat pesat di Jawa. Walaupun cerita yang
diangkat berasal dari lndia-Ramayana dan Mahabharata-isi ceritanya
disesuaikan dengan masyarakat Jawa sehingga muncullah tokoh
Punakawan. Saya memasukkan wayang ke dalam salah satu contoh
folklor karena wayang mewakili suatu kelompck masyarakat tertentu,
dalam hat ini masyarakat Jawa. Akan tetapi, sebenarnyawayarrg-mewakii
kelompok masyarakat yang lebih kecil lagi karena wayang di daerah
Surakarta dengan wayang di daerah Sunda memiliki perbedaan. Tokoh
Cepot hanya terdapat di dalam wayang daerah Sunda.
Di samping itu, fungsi wayang adalah sebagai hiburan dan media
penyampaian nilai-nilai sosial. Tokoh Punakawan yang hanya terdapat di
wayang Jawa juga merupakan salah satu fungsi folklor sebagai proyeksi
dari keinginan masyarakat karena tokoh Punakawan sangat khas dengan
masyarakat Jawa. Tokoh Semar yang digambarkan sebagai rakyat jelata

3
sekaligus dewa dari segala dewa merupakan gambaran dari keinginan
masyarakat Jawa yang mayoritas merupakan kalangan menengah ke
bawah. Secara tidak langsung, masyarakat jawa ingin menunjukkan
bahwa rakyat jelata dapat mengalahkan penguasa mana pun.
lnilah sedikit pengertian dan contoh yang dapat menjadi pembeda
dalam tradisi lisan, sastra lisan dan folklor. Untuk dapat membedakan
ketiganya lebih jauh, tentu dibutuhkan lebih banyak contoh dan sumber
tertulis. Secara singkat, hal yang membedakan sastra lisan dari tradisi
lisan adalah bahwa sastra lisan dilisankan dan proses kreatif dan
pelisanannya dilihat oleh penontonnya, sedangkan folklor mencakup tidak
hanya lisan, tetapi juga tulisan. Di dalam tradisi lisan terdapat sastra lisan.
Mengenai apakah folklor juga termasuk di dalam tradisi lisan masih perlu
dilakukan pencarian sumber lebih lanjut.

Kerangka Studi Sastra Lisan di lndonesia


Patut diakui bahwa kesadaran untuk memahami sastra dan
kebudayaan lisan merupakan perkembangan yang relatif baru, termasuk
juga di dunia Barat (Sweeney, 1987: 279). llmuwan abad ke-19 kurang
memahami kebudayaan lisan itu. Teks lisan misalnya, dipandang sebagai
tulisan yang tidak tertulis (unwritten writing) yang kemudian ditulis, dan
pada akhirnya mencapai bentuk standar yakni prosa atau puisi tulisan
yang gramatik. Tradisi Lisan dipandang sebagai produk non-baku.
Hambatan-hambatan keilmuan yang di ungkapkan di atas
sesungguhnya merupakan wacana Barat yang bersifat teoritis dan bahkan
artifisial untuk situasi sastra di lndonesia. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Milman Parry, Albert B. Lord, Amin Sweeney, dan Walterj.
Ong, Teeuw (1988a: 304-310;454-456) menyimpulkan secara
meyakinkan, bahwa khusus untuk teori sastra lndonesia tidak perlu dan
tidak baik diadakan pemisahan antara sastra lisan dan sastra tulis.
Menurut Teeuw, penggabungan sastra lisan dan sastra tulisan
dalam suatu kerangka teori saja justru merupakan hal yang penting dan

4
perlu dijadian frame of reference dalam memahami sastra se-Indonesia.
Ada empat faktor utama yang mendasari kesimpulan Teeuw tersebut di
atas. Keempat faktor itu adalah:
1. Ada kesamaan hakiki dalam struktur dan motif antara sastra lisan dan
sastra tulisan, sebagaimana tampak dalam Penelitian Manssers atas
penyebaran motif Panji. Selain itu Penelitian Fox pun menunjukkan
kesamaan struktur antara cerita geneatogik lisan Roti dengan teks
tulis seperti Sejarah Melayu, Pararaton, di Jawa dan Bali. Menurut
Teeuw, prinsip Bhineka Tunggal lka berlaku pula untuk sastra.
2. Prinsip variasi sebagai hal yang essensial dalam sastra tisan, ternyata
retevan pula untuk sastra tulis di Indonesia. Penelitian filologi
membuktikan, bahwa tradisi penurunan naskah di tndonesia selalu
memperlihatkan perbedaan variasi yang besar sekali. Kiranya ada
persamaan gaya antara tukang cerita dengan gaya penyalin naskah,
bahkan juga dengan gaya penyunting, penyadur, dan tukang set
dalam bidang tekstologi buku.
3. Ada kaitan antara sastra lisan dan sastra tulis dalam fungsi sastra
sebagai performing art. Sastra tulis di lndonesia ternyata berfungsi
dalam situasi sosiat (guyub), dan sering secara normal dibacakan
bersama, dengan segala konsekuensi untuk teknik, struktur dan
fungsinya. Penelitian sastra yang tidak memper-hitungkan unsur ini
mungkin sekali akan keliru dalam memahami sastra tulis secara baik.
Dalam hal edisi teks, H. Kern mengatakan bahwa norma terpenting
adalah jumlah suku kata, sehingga proses pemugarannya harus
mengikuti standar jumlah suku kata dan matra.
4. Dalam sastra lndonesia modern, ternyata fungsi sastra sebagai
performing art masih menduduki peranan yang penting. Aspek
improvisasi dalam penulisan dan pementasan, di samping
menggejalanya kebiasaan poetry readings menunjukkan hal tersebut
(Teeuw, 1988a: 304-310).

5
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa untuk situasi
sastra di lndonesia tidak diPerlukan kerangka teori khas sastra lisan.
Pembedaannya bahkan akan membawa akibat negatif dalam memahami
hakikat sastra lndonesia.
Kesimpulan ini diperkuat lagi oleh pandangan Teeuw lainnya.
Berdasarkan berbagai studi terhadap kesusastraan lndonesia selama ini,
Teeuw (1988a: 304-310; 1988b: 454-456) mengemukakan bahwa
kebudayaan yang kini hidup di lndonesia adalah campuran antara
kebudayaan lisan primer, kebudayaan tulisan, dan kebudayaan lisan
sekunder. Dalam situasi kebudayaan seperti ini, aspek kebudayaan lisan
primer dalam bentuk pemikiran-pemikiran formulaik masih dipergunakan
dalam berbagai situasi. lronisnya, dalam bidang penulisan pun, aspek-
aspek kebudayaan lisan primer masih dipergunakan.
Penelitian-penelitian filologi antara lain menghasilkan kesimpulan,
bahwa berbagai bentuk folklor berkaitan erat dengan formula dan gaya
penulisan dalam manuskrip-manuskrip. Pertemuan sastra lisan dan sastra
tulisan (manuskrip dan buku) dalam lingkup budaya Nusantara sudah
tercermin dalam berbagai studi fitologi dan sastra umum.

6
BAB II
SASTRA LISAN DAN SASTRA TULISAN

Dalam khazanah kesusastraan lndonesia terdapat dua


penggolongan besar sastra, yaitu sastra lisan dan sastra tulisan. Baik
sastra lisan maupun sastra tulisan mempunyai peranan penting dalam
sejarah perkembangan kesusastraan Indonesia.

a. Sastra Lisan
Dalam khazanah kesusastraan Melayu kuno tradisi sastra lisan
baik syair maupun prosa merupakan kekhasan corak tersendiri yang
memiliki retasi lajur sejarah yang. cukup panjang. Satu pengaruh
tradisi cina yang masuk melalui jaiur perdagangan kemudian pengaruh
lndia atau Hindu-Budha yang saat itu merupakan agama yang dianut
sebagian besar kerajaan-kerajaan di Indonesia. Ditambah dengan
sumbangan kebudayaan Arab-lslam yang dibawa oleh para musafir.
Ketiga tradisi yang berbeda-beda tersebut tentunya sangat mewarnai
sejarah perkembangan sastra di Indonesia khususnya sastra lisan.
Dalam perjalanannya sastra lisan menemukan tempat dan
bentuknya masing-masing di tiap-tiap daerah pada ruang etnik dan
suku yang mengusung flok budaya dan adat yang berbeda-beda.
Heddy Shri Ahimsya-Putra (1966) mengatakan bahwa sebagai suatu
bentuk ekspresi budaya masyarakat pemiliknya, sastra lisan tidak
hanya mengandung unsur keindahan (estetik) tetapi juga mengandung
berbagai informasi nilai-nilai kebudayaan tradisi yang bersangkutan.
Oleh karenanya, sebagai salah satu data budaya sastra lisan dapat
dianggap sebagai pintu untuk memahami salah satu atau mungkin
keseluruhan unsur kebudayaan yang bersangkutan.
Sastra lisan telah bertahan cukup lama dalam mengiringi
sejarah bangsa tndonesia dan menjadi semacam ekspresi estetik tiap-
tiap daerah dan suku yang tersebar di seluruh nusantara. Namun,

7
seiring dengan perkembangan zaman, dalam khazanah kesusastraan
modern lndonesia baik dalam ekspresi proses verbal kesastrawanan
maupun dalam kajian, sastra tulisan lebih mendimonasi. Hal ini mulai
berkembang ketika muncul anggapan bahwa sastra tulis mempunyai
nilai yang lebih tinggidibanding sastra lisan dalam konteks
pembangunan kepribadian bangsa yang lebih maju. Ditambah lagi oleh
arus modernisasi yang masuk dan membawa corak kebudayaan baru,
maka posisi sastra lisan dalam masyarakat mulai pudar
bahkanhampirdilupakan.

b. Sastra Tulisan
Sastra tulisan (written /iterature)yaitu sastra yang menggunakan
rnedia tulisan atau literat. Menurut Sulastin Sutrisno (1985) awal
sejarah sastra tulis melayu bisa dirunut sejak abad ke-7 M.
Berdasarkan penemuan prasasti bertuliskan huruf Pallawa peninggalan
kerajaan Sriwijawa di Kedukan Bukit (683) Tatang Tuo (684) Kota
Kapur (686) dan Karang Berahi (686). Waiaupun tulisan pada prasasti-
prasati tersebut masih pendek-pendek, tetapi prasasti-prasasti yang
merupakan benda peninggalan sejarah itu dapat disebut sebagai cikal
bakal lahirnya tradisi menulis atau sebuah bahasa yang dituangkan
dalam bentuk tulisan.
Sastra tulis dianggap sebagai ciri sastra modern karena bahasa
tulisan dianggap sebagai refieksi peradaban masyarakat yang lebih
maju. Menurut Ayu Sutarto (2004) dan Daniel Dakhidae (1996) tradisi
sastra lisan menjadi penghambat bagi kemajuan bangsa. Maka, tradisi
lisan harus diubah menjadi tradisi menulis. Karena budaya tulis-menulis
selalu identik dengan kemajuan peradaban keilmuan. Pendapat ini
mungkin tidak keliru. Tapi, bukan berarti kita dengan begitu saja
mengabaikan atau bahkan meninggalkan tradisi sastra lisan yang
sudah mengakar dan menjadi identitas kultural masing-masing suku
dan daerah di seluruh kepulauan lndonesia.

8
Pada akhirnya, proses pergeseran dari tradisi sastra lisan
menuju sastra tulisan tidak dapat dihindari. Karena sadar atau tidak,
bagaimanapun proses Pertumbuhan sastra akan mengarah dan
berusaha menemukan bentuk yang lebih maju dan lebih sempurna
sebagaimana terjadi pada bidang yang tainnya. Karena proses
perubahanseperti ini merupakan sebuah keniscayaan terutama dalam
struktur masyarakat yang dinamis.
Belum ditemukan data yang pasti, yang menunjukan kapan
tepatnya tradisi sastra tulis dimulai. Sastra tulis yang tercarat dalam
sejarah kesusastraan lndonesia-mungkin bisa dikatakan dimulai sejak
sebelum abad ke-20, yaitu pada periode Pujangga Lama. Dan,
kemudian mulai menunjukan wujudnya yang lebih nyata pada periode
Balai Pustaka yang bisa disebut sebagai tonggak perkembangan
sejarah kesusastraan modern lndonesia. Dimana dengan lahirnya
penerbit pertama di lndonesia ini,bidang kesusastraan mulai
dikembangkan secara lebih terorganisir. Dan, pada periode berikutnya,
terus berkembang secara lebih luas.

c. Kedudukan Sastra Lisan dan Sastra Tulisan


Sejatinya baik sastra lisan maupun tulisan masing-masing
mempunyai kedudukan yang sama-sama penting dalam perkembangan
sastra di lndonesia. Walaupun pada kenyataannya sastra lisan sering
kali dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembanfan zaman.
Tapi, seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa sastra lisan
mempunyai akar yang berkaitan erat dengan sejarah bangsa lndonedia
baik aspek sosio-kultural, moral, religi hingga aspek politik.
Jadi, pada dasarnya dua bentuk sastra ini tidak bisa dipisahkan
satu sama lain sebagaimana dalam konsepsi A. Theeuw (1983) bahwa
dari segi sejarah maupun tipologi adalah tidak baik jika dilakukan
pemisahan antara sastra lisan dan sastra tulis. Keduanya harus
dipandang sebagai kesatuan dan keseluruhan sehingga tidak boleh

9
lebih mengutamakan satu dari pada yang lain. Sebaliknya, dua jenis
karya sastra ini seyogianya saling mendukung dan melengkapi untuk
lebih memperkaya khazanah kesusastraan bangsa. Karena pada
hakikatnya sastra Iisan merupakan sumber utama bagi penciptaan
sastra tulisan sebagaimana sastra lama merupakan penunjang lahirnya
sastra modern.
Dalamteori sastra masalah sistem konvensi seringkali dipandang
sebagai salah satu masalah pokok, sebab sistem konvensi sastra
sangatlah menentukan kemungkinan identifikasi, pengenalan dan
pemberian makna oleh pembaca. Jelaslah di sini peranan atau fungsi
sistem konvensi sastra yang merupakan alat yang memhataskan dan
mengarahkan kemungkinan pemberian makna yang sesuai terhadap
sebuah karya sastra (Teeuw, 1983: 20-21). ltu pula sebabnya mengapa
Rene Wellek menyebut jenis sastra sebagai Iernbaga sastra yang
memaksa sastrawan mematuhi hukum-hukum yangtelah ditentukan.
Mukarovsky (1978: 5) mengungkapkan bahwa setiap karya seni,
bagaimanapun originalnya, tetap menjadi bagian arus kesinambungan
sepanjang masa. Tidak ada karya seni yang bukan bagian dari arus ini,
sekalipun ada karya seni yang kelihatannya agak sukar diperhitungkan
hubungannya dengan arus kesinambungan tersebut.
Konvensi-konvensi sastra tidak pernah kaku dan statis
melainkan selalu dalam proses perubahan,dan pengembangan.
Perubahan dapat terjadi secara internal, karena keinginan mencari
pengucapan baru, menciptakan kejutan baru; tetapi juga yang bersifat
eksternal, yakni disebabkan oleh perubahan sosial, intelektual, dan
perubahan budaya lainnya (Wellek, 1989: 361). Perubahan-perubahan
ini sesuai dengan hakikat pelembagaan sebuah genre sastra, yang
berproses secara lamban untuk menjadi genre yang official (Guillen,
1971:125). Maksudnya, genre tersebut mendapat sambutan dari
masyarakat sastra. Jika sambutan ini diberikan makajenis itu telah
mendudukiarus utama tradisi sastra, menjadi inner circle. Jika tidak,

10
makaia berada di lingkaran luarsebagai arus pinggiran yangtidak
pernah berhasil masuk ke lingkaran inti.
Dari ikhtisar mengenai, puisi, cerpen dan novel di atas, kita
dapat melihat Perkembangan arus kesusastraan lndonesia modern
dalam kaitan dengan sastra lisan dan sastra daerah sebagai berikut.
1. Adaptasi khazanah puisi lisan dalam puisi lndonesia modern terasa
Iebih dinamis dan prospektif. Bahkan sastra lisan dalam bentuk
aslinya dapat menjadi wadah untuk mengekspresikan jiwa
kebudayaan lndonesia baru. HaI itu terlihat, misalnya dalam
KodaKnalan masyarakat Lamaholot (Flores Timur), Bini di Pulau
Rote dan Wor dalam masyarakat Biak. Kehidupan pujsi Indonesia
modern akan lebih bhineka tunggal ikajika berbagai tradisi puisi lisan
Nusantara Iainnya dikaji dan dipergunakan sebagai idiom atau
sumber inspirasi bagi para seniman Indonesia.
2. Dalam bidang cerpen, tampak bahwa tradisi Penuturan cerpen yang
berakar dari khasanah sastra tradisional lndonesia yang bercirikan
jujur, segar, jernih, optimistis dan sederhana tidak memasuki arus
utama penulisan cerpen lndonesia modern, tidak menjadi official. Di
Iain pihak, tampak bahwa Perkembangan cerpen dalam sastra
Indonesia modern lebih cepat, dan lebih gampang pula menerima
kebaruankebaruan yang asing.
3. Berbeda dengan cerpen, Perkembangan novel lndonesia
moderntampaknya berjalan lebih Iamban. Dalam hal teknik, sampai
sekarang,jenis novel yangmemasuki inner circle hanyalah novel
yang berceritadengan teknik plotnya yang menarik. Arus utama
novel lndonesiamasih bertahan dalam konvensi tradisional dan
sukar menerima kebaruan-kebaruan yang asing,yang tidak berasal
dari konvensinya sendiri. ltulah sebabnya novel-novel absurd seperti
karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Budi Darma dan Danarto tetap
berada di luar lingkaran pernovelan lndonesia. Sebaliknya novel-
novel pop bisa memasuki Iingkarari dalam.

11
Melihat perkembangan yang demikian,saya menyimpulkan
bahwa untuk sebagian, sastra lisan telah dipergunakan sebagai idiom
atau sumber inspirasi bagi para seniman Indonesia dalam menciptakan
kesusastraan lndonesia modern. Dengan berakhirnya era Orde Baru,
maka reformasi di bidang politik kebudayaan pun harus dilaksanakan.
Yang diperlukan sekarang adalah redefinisi clan reorientasi
kebudayaan nasional agar lebih mencakup dan lebih apresiatif
terhadap sastra lisan dan sastra daerah. Dengan demikian, dalam
beberapa tahun mendatang khazanah sastra lisan dan sastraNusantara
dapat memasuki inner circle, memasuki lingkaran inti sastra lndonesia
modern, dan lebih mencerminkan falsafah bhineka tunggal ika.
HaI itu akan terjadi apabila sastra lisan dan sastra daerah tidak
clipandang sebagai ancaman atau tandingan terhadap sastra nasional.
Sebaliknya sastra lndonesia modern perlu dipandang sebagai jawaban
kolektif yang diberikan kepada perubahan-perubahan yang terjadi di
sekitar kita, dan sastra lisan perlu diakui sebagai salah satu wadah
pengungkap semangat manusia lndonesia baru.
Pemerintah lndonesia perlu mempunyai suatu kebijaksanaan
yang memberikan dorongan atas upaya inventarisasi, perekaman,
penerjemahan, dokumentasi dan penerbitan sastra lisan dan daerah
secara teratur dan sistematis dan terencana. Upaya-upaya sejak awal
tahun 1990-an melalui Asosiasj Tradisi Lisan Nusantara (ATL) berupa
inventarisasi, dokumentasi, dan penerbitan sastra lisan memang sudah
memberi sumbangan yang berarti bagi penulisan sastra lndonesia
modern di masa depan. Selain itu, pengajaran sastra di sekolah-
sekolah formal melalui muatan lokal perlu melibatkan materi sastra
lisan dan sastra daerah. Untuk itu perlu direncanakan secara Iebih
serius dan sistematis, mulai dari seleksi materi, penyusunan materi
pelajaran maupun dalam cara mengajarkannya.

12
Dengan menempatkan sastra Iisan sebagai sebuah ekspresi
fundamentaI dalam mengkristalisasikan pengalaman-pengalaman
kemanusiaan (bdk. pandangan Lefevere, 1977 tentang sastra sebagai
existential knowledge, studi sastra lisan dalam rangka ilmu sastra dapat
mengungkapkan berbagai segi kemanusiaan secara memadai.

13
BAB III
SASTRA LISAN PADA MASA KINI: SEKILAS PANDANG
Yohanes Manhitu

Barangkali pembaca akan bertanya, apakah masih relevan


membicarakan sesuatu yang berlabel daerah, seperti sastra lisan, pada
zaman semodern ini. Masih relevankah sastra lisan (yang merupakan
bagian dari sastra daerah) dalam alam modern ketika orang-orang
seakan-akan sedang berlomba-lomba memberi label internasional kepada
hampir segala sesuatu (mulai dari terasi hingga sekolah)? Boleh jadi
mengutak-atik hal-hal yang berbau daerah dianggap sama dengan mudik
ke dusun terpencil karena-urusan mendesak setelah bertahun-tahun
menetap di kota besar yang berfasilitas serba luks. Tulisan ini hanya
mengulas sekilas tentang pengamatan penulis terhadap situasi sastra
lisan hari ini.

Definisi Sastra Lisan


Menurut Prof. Dr. Chairil Effendy, M.S, Guru Besar Ilmu Sastra
pada Fakultas Keguruan dan llmu Pendidikan (FKIP) Universitas
Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat, sastra lisan merupakan fakta
mental yang menggambarkan mimpi-mimpi, cita-cita, aspirasi, keinginan,
harapan, keluh-kesah, dan sebagainya yang kesemuanya merupakan
sistem pengetahuan masyarakat. Masyarakat pemiliknya mentransmisikan
sastra lisan dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi, agar
kandungan sastra lisan itu terinternalisasikan sebagai pedoman bagi
hidup mereka dalam menyikapi tantangan kehidupan (Kompas.com,
Selasa, 12 Mei 2009). Dongeng, pantun, teka-teki, dan ungkapan
merupakan jenis-jenis sastra lisan yang pating banyak saya temui ketika
berkunjung ke beberapa desa di witayah Timor Barat. Sangat mungkin
fakta yang sama terdapat di daerah-daerah lain di wilayah Nusa Tenggara

14
Timur. Untuk memastikan, perlu dilakukan penelitian yang terencana
dengan metode yang tepat.
Sepenggal Kisah
Berbicara tentang sastra lisan, saya teringat akan kisah masa kecil,
ketika di bawah terang bulan purnama, saya dan teman-teman SD di
salah satu pelosok daerah Dawan duduk melingkari api unggun dan
membakar singkong. Sambil menunggu hingga singkong matang, kami
mendongeng untuk mengisi waktu. Setiap anak laki-laki yang memperoleh
kehangatan dari api unggun itu wajib mengisahkan sebuah dongeng
secara bergantian, searah perputaran jarum jam. Anak-anak yang tidak
bisa berdongeng bertugas membakar singkong untuk para pendongeng.
Dongeng-dongeng yang diceritakan itu tentu bukan karangan kami sendiri
tetapi kami dapatkan dengan gratis dari orang lain, entah dari orangtua
kami atau orang-orang dewasa yang gemar mendongeng. Jadi, telah
terbentuk satu rantai dongeng yang tidak putus hingga generasi kami.
Setelah berdongeng, kami lanjutkan dengan berteka-teki. Tentu
semuanya ini dilakukan dalam bahasa Dawan (Uab Meto) - salah satu
bahasa daerah mayoritas di Timor Barat (NTT).

Kenyataan Sekarang
Puluhan tahun telah berlalu dan hari ini bukan lagi kemarin;
perubahan telah terjadi dengan berjalannya waktu. Budaya menulis mulai
mengemuka dan terus mendesak budaya lisan, televisi telah mengisi
panggung cerita dan tampaknya diyakini sanggup menghilangkan dahaga
ingin tahu dengan seribu satu kisah yang tidak jarang membuat benak
makin gersang. Para datuk sastra lisan sepertinya telah kehilangan
pengagum dan kehabisan kisah indah yang sanggup menarik minat
pendengar mereka, yang lebih betah berlama-lama di depan kotak ajaib,
atau asyik membaca komik asing yang laris bagai kacang goreng. Lebih
parah lagi kalau mereka sampai dianggap sejajar dengan tukang jual obat

15
yang hanya mampu menawarkan kisah-kisah bohong dan kumal yang
telah usang dimakan zaman.
Kenyataan ini membuat pelaku sastra lisan kehilangan selera untuk
memelihara kisah lama dan mengemasnya dengan sampul baru agar
tetap laris, seperti kacang tanah dari ladang sebelah desa yang setelah
dikeringkan, dikemas dengan label Kacang Super Gurih dari negeri
sebelah. Dalam menggunakan bahasa daerah, kita mungkin sudah jarang
menghiasi pembicaraan kita dengan pantun, yang struktur dan maknanya
makin sulit dimengerti. Daripada malu karenadisindir dengan ungkapan
sok pujangga lu lebih baik berbicara apa adanya saja, biar dangkal asal
mudah dimengerti. Kemarnpuan berpantun daerah bila tidak diasah akan
hilang dengan sendirinya. Ragam bahasa pantun yang sangat indah itu
tidak akan sampai kepada generasi berikut bila tidak ada minat dan usaha
nyata untuk mewariskannya.

Tanggung Jawab dan Langkah-Langkah Pelestarian


Pada suatu peristiwa, Ajip Rosidi, sastrawan Sunda dan Ketua
Yayasan Kebudayaan Rancage, merasa prihatin atas keberadaan sastra
dan bahasa daerah di lndonesia sekarang ini. Menuturnya, pemerintah
nyaris tak memberi perhatian yang mamadai terhadap kehidupan sastra-
sastra daerah tersebut. Padahal menurut konstitusi, hal itu termasuk
tanggung jawab pemerintah. Jadi, pelestarian dan kelestarian sastra lisan
adalah tanggung jawab bersama, baik pemilik sastra maupun pemerintah.
Untuk melestarikan sastra lisan, kiranya langkah-langkah berikut ini
dapat ditempuh: (1) mendongeng kepada anak-anak sejak dini (misalnya
ketika sebelumtidur); (2) memperkenalkan pantun dan teka-teki kepada
generasi muda dan kalangan umum; (3) mengadakan pelatihan-pelatihan
mendongeng kepada berbagai pihak, khususnya para orangtua; (4)
menyelenggarakan perlornbaan mendongeng dan berpantun; (5)
memasukkan sastra lisan ke dalam kurikulum pendidikan dasar (sebagai
muatan lokal).

