Anda di halaman 1dari 380

ISBN 978-602-60218-1-6

ANALISIS STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS, MITOS, SIMBOL


DAN FUNGSI LEGENDA GOA NGERONG DI KECAMATAN
RENGEL KABUPATEN TUBAN BAGI MASYARAKAT
SEKITARNYA (KAJIAN FOLKLOR)
Kiki Astrea
Universitas Islam Darul Ulum Lamongan
astrea.kiki@yahoo.com

Abstract
Oral literature is of folklore, a culture, spread by word of mouth. This
study attempts to examine the folklore of Ngerong Cave legend located at
Rengel, Tuban. This study will describe structure, myth, symbol, and function
in the Ngerong Cave legend in a descriptive qualitative approach. The source
of data is the society‘s recording around Ngerong Cave, while the data is the
written story based on the recording attained from the society around
Ngerong Cave. The data collection is obtained through determining the
object and doing a recording. Besides, the data analysis techniques gained by
processing, collecting the data based on the result of recording, then making
a note and presenting the data. The result shows that an emerged myth is the
people should not eat the fish obtained from Ngerong Cave because it is
considered as a holy fish, whereas the visitors of the cave believe that when
they got a fish from the cave, they would get a fortune.

Keywords: Strukturalisme Levi-Strauss. Mitos. Simbol. Fungsi. Legenda.


Goa Ngerong. Rengel. Tuban. Kajian Folklor.

PENDAHULUAN
Masyarakat Indonesia mempunyai beragam kebudayaan yang
merupakan warisan leluhur dan dilaksanakan secara turun temurun. Salah
satu kebudayaan yang masih dilaksanakan sampai saat ini adalah ―adat-
istiadat‖ (Purwadi, 2007:12). Adat-istiadat adalah suatu kebiasaan yang
dilaksanakan suatu masyarakat. Kebiasaan ini terjadi karena adanya warisan
leluhur yang dilaksanakan secara turun-temurun. Kebiasaan yang diwariskan
yang penyebarannya lewat mulut-ke mulut dan tidak dibukukan, bisa disebut
sastra lisan. Sastra lisan adalah bagian dari folklor Indonesia yang
mempunyai nilai-nilai luhur dalam sastra. Di Indonesia, sastra lisan masih
banyak kita jumpai. Bahkan di setiap daerah di Indonesia memiliki sastra

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

lisan. Ada beberapa bentuk sastra lisan, diantaranya, legenda, lagu dolanan,
dongeng dan mitos.
Istilah mitos, mite adat dongeng biasanya mengingatkan kita pada
suatu kisah atau ceritera yang aneh, janggal atau lucu, dan umumnya sulit
dimengerti maknanya, tidak dapat diterima kebenarannya, atau tidak perlu
ditanggapi secara serius isinya. Kisah tersebut umumnya dianggap sebagai
hasil karya iseng saja, karena isinya kebanyakan tidak sesuai dengan
kenyataan sehari-hari (Heddy, 2012:181).
Goa Ngerong yang berada di Kecamatan Ngerong Kabupaten Tuban
menyimpan legenda dengan berbagai simbol dan mitos didalamnya, yang
membuat goa tersebut sering dikunjungi wisatawan, baik yang ingin melihat
kebentungan mereka, maupun sekadar berkunjung. Mitos yang muncul
adalah tidak boleh memakan ikan yang berasal dari goa Ngerong, karena
dianggap ikan keramat. Padahal bagi pengunjung goa akan mendapat
keberuntungan jika dapat membawa pulang ikan.
Penelitian mitos Levi-Strauss pernah dilakukan oleh Chusnul
Chotimah pada skripsinya yang berjudul Diskursusu Kasta dalam Kitab
Mahabarata Karya C. Rajagopalachari (Analisis Strukturalisme Levi-
Strauss). Penelitian ini menemukan bahwa prinsip dasar aturan kasta adalah
bersifat endogamis. Kasta membutuhkan endogami untuk bisa
mempertahankan identitas yang berbeda dan definisi kelompok yang berbeda
pula pada kitab Mahabarata Karya C. Rajagopalachari. Berbeda dengan
penelitian tersebut, penelitian ini mendeskripsikan mitos, simbol dan fungsi
yang ada dalam Legenda Goa Ngerong yang ada di Kecamatan Rengel
Kabupaten Tuban.
Mitos yang ada di Goa Ngerong dapat dilihat berdasarkan Simbol yang
muncul dalam legenda Goa Ngerong. Hal inilah yang menjadi daya Tarik
Goa Ngerong sehingga didatangi banyak pengunjung setiap harinya.
Kebanyakan mereka ingin melihat keberuntungan mera, tetapi tidak jarang
juga yang datang hanya ingin melihat bentuk goa nya saja. Hal inilah yang
melatarbelakangi penelitian, sehingga sastra lisan dapat dilestarikan dan
menjadi kebudayaan yang akan terus diingat oleh masyarakat Indonesia
terutama masyarakat sekitar Goa Ngerong.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti memfokuskan
permasalahan berikut: 1) truktur legenda goa Ngerong di kecamatan Rengel
kabupaten Tuban; 2) Simbol legenda goa Ngerong di kecamatan Rengel,
kabupaten Tuban; 3) Mitos legenda goa Ngerong di kecamatan Rengel,
2

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

kabupaten Tuban; dan 4) Fungsi legenda goa Ngerong di kecamatan Rengel


kabupaten Tuban.
Menurut Taum (2011:1) Claude Lévi-Strauss (1908) adalah seorang
ahli antropologi danetnografi terkemuka Prancis yang dikenal sebagai bapak
antropologi modern. Pandangannya yang utama adalah struktur pemikiran
manusia purba (savagemind) sama dengan struktur pemikiran manusia modern
(civilized mind) karena sifat dasar manusia sebenarnya sama. Pemikiran ini
dituangkannya dalam bukunya yang terkenal Tristes Tropiques yang
menempatkan Levi-Strauss sebagaisalah satu tokoh terpenting aliran
strukturalis. Gagasannya diterima di lingkunganilmu-ilmu humaniora dan
filsafat.Levi-Strauss memberikan perhatian khusus pada mitos, yang
menurutnya memiliki kualitas logis dan bukan estetis, psikologis, ataupun
religious. Dia menganggap mitos sebagai bahasa, sebuah narasi yang sudah
dituturkan untuk diketahui.
Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi
manusia ditentukan secara luas oleh struktur social atau psikologi yang
mempunyai logika independen yang sangat menarik berkaitan dengan maksud,
keinginan, maupun tujuan manusia. Bagi Freud, strukturnya adalah psyche;
bagi Marx, strukturnya adalah ekonomi; dan bagi Saussure, strukturnya adalah
bahasa. Kesemua itu mendahului subjek manusia individual atau human agent
dan menentukan apa yang akan dilakukan manusia pada semua keadaan (
Inglis, 1990 dalam Sobur, 2001:104). berdasar pada teori tersebut Kasnadi dan
Sutejo (2010:5) berpendapat bahwa, sebuah kajian structural dapat ditempuh
dengan cara melakukan identifikasi, pengkajian, dan pendeskripsian fungsi
dan unsur intrinsic yang membangun sebuah karya fikksi.

Penelitian ini menerapkan teori strukturalis Levi-Strauss, analisis yang


dilakukan atas beberapa prinsip:
1. Bahwa mitos mengandung makna-makna tertentu. Seperti halnya mimpi
individual yang harus dianalisis untuk mengetahui maknanya, mitos atau
dongeng sebagai suatu ―mimpi kolektif‖ juga perlu dianalisis untuk
diungkapkan makna-makna kolektifnya.
2. Dongeng juga dapat dilihat sebagai suatu fenomena kebahasaan, yang baru
dapat dipahami pesannya jika kita telah mengetahui struktur dan makna
sebagai elemen yang ada didalamnya.
Sastra lisan adalah kesastraan yang mencangkup ekspresi kesastraan
warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan turun temurun secara lisan,
3

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

(Hutomo, 1991:1). Sastra lisan dibagi menjadi dua bagian yaitu sastra lisan
primer dan sastra lisan sekunder. Perbedaan dari keduanya terletak pada ciri
masing-masing yaitu:
Ciri-ciri sastra lisan primer :
1. Penyebarannya melalui mulut ke mulut yang disebarkan baik dari segi
waktu maupun ruang melalui percakapan.
2. Lahir didalam masyarakat yang masih bercorak desa, masyarakat diluar
kota atau masyarakat yang belum mengenal huruf.
3. Menggambarkan ciri budaya suatu masyarakat
4. Tidak diketahui siapa pengarangnya dan karena itu menjadi milik
masyarakat
5. Bercorak puitis teratur dan berulang-ulang
6. Tidak menenekankan fakta dan kebenaran, lebih menekankan pada aspek
khayalan atau fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat modern, tetapi
sastra lisan meliki fungsi penting didalam masyarakat.
7. Terdiri atas berbagai versi
8. Bahasa menggunakan gaya bahasa lisan (sehari-hari) mengandung dialek,
terkadang tidak lengkap (Hutomo, 1991:3-4)
Sedangkan sastra lisan sekunder merupakan sistem produksi sastra
tulis, sebagai perwujudan, penyebar luasan informasi atau sosialisa sastra tulis.
Jika dilihat dari segi penuturnya sastra lisan dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Sastra lisan yang bernilai sastra (mengandung estetika)
2. Sastra lisan yang tidak bernilai sastra.
Sastra lisan adalah bagian dari folklor. Istilah folklor merupakan
pengindonesiaan dari kata folklore dalam arti bahasa Inggris yang berasal dari
kata folk dan lore. Folk memiliki pengertian kolektif. Menurut Alan Dundes,
folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial,
dan kebudayaan, sehinga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya
(Danandjaya, 1991:1)
Brunvand (dalam Rafiek, 2010: 52-53) Folklor digolongkan menjadi
tiga macam yaitu, 1) folklor lisan, 2) folklor setengah lisan, dan 3) folklor
bukan lisan. Bentuk folklore lisan antara lain(a) bahasa rakyatseperti logat,
julukan, pangkat tradisional dan titel kebangsawanan; (b) ungkapan
tradisional, seperti pepatah, peribahasa, dan pemeo; (c) pertanyaan tradisional,
seperti teka-teki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e)
cerita prosa, seperti mitos, legenda, dan dongeng, dan (f) nyanyian rakyat.

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Legenda merupakan bagian dari sastra lisan. Legenda goa Ngerong


tidak banyak diketahui oleh masyarakat, kebanyakan pengunjung goa Ngerong
hanya ingin melihat ikan yang berada di goa, karena menurut mitos
masyarakat sekitar siapa yang dapat melihat dan menyentuh ikan yang ada di
goa Ngerong berarti mereka akan mendapat keberuntungan. Legenda sendiri
menurut William R.Bascom Hutomo (1991:64) adalah cerita yang mirip
dengan mite, yatu yang benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci.
Berlainan dengan mite, legenda ditokohi oleh manusia biasa walaupun
adakalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa, atau sering juga dibantu
makhluk-makhluk gaib (halus). Tempat terjadinya legenda adalah di dunia
seperti yang kita kenal sekarang. Waktu terjadinya belum begitu lampau.
Dalam penelitian ini, fokus utama adalah simbol, mitos dan fungsi.
Simbol adalah sebuah tanda di mana hubungan antara signifier dan signified
semata-mata adalah masalah konvensi, kesepakatan atau peraturan (van Zoest
dalam Sobur, 2001:126).
Menurut Hamad (dalam Sobur 2001:140) Secara substansi, semiotik
adalah kajian yang concern dengan dunia simbol. Alasannya, seluruh isi media
massa pada dasarnya simbolik. Bahasa adalah alat komunikasi atau alat
penghubung antar-manusia. Komunikasi antarmanusia diadakan antara lain
dengan menggunakan bunyi yang dihasilkan alat ucap. Komunikasi antar umat
manusia juga dapat menggunakan bentuk lain, yaitu dengan simbol-simbol.
Berdasarkan kedua pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
simbol adalah sebuah tanda yang dihasilkan baik berupa bunyi bahasa maupun
dengan bentuk lainnya. Selain simbol, dalam penelitian ini juga akan meneliti
mitos yang ada di goa Ngerong kecamatan Rengel kabupaten Tuban. Sebelum
menganalisis hasil penelitian, akan dilakukan analisis struktur legenda goa
Ngerong untuk diketahui mitos dan simbol yang ada di goa Ngerong.
Menurut Heddy (2012:181) istilah mitos, mite adat dongeng biasanya
mengingatkan kita pada suatu kisah atau ceritera yang aneh, janggal atau lucu,
dan umumnya sulit dimengerti maknanya, tidak dapat diterima kebenarannya,
atau tidak perlu ditanggapi secara serius isinya. Kisah tersebut umumnya
dianggap sebagai hasil karya iseng saja, karena isinya kebanyakan tidak sesuai
dengan kenyataan sehari-hari.
Pada dasarnya, dongeng atau legenda menurut Vladimir Propp dalam
Endraswara (2003:155) telah memberikan rambu-rambu analisis cerita dan
fungsinya. Dia telah menemukan beberapa teori fungsi yang penting, yaitu: a)
istilah fungsi merupakan unsur dongeng sastra lisan yang paling mantap dan
5

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

tidak berubah, walaupun tokoh yang mendukung fungsi berganti; b) fungsi


sastra lisan terbatas jumlahnya, kurang lebih ada 31 fungsi; c) urutan fungsi
dalam dongeng selalu sama; d) sebuah dongeng hanya mewakili satu tipe saja
jika dilihat dari strukturnya. Fungsi tersebut selalu dikaitkan dengan
perwatakan tokoh. Perwatakan amat didukung oleh sudut pandang cerita.
Penelitian ini bersifat kualitatif artinya yang dikumpulkan bukan
berupa angka-angka melainkan kata-kata atau gambaran sesuatu. Penelitian ini
juga dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau
fenomena yang mungkin secara empiris hidup pada masyarakat sehingga yang
dihasilkan berupa teks lisan. Objek penelitian ini adalah legenda Goa Ngerong
yang ada di kecamatan Rengel kabupaten Tuban. Objek penelitian didapat dari
wawancara langsung dengan informan dilapangan. Dengan teknik
pengumpulan data, yaitu teknik observasi, teknik wawancara, teknik
pencatatan, teknik perekaman dan teknik dokumentasi. Kemudian dilakukan
penentuan setting penelitian, menentukan informan, melakukan penerjemahan
data, dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif dan
analisis isi untuk mengetahui bagaimana struktur Legenda Goa Ngerong,
bagaimana mitos legenda, bagaimana simbol legenda serta bagaimana fungsi
legenda goa Ngerong.

