Anda di halaman 1dari 18

MITE “NYI POHACI SANGHYANG ASRI” SEBAGAI REFLEKSI

KEARIFAN LINGKUNGAN

Dewi Kusuma
Universitas Nahdatul Ulama Cirebon
dewikusuma1988@gmail.com

Abstrak
Mite “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” dalam masyarakat Jawa memiliki beberapa versi yang
diyakini sebagai dewi kesuburan. Dalam kesempatan ini penulis berusaha mengkaji salah satu
varian mite “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” yang menyebar di tatar Sunda. Kajian ini
menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk menggali fungsi, makna di balik tumbuhnya
beberapa jenis tanaman yang tumbuh di atas kuburan “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” dan
keterkaitannya dengan kearifan lingkungan. Dari hasil pengkajian terdapat beberapa
penemuan fungsi mite “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” di antaranya yang paling menonjol
adalah manusia hendaknya menjalin hubungan yang harmonis dengan alam untuk
kelangsungan hidupnya. Secara tidak langsung leluhur kita menitipkan alamnya lewat mite
tersebut.
Kata kunci: mite, Nyi Pohaci, kearifan lingkungan

Abstract
Myth "Nyi Pohaci Sanghyang Asri" in Javanese society there are several versions believed to
be the goddess of fertility. On this occasion the author tries to examine one of the variants of
Mite "Nyi Pohaci Sanghyang Asri" which spread in Sunda. This study uses qualitative
descriptive method to explore the function, meaning behind the growth of several types of
plants that grow on the grave "Nyi Pohaci Sanghyang Asri" and its relation with
environmental wisdom. From the results of the assessment there are several findings mite
function "Nyi Pohaci Sanghyang Asri" among the most prominent is that humans should
establish a harmonious relationship with nature for its survival. Our ancestors indirectly
entrusted their nature through the myth.
Keywords: mite, Nyi Pohaci, environmental wisdom

PENDAHULUAN

Kebudayaan di Indonesia merupakan hal yang tidak dapat lepas dari tradisi. Tradisi itu
sendiri bukanlah hal yang sudah selesai dan berhenti, melainkan merupakan suatu hal yang
masih ada dan terus berkembang. Tradisi ini berkembang mengikuti arus perubahan sosial,
tetapi perubahan yang terjadi tidaklah melenceng jauh dari akarnya. Tradisi tetap menjadi seni
tradisi bagi masyarakat setempat yang mengalaminya.
Tradisi lisan telah berkembang di Indonesia sebelum masyarakat Indonesia mengenal
aksara. Tradisi lisan pada awalnya subur dan berkembang di seluruh nusantara dan menjadi
salah satu kekayaan budaya masyarakat Indonesia. Setelah aksara masuk ke nusantara, tradisi
lisan tidak hilang, tetapi berkembang beriringan dengan tradisi tulisan.

Tradisi lisan menurut B.H. Hoed adalah berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang
secara turun-temurun disampaikan secara lisan yang mencakup tidak hanya cerita rakyat,
mitos, dan legenda, tetapi juga dilengkapi dengan sejarah, hukum adat, dan pengobatan. Hal-
hal yang terkandung dalam suatu tradisi lisan adalah hal-hal yang terlahir dan mentradisi
dalam suatu masyarakat yang merupakan warisan nenek moyang. Pada dasarnya, suatu tradisi
dapat disebut sebagai tradisi lisan jika tradisi tersebut dikatakan (oleh penutur) dan didengar
(oleh penonton).

Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam tradisi lisan adalah sastra, antropologi,
dan sejarah. Tradisi lisan tentu tidak akan lepas dari sastra. Tradisi lisan juga erat kaitannya
dengan antropologi karena berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan di suatu daerah.
Tradisi lisan juga tidak dapat lepas dari sejarah karena tradisi merupakan hal yang diwariskan
secara turun temurun. Itu berarti tradisi lisan tentu berhubungan dengan masa lalu atau sejarah
suatu daerah.

Sastra lisan merupakan salah satu bagian dari tradisi lisan. Sastra lisan disebarkan dari
satu orang ke orang lain secara lisan kemudian prosesnya dilihat, didengar, kemudian
dilisankan kembali. Jadi, yang dilihat dalam tradisi lisan adalah proses dan hasil melisankan.

Sebagian orang sering salah paham karena mereka mengira teknik lisan merupakan
sastra lisan. Teknik lisan dilakukan saat musikalisasi puisi atau pembacaan puisi. Teknik lisan
tidak memengaruhi proses penciptaan dalam hal ini, misalnya, musikalisasi puisi saat
ditampilkan. Saat ditampilkan, proses penciptaan sudah selesai sehingga penonton atau
pendengar tidak dapat memengaruhi proses penciptaan. Teknik lisan adalah salah satu contoh
sastra yang dilisankan, seperti orang yang mendongeng dan orang yang berpantun.

Selain tradisi lisan dan sastra lisan, satu lagi bidang yang berhubungan dengan kelisanan
adalah folklor. Dalam KBBI Edisi Keempat, folklor adalah ‘adat-istiadat tradisional dan cerita
rakyat yg diwariskan secara turun-temurun, tetapi tidak dibukukan’. Pengertian kedua adalah
‘ilmu adat-istiadat tradisional dan cerita rakyat yg tidak dibukukan’. Menurut Dundles, folklor
adalah kebudayaan yang diturunkan secara turun temurun oleh sekelompok masyarakat atau
dalam suatu komunitas yang kolektif. Ini berkaitan dengan pengertian folk yang berarti
komunitas yang kolektif dan lore yang berarti tradisi yang diturunkan secara turun temurun.

Ciri-ciri folklor adalah anonim, berkembang dari versi yang berbeda-beda, dan
mewakili suatu kelompok masyarakat tertentu. Fungsi folklor adalah sebagai hiburan, media
penyampaian nilai-nilai sosial, dan representasi masyarakat atau proyeksi dari keinginan
masyarakat. Selain itu, fungsi folklor lain adalah menyebarkan ajaran atau pranata kebudayaan
dan alat penguasa untuk memaksakan aturan-aturan masuk dan diterima ke dalam masyarakat.