16
Masih Tetap Relevan
Kita kembali kepada pertanyaan utama: Masih relevankah sastra
lisan dalam alam modern? Sastra lisan adalah kekayaan budaya yang
turut membentuk jati diri kita sebagai bangsa beradab. Begitu banyak nilai
luhur yang terkandung dalam sastra lisan. Kita dapat menggali kembali
nilai-nilai itu dari dongeng, kisah perjalanan suku, pantun, peribahasa,
ungkapan, tekateki, syair-syair lagu daerah, dll. Pada zaman modern ini,
ketika kita berhadapan dengan arus globalisasi yang makin deras dan
terus menawarkan nilai-nilai baru yang belum tentu cocok dengan
kepribadian bangsa kita, sastra lisan sebagai suatu alternatif pencerahan
dapat menjadisolusi yang tepat-obat mujarab untuk menyembuhkan
penyakit zaman. Kearifan lokal yang terkandung di dalam berbagai jenis
sastra lisan yang dikenal luas oleh masyarakat dapat dimanfaatkan untuk
mencegah atau mengatasi persoalan dalam masyarakat.
Ungkapan timeup onle ate henait tah onle usif (bekerjalah laksana
hamba supaya makan seperti raja) dalam masyarakat Dawan adalah
salah satu dari khazanah ungkapan daerah yang mengandung kearifan
lokal. Apabila makna ungkapan di atas sungguh-sungguh dijiwai oleh
penuturnya, maka kita dapat berharap agar mentalitas instan cepat atau
lambat boleh pupus dari masyaraka kita. Tentu masih banyak ungkapan
kaya makna yang dapai ditemukan dalam bahasa-bahasa daerah lain di
NTT. Nilai-nilai luhur yang masih relevan untuk zaman ini bertaburan di
mana-mana laksana mutiara. Hanya insan yang tidak memahami nilai
mutiara saja yang akan membiarkan barang berharga ini berceceran dan
jatuh ke tangan orang lain.
Sastra lisan sebagai bagian dari sastra daerah tetap relevan untuk
masa kini dan masa depan karena mengandung nilai-nilai yang tak lekang
oleh waktu. Oleh karena itu, para pemilik sastra lisan dan pemerintah
diharapkan selalu bergandengan tangan dalam upaya peiestarian sastra

17
lisan, yang turut memberikan sumbangsih bagi perkembangan sastra
daerah dan lndonesia. Yang bersifat lisan pun mengandung intan.
Menurut Wiget (lihat Lauter, 1994), sastra lisan dipertunjukkan di
hadapan pendengar yang melakukan evaluasi baik cara maupun isi
Pertunjukan; evaluasi bukan merupakan kesimpulan dari Pertunjukan
tersebut, melainkan merupakan sebuah kegiatan yang berlangsung yang
tercermin dalam tingkat perhatian dan komentar.
Terdapat varietas yang sangat mengejutkan dari sastra lisan yang
bertahan hidup di antara orang-orang pra-aksara, dan sebagaimana kata-
kata tertulis muncul dalam sejarah, menunjukkan bahwa semua genre
penting sastra yang muncul pada awal masyarakat beradab adalah: epos
heroik, nyanyian pujaan untuk pendeta dan raja, cerita misteri dan
supernatural, lirik cinta, nyanyian pribadi hasil meditasi, kisah cinta, kisah
petualangan dan heroisme rakyat jelata, yang berbeda dari epos heroik
kelas atas, satir, satir pertempuran, balada, dogeng tragedi rakyat dan
pembunuhan, cerita rakyat, fabel, teka-teki, pepatah, falsafah hidup,
himne, mantra-mantra, nyanyian misteri para pendeta, dan mitologi.
Dari berbagai varietas di atas, genre sastra lisan dapat di
klasifikasikan ke dalam sub-sub genre yang terdiri atas puisi lisan, prosa
Iisan, dan drama lisan. Edi Sedyawati (lihat Pudentia, 1998) menyusun
sebuah gradasi dari sastra lisan yang paling murni sastra hingga ke
Pertunjukan teater yang paling tengkap media pengungkapannya, yakni:
murni pembacaan sastra (mebasan dan macapatan); pembacaan sastra
disertai gerak sederhana dan atau iringan musik terbatas (cekepung dan
kentrung); penyajian cerita disertai gerak tari (randai); dan penyajian cerita
melalui aktualisasi adegan, dialog dan tarian pemeran, dan iringan musik
(wayang wong, makyong, wayang gong, dan lain-lain).
Menurut Wiget, dalam banyak sastra lisan dunia, puisi lisan adalah
nyanyian, seperti halnya mazmur-mazmur Daud, tirik-lirik Orpheus,
maupun meditasi-meditasi Tecayahuatzin. Baik puisi lisan maupun prosa
lisan Amerika terdapat dalam kesusastraan pribumi seperti puisi

18
Zuni,Aztec, lnuit, Aleut, dan lain-lain; dan cerita-cerita dari suku-suku
lndian Hitchiti, Zuni, Navajo, Lakota, lroquois, dan lain-lain.
Perkembangan penelitian terhadap sastra lisan yang merupakan
sastra rakyat dilakukan dengan menggunakan metode-metode historik-
komparatif, historik-geografik, dan historik-struktural.
Menurut A Teeuw (1988), perkembangan dalam studi sastra lisan
terutama yang menyangkut puisi rakyat antara lain dilakukan oleh Parry
dan Lord. Hipotesis Parry dan Lord ternyata dapat dibuktikan dengan
meneliti puluhan contoh epos rakyat seperti yang dinyanyikan oleh tukang
cerita. Dengan meneliti teknik penciptaan epos rakyat, cara tradisi tersebut
diturunkan dari guru kepada murid, dan bagaimana resepsinya oleh
masyarakat, Parry dan Lord berkesimpulan bahwa epos rakyat tidak
dihafalkan secara turun-temurun tetapi diciptakan kembali secara spontan,
si penyanyi memiliki persediaan formula yang disebut stock-in-trade,
terdapat adegan siap pakai yang oleh Lord disebut theme, dan variasi
merupakan ciri khas puisi lisan.
Sedangkan untuk melakukan penelitian terhadap teater rakyat
dapat menggunakan metodologi kajian tradisi lisan. Dengan
menggunakan metodologi kajian tradisi lisan, penelitian teater rakyat
dapat dilakukan secara menyeluruh tidak hanya terbatas pada aspek
kesastraannya saja tetapi juga mencakup aspek-aspek kebudayaan yang
melingkupinya. Hal ini penting karena teater rakyat tidak hanya
merupakan bagian dari sastra lisan tetapi juga bagian dari seni
Pertunjukan rakyat yang memiliki jaringan dengan berbagai unsur
kebudayaan.

19
BAB IV
SASTRA LISAN

Sastra lisan termasuk dalam bidang seni dan ilmu. Sebagai sebuah
bidang kesenian, sastra lisan dipandang sebagai sebagai hasil kreativitas
manusia yang mengandung keindahan. Sastra yang memiliki medium
kelisanan itu membawa pesan keharmonisan dari dan untuk masyarakat.
ltulah sebabnya, buku Studi Sastra Lisan (Lemera: 2010) yang ditulis oleh
Yoseph Yapi Taum, melihat sastra lisan sebagai proyeksi pikiran dan
emosi manusia yang paling jujur manifestasi nya.
Sebagai sebuah bidang keilmuan, studi sastra lisan memiliki
seperangkat teori, metode, dan pendekatan untuk menyelidiki,
menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia. Sastra lisan
dipandang sebagai sebuah bidang existential knowledge yang penting
dipelajari sebagai upaya mencari dan menemukan kebenaran
kemanusiaan.
Sebagai sebuah bidang kesenian, sastra lisan muncul dari
keterpesonaan manusia menyaksikan kekuatan ilahi yang dahsyat, agung,
dan luar biasa. Ekspresi-ekspresi sastra lisan dalam bentuk mitos,
dongeng, dan legenda itu menentramkan dan menggembirakan manusia.
Di dalamnya manusia mengenali hubungan yang akrab dan hangat antara
dirinya dengan kukuatan-ke+kuatan lain, bahkan dengan sumber atau
asas segala sesuatu yang menarik, mengikat dan memikat. Dalam proses
penciptaan itu, manusia mengalami semacarn ekstase di mana dia
merasa berada di luar ruang dan waktu sehari-hari. Manusia menyerahkan
dirinya kepada yang indah. Karena itulah, memahami Legenda Ratu Roro
Kidul, misalnya, kita mengenal manusia yang luluh dengan keindahannya:
aspek-aspek manusiawi diterobos. Memahami legenda itu sebagai sastra
lisan, berguna untuk memahami manusia dengan cara yang mendalam
(verstehen), bahwa dia bukan hanya sekadar makhluk duniawi semata.

Sastra lisan adalah kreasi estetik dari imaginasi manusia. Para


penutur sastra lisan itu tak ubahnya dengan novelis-novelis atau penyair-
penyair yang menyusun cerita panjang denganimaginasi dan sensitivitas

20
khusus yang kompleks, yang muncul dari rangsangan yang hebat antara
permainan kekuatan alam dan manusia.
Dalam politik kebudayaan nasional, yang diidealkan sebagai sastra
dan menduduki domain estetika hanyalah sastra resmi tulisan, yaitu sastra
yang diajarkan di sekolah-sekolah formal dan mewakili sastra lndonesia
serta yang diabsahkan oleh politik. Di luar sastra resmi tulisan terdapat
sastra terlarang (sastra Lekra, karya-karya Ki Panjikusmin), sastra yang
diremehkan (sastra populer, sastra remaja, sastra radio); dan sastra yang
dipisahkan (sastra lisan) (Heryanto, 1980). Sastra lisan dipisahkan dari
pembicaraan resmi karena dipandang tidak sesuai dengan ciri formal dan
kualitas yang biasanya diterima dalam pembicaraan sastra lndonesia.
Sastra lisan merupakan sebuah bidang ilmu yang baru. Kesadaran
untuk memahami sastra dan kebudayaan lisan secara akademis memang
merupakan hasil perkembangan yang relatif baru, termasuk juga di dunia
Barat. llmuwan abad ke-19, misalnya, memandang teks lisan sebagai
tulisan yang tidak tertulis (unwritten writing) yang kemudian ditulis, dan
pada akhirnya mencapai bentuk standar yakni prosa atau puisi tulisan
yang gramatik.
Sebagai sebuah bidang ilmu yang baru, Pertumbuhan studi sastra
lisan di lndonesia masih menghadapi berbagai hambatan yang tidak
mudah. Di beberapa fakultas sastra ataupun jurusan pendidikan bahasa
dan sastra Indonesia, selain tidak terdapat mata kuliah sastra lisan,
mahasiswanya pun tidak diperbolehkan untuk menulis skripsi dalam
bidang sastra lisan dengan alasan sastra lisan bukan merupakan bidang
kajian akademik. Perhatian para perencana pembangunan dan kalangan
akademisi terhadap kebudayaan lisan, tradisional, kesukuan tidak banyak
diberikan.
Hambatan-hambatan semacam itu perlu segera diatasi. Seperti
dikatakan dalam buku ini, studi sastra lisan di lndonesia perlahan-lahan
tumbuh menjadi sebuah bidang kajian akademis dan kini mulai memasuki
arus utama dan arus populer ilmu sastra. Sebagai sebuah bidang kajian
akademis, studi sastra lisan memiliki sejumlah objek kajian dengan
metodologi yang beragam sesuai dengan tujuan dan objek kajian yang
dihadapi.
Buku ini mengulas dan menghadirkan berbagai persoalan historis,
teoretis, akademis, serta aplikatif dalam bidang studi sastra lisan.

21
Beberapa teori analisis sastra lisan dikemukakan secara komprehensif
dalam buku ini, antara lain Madzab Finlandia, Teori Parry-Lord, Vladimir
Propp, A.J. Greimas, Claude Levi-Strauss, dan James J. Fox. Selain itu,
banyak contoh kajian sastra lisan yang mernberi inspirasi bagi pembaca
untuk memahami dan mengkaji berbagai fenomena sastra lisan.

Lalu, apa pentingnya sastra lisan ini?


Sastra lisan itu merupakan kesadaran kolektif yang tersebar dan
diwariskan turun-temurun. Karena itu, studi sastra lisan pun pada
gilirannya mampu memberikan kontribusi yang besar bagi pengembangan
ekonomi kreatif. lstilah ekonomi kreatif, yang kini sangat populer dengan
dibentuknya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, seringkali
digunakan secara bergantian dengan istilah creative industries dan culture
industry. Ekonomi kreatif adalah usaha-usaha danproduksi kreatif yang
berkaitan dengan kebudayaaan sebuah bangsa.

Peranan Sastra Lisan dalam Pembentukan


Sastra lndonesia Modern
Sastra yang baik seharusnya mampu mengungkap-kan wawasan,
citarasa, pengalaman dan peradaban yang muncul melalui refleksi, dialog,
dan dialektika dengan sistem pemikiran dan sistem nilai suatu bangsa.
Hasil cipta sastra tersebut haruslah memancarkan pengalaman rohani
suatu bangsa. Sebagai bangsa yang masih muda, bangsa lndonesia
masih perlu mencari jati dirinya, mata rantai dan kontinuitasnya dengan
sejarah masa lampaunya, termasuk juga dalam bidang kesusastraan.
Telah disebutkan di atas bahwa sastra lndonesia modern adalah
suatu bentuk kesusastraan yang baru, yang sebelumnya tidak dikenal
dalam tradisi sastra asli, dan yang merupakan hasil persentuhan dengan
tradisi sastra asing, khususnya Kesusastraan Barat. Perubahan di bidang
sastra itu dapat terjadi secara internal, karena keinginan mencari
pengucapan baru, menciptakan kejutan baru; tetapi juga yang bersifat
eksternal, yakni disebkanoleh perubahan sosial, intelektual, dan
perubahan budaya lainnya (Wellek, 1989: 361). Persentuhan itu tidak
hanya terbatas rnenghasiikan perubahan-perubahan dalam
strukturkesusastraan tapi juga dalam tema, sikap dan visi kepengarangan.

22
Pembangunan nasional dalam banyak hal memang mengancam
keanekaragaman budaya lokal yang merupakan aset kekayaan bangsa.
Akan tetapi, sambil melestarikan budaya tersebut, kadang-kadang kita
meremehkan daya tahan budaya dan identitas lokal terhadap pengaruh
dari luar. Sekalipun kondisi kehidupan sastra daerah dan sastra lisan
dalam era Orde Baru itu termarginalisasi dan kurang menguntungkan,
kekuatan resistensi tidak padam begitu saja, karena bagaimanapun
kuatnya sebuah rezim, dia tidak dapat lestari bertahan hanya dengan
kekuatan eksternal saja. Dalam sub-uraian berikut ini, secara singkat akan
dibicarakan daya tahan sastra iisan bahkan kemampuan adaptasinya
Dalam kehidupan sastra lndonesia modern. Akan dibahas menurut
masing-masing genre sastra, yaitu puisi, cerpen, dan novel.

1. Peranan Tradisi Puisi


Khazanah sastra daerah dan sastra Iisan di lndonesia sangat kaya
akan tradisi puisi, khususnya jenis puisi formulaik. Para ahii sastra
umumnya sependapat bahwa bentuk awal (prototipe) puisi lndonesia
adalah mantra. Nyanyian-nyanyian suku primitif pada zaman pra-sejarah
yang digunakan untuk membangkitkan tenaga sihir dan magis termasuk
bentuk-bentuk puisi Iisan yang paling tua. Pantun juga merupakan sebuah
bentuk puisi asli yang cukup penting kedudukannya dan sangat
memasyarakat dalam berbagai kebudayaan Nusantara. Penerimaan
gurindam (yang berasal dari Tamil) dan syair (yang berasal dari dunia
Arab) dimungkinkan karena kedekatan bentuknya denganmodel pantun
yang sudah lebih dahulu ada dalam tradisi sastra lndonsia. Sambutan
yang diberikan terhadap jenis puisi soneta oleh para penyair Pujangga
Baru disebabkan karena soneta masih sangat dekat dengan model pantun
yang telah lebih dahulu ada dalam tradisi sastra lndonesia.
Para pelopor puisi lndonesia modern seperti Muhammad Yamin
dan Sanusi Pane memperlihatkan model penulisan puisi Melayu
tradisional. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya puisi-puisi
modern kian menjauh saja dari puisi Melayu. Memang, untuk sekian lama
tradisi puisi lokal dan puisi lisan tidak berkembang dalam kehidupan puisi
lndonesia modern. STA sangat keras mengejek bentuk pantun dan
syairsebagai ucapan nenek-nenek tua yang terbuai antara kuap dan
kantuk. Kelompok ini tidak melihat kemungkinan syair dan pantun sebagai

23
wadah untuk meng-ekspresikan seni lndonesia baru (Ajib Rosidi, 1995:
90-96).
Akan tetapi kejutan baru mulai muncul dalam tahun 1 970-an,
dengan munculnya penyair Sutardji Calzoum Bachri berusaha
membangkitkan kembali roh puisi asli lndonesia yaitu mantra sebagai
bentuk pengucapan puisinya. Perubahan yang cukup radikal ini
memberikan warna tersendiri dan menumbuhkan kesadaran baru dalam
jagat puisi lndonesia modern: bahwa sastra daerah dan sastra lisan
merupakankekayaan kesenian lndonesia yang dapat dipergunakan
sebagai idiom atau sumber oleh para seniman lndonesia.
Berbagai tradisi dan nilai sastra daerah,termasuk sastra lisan, kini
sudah diterima dalam kehidupan puisi lndonesia modern. Husni
Djamaluddin dan Rusli Marzuki Saria menulis puisi yang bertolak dari
sastra lisan kabaMinangkabau (Esten, 1987: 83). Sanusi Pane,
SurachmanR.M., Ramadhan K.H. dan Ayatrohaedi menulis puisi dalam
bahasa lndonesia dengan mempergunakan bentuk puisi tradisional Sunda
yang disebut dangding (Rosidi, 1995:103). lbrahim Sattah dan Hamid
Jabbar mengikuti jejak Sutardji Calzoum Bachri menulis puisi mantra.
Linus Suryadi AG dan Darmanto Yatman dan beberapa penyair lain dari
kebudayaan Jawa menulis puisi dengan menggunakan cita rasa dan
warna tradisi daerahnya.
Di bidang sastra lisan, dalam penghayatannya sekarang ini,
terdapat sastra yang isinya mencerminkan bukan saja semangat
kebudayaan baru, melainkan jelas-jelas mencerminkan semangat
lndonesia baru. Sastra dan seni bagi orang Lamaholot di Flores Timur,
misalnya, adalah kenyataan sehari-hari. Dalam bahasa-bahasa daerah
mereka mengenal ragam-ragam sastra, puisi maupun prosa. Nololo,
Mamunu, dan Tei (Fataluku), Hamulak, Aiknanoik, Aibabelen, (Tetun),
Gaze (Kemak), Tea (Bunak) adalah ragam-ragam puisi rakyat yang
bangun komposisi dan isi naratifnya benar-benar memenuhi kriteria
Horatio dulce et utile (indah dan berguna). Melalui sastra masyarakat
mengaktualisasikan dirinya. Sastra dalam konsep pribumi Timtim adalah
sesuatu yang dipandang realistik immanen di tengah dunia wadag biasa,
tetapi juga yang meng-aktualisasikan dimensi-dimensi transendens-nya.
Pengungkapan sastra di Flores -juga kebanyakan wilayah lainnya
di kawasan timur lndonesia- dilaksanakan selalu dengan gairah dan

24
kreativitas yang menakjubkan, yang tentu saja bersifat estetis dan
metaforis. Akan tetapi bukan estetika itulah yang dipentingkan. Mereka
berseni dan bersastra untuk menghayati dimensi transendensnya, sambil
mewartakan peristiwa eksistensial mengenai realita-realita paling besar
dalam eksistensi manusia: kelahiran,kehidupan, kesakitan, ketakutan,
pendambaan keselamatan, permohonan mengatasi maut, dan
sebagainya. ltu semua diungkapkan dalam gerak yang simbolis, dalam
bahasa yang berwibawa, dalam kesadaran partisipasi dengan totalitas
Sang Realitas Sejati.
Di desa-desa di seluruh Timor Timur, sastra bukanlah hal yang
asing. Mereka yang menguasai, mendengar, memahami, dan menghayati
sastra lisan dianggap tinggi kedudukannya. Dalam bahasa-bahasa daerah
Timtim, dikenal istilah Nawarana (Fataluku), Makoan, Makdean, Lia Nain
(Tetun), yang melukiskan orang yang berilmu tinggi dan memiliki
kedudukan tinggi dalam masyarakat karena menguasai cipta sastra.
Tuturan-tuturannya dianggap lebih berharga daripada mutiara. Kata-
katanya dianggap menyampaikan dan menunjukkan kebenaran.
Sastra lisan telah menjadi perbendaharaan kehidupan rohani
masyarakat berbagai masyarakat lokal. Perhatikan misalnya sastra lisan
Bini masyarakat Pulau Rote (Fox, 1986) dan Wor masyarakat suku Biak di
lrian Jaya (Rutherford, 1996). Berbagai jenis puisi lisan tersebut masih
bertahan sebagai sarana yang mengungkapkan semangat baru, bahkan
dapat disebut sebagai a+at transformasi masyarakatnya dengan dunia
luar.
Perkembangan sastra lisan yang semacam ini patut terus-menerus
didorong dengan lebih banyak mengungkap dan mengenal secara
mendalam nilai-nilai dan tradisi puisi lisan di berbagai daearah di
Nusantara. Sampai sekarang masih terlalu banyak kekayaan tradisi lisan
Nusantara yang belum digali.

2. Peranan Tradisi Cerpen


Cerita pendek (cerpen) lndonesia merupakan sebuah genre sastra
modern yang mulai berkembang pada dekade tahun 1930-an. Sangat
menarik untuk dicatat bahwa dua orang perintis penufisan cerpen
lndonesia, yakni Muhammad Kasim dan Suman Hs menulis cerpen yang
justru berakar dari khasanah sastra tradisional fndonesia, yang jujur,

25
segar, jernih dan sederhana (lihat Soemardjo, 1983). Efek tertawa
gembira adalah tujuan yang hendak mereka capai dengan cerpen-
cerpennya. Mereka banyak mengambil tokoh-tokoh rakyat biasa yang
bodoh, yang dijadikan bufan-bulanan untuk berseforoh. Untuk lelucon-
leluconnya itu, M. Kasim dan Suman Hs mencari segi-segi humor dafam
kehidupan sehari-hari. Mereka sebenarnya menimba dan melanjutkan
cerita-cerita lisan seperti Si Kabayan atau Demang Kedangkrang.
Dalam perkembangan selanjutnya, sistem konvensi sastra yang
sudah dirintis jafannya olehM. Kasim dan Suman Hs ini tidak dilanjutkan
oleh pengarang-pengarang lainnya. Dafam sejarah cerpen Indonesia
hanya sekali itu timbul jenis cerita yang demikian: cerita yang penuh
humor, optimis dalam kehidupan, dan yang mengangkat dan melanjutkan
tradisi cerita rakyat tradisional.
Dengan lenyapnya pengaruh cerita-cerita M. Kasim dan Suman Hs,
maka lepasfah pula mata rantai penghubung dengan cerita rakyat
tradisional nusantara. Sebaliknya mulailah tradisi penulisan cerpen
menurut konsep Barat, yang berorientasi pada masalah-masalah sosial
maupun kedalaman ide pemikiran. lni berarti, model cerita asli itu tidak
dapat memasuki arus utama cerpen Indonesia, tidak menjadi official.

3. Peranan Tradisi Novel/Roman


Novel atau roman adalah nama baru yang diterima dari
persentuhan dengan kesijsastraan Barat. Akan tetapi pada hakikatnya
jenis cerita panjang ini cukup akrab dengan masyarakat lndonesia yang
sudah mengenaj seni bercerita dalam bahasa daerah seperti pantun di
Tanah Sunda, babad di Tanah Jawa, kaba di Minangkabau, kentrung di
Jawa Timur. Dalam berbagai tradisi iisan di berbagai wiiayah di Nusantara
pun, jenis cerita panjang itu sudah mempunyai tradisi yang panjang.
Misalnya Lia nain dalam kebudayaan Tetun di Timor Timur, tutu koda tutu
maring dalam lingkungan masyarakat Lamaholot di Flores Timur, dan lain
sebagainya. Di beberapa daerah, penuturan cerita panjang bahkan dapat
berfangsung beberapa malam secara suntuk.
Novel sebagai bentuk cerita panjang yang diperkenalkan dari dunia
Barat ini sesungguhnya tefah dihayati dengan baik dalam sastra lisan
hampir di semua wilayah Nusantara. Cerita panjang dalam tradisi lisan ini
ternyata menjadiarus dasar dalam sejarah perkembangan novellndonesia

26
selanjutnya. Cerita-cerita panjang yang berasal dari sastra daerah
tersebut sebenarnya telah memperlancar adaptasi masyarakat sastra
lndonesia dengan bentuk cerita panjang yang diperkenalkan dari dunia
Barat.
Proses adaptasi itu sudah dimujai dalam kegiatan
persuratkhabaran yang berkembang sejak pertengahan abad ke-19 (lihat
Abdullah, 1990: 17). Roman-roman pertama yang mengisahkan
kehidupan nyata sehari-hari muiai dimuat secara bersambung dalam
koran-koran itu yang dituiis dalam bahasa Melayu Rendah. Ada beberapa
nama yangdisebut: H. Moekti m.enulis cerita bersambung Hikayat Siti
Mariah; Rd. Mas Tirto Adhisuryo menulis romanBoesono (1 91 O) dan Nyi
Permana (1 91 2), semuanya ditulis secara bersambung dalam koran
Medan Prijaji, Bandung. Di samping itu dua orang pengarang berpaham
kiri ketika itu menulis pula sejumlah roman berbahasa Melayu Rendah.
Mas Marco Martodikromo menulis Mata Gelap (1 91 4), Studen Hidjo (1 91
9), Syair Rempah-rempah (1 91 9), dan Rasa Merdeka (1 924). Semaun
menulis sebuah roman berjudul Hikayat Kadiroen (1924).
Dalam kurun waktu tahun 20-an dan 30-an, muncul banyak rornan
yang bersamaan pula dengan penerbitan beberapa mitos dan legenda
tradisional dalam bentuk prosa (Teeuw, 1978). Ceiita Minangkabau
misalnya: Sabai nan Aluih (1 931) oleh Tulis St. Sati; Tjerita Malim Deman
(1 932) oleh Aman Dt. Madjoindo dan Tjerita si Umbut Muda (1930). Dari
Minahasa: Pahlawan Minahasa (1935) oleh M.R. Dajoh; Bintang Minahasa
(1931) oleh H.M. Taulu. Penulisan dan penerbitan kembali cerita-cerita
rakyat masih terus berlangsung sampai sekarang. Perhatikan misalnya:
Roro Jongrang, Sang Kuriang, dan sebagainya. Ada pula gubahan
cerita rakyat untuk konsumsi anak-anak yang diterbitkan oleh Penerbit
Gramedia (Grasindo).
Keadaan ini secara tidak langsung menunjukkan bagaimana
prosesadaptasi antara cerita panjang dalam tuturan lisan dengan novel
modern. Persoalannya, apakah novel atau rornan berhasil menjadi
pelanjut cerita panjang yang telah ada dalam khazanah sastra lisan
daerah?
Ciri-ciri kedekatan struktur antara tradisi cerita panjang dengan
novel dengan mudah dapat kita lihat. Susunan kejadian dalam
kebanyakan novel selalu berlangsung secara kronologis (plot lurus),

27
seringkali relasi sebab-akibatnya agak longgar sehingga unsur digresi
banyak dijumpai. Susunan plot semacam ini jelas
menunjukkankedekatannya dengan susunan plot hikayat, kaba dan
berbagai cerita lisan. lainnya. Demikian pufa teknik pengembangan cerita
lewat mimpi, rama!an perbedaan garis keturunan, dan teknik klasik lainnya
masih sering kita jumpai dafam novel-novel lndonesia modern. Kedekatan
lainnya tampak dalam penggambaran tokoh gadis dan pemuda. Sekalipun
bahan cerita telah diambif dari dunia nyata, tetapi pefukisan kedua tokoh
tersebut merupakan transformasi putri dan putra raja, sebab kebanyakan
pengarang novel menggambarkan tokohnya sebagai pernuda atau gadis
terbaik di desanya. Perwatakan tokoh jahat dan tokoh baik juga masih
tampak.Tampak di sini bahwa akar budaya nusantara terangkat nienjadi
landasan dan wawasan sastra para pengarang, terutama di masa Balai
Pustaka dan Pujangga Baru.
Pengamatan yang cermat (Iihat misalnya Abdullah, 1990) terhadap
perkembangan novel lndonesia modern menunjukkan bahwa sampai
sekarang, jenis novel yang memasuki inner circle hanyafah novel yang
bercerita dengan teknik alurnya yang menarik. Daya tarik novel masih
bertumpu pada kekuatan narasinya. ltu berarti arus utama novel lndonesia
masih bertahan dafam konvensi tradisional dan sukar menerima
kebafuan-kebaruan yang asing, yang tidak berasal dari konvensinya
sendiri. ltulah sebabnya novel-novel absurd seperti karya lwan
Simatupang, Putu Wijaya, Budi Darma dan Danarto tetap berada di luar
fingkaran pernovelan lndonesia. Sebaliknya novel-novel pop bisa
memasuki lingkaran dalam. Penjelasan ini pun dapat diterapkan pada
gejala penerimaan dan sambutan yang positif dari masyarakat lndonesia
terhadap te!enovela dan beberapa serial sinetron yang daya tarik
terkuatnya terletak pada teknik alur yang menarik.

28
BAB V
FOLKLOR DAN SASTRA LISAN

Folklor adalah sebagian kebudaaan suatu kolektif yang tersebar


dan diwariskan turun temurun, diantara kolektif macam apa saja secara
tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun
contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat
(mnemonic device) lstilah folkior merupakan penglndonesiaan dari bahasa
lnggrisfolklore. Kata tersebut merupakan kata majemuk yang berasal dari
dua kata yaitu kata folk dan Iore (Danandjaja 2002:2). Sedangkan sastra
lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga
suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara
lisanHutomo (1991:1). Jadi sastra lisan ini memiliki cakupan yang lebih
spesifik. Sastra lisan merupakan bagian dari folklor.
Dundes (Danandjaja 2002:1-2) menyebutkan bahwa folk adalah
sekelompok orang-orang yang memiliki ciri-ciri mengenal fisik, sosiai, dan
kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya.
Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud: warna kulit yang sama,
bentuk rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang
sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Namun yang
lebih penting lagi bahwa mereka telah memiliki satu tradisi, yakni
kebudayaan yang telah mereka warisi turun-temurun sedikitnya dua
generasi yang dapat mereka akui sebagai milik bersama. Di samping itu,
yang paling penting adalah mereka sadar akan identitas kelompok mereka
sendiri. Sementara itu, yang dimaksud !ore adalah tradisi folk yaitu
sebagian kebudayaan yang diwariskan turun-temurun secara lisan melalui
suatu contoh yang disertai dengan isyarat atau alat pembantu pengingat
(mnemonic diviace).
Ciri-ciri folklor dijelaskan Danandjaja (2002: 3-4), yaitu sebagai
berikut: Pertama, penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan

29
secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau
dengan suatu contoh yang disertai dengan isyarat, dan alat pembantu
pengingat) dari suatu generasi ke generasi berikutnya; kedua, folklor
bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk tetap atau dalam
bentuk standar, disebarkan di antara kolektiftertentu dalam waktu yang
cukup lama (paling sedikit dua generasi); ketiga, folklor ada (exist) dalam
versi-versi atau bahkan varian-varian yang berbeda.
Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut
(lisan), biasanya bukan melaluicetakan atau rekaman, sehingga oleh
proses lupa diri manusia atau proses interpolasi. Folklor -dengan mudah
dapat mengalami perubahan. Walaupun demikian perbedaannya hanya
terletakpada bagian luarnya, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap
bertahan; keempat, folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah
tidak diketahui lagi; kelima, folklor biasanya mempunyai bentuk berumus
atau berpola; keenam, folklor mempunyai kegunaan (function) dalam
kehidupan bersama suattj kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai
kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi
keinginan terpendam; ketujuh, folklor bersifat prologis, yaitu mempunyai
logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum.
Ciri pengenai itu terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian
lisan; kedelapan, folklor menjadi milik bersama (collective) dari
kolektiftertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptaan yang
pertama sudah dapat diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang
bersangkutan merasa memilikinya; kesembilan, folklor pada umumnya
bersifat polos dan lugu, sehingga sering kali kelihatannya kasar, terlalu
spontan.
Jadi folklor itu disebarkan secara lisan, dari suatu generasi ke
generasi, yang kadang-kadang penuturnya disertai dengan perbuatan
(misalnya mengajar tari, mengajar membatik, mengajar mendalang dan
sebagainya). Adapun bentuk folklor menurut Jon Brundvard (Danandjaja
2002:21-23), dapat digolongkan kedalam tiga kelompok besar

30
berdasarkan tipenya yaitu:pertama, folklor lisan (verbal folklore), folklor
lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Di dalam
hubungannya dengan folklor lisan, maka bahan-bahan folklor lisan
mencakup:

bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, jutukan, pangkat


tradisional, dan titel kebangsawanan;
ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah dan pameo;
pertanyaan tradisional, seperti teka-teki;
puisi rakyat seperti pantun, gurindam, dan syair;
cerita prosa rakyat seperti mite, legenda, dan dongeng;
nyanyian rakyat.