PEMBAHASAN
1. Struktur Legenda Goa Ngerong
Struktur cerita adalah membahas unsur intrinsik sebuah cerita,
yaitu tokoh, latar belakang, alur, perwatakan, sudut pandang dan amanat
sebuah cerita. Berdasarkan wawancara terhadap Lasrip warga sekitar Goa
Ngerong di kecamatan Rengel kabupaten Tuban. asal mula goa ngerong
dahulunya adalah kerajaan Gumenggeng yang ada di dusun Gumeng, desa
Banjaragung, kecamatan Rengel, kabupaten Tuban. sekitar ribuan tahun
lalu raja Gumenggeng bernama Raden Arya Bangah adalah putra dari
Kyai Gede Lele Lontang. Kerajaan tersebut berada di pegunungan kapur
yang sulit mendapatkan sumber air untuk kebutuhan sehari-hari, baik
minum maupun kebutuhan lainnya. Mereka hanya mengandalkan hujan
untuk mendapatkan air. Apabila musim kemarau tiba, masyarakat susah
mendapat sumber air.

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Raja Raden Arya Bangah melakukan lelana brata atau laku batin
untuk mendapatkan petunjuk dari dewa. Akhirnya Raja mendapatkan
petunjuk dari dewa untuk bersemedi di puncak gunung di desa Andhong
agar desa Gumenggeng selamat dari kekeringan. Untuk melakukan semedi
tersebut, raja mengadakan sayembara untuk seluruh masyarakat yang
sanggup melakukan semedi akan mendapat hadiah tanah. Sayembara itu
tersebar ke seluruh desa da nada satu warga yang dapat melaksanakan
sayembara tersebut, dia adalah Kyai Jala Ijo.
Kyai Jala Ijo melakukan semedi sambil mengucapkan ―mandeng
pucuking grana, sedakep saluku tunggal, nutup babahan hawa songo, muji
marang dzat kang mubeng waseso‖. Yang artinya memandang puncak
bulan purnama bersendakap menghadapkan jiwa dan hati ke satu tujuan
yaitu Tuhan, menutup jalan lubang Sembilan hawa nafsu memuji kepada
sang maha pencipta segala. Kyai Jala Ijo mengucapkannya dengan penuh
kekhusyukan demi berharap mendapat petunjuk dari yang maha kuasa.
Hingga akhirnya dia mendapat bisikan untuk menyungkil tanah yang
masih dalam wilayah kerajaan. Kemudian Kyai Jala Ijo mencukil tanah
dengan menancapkan tongkatnya. Akhirnya tanah tersebut mengeluarkan
air dan berubah menjadi goa yang bentuknya seperti terowongan.
Terowongan dalam bahasa jawa berarti Rong atau lubang. Demikian
kenapa dinamakan Goa Ngerong yang berarti terowongan.
Air melimpah yang didapatkan dari goa ngerong membuat warga
Gumenggeng tidak lagi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Bahkan karena keindahan bentuk goa ini, banyak warga yang berdatangan
hanya sekadar mengobati rasa penasaran terhadap goa tersebut. Apalagi
semakin lama semakin banyak hewan yang tinggal di dalam goa, seperti
kelawar, ikan bader, ikan buta dan kura-kura putih. Menurut cerita ikan-
ikan yang ada di goa adalah binatang peliharaan Putri Raden Arya Bangah.
Berdasarkan asal usul penamaan goa ngerong tersebut dapat
ditentukan struktur cerita, yaitu: (a) tokoh cerita adalah Raden Arya
Bangah adalah seorang raja, Kyai Jala Ijo adalah warga yang bersemedi
untuk mendapatkan air. Putri Raden Arya Bangah yang memelihara ikan
di goa; (b) latar cerita di sebuah kerajaan di dusun Gumeng, desa
Banjaragung, kecamatan Rengel, kabupaten Tuban, di puncak gunung di
desa Andhong agar desa Gumenggeng, dan di goa Ngerong; (c) alur yang
digunakan adalah alur maju; (d) perwatakan Raden arya Bangah adalah
raja yang baik, adil, dan peduli terhadap rakyatnya. Kyai Jala Ijo adalah
7

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

warga yang baik yang bersedia bersemedi demi mendapatkan air untuk
keberlangsungan hidup seluruh rakyat. Putri Radeng Arya Bangah adalah
putri yang baik yang mencintai binatang sebagai sesama mahluk hidup; (e)
sudut pandang dilihat dari orang ketiga yaitu membaca yang menceritakan
kembali legenda goa ngeroh; (f) amanat yang dapat dilihat dari legenda ini
adalah menjadi pemimpin yang bertanggung jawab, melaksanakan tugas
dengan sebaik-baiknya, mencintai sesama makhluk hidup dan
mengharapkan kebaikan hanya dari Yang Maha Kuasa.

2. Mitos
Goa Ngerong selain memiliki pesona yang indah juga menyimpan
banyak mitos. Menurut Hutomo, (1991:63) Mitos adalah cerita-cerita suci
yang mendukung sistem kepercayaan atau agama (religi). Selain itu
pengertian lain tentang mitos adalah bagian dari ritual yang diucapkan,
cerita yang diperagakan oleh ritual. Dalam suatu masyarakat, ritual
dilakukan oleh pemuka-pemuka agama untuk menghindarkan bahaya atau
mendatangkan keselamatan. Ritual adalah ‗cara‘ yang selalu dan setiap
kali diperlukan, misalnya berkaitan panen, kesuburan, inisiasi anak muda
kedalam kebudayaan masyarakat dan kematian. Tetapi dalam pengertian
yang luas, mitos berarti cerita-cerita anonim mengenal asal muasal alam
semesta dan nasib serta tujuan hidup: penjelasan-penjelasan yang
diberikan oleh suatu masyarakat kepada anak-anak mereka mengenai
dunia, tingkah laku manusia, citraan alam dan tujuan hidup manusia.
Penjelasan-penjelasan ini bersifat mendidik (Wellek dan Warren,
1995:243).
Di dalam goa Ngerong ada beberapa hewan yang tinggal di
dalamnya. Air yang jernih, dalam dan mengalir membuat goa Ngerong
ditinggali beberapa binatang, seperti Kelelawar, ikan dan kura-kura. Mitos
yang muncul dalam legenda Goa Ngerong yaitu:
a. Kyai Jala Ijo mendapat bisikan untuk mencukil tanah yang masih di
wilayah kerajaan. Beiau mencukil tanah dengan tongkat sehingga
mengalir air dari dalamnya. Mitos Kyai Jala Ijo mendapat bisikan
dapat diterima dengan nalar bahwa seorang Kyai dianggap dekat
dengan Tuhan, sehingga menjadi wakil suatu masyarakat dalam
permohonan sesuatu, bahwan yang mustahil dapat dilakukan oleh
sesorang yang dekat dengan Tuhan. Penggunaan nama Jala juga
dikaitkan dengan alat penangkap ikan. Ikan berada di air, dan di dalam
8

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

goa ngerong terdapat air dan ikan. Itulah mengapa jala digunakan
dalam penamaan tokoh dalam legenda goa Ngerong.
b. Ikan yang berada di goa ngerong tidak boleh dibawa pulang apalagi
dimakan. Hal ini dapat diterima dengan nalar, karena didalam goa
ngerong terdapat jutaan kelelawar sehingga apabila kotoran kelelawar
termakan oleh ikan dan apabila ikan itu dimakan manusia, maka
manusia bisa saja keracunan dan mati karena memakan ikan tersebut.

3. Simbol
Menurut Endraswara (2003:155) aspek yang diangkat dalam
penelitian sastra lisan salah satunya adalah mengkaji pesan, dan makna
sastra lisan, yaitu nilai-nilai apa yang hendak disampaikan, simbol-simbol
apa yang digunakan untuk membungkus pesan, apakah masih relevan bagi
masyarakat sekarang. Simbol yang tampak dalam legenda goa ngerong,
yaitu:
a. Raja mendapatkan petunjuk dari dewa untuk bersemedi di puncak
gunung di desa Andhong. Puncak gunung merupakan tempat tertinggi.
Dewa adalah tataran tertinggi yang disembah dan simbol
kesempurnaan serta kemuliaan.
b. Kyai Jala Ijo adalah simbol bahwa Kyai adalah orang yang dianggap
dekat dengan Tuhan sehingga setiap doanya dianggap pasti diterima
oleh Yang Maha Kuasa. Jala adalah jaring yang oleh orang Jawa
digunakan untuk menangkap ikan, yang berarti jala pastilah dapat
menangkap keberkahan, sehingga jika Tuhan menurunkan kebaikan
dapat ditangkap dengan baik.

4. Fungsi
Menurut Endraswara (2003:155) aspek yang diangkat dalam
penelitian sastra lisan, salah satunya adalah mengkaji fungsi sastra lisan,
antara lain untuk control social politik, mendidik masyarakat, menyindir
dan sebagainya. Sedangkan menurut Vladimir Propp menyatakan bahwa
fungsi selalu dikaitkan dengan perwatakan tokoh. Perwatakan amat
didukung oleh sudut pandang cerita. Berdasarkan perwatakan tokoh, dapat
diketahui bahwa fungsi legenda Goa Ngerong adalah untuk mendidik
masyarakat, bahwa sebagai pemimpin harus bertanggung jawab,
melaksanakan tugas dengan baik demi kemakmuran rakyat. Dan juga
mengajarkan untuk menyayangi sesame makhluk hidup. Bisa juga
9

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

dikatakan menyindir pemimpin yang dianggap tidak melaksanakan


tugasnya dengan baik, agar dapat meniru sisi baik dari legenda goa
ngerong. Juga sebagai sindiran pada orang-orang yang suka menyiksa
binatang, agar menyayangi binatang sebagai sesame makhluk hidup.

SIMPULAN
Struktur cerita adalah : (a) tokoh cerita adalah Raden Arya Bangah
adalah seorang raja, Kyai Jala Ijo adalah warga yang bersemedi untuk
mendapatkan air. Putri Raden Arya Bangah yang memelihara ikan di goa; (b)
latar cerita di sebuah kerajaan di dusun Gumeng, desa Banjaragung,
kecamatan Rengel, kabupaten Tuban, di puncak gunung di desa Andhong agar
desa Gumenggeng, dan di goa Ngerong; (c) alur yang digunakan adalah alur
maju; (d) perwatakan Raden arya Bangah adalah raja yang baik. Kyai Jala Ijo
adalah warga yang baik. Putri Radeng Arya Bangah adalah putri yang baik.;
(e) sudut pandang dilihat dari orang ketiga; (f) amanat yang dapat dilihat dari
legenda ini adalah menjadi pemimpin yang bertanggung jawab, melaksanakan
tugas dengan sebaik-baiknya, mencintai sesama makhluk hidup dan
mengharapkan kebaikan hanya dari Yang Maha Kuasa. Mitos yang muncul,
yaitu: (a) Kyai Jala Ijo mendapat bisikan untuk mencukil tanah yang masih di
wilayah kerajaan, beliau mencukil tanah dengan tingkat dan keluar air
mengalir padahal tanah kerajaan berada di sekitar gunung kapur; (b) Ikan yang
berada di goa ngerong tidak boleh dimakan. Simbol yang tampak dalam
legenda goa ngerong, yaitu: (a) Raja mendapatkan petunjuk dari dewa untuk
bersemedi di puncak gunung di desa Andhong. Puncak gunung merupakan
tempat tertinggi. Dewa adalah tataran tertinggi yang disembah dan simbol
kesempurnaan serta kemuliaan; (b)Kyai Jala Ijo adalah simbol bahwa Kyai
adalah orang yang dianggap dekat dengan Tuhan sehingga setiap doanya
dianggap pasti diterima oleh Yang Maha Kuasa. Fungsi legenda goa Ngerong
adalah mendidik dan menyindir. Berdasarkan penelitian tersebut diharapkan
dapat mengukuhkan rasa tanggung jawab terhadap tugas yang diemban, serta
dapat meletarikan bagian dari budaya Indonesia.

DAFTAR RUJUKAN

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2012. Strukturalismr Levi-Strauss, Mitos dan


Karya Sastra. Yogyakarta:UGM Press.

10

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia Ilmu Gosip Dongeng dan lain-
lain. Jakarta: Pustaka Grafiti.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustara Widyatama.
Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan (Pengantar Studi
Sastra Lisan). Surabaya:HISKI
Purwadi, M. Hum. 2007. Ensiklopedi Adat Istiadat Budaya Jawa. Jogjakarta:
Panji Pustaka
Rariek, M. 2010. Teori Sastra. Kajian Teori dan Praktik. Bandung:Refika
Aditama.
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sutejo dan Kasnadi. 2010. Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa).
Yogyakarta: Pustaka Felicha.
Taum, Yosept Yapi. 2011. Teori-teori Analisis Sastra Lisan: Strukturalisme
Levi-Strauss. Yogyakarta:Lamalera.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta:PT.
Gramedia.