Untuk membedakan tradisi lisan, sastra lisan, dan folklor secara jelas, sebaiknya kita
melihat contohnya. Karena sastra lisan adalah bagian dari tradisi lisan, semua yang kita sebut
sastra lisan pasti juga merupakan tradisi lisan. Didong adalah sastra lisan karena disebarkan
dari satu orang ke orang lain secara lisan dan proses pembuatan atau proses kreatifnya
didengar dan dilihat oleh penontonnya. Jadi, didong juga merupakan tradisi lisan.

Perlu ditekankan kembali bahwa tidak semua yang termasuk ke dalam tradisi lisan
merupakan sastra lisan. Di dalam tradisi lisan juga terdapat dongeng, mitos, dan lain-lain yang
tidak dapat dikategorikan ke dalam sastra lisan karena proses kreatifnya tidak disaksikan
langsung oleh penonton. Dalam hal ini, yang masih menjadi pertanyaan saya adalah apakah
folklor juga termasuk ke dalam tradisi lisan. Pertanyaan tersebut muncul karena dalam
pengertian folklor menurut Dundles tidak disebutkan mengenai tradisi yang dilisankan.
Dengan kata lain, saya menangkap bahwa di dalam folklor tidak hanya terdapat tradisi dalam
bentuk lisan, tetapi juga tradisi dalam bentuk tulisan.

Di dalam folklor terdapat tarian, permainan, dan lain-lain yang seluruhnya bersifat
tradisional. Saya akan mengambil contoh wayang. Wayang berkembang sangat pesat di Jawa.
Walaupun cerita yang diangkat berasal dari India Ramayana dan Mahabharata isi ceritanya
disesuaikan dengan masyarakat Jawa sehingga muncullah tokoh Punakawan. Saya
memasukkan wayang ke dalam salah satu contoh folklor karena wayang mewakili suatu
kelompok masyarakat tertentu, dalam hal ini masyarakat Jawa. Akan tetapi, sebenarnya
wayang mewakili kelompok masyarakat yang lebih kecil lagi karena wayang di daerah
Surakarta dengan wayang di daerah Sunda memiliki perbedaan. Tokoh Cepot hanya terdapat
di dalam wayang daerah Sunda.

Di samping itu, fungsi wayang adalah sebagai hiburan dan media penyampaian nilai-
nilai sosial. Tokoh Punakawan yang hanya terdapat di wayang Jawa juga merupakan salah
satu fungsi folklor sebagai proyeksi dari keinginan masyarakat karena tokoh Punakawan
sangat khas dengan masyarakat Jawa. Tokoh Semar yang digambarkan sebagai rakyat jelata
sekaligus dewa dari segala dewa merupakan gambaran dari keinginan masyarakat Jawa yang
mayoritas merupakan kalangan menengah ke bawah. Secara tidak langsung, masyarakat Jawa
ingin menunjukkan bahwa rakyat jelata dapat mengalahkan penguasa mana pun.

Inilah sedikit pengertian dan contoh yang dapat menjadi pembeda dalam tradisi lisan,
sastra lisan dan folklor. Untuk dapat membedakan ketiganya lebih jauh, tentu diperlukan lebih
banyak contoh dan sumber tertulis. Secara singkat, hal yang membedakan sastra lisan dari
tradisi lisan adalah bahwa sastra lisan dilisankan dan proses kreatif dan pelisanannya dilihat
oleh penontonnya, sedangkan folklor mencakup tidak hanya lisan, tetapi juga tulisan. Di
dalam tradisi lisan terdapat sastra lisan. Mengenai apakah folklor juga termasuk di dalam
tradisi lisan masih perlu dilakukan pencarian sumber lebih lanjut.
Dananjaya sebagai pakar foklor menggolongkan folklor menjadi tiga, yaitu (1) folklor
lisan adalah folklor yang bentuknya murni lisan, yaitu diciptakan, disebarluaskan, dan
diwariskan secara lisan, contohnya bahasa rakyat (logat, julukan), ungkapan tradisional
(peribahasa, pepatah), pertanyaan tradisional (teka- teki), puisi rakyat (pantun, syair), cerita
prosa rakyat (mite, legenda, dongeng), dan nyanyian rakyat (disebut juga dengan lagu-lagu
dari berbagai daerah); (2) folklor sebagian lisan ialah folklor yang bentuknya merupakan
campuran unsur lisan dan bukan lisan, contohnya antara lain kepercayaan rakyat, permainan
rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat istiadat, upacara, dan pesta rakyat; dan (3) foklor bukan
lisan adalah foklor yang bentuknya bukan lisan, tetapi cara pembuatannya diajarkan secara
lisan, contohnya arsitektur rakyat, kerajinan tangan, pakaian, musik rakyat, masakan dan
minuman rakyat, serta obat-obat tradisional.
Sementara itu, menurut Pudentia, folklor itu dibagi menjadi dua jenis, yaitu folklor
tulisan (keberaksaraan) dan folklor lisan. Yang termasuk folklor tulisan ialah, antara lain
arsitektur rakyat, kerajinan tangan, tenun tradisional, dan musik tradisional. Sementara itu,
folklor lisan meliputi cerita rakyat, legenda, mite, dongeng, hukum tidak tertulis, dan
pengobatan.