Yang kedua folklor sebagian lisan (partly verbafolklore), folklor sebagian


lisan ini adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan
dan bukan lisan. Yang termasuk folklor sebagian lisan adalah bahan-
bahan folklor yang berupa:

kepercayaan rakyat;
permainan rakyat dan hiburan rakyat (semacam gobaksodor,
Sunda mandah dan lain-lain);
teater rakyat;
tari rakyat;
upacara-upacara (kematian, perkawinan);
adat istiadat (gotong royong, batas umur pengkhitanan anak, dan
lain-lain);
pesta-pesta rakyat (skaten, ruwatan, dan lain-lain).

Yang ketiga folklor bukan lisan (non verbal folklore), folklor bukan lisan
adalah folktor yang bentuknya bukan lisan. Yaitu meliputi:

31
berupa materiat: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah,
bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat,
pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat,
obat-obatan rakyat;
yang berupa bukan material: gerak isyarat tradisional (gesture),
bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya di
Jawa, atau gendang untuk mengirim berita seperti dilakukan di
Afrika), musik rakyat (gamelan Sunda, Jawa, Bali).

Fungsi folklor menurut Bascom (Danandjaja, 2002:19) adalah sebagai


berikut:

sebagai sistim proyeksi (projective System) yakni sebagai alat


pencermin angan-angan suatu kotektif;
sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga
kebudayaan;
sebagai alat pendidikan anak (predagogical device);
sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma
masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

lstilah sastra lisan terkadang disenadakan dengan tradisi lisan.


Adapun konsep tradisi hampir sama pengertiannya dengan folklor. Tradisi
lisan sendiri berarti those tradition which have been transmitted in time
andspace by the word and act, yang artinya kurang lebih tradisi yang di
transmisikan dalam waktu dan ruang dengan ujaran dan tindakan. Folklor
berarti sebgian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan
turun-temurun, di antara macam kolektif macam apa saja, secara
tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun
contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu mengingat
(mnemonic deviace) Danandjaja (2002:2). Perbedaan keduanya terletak

32
pada unsur-unsur yang ditransmisi secara lisan yarig kadang-kadang
diikuti dengantindakan Hutomo (1991:1).

Tradisi lisan menurut keputusan atau rumusan UNESCO mencakup


beberapa hal (Hutomo, 1991:11), yakni:

yang berupa kesusasteraan lisan;


yang berupa teknologi tradisional;
yang berupa pengetahuan folk diluar pusat-pusat istana dan kota
metropolitan;
yang berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan fo!k diluar batas
normal agama-agama besar;
yang berupa kesenianfo!k di luar pusat-pusat istana dan kota
metropolitan; dan
yang berupa hukum adat.

Sastra rakyat itu milik komunal, milik bersama rakyat bersahaja,


maka sastra ini juga disebut orang sebagai folk literature, atau sastra
rakyat. Hal ini bukanlah berarti bahwa sastra tersebut tidak terdapat di
dalam masyarakat kota yang telah maju. Adapun ciri-ciri sastra lisan
menurut Hutomo (1991:3-4) yakni:

penyebarannya melalui mulut, maksudnya, ekspresi budaya yang


disebarkan, baik dari segi waktu maupun ruang melalui mulut;
lahir di dalam masyarakat yang masih bercorak desa, masyarakat
di luar kota, atau rnasyarakatyang belum mengenal huruf;
menggarnbarkan ciri-ciri budaya sesuatu masyarakat, sebab
sastra lisan itu merupakan -warisan budaya yang
menggambarkan masa lampau, tetapi menyebut pula hal-hat baru

33
(sesuai dengan perubahan sosial). Oleh karena itulah, sastra lisan
disebut juga sebagai fosil hidup;
tidak diketahui siapa pengarangnya, dan karena itu menjadi milik
masyarakat;
bercorak puitis, teratur dan berulang-ulang, maksudnya untuk
menguatkan ingatan dan menjaga keaslian sastra lisan supaya
tidak cepat berubah;
tidak mementingkan fakta dan kebenaran, lebih menekankan
pada aspek khayalan/fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat
modern, tetapi sastra lisan itu mempunyai fungsi penting di dalam
masyarakatnya;
bahasa: menggunakan gaya bahasa lisan (sehari-hari),
mengandung dialek, kadang-kadang diucapkan tidak lengkap.

Fungsi sastra lisan sendiri, masih menurut Hutomo (1991:67-74) adalah


sebagai berikut:

sebagai sistim proyeksi;


pengesahan kebudayaan;
sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial, dan
sebagai alat pengendalian sosial;
sebagai alat pendidikan anak;
untuk memberikan suatu jalan yang dibenarkan oleh masyarakat
agar dia dapat lebih superior daripada orang lain;
untuk memberikan seseorang jalan yang diberikan oleh
masyarakat agar dia dapat mencela orang lain; -
sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam masyarakat;
untuk melarikan diri dari himpitan hidup, atau dengan kata lain
berfungsi sebagai hiburan semata.

34
Sesuai penjelasan mengenai fotktor dan sastra lisan di atas rnaka
semakin jelaslah jika umpasa merupakan tradisi yang berkembang secara
lisan, umpasa digolongkan kedatarn salah satu bentuk tradisi lisan yang
berbentuk puisi rakyat yang termasuk dalam Kelompok folklor Iisan hal ini
dikarenakan bentuknya murni lisan. HaI tersebut sesuai dengan
penggolangan bentuk folktor rnenurut Jon Harold Brundvard (Danandjaja
2002:21-23).
Karena umpasa te-rmasuk puisi yang memitiki bentuk, maka dalam
penelitian ini Struktur sastra lisan yang dibahas meliputi bentuk, formula,
tema, bunyi, diksi dan gaya bahasa. Unsur-unsur tersebut adalah unsur
yang selatu ada dalam teks sastra lisan (Badrun, 2003:23).
Dalam khazanah kesusastraan Melayu kuno, tradisi sastra lisan,
baik yang berbentuk syair maupun prosa, merupakan corak kekhasan
tersendiri yang terbangun melalui relasi lajur sejarah yang panjang. Satu
tradisi dari bangsa Yunan (China) yang diyakini sebagai nenek moyang
bangsa lndonesia, dan satu tradisi dari ranah India ketika ajaran Hindu-
Buddha menjadi sistem kepercayaan utama masyarakat, ditambah oleh
sumbangan tradisi Arab-lstam yang disebarkan oleh para musafir Timur
Tengah, tak pelak menjadi unsur sejarah teramunya corak kekhasan
tradisi sastra lisan bangsa lndonesia yang asli.
Di dalam tiga tradisi yang berbeda tersebut, secara simultan
meniscayakan terjadinya dialektika budaya yang diharapkan saling
mengisi dan metengkapi. Ekpresi estetik tradisi sastra lisan lndonesia
dalam bentuk mantra, tembang macapat, cerita rakyat, hikayat-hikayat,
atau pun syair pantun serta gurindam yang berkembang di lndonesia
menjadi serangkaian manifestasi dialektika dari tiga unsur kebudayaan
kuno tersebut.
Corak khas tradisi sastra lisan pada akhirnya mendapatkan tempat
dan menemukan bentuknya masing-masing di tiap-tiap daerah dalam
ruang etnis dan suku yang mengusung flok budaya dan adat yang
berbeda-beda. Heddy Shri Ahimsa-Putra (1966) mengatakan bahwa

35
sebagai salah satu bentuk ekspresi budaya masyarakat pemiliknya, tradisi
sastra lisan tidak hanya mengandung unsur-unsur keindahan (estetik),
tetapi juga mengandung berbagai informasi tentang nilai-nilai kebudayaan
tradisi yang bersangkutan. Oleh karena itu, sebagai salah satu data
budaya, sastra lisan dapat diperlakukan sebagai gerbang untuk
memahami salah satu atau keseluruhan unsur kebudayaan daerah yang
bersangkutan.
Tradisi sastra lisan ini bertahan cukup lama dan telah menjadi
semacam ekspresi estetik masyarakat dalam tiap-tiap daerah atau suku
yang tersebar seantero Nusantara. Namun, ketika sebagian kalangan
menganggap bahwa tradisi sastra tulis itu mempunyai nilai lebih tinggi
dalam konteks ihwal pembangunan karakter bangsa yang lebih maju dan
mengikuti perkembangan arus zaman, maka eksistensi tradisi lisan terlihat
semakin dekaden, bahkan hampir saja punah.
Karena itu, tidak dapat kita pungkiri, dalam khazanah kesusastraan
modern lndonesia, baik yang berkenaan dengan ekspresi proses verbal
kesastrawanan maupun dalam bentuk kajian sastra tulis dari segi
kuantitas lebih mendominasi, sedangkan kajian-kajian sastra Iisan
cenderung sebagai anak tiri yang dinomorduakan. Ketimpangan sernacam
ini sungguh menggelisahkan, terutama apabila mengacu pada konsepsi
awal yang dilontarkan A. Teeuw (1983) bahwa sastra, baik dari segi
sejarah maupun tipotogi, tidak baik apabila dilakukan pemisahan antara
sastra lisan dan sastra tulis. Keduanya harus dipandang sebagai kesatuan
dan keseluruhan, tidak terpecah-belah berdasarkan pertentangan yang
tidak hakiki.
Fenomena penganaktirian sastra lisan ini pada dasarnya tidak
sejalan dengan realitas empiris sejarah yang menunjukkan bahwa sastra
lisan dan sastra tulis tidak sekadar hidup berdampingan, tetapi keduanya
menciptakan keterpaduan menyangkut konvensi atau struktur, baik pada
genre syair maupun cerita rakyat. Sastrawan Sapardi Djoko Damono
(1999) menunjukkan bahwa puisi lndonesia modern, yang notabene

36
adalah sastra tulis, merupakan bagian urgen dari konvensi kelisanan.
Bahkan, menurutnya, piranti puitis yang kini lekat menjadi idiomatis dalam
puisi lndonesia- modern, seperti rima, irama, metrum, aliterasi, asonansi,
repetisi, paralelisme, dan onomatope, terinspirasi oleh tradisi lisan seperti
pantun dan mantra.
Bertolak dari fenomena tersebut, tampaknya menjadi semacam
keniscayaan bahwa tradisi lisan merupakan sumber paling utama bagi
penciptaan sastra tulis. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa sastra
lama sebagai penunjang berkembangnya sastra modern. Lalu yang
menjadi pertanyaan, mengapa tradisi sastra lisan mesti dianaktirikan dari
pada sastra tulis? Adakah sesuatu yang rnerupakan kesatuan dan
keseluruhan itu dapat pisah-tempatkan secara timpang?
Persoalan ini, tidak bisa tepas dari konsepsi kemapanan, suatu
corak yang dibawa oleh modernisme. Tradisi lisan yang merupakan corak
masyarakat kuno (awam), dipandang misatnya oleh Ayu Sutarto (2004)
dan Daniel Dhakidae (1996), sebagai pcngharnbat kernajuan bangsa.
Supaya suatu bangsa menjadi maju seiring arus zaman, maka tradisi lisan
harus diubah kepada budaya menutis, karena tradisi tulis-menulis selalu
identik dengan kemajuan sebuah peradaban keilmuan. Pendapat ini
menciptakan adanya tendensi penganaktirian dan seakan mengabaikan
terhadap terjadinya suatu paratetisme dari kedua konsepsi (tisan dan tulis)
yang sesungguhnya bersifat kesatuan dan keseluruhan itu. Tapi, apakah
semangat pemberdayaan budaya tulis menjadi umpan-balik pengabaian
terhadap tradisi lisan?
Jika kita sadari, tradisi lisan merupakan salah satu bentuk
semangat, harga diri dan tradisi bangsa lndonesia. Tradisi lisan yang
berkembang sebagai corak kebudayaan kita yang azali dalam dimensi
dan aspek apa pun saja pada akhirnya akan mengundang decak kagum
bangsa-bangsa asing, sehingga mempunyai nilai tawaryang cukup tinggi
nantinya di pasar budaya global. Apalagi dewasa ini, di mana sekat-sekat
ruang budaya tidak lagi dapat mempertahankan dirinya dari arus zaman,

37
kehadiran tradisi sastra lisan dari berbagai banyak modelnya akan
mengesankan bahwa bangsa lndonesia tidak lupa dan tidak gampang
melupakan sejarah tumpah darahnya.
Selain dari pada itu, terciptanya paraletisme antara tradisi tulis dan
tradisi lisan akan semakin memperkaya khazanah kesusastraan kita.
Paralelisme di sini dimaksudkan sebagai kerangka konseptual yang
mencoba untuk mengintegrasikan antara dua kebudayaan atau lebih.
Paralelisme, dalam arti yang sebenarnya, tidak mengharapkan terciptanya
konstruksi budayabaru (komodifikasi budaya) dari dua kebudayaan yang
berbeda, tetapi ingin memenuhi niatan bahwa peiestarian budaya adalah
hal yang niscaya untuk diiakukan.
Pelestarian tradisi sastra lisan semestinya bersanding dengan
pemberdayaan tradisi sastra tuhs, karena dua kebudayaan ini
merepresentasikan kekayaan khazanah kesusastraan kita. Fungsi dari
unsur-unsur kebudayaan ini adalah dipergunakan untuk memelihara
keutuhan konstruksi dua kebudayaan tersebut, selain juga untuk
memuaskan sebentuk rangkaian dari sejumlah kebutuhan nalur!
kehidupan kita yang harus disadari.
Dengan demikian, pemenuhan tujuan akan suatu kebudayaan
sesungguhnya terletak pada bagaimana kebudayaan itu dapat dilestarikan
sepanjang zaman. Karenanya, yang berkenaan dengan penganaktirian
atau penomorduaan suatu kebudayaan daripada kebudayaan lain
semestinya tidak harus ada, karena pada hakikatnya seluruh entitas
kebudayaan senantiasa membentuk suatu jejaring hidup antara satu dan
lainnya. Demikian juga dengan persoalan ini, bahwa tradisi sastra !isan
tidak harus dipisahkan atau bahkan dianaktirikan dari pada tradisi sastra
tulis.

38
BAB VI
CIRI - CIRI SASTRA LISAN

1. Anonirn adalah tidak diketahui. Sastra lisan tidak diketahui


pengarangnya, pada mulanya pengarang tidak menyebutkan dirinya
dalam karyanya tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa sastra lisan
adalah milik bersama. Dan tidak ada pula masyarakat yang mengaku-
ngaku tefah memiliki sastra lisan tersebut. Contohnya: Kisah Timun
Mas, Taiigkuban Perahu, dan lain-lain, masyarakat tidak ada yang
mengetahui siapa awal mula yang memiliki cerita tersebut.
2. Milik bersama suatu kolektif Maksudnya sastra lisan adalah milik
masyarakat, bukan milik pribadi dari anggota masyarakat. Cirri anonym
adalah bukti bahwa sastra lisan adalah milik bersama-sama yang
seolah-olah diciptakan oleh masyarakat itu sendiri. Contoh : Kisah
Malin Kundang. Cerita tersebut menjadi milik masyarakat Padang
karena pelatarannya berada di Padang, Sumatera Barat. Bukan milik
anggota masyarakat dari Sumatera Barat.
3. Diwariskan secara lisan, kadang dengan mnemonic devices Pewarisan
sastra iisan ini adalah dengan lisan atau dari mulut ke mulut secara
turun-temurun. Kadang juga dengan mnemonic devices yang artinya
dengan menggunakan alat bantu gerak isyarat atau bantu pengingat
agar masyarakat yang lain mudah memahami maksud dari cerita yang
diceritakan tersebut. Hal ini dilakukan karena banyaknya masyarakat
yang belum mengenal aksara sehingga sulit untuk menyampaikan
pesan dan amanah yang terkandung dalam cerita. Contoh:penyebaran
dakwah para wali songo yang menggunakan sastra lisan dalam
dakwahnya, para guru atau petuah-petuah menyampaikan dan
disampaikan dengan lisan agar dapat dipahami oleh masyarakat
dengan mudah.
4. Tradisional Sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu
berpegang teguh pada norma, nilai dan adat kebiasaan yang ada

39
secara turun-temurun. Contoh: dijadikan sebagai hiburan masyarakat
tetapi tidak menyalahi adat.
5. Bentuknya tetap Plot atau alur dan makna yangterkandung dalam
sebuah cerita tersebut tetap dan tidak berubah. Sehingga keutuhan
jalan cerita suatu sastra lisan tersebut sangat kuat dan berperan di
dalam masyarakat. Contoh: kisah Malin Kundang. Dari awal cerita itu
dikenalsampai sekarang isi ceritanya tidak ada perubahan dan tetap,
begitu pula dengan amanat yang terkandung di dalamnya.
6. Diwariskan dalam rentang waktu tama Sastra lisan diturunkan dari satu
generasi ke generasi berikutnya, dalam waktu yang relative lama,
sastra ini bisa tersebar fuas dikalangan masyarakat dengan
mengandalkan keaktifan pencerita.
7. Eksis dalam versi dan varian Karena kekreatifan si pencerita
menyebabkan adanya sedikit banyak dari isi cerita mengalarni
perubahan, entah ditambahkan atau dikuranngi yang tanpa
menyebabkan perubahan makna cerita, karena para pencerita
mempunyai gaya masing-masing dafam menyampaikan amanah dari
suatu cerita tersebut, sehingga menimbutkan beragam versi dan varian
dalam cerita yang disampaikan. Contoh: kisah Wafi Songo yakni ada
yang mengatakan bahwa wali songo telah membunuh Syeikh Siti
Jenar, sedangkan di versi cerita lain ada yang mengatakan bahwa
Syeikh Siti Jenar belum meninggal, tapi masih hidup sampai sekarang.
Perbedaan versi tersebut, tidak mengurangi amanah cerita yakni tidak
ada makhuk yang seimbang dengan Tuhan apalagi mengaku Tuhan.
8. Terdapat unsur interpofasi Suatu sastra lisan memiliki keterkaitan
dengan keadaan masyarakat yang menjadi setting dari cerita tersebut.
Kebanyakan cerita dari sastra lisan menggambarkan keadaan
masyarakat tersebut dan membuka konsep-konsep kebudayaan yang
berkembang pada masyarakat pada zaman itu. Contoh: cerita Malin
Kundang menggambarkan adat masyarakat setempat yakni budaya
merantau berlaku bagi anak laki-laki dewasa.

40
9. Ada formula Ada banyak kreasi masyarakat yang berperan sebagai
pencerita menambahkan atau membubuhkan kalimat yang pada
mulanya tidak tertera dalam cerita. Tapi tidak mengandung unsur apa-
apa. Formula-formula yang terdapat dalam cerita misalnya pesan
cerita sebagai pendukung pencerita dan penarik perhatian pendengar
cerita.
10. Spontan Sastra lisan diturunkan tidak dengan unsure kesengajaan.
Tetapi serta-merta, tanpa pikir panjang, tanpa rencana lebih dahulu.
Biasanya awal mula pencerita menceritakansastra lisan adalah dengan
gaya seadanya. Misalnya dengan bersantai atau dengan memasukkan
cerita dan menjadikan sebuah contoh dalam kegiatan belajar.
11. Ada proyeksi keinginan Pencerita mempunyai peran penting dalam
berkembangnya sastra lisan. Pencerita menurunkan atau mewariskan
cerita tersebut adalah karena dengan doronga hati tanpa unsure
penekanan atau tidak karena anjuran.
12. Ada pola-pola tertentu Dalam cerita tersebut terdapat motif-motif atau
unsure-unsur yang terdapat dalam cerita sehingga mempunyai
gambaran fuar biasa tetapi tetap menarik perhatian untuk tetap didengar
dan dilestarikan.
13. Menggunakan kalimat klise Pencerita cenderung banyak menirukan
gaya bahasa atau gaya bercerita sesuai dengan siapa dan dari mana ia
memperoleh cerita tersebut. Bahasa atau kafimat sering dijumapi sama
atau identik denga cerita semula atau pencerita asal.
14. Ada fungsi: a. Didaktik, yakni memiliki unsure pendidikan. Sastra lisan
juga berfungsi sebagai media pendidikan masyarakat karena
didalamnya terkandung berbagai amanah dan pesan penting yang juga
harus dipahami oleh masyarakat. b. Pelipurlara,yakni sastra lisan
berfungsi sebagai penghibur dalam masyarakat. Banyak berbagai sastra
fisan yang bertema humoris dan mengandung unsure pelipur lara.
Misalnya dongeng si kancil yang sangat humoris dan kental akan
imajinasi. c. Protes sosial, yakni sastra lisan yang berkembang juga

41
termasuk bentuk media pada jaman yang bersangkutan untuk
menyampaikan apa yang menjadi aspirasi masyarakat. Sebuah cerita
bisa mewakilkan isi hati masyarakat. d. Sindiran, yakni sebuah
ungkapan yang disampaikan oleh masyarakat dalam bentuk sastra
lisan, misalnya lagu rakyat, pantun rakyat dan lain sebagainya.
15. Bersifat pralogis Kadang kala dalam sastra lisan memiliki alur yang
kompleks, akan tetapi dalam ceritanya juga mendahului dan melangkahi
logika. Karena turun-temurun dan tanpa diketahui kebenarannya
dengan pasti, banyak pula cerita mengandung jalan cerita yag tidak
asuk akal dan diluar nalar dan ajaib. Misalnya: cerita Tangkuban Perahu
yang ceritanya adalahsebuah perahu ditendang dan bisa menjadi
gunung. Cerita tersebut sangat sulit dipercaya apabifa terjadi di jaman
yang sekarang ini.
16. Berbentuk puisi, prosa(panjang-pendek) dan prosa beriramd Sastra
lisan memiliki berbagai jenis dan tersebar dalam masyarakat.
Diantaranya folkstory. folktale, folkspeach,volkskunde, dan lain-lain.
Contohnya: fagu rakyat misalnya lir-ilir, pantun-pantun rakyat yang
menyebar di masyarakat dan dijadikan petuah dan lain-lain.
17. Ada piranti paraklisme Ada petimbangan atau perbandingan dan saling
berhubungan dengan zaman yang sekarang. Kebanyakan isi atau
amanah dari sastra lisan adalah cerminan kehidupan masyarakat
sekarang atau generasi berikutnya. Haf ini berperan untuk masyarakat
pandai-pandai mencerna isi dan maksud dari amanah yag terkandung
dalam sastra lisan agar tidak salah jalan dan salah pengertian.
18. Beris kearifan hidup universal isi dan amanah dari sastra lisan adalah
menyinggung tentang kenyataan. Ajaran dan amanahnya adalah
berlaku bagi sernua kalangan dan patut dijadikan acuan untuk hidup
oleh berbagai kalangan masyarakat. Amanahnya tidak berlaku hanya
untuk satu golongan kaum saja tetapi menyeluruh

42
BAB VII
TEORITEORI ANALISIS SASTRA
LISAN: MADZAB FINLANDIA
DAN TEORI PARRY-LORD

A. Pengantar
Minat dan perhatian berbagai kalangan dalam berbagai disiplin ilmu
untuk meneliti sastra rakyat berkembang sesuai dengan Perkembangan
ilmu-ilmu humaniora seperti ilmu sejarah dan ilmu sastra. Sepertj
dikatakan Teeuw, sebuah teks merupakan mozaik kutipan-kutipan dari
pusat kebudayaan. Hanya pembaca yang dapat menciptakan mozaik atau
jalinan teks tersebut. Dari luas bacaannya, dja menciptakan keseluruhan
makna yang tentu saja hanya berlaku baginya; karena setiap pembaca
memiliki medan bacanya sendiri, dan medan ini tidak ada batasnya
(Teeuw, 1 990: 220).
Pada awal Perkembangannya, studi sastra lisan sangat
berorientasi historis-komparatif, yang terutamatampak dalam kajian
Madzab Finlandia. Studi sastra lisan kemudian bergeser dari orientasi
historis-komparatif ke orientasi strukturalis (Vladimir Propp) dan orientasi
puitika (Parry dan Lord). Oleh karena kajian-kajian tersebut memiliki sifat
dan ciri kesastraan, dalam bab ini akan diulas pendekatan-pendekatan
tersebut, disertai dengan tinjauan mengenai kekuatan dan kelemahan
serta kemungkinan penerapannya dalam kajian sastra lisan di lndonesia.
Pendekatan-pendekatan ini tentu saja dapat dimanfaatkan oleh berbagai
disiplin ilmu, termasuk kajian ilmu sastra, untuk kepentingan kajiannya.

B.Madzab Finlandia: Historis Komparatif


1. Latar Belakang
Madzab Finlandia adalah sebuah aliran kajian sastra lisan yang
berkembang di Finlandia dan berpusat di ibu kota negaranya, Helsinki.
Aliran ini mengembangkan metcde dan teori historis-komparatif yang

43
bersifat sistematik. Perlu diketahui bahwa pada awal abad ke-1 9, minat
utama ilmu pengetahuan lebih terarah pada penciptaan, asal-usui cerita
rakyat, sesuai dengan pendekatan sejarah yang umum berlaku dalam
ilrnu sastra. Sastra rakyat di Eropa Barat dibandingkan dengan sastra
rakyat di bagian dunia lain seperti Eropa Selatan dan Eropa Timur. Studi
bandingan mereka bertujuan untuk a) memperlihatkan hubungan antara
berbagai sampel sastra rakyat; b) mengungkapkan pola penyebaran atau
migrasi sastra rakyat itu; c) melacak dan menjelaskan tempat asal sebuah
cerita rakyat; dan d) sedapat rnungkin mengetahui bentuk asli sebuah
cerita rakyat yang telah rnengalami berbagai transformasi.
Krohn dan Aarne adalah pelopor studi historis-komparatif itu.
Mereka memulai kajiannya dengan metakukan studi terhadap epos
nasional Finlandia yang berjudul Kalevala, yang sesungguhnya
merupakan ciptaan abad ke-19 berdasarkan berbagai macam cerita epos
rakyat klasik. Mereka mengupayakan dilakukannya sebuah usaha raksasa
untuk mengumpulkan, mengklasifikasikan, dan membandingkan cerita
rakyat selengkap mungkin dan seluas mungkin, bahkan mereka-memiliki
cita-cita untuk menjangkau cerita rakyat di seluruh dunia (Teeuw,
1984:288-229).