LEGENDA GUA TAN TIK SIU


DI DESA SUMBERAGUNG KECAMATAN
REJOTANGAN KABUPATEN TULUNGAGUNG
SEBAGAI PEDOMAN NILAI SOSIAL

Tsalits Abdul Aziz Alfarisi


Universitas Islam Darul Ulum Lamongan

11

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Abstract

Literature is an expression of the sense of feeling written in the language


according to the context value. It refers to the concept of oral literature in which
literature encompasses the literary expression of a culture that is transmitted and
passed down by word of mouth from mouth to mouth. One form of oral literature
in Tulungagung that grows and develops in Sumberagung village, Rejotangan sub
district is the legend of Tan Tik Siu Cave. It is interesting to study because the
cultural value of Tan Tik Siu Cave legend is a fairly new phenomenon for
researchers. Why is that, because the legend of Tan Tik Siu has a certain cycle for
people who want to run the ritual in that place. No everytime a ritual be do. it‘s
violated then public confidence there agree there will be distress ready to befall
society in Sumberagung area.Tan Tik Siu Cave Legend Research raises the
question of how the structure of legend, cultural values, and functions for the
support community. The approach in this research uses qualitative descriptive
approach by observation, interview, recording and recording. Analysis of cultural
values of Cave Tan Tik Siu Legend there are four kinds, including: (1) Values of
community trust on pesugihan and certain wonders, (2) Values that apply to the
surrounding community, (3) Religious values.
The analysis of the function of Cave Legend Tan Tik Siu is four, namely (1)
Projection System is a person's dream about what it will do, (2) Ratification of
institutions and Institutions Culture, (3) Educational Tool, and (4) Amusement
Equipment.
Keywords: legend, folklore, moral value

Abstrak

Sastra merupakan ekspresi pikiran perasaan yang ditulis dengan


menggunakan bahasa sesuai dengan nilai konteksnya. Hal tersebut merujuk
kepada konsep sastra lisan dimana kesastraan yang mencakup ekspresi kesastraan
warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan turun temurun secara
lisan dari mulut ke mulut. Salah satu bentuk sastra lisan di Tulungagung yang
tumbuh dan berkembang di desa Sumberagung kecamatan Rejotangan adalah
legenda Gua Tan Tik Siu. Hal tersebut menarik untuk diteliti karena nilai budaya
legenda Gua Tan Tik Siu merupakan fenomena yang cukup baru bagi peneliti.
Mengapa demikian, karena legenda Tan Tik Siu memiliki siklus tertentu bagi
masyarakat yang ingin menjalankan ritual di tempat tersebut. Tidak setiap hari
orang dapat menjalankan ritual. Jika hal tersebut dilanggar maka kepercayaan
masyarakat disana sepakat akan ada marabahaya yang siap menimpa masyarakat
di daerah Sumberagung.Penelitian Legenda Gua Tan Tik Siu mengangkat

12

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

permasalahan mengenai bagaimana nilai budaya, dan fungsi bagi masyarakat


pendukungnya. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
deskriptif kualitatif dengan cara pengamatan, wawancara, perekaman dan
pencatatan. Analisis nilai budaya Legenda Gua Tan Tik Siu ada empat macam,
meliputi: (1) Nilai Kepercayaan masyarakat terhadap pesugihan dan keajaiban
tertentu, (2) Nilai Tingkah Laku yang berlaku bagi masyarakat sekitar, (3) Nilai
religi. Analisis fungsi Legenda Gua Tan Tik Siu ada empat, yaitu (1) Sistem
Proyeksi adalah angan-angan seseorang tentang apa yang akan dilakukannya, (2)
Pengesahan pranata cara dan Lembaga Kebudayaan, (3) Alat Pendidikan, dan (4)
Alat Hiburan.
Kata Kunci: legenda, sastra lisan, pedoman nilai sosial

Pendahuluan

Masyarakat Indonesia mempunyai keanekaragaman yang dilatarbelakangi


oleh keadaan budaya, agama, dan kepercayaan yang berbeda-beda. Hal tersebut
merupakan warisan leluhur yang tidak ternilai dan patut dibanggakan. Salah satu
contoh kebudayaan nasional bangsa Indonesia adalah sastra. Sastra merupakan
ekspresi pikiran perasaan maupun tulisan menggunakan bahasa yang indah
menurut konteksnya (Hutomo, 1997:39). Sastra lisan yaitu kesastraan yang
mencakup ekspresi kesastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan
diturunkan turun-temurun secara lisan dari mulut-ke mulut (Hutomo, 1991:1).
Sastra lisan merupakan warisan budaya daerah turun-temurun yang dapat
dikembangkan juga dimanfaatkan serta mempunyai nilai-nilai luhur yang cukup
tinggi dalam hubungan usaha pembinaan dan pencintaan sastra.
Anggapan sastra dapat berfungsi sebagai suatu perkembangan bahasa
daerah dan juga pengungkapan alam pikiran dan nilai-nilai kebudayaan (Nebath,
1985:1) jelas bahwa sastra lisan tersebut mempunyai kedudukan dan fungsi yang
penting sehingga sastra lisan perlu disematkan, dipelihara dan dikembangkan.
Sastra lisan lahir dan berkembang di masyarakat, namun keberadaan sastra lisan
lebih sulit dipertahankan. Hal itu karena sastra lisan lahir pada masyarakat
tradisional, masyarakat yang hanya memanfaatkan komunikasi lisan sebagai alat
yang bergantung kepada ingatan penutur. Dalam masyarakat tradisional, peranan
sastra lisan sangat besar dari pada sastra tulis. Sastra lisan menjadi identitas
primer bagi masyarakat perorangan maupun kelompok.
Masyarakat Sumberagung, Kecamatan Rejotangan Kabupaten
Tulungagung adalah masyarakat yang memiliki sikap hidup berdasarkan adat
istiadat tata cara leluhur sejak berabad-abad lamanya, meskipun adat istiadat itu
13

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

secara logika tidak masuk akal. Adat tersebut misalnya mengenai kepercayaan
pada hal-hal gaib. Jalan pikiran semacam ini menimbulkan sikap hidup yang
berusaha untuk selalu mengikat dirinya dengan sengaja kekuatan yang
mempunyai pengaruh kehidupan sehari-hari. Jadi, dapat dikatakan bahwa setiap
kelompok masyarakat membentuk kesadaran sejarah atau ingatan mengenai masa
lampau sebagai legenda.
Penuturan di atas menjadi alasan mengapa peneliti mengadakan penelitian
tentang Legenda Goa Tan Tik Siu di Sumberagung, Rejotangan, Tulungagung
dengan menggunakan analisis nilai budaya, dan fungsi. Diharapakan dengan
adanya penelitian ini dapat membangkitkan semangat generasi muda yang lain
terhadap sejarah kebudayaan suatu daerah agar tidak punah dimakan oleh
perkembangan zaman.

Pembahasan
Tan Tik Siu lahir di Surabaya sekitar tahun 1884. Beliau memiliki riwayat
penyakit autisme. Karena penyakit tersebut dia terkucilkan oleh keluarganya. Dia
pergi meninggalkan rumah merantau sampai di desa sumber agung dan
mempunyai bapak angkat bernama Pak Budiman. Zaman dahulu Tan Tik Siu
membangun Gua yang bernama Tan Tik Siu di desa Sumberagung yang
merupakan Goa nomor dua. Sedangkan gua yang pertama ada di Arga Khayangan
Wilis Sendang Tulungagung.
Cerita yang terdapat di Gua tersebut yaitu kisah pangeran Papak (nama
lain Tan Tik Siu) yang ikut mengembala bersama orang-orang lainnya. Pada suatu
sore tidak terlihat sosok bocah tersebut, namun setiap pagi anak itu selalu muncul.
Oleh masyarakat desa Sumberagung dia disuruh mencari batu selebar satu meter
dan tinggi satu meter (1 kibek). Setelah itu Tan Tik Siu pergi ke Arga Wilis
Sendang Tulungagung beliau membuat Gua di sana, itu merupakan goa pertama
yang di buat oleh Tan Tik Siu dan setelah jadi, tiga bula kemudian Tan Tik Siu
membuat Goa kedua yang ada di Desa Sumberagung, Kec. Rejotangan, Kab.
Tulungagung.
Tan Tik Siu sering mengadakan hiburan berupa jaranan, wayang di Desa
Sumberagung. Setelah tinggal beberapa taun di desa Sumberagung Tan Tik Siu
sering di minta tolong masyarakat sekitar datang kesana untuk meminta obat, dan
pesugihan. Keajaiban beliau adalah dapat mengubah loloan (pasir, gamping, batu)
menjadi nasi, daun di ubah menjadi rokok dan uang. Goa Tan Tik Siu biasanya di
gunakan masyakarat sekitar dan luar daerah untuk bertapa mencari mencari
pesugihan.
14

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Maka dari itu Goa ini berfungsi bertapa Goa Tan Tik Siu. Goa tersebut
berdiri tahun 1921, dan di peruntuhkan untuk masyarakat desa Sumberagung.
Selain bertapa, Tan Tik Siu mempunyai pekerjaan jualan capil (topi yang terbuat
dari bambu). Dan uniknya capil tersebut di beri warna seperti bedera belanda
merah, putih, dan biru. Bangsa Belanda marah karena Tan Tik Siu berkata ―ayo
bangsa belanda kalau berani kesinia‖, banjur bangsa Belanda datang ke Desa
Sumberagung membawa bala tentara beberapa truck dan membawa perlengkapan
perang lengkap. Melihat kedatangan bangsa Belanda, Tan Tik Siu membuat batu
bata yang digunakan untuk melempari bangsa Belanda. Dan kejadian itu membuat
bangsa belanda jera datang lagi di desa Sumberagung.
Tan Tik Siu oleh masyarakat desa Sumberagung di panggil limpah (wali),
suhu Tan Tik Siu (Pangeran Papak). Sehari-hari kegiatan beliau adalah bertapa
brata tanpa makan dan minum. Di depan Goa terdapat patung macan jumlahnya
ada tiga, patung macan ini mempunyai cerita pada jaman dulu mbah Tan Tik Siu
berteman atau lebih tepatnya bersaudara dengan Ratu Kidhul. Ketika Nyai Rara
Kidhul datang ke Goa selalu menjelma menjadi macan. Maka, untuk mengenang
bersaudaraan dengan beliau di buatlah patung macan tersebut.
Selain patung macan juga terdapat rumah-rumahan di Goa Tan Tik Siu
yang berbentuk 45 maksudnya adalah banteng-banteng berjumlah 9 dan juga
terdapat lambang-lambang kehidupan yang harus dipatuhi yaitu manusia itu tidak
boleh sombong, berbicara buruk,berisik/gaduh, berzina dsb. Gandha mayit
mempunyai arti manusia itu tidak ada yang suci semuanya kotor, kenapa di sebut
manusia itu kotor karena kalau di lihat secara kasat mata manusia itu keluar lewat
barang yang kotor (vagina), masuk ke dalam Goa tersebut manusia harus seperti
orang meninggal tidak di lihat cantik/ganteng atau jelek.
Siapa saja yang kuat seperti Tan Tik Siu bakal mengetahui apa sebenarnya
kehidupan itu. Selain itu, juga ada lagi ondhak-ondhakan (tingkatan) yang
mempunyai nama Pagoda. Merupakan lambang tataran kehidupan bahwa seperti
wali yang berjumlah sembilan dan siapa saja yang bisa melakukan kehidupan
seperti simbol itu akan hidup makmur dan sejahtera karena sembilan adalah
simbol Raja, siapa saja yang bisa melakukan kehidupan seperti itu bakal terkabul
keinginannya. Goa Tan Tik Siu menghadap ke barat mempunyai arti bahwa
sebelum ada masjid di bangun di daerah Sumberagung, Goa tersebut sudah si
bangun menghadap ke kiblat.
Sedangkan Pagoda mempunyai jumlah sembilan tinggi menjulang dan
terdapat mahkota mempunyai lambaang Raja. Di dekatnya Pagoda ada genthong
Sanepa mempunyai fungsi kaalau masyaraakat sekitar ada yaang sakit air
15

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

genthong tersebutlah yang di gunakan sebagai obat. Selain itu juga terdapat sogi,
di daerah inilah mbah Tan Tik Siu sering membakar dirinya menggunakan kertas
dan bensin. Keajaiban pun terjadi, setelah di bakar bukannya mati atau luka-luka
tubuh beliau malah berubah menjadi semakin muda. Untuk mengabadikan wajah
Tan Tik Siu, di dalam goa di pasang foto beliau di lengkapi dengan jamsi
(kotakan kecil yang berisi 1 sampai 37) isinya mengenai doa-doa atau ramalan.
Caranya dengan mengocok jamsi tersebut kan di keluarkan 1 saja jamsi lalu di
bacakan dan di cocokan dengan isi kotakan 1 sampai 37 tadi.
Orang yang mempercayai ramalan tersebut akan terkabul apa yang di
inginkan, tetapi kalau tidak percaya tidak akan terwujud apa yang di inginkan. Di
sekitar goa Tan Tik Siu terdapat pohon asem yaang tinggi dan besar, patung dewi
kuan‘im, dan patung jaran. Tata krama bagi siapa saja yang daatang ke goa Tan
Tik Siu harus permisi ke beliau dulu dan kalau pulang juga harus berpamitan ke
mbah Tan Tik Siu.
Siapa saja yang ingin berkunjung ke goa Tan Tik Siu harus membawa
sesajen seperti jeruk, apel, roti, gula aren, lilin, dupa dsb. Di depan goa ada pohon
dewa daru, siapa saja orang yang ingin kaya harus duduk di bawah pohon dewa
daru sampai kejatuhan buahnya maka orang tersebut akan kaya. Akhir cerita
simbah Tan Tik Siu di makamkan Pulau Pinang di malaysia.