Agar lebih fokus, penelitian ini akan kita mulai dengan menganalisis berbagai folklor
yang hidup dalam kehidupan suku bangsa-suku bangsa di Indonesia. Bahan-bahan yang kita
gunakan adalah dongeng-dongeng suci (mitologi). Biasanya dongeng-dongen tersebut
berkisah tentang penciptaan alam dan manusia oleh dewa-dewa dalam religi asli. Selain itu,
kita juga akan mencoba menemukan jejak sejarah di dalam legenda, upacara, dan lagu yang
ada di berbagai daerah.
Folklor biasanya penuh dengan keajaiban atau kemustahilan bagi masyarakat sekarang
yang jauh dari fakta sejarah. Namun, dengan menginterpretasi dan menerjemahkan serta
mencari artinya, kita bisa menemukan data-data yang bisa menuntun kita untuk menemukan
fakta sejarah yang ada di balik folklor. Sesuai dengan sifatnya, folklor tersebut memang bisa
hidup secara lisan dari generasi ke generasi. Dari sinilah, kita bisa merekam cerita rakyat yang
bisa digunakan untuk penelitian sejarah lisan.
Secara umum, folklore mengandung unsur-unsur mite, legenda, upacara, dan lagu.
Dalam kesempatan ini penulis akan lebih menekankan pada cerita rakyat yang ada di
Indonesia.
Di berbagai daerah di nusantara cerita rakyat tumbuh dengan subur. Setiap daerah
memiliki cerita dengan bahasa dan versi yang berbeda. Menurut Bascom (dalam Danandjaja,
2007: 50) cerita prosa rakyat dapat dibagi dalam tiga golongan besar, yaitu (1) mite (myth), (2)
legenda (legend), dan (3) dongeng (folktale). Cerita rakyat yang sama akan memiliki beberapa
varian. Hal ini sesuai dengan ciri tradisi lisan, yakni berkembang dengan varian yang berbeda-
beda hal ini dipengaruhi oleh cara penyebaran tradisi, adat serta kebudayaan masyarakat
pembentuknya.
Munculnya berbagai jenis cerita rakyat, yaitu suatu bentuk folklor yang terdiri atas
cerita rekaan (imaji) yang beredar secara lisan di antara anggota kolektif tertentu, berbentuk
tradisional dan sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencerminan angan-angan suatu
kolektif serta mempunyai banyak varian. Tema pada cerita rakyat mewakili suatu angan-
angan masyarakat secara universal.
Peredaran cerita rakyat itu sangat luas jangkauannya dan bisa bertahan dari generasi ke
generasi. Tradisi ini bisa dinikmati oleh masyarakat, cukup dengan mendengar beberapa kali
saja. Cerita rakyat bisa beredar secara lisan dari mulut ke mulut dan merupakan bagian dari
tradisi lisan.
Cerita rakyat dapat berfungsi sebagai sistem proyeksi, alat pengesahan kebudayaan,
alat pedagogic, dan alat pemaksa berlakunya norma masyarakat dan pengendalian
masyarakat.
Ada pun rumusan masalah dalam penelitian ini ialah 1) fungsi apa sajakah yang
terkandung dalam cerita rakyat “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” dan 2) apa hubungan atau
keterkaitan antarfungsi tersebut dengan kearifan lingkungan.
Pada penelitian ini, peneliti memiliki beberapa tujuan, yakni (1) mendapatkan deskripsi
tentang hal-hal yang berkaitan dengan cerita rakyat “Nyi Pohaci Sanghyang Asri”. Tujuan
dalam penelitian ini ialah memperoleh gambaran mengenai (a) untuk mengetahui fungsi dari
cerita rakya “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” dan (b) untuk mengetahui keterkaitan antara fungsi
dan kearifan lingkungan.
Manfaat penelitian terbagi menjadi manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat
teoretisnya ialah hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
sastra terutama pengkajian sastra lisan. Sementara itu, manfaat praktisnya ialah hasil
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk peningkatan apresiasi masyarakat dalam
memahami cerita rakyat. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menyadarkan masyarakat
akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan demi mewujudkan kehidupan yang
harmonis.
Penelitian yang berkaian dengan pengkajian cerita rakyat telah banyak dilakukan di
antaranya penelitian yang telah dilakukan oleh Suwardi yang berjudul makna simbolik mitos
Dewi Sri dalam masyarakat Jawa: Kajian Model Linguistik Levi-Strauss. Hasil penelitiannya
ialah (1) dua varian mitos Dewi Sri yang tersebar tidak saling memperngaruhi dan (2) kedua
mitos tersebut tidak saling mempengaruhi.
Penelitian serupa dilakukan pula oleh Nurhadi dkk. (2012) yang berjudul “Kearifan
Lingkungan dalam Perencanaan dan Pengelolaan Hutan Wonosadi Kecamatan Ngawen
Kabupaten Gunung Kidul”. Hasil penelitiannya (1) nilai-nilai kearifan lingkungan dalam
pengelolaan hutan Wonosadi telah menjadikan hutan Wonosadi lestari selama berabad-abad
lamanya; dan (2) kearifan lingkungan tersebut telah mengakar kuat di tengah-tengah
masyarakat dan bersumber dari mitologi dan sejarah hutan Wonosadi telah memunculkan
banyak motos yang dipercaya secara turun temurun.

Berikutnya ialah kajian “Legenda 7 Bidadari: Kajian Strukturalis Levi-Strauss” oleh


Sugiharto dan Widyawati. Hasil analisis strukturalisme dapat diketahui bahwa Curug 7
bidadari memberikan gambaran tentang kehidupan manusia di dunia, bagaimana menjalani
kehidupan, terutama kehidupan berumah tangga yang berlandaskan cinta, dan bagaimana
baiknya mencapai tujuan manusia di dunia. Wati (2009) dalam penelitiannya yang berjudul
“Analisis Fungsi Pelaku dan Motif Cerita Dewi Sri” mengatakan bahwa sebuah cerita rakyat
tidak harus memenuhi semua fungsi karena pada tiap-tiap cerita memiliki struktur sendiri-
sendiri meskipun sering terdapat persamaan-persamaan cerita. Dalam cerita Dewi Sri terdapat
beberapa perulangan fungsi pelaku. Walaupun lambang dan fungsinya sama, tetapi peristiwa
yang dialami berbeda sehingga tetap harus dituliskan. Ada sebelas perulangan fungsi pelaku.
Dalam cerita Dewi Sri ditemukan beberapa motif di antaranya (1) motif perkawinan, (2) motif
ketiadaan, (3) motif pengembaraan, (4) motif kejahatan, (5)motif peperangan, dan (6) motif
kemenangan.
Kajian “Mitos Masyarakat terhadap Folklore Ki Ageng Gribig” yang dilakukan oleh
Rachman dkk. menyatakan bahwa asal-usul kisah Ki Ageng Gribig memiliki dua versi, yakni
adanya program mataramisasi dan ekspansi Blambangan Kulon. Mitos yang tertanam pada
masyarakat Gribig, yakni Ki Ageng Gribig adalah penyebar agama Islam dan sebagai salah
satu pendiri Kota Malang. Sementara itu, peziarah yakin Ki Ageng Gribig adalah sosok yang
sakti. Efek yang muncul dari masyarakat Gribig tidak tampak, sedangkan dari peziarah mereka
sangat antusias dengan cara melakukan takziah kubur.
Penelitian-penelitian di atas memiliki persamaan dan perbedaan dengan kajian yang
dilakukan oleh penulis. Persamaannya ialah kajian ini berkaitan dengan cerita rakyat, mitos
dan kearifan lingkungan, sedangkan perbedaannya terletak pada bidang kajiannya. Dalam
kajian ini, penulis ingin mengkaji fungsi dan menggali keterkaitan antara karya sastra dan
kearifan lingkungan sehingga tergambar jelas bahwasannya sastra merupakan refleksi
kehidupan nyata yang memberikan banyak manfaat untuk masyarakat.