2. Cara Kerja Penelitian


Bagaimana cara kerja Madzab Finlandia ini? Putuhan ribu cerita
rakyat dari seluruh dunia dikumputkan, diklasifikasikan dan disusun
sedemikian rupa sehingga perbandingan dan penelusuran sejarah setiap
cerita rakyat dimungkinkan. Untuk penggotongan cerita rakyat, madzab ini
menggunakan dua kriteria dasar yaitu type dan motif. Type berarti cerita
tersebut digolongkan berdasarkan tipe atau jenisnya. Berdasarkan tipe-
tipenya, Aarne-Thompson membuat sistem ktasifikasi dongeng yang
meng-golongkannya ke dalam tujuh jenis sebagai berikut.
1) Animal Tales (dongeng binatang), metiputi: binatang buas (serigala
yang pintar dan binatang buas lainnya), binatang buas dan binatang

44
peliharaan, binatang buas dan manusia, binatang peliharaan, dan
binatang serta objek-objek Iainnya. Legenda terjadinya Gunung Kelud
di Kediri termasuk animal tales karena melibatkan s9sok manusia
berkepata kerbau bernama Lembu Sura.
2) Tales of Magic (dongeng tentang hal-hal magis), meliputi: tantangan
supranatural, istri atau suami atau kerabat supranatural, tugas-tugas
supranaturat, penolong supranatural, barang-barang magis, kekuatan
atau pengetahuan supranatural, dan dongeng-dongeng lainnya
tentang supranatural. Legenda terjadinya Gunung Kelud di Kediri dan
Legenda Candi Loro Jongrang di Yogyakarta termasuk pula jenis ta!es
of magic karena berkaitan dengan kekuatan-kekuatafl supra natural
yang dimiliki tokoh Lembu Sura (Gunung Ketud) dan Bandung
Bondowoso (Candi Loro Jongrang).
3) Religious Taies (dongeng keagamaan), meliputi:imbalan hadiah atau
hukuman dewa, kebenaran yang terwujud, surga, hantu, dan dongeng-
dongeng keagamaan lainnya.
4) Realistic Tales atau Novelle (dongeng realistik), meliputi: cerita-cerita
seperti seorang pemuda biasa menikahi putri raja, seorang wanita
biasa menikah dengan sang pangeran, bukti kesetiaan dan kemurnian,
istri yang keras kepala belajar menjadi setia, prinsip-prinsip hidup yang
baik, tindakan dan kata-kata yang cerdas, dongengtentang nasib,
perampok dan pembunuh, dan dongeng-dongeflg realistic lainnya.
5) Tales ofthe Stupid Orgre/Giant/Devil (dongeng tentang raksasa atau
hantu yang bodoh), meliputi: kontrak kerja, hubungan antara manusia
dan raksasa, persaingan antara manusia dan raksasa, manusia
membunuh atau rnelukai rciksasa, raksasa ditakut-takuti oleh manusia,
manusia menaklukkan raksasa, jiwa diselamatkan dari gangguan
setan.
6) Anecdotes andjokes (anekdot dan lelucon) meliputi:cerita-cerita
tentang si pandir, cerita tentang pasangan yang sudah menikah (istri
yang bodoh dan suaminya, suami yang bodoh dan istrinya, dan

45
pasangan yang bodoh), cerita tentang seorang wanita (mencari istri,
lelucon tentang seorang nyonya tua), cerita tentang seorang laki-laki
(pria yang cerdas, keberuntungan, lelaki bodoh), lelucon tentang
tokoh-tokoh agama (tokoh agama ditipu, tokoh agama dan perihal
seks), lelucon tentang kelompok masyarakat lain.
7) Formula Tales (dongeng yang memiliki formula), meliputi: dongeng-
dongeng kumulatif (yang didasarkan pada jumlah, objek, binatang,
atau nama; yang selalu dikaitkan dengan kematian; makan, atau
kejadian-kejadian lainnya), dongeng tentang jebakan, dan dongeng-
dongeng formula lainnya.

Motif didefinisikan sebagai anasir terkecil dalam sebuah cerita yang


mempunyai daya tahan dalam tradisi. Berdasarkan kriteria tersebut,
mereka menyusun index atau katalogus tipe-tipe dan motif-motif yang
dapat diterapkan secara universal pada cerita-cerita rakyat. Secara lebih
lengkap, yang dimaksud-kan dengan motif adalah unsur-unsur suatu
cerita (narratives elements). Motif teks suatucerita rakyat adalah unsur
dari cerita tersebut yang menonjol dan tidak biasa sifatflya (Danandjaja,
1984: 53).
Ada berbagai motif yang dapat ditemukan dalam berhagai cerita
rakyat. Beberapa rnotifyang biasa dijumpai dalam cerita-cerita rakyat
aclalah sebagai berikut.
1) Motif berupa benda, misalnya: tongkat wasiat, sapu ajaib, lampu
ajaib, bunga mawar, tanah Iiat, benclabenda angkasa. Cerita asal-
usul manusia, misalnya, terdapat berbagai motif. Ada yang
mengatakan manusia dibuat dari tanah liat, manusia berasal dari telur
burung garuda, manusia berasal dari sejenis pohon tertentu, dll. Hal
ini akan berkaitan dengan keyakinan religious ataupufl fauna dan
flora toten).
2) Motif berupa hewan yang luar biasa, misalnya kuda yang bisa
terbang, buaya siluman, singa berkepala manusia, raksasa, hewan

46
yang bisa berbicara, burung phoenix, ular naga, ayam jantan. Dalam
dongeng Ande Ande Lumut, dikisahkan tentang seekor kepiting
raksasa bernama Yuyu Kangkang dan seekor burung bangau
raksasa yang bisa berbicara.
3) Motif yalg berupa suatu konsep, misalnya laranganatau tabu.
Misalnya konsep yang menjelaskan mengapa wanita hamil tak boleh
makan pisang kembar. Mengapasetelah sunat tradisional (sifon)
seorang lelaki harusmelalui hubungan seks ritual dengan tiga
perempuanyangbukan istrinya. Mengapa wong sukerto atau orang
yang dianggap sial harus diruwat atau harusmenjalankan ritual.
Mengapa seorang anak gadis tidak boleh makan di ambang pintu.
Mengapa perludilakukan ritual bersih desa. Mengapa pohon-
pohontertentu di hutan tidak boleh ditebang atau diambilkayunya.
Mengapa perlu dilakukan ritual sedekah lautoleh masyarakat nelayan.
Motif yang berupa konsep-konsep larangan ataupun anjuran seperti
ini banyak dijumpai dalam cerita-cerita rakyat di lndonesia. Motif
tentang Jarangan menghina ibu kandung, misalnya, dapat dijumpai
dalam Legenda Malin Kundang (Minangkabau) dan Legenda Batu
Menangis (Kalimantan Barat). Jika dikaji secara lebih mendalam,
akan dijumpai berbagai kearifan lokal kelompok-kelompok etnis
melalui motif ini. Misalnya mengapa manusia perlu menjaga
kelestarian hutan, flora dan fauna, mengapa manusia perlu hidup
dalam keseimbangan kosmos.
4) Motif berupa suatu perbuatan (ujian ketangkasan, minum alkohol,
bertemu di gunung, turun dari gunung, menyamar sebagai fakir
miskin, menghambakan diri, melakukan tindakan Iaku tapa, moksa,
melewati alam gaib, bertarung dengan raksasa, dll. Dalam dongeng
Ande Ande Lumutdari Kediri, Jawa Timur, misalnya, terdapat motif
perbuatan ini, yakni menyamar (Pangeran Asmara Bangun
menyamar sebagai Ande Ande Lumut dan Dewi Sekar Taji sebagai
Kleting Kuning), menghambakan diri (Dewi SekarTaji menjadi

47
pembantu Nyai Intan). Dongeng Jaka Budug dan Putri Kemuning dari
daerah Ngawi, Jawa Timur, bermotifkan sayembara uji ketangkasan
mendapatkan daun sirna ganda. Jaka Budug (budug artinya kudis)
berhasil mendapatkan daun sirna ganda setelah membunuh ular
naga yang menjaga daun tersebut. Jaka Budug pun menikah dengan
putri raja Prabu Aryo Seto bernama Putri Kernuning.
5) Motif tentang penipuan terhadap suatu tokoh (raksasa, hewan). Di
lndonesia banyak dijumpai motif hewan-hewan yang luar biasa,
seperti cerita tentang kancil, raksasa yang bisa menelan manusia
yang mudah ditipu, dll. Legenda Gunung Kelud dan Legenda Candi
Loro Jongrang memiliki motif penipuan. Dalam Legenda Gunung
Kelud, Lembu Sura yang telah berhasil memenangkan sayembara
merentang busur sakti Kyai Garudayeksa dan mengangkat gong Kyai
Sekardelima, ditipu oleh sang putri Dyah Ayu Pusparani dengan
menyuruhnya menggali sumur di puncak gunung Kelud. Ketika galian
sumuritu hampir mendapatkan air, Sang Putri dan Prabu Brawijaya
menyuruh orang untuk menutup sumur itu dengan tanah dan batu-
batuan yang besar. Dalam legenda Candi Roro Jongrang, Bandung
Bondowoso yang hampir sukses mendirikan seribu candi dan dua
buah sumur dalam waktu semalam, sengaja digagalkan oleh Roro
jongrang. Merasa telah dibohongi oleh Roro Jongrang, Bandung
Bondowoso pun mengutuk Roro Jongrang menjadi salah satu candi.
6) Motif yang menggambarkan tipe orang tertentu, misalnya yang
sangat pandai seperti Abu Nawas, tokoh : yang selalii tertimpa nasib
sial seperti si Pandir, dan si Kahayan, tokoh yang sangat bijaksana
seperti raja Sulaiman, tokoh pemberani seperti Si Pitung, tokoh pelaut
ulung seperti Hang Tuah.
Dalam kajian Madzab Finlandia, jika ditemukan dua motif yang
sama pada dua kelompok etnis yang berbeda, maka mereka mengajukan
dua pandangan teoretis yang berbeda.

48
1) Teori Monogenesis, yakni: teoriyang mengatakan bahwa motiftertentu
pasti berasal dari satu daerah. Baru kemudian terjadi proses
penyebaran atau difusi (diffusion). Penganut dan peloporteori ini
antara lain:Jacob dan Wilhelm Grimmm, teori mitologi matahariMax
Muller, dan teori Indianist Theodore Benfey.
2) Teori Poligenesis, yakni: teori yang berpandangan bahwa motif-motif
tersebut merupakan penemuan-penemuan ter-sendiri yang tidak ada
kaitannya (independent invention) atau sejajar (parallel invention).
Penganutteori ini antara lain teori survival dari anggota English
Antropologist, antropolog lngris yang mendasarkan teorinya pada teori
evolusi kebudayaan (berdasarkan pandangan Charles Darwin).
Menurut mereka, kebudayaan, seperti halnya tanaman dan hewan,
berkembang menurut tingkatan-tingkatan, yakni dari tingkat rendah
(primitif, savage) sampai ke tingkat tinggi (modern, canggih).
Bandingkan pula teori poligenesis ini dengan pandangan Carl Gustav
Jung tentang arketipe.
Dengan metode perbandingan yang cukup sulit dan memakan waktu
yang lama, Stith Thompson (1885-1976) berhasil menyusufl sebuah buku
yang memuat berbagai motif dan index cerita--erita rakyat di seluruh dunia
dalam sebuah biiku berjudul Motif-lndex of FoIk Literature: A Classificat
ion of Narra tive E!ernents in Folktaies, Ballads, Myths, Fables, Mediaeval
Romances, Examp!a, Fabliaux, jest-Books, and Local Legends (1 966)
yang terdiri dari enam jilid. Dalam buku itu dapat diketahui apakah cerita
rakyat yang kita petajari itu unik atau hanya merupakan salah satu versi
atau variafl dari cerita rakyat yang ada di dunia. Buku itu memuat
katatogus tipe-tipe dan motif-motif yang dapat diterapkan secara universal
pada cerita rakyat. Berdasarkafl penggolongafl ini sejarah hidup (life
history)sebuah cerita rakyat kemudian ditelusuri oleh peneliti dengan
membandi ngkan sebanyak mungkin varian-varian cerita yang tipe dan
motifnya sama.

49
Mazhab Fintandia yang berpusat di Helsinki ini kemudian dikenal
sebagai pusat organisasi peneliti dari seluruh dunia yang disebut Historico
Geographico School. Prinsip pendekatan dan hasilnya yangterpenting
dituangkan dalam buku Thompson (1977) berjudul The Folktale.

3. Analisis HistoriS-Komparatif Kisah WatoWele -Lia Nurat


Berikut ini dikemukakan sebuah contoh sebagai ilustrasi analisis
historis-komparatif dengan Kisah Wato Wele -Lia Nurat, sebuah mitos
genealogis masyarakat Baipito yang tinggat di seputar Gunung Ile Mandiri.
Pada mulanya Ema Wato Sem Bapa Madu Ma yang tinggal di Sina
Jawa menyuruh orangtuanya yakni burung garuda untuk terbang menuju
ke puncak gunung IIe Mandiri. Di puncak gunung itu, sang garuda
meletakkan telurnya. Dari sebutir telur itu, Iahirlah dua orang anak
kembar, yang kemudian dinamakan Wato Wele (seorang wanita) dan Lia
Nurat (seorang Iaki-laki).
Wato Wele dan Lia Nurat dipelihara dan dibesarkan oleh hantu
gunung hingga menjadi dewasa. Lia Nurat mengantar adiknya Wato WeIe
untuk menempati bagian selatan lIe Mandiri sedangkan Lia Nurat sendiri
menempati bagian utaranya.
Pada suatu malam, Lia Nurat membuat api unggun di puncak lIe
Mandiri. Cahaya api itu sampai ke perkampungan Paji. Sinar api itu
menimpa seorang gadis Paji bernama Hadung Boleng Teniban Duli.
Suku Suban Lewa Hama, saudara Hadung Boleng itu disuruh pergi
ke puncak IIe Mandiri mencari asal api unggun itu. Di sana dia bertemu
dengan Lia Nurat. Lia Nurat berjanji akan turun ke perkampungan Paji.
Lia Nurat pun turunlah ke perkampungan Paji dan menikah dengan
Hadung Boleng. Dari pernikahan itu, lahirlah tujuh orang anak yang
kelakmenurunkan suku-suku Ile Jadi di Baipito. Mereka hidup
berkecukupan.
Kemakmuran mereka diketahui oleh orang-orang suku Soge
(Maumere). Raja suku Soge pun mengantarkan anaknya yang bernama

50
Uto Watak untuk diperistri Lia Nurat. Hadung Boleng tidak senang dengan
kehadiran Uto Watak. Dia pun mengusir Uto Watak. Raja Suku Soge
sangat marah. Mereka datang menyerbu dan membunuh Lia Nurat.
Setelah Lia Nurat meninggal, kehidupan Hadung Boleng dan ketujuh
anaknya sangat menderita. Suatu ketika Hadung Boleng bermimpi melihat
pusat gunung.
Dengan mimpi itu, kehidupan mereka kembali menjadi makmur.
Terjadi perang di Adonara. Kelima putra Lia Nurat ikut berperang
mernbela adik perempuan mereka. Dalam perang tersebut, putra sulung
Lia Nurat, yakni Blawa Burak Sina Puri tewas terbunuh. Keempat putra Lia
Nurat yang masih hidup kembali ke IIe Mandiri dan membagi tanah
warisan di antara mereka.
Menghadapi cerita mitologis semacam ini, pendekatan penelitian
historis-komparatif pertama-tama akan melakukan klasifikasi berdasarkan
type dan motif. Berdasarkan klasifikasi tersebut, kajian selanjutnya akan
difokuskan pada perbandingan dengan teks-teks lainnya untuk meneliti
asal-usul dan pola persebarannya.
Berdasarkan tipe-nya, Cerita Wato Wele -Lia Nurat dapat
digolongkan ke dalam Tales of Magic (dongeng tentang hal-hal magis).
Kedua tokoh kembar ini adalah tokoh mitologis, tokoh yang tidak
dilahirkan dari rahim seorang wanita biasa, melainkan dari sebutir telur
burung garuda. Unsur-unsur supra-natural lainnya dari kedua tokoh ini
adalah orang yang mengasuh dan membesarkan mereka bukanlah
manusia biasa melainkan hantu gunung. Kedua tokoh mitologis (mythical
figure) ini pun dikenal sebagai manusia pertama yang menurunkan suku-
suku asli yang disebut Suku Baipito di seputar gunung Ile Mandiri.
Klasifikasi dan kajian berdasarkan motif cerita terhadap cerita Wato
Wele-Lia Nurat akan menghasilkan dua temuan yang menarik.
1) Motifhewan yang luar biasa. Dalam cerita ini, tokoh Wato Wele dan Lia
Nurat diceritakan berasal dari sebutir tetur burung garuda. Hal ini
menunjukkan asal-usul kedua tokoh ini yang sangat mistis. Kadar

51
mitologis kedua tokoh ini diperkuat dengan cerita bahwa nenek-
moyang mereka sesungguhnya berasal dari sebuah negeri yang
sangat jauh (Sina Jawa adalah ungkapan khas masyarakat Lamaholot
Flores Timur untuk rnenyebutkan sebuah tempat yang sangat jauh,
yang tidak bisa diidentifikasi). Nenek moyang mereka adalah Ema
Wato Sem Bapa Madu Ma, yaitu nama ritual untuk menyebutkan tokoh
Sem. Sem adalah putra sulung Nabi Nuh yang dipercaya menurunkan
semua penduduk Sina Jawa. Perhatikan bahwa kisah ini telah
mengalami interteks dengan Kitab Suci Perjanjian Lama (Kej. 6: 9-22).
Dikisahkan bahwa Nabi Nuh memiliki tiga orang anak, yaitu Sem, Ham,
dan Yafet, dan bahwa ketiga anak ini berpencar ke semua bangsa di
muka bumi ini.
2) Motif berupa konsep-konsep aturan adat-istiadat daerah. Pertama,
konsep tentang kepatutan adat pernikahan. Dalam cerita Wato Wele -
Lia Nurat,dikisahkan bahwa Lia Nurat memiliki dua orang istri,Hadung
Boleng Teniban Duli dan Uto Watak TelumaBura. Pernikahan dengan
Hadung Boleng Teniban Duliadalah pernikahan yang ideal, di mana
pihak laki-lakimendatangi rumah pihak wanita. Dikisahkan bahwaLia
Nurat turun dari gunung mendatangi perkampungan Paji dan
menikahi Hadung Boleng. Pernikahan denganUto Watak Teluma Bura
adalah pernikahan yang tidak layak, dan dengan demikian membawa
malapetakabagi keluarga Lia Nurat. Diceritakan bahwa Uto Watak
Teluma Bura diantar ke puncak gunung, ke rumah LiaNurat.
Masyarakat Flores Timur sangat menghargaipihak perempuan, dan
tidak pernah menganggapperempuan sebagai bahan persembahan
kepada pihaklaki-laki.
Kajian historis-komparatif selanjutnya akan membandingkan
kesamaan tipe dan motif tersebut dengan tipe dan motif dari daerah yang
lainnya untuk mengungkap wilayah persebaran dan asal-usul cerita
tersebut.

52
Motif burung garuda adalah sebuah motif yang sangat penting
dalam banyak peradaban di dunia ini. Garuda dipandang sebagai king
ofthe birds yang bertugas sebagai pembawa pesan dari kekuatan langit.
Garuda pun clapat terhang tiiiggi sendirian di langit dan menatap tajam
tanpa berkedip (Chavalier, 1982: 233-328). Motif burung garuda dapat
ditemui di zaman para kaisar di Kerajaan Romawi Kuno, Napoleon
Bonaparte, Amerika Utara, padang Siberia, Jepang, Cina, dan Afrika.
Garuda adalah simbol primitif dan kolektif untuk bapak atau segala
gambaran tentang bapak. Dalam mitotogi Artik (Kutub Utara), Asia Utara,
dan lnclian Amerika, garuda adalah simbol matahari. Langit dan Bumi
diganibarkan dengan oposisi garuda dan ular atau pertarungan malaikat
melawan setan. Pertanyaan bermula dari manakah motif garuda itu akan
sangat sulit dijelaskan.
Motif konsep tentang adat-istiadat amat menarikuntukditelusuri dan
dipetakan wilayah persebarannya narnun sukar menentukan asal usul
konsep tersebut.

4. Keunggulan dan Kelemahan


Berbagai pakar dunia mengakui bahwa metode penelitian mazhab
Finlandia menghasilkan banyak sekalistudi yang menarik dan
memperkaya pengetahuan kita mengenai cerita rakyat di seluruh dunia.
Klasifikasi Aarne dan index Thomson sampai sekarang masih tetap
memiliki nilai yang penting untuk penelitian cerita rakyat.
Akan tetapi metode mereka memiliki kelemahan dan banyak
mendapat kritikan (Teeuw, 1984: 290). Keberatan utama terhadap metode
historis-geografis ini adalah tidak mudah melakukan klasifikasi terhadap
berbagai cerita rakyat berdasarkan tipe dan motif. Kekacauan klasifikasi
pasti akan mudah dialami oleh para peneliti yang mencoba menggolong-
golongkan sebuah cerita rakyat ke dalam tipe dan motif tertentu. Selain
itu, kesimpulan tentang tua mudanya dan asli tidaknya varian tertentu
sebuah cerita rakyat pun sangat sukar dibuktikan. Penggolongan itu

53
seringkali bersifat subjektif, tidak konsisten, dan sebuah cerita rakyat
dipecah-pecah ke dalam sejumlah motif, yang kaitan satu sama
lainnyatidakjelas Jagi. Dalam contoh Kisah Wato WeJe-Lia Nurat di atas,
tampak bahwa sebuah motif dapat saja memiliki wilayah persebaran yang
sangat luas, yang herakibat pada sulitnya memberikan sebuah penafsiran
tunggal tentang asal-usul dan penyebarannya. Dengan demikian jetaslah
bahwa mazhab ini tidak melihat sastra rakyat sebagai karya sastra karena
sastra rakyat itu dipecah-pecah dalam motif-motif tanpa memperhatikan
fungsi dan makna motif-motif terebut.
Sekalipun banyak ditemui kendala dalam menggunakan klasifikasi
Aarne dan index Thomson, bukubuku mereka masih tetap mempunyai
nilai sebagai acuan yang berharga dalam melakukan studi sastra rakyat.
Klasifikasi semacam itu perlu diperluas jangkuannya agar dapat
mencakup pula kajian mengenai makna dan fungsinya di dalam kelompok
masyarakat pendukungnya.

C. Teori Parry - Lord: Penciptaan Sastra Lisan


1. Latar Belakang
Masalah penciptaan sastra lisan menjadi bidang perhatian utama
dua ahli bahasa Yunani, yakni Milman Parry (1902-1935) dan asistennya
Atbert B. Lord (1912-1991). Teori yang mereka temukan kemudian dikenal
sebagai teori Parry-Lord. Kedua peneliti ini memberikan sumbangan
berharga bagi penelitian sastra lisan dari segi metode Penelitian dan
konsep teori umum.
Minat terhadap aspek penciptaan sastra lisan ini diilhami oleh ilmu
sastra klasik Barat, khususnya penciptaan puisi Odysee dan llias karya
Homerus, seorangpeflyair Yunani Kuno. Sudah cukup tama Homerus
sebagai penyair dipermasalahkan dalam ilmu sastra klasik Barat. Di satu
pihak Homerus dikagumi sebagai seorang penyair klasik primitif dalam arti
positif, karena dalam karyanya diungkapkan hakikat emosi manusiawi,
tanpa dicampuri berbagai konvensi yang muluk-muluk tetapi yang

54
kehitangan keasliandan dirusakkan oleh kebudayaan (Teeuw, 1984: 295).
Akan tetapi, sangat ironis bahwajustru di zaman klasik, abad ke-18,
Homerus mulai dipisahkan dari tradisi pengarang klasik yang agung.
Alasannya Homerus adalah seorang buta huruf, seorang urakan, gaya
bahasanya dan gambarannya tentang dewa-dewa dan manusia bersifat
kerakyatan dan kasar.
Cara penciptaan puisi Homerus juga mulai dipermasalahkan. Pada
akhir abad ke-19 ada dua anggapan yang saling bertentangan. Satualiran
beranggapan bahwa pada awalnya karya Homerus terdiri atas nyanyian-
nyanyian tersendiri, yang kemudian oleh tradisi dipadukan menjadi dua
epos yang terkenal, Odysee dan llias. Dengan demikian, Homerus
hanyalah seorang Rhapsodis ataupenyambung cerita. Aliran lain
menganggap puisi Homerus sangat halus dan berjalinan erat sehingga
epos tersebut pasti diciptakan sebagai satu kesatuan yang utuh oleh
seorang pengarang yang jenius.
Segera setelah selesai pendidikannya dalam bidang Klasik pada
Universitas California, Berkeley, Milman Parry mulai bergelut dengan apa
yang saat itu disebut sebagai Pertanyaan Homerus (Homeric Question),
yang biasanya dirumuskan dalam dua pertanyaan, (1) Siapakah Homerus
itu? Dan (2) apa sajakah puisi-puisi Homerus itu? Pertanyaan Homerus ini
sudah pernah d.ijawab oJeh para pakar sebelumnya, seperti Marcel
Jousse, Matija Murko, dan ArnoJd van Gennep. Sumbangan Parry adalah
mem-pertanyakan kembali asumsi-asumsi dasar yang mem-pengaruhi
penelitian, sebuah penataan ulang yang memiliki konsekuensi yang besar
pada berbagai disiplin lainnya.

2. Teori dan Metode Parry - Lord


Milman Parry adalah lulusan Universitas Catifornia di Berktey dan
Universitas Sorbone di Paris. Di Sorbone, dia dibimbing seorang Jinguist
Antoine Meillet, yang mernbimbingnya kearah pemahaman yang
mendalam mengenai formula. Menurut Parry, formula adalah sekelompok

55
kata yang secara teratur digunakan dengan kondisi metris yang sama
untuk mengekspresjkan sebuah gagasan yang esensial.
Parry adalah orang pertama yang mencoba membuktikan bahwa
karya Homerus merupakan karya utuh dan sempurna. Bahwa Homerus
memang memanfaatkan dan menggali kekayaan tradisi lisan pada
zamannya, tetapi berdasarkan konvensi tradisi Lisan itu dia menciptakan
karya sastranya sebagai suatu keseluruhan.
Milman Parry tidak puas dengan hipotesisnya itu karena dihangun
herdasarkan bahan-bahan yang berasal dari tiga ribu tahun yang lalu.
Maka bersama dengan muridnya Albert B. Lord, dia melakukan penelitian
Japangan di Yugoslavia untuk membuktikan sendiri proses penciptaan
epos rakyat itu. Yugoslavia dipilih karena di sana masih cukup banyak
penyanyi epos rakyat. Di sana mereka meneliti puluhan contoh epos
rakyat seperti yang dinyanyikan oleh tukang cerita (dalam bahasa
Yugoslavia, Guslar).
Dari berbagai epos itu, mereka meneliti a) teknik penciptaan epos
rakyat, dan b) cara tradisi jni diturunkan dari guru ke muridnya. Mereka
juga meneliti c) resepsi karya sastra ituoleh masyarakat, yaitu audience
yang menghadiri performance. Hasil penelitian mereka, sesudah Parry
meninggal, diterbitkan Lord dalam buku berjudul Thesinger of Tales (1960)
yang kini menjadi sebuah buku klasik ilmu sastra (Teeuw, 1984: 297).
Menurut teori Parry-Lord, proses penciptaan sastra lisan dapat
dicermati dari cara mereka memanfaatkan persediaan formula yang siap
pakai sesuai dengan konvensi sastra yang berlaku. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan di Yugoslavia, Parry & Lord membuktikan bahwa
struktur sastra lisan selalu berubah-ubah, lincah dan hidup karena selalu
diciptakan dan dihayati kembali sesuai dengan daya cipta pembawa
maupunpenikmatnya (Teeuw, 1988b: 299).
Jika diringkas, teori Parry -Lord tentang penciptaan sastra lisan
itumencakup aspek-aspek: formula dan ungkapan formulaik, tema-tema

56
atau kelompok gagasan,dan teori penciptaan atau pewarisan. Hal-hal
ituakan dibahas di bawah ini.

a. Formula dan Ungkapan Formulaik


lde baru yang dilontarkan Parry adalah, bahwa modal utama
penciptaan karya Homerus adalah dengan memanfaatkan persediaan
formula dan ungkapan formulaik yang sangat menonjol. Formula adalah
kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalamkondisi matra yang
sama untuk mengungkapkan satu ide pokok. Sedangkan ungkapan
formulaik adalah larik atau separuh larik yang disusun berdasarkan
formula (Lord, 1976: 47, Abdullah, 1991: 523). Baik formula maupun
ungkapan formulaik merupakan unsur-unsur yang siap pakai (stock-in-
trade), dalam arti setiap kali tukang cerita bertutur, unsur-unsur tersebut
pasti dipergunakan. Unsur-unsur itu biasanya dihafal sehingga wacana
kebudayaan lisan sangat tergantung pada penggunaan ungkapan-
ungkapan yang cukup baku dalam bentuk bergaya (fixed utterance in
stylised form), misalnya dalam peribahasa-peribahasa dan kata-kata adat
lainnya.
Formula dan ungkapan formulaik dalam penuturan sastra lisan
bahkan tidak hanya berfungsi sebagai wadah menceritakan atau
menjelaskan pokok isi suatu cerita tetapi merupakan pokok itu sendiri
(Sweeney, 1987: 96-97). Dalam penyusunan cerita, orientasi Lisan
terutama tampak pada perangkaian potongan-potongan formula menjadi
akumulasi formula. Dengan demikian, cerita lebih menyerupai proses
perakitan formula (Teeuw, 1988b: 449-452).
Sebagai ilustrasi, dalam epos Homerus terdapat sangat banyak
epitet (epitheton), yang dimanfaatkan langsung dalam posisi matra
tertentu. Penggunaan epitheton yang begitu banyak tentu bukantah suatu
kebetulan. Epitheton adalah kata sifat atau ktausa yang berfungsi sebagai
kata sifat yang memerikan ciri khas seseorang atau sesuatu benda,
keadaan dan lain-tain. Perhatikan tabel di bawah ini.