Nilai Budaya
Menurut hasil penelitian ini, peneliti memiliki kesimpulan bahwa legenda
Gua Tan Tik Siu memiliki tiga nilai budaya yaitu: 1) nilai kepercayaan, 2) nilai
tingkah laku, 3) nilai abstraksi dari pengalaman tertentu, dan 4) nilai kehidupan
masyarakat Sumberragung. Dalam nilai kepercayaan yang dialami oleh
masyarakat Sumberagung ketika masuk Gua Tan Tik Siu dipercayai bisa
mengaalami keberuntungan (sukses). Kejadian tersebut yang menjadikan
seseorang memiliki niat yang sangat besar untuk memasuki Gua Tan Tik Siu.
Kepercayaan tersebut dipercayai oleh masyarakat sekitar dan juga daerah lain.
Kejadian tersebut dapat dilihat dari hasil wawancara peneliti oleh informan
sebagai berikut:
―menurut mbah Andhen, si mbah Tan Tik Siu tidak meninggal. Tetapi mbah
Andhen sendiri tidak mengerti dimana Tan Tik Siu sekarang berada. Sekarang
banyak sekali warga sekitar atau luar daerah datang untuk mengalap berkah di
Gua Tan Tik Siu misalnya orang yang usahanya bangkrut, ingin lancar sekolah,

16

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

ingin mendapat jodoh dsb, karena di Gua Tan Tik Siu dipercayai tidak dimintai
tumbal sama sekali‖ (wawancara dengan mbah Andhen 12 Mei 2016).
Penjelasan tersebut merupakan cerita dari Mbah Andhen mengenai
banyaknya masyarakat yang datang ke Gua Tan Tik Siu. Semua masyarakat
percaya bahwa semua orang yang mengalap berkah bakal berhasil. Maka dari itu
Gua Tersebut tidak pernah sepi didatangi masyarakat yang ingin ngalap berkah.
Maka di dalam Gua terdapat patung dewi Kuan Im. Penjelasan tersebut dapat
dibaca dari wawancara berikut:
―didalam Gua Tan Tik Siu ada patung dewi Kuan Im, maksudnya adalah orang
yang masuk Gua Tan Tik Siu harus melakukan dan yang terakhir berpamitan
kepada Tan Tik Siu. Siapa yang memiliki keinginan datang ke Gua Tan Tik Siu
harus membawa sesajen seperti jeruk, apel, roti, dsb. (wawancara dengan Mbah
Salam, 12 Mei 2016)
Di dalam Gua juga terdapat patung Tan Tik Siu karena beliau yang
menguasai tempat tersebut. Maka masyarakat yang datang ke Gua harus
menyembah Tan Tik Siu. Hal tesebut memiliki arti bahwa meminta izin sebelum
memasuki Gua dari marabahaya yang ada. Selain itu terdapat patung dewi Kuan
Im dan patung kuda yang juga memiliki peran sama yang perlu dilakukan oleh
masyarakat sebagai bentuk awal melakukan ritual sebelum memasuki Gua Tan
Tik Siu.
Nilai tingkah laku yang dapat diambil oleh masyarakat bahwa orang yang
massuk dalam Gua Tan Tik Siu tidak boleh berkata dan berbuat yang jelek.
Aturan tersebut dapat dibaca pada wawancara berikut:
―didepan gentong Sanepa terdapat tempat yang namanya Gandha Mayit. Nama
tersebut hanya kiasan di dalam Gua tidak terdapat mayat tetapi istilah tersebut
digunakan apabila masyarakat masuk Gua Tan Tik Siu harus seperti mayat,
maksudnya tidak boleh rame, tidak boleh berkata jorok, dan harus melupakan
segala hawa nafsu yang ada didalam dirinya‖. (wawancara dengan mbah Salam
12 Mei 2016).
Nilai abstraksi dari pengalaman tertentu berdasarkan keperccayaan dan
tingkah laku, pantangan serta larangan di dalam Gua Tan Tik Siu tersebut yaitu
sebagai wujud nyata yang telah terbukti bilamana melanggar perintah atau
larangan yang menjadi nilai budaya. Sekaligus disakralkan dengan kejadian yang
sudah terjadi. Seperti di Gua Tan Tik Siu bilamana manusia ingin melihat nasib
dapat menggunakan Jamsi. Hal tersebut dapat dilihat dari wawancara sebagai
berikut:

17

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

―di depan foto Tan Tik Siu terdapat kotakkan kecil yang berjumlah 1 hingga 27
yang berisi doa-doa atau ramalan. Cara menggunakan Jamsi diaduk lalu diambil
satu Jamsi yang telah jatuh. Setelah itu dicocokkan dengan tulisan yang ada di
dalam kotakkan yang berjumlah 1 hinga 27. Lalu dibaca tulisannya: seandainya
manusia ingin kaya harus bertapa brata, hemat, puasa senin kamis dsb. Maka
orang yang percaya bakal terkabul dan orang yang tidak percaya tidak akan
terkabul apa yang dia inginkan. (wawancara dengan Mbah Salam, 12 Mei 2016)
Selain terdapat jamsi juga terdapat patung macan yang merupakan simbol
Nyai Roro Kidul dan juga patung Pagoda yang mempunyai simbol sembilan
tingkatan jumlah wali pada Agama Islam (walisongo).
Nilai kehidupan masyarakat Sumberagung Gua Tan Tik Siu merupakan
cikal bakal masyarakat Sumberagung karena asal mula desa sumberagung ada
hubungannya dengan sumber mata air yang terdapat di desa tersebut. Sumber
mata air yang menjadi satu-satunya di Sumberagung khususnya dusun kebon. Hal
tersebut dapat dilihat dari wawancara berikut:
― konon, Tan Tik Siu sangat sakti. Dan sangat diakui oleh masyarakat sekitar.
Karena dia mampu menutup sumber mata air terbesar yang menjadi cikal bakal
nama desa yaitu Sumberagung. (sumber=mata air, Agung=besar). Yang menjadi
satu-satunya pemasok air untuk danau atau rawa yang waktu itu memiliki 50 ribu
hektar lebih yang merendam beberapa desa. Hal yang menakjubkan adalah Tan
Tik Siu mau menutup sumber air besar tersebut hanya dengan menggunakan
potongan putung rokok (utes) yang rokoknya terbuat dari ranting pohon yang
sudah mengering. (wawancara dengan mbah Andhen 12 Mei 2016).
Nilai Fungsi
Menurut hasil penelitian legenda Gua Tan Tik Siu memiliki fungsi yaitu 1)
sebagai sistem Proyeksi, 2) alat untuk mengesahkan pranata dan lembaga
kebudayaan, 3) alat pendidikan anak, 4) memaksa norma-norma dan alat hiburan.
Sebagai sistem proyeksi yang terdapat di dalam Gua Tan Tik Siu berupa
angan-angan Tan Tik Siu ketika beliau masih bertapa di Sendang Wilis
Tulungagung untuk membangun gua Tan Tik Siu atau Gua Gondho Mayit di desa
Sumberagung. Hal tersebut dapat dilihat dari wawancara sebagai berikut:
―sebidang tanah hadiah berukuran 60x40 meter kemudian di manfaatkan untuk
membangun tempat ritual berupa bangunan mirip Gua Pendem dari beton yang
sudah dirancang tatkala beliau masih bertapa di gunung Wilis. Gua ini memiliki
nama Pasetra‘an Gondho Mayit yang lebih dikenal dengan sebutan Tan Tik Siu.
(wawancara dengan Mbah rejo 12 mei 2016)

18

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Sebagai alat untuk mengesahkan pranata-pranata kebudayaan Gua Tan Tik


Siu banyak didatangi massyarakat lokal dan daerah lain untuk ngalap berkah. Hal
tersebut dapat dilihat dari wawancara sebagai berikut:
―paranormal yang datang tidak hanya dari Tulungagung saja, banyak dari Jogja,
Solo, serta Banyuwangi. Tetapi saya juru kunci hanya bisa mengantar saja. Saya
tidak mengerti apa-apa terhadap apa yang dilakukan masyarakat sekitar. Bagi
kalangan spiritualis datang ditempat ini memiliki tujuan yang pada umumnya
suka dengan keangkeran pertapaan Gondho mayit tersebut. Selain itu juga ingin
ngalap berkah Tan Tik Siu. (wawancara dengan mbah Salam 12 mei 2016).
Sebagai alat pendidikan anak yaitu untuk melatih anak agar memiliki
tingkah laku dan berbuat kebaikan. Dapat meniru prilaku Tan Tik Siu yang sopan,
bijaksana dan bersahaja. Hal tersebut dapat dilihat pada wawancara berikut:
― peninggalan Tan Tik Siu alam dan isinya seperti: encok, Jimpe, pegel linu,
cacing kremi, kandungan pendidikan alam dunia yaitu: Bremana, Bremani.
Menghargai lima perkara yaitu panas, hujan, angin, debu, dan tanah.(wawancara
dengan mbah Andhen 12 mei 2016)
Banyak sekali masyarakat yang percaya apabila ada masyarakat yang
mencuri barang-barang yang ada di dalam Gua, wanita yang haid, tidak boleh
berbicara yang jelek. Sebelum memasuki Gua harus memberi salam kepada Tan
Tik Siu dengan cara: 1.)Kepada Tan Tik Siu yang menguasai tempat tersebut. 2)
Kepada Dewi Kuan Im. 3)Dewa Jaran (kuda). 4) Dewa Pawon (dapur). Hal
tersebut dapat dilihat pada wawancara berikut:
― di depan Gua Tan Tik Siu terdapat Pohon asam yang sangat besar. Di dalam
Gua Tan Tik Siu terdapat patung dewi Kuan Im yang bertujuan ketika memasuki
Gua harus berdoa terlebih dahulu kepada Tan Tik Siu, Dewi Kuan Im, Dewa
Jaran dan Dewa Dapur. Ketika pulang pun harus melakukan ritual yang serupa.
(wawancara dengan Mbah Andhen 12 Mei 2016)
Sebagai fungsi alat hiburan yaitu yang dituturkan kepada anak-anak. Hal
tersebut dapat dilihat dari wawancara sebagai berikut:
― pangeran Papak seorang anak kecil yang ikut mengembala, ketika waktu sore
anak itu hilang tetapi ketika pagi hari anak itu selalu muncul. Selanjutnya dia
menyuruh masyarakat sumberagung mencari batu yang banyak. Sementara
masyarakat mencari batu, Tan Tik Siu pergi ke argo wilis sendang Tulungagung
membuat Gua pertama di daerah sana. Setelah tiga tahun berlalu, Tan Tik Siu
kembali ke desa sumberagung membuat Gua kedua dimana sebagai pekerja
masyarakat Tulungagung pada tahun 1921. Setelah Gua tersebut selesai

19

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

dibangun tahun 1921 Tan Tik Siu membuat perayaan semisal jaranan dan
wayang. (wawancara dengan mbah Salam 12 Mei 2016).

Simpulan
Legenda Gua Tan Tik Siu merupakan cerita rakyat yang berwujud legenda
yang memiliki ciri-ciri dan batasan berupa prosa rakyat yang dianggap pernah
terjadi oleh masyarakat sekitar. Tokoh manusia biasa yang memiliki kesaktian
seperti Tan Tik Siu. Legenda Gua merupakan salah satu genre sastra lisan yang
memiliki cerita massyarakat pendukung berdasarkan tanggapan masyarakat dan
analisis Gua Tan Tik Siu.

DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa Putra, Hendry Shri. 2001. Struktur Levi Straus: Mitos dan Karya Sastra.
Yogyakarta: Galang Press.
Bratawijaya, Thomas Wiyasa. 1997. Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa.
Jakarta: PT Pradanya Paramita.
Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia Ilmu Gosip Dongeng dan lain-lain.
Jakarta: Pustaka Grafiti.
Edraswara, Suwandi. DKK. 1966. Nilai Budaya Dalam Beberapa Karya Sastra
Nusantara: Sastra Daerah di Kalimantan. Jakarta: Depdikbud Yogyakarta.
Edraswara, Suwandi. 1986. Metode Penelitian Sastra Lisan. Jakarta: PT Buku
Kita.
_________________. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama.
_________________. 2005. Tradisi Sastra Lisan. Yogyakarta. Narrais.
Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan. Surabaya: Hiski.
Hutomo, Suripan Sadi. 2001. Sinkretisme Jawa Islam. Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya.
Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi. Pokok-pokok Etnografi. Jakarta:
Djambatan
Levi-Strauss, Claude. 2005. Antropologi Struktural. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Mulder, Niel. 2007. Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia. Yogyakarta: LKIS
Yuwana Sudikan, Setya. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra
Wacana

20

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Bahasa Simbolis Lakon Murwakala Wayang Topeng Malang

Eko Cahyo Prawoto


Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
ecahyop@gmail.com

Abstrak
Ruwatan with lakon Murwakala Puppet Mask Malang is a blend of unspoiled
spiritual and entertainment elements. Ruwatan is a ritual with all the elements of
kesakralanya expected to give a spiritual experience, while the lakwakala
lakwakala hopefully can provide life learning to sukerta that corresponds to the
views of the Javanese life. In this Research will be disclosed and described the
symbolic language in the show contained in several sections, among which are
janturan, suluk, and the whole lakon. This research is qualitative approach. It is in
line with the descriptive research study, oral and written databases obtained from
recording, interviewing, observation, and recording, related to research studies.
This is done to obtain data based on facts in the field, with the aim of obtaining
adequate data and facilitating researchers in describing data based on research
objectives. Ruwatan with the Murwakala play illustrates the symbolic
expressions, which have a bearing on the life-teachings of sukerta and society.
Kata Kunci: Bahasa Simbol, Ruwatan, Murwakala

Pendahuluan
Pergelaran wayang lakon Murwakala merupakan sebuah rangkaian
pertunjukan dengan iringan gamelan, yang memaparkan pesan tentang sikap dan
perilaku manusia. Kemudian pertunjukan tersebut diakhiri dengan upacara
pembebasan manusia sukerta dari Batara Kala. Pembebasan tersebut merupakan
simbol dari pembersihan segala ―kotoran‖ baik yang bersifat bawaan sejak lahir,
maupun berasal dari perilaku seseorang yang dapat menyebabkan termasuk dalam
golongan sukerta.