LANDASAN TEORI
Folklor berasal dari bentuk folk dan lore. Folk artinya ‘kolektif’. Menurut Alan Dundes
(dalam Danandjaja, 2007: 1) folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri pengenalan
fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok lainnya. Definisi
folklor secara keselurhan ialah sebagai kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan
diwariskan turun temurun di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional yang berbeda,
baik lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat
(Danandjaja, 2007: 2).
Ciri-ciri pengenalan utama folklor dapat dirumuskan (1) penyebaran dan pewarisannya
biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau
dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat dan alat pembantu pengingat) dari satu
generasi ke generasi berikutnya; (2) folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk
relatif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi); (3) folklor ada
(exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara
penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan ke lisan) dan biasanya bukan melalui cetakan atau
rekaman sehingga oleh proses lupa diri manusia atau interpolasi (interpolation), folklor dengan
mudah dapat mengalami perubahan. Walaupun demikian, perbedaannya hanya terletak pada
bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan, yakni (1) folklor bersifat
anonym; (2) folklor biasanya memiliki bentuk yang berumus dan berpola; (3) folklor memiliki
kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif; (4) folklor bersifat pralogis; (5)
folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu; dan (6) folklor pada umumnya
bersifat polos dan lugu.

Adapun fungsinya, menurut Basom (dalam Danandjaja, 2007: 19) ada empat, yaitu (1)
sebagai sistem proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencerminan angan-angan
suatu kolektif; (2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga
kebudayaan; (3) sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device); dan (4) sebagai alat
pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota
kolektifnya. Folklor mempunyai unsur-unsur semacam unsur-unsur yang terdapat di dalam
kebudayaan. Unsur tersebut dalam istilah Prancis disebut genre atau dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan menjadi ‘bentuk’. Brundvand menggolongkan folklor ke dalam tiga kelompok
besar berdasarkan tipenya, yakni (1) folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor sebagian lisan
(partly verbal folklore), dan (3) folklor bukan lisan (nonverbal folklore).

Mite “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” merupakan salah satu prosa rakyat. Dari semua
bentuk folklore, cerita rakyat merupakan bentuk yang paling popular dan diminati untuk
diteliti oleh para ahli. Menurut Bascom (dalam Danandjaja, 2007: 50), cerita prosa rakyat
dapat dibagi menjadi tiga golongan besar, yaitu (1) mite (myth), (2) legenda (legend), (3)
dongeng (folktale).
Mite, menurut Bascom (dalam Danandjaja, 2007: 50) mite adalah cerita prosa rakyat
yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite
ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain atau
dunia yang tidak seperti yang kita kenal sekarang dan terjadi pada masa lampau.
Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu
dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Berlainan dengan mite,
legenda ditokohi oleh manusia walaupun ada kalanya memiliki sifat-sifat luar biasa dan sering
kali juga dibantu oleh makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang
kita kenal kini karena waktu terjadinya tidak terlalu lampau.
Dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang
empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu dan tempat (Bascom dalam Danandjaja,
2007: 50).
Untuk menentukan apakah suatu cerita termasuk mite, legenda, atau dongeng, kita harus
mengetahui folklor pemilik atau pendukung cerita itu. Mite pada umumnya mengisahkan
terjadinya alam semesta, dunia manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang,
bentuk tipografi, gejala alam, dan sebagainya. Mite juga mengisahkan petualangan para dewa,
kisah percintaan mereka, hubungan kekerabatan mereka, kisah perang mereka, dan
sebagainya (Bascom dalam Danandjaja, 2007: 51).

Mite di Indonesia dapat dibagi menjadi dua macam berdasarkan tempat asalnya, yakni
yang asli Indonesia dan yang berasal dari luar negeri, terutama dari India, Arab, dan negara
sekitar Laut Tengah. Mite Indonesia biasanya menceritakan terjadinya alam semesta
(cosmogoni); terjadinya susunan para dewa atau dunia dewata (pantheon); terjadinya manusia
pertama dan tokoh pembawa kebudayaan (culture hero); dan terjadinya makanan pokok,
seperti beras dan sebagainya untuk pertama kali.
Mengenai mite terjadinya padi ada karangan dari Kats (1916) yang berjudul “Dewi Sri”.
Seperti telah banyak diketahui orang bahwa Dewi Sri adalah Dewi padi masyarakat Jawa.
Menurut versi masyarakat Surabaya, Dewi Sri adalah seorang putri raja dari kerajaan
Purwacarita. Ia mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama Sadana. Pada suatu hari,
selagi tidur, kedua anak raja itu disihir oleh ibu tiri mereka. Sadana diubah menjadi seekor
burung layng-layang dan Sri diubah menjadi ular sawah. Dengan demikian, Sri menjadi dewi
padi dan kesuburan.
Selain versi masyarakat Surabaya ada versi lain dari Jawa yang termuat dalam artikel
Mulder yang berjudul “Hoe de Rijst Onstond-De Spijze die nooit velveelt” (1948). Menurut
mite itu, padi berasal dari jenazah Dewi Sri, istri Dewa Wisnu. Selain padi masih ada tanaman-
tanaman lain yang juga berasal dari jenazah Dewi Sri. Dari tubuhnya tumbuh pohon aren; dari
kepalanya tumbuh pohon kelapa; dan dari kedua tangannya tumbuh tanaman-tanaman akar-
akaran, seperti ubi jalar dan talas.
Versi lain yang berasal dari masyarakat Sunda di Jawa Barat. Dewi Sri atau dengan
nama lain Nyi Pohaci Sanghyang Asri lahir dari sebutir telur yang merupakan tetesan air mata
Dewa Anta. Karena paras, sifat, dan tutur bahasanya, banyak dewa yang jatuh hati padanya
bahkan sang ayah angkat Batara Guru diam-diam memendam rasa dan hendak berniat untuk
mempersuntingnya. Melihat situasi seperti itu para dewa menyusun siasat untuk memisahkan
keduanya, yang pada akhirnya Dewi Sri meninggal karena diracun dan mayatnya dikubur di
tempat yang sangat jauh.
Karena Dewi Sri adalah perempuan yang suci, timbul sebuah keajaiban. Di atas
makamnya tumbuh beberapa tumbuhan yang subur. Dari kepalanya tumbuh pohon kelapa.
Dari hidung, bibir, dan kupingnya tumbuh rempah-rempah dan sayuran. Dari rambutnya
tumbuh rerumputan dan bunga-bunga yang wangi. Dari payudaranya tumbuh buah-buahan
yang rasanya manis. Dari tangannya tumbuh pohon jati, cendana, dan pohon-pohon yang
banyak kegunaannya. Dari vaginanya tumbuh pohon aren. Dari pahanya muncul pohon-pohon
bambu. Dari kakinya tumbuh umbi-umbian. Dari pusarnya tumbuh padi yang merupakan
makanan pokok manusia.