57
58
Tabel 2: Epitheton

NO NAMA/KEADAAN/BENDA EPITHETON
1 Odyseus Polutlas (=yang banyak menderita)
Polumetis (=yang banyak akalnya)
2 Achilles Poodas Ookus (=yang cepat kaki)
3 LiaNurat Koda Lia Nurat/Nurat Nunu Nama
(=tali pencipta penunjuk jalan)

Selain terwujud Dalam epitheton, formula dan ungkapan formulaik


sebagai orientasi lisan terlihat dalam struktur formal puisi dan struktur
sintaksis puisi. Dalam strukturformal puisi, jumlah kata dalam larik dan
bait, sistem pembaitan, dan gaya hahasa kiasan seperti: metafora dan
perumpamaan, metonimia dan sinekdoke, ironi dan sinisme seri ngkali
dipergunakan secara berulang-utang. Dalam struktur sintaksis, pola-pola
lisan terlihat dalam penggunaan sarana retorika seperti: paraletisme,
pleonasme dan tautotogi, repetisi dan erwrnerasi (lihat studi
yangdilakukan Abdullah, 1991: 522-558; dan Taum, 1994: 218-262).

b. Tema atau Kelompok Gagasan


Dalam studi Parry dan Lord, terungkap bahwa sistem formula tidak
hanya terdapat dalam tataran struktur formal dan struktur sintaksis
melainkan juga dalam tataran struktursemantik. Dalam kajian naratif,
mereka menemukan bahwa ternyata ada kelompok-kelompok gagasan
yang secara teratur digunakan dalam penceritaan puisi tradisional yang
bergaya formulaik. Lord menyebut kelompok-kelompok ide itu sebagai
tema-tema atau thernes (Lord, 1981: 68).
Menurut Lord, dari pengalaman para penyair Lisan ataupun
pengalaman kita mendengarkan puisi yang sama dari berbagai penyair
atau mendengarkan penyair yang sama menyampaikan puisi yang sama
pada beberapa kesempatan berbeda, tidak ada alasan untuk mengatakan

59
bahwa sebuah tema dapat diekspresjkan hanya dalam sebuah rangkaian
kata-kata. Sebatiknya tema sekalipun bersifat verbaldirumuskan dalam
kelompok-kelompok gagasan. Jadi di samping formula dan ungkapan
formulaik, seorang penyair juga memiliki adegan siap pakai yang disebut
tema. Dalam studi Abdullah (1991: 559-564; Taum, 1994: 263-301)
disebutkan berbagai adegan dan deskripsi bagian-bagian cerita yang siap
pakai yang tersedia dalam konvensi sesuaj dengan horizon harapan
penikmat. Pemakaian gaya bercerita semacam itu dalam rangka
pembacaan menampilkan pula berbagai tataran semantik.
Dalam jagat sastra lisan, Lord (1981: 70) menyebutkan bahwa
ada sejumlah ide atau kelompok-kelompok ide yang secara teratur
digunakan dalam penceritaan, khususnya dalam cerita-cerita bergaya
formulaik. Kelompok-kelompok ide itu oleh Lord disebut sebagai themes.
Istilah tema-tema yang oleh Lord diartikan sebagai kelompok-keIompok
ide. siap pakai,barangkali dapat disejajarkan dengan pandangan Sweeney
(1980: 33) tentang komposiSi skematis sebagai sebuah cara membangun
komposisi cerita berdasarkan suatu kerangka jalan cerita yang dihafal
(tema-tema yang juga siap dipakai oleh tukang cerita). Kesimpulan ini
ditarik berdasarkan penelitian tapangannya. Menurut dia, pengalaman
para penyair lisan ataupun pendengar menyimak sebuah cerita yang
sama dari beberapa penyair menunjukkan bahwa tema-tema tertentu
seringkali muncul dalam cerita tersebut. Demikian pula jika kita
mendengarkan sebuah kisah yang sama dari penyair yang sama dalam
kesempatafl kesempatan berbeda, tema-tema itu sering kati dimunculkan
kembali. Berdasarkan kenyataan itu, Lord mengungkapkan bahwa tidak
ada atasan bagi kita untuk menyatakan bahwa sebuah cerita hanya
memitiki satu tema saja. Dengan kata lain, tema sebuah cerita tidak dapat
diekspresikan hanya dalam sebuah rangkaian kata-kata saja. Sebaliknya
tema harus diungkapkan dalam kelompok-kelompok gagasanberdasarkan
perbandingan terhadap variasi-variasi teks. Tema-tema itu dapat berupa
adegan-adegan siap pakai ataupun deskripsi bagian-bagian cerita yang

60
tersedia dalam konvensi dan sesuai dengan horizon harapan
penikmatnya.
Untuk mengungkapkan tema-tema yang terdapat dalam sebuah
karya sastra lisan, seorang peneliti harus membandingkan versi-versi
sebuah cerita yang sama ataupun beberapa cerita yang berbeda untuk
menunjukkan manakah, adegan-adegan siap pakai ataupun deskripsi
bagian-bagian cerita yang disiapkan dalam konvensi. Dalam Penelitian
sastra lisan, selain formula dan ungkapan ungkapan formulaik yang
dianalisis dalam struktur formal teks, perlu dicermati pula berbagai adegan
siap pakai dan deskripsi bagian-bagian cerita yang disiapkan
dalamkonvensi kebudayaan masyarakat pendukung sastra lisan tersebut.
Telah ditunjukkan di atas bahwa dalam sastra Lisan, formula,
ungkapan-ungkapan formulaik, ataupun kelompok-Kelompok ide dan
deskripsi bagian-bagian cerita dalam alur mengacu kepada berbagai
realitas. Formula-formula itu sering kali diulang-ulang dalam sebuah
korpus kebudayaan. Formula-formula itu dapat ditemukan dalam berbagai
genre cerita dalam berbagai kebudayaan. Apakah artinya ini? Jika kita
menerima pandangan bahwa fungsi sastra Lisan dalam masyarakat
tradisional lebih kuat tekanannya pada unsur utile (berguna), dapat
dikatakan bahwa formula-formula itu hanyalah sarana atau instrumen
untuk menyampaikan sistem nilai atau unsur-unsur didaktik sesuai dengan
pandangan dunia konvensional. Dengan demikian, sesungguhnya
formula-formula itu merupakan simplifikasi gagasan-gagasan yang
kompleks, yang dalam arti tertentu bersifat simbolik.
Dalam berbagai kebudayaan di dunia, misalnya, mudah
ditemukan tema atau motif kompteks Oedipus. lstilah kompleks Oedipus
terutama diperkenalkan oleh tokoh psikoanatisis Sigmund Freud untuk
rnenyebut cinta seksual anak kepada orangtuanya yang berbeda jenis
kelaminnya (misalnya anak perempuan kepada ayahnya, atau anak laki-
laki kepada ibunya). Rasa cinta ini seringkali ditekan ke alam bawah sadar
karena dianggap sebagaidosa. Menurut ahli-ahli psikologi, kecemburuan

61
anak kepada orang tua lawan jenisnya itu seringkali muncul dalam
berbagai cerita rakyat. Anak laki-laki membunuh ayahnya dan mengawini
ibunya sendiri secara mengherankan dapat ditemukan dalam semua
kebudayaan dunia. Di lndonesia motif Oedipus dapat dijumpai
dalamberbagai cerita. Menurut Rusyana (1 993), motif semacam itu antara
lain dijumpai dalam (1) cerita Sangkuriang di Sunda, (2) cerita terjadinya
orang Kalang di Pekalongan, (3) cerita Watu Gunung dan Dewi Sinto
Dalam Babad Tanah Jawa, (4) cerita Gunung Darapung masyarakat
Bone, (5) cerita Kebo Mundar dari masyarakat Bali, (6) cerita Gua Batu
Sepong dalam masyarakat Bone, dan (7) cerita perkawinan ibu dengan
anak laki-Iakinya di Nias. Dapat pula kita sebuitkan legenda Pangeran
Samudra yang mengawini ibunya di Gunung Kemukus, Sragen, Jawa
Tengah.
Bertahannya tema-tema semacam itu menarik untuk ditelusuri
makna dan terutama fungsi cerita itu bagi masyarakat pendukungnya. Ada
sebagian ahli (terutama para ahli psikoanatisis) yang menganggap bahwa
kisah-kisah itu menunjukkan alam bawah sadar manusia yang dapat
diterima kebenarannya sesuai dengan ungkapan bahasanya, apa adanya.
Kisah Oedipus, misalnya, menunjukkan bahwa Dalam diri setiap manusia
terdapat cinta seksual kepada orang tuanya yang berlainan jenis
kelaminnya. Oedipus membunuh ayahnya dan mengawini ibunya sendiri
secara tegas menunjukkan pergolakan bawah sadar manusia itu. Dengan
demikian, cerita itu diterima sebagai sebuah kebenaran ilmah.
Sebagian ahli lainnya seperti Whellwright (1965) dan Malinovsky
(lihat Caims, 1944) menganggap bahwa penafsiran terldapattema-
temasemacam itu Perlu dikaitkan dengan data-data historis
setiapmasyarakat karena cerita-cerita rakyat seringkali memitiki makna
diaphoris dengan tradisi, suku-suku tertentu. Dengan lain perkataan, motif-
motif yang sama dapat saja memiliki makna berbeda sesuai dengan
pengalaman sejarah masing-masing kebudayaan.

62
Levi-Strauss (1958) mengungkapkan perspektif yang berbeda
tentang fungsi formula-formula tersebut, terutama dalam masyarakat
primitif. Menurut dia, cerita-cerita rakyat (khususnya mitologi-mitologinya)
merupakan atat logika yang digunakan untuk memecahkan kontradiksi-
kontradiksi yang berkaitan dengan masalah-masalah mendasar (situasi
batas manusia) yang dialami dalam kehidupannya. Cerita-cerita itu
menawarkan suatu modelpemahaman yang sedapat mungkin masuk akal
terhadap hal-hal yang secara sepintas tampak kontradiktif. Cerita
Oedipus, menurut Levi-Strauss, merupakan jawaban manusia terhadap
pertanyaan mendasar Bagaimana mungkin manusia (one) dapat
dilahirkan dari pria dan wanita (two)? Mengapa kita tidak diturunkan dari
seorang pencipta saja?
Bagi para peneliti sastra Lisan, berbagai metode dan teknik-teknik
penelitian yangdikenaldalam ilmu sastradan ilmu kritik teks dapat dijadikan
pedoman untuk menafsirkan formula-formula teks, baik dalam tataran arti
(meaning) maupun dalam tataran makna (significance) Dengan demikian,
pendekatan sastra dapat leluasa menafsirkan tema-tema itu tanpa terikat
pada satu makna tunggal.

c. Prosedur Pewarisan
Teknik-teknik penciptaan dan cara tradisi itu diturunkan penyair
Lisan (di Yugoslavia penyair lisan disebut,Guslar) kepada murid-
murid/pengikutnya menarik perhatian kedua peneliti ini. Menurut Parry-
Lord, cerita-cerita tidak dihafalkan turun-temurun. sebaliknya setiap kali
cerita itu dibawakan, teksnya diciptakan kembali secara spontan dan
disesuaikan dengan minat pendengar, keadaan pembawaannya, dan
waktu yang disediakan. Hal yang tetap pada cerita-cerita lisan bukan alur
cerita melainkan kelompok-kelompok ide yang disediakan oleh konvensi.
Dengan bantuan formula dan ungkapan-ungkapan formulaik yang baku,
kelompok-keIompok ide itu dirakit menjadi sebuah bentuk yang utuh.

63
Prosedur pewarisan teknik bercerita dari seorang penyair
Yugoslavia (guslar) kepada muridnya dilaksanakan melalui semacam
sistem pendidikan formal (lihat Abdullah, 1991: 68). Pelajaran pertama
bagi calon guslar adalah mendengarkan guru nya menyanyikan satu
bagian cerita, yang disusul atau diulangi oleh muridnya. Masa berguru ini
mencapai waktu rata-rata tiga tahun lamanya, yakni sampai calon mampu
menyanyikan sebuah cerita secara utuh. Sebagai pelajaran terakhir, si
calon menemani gurunya mengadakan Perlunjukkan. Dalam setiap
kesempatan ini ia diberi waktu oleh gurunya melanjutkan cerita selama
beberapa menit ketika gurunya beristirahat. Prosedur ini mirip dengan
proses pewarisan sastra lisan Minangkabau (tukang sijobang) (Philips,
1981) dan penyair lisan Aceh (Abdullah, 1991). Kemiripan ini dapat
dipahami karena penceritaan dilakukan sehagai semacam kegiatan
profesional.

3. Contoh Penerapan teori Parry-Lord: Koda Knalan di Flores


Timur
Sebagaimana disebutkan di atas, teori Parry-Lord pernah diterapkan
oleh lmran T. Abdullab dan Yoseph YapiTaum (lihat studi yang dilakukan
Abdullah, 1991: 522-558; dan Taum, 1994: 218-262). Berikut ini
dikemukakan beberapa pokok gagasan dari studi yang dilakukan Taum
sebagai ilustrasi penerapan teori Parry-Lord. Studi Taum (1994)
berjudulTradisi dan Transformasi Cerita Wato Wele-Lia Nurat dalam
Sastra lisan Flores Timur melibatkan deiapan teks puisi lisan masyarakat
Jamaholot di Kabupaten Flores Timur yang disebut koda klaken atau koda
knalan.
Koda klaken memiliki strukturformal (berupajumlah kata dalam larik,
pasangan kata, dan kombinasi pasangan kata) dalam sistem pembaitan
(yang memiliki pola konstruksi bait yang teratur) yang diikuti secara ketat
dan konsisten. Keindahan bahasa puisi koda klaken dalam menuturkan ,
cerita Wato Wele -Lia Nurat yang relatif cukup panjang menimbulkan

64
pertanyaan tentang proses penciptaan dan pewarisannya. Teori Parry-
Lord dapat dipergunakan untuk menjelaskan rahasia tersebut.

65
a. Formula dan Ungkapan Formulaik
Dalam menuturkan cerita mitologis Wato Wele-Lia Nurat, bahasa-
bahasa kiasan dan sarana-sarana retorika sering kali dipergunakan oleh si
penutur.
Dalam 1)enutLiran cerita Wato Wete -Lia Nurat, diteiiitikan gaya
bahasa metafora, personifikasi, dan perumparndan, meskipun digunakan
secara terbatas. Gaya bahasa metafora atau gaya bahasa perbandingan
imptisit tertihat dalam kutipan berikut ini.
1) Doan na lali muda hugu haga// Jauhnya ujung jeruk tak
mencapainya//
Lela na lali pao wutun buno jauhnya pucuk mangga
takmenggapainya
2) Ehin wengi keleket deket// Buahnya lebat kilat menyambar//
Wain dene hetedo redo Bulirnya banyak gempa mengguncang
(3) Deketape ptala tapo// Menyatakan api bintang pagi//
Hemo ape belia hire Membuat api bintang timur

Untuk menggambarkan betapa jauhnya kampung Sina jawa, kutipan


(1) menjelaskan bahwa tempat itu tidak dapat dicapai oleh ujung
jeruk//pucuk mangga. Dalam kutipan (2), metafora kilat
menyambar//gempa mengguncang dimanfaatkan untuk melukiskan hasit
panen yang melimpah. Metafora api bintang pagi//api bintang tirnur
menggambarkan api ghaib (ape be-open) yaitu api yang dibuat oleh Lia
Nurat.
Gaya bahasa perbandingan eksplisit terlihat dalam dua kutipan
berikut ini.
(4) Wato pesang maik ile jadi// Batu pecah bagai gunung melahirkan//
Parak beta moion woka dewa Wadas terbelah serupa bukit beranak
(5) Rupan maik ina nitung// Rupanya bagaikan ibu hantu//
NopenoIon ema lolong Wajahnya laksana bunda jin

66
Pengalihan arti dari sesuatu yang hidup kepada sesuatu yang tidak
bernyawa (yakni gaya bahasa personifikasi) tampak pada kutipan-kutipan
berikut.

(6) Nuren tutu neda maring// Mimpi berkisah mimpi berucap//


Na iba sesa Iemah banu Mencari kian rnenangkap belut
(7) Lewo di uteng tobo hala// Kampung tak memintanya menetap//
Tana di lakang pae hala Desa pun tak mengajaknya berdiam.

Gaya bahasa yang lebih banyak dijumpai adalah metonimia dan


sinekdokhe. Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan
sebuah kata untuk menyatakan sesuatu hat yang lain karena mempunyai
pertalian yang sangat dekat. Sinekdoke adalah semacam gaya bahasa
figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk
menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk
menyatakan sebagian (Keraf, 1985: 142).
Metonimia yang dominan dalam penuturan Wato Wele -Lia Nurat
adalah akibat digantikan jsi dengan wadah (relasi togik). Beberapa contoh
dikemukakan di bawah ini.

(8) Paji tewo pulo kae// Kampung Paji


sudah sepuluh//
Beda tana lema kae Desa Beda sudah lima
(9) Soge haka liu ile// Soge datang menembak
gunung//
Kewa gere reja woka Kewa tiba membunuh bukit

Sepuluh dan lima dalam kutipan (8) ingin menggambarkan bahwa


perkampungan Paji dan Beda sudah banyak (tidak hanya 10 dan 5
kampung). Dalam kutipan (9), gunung dan bukit adalah metonimia yang

67
digunakan untuk menggantikan tokoh Lia Nurat, yang dalam pemahaman
niasyarakat setempat memang identik dengan Gunung Ile Mandiri.
Gaya bahasa Sinekdoke terlihat dafam kutipan berikut ini. Kutipan
(10) menggambarkan bahwa Lia Nurat Lebihunggul dibandingkan dengan
orang-orang Paji, bukanhanya dalam bidang hasil bumi. Dalam kutipan
(11), teJitiga menggatiil)drkafl istri Lia Nurat. Tentu saja bukan hanya
tefinga yang dibayar tunas melainkan juga keseluruhan badan dan jiwa
istrinya.
(10) Ehin uro Paji// Hasilnya melebih Paji//
Wain epa Beda Tuaiannya me{ampaui Beda
(1 1) Tilun e{u sope anal/ Telinganya terbayarkan anaknya
Nuti wihiin sope ana terlunaskan//Belis diberikan mas kawin
clibayarkan.

Kesemua gaya bahasa tersebut merupakan ungkapan-ungkapan


formulaik yang sudah disiapkan oleh tradisi, dan yang dapat
dipergunakan oleh siapapun dalam menuturkan berbagai kisah dan
peristiwa serupa.

b. Tema-tema atau Kelompok Gagasan


Tema-tema atau Kelompok-kelompok gagasan di dalam cerita
Wato We)e-Lia Ntirat, khususnya dalam versi X (teks A, B, dan H),
terdiri dari delapan Kelompoktema sebagai berikut.
(1) Cerita tentang sebuah tokasi yang sangat jauh, yang dinamakan
Sina jawa, yang merupakan asal-usul tokoh Wato Wete dan Lia
Nurat.
(2) Deskripsi tentang burung garuda, tetur burung garuda, dan
kelahiran manusia dari telur burung garuda itu.
(3) Cerita tentang perjaianafl mencari tempat untuk menetap dan
identifikasi lokasi, kebun, nuba nara, dan kampung yang dlbangun.

68
(4) Adegan Lia Nurat menyatakan api di puncak gununglle Mandiri
merupakan sebuah adegan siap pakai.Dalam adegan ini, selalu
dilukiskan bahwa nyala apiitu sangat terang, mencapai kampung
Paji dan menarikperhatian bakat istrinya yang bernama Hadung
Boleng Teniban Duti.
(5) Adanya bagian cerita yang mendeskripsikan secara rinci mengenai
anak-anak Lia nurat dan Hadung Boleng. Deskripsi ini merupakan
sebuah konvensi penceritaan yang sangat penting, karena berkaitan
dengan legitimasi pemilikan tanah.
(6) Adegan pertengkaran kedua istri Lia Nurat, Hadung Boleng Teniban
Duli dan Uto Watak Teluma Burak, yang berakhir dengan kematian
Lia Nurat sebagai akibat pembalasan dendam dari keluarga Uto
Watak Teluma B urak.
(7) Adegan peperangan di Adonara antara putra-putra Lia Nurat
melawan suku Paji, yang berakhir dengan kematian putra sulung Lia
Nurat bernama Blawa Burak Sina Puri.
(8) Adegan penutup cerita berupa pembagian tanah antara anak-anak
Jaki-Jaki Lia Nurat, yang sampai sekarang ditempati oleh
keturunannya masing-masing di wilayah Baipito.

Kedelapan tema tersebut merupakan adegan-adegan siap


pakai yang telah disiapkan oleh konvensi, yang dapat dimanfaatkan
oleh berbagai tukang cerita setiap kali mereka ingin menuturkan
kisah Wato Wele-Lia Nurat.

c. Prosedur Pewarisan
Di daerah-daerah tertentu, mungkin saja penuturan sastra
lisan tidak dilakukan sebagai sebuah kegiatan profesi, dalam arti si
penutur sastra lisan mengikuti proses pendidikan tertentu.
Masyarakat Flores Timur, misalnya,mengenat tradisi puisi lisan (yang
disebut koda knalan atau koda klaken) dengati sistem dan kaidah-

69
kaidah poetika yang diikuti secara ketat dan teratur, akan tetapi
proses menjadi seorang pembawa puisi lisan yang mahirtidak melalui
pola yang demikian (Taum, 1995: 46-51). Kemampuan dan
kemahiran menggunakan bahasa sastra koda knalan umumnya
dipercaya sebagai suatu rahmat atau karunia (kurnia) Tuhan. Dalam
istilah mereka, kemampuan itu diakibatkan mnuno buno (mnuno =
bintang; buno = jatuh, menukik), yaitu orang-orang tertentu yang
kejatuhan bintang. Ada keyakinan bahwa selalu ada salah seorang
anak dari keluarga tua adat yang muncul dengan kemampuan
bersastra. Di wilayah Tanjung Bunga di Kabupaten Flores Timur,
NTT, ada kepercayaan bahwa pada waktu seseorang bercerita, dia
didatangi dan didampingi oleh Manuk Sili Gokok yaitu seekor burung
garuda yang memberinya kemampuan bersastra itu.
Berbagai gaya retorika dalam komposisi sastra lisan
menunjukkan ciri-ciri formulaik, baik dalam tataran struktur formatnya
maupun dalam tataran semantisnya. Ciri-ciri formulaik itu dapat
dipahami dalam konteks fungsi sastra lisan sebagai sarana bagi
penyimpanan, penyampaian dan pewarisan berbagai norma,
konvensional dan sistem nilai dalam lingkup suatu kebudayaan
tertentu. Variasi-variasiteks dapat dikaji dalam hubungannya dengan
aspek tanggapan (resepsi) penutur cerita terhadap norma-norma
konvensional tersehut, entah norma-norma kesusastraan maupun
norma-norma sosial kemasyarakatan. Menurut paham resepsi sastra,
pergeseran unsur-unsur teks berkaitan erat dengan horison harapan
penutur terhadap sistem konvensi tersebut. Perlu dipahami bahwa
perubahan-perubahan kemasyarakatan mengakibatkan muncul-nya
variasi-variasi suatu teks tertentu.
Penciptaan sastra lisan pada umumnya dipermudah berkat
adanya formula, ungkapan-ungkapan formulaik, dan tema-tema siap
pakai. Pencipta sastra lisan bertugas merakit formula-formufa
tersebut ke dalam sebuah cerita yang utuh. Dengan demikian, sastra

70
fisan tampak sebagai akumulasi formula-formula. Meskipun demikian,
struktur sastra lisan sesungguhnya tidak beku karena setiap kali
diceritakan, teks itu diciptakan secara baru dan spontan sesuai
dengan situasi pendengar, waktu yang tersedia, maupun keadaan si
penggubah sendiri. Dalam kebudayaan-kebudayaan tertentu,
seorang sastrawan (penyair Lisan atau tukang cerita) adalah seorang
profesional yang mencapai status tersebut melalui sistem pendidikan
tertentu yang diikuti dengan teratur. Dalam kebudayaan yang lain,
seorang sastrawan lisan tidak mengikuti sistem pendidikan tertentu.
Jika dilacak Lebih jauh mengenai sumber-sumber cerita, dapat
dijumpai berbagai aspek intertekstuafitas dalam sebuah teks. Kajian
terhadap hal ini dapat menjefaskan migrasi dan difusi sebuah bentuk
kebudayaan. Jika dipandang bahwa dalam sastra lisan terdapat
kesatuan formal dan semantik, maka kaidah-kaidah formal yang
diuraian di atas dapat menjadi salah satu petunjuk untuk menemukan
arti dan makna teksnya. Lord (1981:68) mengungkapkan bahwa
formula dan ungkapan-ungkapan formulaik hanya menjadi sarana
penyampaian cerita. Dalam ungkapan Lord sendiri, The tales the
thing; cerita atau kisah itulah pokoknya.

D. Kekuatan dan Kelemahan


Studi Parrydan Lord enjawab misteri penciptaan Homerus yang
buta huruf dapat menciptakaii puisi Odysee dan llias yang sangat terkenal
itu. Parry adalah orang pertama yang membuktikan bahwa karya Homerus
merupakan karya utuh dan sempurna. Bahwa Homerus memang
memanfaatkan dan menggali kekayaan tradisi lisan pada zamannya,
tetapi berdasarkan konvensi tradisi lisan itu dia menciptakan karya
sastranya sebagai suatu keselurLlIan. Pandangan ini memberikan
wawasan baru dalam teori ekspresivisme, khususnya menyangkut proses
penciptaan, pewarisan, dan pembentukan atau komposisi sebuah cerita.
Pada tataran sintaksis terdapat formula dan ungkapan formulaik yang

71
sudah disediakan oleh tradisi bahasa dan yang siap digunakan oleh
tukang cerita dalam merangkaikan kalimat di dalam penceritaan.
Pada tataran wacana, tradisi juga sudah menyiapkan tema atau
kelompokgagasan yang merupakan adegan-adegan siap pakai yang
merupakan kekayaan tradisi lisan setempat, yang sap dimanfaatkan oleh
tukang cerita. Teori penciptaan Lord ini kiranya berlaku pula pada
penceritaan kisah-kisah yang panjang seperti dalam cerita wayang
ataupun kisah-kisah perjalanan Panji. Seorang tukang cerita (dalang)
tentu memiliki formula dan ungkapan-ungkapan formulaik serta adegan-
adegan siap pakai yang dapat dimanfaatkannya setiap kali melakukan
pementasan. Kepandaian seorang tukang cerita dapat dipandang sebagai
sebuah ketrampilan yang dapat dipelajari siapapun yang berminat menjadi
tukang cerita.
Teori penciptaan Parry dan Lord kiranya tidak dapat begitu saja
diterapkan dalam proses penciptaan prosa maupun puisi-puisi lisan yang
relatif pendek. Dalamberbagai kebudayaan tradisional di lndonesia,
kadang-kadang muncul fenomena bahwa proses pewarisan kemampuan
bercerita dari seorang tukang cerita ke tukang cerita lainnya melibatkan
hal-hal yang bersifat magis,seperti bertapa, pemberian kembang dan
mahar tertentu, upacara ritual, doa dan slametan.Hal ini tidak disinggung
samasekali dalam teori Milman-Parry.
Sekalipun demikian, pernyataan Parry dan Lord bahwa keahlian
seorang tukang cerita selalu tidak terlepas dari ketrampilannya merangkai
kalimat dan adegan-adegan siap pakai merupakan sebuah kenyataan
artistik yang sulit dibantahkan Tanpa kemampuan tersebut, sukar
diharapkan adanya tukang cerita yang mampu membawakan berbagai
cerita rakyat yang sudah dikenal masyarakat secara memuaskan.

E. Rangkuman
Teori-teori analisis sastra lisan sesungguhnya sudah lebih dahulu
berkembang dalam disiplin ilmu-ilmulain, seperti antro,pologi, psikologi,

72
filsafat, dan sosiologi. Sekalipun masih boleh terbilang baru, pendekatan
sastra terhadap studi sastra lisan sudah mulai menyebar dan memasuki
arus utama ilmu sastra. Dengan pendekatan ilmu sastra, gejala sastra
lisan dapat didekati dan dipahami sebagai sebuah komunikasi tekstual
yang melibatkan pencipta, pendengar, teks itu sendiri, dan aspek-aspek
sosial kemasyarakatan yang terkandung dalam teks tersebut.
Secara khusus pendekatan dalam rangka ijmu sastra dirintis
jalannya oleh pendekatan Madzab Finlandia yang terutama menyoroti tipe
dan motif yang terkandung dalam berbagai cerita rakyat di dunia. Studi
sastra lisan Madzab ini sangat berorientasi historis-komparatif, sesuai
dengan semangat keilmuan pada zamannya. Pergesaran kemudian terjadi
dengan munculnya pandangan Milman Parry dan Albert B. Lord yang
memperkenalkan model anaiisis sastra isan dengan memperhatikan
aspek-aspek formula, ungkapan formulaik, dan tema-tema siap pakai yang
merupakan konvensi penciptaan sastra lisan. Dalam hal ini, orientasi
penelitian ekspresionis mulai dikembangkan oleh penelitian Parry-Lord.

73
BAB VIII
TEORI-TEORI ANALISIS SASTRA
LISAN: VLADIMIR PROPP DANA.J. GREIMAS

Teori-teori analisis sastra lisan yang akan dikemukakan dalam bab


ini adalah teori analisis morfologi cerita rakyat Vladimir Propp, teori
aktansial dan fungsional A.J. Greimas. Kedua teori ini dikemukakan dalam
satu bab yang sama karena memiliki kesamaan pendekatan serta saling
merevisi. Dalam sejarah kajian sastra lisan, kedua teori ini memiliki
kedudukan yang sangat kuat karena sering dimanfaatkan untuk
melakukan kajian terhadap teks-teks naratif.