21

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Mulyono (1989:33) menyatakan, secara etimologi ―ruwatan atau ngruwat‖


berasal dari kata ruwat yang berarti ―luwar‖ atau lepas. Maksudnya dilepaskan
dan dibebaskan. Jadi, meruwat berarti melepaskan, membebaskan atau menolak
dan menghindarkan malapetaka yang diramalkan akan menimpa sukerta.
Sedangkan Murwakala merupakan dua kata yang dibentuk menjadi
murwa. Murwa sesungguhnya kata bentukan dari kata purwa yang mendapat
awalan nasalisasi dalam bahasa Jawa yaitu ‗m‘ sehingga menjadi kata kerja
murwa yang artinya adalah menguasai. Jadi Murwakala merupakan kata majemuk
yang memiliki arti menguasai kala atau Batara Kala (Rusdy, 2012:19).
Ruwatan dengan lakon Murwakala merupakan satu perpaduan antara
unsur spiritual dan hiburan yang tidak bisa dipisahkan. Ruwatan merupakan ritual
dengan segala unsur kesakralanya diharapkan dapat memberikan pengalaman
rohani, sedangkan lakon murwakala diharapkan dapat memberikan pembelajaran
hidup kepada sukerta yang sesuai dengan pandangan hidup masyarakat Jawa yang
mengedepankan sikap rila, narima, temen, sabar serta berbudi luhur.
Sastroamidjojo (1964:142) menyatakan, ngruwat ialah upacara,
berhubungan dengan terjadinya sesuatu keadaan, kejadian atau peristiwa penting,
dengan maksud menepati atau menebus janji, pada perkawinan, kelahiran,
sunatan, dsb. Oleh sebab itu, ruwatan harus dilakukan dengan tujuan mendapatkan
keselamatan, upacara ruwatan dapat diselenggarakan bersamaan dengan hajat
perkawinan, sunatan, dsb.
Rusdy (2012:2) menyatakan bahwa sukerta berasal dari kata ―suker‖ yang
berarti kotor, sedangkan ―ta‖ merupakan akhiran arealis dalam tata bahasa Jawa
Kuna yang artinya ―yang hendaknya dibersihkan kotorannya‖. Sehingga makna
dari sukerta adalah manusia kotor yang seharusnya dibersihkan melalui upacara
ruwatan.
Penyelenggaraan upacara ruwatan pada hakikatnya sebagai upaya agar
kehidupan masyarakat selalu dalam keseimbangan. Hal-hal yang sekiranya
mengganggu keseimbangan alam semesta dan seisinya (termasuk kehidupan
manusia) diupayakan agar dapat dicegah dan disingkirkan, Wibisono (Riyadi,
2002:124). Hal tersebut menunjukkan bahwa ruwatan tidak hanya sebuah ritual
untuk membersihkan diri, namun ruwatan juga mengandung arti yang lebih luas
dalam menjaga hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya.
Ruwatan mengandung makna filososfi yang tinggi terhadap nilai-nilai
kehidupan, sebab ruwatan berisi ajaran tentang sikap, budi pekerti, etika, dan
estetika dalam kehidupan, baik tersirat maupun tersurat melalui fragmen-fragmen
lakon dalam pertunjukan wayang. Kamajaya dkk. (1992:1) menyatakan bahwa
22

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

upacara ruwatan dengan pergelaran wayangnya sarat dengan pesan dan amanat
yang mengandung nilai-nilai luhur yang disampaikan secara simbolik dan
metaforik, serta dalam bentuk penyajian yang serba estetis.
Ruwatan Murwakala melalui media wayang topeng yang menjadi sumber
data dalam penelitian ini, diselenggarakan di kediaman Bapak Mulyono yang
beralamat di Desa Kedampul, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Ruwatan
tersebut dilaksanakan pada hari Kamis, 17 Oktober 2013 mulai pukul 08.00 s.d.
02.30 dini hari. Ruwatan tersebut bersamaan dengan acara perkawinan putri
Bapak Mulyono Yulia Andriani. Yulia Andriani dan Ivan War Aleksander
merupakan anak ―gedhini-gedhana‖.
Upacara ruwatan diawali dengan seni pertunjukan wayang topeng dengan
lakon tersebut yang dipimpin oleh Ki. Soleh Adi Pramono. Ki. Soleh merupakan
salah satu dalang wayang topeng di kecamatan Tumpang. Selain itu, beliau juga
merupakan pimpinan dari sanggar Mangun Dharma, yang masih aktif hingga saat
ini, dalam menjaga kelestarian seni pertunjukan wayang topeng Malang, wayang
kulit, serta tradisi mocopat.
Pada Penelitian ini akan diungkapkan serta dideskripsikan bahasa simbolis
dalam pertunjukan tersebut tertuang dalam beberapa bagian, di antaranya
janturan, suluk, serta keseluruhan lakon. Dalam janturan, suluk, serta lakon
terdapat berbagai makna dalam simbol bahasa, sebab bagian tersebut merupakan
unsur pembangun dalam tuturan dalang untuk menggambarkan suasana, latar,
maupun adegan dalam seni pertunjukan wayang topeng Malang.
Kajian yang digunakan dalam penelitian ini ialah kajian bahasa simbolis,
sebab bahasa simbolis mengandung nilai, gagasan, etika dan estetika, sehingga
bahasa simbolis memiliki daya tafsir bagi masyarakat. Oleh sebab itu, bahasa
dalam seni pertunjukan menjadi sangat penting sebab segala aspek yang berkaitan
dengan filsafat serta pandangan hidup masyarakat terdahulu tetap terkandung
dalam tutur kata dalang melalui melalui penyampaian bahasa yang bersifat
simbolis.
Bakker (Herusatoto, 2005:22-23) menyatakan, beberapa bahasa simbolis
ialah sebagai berikut. Pertama, manusia hanya sadar dalam bahasa, angan-angan
yang memakai fantasi dan konsep-konsep. Kedua, bahasa simbolis menciptakan
situasi yang simbolis pula. Artinya penuh tanda tanya atau hal-hal dalam yang
mesti diungkap maksud dan arti yang terkandung dalam simbolnya. Ketiga,
bahasa simbolis terletak di tengah antara bahasa mitis dan alegoris sepertihalnya
pula berlaku dalam tindakan simbolis. Keempat, dalam diri manusia terdapat
tendensi untuk mempertahankan simbolisme kuno.
23

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Bahasa simbolis merupakan bahasa yang memegang peranan penting


dalam menjaga dan melestaraikan tradisi-tradisi peninggalan leluhur. Sebab,
dalam hal ini bahasa tidak lagi menjadi sekadar media komunikasi, namun bahasa
menjadi media ekspresi terhadap tradisi yang mengandung pesan-pesan estetik,
serta memiliki kedekatan secara mitis dengan tradisi tertentu. Selain itu, bahasa
simbolis memiliki daya tafsir terhadap makna yang terkandung di dalamnya, serta
memiliki kedekatan secara mitis tidak lagi disampaikan secara gamblang, namun
kaya akan makna yang dapat dicerna serta diresapi setiap penggunanya.
Bahasa simbolis yang tertuang dalam pertunjukan Wayang topeng dengan
lakon Murwakala terepresentasikan dalam tutur kata dalang untuk membangun
cerita, yang terbagi ke dalam janturan, suluk, serta keseluruhan lakon. Simbol-
simbol dalam bahasa yang dikemas dalam seni pertunjukan tersebut, berisi tentang
makna-makna yang dapat diadopsi maupun diadaptasi dalam kehidupan sehari-
hari.
Penelitian ini berpendekatan kualitatif. Hal itu sesuai dengan kajian
penelitian yang bersifat deskriptif, berdata lisan maupun tulis yang diperoleh dari
hasil perekaman, wawancara, pengamatan, serta pencatatan, yang berkaitan
dengan kajian penelitian. Hal tersebut dilakukan untuk memperoleh data
berdasarkan fakta-fakta yang ada di lapangan, dengan tujuan untuk mendapatkan
data yang memadai serta memudahkan peneliti dalam mendeskripsian data
berdasarkan tujuan penelitian.
Lokasi penelitian ini Desa Kedampul, Kecamatan Tumpang, Kabupaten
Malang. Secara geografis Desa Kedampul tidak terlalu jauh dari letak salah satu
situs peninggalan Kerajaan Singosari, yakni Candi Jajagu yang terletak di dekat
pasar Tumpang. Desa Kedampul berada di dataran tinggi, butuh waktu tiga puluh
menit dari kota Malang menuju desa tersebut. Penentuan lokasi penelitian
didasarkan pada terselenggaranya seni pertunjukan wayang topeng Malang
dengan lakon Murwakala, ruwatan gedhini-gedhana (Yulia Andriani dan Ivan
War Aleksander) putra Bapak Mulyono.
Sumber data dalam penelitian ini ialah seni pertunjukan wayang topeng
Malang lakon Murwakala. Adapun video tersebut berdurasi 4 jam 56 menit.
Pendokumentasian tersebut dilakukan pada tanggal 17 Oktober 2013, di kediaman
Bapak Mulyono. Data penelitian ini berupa data primer, data primer yang berupa
tuturan atau bahasa yang mengandung makna dalam bentuk kata-kata, kalimat,
ungkapan, pesan, yang tertuang dalam janturan, suluk, serta keseluruhan lakon
dalam seni pertunjukkan tersebut.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini ialah (1) perekaman, (2)
24

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

pengamatan dan pencatatan, (3) wawancara mendalam, serta (4) dokumentasi.


Teknik tersebut digunakan untuk memperoleh data secara maksimal baik dari
segi video seni pertunjukan wayang topeng Malang, maupun ketika wawancara
dengan informan.
Teknik analisis data dalam penelitian ini terbagi dalam tahapan berikut: (1)
transkripsi keseluruhan data lakon Murwakala dalam seni pertunjukan wayang
topeng Malang,(2) penerjemahan lakon Murwakala dalam seni pertunjukan
wayang topeng Malang, (3) mengklasifikasi data dalam beberapa aspek sesuai
dengan tujuan penelitian yakni, makna simbol bahasa, yang terbagi menjadi tiga
bagian yakni, janturan, suluk, serta keseluruhan lakon, (4) data yang telah
diklasifikasi dan siap pakai selajutnya disajikan dalam bentuk laporan analisis
data, (5) interpretasi atau menafsirkan data yang sudah diklasifikasi, yakni makna
bahasa dalam seni pertunjukan wayang topeng Malang lakon Murwakala yang
berdasar pada kajian pustaka. Pada kegiatan ini digunakan prinsip kerja
interpretasi yang dikemukakan oleh Ricour (Poespoprojo, 2004:112-113)
interpretasi adalah menjadikan dekat dengan apa yang jauh secara waktuwi,
geografis, budaya, dan spiritual, dengan interpretasi peneliti dapat mendengar lagi
makna yang terkandung dalam objek penelitian. Interpretasi dalam hermeneutika
dirumuskan sebagai teori operasi-operasi pemahaman dalam kaitanya dengan
interpretasi kebudayaan sebagai teks, interpretasi sebagai perbedaan suatu arti
yang tersembunyi di dalam arti yang tampak. Artinya, interpretasi digunakan
untuk menguraikan arti atau makna yang tersembunyi dalam kebudayaan sebagai
teks (objek) penelitian, (6) yang terakhir ialah pengambilan kesimpulan yang
berdasar pada keseluruhan analisis data.

Pembahasan
Pada bagian ini akan diungkapkan serta dideskripsikan makna bahasa
simbolis lakon Murwakala seni pertunjukan wayang topeng Malang. Makna
bahasa tersebut didasarkan pada hasil wawancara dengan Ki Soleh Adi Pramono
(SAP) dalang wayang topeng Malang dalam lakon tersebut, serta berdasarkan
hasil pengamatan peneliti. Makna simbol bahasa dalam lakon tersebut memiliki
hubungan yang sangat erat dengan konteks lakon, serta konteks upacara ruwatan.
Terdapat berbagai makna yang tertuang dalam janturan atau pelungan, serta
antawacana dalang. Peneliti menggunakan terjemahan bebas untuk mengetahui
esensi masing-masing data. Pembahasan dalam bagian ini mengikuti alur
penceritaan yang dituturkan oleh dalang, sebagai berikut.
Dalang: (transkrip)
25

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Pelungan
Hong………
Hong………
Hong awingnam, hastungkara hong awingnam astu nama sidham, sidi duk
nalika jagat iseh awang-uwung, sang Hyang Wisesa ingkang kocap anon
antiga ana ing awang-awang sinangga ngasto pinusti, dadi telung
prakara, kang sepisan dadi cahya, nur cahya, kang pinangka gegatining
papat keluargane uger-ugere Manikmaya, Manikmaya iku kang
dedadining sang Hyang Wisesa, anggelar bumi kelawan langit, sarta
anganak‘ake dewa telung puluh nulya bumi kelawan langit pisah. ana ing
angkasa saraduning badan, akrama kelawan Batari Uma anganglang
jagat reta korot tanpa tinadahani ing segara kidul, mula ananing wujud
Batara Kala, sawusnya munggah marang kahyangan salendra bawana
sawadya balane minta paring pangayomaning sang Giri Tata.