Dari beberapa versi yang telah disebutkan di atas cerita prosa rakyat ini memiliki
persamaan motif, yakni bercerita tentang para dewa dan menceritakan asal mula lahirnya
tokoh Dewi Sri yang dipercaya oleh masyarakat Indonesia sebagai Dewi Kesuburan. Yang
dimaksud dengan istilah motif dalam ilmu folklor adalah unsur-unsur suatu cerita (narratives
elements). Motif teks suatu cerita rakyat adalah unsur dari cerita itu yang menonjol dan tidak
biasa sifatnya. Veselovskij (dalam Wahyu, 2009: 2) mengungkapkan bahwa suatu motif
mengacu pada suatu peristiwa khas dalam kehidupan sehari-hari atau kenyataan sosial.
Vaselovskil (dalam Wahyu, 2009: 2) memakai tema sebagai motif-motif yang komplek. Tema
adalah urutan motif-motif. Satu motif adalah satu unit naratif yang tidak dapat dibagi lagi.
Tema merupakan gagasan umum yang menopang sebuah karya sastra yang terkandung di
dalam teks sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan atau perbedaan.

Menurut Bascom (dalam Danandjaja, 2007: 19)z fungsi memiliki empat macam, yakni
(a) sebagai sistem proyeksi, (b) sebagai alat pengesahan kebudayaan, (c) sebagai alat
pedagogik, dan (d) sebagai alat pemaksa berlakunya norma masyarakat dan pengendalian
masyarakat.
Berkaitan dengan itu Atmazaki (2007) mengemukakan bahwa fungsi sosial sastra lisan
meliputi (a) mengekspresikan gejolak jiwa dan renungannya tentang kehidupan oleh
masyarakat purba atau nenek moyang kita dahulu; (b) mengukuhkan solidaritas dan
mnyegarkan pikiran dan perasaan; dan (c) digunakan untuk memuji raja, pemimpin dan orang-
orang yang dianggap suci, keramat dan berwibawa oleh kolektifnya (hlm. 13).

Dari beberapa pendapat tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak fungsi sosial
cerita rakyat, antara lain (a) sebagai sarana hiburan, (b) sebagai sarana pendidikan, (c) alat
kontrol sosial, (d) pengukuhan solidaritas sosial, (e) identitas kelompok, dan (f) pengesahan
kebudayaan.

Sastra lisan berfungsi sebagai alat berlakunya norma masyarakat dan alat pengendalian
masyarakat, hal ini dapat terlihat dari bagaimana sebuah mitos mengikat sebuah masyarakat
sehingga terjadi sebuah keseimbangan antara manusia dan Tuhan, antara manusia dan
sosialnya, dan antara manusia dan alam.

Menurut anonim (dalam Ahsan, 2012: 228) kearifan lingkungan adalah kecerdasan,
kreativitas, inovasi, dan pengetahuan tradisional masyarakat lokal berupa kearifan ekologis
dalam pengelolaan dan pelestarian ekosistem/sumber daya lingkungan alam sekitar atau
berupa kearifan sosial dalam bentuk tataran sosial yang menciptakan keharmonisan dan
kedinamisan hidup masyarakat yang telah dijalani secara turun temurun dan telah
menunjukkan adanya manfaat yang diterima masyarakat dalam membangun peradabannya.

Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa jika kearifan lingkungan dapat
terwujud, akan ada keseimbangan antara manusia dan Tuhan, manusia dan sesamanya, dan
manusia dan alam sehingga semua berjalan dengan baik. Hardjasoemantri dalam Ahsan
(2012) bukan hanya berwujud kekayaan fisik belaka, tetapi juga berwujud kekayaan spiritual
dan moral. Eratnya hubungan antara budaya masyarakat tradisional dan alam berarti pula
pelestarian masyarakat tradisional adalah wujud melestarikan alam sekitarnya.