A. Vladimir Propp: Morfologi Cerita Rakyat


1. Latar Belakang
Sejalan dengan Pertumbuhan pendekatan strukturalisme dalam ilmu
bahasa dan ilmu sastra, studi sastri lisan juga mulai mengembangkan
pendekatan analisis struktur cerita rakyat.Perintis usaha ini adalah
VladimirPropp (1895-1970), salah seorang tokoh aliran Formalis Rusia
yang melakukan analisis yang cermat tentang struktur cerita rakyat
(folktale). Penelitian Propp adalah usaha untuk menemukan pola umum
alur dongeng pada umumnya.
Vladimir Propp lahir di st. Petersburg tanggal 17 April 1895 dari
sebuah keluarga imigran Jerman. Dia kuliah di Universitas St. Petersburg
(1913-1918) dalam bidang studi filsafat Rusia dan Jerman. Setelah
menyelesaikan kuliahnya, dia mengajar bahasa Rusia dan Jerman di
SLTA dan kenlLicIiail menjadi dosen bahasa Jerman. Tahun 1932, Fropp
menjadi staf pengajar Universitas Leningrad (yang sebelumnya bernama
Universitas St. Petersburg) dan menjabat Ketua Jurusan Folklor.
Propp adalah tokoh strukturalis pertama yang melakukan kajian
secara serius terhadap struktur naratif, sekaligus memberikan makna baru

74
terhadap dikotomi fahula dan sjuzhet.Pada tahun 1928, Propp melakukan
penelitian terhadap seratus dongeng Rusia. Propp (1987:93-98)
menyimpulkan bahwa semua cerita yang diselidiki memiliki struktur yang
sama. Artinya, dalam sebuah cerita para pelaku dan sifat-sifatnya dapat
berubah, tetapi perbuatan dan peran-perannya sama, tidak berubah.
Menurutnya, dalam struktur naratif yang penting bukanlah tokoh-tokoh,
melainkan aksi tokoh-tokoh yang selanjutnyadisebut fungsi. Unsur yang
dianalisis adalah motif (elemen), yang merupakan satuan unitterkecil yang
membentuktema.
Propp memandang sjuzhet sebagai tema bukan alur seperti yang
dipahami oleh kaum formalis. Menurutnya, motif merupakan unsur yang
penting sebab motiflah yang membentuk tema. Sjuzhet atau cerita dengan
demikian hanyalah produk dari serangkaian motif. Motif dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu: pelaku, perbuatan, dan penderita. Ketiga motif
ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu perbuatan sebagai unsur yang stabil,
yang tidak tergantung dari siapa yang rnelakukan dan unsur yang tidak
stabil dan bisa berubah-ubah, yaitu pelaku dan penderita. Menurut Propp,
yang terpenting adalah unsur yang tetap (perbuatan) yaitu fungsi itu
sendiri.
Dalam konstruksi raksasa menculik seorang gadis, misalnya,
pelakunya raksasa, perbuatannya menculik, dan penderitanya seorang
gadis. Unsur perbuatan menculik adalah unsur yang paling penting karena
tindakan itu dapat membentuk suatu tungsi tertentu dalam cerita.
Sekalipun pelaku dan korban diganti, misalnya seorang perampok
(pelaku) menculik seorang anak kecil (korban), fungsi perbuatan menculik
di dalam konstruksi tersebut tidak terpengaruh.Bagi Propp, semua cerita
memiliki pola konstruksi yangtetap. Propp menyimpulkan bahwajumlah
fungsi yang terkandung dalam dongeng yang ditelitinya memiliki 31 fungsi
yang dikelompokkan ke dalam tujuh ruang tindakan atau peranan, yaitu:
(1) penjahat, (2) donor, (3) penolong, (4) putri dan ayahnya, (5) orang
yang menyuruh, (6) pahlawan, dan (7) pahlawan palsu. Menurut Propp

75
(Teeuw 1985: 290-294), tujuan penelitiannya bukan sekadar tipologi
struktur melainkan melalui struktur dasar, dapatditemukan bentuk-bentuk
purba dongeng. Dengan menggabungkan struktur dan genetiknya
(struktur mendahului sejarah), maka akan ditemukan proses
penyebarannya kemudian. Model penelitian ini Prop mendasari penelitian
Greimas.
Hasil penelitian Propp dibukukan dengan judut The Morphology of
theFolktales, pertama kali ditulis dalam bahasa Rusia tahun 1928. Buku ini
sangat berpengaruh di bidang folklore dan morfologi serta mempengaruhi
tokoh-tokoh strtikturalis seperti Ai Greimas, Claude Levi-Strauss dan
Roland Barthes. Sejak edisi bahasa lnggris pertama diterbitkan tahun
1958 dan diperbaiki 1968, pengaruh Propp di Eropa mulai berkembang.
Klasifikasinya terhadap jenis-jenis tokoh digunakan dalam media
pendidikan dan dapat diaplikasikan hampir dalam semua cerita, seperti
sastra, teater, dan seriat televisi.
Analisis dan tipologi struktural itu bukan tujuan utama dan terakhir.
Dia ingin memanfaatkan hasil tipotogi struktural itu untuk Penelitian
historis juga, seperti pada Mazhab Finlandia. Berdasarkan anatisis struktur
itu, dia:, berharap dapat menemukan bentuk purba cerita rakyat itu, yang
kemudian berkembang ke berbagai witayah dengan tokoh dan peristiwa
yang berbeda-beda tewat sejumlah transformasi, tetapi tetap
mempertahankan kerangka struktur fungsi yang sama. Dengan demikian,
Propp ingin menggabungkanmetode struktural dengan metode penelitian
genetik, penelusuran asat-usul dan, penyebarannya (Teeuw, 1 984: 292-
293). Hat ini terutama dituangkannya dalam bukunya yang berbahasa
Rusia, Akar-akar Sejarah Dongeng (1946).
Cara kerja Propp ini banyak dipuji dan diikuti penetiti-peneliti
selanjutnya. Sejak Ferdinand de Saussure,cukup umum disetujui bahwa
penelitian struktur harus mendahului penelitian sejarah, sebab
perbandingan perkembangan sejarah hanya mungkin dilakukan jika kita
mengetahui setepat mungkin fungsi unsur-unsur sebuah cerita dalam

76
keseluruhan karya itu. Transformasi baru menjadi jelas berdasarkan
pemahaman makna bagian-bagian dan rnotif-motif dalam keseluruhan
cerita (Teeuw, 1984: 293).

2. Cara Kerja Penelitian


Propp berusaha menemukan aturan yang rnenguasai atau
menentukan struktur alur di dalam dongeng Rusia. Dialah ilmuwan
pertama yang mengkaji komponen dasar alur cerita dongeng Rusia untuk
menemukan elemen-elemen naratif yang tetap. Perhatiannya terutama
ditujukan pada penggunaan fungsi (function) pelaku menurut u,rutan dan
peranan (character) dalam cerita. Tujuan analisis struktur Propp adalah
menemukan struktur purba (awal), yang kemudian berkembang ke
berbagai wilayah lainnya. Dalam menyusun teorinya, Propp melakukan
analisis terhadap 100 buah dongeng Rusia (fairy tales). Hasil
penelitiannya dituangkannya dalam buku The Morphology of the Folktales.
Sebagaimana dikemukakan di atas, beberapa pokok pikiran Propp yang
penting adalah sebagaiberikut.
(a) Unsur dongeng yang paling stabil dan tak berubah bukanlah tokoh
atau motifnya, melainkan fungsi atau peranannya. Sekalipun pelaku
dan penderita dalam setiap dongeng berubah, tetapi fungsinya tidak
berubah.
(b) Furigsi dalam dongeng jumlahnya terbatas dan merupakan satuan
pokok dalam alur cerita. Propp menyebut jumlahnya adalah 31
fungsi.
(c) Urut-urutan fungsi di dalam sebuah dongeng setatu sama.
(d) Dari segi struktur, semua dongeng mewakili hanya satu tipe saja.

Apakah fungsi itu? Fungtionis understood as actof a character,


defiried from the point ofview ofits significance for the course ofthe action
(1975: 21). Jadi, fungsi adalahtindakan tokoh yang dibatasi dari segi

77
maknanya untukjalan lakonnya. Perhatikan ke-31 fungsi. Fungsi-fungsi ini
dapat dikelompokkan puta ke dalam empat lingkaran(sphere) satuan
naratif sebagai berikut.

Lingkaran Pertama: Pengenalan


Langkah 1 sampai 7 memperkenalkan situasi dan para pelakunya,
mempersiapkan adegan-adegan untuk petualangan selanjutnya.
1. Meninggalkan rumah (absentatiofl). Seorang anggota meninggalkan
rumah dengan berbagai atasan. Anggota ketuarga dapat siapa saja:
entah orang tua, raja, adik, dan lain-tain. Tokoh yang pada mulanya
digambarkan sebagai orang biasa inilah yangkemudian perlu dicari
dan diselamatkan. Para pembaca biasanya meng-identifikasikan tokoh
ini sebagai diriku.
2. Larangan (interdiction). Tokoh utama atau pahlawan dikenai larangan.
Misalnya: tidak boleh berbicara lagi, tidak boleh meninggalkan rumah,
tidak boleh memetik bunga atau buah tertentu, tidak boleh
meninggalkanadik sendirian, tidak boleh melewati jalan ini.Peringatan
terhadap the dangers oflife ini pun seolah- olah ditujukan kepada
pembaca. Pembaca membangunharapan tertentu terhadap tokoh ini
untuk mengikutiataupun melanggar larangan. Larangan itu
misalnya:jangan pergi ke tempat itu, pergilah ke sini!.
3. Pelanggaran terhadap larangan (vio,Iation oflnterdiction).
Pelaranganitu dilanggar. Karena itu,penjahat mulai memasuki cerita,
meskipuntidak secarafrontal melawan sang pahlawan. Pahlawan tetap
sajamengabaikan
larangan.Pembacamungkininginmengingatkanpahlawannya untuk
mengikuti larangan, tetapi jelas pahlawan tidak bisamendengarnya.
4. Memata-matai (reconnaissance). Penjahat mencobamemata-matai,
misainya dengan cara menemukanpermata, anak yang hilang, dll.
Penjahat secara aktifmencari inforrnasi, misalnya menelusuri
informasi-informasi yang berharga atau secara aktif

78
berusahamenangkapseseorang, binatang buruan, atau yanglainnya.
Penjahat bahkan dapat saja berbicara dengan anggota keluarga
yang poIos, yang memberikaninformasi berharga itu. Hal ini membuat
cerita semakinmenegangkan.Pembaca barangkali ingin meng-ingatkan
pahlawan mengenai bahaya sang penjahat.
5. Penyampaian (delivery). Penjahat memperolehinformasi mengenai
korbannya. Upaya penjahatberhasil mendapatkan informasi
biasanyamengenaipahlawan ataupun korban. Berbagai informasi
diperoleh,misalnya tentang peta atau Lokasi harta karunataupun
tujuanpahlawan. inilah fase di dalam cerita yang memihak pada
penjahat,menciptakan ketakutanseakan-akan penjahat
memenangkanpertarungan dancerita akan berakhir dengan tragis.
6. Penipuan (trickery). Penjahat mencoba menipu danmeyakinkan
korbannya untuk mengambil-alihkedudukan ataupun barang-barang
miliknya. Denganmemanfaatkan informasi yang sudah diperolehnya,
penjahat menipu korban atau pun pahlawan denganberbagai
cara.Penjahat mungkin menangkap korban, mempengaruhi pahlawan
untukmendapatkankeinginannya.Penipuandanpengkhianatanadalahsa
lah satu tindakan kriminal sosial terburuk dan sejenispelecehanfisik.
Tindakan ini memperkuat posisipenjahat sebagai orang yang benar-
benar jahat. Hal inimemperdalam ketegangan pembaca
mengenaikeselamatan korban atau pahlawan yang telah ditipu.
7. Komplesitas (cornplicity). Korban benar-benar tertipudan tanpa
disadarinya dia menolong musuhnya. Korbanataupun pahlawan
memberikan sesuatu kepada penjahat, misalnya peta atau senjata
magis yangdigunakan secara aktif untuk melawan orang-
orangbaik.Pembaca kecewa dan putus asa terhadap korbanatau
pahlawan yang kini dianggap sebagai penjahatjuga. Pembaca menjadi
bingung dengan posisipahlawan yang sudah keluar jauh dari
harapan.,

79
Lingkaran Kedua: lsi Cerifa
Pokok cerita dimulai pada fase cerita ini ,dan diteruskan dengan
keberangkatan sang pahlawan.
8. a) Kejahatan (villainy). Penjahat merugikan atau metukai salah
seorang anggota keluarga, misalnya dengan menculik, mencuri
kekuatan magis, merusak hasil panen, menghitangkan atau
membuang seseorang, menukar seorang anak, membunuh
orang,menahan atau memenjarakan orang, melakukan kawinpaksa.
b) Kekurangan (lack). Salah seorang anggota keluargakehilangan
sesuatu atau mengharapkan untuk memiiikisesuatu. Jadi, fungsi ini
memiliki dua alternatif yangdapat terjadi bersamaan di dalam cerita
ataupun salahsatunya terjadi dan yang lainnya tid.ak.
Kekuranganadalah sebuah prinsip psikoanalisis yang mendalamyang
pertama kali kita alami ketika menyadariindividualitas kita terpisah dari
dunia. Kekuranganitulah yang membuat kita berharap dan
mencaripahlawan untuk mengisi kekurangan tersebut.
9. Mediasi (mediation). Kegagalan atau kehilangan itujustru menjadi
pengenal; pahlawan datang dengansebuah permintaan atau suruhan;
dia dibiarkan pergiatau ditahan. Pahlawan menyadari adanya tindakan
kejiataumengetahui kekurangan yang dimiliki anggota
keluarga.Pahlawan mungkin menemukan keluarga atau
komunitasnya yang sedang menderita. Hal inimembuat pembaca
menyadari apa yang terjadisekarang. Kita mungkin tidak menyadari
bahwapahlawan benar-benar seorang pahlawan karena diabelum
menunjukkan kualitasnya sebagai pahlawan.Kita pun tidak menaruh
simpati padatindakan penjahat,tetapi pahlawan pun belum juga
muncul.
10. Aksi Batasan Dimulai (beginning counter-action). Pencari menyetujui
atau memutuskan melakukan aksibalasan. Pahlawan sekarang
memutuskan mengambiltindakan untuk mengatasi kekurangan,
misalnyadengan menemukan barang magis, menyelamatkanorang-

80
orang yang ditahan atau mengalahkan penjahat.Inilali saat bagi
pahlawan untuk memutuskan sesuatu tindakan yang akan
membuatnya menjadi seorang pahlawan. Setelah keputusan dibuat,
dia akan melaksanakan nya dengan penu h konsekuen. Keputusan
tidak dapat dibatalkan karena jika hal itu terjadi dia akan sangat malu
dan tidak dapat dianggap sebagai pahlawan.
11. Kepergian (departure). Pahlawan pergi meninggalkan rumah.

Lingkaran Ketiga: Rangkaian Donor


Pada lingkaran ketiga, pahlawan mencari cara memecahkan
masalah, mendapatkan bantuan berupa hal-hal magis dari Donor.
Perhatikan bahwa sesungguhnya melalui rangkaian, ini kisah dari sebuah
cerita sudah utuh dan. dapat diselesaikan, tamat.
12. Fungsi pertama bantuan (first function of the donor,). Pahlawan diuji,
diinterogasi, diserang, dsbnya, yang merupakan persiapan baginya
menerima pelaku atau penotong magis (donor).
13. Reaksi pahlawan (heros reaction). Pahlawan bereaksi terhadap
tindakan penotong masa depan berhasil atau gagal tes, membebaskan
tahanan, menyatukan yang bertikai, melayani, menggunakan kekuatan
musuh untukmengalahkannya.
14. Resep Benda Magis (receipt of a magical agent). Pahlawan rneneliti
cara penggunaan benda magis.
15. Bimbingan (guidance). Pahlawan dibawa, dipesan, atau dibimbing ke
sebuah tempat dari suatu objek pencaharian. Perubahan spasial
antara dua kerajaan.
16. Pertempuran (strugg!e). Pahlawan dan penjahatterlibat dalam
pertempuran langsung.
17. Pengenalan (branding). Pahlawan dikenali, misalnya terluka, menerima
cincin atau selendang.

81
18. Kemenangan (victory). Penjahat dikalahkan, misalnya terbunuh dalam
pertempuran, dikatahkan dalam sebuah sayembara, dibunuh ketika
sedang tidur, atau dibuang.
19. Kegagalan pertama (liquidation). (Kemalangan dihadapi, tawanan
lepas, orang yang sudah dibunuh hidup kembali).

Lingkaran Keempat:
Kembalinya Sang Pahlawan
Pada tahap final (dan kadang-kadang bersifat optional, tidak wajib
ada) dari rangkaian penceritaan, pihlawanpulang ke rumah, berharap tidak
adainsiden lagi dan pahlawan disambut baik. Meskipun demikian, hal
semacam ini tidak harus terjadi demikian.
20. Kepulangan (return). Pahlawan kembali ke rumah.
21. Pencaharian (pursuit). Pahlawan dicari (orang yang mencarinya ingin
membunuh, memakannya ataupun memperlemah posisi pahlawan).
22. Penyelamatan (rescue). Pahlawan diselamatkan dari pencaharian
(mujizat menghalangi orang yang mencari, pahlawan bersembunyi
atau disembunyikan, pahlawan menyamar, pahlawan diselamatkan).
23. Kedatangan orang tak dikenal (unrecognized arrival). Pahlawan yang
belum dikenali, tiba di rumah atau sampai di negeri lain.
24. Klaim palsu (unfounded claims). Pahlawan palsu memberikan
pernyataan yang tak berdasar/palsu.
25. Tugas yang sukar (difficult task). Tugas yang sulit diberikan kepada
pahlawan (cobaart berat, teka-teki, uji kemampuan, sayembara, dll).
26. Penyelesaian (solution). Tugas itu dapat disetesaikan dengan baik.
27. Pengenalan (recognition). Pahlawan dikenali (dengan tanda pengenat
yang diberikan kepadanya).
28. Pembuangan (exposure). Pahlawan palsu atau penjahat dibuang.
29. Perubahan penampilan (transfiguration). Pahlawan mendapatkan
penampilan baru menjadi semakin ganteng, diheri pakaiiti haru, dJl.
30. Penghukuman (punishrnent). Penjahat dihukum.

82
31. Pernikahan (wedding). Pahlawan menikah dan menerima mahkota
sebagai imbalan, yang pantas cliterimanya.

Menurut Propp (1975: 79-80) pelaku atau dramatis personae dalam


100 cerita rakyat yang dianalisisnya pada umumnya dapat diKelompokkan
ke dalam tujuh jenis sebagai berikut.
1. The villain, penjahat yang bertarung melawan pahlawan.
2. The donor, donor/pemberi mempersiapkan pahlawan atau memberi
pahlawan barang-barang magis tertentu.
3. The magical helper, pembantu magis yang berusaha menolong
pahlawan ketika dia menghadapi kesulitan.
4. The princess and her father, puteri raja dan ayahnya yang
memberikan tugas kepadapahlawan, mengenali pahlawan palsu,
menikah dengan pahlawan. MenurutPropp, secara fungsionai, peran
putri raja dan ayahnya tidak dapat dibedakan dengan jelas.
5. The dispatcher, pengutus yaitu tokoh yang mengetahui adanya
kekurangan dan menghalangi pahlawan sejati.
6. The heroor victimlseeker hero, pahlawan sejati yang memberikan
reaksi terhadap donor dan menikahi putri raja.
7. The faise hero, pahlawan palsu yang mengambil keuntungan dari
tindakan-tindakan pahlawan sejati dan mencoba menikahi putri raja.

Analisis Morfologi Cerira Rakyat Kisah Wato WeIe-Lia Nurat


Berikut ini akan diterapkan model analisis morfoiogi cerita rakyat
terhadap Kisah Wato Wele -Lia Nurat3 yang merupakan sebuah cerita
rakyat masyarakat Lamaholot,-di Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa
Tenggara Timur.

3. Sinopsis Cerita
Adalah seorang tokoh purba bernama Ema Wato Sem Bapa Madu
Ma. Dia tinggal di sebuah tempat yang dikenal sebagai Sina Jawa. Pada

83
suatu hari, dia menyuruh orang tuanya yakni burung garuda untuk terbang
ke timur menuju ke puncak sebuah gunung yang bernama lle Mandiri di
bagian timur Pulau Ffores. Ketika tiba di puncakgunung itu, sang garuda
meletakkan sebutir teturnya. Dari sebutir telur itu, menetas dan lahirlah
dua orang anak kembar, yang kemudian dinamakan Wato Wele (seorang
wanita) dan Lia Nurat (seorang taki-taki).
Sejak masih bayi hingga menjadi dewasa, Wato Wele dan Lia Nurat
dipelihara dan dibesarkan olehseorang hantu gunung. Lia Nurat
mengantar adiknya Wato Wele untuk menempati bagian selatan Ile
Mandiri sedangkan Lia Nurat sendiri menempati bagian utaranya.
Pada suatu malam, Lia Nurat menyalakan api unggun di puncak IIe
Mandiri. Cahaya api itu sampai ke perkampungan Paji. Sinar api itu
menimpa seorang gadis Paji bernama Hadung Boleng Teniban Duli. Suku
Suban Lewa Hama, saudari Hadung Boleng disuruh pergi ke puncak Ile
Mandiri mencari asal api unggun itu. Ketika tiba di sana dia bertemu
dengan Lia Nurat. Lia Nurat berjanji akan turun ke perkampungan Paji.
Lia Nurat pun turunlah ke perkampungan Paji dan menikah dengan
Hadung Boleng. Dari pernikahan itu, lahirlah tujuh orang anak yang kelak
menurunkan suku-SukuIIe jadi di Baipito. Mereka hidup berkecukupan.
Kemakmuran mereka diketahui oleh orang-orang suku Soge
(Maumere). Raja suku Soge pun mengantarkan anaknya yang bernama
Uto Watak untuk diperistri Lia Nurat. Hadung Boleng tidak senang dengan
kehadiran Uto Watak. Dia pun mengusir Uto Watak. Raja Suku Soge
sangat marah. Mereka datang menyerbu dan membunuh Lia Nurat.
Setelah Lia Nurat meninggal, kehidupan Hadung Boleng dan
ketujuh anaknya sangat menderita. Suatu ketika Hadung Boleng bermimpi
melihat pusat gunung. Dengan mimpi itu, kehidupan mereka kembali
menjadi makmur.
Terjadi perang di Adonara. Kelima putra Lia Nurat ikut berperang
membela adik perempuan mereka. Dalam perang tersebut, putra sulung
Lia Nurat, yakni Blawa Burak Sina Puri tewas terbunuh. Keempat putra Lia

84
Nurat yang masih hidup kembali ke Ile Mandiri dan membagi tanah
warisan di antara mereka.

a. Analisis Fungsi Pelaku


Sesuai dengan klasifikasi fungsi pelaku yang dilakukan oleh Propp
di atas, dapat diidentifikasi 1 1 fungsi pelaku dalam mitos Wato Wele-Lia
Nurat sebagai berikut.

Lingkaran Pertama: Pengenalan


1. Dalam lingkaran pertama cerita Wato Wele-Lia Nurat, hanya ada satu
fungsi saja, yaitu Absentation atau ketakhadiran. Seorang anggota
meninggalkan rumah dengan berbagai alasan. Tokoh legendaris Ema
Wato Sem Bapa Madu Ma meminta ayahnya seekor garuda
meninggalkan rumahnya di sebuah tempat bernama Sina Jawa.
Dalam kisah ini tidak disebutkan secara eksplisit alasan tokoh
meninggalkan rumahnya untuk pergi ke sebuah tempat yang baru,
yang belum diketahuinya sama sekali. Akan tetapi, mengingat cerita
tentang Nabi Nuh (Ema Wato Sem Bapa Madu Ma- adalah putra
sulung Nabi Nuh), motivasi itu tentu berkaitan dengan
mengembangkan keturunan di muka bumi.

Lingkaran Kedua: Isi Cerita


2. Mediation. Kisah dimulai dengan fungsi mediation. Di puncak gunung
itu, sang garuda meletakkan telurnya.
Dari sebutir telur itu, lahirlah dua orang anak kembar, yang kemudian
dinamakan Wato Wele -seorang wanita) dan Lia Nurat (seorang laki-
laki). Dari tokoh mistis dan legendaris inilah cerita dimulai.

Lingkaran Ketiga: Rangkaian Donor


3. The first function ofthe donor. Dalam lingkaran ketiga, tokoh Wato
Wele dan Lia Nurat mendapatkan bantuan berupa hal-hal magis dari

85
donor. Keduanya dipelihara dan dibesarkan oleh hantu gunung hingga
menjadi dewasa.
4. Guidance. Bimbingan. Lia Nurat mengantar adiknya Wato WeIe untuk
menempati bagian selatan lle Mandiri sedaiigkan kia Nurit sendiri
menempati bagian utaranya.
5. Branding. Pengenalan. Tokoh Lia Niirat mulai dikenal oleh orang-
orang Paji yang sudah ada di kaki gunung lle Mandiri. Pada suatu
malam, Lia Nurat membuat api unggun di puncak lle Mandiri. Cahaya
api itu sampai ke perkampungan Paji.
6. Victory. Kemenangan dalam cerita ini tidak berkaitan dengan
peperangan, melainkan kemenangan Lia Nurat mendapatkan seorang
gadis Paji yang bakal diperistri. Dikisahkan bahwa sinar api yang
dibuat Lia Nurat itu menimpa seorang gadis Paji bernama Hadung
Boleng Teniban Duli, yang pada akhirnya dinikahinya dan hidup
berbahagia.
7. Liquidation. Kegagalan pertama atau kemalangan dihadapi oleh
keluarga Lia Nurat. Kemakmuran mereka diketahui oleh oring-orang
suku Soge (dari wilayah Kabupaten Sikka).

Lingkaran Keempat:
Kembalinya Sang Pahlawan
8. Unrecognized Arrival. Raja suku Soge pun mengantarkan anaknya
yang bernama Uto Watak untuk diperistri Lia Nurat. lnilah awal
malapetaka karena Hadutig Boleng tidak senang dengan kehadiran
Uto Watak.
9. Difficult Task. Hadung Boleng mengusir Uto Watak. Raja Suku Soge
sangat marah. Mereka datang menyerbu dan membunuh Lia Nurat.
10. Exposure. Pembuangan. Setelah Lia Nurat meninggal, kehidupan
Hadung Boleng dan ketujuh anaknya sangat menderita.

86
11. Transfiguration. Perubahan penampilan. Suatu ketika Hadung Boleng
bermimpi melihat pusat gunung. OIeh karena mimpi itulah, kehidupan
mereka kembali menjadi makmur.

b. ldentifikasi Pelaku
Dari analisis di atas, terlihat bahwa cerita Wato Wele-Lia Nurat
memiliki 11 fungsi. Dari 11 fungsi tersebut, dapat diidentifikasi pelaku
cerita, yang menurut Propp hanya berjumlah 7 jenis. Dalam cerita Wato
Wele-Lia Nurat, terdapat 5 jenis pelaku sebagai berikut:
1. The villain, penjahatdalam cerita ini, yang melakukan tindakan
melawan adat dan pidana, yaitu masyarakat luar, yaitu Suku Soge
beserta raja dan putrinya. Tindakan melawan hukum adat, yaitu
pihak wanita yang mendatangi pihak laki-laki untuk dinikahi.
Tindakan pidana, yaitu tindakan pembunuhan terhadap tokoh Lia
Nurat yang dilakukan oieh masyarakat Suku Soge karena Hadung
Boleng mengisir Uto Watak.
2. The donor, pemberi, orang yang mempersiapkan pahlawan, yaitu
tokoh Kitab Suci Perjanjian Lama, yaitu Sem, yang disebut dengan
nama rituat Lamaholot Ema Wato Seni Bapa Madu Ma.
3. The Magical Helper, Pembantumagis yang menolong pahlawan,
yaituhantu gunung, yang merawat dan membesarkan Wato Wele-
Lia Nurat.
4. The Princess. Peran putri raja dalam cerita ini dijalankan oleh
Hadung Boleng Teniban Duli, yang menjadi istri Lia Nurat.
5. The Hero. Yang menjadi pahlawan dalam cerita ini adalah Lia
Nurat. Diatah tokoh mistis legendaris yang kehadirannya diselimuti
cerita-cerita mistis, yang kemudian menurunkan suku-suku di
Baipito.