Dalang: (terjemahan)
Pelungan
Hong………
Hong………
Hong awingnam, hastungkara hong awingnam astu nama sidham, ketika
jagad masih kosong, Sang Hyang Wisesa yang bersemedi di angkasa raya
melihat telur sehingga dicipta menjadi cahya, teja, dan manikmaya.
Manikmaya menjadi raja para dewa serta seluruh makhluk hidup,
kemudian bumi pisah dengan langit. Manikmaya kawin dengan Batari
Uma, mereka mempunyai anak dewa tiga puluh. Manikmaya dan Batari
Uma mengitari angkasa hingga dilaut selatan Manikmaya menjatuhkan
spremanya di laut, sehingga laihirlah Batara Kala, Batara Kala mencari
siapa orang tuanya hingga naik ke kahyangan untuk bertanya kepada Raja
Manikmaya.

Pelungan, menurut SAP adalah vokal dalang yang menggambarkan


peristiwa yang diiringi gending. Pada pertunjukan wayang topeng lakon
Murwakala. Pelungan tersebut menurut SAP memiliki nama wakalamur,
pelungan diucapkan di awal pertunjukan atau sebagai pembuka pertunjukan
wayang topeng malang dengan lakon tersebut. Adapun arti kalimat ―Hong
awignam, hastungkara‖ pujian kepada dewa sebagai wujud penghormatan,
dilanjutkan dengan tuturan yang menggambarkan asal mula dunia melalui Sang
Hyang Wisesa yang bersemedi di angkasa raya, melihat telur kemudian dicipta
menjadi cahaya, teja dan Manikmaya. Manikmaya terwujud menjadi empat yakni
Sang Hyang Puguh, Punggung, Pungat dan Manikmaya, di antara empat dewa
tersebut yang menjadi raja dari segala makhluk ialah Manikmaya. SAP juga
26

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

menjelaskan bahwa dalam pelungan tersebut bumi berpisah dengan serta


Manikmaya kawin dengan Dewi Uma, kemudian menurunkan dewa-dewa dan
bidadari-bidadari. Perkawinan itu juga menyebabkan lahirnya Batara Kala yang
kemudian naik ke kahyangan menanyakan sejati dirinya. SAP juga menjelaskan
bahwa pelungan tersebut merupakan doa sebagai permulaan ruwatan.
Berdasarkan penjelasan di depan dapat dipahami bahwa konteks tuturan
dalang (pelungan) dalam lakon tersebut merupakan syarat untuk memulai
pertunjukan wayang topeng dengan lakon murwakala. Makna pelungan tersebut
merupakan ungkapan mengenai asal mula dunia yang digambarkan melalui doa
seperti yang dijelaskan SAP. Hal itu menunjukkan bahwa filosofi tentang asal
mula kehidupan dituangkan dalam bentuk simbol yang manyatu dalam pelungan.
Hal itu bertujuan untuk memberi pemahaman kepada masyarakat tentang asal
mula dunia menurut filofosi Jawa yang diawali dengan penciptaan telur oleh Sang
Hyang Wisesa menjadi sebuah cahaya kehidupan.
Selain itu, makna yang terkandung dalam pelungan tersebut memiliki
hubungan erat dengan konteks penyelenggaraan ruwatan. Sebab pada dasarnya
upacara ruwatan bertujuan untuk membebaskan sukerta dari Batara Kala (sagala
malapetaka). Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa, ritual ruwatan memiliki
hubungan yang sangat erat dengan aspek-aspek pertunjukan dalam wayang topeng
Malang yang dikemas secara estetis.

Dalang: (transkrip)
Janturan Wakalamur dalam jejeran.
Ana…. wayang dudu… wayang, wayang gambar paesan yo manut
kasi…naryo sungkemo, raga…. umengginaryo…. wadah, oh…. yo
ne.…sekarnya taman, oh la dalah peran-peran ayo segelar sepapan
sebala serowang konco. Elae gusti amit-amit pasang kalimah tabik
dumawah ing tawang-tuwang.
O…. ana…. kayu gong… kang rineko jalma, randhu alas rumambat ning
pare… Ala amit-mait sinuwun. Om awingnam asta sum brastang
kalanalilang rindhirang duratmaka. batur…. Oh awing banasto oh…
dewa mambang lan kasih ulan yogane kita ratuning nyowo tan boya sekali
tadah sesaji geneb sari geneb.
Yo no….wo….

27

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Dalang: (terjemahan)
Janturan Wakalamur dalam jejeran.
Ada wayang bukan wayang, wayang gambar pusara yang harus nurut
dengan raga yang menjadi wadah. Oh dewa sesanak saudara, oh gusti
marilah memberi pujian.
O ada kayu gong yang menghampiri manusia, pohon randhu yang
merambat dihutan pare, saya permisi untuk memberikan pujian kepada
raja, raja dari segala makhluk hidup yang menjadi tujuan semua sesaji.

SAP menyatakan bahwa janturan dengan iringan gending tersebut untuk


menciptakan keadaan sirep (sunyi), sebab dalang ingin membangun suasana
kahyangan suralaya. Kemudian munculah permasalahan di arcapada (bumi).
Permasalahan tersebut lebih tepatnya sebuah bencana yang terjadi di laut selatan,
adapun bencana tersebut ialah gumpalan daging yang setia waktu semakin
membesar. Dalam konteks struktur cerita, dalang ingin menggambarkan
permulaan konflik yang ditimbulkan oleh perilaku alam.
Permasalahan tersebut mengundang rasa prihatin para dewa sehingga
mereka melakukan pertemuan di suralaya yakni, Batara Guru, Batara Narada,
Batara Bayu, Batara Brama, serta para dewa, untuk membahas permasalahan yang
terjadi di arcapada. Dalam janturan tersebut dalang memberikan aba-aba agar
gending segera diselesaikan atau dihentikan, kemudian dalang menjayikan vokal.

Dalang : (transkrip)
Pocapan
Oh… tatak-tutuk kang Hyang Bukulun Batara… ratune nyowo marang…
liwat rambat batbatur binotoroto… mlebet dumateng gapuro, gapuro
lawan gapuro cilik dingapuro kelawan gedi…gapurone lawan wang cilik
tundo ibu… mriksani lelanangan singodoyo sesekarat ambyur suri… E…
sampun marem mrijo jumadining paru-paring, mriksani pangundangan
lele kuthuk singo menangan, sasmito sekathahing jagat lamongan… dowo
lan pancene medal dumateng kampung pejanggalan… piambak ipun sigro
kesenggel pupusing dupo ing puncak songolikur, langit-langit bero-bero…
manuruh-uruh… solo ing sekhatahing para dewa nadah, alamun cinondo
dipo lute ketaru dipo lute larun ketaru-keterak dipo dangan…olaro
nempuh soroting damar.
Prajurit kabeh dewa ayoh… nang keno dewa ora keno grebek-grebek-
grebek… hayoh-hayoh… hayoh… haeng…
E… nerik ana ing segara kidul, ana daging abang lembak-lembak… dudu
daging kang olo-olo daging... saka dayaning raksa suci, kang tanpo

28

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

wadah kulun, kauntal dening ombak karyo, ombak lawatan, ombak gaduh
katataping padas duri, soyo gede-soyo gede… salah kedaden, gler wujud
Ajar Kala… hee‘-hee‘ ho…eh…

Dalang : (terjemahan)
Pocapan
Oh… Hyang Bukulun Batara…setelah selesai jalanya persidangan
ratunya nyowo yang lewat merambat, masuk melalui garpura kecil dan
besar, melihat taman bunga, gapura untuk orang kecil merupakan simbol
dari ibu, yang melihat lelaki yang mengeluarkan sari, yang tercecer di
tengah laut, sari yang tercecer tidak pada tempatnya berubah hingga
menjadi daging, yang terlihat dari langit serta kahyangan.
Batara Guru menyuruh para dewa untuk segera pergi ke laut selatan
menghancurkan gumpalan daging tersebut dengan semua senjata.
Gumapalan daging tidak mempan dengan semua senjata dewa, gumpalan
daging yang tergulung oleh ombak justru semakin membesar, gumpalan
yang berasal dari air suci tersebut menjadi besar dan berwujud Ajar Kala.

Selanjutnya adalah pocapan, menurut SAP merupakan penggambaran


situasi yang terjadi dalam adegan. Dalam konteksnya penuturan pocapan tersebut
didukung dengan munculnya tari gerak laut yang dilakukan oleh empat orang
penari serta membawa gunungan. Sebagai penciptaan suasana lautan yang di
tengah-tengahnya terdapat gumapalan daging yang semakin membesar dan
berubah wujud menjadi raksasa, yang bernama Ajar Kala.
Kemunculan Ajar Kala merupakan asal mula lahirnya sifat-sifat negatif
yang tertanam dalam diri manusia. Ajar Kala sebagai raksaasa merupakan simbol
rusaknya struktur kadewatan. Soepadjar (Kamajaya, 1992:61) menyatakan,
raksasa dikenal dengan sebutan: Jegang percaka belah, iblis laknat jeg jegan.
Seorang kesatrian dengan sebutanya: Jagad Dewa Bathara, Ora Jagad Pramudita
Seorang titisan Wisnu terkenal dengan sebutanya: Iwang Susksma Adi Luwih,
Hong Buwana Langgeng. Raksasa berada pada tingkatan kacau-balaunya sistem;
kesatria pada struktur meninggi melalui pengorbanan; sedang tingkatan ke-
Wisnuan tercapai apabila sudah mencapai susksma Adi Luwih, yang berada pada
realitas ke-Langgengan (ke-Abadi-an)
Selanjutnya data berikut, merupakan antawacana dalang, menurut SAP:
antawacana ialah dialog tokoh yang dituturkan dalang untuk membangun cerita.
Dialog dalam lakon murwakala wayang topeng Malang, terdapat simbol bahasa
29

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

yang memiliki makna. Digunakan kode dalam setiap antawacana sebagai identitas
data serta penomoran untuk mengurutkan tiap-tiap dialog yang diucapkan dalang.
Adapun kode yang digunakan sebagai berikut (WTLM. AD. 45). W (wayang), T
(topeng), L (lakon), M (murwakala), AD (adegan), 45 (nomor urut dialog).

WTLM.AD.4.44. Batara Guru: (transkrip)


Kakang, Jaleka Putra kados-kados menika sampun wancinipun, kula
kedah angakoni, nanging kula nyuwun pangapunten sakderengipun,
wonten tembongan ledok ilining banyu wong apes datang, lali punika
lumrah tumpraping sinten kemaron kakang, mboten nyana menawi mek
nuruti rakso ingkang tibo wonten segara, ndadosaken brahala menika
kang sinebut Ajar Kala.

WTLM.AD.4.44. Batara Guru: (terjemahan)


Kang Mas Jaleka Putra bagaimana sekarang sudah saatnya, saya harus
mengakui, tetapi saya minta maaf sebelumnya, terdapat kekhilafan yang
saya lakukan, istila orang apes kebetulan datang, tapi lupa tersebut wajar
karena siapa Kang Mas, tidak menyangka apabila akibat dari menuruti
hawa nafsu yang jatuh di samudra, menyebebkan lahirnya raksasa yang
disebut Ajar Kala.

Antawacana Batara Guru tersebut menggambarkan tentang pengakuan


Batara Guru kepada Batara Narada mengenai perbuatan yang telah dilakukanya,
ketika Ia tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya ketika ingin bersenggama
dengan Batari Uma di atas lembu andini. Kamajaya (1992:23) menyatakan
Bersenggama menurut ajaran Jawa memang tidak boleh dilakukan karena nafsu
semata. Bersenggama mengandung maksud, bahkan kewajiban suci, yakni untuk
menurunkan anak penyambung sejarah hidupnya. Di dalam Serat Niti-mani yang
ditulis RMH Sugondo terbitan Albert Rusche Surakarta, 1919, hal tersebut
diuraikan sebagai berikut: ―Karena hal beresenggama diandaikan sebagai Aji
Asmaragama maka pelaksanaanya harus diaji-aji atau diagungkan, artinya:
bersenggama itu tidak boleh main-main atau tidak dipakai permainan atau
tertawaan‖.
Ajaran Jawa yang lain memberikan arti, bahwa bersenggama adalah untuk
menurunkan wiji-aji, yakni bibti unggul. Oleh karenanya harus dilaksanakan
dengan laku, dengan prihatin, puasa mengurangi tidur, sabar dan lain sebagainya.
Sebelum bersenggama sumai-isteri bermandi suci disertai permohonan kepada
Tuhan agar berhasil dianugrahi anak yang berbudi baik, yang soleh, yang berguna
bagi ayah ibu, keluarga dan masyarakat luas (Kamajaya, 1992:23-24).
30

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

WTLM.AD.4.55. Batara Guru: (transkrip)


Iki onok titahing hyang sendra kang bakal njaluk, yoiku kuasaning jagat
dadi anakku, ngertio Ajar sliramu iku dumadi saka kama salah kang
dumunung ana ing samudra kidul, dibajut sekatahing pusaka dewa watak
saka ora bisa mendo malah dadi ndodro, ketiban pusaka awakmu malah
dadi kaya mangkunu, yen kaya mangkunu ora pantes, nek putra
kadewatan janjane… awakmu kepingin… yoiku manuto, di gowo ana ing
kawah candradimuka yen ana candra kusuma, sliramu bisa kuwat nompo
panase yoiku kang putraning ratuning nyawa.

WTLM.AD.4.55. Batara Guru: (terjemahan)


Ini ada perintah dari Sang Hyang Sendra yang akan meminta, yaitu
kekuasaan jagat yang menjadi anakku. Ketahuilah Ajar dirimu tercipta dari
air suci yang salah yang terjatuh di samudra selatan. Dihancurkan dengan
segala pusaka dewa Watak tidak bisa justru semakin kuat, terkena pusaka
dirimu justru menjadi seperti ini, kalau begitu tidak pantas, apabila
seorang putra dewa, sebenarnya dirimu ingin diakui tetapi menurutlah,
dirimu akan dibawa ke kawah candradimuka serta candra kusuma apabila
ada, apabila dirimu kuat apabila dapat merasakan panasnya maka kamu
adalah anak dari Ratunya Nyawa.