Hadi dalam Ahsan (2012) munculnya kearifan lingkungan yang dimulai dari suatu
tahapan evolusi hubungan manusia dengan alam yang sesungguhnya dimulai dari hubungan
yang sangat harmonis yang disebut sebagai pan cosmism yang di dalamnya manusia berusaha
untuk hidup selaras dengan alam. Dalam pandangan manusia saat itu alam merupakan sesuatu
yang sangat besar dan sakral karena itu harus dipelihara. Jika terjadi kerusakan alam, akan
dapat berakibat buruk pada manusia itu sendiri. Untuk merealisasikan gagasan itu kemudian
manusia menciptakan pemali-pemali atau etika bertindak dan bertingkah laku terhadap alam
inilah yang kemudian menjadi dasar bagi munculnya kearifan lingkungan di dalam
masyarakat.
Sabaria (2014)—yang mengutip pendapat Salim—mengatakan bahwa hubungan
masyarakat asli atau lokal yang dekat dengan lingkungan sumber daya alam membuat mereka
memiliki pemahaman tersendiri terhadap sistem ekologi yang di dalamnya mereka tinggal.
Lingkungan sendiri seharusnya dipersepsikan bukan hanya sekedar sebagai objek yang harus
digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia (human centris), melainkan juga harus
dipelihara dan ditata demi kelestarian lingkungan itu sendiri (eco sentris). Oleh karena itu,
adanya ikatan antara manusia dan alam akan melahirkan pengetahuan dan pikiran bagaimana
mereka memperlakukan alam lingkungannya. Mereka menyadari betul akan segala perubahan
dalam lingkungan sekitarnya dan mampu mengatasinya demi kepentingannya. Salah satu cara
ialah dengan mengembangkan sikap kelakuan, gaya hidup, dan tradisi-tradisi yang
mempunyai implikasi positif terhadap pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup (hlm.
2).
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa menjaga hubungan baik dengan alam
akan membuat sebuah keadaan yang harmonis antara manusia dan Tuhan, sesame, dan alam
sehingga keseimbangan akan terwujud. Bagaimana cara menjaga alam salah satunya dengan
mengkaji lebih jauh pesan-pesan moral yang disampaikan leluhur lewat karya sastra, baik
berupa puisi, nyanyian rakyat, cerita rakyat, maupun dalam bentuk yang lain.

METODE PENELITIAN
Untuk mengungkapkan fungsi dan makna pada mite “Nyi Pohaci Sanghyang Asri”
digunakan metode deskriptif analitis. Artinya, data disajikan dalam bentuk kata-kata bukan
dalam bentuk angka.
Penelitian kualitatif pada hakikatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan
hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka
tentang dunia sekitarnya (Nasution, 1988: 5).
Metode deskriptif digunakan untuk membantu mengidentifikasi dan memaparkan
unsur-unsur yang menjadi fokus penelitian. Sudjana dan Ibrahim (2007) mengemukakan
bahwa metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, dan
kejadian, yang terjadi saat penelitian berlangsung (hlm. 64). Metode deskriptif ini disertai
dengan kegiatan analisis agar diperoleh pembahasan yang mendalam tentang fungsi dan makna
yang ada pada “Nyi Pohaci Sanghyang Asri”

PEMBAHASAN

Mite “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” merupakan sebuah cerita prosa rakyat yang pertama
dan berfungsi sebagai alat pencerminan angan-angan masyarakat. Masyarakat Indonesia yang
beragam suku, adat istiadat, kebudayaan, dan bahasa juga kepercayaan memercayai segala
sesuatu memiliki sejarah dan asal usulnya, tetapi karena pengaruh Hindu begitu kuat sehingga
berpengaruh terhadap cerita rakyat yang menebar di nusantara.

Kedua, fungsi dari mite “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” sebagai alat pengesahan pranata-
pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, yaitu manusia memiliki hubungan yang erat
dengan Tuhan, manusia juga memiliki hubungan dengan manusia yang lainnya, serta manusia
tidak bisa lepas dari alam sehingga manusia perlu menjaga hubungan baik dengan ketiganya

Ketiga, mite “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” sebagai alat pendidikan untuk anak, selain
memberikan hiburan, cerita “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” sarat akan nilai moral sehingga
anak-anak dapat mengambil sebuah pelajaran lewat cerita yang didengarnya. Dewasa ini anak
tumbuh dengan beragam fasilitas dan kemudahan sehingga pola pikir anak semakin kritis
dalam mencerna informasi, tetapi pesan yang disampaikan lewat sebuah karya sastra masih
sangat efektif untuk anak. Hal ini karena sifatnya yang tidak menggurui dan penggunaan
bahasa yang tidak langsung sehingga anak dapat mencari dan menemukan pesan itu sendiri
lewat pengalaman yang diceritakan.

Keempat, fungsi mite “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” sebagai alat pemaksa dan
pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Dalam
cerita “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” diceritakan beberapa norma atau aturan diantaranya (1)
mematuhi setiap perintah pimpinan hal ini terlihat dari kepatuhan Dewa Anta terhadap
perintah Batara Guru yang memerintahkan seluruh penghuni kayangan bergotong royong (2)
manusia harus memiliki budi dan bahasa yang baik selain wajah yang menarik sesuai dengan
gambaran “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” sebagai sosok perempuan ideal (3) mematuhi aturan-
aturan yang telah disepakati, hal ini terlihat dari kegelisahan dan ketakutan para dewa ketika
mengetahui perasaan Batara Guru kepada “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” akan mengakibatkan
perdebatan, kekacauan dan merusak aturan- aturan yang berlaku sehingga mereka menyusun
siasat untuk memisahkan keduanya.