87
4. Keunggulan dan Kelemahan
Hasil analisis Propp mengejutkan banyak peneliti sastra lisan.
Propp cukup berhasil memberikan sebuah dasar penggolongan cerita
rakyat yang sungguh-sungguh bersifat strukturaldan berlaku umum.
Secara akademis, hasil ini sangat gemilang.
Kritik terhadap nietode Propp banyak dilontarkan. Seorang peneliti
Betanda, J. P. Guepin secara khusus menulis buku Propp Kan Niet an
Waarom (Propp Tidak Mungkin dan Mengapa) (lihat Teeuw, 1 984: 293-
295). Kritik Guepin itu terutama menyangkut cara Propp menentukan
sebuah unsur tertentu sebagai fungsi atau bukan fungsi. Menurut Guepin,
Propp tidak punya kriteria yang jelas dan pasti, sehingga dia secara
serampangan menganggap sebuah unsur itu sebagai fungsi, tergantung
cocok tidaknya fungsi itu dalam struktur dan urutan tungsi yang menurut
Propp harus ada. Dengan kata lain, seleksi terhadap fungsi
tidakdidasarkan padafungsi tokoh dalam cerita, tetapi ditentukan oleh
cocok tidaknya peristiwa atau tindakan tertentu dalam urutan fungsi yang
menurut Propp harus ada.
Dari analisis fungsi-fungsi cerita tersebut, kita dapat menyimpulkan
bahwa cerita-cerita rakyat Rusia lebih berkaitan dengan- kisah-kisah
kepahlawanan: perang,, strategi, pengkhianatan, dan kemenangan.
Dengan demikian, penerapan model analisis ini pada cerita-cerita yang
tidak bertemakan kepahlawanan menjadi agak sukar, seperti terlihat
dalam aplikasi terhadap cerita rakyat Flores Timur Wato Wele-Lia Nurat.
Propp menggunakan tanda dan lambang-lambang khusus untuk
mengidentifikasi fungsi-fungsi dalam satuan liaratif yang ada, yang tidak
digunakan dalam analisis cerita Wato Wele-Lia Nurat. Tanda dan
lambang-lambang itu terutama digunakannya dalam menggambarkan
struktur-skema. Tampak bahwa gambaran tanda dan lambang-Iambang
tersebut membuat cara analisis Propp menjadi rumit dan sukar diterapkan
begitu saja. Akan tetapi kelemahan ini dapat diatasi dengan mengabaikan
tanda dan lambang-lambang tersebut, seperti yang dilaksanakan di atas.

88
Claude Levi-Strauss, seorang strukturalis Perancis juga mengeritik
karya Propp yang dinilainya menghilangkan semua pertimbangan verbal
dari kajiannya. Baginya, bentuk cerita rakyat selalu lisan sehingga
pertimbangan mengenai nada (tone), suasana (mood), dan watak
(character) tentu selalu berbeda dari satu cerita ke cerita lainnya. Levi-
Strauss ingin membuktikan bahwa pendekatan struktural lebih unggul
dibandingkan pendekatan formalisme.
Para pembela Propp membantah kritik Levi-Strauss dan
mengatakan bahwa kritik itu berlebihan karena pendekatan Propp
memang tidak bertujuan meng-ungkapkan makna setiap cerita rakyat
yang dikajinya (seperti yatig dilakukan kauni strltktllralis ataupufl kaum
pasikoanalisis). Propp juga tidak bermaksud mencari unsur-unsur yang
membedakan satu cerita dengan cerita lainnya. Tujuan Propp adalah
mengungkap unsur-unsur bangunan yang paling elementer yang menjadi
dasar bagi pembentukan struktur naratif dari berbagai cerita rakyat.

5. Tugas
Carilah sebuah dongeng yang berkaitan dengan tokoh
pahlawan(cultural hero) yang berasal dari daerah Anda. Dongeng tersebut
bisa Anda dapatkan sendiri langsung dari seorang narasumber atau Anda
peroleh dari sumber-sumber tertutis. Lakukan kajian terhadap fungsi atau
tindakan tokoh sesuai dengan teori Vladimir Propp, kemudian
klasifikasikan tokoh-tokoh tersebut ke dalam jenisnya.

B. AJ Greimas: Skema Aktan dan Model Fungsional


1. Latar Belakang
Algirdasiulius Greimas (19171992) adalah seorang ahli bahasa
dan ahli semiotik yang berasal dari Lithuania dan banyak meneliti mitologi
Lithuania. Greimas adalah professor pada Ecole des Hautes Etudes en
Sciences Sociates (EHESS) di Paris, Prancis. Sejak tahun 1965, dia
memimpin penelitianlinguistik-semiotik di Paris, yang kemudian menjadi

89
dasar berkembangnya aliran semiotikParis. Greimas dikenal sebagai
pelopor semiotic square (semiotika segi empat) Dalam teori signifikasi dan
penemu skema naratif aktansial.
Penelitian Greimas yang intens terhadap mitologi Lithuania
berdasarkan metode George Dumezil, Claude Levi-Strauss dan Marcel
Detienne dituangkannya dalam buku berjudul Of Cods and Men (1979)
dan ln Search of National Memory (1990). Greimas meninggal tahun 1992
di Paris.

2. Teori dan Metode Greimas


Analisis naratif, menurut Greimas, meliputi dua tahapan struktur,
yaitu (1) struktur Iahir, yakni tataran bagairnana cerita dikernukakan
(penceritaan), dan (2) struktur batin, yaitu tataran imanen, yang meliputi
(a) tataran naratif anatisis sintaksis naratif (skema aktan dan skema
fungsional), dan (b) tataran diskursif.
Naratologi Greimas merupakan kombinasi antara model
paradigmatis Levi- Strauss dengan modet Sintagmatis Propp.
Dibandingkan dengan penelitian Propp, objek pertetitian Greimas tidak
terbatas pada dongeng tetapi diperluas pada mitos. Greimas memberikan
perhatian pada relasi, menawarkan konsep yang lebih tajam, dengan
tujuan yang lebih umum, yaitu membentuk sebuah tata bahasa naratif
universal.
Sebagaimana Propp, Greimas juga Lebih mementingkan aksi
(fungsi) dibandingkan dengan pelaku. Baginya tidak ada subjek di balik
narasi. Yang ada hanyalah subjek atau manusia semu yang dibentuk oleh
tindakan, yang disebut actans dan acteurs. Keduanya dapat berarti suatu
tindakan tetapi tidak selalu tindakan manusia,melainkan juga nonmanusia.
Greimas menyederhanakan fungsi-fungsi Propp (31 fungsi) menjadi 20
fungsi, kemudian dikelompokkan menjadi tiga struktur dalam tiga pasang
oposisi biner. Demikian juga tujuh ruang tindakan disederhanakan menjadi
enam aktan (peran, pelaku, para pembuat), yang dikelompokkan menjadi

90
tiga pasangan oposisi biner, yaitu: subjek versus objek, pengirim
(kekuasaan) dan penerima (orang yang dianugrahi), dan penolong versus
penentang.
Sebagai ilustrasi, perhatikan dua kalimat berikut ini. Dalam kalimat
(a) Andi dan Kevin memberikan apel kepada Rosa, Andi dan Kevin
merupakan pengirim, Rosa adalah penerima sedangkan apel adalah
objeknya. Dalam kalimat (b) Andi membelikan dirinya sendiri sebuah baju,
Andi adalah satu aktor yang memiliki dua fungsi aktan, baik sebagai
pengirim maupun penerima. Kemampuan Greimas dalam
mengungkapkan struktur aktan dan aktor menyebabkan teori struktur
naratologinya tidak semata-mata bermanfaat dalam menganalisis teks
sastra melainkan juga filsafat, religi, dan ilmu sosial lainnya.

3. Cara Kerja Penelitian


Skema PoIa-Aktansial
Teori AJ Greimas sebenarnya merupakan penghalusan atas teori
Propp. Sebelumnya, Propp telah. memperkenalkan unsur naratif terkecil
yang sifatnya tetap dalam sebuah karya sastra yang disebutnya sebagai
fungsi .(Todorov, 1985: 48). Berdasarkan penelitiannya tentang dongeng
Rusia, Propp merumuskan fungsi cerita sebanyak 31 buah. Semuafungsi
tersebut sifatnya tetap serta urutannya sama dalam setiap dongeng
(Hutomo, 1991: 25).

91
Table 1 Pola Aktansial Greiman

Yang dimaksud dengan aktan adalah satuan naratit terkecil, berupa


unsur sintaksis yang mempunyai fungsi tertentu. Aktan tidak identik
dengan aktor. Aktan merupakan peran-peran abstrak yang dimainkan oleh
seorang atau sejumlah pelaku, sedangkan aktor merupakan manifestasi
konkret dari aktan. Seperti terlihat dalam keenam pola aktansial di atas,
aktan dapat berupa tokoh, dapat juga berupa sesuatu yang abstrak seperti
cinta, kebebasan, pembunuhan. Satit tokoh dapat memiliki beberapa
fungsi aktan. Sebaliknya beberapa tokoh bisa menempati satu aktan.
Setiap aktan dalam sebuah skema dapat mempunyai fungsi ganda.
Pengirim dapat berfungsi sekaligus sebagai subjek atau penerima.
Seorang tokoh dapat menempati fungsi aktan yang berbeda. Jika tidak
ada aktan yang tidak terisi oleh sebuah fungsi atau tokoh maka digunakan
tanda dan disebut fungsi zero dalam aktan.
Kajian terhadap sebuah cerita tidak harus terpaku pada satu skema
aktan saja, karetia sebuah cerita dapat saja memiliki beberapa skema
aktan. Fungsi adalah satuan dasarcerita yang menerangkan tindakan logis
dan bermakna yang membentuk narasi.
Tanda panah dalam skema merupakan unsur penting yang
menghubungkan fungsi sintaksis naratif masing-masing aktan. Tanda
panah dari pengirim yang mengarah ke objek berarti ada keinginan dari

92
pengirim untuk mendapatkan, menemukan, atau memiliki objek. Tanda
panah dari objek ke penerima berarti objek yang diusahakan oleh subjek
dan diinginkan oleh pengirim diserahkan atau ditujukan kepada penerima.
Tanda panah dari pembantu menunjukkan bahwa pembantu
memudahkan subjek untuk mendapatkan objek. Sebaliknya, tanda panah
dari penentang menuju subjek berarti penentang rnempunyai kedudukan
untuk menentang, menghalangi, mengganggu, merusak atau menolak
usaha subjek. Tanda panah dari subjek menuju objek berarti subjek
bertugas menemukan atau mendapatkan objek yang dibebankan oleh
pengirim.
Adapun fungsi atau kedudukan masing-masing aktan adalah
sebagai berikut.
1) Pengirim (sender) adalah aktan (seseorangatau sesuatu) yang menjadi
sumber ide dan berfungsi sebagai penggerak cerita. Pengirim
memberikan karsa atau keinginan kepada subjek untuk mencapai atau
mendapatkan objek.
2) Objek (object) adalah aktan (sesuatu atau seseorang) yang dituju,
dicari, diburu atau diinginkan oleh subjek atas ide dari pengirim.
3) Subjek (subject) adalah aktan pahlawan (sesuatu atau seseorang)
yang ditugasi pengirim untuk mencari dan mendapatkan objek.
4) Penolong (helper) adalah aktan (sesuatu atau seseorang) yang
membantu atau mempermudah usaha subjek atau pahlawan untuk
mendapatkan objek.
5) Penentang (opponent) adalah aktan (seseorang atau sesuatu yang
menghalangi usaha subjek atau pahlawan dalam mencapai objek.
6) Penerima (receiver) adalah aktan (sesuatu atau seseorang) yang
menerima objek yang diusahakan atau dicari oleh subjek (Zaimar,
1992:19; Suwondo, 2003:52-54).

93
Perlu dicatat bahwa di antara subjek dan objek ada tujuan, di
antara pengirim dan penerima ada komunikasi, sedangkan di antara
ponolong dan penentang ada bantuan atau pertentangan.

Struktur Fungsional
Selain menunjukkan struktur aktansial, Greimas juga
mengemukakan model cerita yang tetap sebagai alur. Model itu
dinyatakan dalam berbagai tindakan yang disebut fungsi,
sehinggadinamakan struktur fungsional. Model fungsionalberfungsi untuk
menguraikan peran subjek dalam melaksanakan tugas dari pengirirn yang
terdapat dalam fungsi aktan. Modelfungsional terbangun oleh berbagai
peristiwa yang dinyatakan dalam kata benda seperti, keberangkatan,
perkawinan, kematian, pembunuhan, dan sebagainya.
Model fungsional dibagi menjadi tiga bagian yaitu situasi awal (1),
transformasi (2), dan situasi .akhir (3) (lihat Zaimar: 1991; Suwondo, 2003:
54-55). Modet Fungsionaldibentuk dalambagan sebagai berikut:

Tabel 3 Struktur Fungsional

I II III
Situasi Transformasi Situasi
Awal Akhir
Tahap Uji Tahap Tahap
Kecakapan Utama Kegemilangan

Situasi awal cerita menggambarkan keadaan sebelum ada suatu


peristiwa yang mengganggu keseimbangan (harmoni). Dalam tahap
cobaan awal, subjek mulai mencari objek. Terdapatberbagai rintangan, di
situlah subjek mengatami uji kecakapan. Transformasi meliputi tiga tahap
cobaan. Ketiga tahapan,cobaan ini menunjukkan usaha subjek untuk
mendapatkan objek. Dalam tahap ini pula muncul pembantu dan

94
penentang. Tahap cobaan utama berisi gambaran hasil usaha subjek
dalam mendapatkan objek. Dalam tahap utama ini sang pahlawan
berhasil mengatasi tantangan dan melakukan perjalanan pulang. Tahap
cobaan membawa kegemilangan merupakan bagian subjek dalam
menghadapi pahlawan palsu, misatnya musuh Dalam selimut, atau
seseorang yang berpura-pura baik padahal jahat dan tabir pahlawan palsu
terbongkar. Bila tidak ada pahlawan palsu maka subjek adalah pah(awan.
Sedangkan situasi akhir berarti keseimbangan, situasi telah kembali ke
keadaan semula. Semua konflik telah berakhir. Di sinilah cerita
berakhirdengan subjek yang berhasi) atau gagal mencapai objek.

4. Analisis Struktur Aktan dan Fungsional Dongeng


Jaka Budug dan Putri Kemuning
Berikut ini akan dilakukan analisis struktur aktan dan fungsional
Greimaas terhadap Dongeng Jaka Budug dan Putri Kemuning.

a. Dongeng Jaka Budug dan Putri Kemuning


Pertama-tama akan disajikan cerita dongeng Jaka Budug dan Putri
Kemuningsecara lengkap.
(1) Pada zaman dahulu, di daerah Ngawi, Jawa Timur, tersebutlah
seorang raja bernama Prabu Aryo Seto yang bertahta di Kerajaan
Ringin Anom. Prabu Aryo Seto adalah seorang raja yang adil dan
bijaksana. Baginda mempunyai seorang putri yang rupawan
bernama Putri Kemuning. Sesuai namanya, tubuh sang Putri
sangat harum bagaikan bunga kemuning.
(2) Pada suatu hari, Putri Kemuning tiba-tiba terserang penyakit aneh.
Tubuhnya yang semula berbau harum, tiba-tiba mengeluarkan bau
yang tidak enak. Melihat kondisi putrinya itu, Sang Prabu menjadi
sedih karena khawatir tak seorang pun pangeran atau pemuda
yang mau menikahi putrinya ttu. Berbagai upaya telah dilakukan
oleh baginda, seperti memberikan putrinya obat-obatan tradisional

95
berupa daun kemangi dan beluntas, namun penyakit sang putri
belum juga sembuh. Sang Prabu juga telah mengundang seluruh
tabib yang ada di negerinya, namun tak seorang pun yang mampu
menyembuhkan sang Putri.
(3) Hati Prabu Aryo Seto semakin resah. la sering duduk melamun
seorang diri memikirkan nasib malang yang menimpa putri semata
wayangnya. Suatu ketika, tiba-tiba terlintas dalam pikirannya untuk
melakukan semedi dan meminta petunjuk kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa agar penyakit langka yang menimpa putrinya dapat
disembuhkan.
(4) Pada saat tengah malam, Sang Prabu dengan tekad kuat dan hati
yang suci melakukan semedi di dalam sebuah, ruang tertutup di
dalam istana. Pada saat baginda larut dalam semedi, tiba-tiba
terdengar suara bisikan yang sangat jelas di telinganya. Dengarlah,
wahai Prabu Aryo Seto! Satu-satunya obat yang dapat
menyembuh-kan penyakit putrimu adalah dauii sirna ganda. Daun
itu hanya tumbuh di dalam gua di kaki Gunung Arga Dumadi yang
dijaga oleh seekor ular naga sakti dan selalu menyemburkan api
dari mulutnya, demikian pesan yang disampaikan oleh suara gaib
itu.
(5) Keesokan harinya, Prabu Aryo Seto segera mengumpulkan seluruh
rakyatnya di alun-alun untuk mengadakan sayembara. Wahai,
seluruh rakyatku! Kalian semua tentu sudah mengetahui perihal
penyakit putriku. Setelah semalam bersemedi, aku mendapatkan
petunjuk bahwa putriku dapat disembuhkan dengan daun sirna
ganda yang tumbuh di gua di kaki Gunung Arga Dumadi. Barang
siapa yang dapat mempersembahkan daun itu untuk putriku, jika ia
laki-laki akan kunikahkan dengan putriku. Namun, jika ia
perempuan, ia akan kuangkat menjadi anakku, ujar Sang Prabu di
depan rakyatnya.

96
(6) Mendengar pengumuman itu, seluruh rakyat Kerajaan Ringin Anom
menjadi gempar. Berita tentangsayembara itu pun tersebar hingga
ke seluruh pelosok negeri. Banyak warga yang tidak berani
mengikuti sayembara tersebLit karena mereka semua tahu bahwa
gua itu dijaga oleh -eekor tiaga yaiig sakti dan sangat ganas.
Bahkan, sLiclah banyak warga yang menjadi korban keganasan
naga itu. Meski demikian, banyak pula warga yang memberanikan
diriuntuk mengikuti sayembara tersebut karena tergiur oleh hadiah
yang dijanjikan oleh Sang Prabu. Setiap orang pasti akan senang
jika menjadi menantu atau pun anak angkat raja.
(7) Salah seorang pemuda yang ingin sekali mengikuti sayembcira
tersebut aclalalt Jaka Budug. Jaka Budug adalah pemuda miskin
yang tinggal di sebuah gubuk reyotbersama ibunyadi sebuah
desaterpencil di dalam witayah Kerajaan Ringin Anom. la dipanggit
Jaka Budug karena mempunyai penyakit tangka, yaitu seluruh
tubuhnya dipenuhi oleh penyakit budug. Penyakit aneh itu sudah
dideritanya sejak masih kecil. Meski demikian, jaka Bitdug adalah
seorang pemuda yarig sikti. la sangat mahir dan gesit memainkan
keris pusaka yang diwarisi dari almarhum ayahnya. Dengan
kesaktiannya itu, ia ingin sekali menolong sang Putri. Namun, ia
merasa malu dengan keadaan dirinya.
(8) Sementara itu, para peserta sayembara telah berkumpul di kaki
Gunung Arga Dumadi untuk menguji kesaktian mereka. Sejak hari
pertama hingga hari keenam sayembara itudilangsungkan, belum
satu pun peserta yang mampu mengalahkan naga sakti itu. Jaka
Budug pun semakin gelisahmendengar kabar itu.
(9) Pada hari ketujuh, Jaka Budug dengan tekadnya yang kuat
memberanikan diri datang menghadap kepadaSang Prabu. Di
hadapan Prabu Aryo Seto, ia memohon izin untuk ikut dalam
sayembara itu.Ampun, Baginda! lzinkan hamba untuk mengikuti
sayembara ini untuk meringankan beban Sang Putri, katajaka

97
Budug. Prabu Aryo Seto tidak menjawab. ia terdiam sejenak sambil
memperhatikan Jaka Budug yang tubuhnya dipenuhi bintik-bintik
merah. Siapa kamu hai, anak muda? Dengan apa kamu bisa
mengalahkan naga sakti itu? tanya Sang Prabu.Hamba Jaka
Budug, Baginda. Hamba akan mengalahkan naga itu dengan keris
pusaka hamba ini, jawab Jaka Budug seraya memperlihatkan keris
pusakanya kepada Sang Prabu.
(10) Pada mulanya, Prabu Aryo Seto ragu-ragu dengan kemampuan
Jaka Budug. Namun, setelah Jaka Budug menunjukkan keris
pusakanya dan tekadnya yang kuat, akhirnya Sang Prabu
menyetujuinya. Baiklah, Jaka Budug! Karena tekadmu yang kuat,
maka keinginanmu kuterima. Semoga kamu berhasil! ucap Sang
Prabu.
(11) Jaka Budug pun berangkat ke Gunung Arga Dumadi dengan tekad
membara. la harus mengalahkan naga itudan membawa pulang
daun sirna ganda. Setelah berjalan cukup jauh, sampailah ia di kaki
gunung Arga Dumadi. Dari kejauhan, ia melihat semburan-
semburan api yang keluar dari mulut naga sakti penghuni gua. la
sudah tidak sabar ingin membinasakan naga itu dengan keris
pusakanya.
(12) Jaka Budug melangkah perlahan mendekati naga itu dengan
sangat hati-hati. Begitu ia mendekat, tiba-tiba naga
itumenyerangnya dengan semburan api. Jaka Budug pun segera
melompat mundur untuk menghindari serangan itu. Naga itu terus
bertubi-tubi menyerang sehingga Jaka Budug terlihat
sedikitkewalahan. Lama-kelamaan, kesabaran Jaka Budug pun
habis.
(13) Ketika naga itu lengah, Jaka Budug segera menghujankan kerisriya
ke perut naga itu. Darah segar pun memancar dari tubuh naga itu
dan mengenai tangan Jaka Budug. Sungguh ajaib, tangan jaka

98
Budug yang terkena darah sang naga itu seketika menjadi halus
dan bersih dari penyakit budug.
(14) Melihat keajaiban itu, Jaka Budug semakin bersemangat ingin
membinasakan naga itu. Dengan gesitnya, ia kembali menusukkan
kerisnya ke leher naga itu hingga darah mernancar dengan
derasnya. Naga sakti itu pun tewas seketika. jaka budug segera
mengambil darah naga itu lalu mengusapkan ke seluruh badannya
yang terkena penyakit budug. Seketika itu pula seluruh badannya
menjadi bersih dan halus. Tak sedikit pun bintik-bintik merah yang
tersisa. Kini, Jaka Budug berubah menjadi pemuda yang sangat
tampan.
(15) Setelah memetik beberapa lembar daun sirna ganda di dalam gua,
jaka Budiig segera pulang ke istana denganperasaan gembira.
Setibanya di istana, Prabu Aryo Seto tercengang ketika melihat
Jaka Budug yang kini kulitnya menjadi bersih dan wajahnya berseri-
seri. Sang Prabu hampir tidak percaya jika pemuda di hadapannya
itu Jaka Budug. Namun, setelah Jaka Budug menceritakan semua
peristiwa yang dialaminya di kaki Gunung Arga Dumadi, barulah
Sang Prabu percaya dan terkagum-kagurn.
(16) Jaka Budug kemudianmempersembahkan daun sirna ganda yang
diperolehnya kepada Sang Prabu. Sungguh ajaib, Putri Kemuning
kembali sehat setelah memakandaun sirna ganda itu. Kini, tubuh
Sang Putri kembali berbau harum bagaikan bunga kemuning.
(17) Prabu Aryo Seto pun menetapkan Jaka Budug sebagai pemenang
sayembara tersebut. Sesuai dengan janjinya, Sang Prabu segera
menikahkan Jaka Budug dengan putrinya, Putri Kemuning. Selang
berapa lama setelah mereka menikah, Prabu Aryo Seto meninggal
dunia. Setelah itu, Jaka Budug pun dinobatkan menjadi pewaris
tahta Kerajaan Ringin Anom. jaka Budug dan Putri Kemuning pun
hidup berbahagia.

99
100
b. Skema Aktansial
Untuk kepentingan penulisan buku ini, sebuah skema aktansial saja
dipandang cukup untuk menjelaskan dongeiig Jaka Budug dan Putri
Kemuning. Penelitian terhadap dongeng-dongeng dengan struktur
penokohan dan alur cerita yang panjang perlu mengemukakan beberapa
skema aktansial untuk menentukan skema aktansial yang paling tepat
menggambarkan hakikat cerita yang dipelajari.

Sesuai dengan skema aktansiat di atas, diketahui bahwa Prabu


Aryo Setyo menduduki peran sebagai pengirim yang menginginkan agar
putrinya Putri Kemuning (objek) sembuh dari penyakit aneh yang
menderanya. Karena itu, Prabii Aryo Setyo -pnyetenggarakan sayembara
untuk mendapatkan obat yang bisa menyembuhkan Putri Kemuniflg. Jaka
Budug berperan sebagai subjek atau pahlawan bagi Putri Kemuning
karena hanya diatah yang berhasil mengambit obat daun sirna ganda
(penolOng) da,n membunuh utar naga sakti (penentang). Daun sirna
ganda mengobati Putri Kemuning dan darah ular naga sakti mengobati
penyakit kudis Jaka Budug. Atas keberhasilan-nya memenangkan
sayembara jaka Budug pun berhasil memperoleh (penerima) dan
memperistri Putri Kemuning.

101
c. Struktur Fungsional ,
1). Situasi AwaI
Sesuai dengan skema aktansial di atas, struktur cerita dimulai
dengan kekalutan Prabu Aryo Setyo dari Kerajaan Ringin Anom karena
putrinya yang semula sangat harum mewangi diserang penyakit aneh:
tubuhnya mengeluarkan bau yang tidak enak. Melihat kesedihan yang
diderita putri semata wayangnya, Prabu Aryo Setyo berupaya sekuat
kemampuannya untuk dapat menyembuhkan penyakit sang putri.
Berbagai upayatetah dilakukan oleh baginda, seperti memberikan putrinya
obat-obatan tradisional berupa daun kemangi dan beluntas, namun
penyakit sang putri Belum juga sembuh. Sang Prabu juga telah
mengundang seluruh tabib yang ada di negerinya, namuntak seorang pun
mampu menyembuhkan sang Putri.

2). Transformasi
Tahap Kecakapan: transformasi mulai dirasakan dengan
munculnya seorang pemuda buruk rupa bernama Jaka Budug yang
tubuhnya berbintik-bintik karena penyakit kudis. Satu-satunya kekuatan
yang dimilikinya adalah sebilah keris pusaka.
Tahap Utama: cerita bergerak pada kisah kepahlawanan tokoh
Jaka Budug mendapatkan obat daun sirna ganda dan membunuh ular
naga sakti dengan keris pusakanya. Sebuah peristiwa dramatis terjadi
pada tahap ini, yaitu darah sang naga menyembuhkan penyakit Jaka
Budug dan mengubahnya menjadi seorang pemuda- tampan.
Tahap Kegemilangan: tahap kegemilangan dalam dongeng ini
ditandai dengan persembahan daun sirna ganda yang diperoleh Jaka
Budug kepada Sang Prabu. Dengan obat itulah, Putri Kemuning kembali
sehat dan kembali berbau harum bagaikan bunga kemuning. Prabu Aryo
Seto pun menetapkan Jaka Budug sebagai pemenang sayembara
tersebut.

102
3). Situasi Akhir
Dongeng Jaka Budug dan Putri Kemuning berakhir bahagia. Sesuai
dengan janjinya, Sang Prabu segera menikahkan Jaka Budug dengan
putrinya, Putri Kemuning. Setang berapa lama setelah- mereka menikah,
Prabu Aryo Seto meninggat dunia. Setetah itu, Jaka Budug pun
dinobatkan menjadi pewaris tahta Kerajaan Ringin Anom. jaka Budug dan
Putri Kemuning pun hidup berbahagia.

C. Rangkuman
Kekuatan model analisis struktur Greimas adalah
menyederhanakan fungsi-fungsi dan poia-pola pelaku dalam sebuah
cerita. Kemampuan Greimas dalam mengungkapkan struktur iklan dan
stuktur fungsional menyebabkan teori struktur naratologinya tidak semata-
mata bermanfaat dalam menganalisis teks sastra melainkan juga filsafat,
religi, dan ilmu sosial lainnya.
Teori analisis morfologi cerita rakyat yang dikembangkan oleh
tokoh formalis Rusia Vladimir Propp (1895-1970), merupakan upaya
akademis pertama yang mencQba melakukan analisis yang cermat
tentang struktur cerita rakyat (folktale). Tujuan penelitiannya adalah
menemukan pola umurn alurdongeng pada umumnya. Bagi Propp semua
cerita memiliki struktur yang sama. Artinya, dalam sebuah cerita para
pelaku dan sifat-sifatnya dapat berubah, tetapi perbuatan dan peran-
perannya sama, tidak berubah. Perbuatan dan peran itu disebut fungsi.
Propp menyimpulkan bahwa jumlah fungsi yang terkandung dalam
dongeng yang ditelitinya memiliki 31 fungsi yang clikelonipokkan ke dalam
tujuh ruang tindakan atauperanan. Klasifikasinya terhadap jenis-jenis
tokoh digunakan dalam media pendidikan dan dapat diaplikasikan hampir
dalam semua cerita, seperti sastra, teater, dan serial televisi.
Greimas memberikan perhatian pada relasi, menawarkan konsep
yang lebih tajam, dengan tujuan yang Iebih umum, yaitu membentuk
sebuah tata bahasa naratif universal. Sebagaimana Propp, Greimas juga

103
lebih mementingkan aksi (fungsi) dibandingkan dengan pelaku. Greimas
menyederhanakan fungsi-fungsi Propp (31 fungsi) menjadi 20 fungsi,
kemudian dikelompokkan menjadi tiga struktur dalam tiga pasang oposisi
biner. Demikian jugatujuh ruang tindakan disederhanakan menjadi enam
aktan (peran, pelaku, para pembuat), yang dikelompokkan menjadi tiga
pasangan oposisi biner, yaitu: subjek versus objek, pengirim (kekuasaan)
dan penerima (orang yang dianugrah i), dan penolong versus penentang.