Makna yang terdapat dalam antawacana tersebut tercermin melalui


beberapa kata, yakni air suci atau kama salah. Kama salah ialah sprema yang
keluar tidak pada tempatnya. Kama salah merupakan simbol dari tidak berdayanya
diri manusia ketika menyatu dengan nafsu. Nafsu termasuk struktur batin dalam
diri mausia dapat dikendalikan. Namun apabila nafsu sudah menguasai manusia,
dapat menimbulkan perilaku atau tindakan-tindakan yang menyimpang dari
norma. Seperti yang tampak pada peristiwa keluarnya kama salah dari Batara
Guru yang mengakibatkan lahirnya Batara Kala atau simbol dari segala keburukan
yang tertanam dalam diri manusia.
Antawacana tersebut juga menunjukkan tentang upaya yang dilakukan
Batara Guru untuk membuktikan bahwa Ajar Kala adalah anaknya, dengan cara
dibawa ke kawah candradimuka. Kawah Candradimuka dalam konteks
pertunjukan tersebut, merupakan tempat penyiksaan di mana Ajar Kala dapat
terlepas dari nafsu maupun sifat-sifat negatif yang melekat pada dirinya.
Simbol yang dapat dipahami tentang kawah candradimuka dalam
kehidupan nyata, tak lain ialah ruang-ruang di mana manusia dapat
mengembangkan kepribadian, meningkatkan kepekaan serta kesadaran dalam

31

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

melawan serta mengendalikan nafsu duniawi. Oleh sebab itu, penggambaran


kawah candradimuka tidak lain merupakan simbol pranata-pranata sosial yang ada
di masyarakat.

Dalang: (transkrip)
Gurisa
O…. yo… ana dewa-dewa, dewaning Batara, dewa nira kang malun…
ca… na, dewa nira kang luncana… magepok masio-sio…

Dalang: (terjemahan)
Gurisa
O…. yo… ada dewa-dewa, dewa Batara, dewa yang mengalami
penyikasaan.

Gurisa atau suluk, menurut SAP ialah vokal dalang yang menekankan
penggambaran pada suasana. SAP juga menjelaskan makna dalam gurisa tersebut
ialah Ajar Kala menangis dalam penyiksanaan. Dapat dipahami bahwa gurisa
digunakan untuk menggambarkan suasana agar sesuai dengan yang diinginkan
dalang.
Berdasarkan hasil wawancara serta pengamatan peniliti, gurisa tersebut
mengungkapkan gambaran suasana yang dirasakan Ajar Kala ketika ditempa
dikawah candradimuka. Suasana yang digambarkan dalang merupakan upaya
untuk membangun imaji penonton terhadap peristiwa yang dialami oleh Ajar
Kala. Hal tersebut merupakan wujud dari bagian struktur pertunjukan wayang
topeng malang.
Makna implisit yang terkandung dalam antawacana tersebut ialah, segala
sesuatu upaya yang menuju pada perilaku baik, harus dibayar dengan
pengorbanan yang bersifat batiniah maupun rohaniah. Pembelajaran itulah yang
sebenarnya ingin disampaikan dalang kapada masyarakat, bahwa untuk mencapai
hal-hal yang baik perlu perjuangan serta pengorbanan, tidak ada hal yang
diperoleh dalam waktu yang singkat serta mudah dalam kehidupan.

WTLM.AD.6.155. Buyut Wangkang: (transkrip)


O..topeng tah…ngono e kok ndadak jaman Mojopahit, jaman mbali lek
ngunu yo soritekes ana ing Ngayogjo, neng Sunda Topeng Wayang Wang
mbiyen tahun sewu rongatus rong poloh, iku wis ana kinaryo tuntunan
nganggo mekareng kabudayan, agama Budha kelawan Hindu, mula wektu
dina iki ayo… padha disengkuyung aja mbok mung agamane, sebab
agama iku agemane dewe-dewe ngrasuk‘e ajiwa watak‘ urusane
32

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

menungsa karo gusti, nanging budayane wang sak lumahing bumi, sak
kureping langit ora padha, aja nganti kasempyok tembung jare, kulak
jare, dodol jare, ageman aja dicampur karo kabudayan. Loro-lorone io
sinebut kabudayan lo Ngger…, nek agama iku ageman batin, ageman
rohani, nek kesenian utawa tontonan kabudayan iku agama lahir,
perluning batin kang manjing-anjinge rikma, panalaran lan panguripan?
Cipta rasa, babar karso dadi sumbering cagak ing budaya.

WTLM.AD.6.155. Buyut Wangkang: (terjemahan)


O..maksudnya topeng... gitu aja mengapa dihubungkan dengan dengan
Mojopahit era, era Bali ada wayang soritekes di Ngayogjo, di Sunda
topeng wayang orang dulu tahun seribu dua ratus dua puluh, itu sudah ada
tuntunan untuk mengembangkan kebudayaan, agama Budha dan Hindu.
Oleh sebab itu, saat ini mari kita bersama-sama jangan hanya agamanya.
Sebab agama itu, ibarat pakaian kita sendiri-sendiri, merasuknya jiwa dan
watak merupakan urusan manusia dengan Gusti, jangan terpengaruh
dengan istilah katanya, beli omongan, jual omongan, pakaian jangan
dicampur dengan agama. Dua-duanya juga disebut kebudayaan lo
nak….kalau agama itu pakaian batin, pakaian rohani, tetapi kalau kesenian
atau pertunjukan kebudayaan itu agama lahir, keperluan batin layaknya
antara anjing dengan rambutnya, penalaran dan penghidupan? Cipta rasa,
melahirkan keinginan menjadi sumber tiang kebudayaan.

Antawacana tersebut menggambarkan percakapan Buyut Wangkang


dengan kedua anaknya. Buyut Wangkang memberikan pembelajaran tentang
agama dan budaya. Hal tersebut dilakukan agar gedhini-gedhana memahami
keduanya sehingga tidak salah dalam menafsirkan ajaran agama sebagai tuntunan
jiwa, sedangkan budaya sebagai pakaian lahir. Hal tersebut merupakan ungkapan
yang diwujudkan sebagai pembelajaran masyarakat. Bahwa manusia harus
memiliki keseimbangan dalam beragama dengan berbudaya. Bahasa yang tertuang
dalam antawacana tersebut merupakan representasi dari pendidikan yang
didasarkan pada pandangan masyarakat Jawa.
Makna dalam dialog tersebut ialah pembelajaran mengenai agama serta
budaya yang harus dipahami oleh sukerta serta masyarakat, untuk tetap
memegang teguh nilai-nilai budaya Jawa yang tercermin dalam setiap kesenian,
tradisi, kebiasaan, yang semuanya itu mengandung khasanah lolal masyarakat
Jawa. Selain itu, sukerta serta masyarakat juga berpegang teguh terhadap agama
sebagai tuntunan jiwa dan batin manusia dalam kehidupan.
Kamajaya, (1992:3) menyatakan, secara rasional kiranya dapat diuraikan
bahwa ruwatan bertujuan untuk menyucikan jiwa anak sukerta dengan dibekali
33

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

berbagai ajaran etik dan moral yang terungkap dalam upacara dalam pergelaran
wayang, dalam makna simbolik setiap perlengkapan, termasuk sesajinya. Mulai
saat itu diharapkan anak yang telah disucikan selalu berhati-hati dalam menjalani
hidup sesuai dengan ajaran yang diterimanya selama upacara berlangsung.
Simpulan
Berdasarkan pembahasan di depan dapat disimpulkan bahwa, ruwatan
dengan lakon Murwakala tersebut memaparkan ungkapan-ungkapan simbolis,
yang bermakana tentang ajaran hidup yang harus dipahami oleh sukerta serta
masyarakat. Adapun ajaran yang dimaksud ialah sikap, etika, moral, budi pekerti
yang harus dipegang teguh oleh sukerta maupun masyarakat dalam menjalani
kehidupan. Selain itu, diharapkan melalui pertunjukan dengan lakon tersebut
sukerta diharapkan suci dan terbebas dari sifat-sifat Barata Kala yang melekat
pada dirinya.
Daftar Pustaka

Herusatoto, Budiono. 2005. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT.


Hanindita Graha Widia.
Kamajaya, H. Karkono, dkk. 1992. Ruwatan Murwakala. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Mulyono, Sri. 1989. Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta: CV. Haji
Masagung.
Poespoprodjo, W.. 2004. Hermeneutika. Bandung: CV Pustaka Setia.
Riyadi, Yustinus Slamet. 2002. Murwakala-Ruwatan. Banyuwangi.
Rusdi, Sri Teddy. 2012. Ruwatan Sukerta. Jarkarta: Yayasan Kertagama
Sastroamidjojo, Seno. 1964. Renungan tentang Pertunjukan Wayang. Jakarta: PT.
Kinta Djakarta.

34

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

BENTUK, FUNGSI DAN MAKNA KAPATA DALAM TRADISI LISAN


MASYARAKAT SAPARUA DI MALUKU TENGAH

Lisse Pattipeiluhu
Language educational and literature
Graduate Program State University of Surabaya
lissepattipeiluhu@gmail.com

Abstract

Kapata is an oral literature in the form of folk songs that are still alive and used in
various custom rituals as well as other socio-cultural activities in the Central
Moluccan community. Kapata is spoken in local languages in Central Maluku,
both called Tana and other local languages. This study uses the theory of function
Alan Dundes, focus of this research is the function, form and meaning kapata in
the life of the people of Central Maluku. This study aims to describe the form,
function and meaning kapata in the life of the people of Central Maluku. This
research uses ethnography approach and the result of research is descriptive
narrative. The results of this research are Kapata form in Central Maluku
community Saparu island is Kapata Adat, Kapata Karja, Kapata Muda-Mudi,
Kapata Maintenance History, and Kapata Puja-Puji. Kapata contains a function as
a supporter of traditional rituals, as the maintenance of the history of society, as a
function of social harmonization or social control, the function of language and
cultural styling, creative function and generating for the younger generation of the
people of Central Maluku on the island of Saparua. The meaning of Kapata Tabea
when viewed in terms of content and text describes the praise to the ancestral
land. Belief in the ancestral land will be a blessing that in the land can be trusted
by the people.

Keywords: Shape, Function, Meaning, Kapata, Saparua

35

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri atas berbagai suku bangsa
dan budaya yang berbeda-beda. Pada dasarnya perbedaan suku bangsa dan adat
istiadat itulah yang menjadi suatu kebanggaan dan kekayaan budaya bangsa. Hal
ini dapat dilihat pada masyarakat yang hidup di daerah pedesaan yang tidak dapat
dipisahkan dari ikatan adat. Mereka masih hidup dalam kebiasaan adat secara
turun temurundan selalu memelihara dan mengembangkannya dalam kehidupan
bermasyarakat. Segala kegiatan dan interaksi yang terjadi di masyarakat pedesaan
tidak terlepas juga dari kondisi lingkungan tempat manusia itu selalu melakukan
kegiatan atau aktivitas. Begitu pula tradisi dalam masyarakat Maluku.
Salah satu tradisi masyarakat Maluku Tengah adalah bernyanyi. Nyanyian
tersebut adalah kapata. Kapata adalah sastra lisan berupa nyanyian rakyat yang
masih hidup dan digunakan dalam berbagai ritual adat maupun aktivitas sosial
budaya lainnya dalam masyarakat Maluku Tengah. Kapata dituturkan dalam
bahsa-bahasa lokal di Maluku Tengah, baik yang disebut sebagai bahasa Tana
maupun bahasa-bahasa lokal lainnya. Jenis-jenis Kapata di Maluku Tengah
meliputi : Kapata Adat, Kapata Penyambutan Tamu. Kapata Sejarah (Naratif),
Kapata Pengiring Kerja dan Kapata Kelonan (lullaby). Dalam resitasi Kapata,
para pencerita atau penyanyi melantunkan Kapata dengan menggunakan tifa
sebagai penuntun pola ritmis. Pada ranah ritual adat, resitasi Kapata harus disertai
dengan penyajian apapua yang terdiri dari sirih, pinang, tabaku dan sopi. Pada
akhirnya Kapata memiliki beberapa fungsi dalam domain budaya masyarakat
Maluku Tengah yaitu pendukung ritual adat, pemelihara sejarah masyarakat,
harmonisasi sosial atau kontrol sosial, pengayaan bahasa dan budaya, serta
rekreatif dan pembangkit semangat. Penelitian ini menggunakan teori fungsi Alan
Dundes, Fokus penelitian ini adalah fungsi, bentuk dan makna kapata dalam
kehidupan masyarakat Maluku Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan bentuk, fungsi dan makna kapata dalam kehidupan masyarakat
Maluku Tengah. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi dan hasil
penelitian berupa deskriptif naratif.

PEMBAHASAN
Bentuk Kapata dalam Masyarakat Saparua
1. Kapata Adat, yakni Kapata yang ditampilkan dan atau digunakan pada saat
pelaksanaan ritual adat tertentu.

36

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Kapata Gunung Iha


Kuru e-kuru e, kuru manu kuru e
Ioto buang hola hale,
Hale luma pesta e

Terjemahan Bahasa Indonesia


Turulah, turunlah, turunlah, ayam turunlah
Totobuang telah babunyi
Marilah kita pergi ke pesta

2. Kapata Karja, yakni Kapata yang digunakan untuk mengiringi atau memberi
semangat terutama ketika melakukan pekerjaan secara kolektif.