Hubungan antara fungsi mite “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” dan kearifan lingkungan
ialah jenis tumbuhan yang diceritakan dalam mite “Nyi Pohaci Sanghyang Asri”. Tumbuhan
di atas makam “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” dipercaya sebagai sebuah simbol yang berkaitan
erat dengan kelangsungan hidup manusia. Pertama, dari kepala Nyi Pohaci tumbuh pohon
kelapa. Pohon kelapa digunakan sebagai simbol dalam organisasi pramuka yang berarti inti,
kuat, dapat bertahan, memiliki masa depan, dan memiliki banyak manfaat. Pohon kelapa
merupakan pohon yang serba guna bagi masyarakat tropis. Hampir semua bagiannya dapat
dimanfaatkan orang, mulai dari batang, daun, sampai buahnya. Kedua, dari hidung, bibir, dan
telinganya tumbuh rempah-rempah dan sayuran. Rempah dan sayuran sangat bermanfaat bagi
manusia, secara garis besar sayuran merupakan sumber serat, vitamin dan mineral yang cukup
baik bagi tubuh dan kesehatan manusia. Ketiga, dari rambutnya tumbuh berbagai jenis rumput
dan bunga beraneka warna dan wangi. Beragam jenis rumput dan bunga ternyata bukan hanya
memberikan efek estetik, tetapi juga manfaat lainnya bagi kehidupan, seperti lingkungan,
kesehatan, dan kecantikan. Keempat, dari payudaranya tumbuh buah-buahan yang lebat dan
manis. Manfaat buah-buahan untuk manusia adalah sebagai bahan makanan yang memiliki
sumber vitamin penting yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Karena dengan berbagai vitamin
tersebut, sistem kerja dalam tubuh akan terbentuk dengan baik. Bahkan, di antaranya terdapat
kandungan antioksidan tinggi yang bisa mencegah penyakit berbahaya dan mematikan.
Kelima, dari tangannya muncul pohon jati dan cendana. Manfaat pohon untuk manusia ialah,
antara lain membersihkan udara dari pencemaran, menciptakan lapangan kerja, menyediakan
air bersih, mengendalikan suhu dan kelembaban, mengendalikan banjir dan merupakan tempat
tinggal untuk para satwa dan menjadi bahan penting sebuah hunian dan properti manusia.
Keenam, dari vaginanya muncul pohon aren. Pohon aren merupakan pohon penghasil gula
aren, yakni bahan dasar pembuatan jenis makanan dan minuman di Indonesia. Manfaat gula
aren ialah, antara lain sebagai bahan dasar pembuatan masakan, penambah tenaga, dan juga
dapat dimanfaatkan sebagai obat. Ketujuh, dari pahanya muncul segala rupa pohon bambu.
Manfaat tumbuhan bambu dalam berbagai bidang telah banyak digunakan di Indonesia.
Sering kita dengar bahwa bambu digunakan sebagai senjata yang bernama bambu runcing
yang digunakan masyarakat Indonesia untuk melawan penjajah dalam mencapai
kemerdekaan. Pohon bambu termasuk tanaman yang berkembang biak dengan tunas. Pohon
bambu merupakan tanaman yang kuat dan mudah tumbuh. Tanaman bambu cukup kuat untuk
bertahan dari segala cuaca. Kedelapan, dari kakinya muncul umbi-umbian. Umbi-umbian
digunakan sebagai sumber makanan pokok karena mempunyai kandungan karbohidrat dalam
bentuk patinya yang tinggi dan kandungan serat. Kesembilan, dari pusarnya muncul padi. Padi
disemai menjadi beras. Padi adalah salah satu tumbuhan paling penting di dunia, selain
gandum. Padi merupakan sumber makanan utama, khususnya bagi orang Indonesia yang
menjadikan nasi sebagai makanan pokok. Nasi merupakan sumber karbohidrat yang
menghasilkan energi untuk beraktivitas.

Dari pembahasan di atas kita garis bawahi bahwa manusia berkaitan erat dengan alam.
Manusia membutuhkan alam untuk kelangsungan hidupnya. Alam menyediakan tempat
tinggal, udara, dan makanan untuk manusia. Sudah sepatutnyalah manusia menjaga alam dan
manjadikan alam sebagai sebuah investasi untuk kehidupan anak cucu kita kelak.

Sufia dkk. (2016) mengatakan filsafat tentang kehidupan yang menyatu dan
berdampingan dengan alam, biasa disebut sebagai naturalisme berubah menjadi
antroposentrisme. Filsafat tersebut luntur terganti dengan manusia sebagai pengendali utama
alam, bukan lagi manusia yang menyesuaikan diri dengan alam dan lingkungan. Keadaan
tersebut telah berubah. Alam dan lingkungan diolah sedemikian rupa untuk mengikuti
kehendak dan memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Fenomena perubahan alam dewasa ini membutuhkan pemikiran yang serius. Beberapa
musibah terjadi karena masalah lingkungan hidup yang diakibatkan oleh menurunnya kualitas
lingkungan. Hal itu harus membuat kita meninjau ulang untuk mengaitkan kejadian-kejadian
tersebut dengan perilaku manusia dalam memperlakukan alam selama ini. Perilaku manusia
yang hanya mementingkan keuntungan sendiri juga semakin menurunkan kualitas
lingkungan, seperti eksploitasi alam berlebihan dan pembangunan-pembangunan tanpa
mempertimbangkan fungsi ekologis.

Permasalahan di atas membuat kita berpikir keras apakah masyarakat telah kehilangan
kepedulian akan lingkungan hidupnya dan upaya apa yang harus dilakukan agar masyarakat
kembali mencintai alamnya. Salah satu media yang dapat digunakan untuk mengembalikan
keharmonisan adalah dengan pengkajian karya sastra. Masyarakat tahu, kenal, dan mencintai
karya sastra yang merupakan kekayaan daerahnya. Dengan begitu, mereka akan paham
dengan apa yang disampaikan oleh karya sastra yang berupa simbol-simbol seperti yang
terdapat dalam cerita “Nyi Pohaci Sanghyang Asri”.

Kasriani mengatakan dalam cerita rakyat banyak simbol-simbol yang maknanya belum
dipahami oleh masyarakat dan harus diakui juga bahwa minat dan perhatian masyarakat masih
rendah terhadap cerita rakyat. Dari mite “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” leluhur kita menitipkan
alam dengan penggunaan simbol-simbol tumbuhan yang muncul di atas kuburan Nyi Pohaci
Sanghyang Asri.

Simbol tumbuhan dalam cerita Nyi Pohaci Sanghyang Asri” menggambarkan


bahwasanya manusia membutuhkan alam untuk kelangsungan hidupnya, khususnya untuk
masyarakat Sunda. Hal ini menjadi identitas bahwa masyarakat Sunda tidak bisa jauh dari
jenis tumbuhan yang disebutkan di atas. Pohon kelapa yang biasanya menjadi bahan pokok
pembuatan hunian. Rempah dan sayuran juga menjadi karakteristik masyarakat Sunda yang
menyukai lalapan. Bambu yang banyak digunakan untuk kelangsungan hidup, seperti bahan
bangunan, pagar, alat transportasi hingga tumbuhan yang menguatkan tanah dari erosi dan
bencana lainnya. Yang paling penting adalah padi yang merupakan makanan pokok manusia.