104
BAB IX
TRADISI HAMULAK: PUISI
LISAN MASYARAKAT TETUN

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Hamulak merupakan salah satu tradisi doa ritual masyarakat
Tetun,baik masyarakat Teun diKabupaten Belu, NTT maupunmasyarakat
Tetundi Timor Leste yangberciri puitis, metaforis dan umumnya bersifat
naratif; lstilah Hamulak. (bahasa Tetun) secara harfiah berarti -berdoa.
Hamulak biasanya dituturkan atau dilahtunkan oleh orang-orang tertentu
(Lia Nain)yang secara tradisional memang bertugas menuturkan
Hamulak; Para penutur itu adalah imam ritual yang disebut Makoanatau
Makdean, yang dalam struktur organisasi-sosialtradisional selalu berperan
sebagaipenghubung antaraduniamanusia dengan dunia leluhur; -antara
rakyat biasa(reni)dengan para penguasa (Iiurai).
Jenis sastra lisan ini mengandung nilai-nilai budaya yang amat
kaya karena Hamulak dapat dituturkan pada berbagai kesempatan dan
kepentingan ritual formal. Hamulak dituturkan antara lain untuk
kepentingan-kepentingan seperti: a) menerima tamu penting., b)
penelusuran asal-usul, c) pentahbisan imam baru, d) peresmian rumah
adat, e) penguburan orang mati, f) memohon kesuburan, turunnya hujan,
dan g) berbagai fungsi magis, seperti: lulus ujian, jodoh, memperoleh
kekayaan, suksesdalam usaha, dll. Penuturan dan tatacara yangberkaitan
dengan penuturannya berbeda-beda, sesuai dengan fungsi dan tujuan
penuturannya. Kadang-kadang pola penuturan ataupun pelantunan
berbeda-beda pula menurut masing-masing desa.
Hamulak merupakan salah satu khazanah sastra lisan masyarakat
Tetun di NTT maupun Timor Leste yang masih tetap diciptakan dan
dihayati sebagai salah satu bentuk sastra yang sangat merakyat. Tradisi
Hamulak ini tersebar dalam berbagai wilayah kebudayaan Tetun dan

105
Mambae, baik di Timor Leste maupun di propirisi NTT. Ada kepercayaan
bahwa penceritaannya secara benar akan, mendatangkan kekuatan
supranatural ataupun preternatural yang bersumber dari para leluhur.
Penjelasan di atas menunjukkan secarajelas, betapa trad isi
hamulak mengandung nilai-nilai sastra dan berbagai fungsi estetik yang
sangat rnenarik untuk dikaji dan .diungkapkan secara lebih mendalam dan
terperinc.i. Penger-alan yang lebih mendalam terhadap struktur dan
fungsi sastra lisan Hamulak dapat menjadi-dasar untuk memahami adat
istiadat, konvensi, sistem n-lai, danberbagai norma bahkan pandangan
dunia yang dianut masyarakatTetun di NTT dan Timor Leste. Pengenalan
dan pemahaman ini dapat memperkaya khazanah kebudayaan
Nusantara, serta menumbuhkan rasa bangga terhadap kebhinekaan
kebudayaan bangsa kita.

2. Perumusan Masalah
Masalah utama dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut.
1. Hamulak sebagai salah satu jenis sastra lisan masyarakat Tetun di
Timor Leste masih terpelihara dengan baik sampai sekarang dan
menduduki posisi yang penting dalam kehidupan sosial-budaya
masyarakatnya. Meskipun dem ikian, akselerasi pembangunan dapat
mendesak tradisi-tradisi lokal tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan
perekaman, pencatatan, penerjemahan dan penerbitan sastra lisan itu
secara lengkap berdasarkan berbagai tradisi lokalnya. .
2. Dari sudut komposisinya, tampak bahwa Tradisi Hamulak memiliki
konvensi-konvensi.Jjterer dan fungsi estetik yang khas. Untuk itu perlu
dilakukan studi yang lebih cermat terhadap konvensi-konvensi literer
tersebut agar dapat dipahami k9nvensi puitik danfungsi estetiknya bagi
masyarakat Tetun di Timor Leste.
3. Mengingat tradisi Hamulak itu. masih tetap hidup, diciptakan dan
diapresiasimasyarakat pendukungnya, dapat dipastikan bahwa tradisi

106
ini memiliki peluang untuk merumuskan pandangan dunia masyarakat
pendukungnya. Studi yang cermat terhadap teks-teks sastra lisan
Hamulak tersebut dapat mengungkap world-view masyarakat Tetun.

3. Tujuan Penelitian
Sesuaidengan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan
yang ingln dlcapai oleh penelitian ini adalahuntuk:
1. Menghimpun dan mendokumentasikan teks-teks Hamulak disertai
dengan terjemahan dan catatan agar dapat dinikmati oleh kalangan
yang lebih Iuas.
2. Menggaii dan merumuskan struktur atau bangun komposisi Hamulak,
agar dapat diketahui, poetika dan konvensi estetika Tradisi Hamulak
masyarakat Tetun
3 Melacakdan merumuskan pandangan dunia masyrakat Tetun sepertt
yang tersirat maupun tersurat dalam berbagai teks Hamulak :

4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini merupakdn studi sastra yang pertamadilakukan
terhadap khazanah sastra Iisan yang sangat terkenal di dalamkebudayaan
Tetun-yaitu tradisi hamulak. OIeh karena itu studi ini diharapkan
memberikan sumbangan pemikiran bagi. iImu maupunbagi pembangunan.
Untuk teori sastra lisan, di manfaatkan untuk merumuskan poetika dan
retorika hamulak, serta pandangan duniamasyarakatTetun.
Untuk dunia pendidikan, hasil penelitianinidapat menjadi salah satu
bahan sastra lisan, khususnya di dunia persekolahan.
Keindahanbahasa dansarana retorika hamulak dapat dipelajari oleh
generasi muda untuk dipergunakahdaIam berbagai kesempatan ritual
formal.

107
5. Cakupan Penelitian
Sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian yang diuraikan di
atas, maka cakupan penelitian ini adalah analisis konvensi struktur
penceritaan, analisis fungsi estetik dan fungsi sosial sastra lisan Hamulak.
Secara lebih terperinci, cakupan anaiisis dalam studi ini dapat dirumuskan
sebagai berikut.
a) Menyajikan transkripsi dan terjemahari teks-teks Hamulak menurut
berbagai kepentingan ritual, seperti:inagurasi rumah adat,
penjemputan liurai, ceritagenealogis, upacara kematian, panen, dan
sebagainya.
b) Menyajikan analisis sastra berdasarkan teks dan konteks sastra lisan
Hamulak, untuk memahami konvensi struktur penceritaan dan
poetika sastranya. Analisis struktur akan mencakup komposisi cerita,
tema-tema penceritaan. Analisis konvensi penceritaan akan
mencakup: kedudukan tukang cerita, pewarisan, dan konteks sastra
dan budaya Tetun. Menyajikan analisis terhadap ciri-ciri formula,
ungkapan formulaik dan tema-tema konvensional sastra Lisan
Hamulak sesuai dengan teori puisi lisanMilman Parry dan Albert B.
Lord. .
c) Menyajikan analisis mengenai pandangan dunia masyarakat Tetun.
Pandangan dunia di sini secara khusus akan dibatasi pada sistem
religi lokal masyarakat Tetun.

6. Kerangka Teoritis
Penelitian ini akan memanfaatkan dua model pendekatan, yakni:
kritik. teks (tekstologi) dan kritik sastra (ilmu sastra). Kedua model
pendekatan ini dipandangmemiliki kaitan erat dan hubungan timbal balik.
Kritik teks tanpa analisis dan interpretasi sastra tidak akan membawa hasil
yang memadai bagi pemahaman teks. Sebaliknya, analisisSastra tanpa
terlebih dahulu meninjau secara kritis sumber-sumber teksnya dapat
membawa kepada kesimpulan yang keliru (Teeuw, 1991: 225-226).

108
Kerangka teori yang akan dipakai sebagai acuan dalam penelitian
ini akan diambil dari putaka-puStakate0n maupun pustaka-pustaka hasil
penelitian yang relevan bagi studi sastra lisan dalam disiplin ilmu
sastradan ilmufilologi, sesuai dengan model pendekatan dalam penelitian
ini.
Pemanfaatan bidang ilmu kritikteks dan kritik sastra dalam
penelitian sastra Lisan ini terutama didasarkan pada asumsi, bahwa
antara sastra tulis dan sastra lisan tidak terdapat pembagian fungsi yang
jelas (Sulastin Sutrisno, 1981: 17-19). Tambahan pula, pemisahan antara
sastra tulis dan sastra lisan dalam kebudayaan Nusantara -baik dari. segi
sejarah maupun tipoiogi sastra- justru dapat menyesatkan pemahaman
terhadap hakikat sastra itu sendiri, Dalam tataran historik maupun
tipologik, terdapat simbiosis antara sastra tulis dan sastra lisan, sehingga
sastra, se-lndonesia clari berbagai segi harus dipandang sebagai.
kesatuan dan keterkaitan (Teeuw, 1988: 300-310) Kesatuan dan
keterkaitan sastra tulis dan sastra lisan dapa dibuktikan, baik dari segi
struktur kesastraan, variasi teks sebagai aspek hakiki sastra rakyat,
proses penciptaan sastr resepsi masyarakat terhadap sastra Iisan,
maupun fun sastra Dalam masyarakat.
Inti kegiatan kritikteks (tekstologi) adalah penentu, bentuk teks yang
paling dapat dipercaya (Sulastin Sutris, 1 981: 1 0). Dalam studi yang
melibatkan masalah konve struktur penciptaafl ini, rnasalah asal-usul teks
perkembangan, serta wilayah persebarannya akan diperhatikan secara
khusus. Penentuan bentuk teks yang paling dapat dipercaya
memperhatikan berbagai kbnteks yang menentukan wujud teks-teks
tertentu (Fox, 1986: 62) maupun dengan rnenggunakan bukti-bukti luar
(outside evidence) (Dejong, 1980).
Dalam rangka kritik teks, terbitan teks dan interpretasi sastra
diperhatikan secermat mungkin ciri-ciri sastra lisannya, sekaiipun
diupayakan agar terbitan teks dapat dibaca dan dipahami oleh berbagai
kalangan. Menurut Thompson (1977: 367-368), segi-segi yang perlu

109
dicermati oleh seorang peneliti sastra lisan mencakup Iima hal sebagai
berikut. (1) Deskripsi mengenai sumber sastralisan tersebut,: kebiasaan
penuturan dan bagaimana peneliti mendapatkan teks itu; (2) Makna cerita
rakyat: apakah sesuaidengan ekspresi li-guistiknya ataukah memiliki
makna tersembunyi (hidden significance), (3) Penyebaran ceritarakyat itu
sifat-sifat penyebarannya, mengapa terjadi, penyebaran, 4) Variasi-variasi
teks- apakah variasi itu berdiri sendiri, dan mengapa terjadi perbedaan
variasi itu, dan (5) Kaitan antara cerita tertentu dengan cerita-cerita
lainnya -seperti: sage, mitos, epos, legenda, dansebagainya.
Pembacaan dan penafsiran karya sastra dalam studi ini
menjembatani kategori estetik berdasarkan poetika, Iengan fungsi estetika
Dengan kata lain, penelitian ini emandang perlunya penilaian yang
seimbang antaraestetika dan fungsi estetika, sebab fungsi sosial karya
sastra hanya sungguh-sungguh terwujud bila pengalaman sastra -sang
penikmat terlihat dalam horison harapari mengenai kehidupannya yang
praktis, dan berimplikasi pada sikap sosiainya (Jauss, 1982:39).
Dalam rangka signifikasi kategori estetika, pola-pola penciptaan
sastra lisan mendapat perhatian sesuai dengan kondisi sosial budaya
masyarakat pendukungnya. Pengungkapannya dalam- sistem sastra akan
memper-lihatkan bahwa manifestasi sastra dalam sebuah bahasa selalu
mempunyai unsur-unsur sistematiknya (Teeuw, 1 988:115). Dalam kaitan
ini, Parry & Lord mengemukakan tentang formula dan ungkapan
formulaiksebagai dasar komposisi puisi lisan.
Dalam penyampaiannya, tradisi Hamulak diduga memanfaatk-an
kaidah-kaidah penyajian lisan sesuai dengan konvensi forrnula sebagai
dasar pembentukan larik. Untuk itu analisis struktur puisi Hamulak akan
menggunakan pandangan Albert B. Lord (1981) sebagai pedoman umum.
Selanjutnya, tinjauafl terhadap pengaturan fakta-fakta kesusastraan dari
teks yang digubah tukang cerita dengan memperhatikan lingkungan
sejarah sastradan sejarah umum dapat memberikan pemahaman yang

110
lebih baik mengenai segi estetika dan fungsi estetika suatu jenis karya
sastra.

7. Metode Penelitian
Pengumpulan data untuk kepentingan penelitian ini dilakukan
dengan teknik wawancara, perekaman, dan pencatatan. Teknik
perekaman digunakan untuk meng-himpun teks-teks sastra lisan
Hamulak, maupun informasi-informasi lainnya yang mendukung analisis.
Teknik -wawancara digunakan untuk memperoleh keterangan-keterangan
menyangkut bentuk dan isi tuturan maupun - aspek-aspek sastra dan
budaya Tetun. Teknik pencatatandi maksudkan untuk mengumpulkan,
data observasi tentang, cara penuturan- situasi penuturan, sikap dan
sambutanpenikmat serta keterangan-keterangan lainnya seperti kolofon
dan variasi teks.
lnforman yang menjadi sasaran dalam penelitian ini ditentukan
secara purposif, yakni mempertimbangkan kedudukan sosial penutur, usia
penutur, dan kebe-rlayakannya ditinjau dari sudut pandang adat setempat.
Diutamakan penutur asli, para tua adat yang secara tradisional memang
berfungsi sebagai penutur hamulak yang disebut makoan.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan pendekatan kritik
teks (FiloLogi) dan kritik sastra (llmu sastra). Kritik teks dimaksudkan
untuk memperoleh teks yang benar-benar dapat mewakili korpus
kebudayaan ma.syarakat subyek penelitian. Kritik sastra diarahkan pada
upaya menggali muatan makna (content analysis) yang terkandung dalam
teks-teks saksi.

B. Hamulak dalam Konteks Sastra, dan Budaya Masyarakat Tetun


1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Tidak banyak tersedia literatur yang membicarakan mengenai
masyarakat Tetun. Buku David Hicks (1985) berjudul Roh Orang Tetum di
Timor Leste merupakan sebuah karya antropologi simbolis yang meneliti

111
kehidupan masyarakat Tetun di tahun 1966 pada masa
pemerintahanPortugal. Karya ini terfokus pada daur kehidupan manusia
beserta segala mitos, ritus, arsitektur, sastra lisan dan agama yang
menyertai siklus tersebut. Sementara itu, ADM Parera (1994) dalam
bukunya Sejarah Pemerintahan Raja-raja Timor tidak secara khusus
memberikan gambaran tentang masyarakat Tetun.
Masyarakat Tetun adalah sekelompok suku bangsa di Pulau Timor
yang dikenal dengan sebutan orang Tetun (Ema Tetun), yang berbahasa
Tetun (Lia Tetun), yang berbicara Tetun (Dale Tetun), dan yang ,
mendiami tanah atau wilayah Tetun (Rai Tetun) (Parera, 1994:47). Secara
demografis, tidak ada suatu wilayah kabupaten pun di Timtim maupun di
NTT yang dihuni suku bangsa Tetun secara inklusif. Suku bangsa Tetun
secara sporadis mendiami kawasan yang cukup luas. Sebagiannya
menetap di propinsi NTT (terutama di kabupaten Belu, Timor Barat) dan
sebagiannya lagi menetap secara sporadis di 7 kabupaten di propinsi
Timor Timur (yakni kabupaten DiLi, kabupaten Manatuto, kabupaten
Viqueque, kabupaten Ainaro, kabupaten Ermera, kabupaten Bobonaro,
dan kabupaten Kovalima). Penyebutan istilah Kebudayaan Tetun Lebih
mengacu pada penggunaan bahasa yang sama yakni Bahasa Tetun.
Akan tetapi patut diperhatikan bahwa detail kebudayaan antara satu
wilayah dengan wilayah lainnya tidak selalu menunjukkan kemiripan.
Bahasa Tetun merupakan keluarga bahasa Melayu-Polinesia.
Bahasa ini secara umum terbagi dalam tiga kelompok-besar, yakni: Tetun
Utara, Tetun Selatan dan Tetun Timur. Kelompok Utara dan Selatan
sama-sama dikenal dengan nama Tetun Barat. Daerah Kabupaten
Viqueque termasuk kelompok Tetun Timur (Hicks, 1985:14).
Di Timor Leste, penutur bahasa Tetun mencakup lebih dari separuh
jumlah penduduknya. Beberapa informasi menyebutkan bahwa lebih dari
60% masyarakat Timtim menggunakan bahasa Tetun. Sejak masa
pemerintahan hangsa Portugal sampai sekarang, bahasaTetun telah
dipergunakan sebagai bahasa pengantar (Iingua franca) di antara

112
berbagai suku bangsa dan bahasa di Timor Leste yang jumlahnya sangat
banyak itu. Bahasa ini dapat dipandang sebagai bahasa resmi di Timtim
sehingga harus, dikuasai baik oleh para pejabat maupun rakyat biasa.
Parera (1 995: 48) mengemukakan dua versi cerita tentang nenek
moyang orang BeIu (Tetun). Versi yang lebih tua menyatakan bahwa
leluhur mereka berasal dari Seram (Seran Kora) atau tempat tertentu di
Maluku. Akan tetapi lama kelamaan versi cerita ini terdesak oleh versi
cerita baru yang mengatakan bahwa leluhur mereka datang dari Sina
Mutin-Malaka. Cerita tentang Sina Mutin-Malaka ini sangat populer
terutama karena selalu dikisahkan di pusat kerajaan besar yakni Kerajaan
Wehiku-Wehali.
Dari sudut ras (antropologi fisik), diperoleh keterangan bahwa ada
unsur Melayu Muda di samping unsur Melanesia (Parera, 1995: 32, 48),
tetapi W. Keers membuktikan bahwa unsurMelayu itu hampirtidak berarti.
Mendes Correia berpendapat bahwa di seluruh Timor Leste dapat
dijumpai pengaruh proto Melayu dengan kecenderungan euorid dan
melanoindid. Namun demikian tidak dijumpai tanda-tanda negroid atau
mongoloid. Demikian juga unsur deutero Melayu yang mirip dengan
mongofoid sedikit sekali ditemukan di Timor Leste. Bila masuk ke daerah
pedalaman, dapat dijumpai unsur veddo australoid yang punya hubungan
dengan Melanesia dan Papua.
Catatan terakhir Mendes Correia menginformasikan bahwa
penduduk Timor Leste bukanlah keturunan dari para pengungsi yang
datang terakhir. Dia bahkan rnengatakan bahwa penduduk pertama sama
tuanya dengan Pithecantopus, Homo Soloensis dan Homo Wajakensis.
Dengan kedua manusia inilah penduduk pertama -bercampur.
Timor, menurut Mendes Correia, merupakan,suatu pusat atau daerah
pertemuan rasial.

2. Sastra dan Budaya Lisan

113
Masyarakat Tetun sangat kaya akan tradisi lisan, baik prosa
maupun puisi. Sastra dan budaya lisan itu sangat dominan karena
penduduk daerah ini tidak mengenal tulisan. Berbagai informasi penting
seperti sejarah asal-usul kerajaan dan adat-istiadat tersimpan dalam
cerita-cerita lisan, baik yang dituturkan maupun yang dilagukan dengan
irama tertentu yang panjang dan monoton. Hal ini tentu saja menimbulkan
kesulitan tersendiri dalam mengungkap sejarah masa lampau masyarakat
Tetun karena cerita-cerita lisan pada umumnya muncul dalam beberapa
versi yang bahkan bisa saling bertentangan satu dengan yang lain.
Ragam prosa secara umum dikenal sebagai Lia Nain. Lia Nain
mencakup berbagai dongeng, legenda, fabel, cerita genealogis (Ai-
Knanoik) dan cerita kepahlawanan (Ai-Babelen). Ragam puisi meliputi
perumpamaan (dadolin), teka-teki-(Ai-Sasik), pantun berbalas-balasan (Ai-
Knananuk), dan puisi doa ritual (hamulak).
Tukang cerita (itau penyair lisan Tetun disebut Makdean atau
Makoan. Mereka adalah tua-tuaadat Tetun yang secara tradisio.nal
bertugas menjaga keberlangsungan tradisi lisan dan berbagai sistem
nilailainnya. Mereka- umumnya berperanan sebagai imam ritual yang
berfungsi menjalin hubungan antara anggota suku dengan pendiri suku
maupun sang pencipta. Pada jaman duiu, Makdean . atau Makoan adalah
sebuah jabatan dalam fungsi ritual, yang hanya boleh diduduki
ataudiperankan oleh tua-tuaadat dari kelompok suku Uma Lia Nain.-lnilah
sebabnya segala bentuk tuturan sastra lisanTetun disebutjuga dengan
istilah Lia Nain.. Akan tetapi, kini konvensi tersebut telah rnengalami
pergeseran.Hamulak dapat diucapkan oleh tua-tua adat dari uma
rnanapun asalkan memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan.
Pada dasarnya hamulak adalah semacam narasi doa yang
diungkapkan dengan menggunakan konvensi bahasa ritual yang berciri
liris, puitis, dan metaforis. Dalam berbagai kepenti ngan ritual formal,
penuturannya d ilaksanakan dengan lagu (dilagukan). Orang Tetun
seringkali menganggap bahasa ritual itu sebagai suatu bahasa leluhur

114
yang harus menggunakan kosa kata yang unik dan aturan tersendiri yang
khas pada hamulak.
Hamulak biasanya diucapkan pada saat dimulai atau berakhirnya
penyelenggaraan upacara-upacara ritus tradisional, seperti.
pembangunan rumah adat (uma lulik), upacara pernikahan, kematian,
pembukaan lahan baru, panen, dll. Selain dalam upacara-upacara ritus
tradisional, akhir-akhir ini Hamulak juga disampaikan dalam upacara-
upacara modern seperti penerimaan tamu penting, pemberkatan gereja,
pentahbisan imam baru, dan berbagai acara penting lainnya.

3. Adat lstiadat dan StrataSosial


Telah disebutkan di atas, bahwa detail kebudayaan Tetun tidaklah
mirip antarasatu wilayah dengan wilayah lainnya sekalipun mereka
menggunakan bahasayangsama yakni bahasa Tetun Sekalipun demikian,
hampir semua wilayah Tetun di Timor Leste menyirnpan sebuah kisah
yarg sarna mengenai kerajaan.Wehiku-Wehali dan kisah perjalanan
leluhur mereka dari Sina Mutin-Malaka.Barangkali hal inilah yang menjadi
perekat persatuan kebudayaan Tetun. Mengenai hal imi masih perlu
dilakukan penelitian lanjutan.
Penjelasan tentang adat-istiadat dan strata sosial berikut ini lebih
rnengacu pada kebudayaan Tetun di Kabupaten Kovaiima, khusu-nya di
kecamatan Fohorem.
Masyarakat Tetun biasanya hidup dalam komunitas-komunitas
suku yang dinamakan Uma. Sebagai ilustrasi akan dikemukakan
komunitas suku masyarakat Tetun Terik di wilayah Kecamatan Fohoren
(Kabupaten Kovalima). Masyarakat di tempat ini dibangun dalam
organisasi sosial dalam struktur suku Uma Metan. Dalam lingkungan suku
Uma Metan, terdapat empat kelompok organisasi sosial (pola empat),
yakni: Uma Metan, Uma Ferik Katuas, Uma Kanek, dan Uma Lia Nain.
Masing-masiflg uma rnempunyai kedudukan dan fungsi sosial-ritual
tertentu. Wilayah tempat tinggal masing-masing uma disebut Nua

115
Dato,termasuk rumah adatnya sendiri. Rumah adat Uma Metan disebut
Uma Metan Ri Mean, rumah adat Uma Ferik Katuas disebut Uma Lulik
Manewa!u, rumah adat Uma Kanek disebut Uma Lulik Kanek, dan rumah
adat Uma Lia Nain disebut Uma Lulik Lia Nain.
Dari kisah mitologis Manumatadador-sebuah kisah genealogis
masyarakat Fohoren- diperoleh keterangan-bahwa keempat uma tersebut
memiliki hubungan yang erat dengan leluhur mitologis yang sama yakni
Sawak (tokoh perempuan) dan Koli (tokoh laki-laki), dua tokoh kakak-
beradik yang dipandang sebagai cikal-bakal penduduk Fohoren.
Kelompok Uma Metan merupakan keturunan langsung dari Koli, dan
dengan demikian menduduki fungsi sebagai kepala panitia empat.
Uma Ferik Katuas adalah tokoh mitologis pemelihara Sawak dan
Koli. Kelompok Uma Kanekadalah keturunan Suri lkun, seorang panglima.
perang yang kawin dengan Sawak. Sedangkan kelompok Uma Lia Nain
adalah Manumatadador, saksi yang berhasil mempertemukan Sawak dan
Koli dengan kedua orang tua mereka.
Hal tersebut di atas menjelaskan pula, mengapa masyarakat Tetun
cenderung berupaya membina dan membangun kohesi yang erat antara-
anggota masyarakatnya. dalam teks Hamulak Uma Manewalu, akan
tampak adanya aspirasi dan apresiasi mereka terhadap harmoni
sosiologis maupun kosmologis. Hamulak, ritus dan legitimasi strata sosial
berkaitan erat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Tetun. Semuanya
itu merupakan simbol-simbol yang kemudian berkembang secara penuh
dalam religi dan sistem-sistem kepercayaan lainnya. Hal-hal itu berfungsi
untuk menerangkan kehidupan sebagaimana adanya, dan sering kali
melegitimasi tatanan sosial.

4. Agama dan Kepercayaan


Masyarakat Tetun,sebagairnana masyarakat Timor Leste secara
keseluruhan, pada umumnya menyatakan sudah beragama Katolik.
Laporan David Hicks menyebutkan bahwa pada tahun 1966, hampir

116
semua orang Tetun beragama Kristen Katolik sehingga dirasakanbahwa
ada hubungan tertentu antara bahasa (Tetun) dan agama (Katolik).
Disebutkan pula penduduk Timor Leste yang berbicara bahasa lain
(misalnya Makasaae dan Cairui) semuanya penyembah berhala (Hicks,
1985: 18).
Data tahun 1 998 menyebutkan bahwa di Proppinsi, Timor Leste
terdapat 94%penduduk yang beragama Katolik.

117
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Muhammad. 1995.Puji-Pujian:Sebuah Tradisi Lisan Dalam


Sastra Pesantren. Warta ATL Edisi Perdana.

Bascom, William. 1984. The forms of Foklore: Prose Naratives.dalam


Allan Dundes (ed)

Danandjaya, James. 1991.Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongen, dan


lain-lain. Jakarta: Grafiti Press.

Hutomo, Suripan Sadi. 1991.Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar Studi


Sastra Lisan. Surabaya : Hiski Jawa Timur

Parera, ADM.1994.Sejarah Pemerintahan Raja-Raja Timor.Jakarta :


Pustaka Sinar Harapan.

Propp, Vladimir.1975.Morfologi Of The Foklore. Austin, London:


University Of Texas Press.

Taufik, Abdullah. 1985.Ilmu Sejarah Dan Historiografi.Jakarta :


Gramedia.

Taum, Yoseph Yopi. 2011.Sutdi Sastra Lisan. Yogyakarta: Penerbit


Lamalera.

Taum, A. 1986.Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta:


Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Austin Waren.1993.Teori Kesustraan. Jakarta :


Gramedia.

118
DAFTAR ISI

BAB I TRADISI LISAN, SASTRA LISAN, DAN FOLKLOR ............ 1


BAB II SASTRA LISAN DAN SASTRA TULISAN ........................... 7
BAB III SASTRA LISAN PADA MASA KINI: SEKILAS PANDANG.. 13
BAB IV SASTRA LISAN ................................................................... 19
BAB V FOLKLOR DAN SASTRA LISAN ......................................... 29
BAB VI CIRI - CIRI SASTRA LISAN ................................................ 39
BAB VII TEORI-TEORI ANALISIS SASTRALISAN: MADZAB
FINLANDIADAN TEORI PARRY-LORD .............................. 43
BAB VIII TEORI-TEORI ANALISIS SASTRALISAN: VLADIMIR
PROPP DANA.J. GREIMAS ................................................ 71
BAB IX TRADISI HAMULAK: PUISI LISAN
MASYARAKAT TETUN ................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA

119

Anda mungkin juga menyukai