Dari pembahasan di atas dapat kita kaitkan bahwa mite atau cerita rakyat “Nyi Pohaci
Sanghyang Asri” merefleksikan kearifan lingkungan dan sebagai amanat leluhur kepada
generasi berikutnya untuk senantiasa menjaga dan mencintai alam karena alam akan
melindungi mereka selama mereka memperlakukan dan menjaganya dengan baik. Sebaliknya,
alam akan menjadi musibah bagi manusia jika mereka tidak memperlakukannya dengan baik.
Hal itu sesuai dengan pernyataan Rahmawati (2015) yang mengatakan nilai dan etika leluhur
tentang bagaimana manusia selayaknya memperlakukan alam dan berhubungan dengan alam
sudah ada sejak dulu.

Hal tersebut berfungsi sebagai tata nilai yang mendasari kelangsungan hidup manusia
di bumi ini. Relasi manusia dengan hutan pada masyarakat lokal merupakan hubungan
fungsional sosial. Kondisi suatu lingkungan berperan membentuk kebudayaan suku bangsa
sebagaimana masyarakat hutan mempunyai nilai-nilai kearifan lokal tradisional yang
terbentuk dari interaksi berulang-ulang di antara masyarakat dan sumber daya hutan.

Secara garis besar pemahaman masyarakat terhadap karya sastra akan merefleksikan
kearifan lingkungan. Dengan memahami cerita rakyat masyarakat akan lebih bijak dan dalam
menjalankan perannya sebagai manusia yang berbudaya.

PENUTUP

Pembahasan yang telah dilakukan dalam penelitian ini membawa penulis pada
beberapa kesimpulan sebagai berikut.

Mite “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” memiliki empat fungsi seperti berikut.

(1) Masyarakat Indonesia yang beragam suku, adat istiadat, kebudayaan, dan bahasa juga
kepercayaan memercayai bahwa segala sesuatu memiliki sejarah dan asal usulnya. Akan
tetapi, karena pengaruh Hindu begitu kuat, hal itu berpengaruh terhadap cerita rakyat yang
tersebar di nusantara.

(2) Fungsi dari cerita rakyat “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” manusia memiliki hubungan yang
erat dengan Tuhan, manusia juga memiliki hubungan dengan manusia yang lainnya serta
manusia tidak bisa lepas dari alam sehingga manusia perlu menjaga hubungan baik dengan
ketiganya.

(3) Fungsi cerita “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” sebagai alat pendidikan untuk anak. Selain
memberikan hiburan, cerita “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” sarat akan nilai moral sehingga
anak-anak dapat mengambil sebuah pelajaran lewat cerita yang didengarnya.

(4) Fungsi keempat ditemukan beberapa norma atau aturan di antaranya ialah (a) mematuhi
setiap perintah pimpinan hal ini terlihat dari kepatuhan Dewa Anta terhadap perintah Batara
Guru yang memerintahkan seluruh penghuni kayangan bergotong royong; (b) manusia harus
memiliki budi dan bahasa yang baik selain wajah yang menarik sesuai dengan gambaran “Nyi
Pohaci Sanghyang Asri” sebagai sosok perempuan ideal; (c) mematuhi aturan-aturan yang
telah disepakati. Hal itu terlihat dari kegelisahan dan ketakutan para dewa ketika mengetahui
perasaan Batara Guru kepada “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” akan mengakibatkan perdebatan,
kekacauan, dan merusak aturan-aturan yang berlaku sehingga mereka menyusun siasat untuk
memisahkan keduanya.

Dalam mite “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” antara fungsi dan kearifan lingkungan
terdapat keterkaitan, yaitu pesan menjaga alam untuk kelangsungan hidup manusia hal ini
terdapat dalam simbol tumbuhan yang hidup di atas kuburan Nyi Pohaci. Dari keterkaitan ini
mite “Nyi Pohaci Sanghyang Asri” merefleksikan kearifan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Ansan dkk. (2012). Kearifan lingkungan dalam perbincangan dan pengelolaan hutan Wonosadi
Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunungkidul. Jurnal Manusia dan Lingkungan, (19) 3,
hlm. 226—237.

Atmazaki. (2007). Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: UNP Press.

Danandjaja, James. (1997). Folklor Indonesia (Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain). Jakarta:
Grafiti.

Endaswara, Suwardi. (2011). Metodologi Penelitian Sastra-epistimologi, Model, Teori, dan


Aplikasi. Yogyakarta: CAPS.

Hartanto. (2013). “Pohaci” sebuah abstraksi karya dari Serat Carios Dewi Sri. Institut Seni
Indonesia (ISI), (12) 2.

Kasriani. (2016). Simbol dalam Cerita Rakyat Muna (Kajian Semiotik). Jurnal Humanika (1)
16. ISSN 1979-8296.

Nasution. (1998). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.

Rahmawati. (2015). Local wisdom dan perilaku ekologis masyarakat Dayak Benuaq. Jurnal
Indigenous. (13) 1, hlm. 72—78.

Sabaria Niapele. (2014). Bentuk pengolahan hutan dengan kearifan lokal masyarakat
adat Tugutil (studi kasus masyarakat adat Tugutil di Dusun Tukur-tukur,
Kecamatan Wasile Timur, Kabupaten Halmahera Timur. Jurnal Ilmiah
Agribisnis dan Perikanan (Agrikan UMMU-Ternate) (6) 3.

Sufia, Rohana. (2016). Kearifan Lokal dalam Melestarikan Lingkungan Hidup (Studi Kasus
Masyarakat Adat Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi. Jurnal
Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan. (1)4, hlm. 726—731.

Sugiharto. Legenda Curug 7 Bidadari (Kajian Strukturalis Levi Strauss). Fakultas Ilmu
Budaya. Universitas Diponegoro.
Sudjana, Nana dan Ibrahim. (2007). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar
Baru Algensindo.

Suwardi. Makna Simbolik Mitos Dewi Sri dalam Masyarakat Jawa: Kajian Model Linguistik
Levi-Strauss. UNY

Wati, Wahyu Arfina. (2009). Analisis Fungsi Pelaku dan Motif Cerita Dewi Sri. Skripsi.
Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.

Anda mungkin juga menyukai