Kapata Karja Mesjid


Mae mae ama e
Mae mae ama e e
Ama sepa e mara sepa
Mae mae mae hitimu
Mae hahamu u
Hale raha tela rolo o
Ma mae hiti
Mae haha me aho

Mae e e mae mae ama ama e


Mae mae ama e e
Ama sepa e mara sepa
Mae mae mae hitimu
Mae hahamu u
Hale raha tela rolo
Lisapapua su e
Tita raha agama o

Terjemahan Bahasa Indonesia


Mari mari Bapak/Tuan
Mari mari Bapak/Tuan
Bapak merapat (berkumpul) Ibu merapat (berkumpul)
Mari mari semua datang
Mari semua datang (jangan satu pun tidak datang)
Mari mari kita wajib
Mari dari atas sampai bawah (tua muda kecil besar)
Mari mari Bapak-Bapak/Tuan
Mari mari Bapak/Tuan
37

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Bapak merapat (bakumpul) Ibu merapat (berkumpul)


Mari ini wajib kita
Mari mari semua datang
Semua datang dan turut berpartisipasi
Dari depan sampai belakang (segenap warga)
Mari kita semua menjaminnya.
Dan menjalankanya menurut tradisi atau Agama

3. Kapata Muda-Mudi, yakni Kapata yang dinyanyikan pada saat berkumpulnya


muda-mudi, terutama yang sedang menjalin hubungan cinta kasih satu dengan
yang lain.

Kapata Waktu Kumpul Orang Sudara


U hidop tua mu sudara
Pau sino iti ute huo ito lua
U hidop tua mu sodara
Toto mo rimam tarim
Rasa mo i sin lalunyo

Terjemahan Bebas
Hidup orang basudara
Sagu satu salempeng di bagi menjadi dua
Hidup orang basudara
Potong di kuku terasa sampai ke daging

4. Kapata pemelihara Sejarah, yakni Kapata yang mengisahkan tentang suatu


peristiwa sejarah tertentu yang berkaitan dengan kehidupan kolektif
masyarakat pemiliknya. Selain peristiwa sejarah, Kapata dapat bercerita
tentang para pemimpin atau pahlawan lokal, peperangan, benda tertentu,
hewan atau tumbuhan tertentu yang secara simbolis berkaitan erat dengan
kehidupan masyarakat. Perhatikan data kapata berikut ini.

Kapata Wele
Wele ... Beinusa Amalatu.. Huhule o
Ampatal, Tahelu, Amapuano, Matalete, Apalili Tahapau,..
Siwa o,, Pata Siwa o,, tuluha uhaha, jadi Tuhaha
Wele..Beinusa Amalatu... Huhuleo
Ampatal, Tahelu, Amapuano, Matalete, Apalili Tahapau ,...
Siwa o,, Pata Siwa o,, Tulula uhaha, jadi Tuhaha
Tulula uhaha jadi Tuhaha
38

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Terjemahan Bebas
Wele (seruan memanggil)
Beinusa Amalatu... Huhele,
Ampatal, Tulehu, Amapuano, Matalete, Ampalili, Tahapau
(tujuh Hena yang membentuk desa Tuhaha).
Siwa o,, Pata Siwa o,,
Dulu uhaha,, jadi Tuhaha
Wele (Seruan memanggil)
Beinusa Amalatu...Huhelu
Ampatal, Tulehu, Amapuano, Matalete, Apalili, Tahapau
(tujuh hena yang membentuk desa Tuhaha)
Siwa o,, Pata Siwa o,,
Dulu Uhaha, jadi Tuhaha
Dulu Uhaha jadi Tuhaha

5. Kapata Puja-Puji, yakni Kapata yang isinya mengandung puja-puji kepada


tanah leluhur, orang tua, pengagungan kepada para tamu, dan lain-lain.

Tabea
Tabea upu hala Manawa
Ja I ana i
Ma ilouwoe udu totu lolooko
Se totu laine se titimullo
Halatolo makamallo elai
Salatang

Mitawa ma na ihataa
Ku sou oo maropi iyo
Potu hidu wai tine datu-datu
Sini niko ulu totu ilo uwe
Se yama adat wehe
Yama barakato Louhata Hunimua

Terjemahan Bebas
Hormat Upu tua muda
Besar kecil
Mari kita semua berkumpul
Yang ada di timur dan di barat
39

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Di Utara maupun di Selatan

Datanglah ke mari untuk mengukur hal-hal yang baik pada hari ini
Para leluhur kita
Sedang menyaksikan
Bahwa kita semua sedang berkumpul
Di tanah yang penuh berkat
Yaitu Tanah Lolihata Hunimua

Fungsi Kapata
Dari aspek fungsi, mengandung fungsi sebagai (1) pendukung ritual adat (2) sebagai
pemeliharaan sejarah masyarakat (3) sebagai fungsi harmonisasi sosial atau kontrol
social (4) fungsi penggayaan bahasa dan budaya (5) fungsi kreatif dan pembangkit
bagi generasi muda masyarakat Maluku Tengah pulau Saparua.

Makna Kapata
1. Kapata Wele
Dalam Kapata Wele jika di lihat dari segi isi dan teksnya, Kapata yang biasa
dinyanyikan masyarakat Maluku tengah Pulau saparua di Negeri Tuhaha
merupakan salah satu tradisi lisan yang bersifat menceritakan perjalanan
masyarakat masyarakat Negeri Tuhaha pada zaman dahulu terbagi dalam
kumpulan tujuh Hena yang terletak di daerah pegunungan. Kata Wele adalah
kata seruan dalam bahasa Tana yang biasanya digunakan untuk memanggil.
Kapata ini digunakan pada saat pelantikan raja, penerima tamu panas pela dan
upacara obor Pattimura.

2. Kapata Tabea
Kapata Tabea jika di lihat dari segi isi dan teksnya menggambarkan pujian
kepada tanah leluhur. Nyanyian ini merupakan tradisi lisan yang di nyanyikan
untuk tanah leluhur. Kepercayaan mengenai tanah leluhur akan berkat yang di
dapat ditanah tersebut sangat dipercayai Masyarakat.

3. Kapata Gunung Iha


Kapata digunakan pada setiap acara adat di negeri Nolloth pada pulau Saparua.
Kapata tersebut digunakam untuk membuka adat sekaligus meminta (roh) para
leluhur dari negeri lama nolloth yang terletak di Gunung Iha untuk turut serta
dalam pelaksanaan adat. Ritual dalam memanggil roh nenek moyang sangat
sakral.

40

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

4. Kapata Karja Mesjid


Kapata Kerja Mesjid di lihat dari bentuk situasi sosial, masyarakat memiliki
kerjasama atau gotong royong dalam lingkungan masyarakat yang di Pulau
Saparua yang pada saat bersama-sama membangun Mesjid. Dalam Kapata ini
mengandung sebuah ajakan dalam bagi setiap warga untuk datang bekerja
sama.

5. Kapata Kumpul Orang Basudara


Kapata ini jika di liihat dari ranah kehidupan sosial ini digunakan atau di
nyanyikan oleh masyarakat Nolollth pada saat pelaksanaan ritual Panas Pela
atau acara-acara penyambutan tamu Negeri Nolloth. Kapata tersebut
memberikan arti mengenai hubungan persaudaran atau hubungan pela di dalam
masyarakat. Jalinan hubungan persaudaran dalam masyarakat Maluku begitu
harmonis dan saling menyayangi.

SIMPULAN
Bentuk Kapata dalam masyarakat Maluku Tengah pulau Saparu adalah
Kapata Adat, Kapata Karja, Kapata Muda-Mudi, Kapata pemelihara
Sejarah,dan Kapata Puja-Puji. Kapata mengandung fungsi sebagai pendukung
ritual adat, sebagai pemeliharaan sejarah masyarakat, sebagai fungsi harmonisasi
sosial atau kontrol sosial, fungsi penggayaan bahasa dan budaya, fungsi kreatif
dan pembangkit bagi generasi muda masyarakat Maluku Tengah di pulau
Saparua. Makna Kapata Tabea jika di lihat dari segi isi dan teksnya
menggambarkan pujian kepada tanah leluhur. Nyanyian ini merupakan tradisi
lisan yang di nyanyikan untuk tanah leluhur. Kepercayaan mengenai tanah
leluhur akan berkat yang di dapat ditanah tersebut sangat dipercayai
Masyarakat. Sedangkan makna Kapata digunakan pada setiap acara adat di
negeri Nolloth pada pulau Saparua. Kapata tersebut digunakam untuk
membuka adat sekaligus meminta (roh) para leluhur dari negeri lama nolloth
yang terletak di Gunung Iha untuk turut serta dalam pelaksanaan adat. Ritual
dalam memanggil roh nenek moyang sangat sakral. Kapata Kerja Mesjid di
lihat dari bentuk situasi sosial, masyarakat memiliki kerjasama atau gotong
royong dalam lingkungan masyarakat yang di Pulau Saparua yang pada saat
bersama-sama membangun Mesjid. Dalam Kapata ini mengandung sebuah
ajakan dalam bagi setiap warga untuk datang bekerja sama. Kapata ini jika di
41

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

liihat dari ranah kehidupan sosial ini digunakan atau di nyanyikan oleh
masyarakat Nolollth pada saat pelaksanaan ritual Panas Pela atau acara-acara
penyambutan tamu Negeri Nolloth. Kapata tersebut memberikan arti
mengenai hubungan persaudaran atau hubungan pela di dalam masyarakat.
Jalinan hubungan persaudaran dalam masyarakat Maluku begitu harmonis dan
saling menyayangi.

Daftar Rujukan
Dananjaya, James.1997. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Latupapua, Falantino Erik., dkk. 2012. Kapata. Ambon: Balai Pengkajian
Nilai Budaya Provinsi Maluku dan Maluku Utara
Sudikan, Setya Yuwana. 2015. Metode Penelitian Sastra Lisan. Lamonga:
Pustaka Ilalang

ANALISIS TANDA DALAM LEGENDA SIGALE-GALE DI PULAU


SAMOSIR, SUMATERA UTARA
42

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Nensy Megawati Simanjuntak


Program Studi Pascasarjana
S3 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Surabaya
nensy.17070956010@mhs.unesa.ac.id

Abstract
Indonesia has a diverse culture , among cultures that are one of the
unique culture , unique, and interesting to study . Not only culture , this area is
also rich in natural pemandagangan and customs. Samosir Island is an island
inhabited by the Toba Batak . Batak Toba Batak different from the other . Batak
Toba has legends and folklore are quite a lot and the legends are full of value ,
functionality , and signs . Cultural values are very closely related to the agreement
and traditions that exist in the region . None of the cultures in Indonesia, which
does not have a function . All co-exist and complement each other . In cultures
that there will be a sign that symbolizes something . These are signs in the legend
" Sigale -gale " on the island of Samosir , North Sumatera .
Oral art intrinsically is the tradition had bay a group of certain society.
Its existence is confessed, even very close with society group that owning it. In
oral art, its story content oftentimes lay open situation of social cultural of society
bearing it. Usually oral art contain in the form of social background picture,
culture, and artisty drawn in Sigale- Gale story. Two focus that discussed in this
research: (1) How are the cultural values in the legend of Batak Toba Sigale-gale
on Samosir Island, North Sumatra? 2) How cultural functions contained in
Sigale-gale legend on the island of Samosir, North Sumatra? 3) How to sign
contained in Sigale legend gale on the island of Samosir, North Sumatra?.
As approach which used in this thesis research is art antropoloy, by
exploiting structural theory as structural text analysis foundation, culture theory to
analyze cultural concept of Batak Toba society which there in Sigale-Gale story.
Result of research of Sigale-gale story indicate that Batak Toba society in Samosir
reveal that special target of life of Batak Toba society at former epoch, that is each
and everyone have a mind to reach hamoraon (properties), hagabeon (offspring)
and hasangapon (honorary). Special regarding to the target of life to get blessinh
through offspring (that hagabeon), in the view of traditional Batak society that
owning many child is importance. Batak Toba society that embracing patrilineal
consanguinity sistem , boys have important meaning in life of family. Family
which does not have boy supposed tree which do not hava root. Every boy have
obligation to manage and continue the continuity of family life. Batak society
wish the ideal death according to death custom, which goal by every member of

43

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Batak Toba society, that is have old age, bearing to have, grandchild and
cheeping. All its clan gabe (have many clan) and maduma (secure and prosperous
life), there‘s no handicap and inveigh. That death referred as saurmatua.
Keywords: Oral art intrinsically, Sigale-gale, the cultural values, the cultural
function, and
sign contain

44

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Abstrak

Sastra lisan pada hakekatnya adalah tradisi yang dimiliki oleh sekelompok
masyarakat tertentu. Keberadaannya diakui, bahkan sangat dekat dengan
kelompok masyarakat yang memilikinya. Dalam sastra lisan, isi ceritanya
seringkali mengungkapkan keadaan sosial budaya masyarakat yang melahirkan.
Biasanya sastra lisan berisi berupa gambaran latar sosial, budaya, serta sistem
kepercayaan. Kebudayaan masyarakat Batak Toba dengan sistem patrilinealnya,
sistem kepercayaan, serta kesenian tergambar dalam cerita Sigale-gale. Dua fokus
kajian yang dibahas dalam penelitian ini adalah Bagaimana tanda yang
terkandung dalam legenda Sigale-gale di Pulau Samosir, Sumatera Utara?
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah
antropologi sastra, dengan memanfaatkan teori struktural sebagai pijakan analisis
struktural teks, teori kebudayaan untuk menganalisis konsep kebudayaan
masyarakat Batak Toba yang terdapat dalam cerita Sigale-gale. Hasil penelitian
cerita Sigale-gale ini menunjukkan bahwa masyarakat Batak Toba di Samosir
mengungkapkan bahwa tujuan hidup yang utama masyarakat Batak Toba pada
zaman dahulu, yaitu setiap orang berkeinginan mencapai hamoraon (kekayaan),
hagabeon (keturunan) dan hasangapon (kehormatan). Khusus mengenai tujuan
hidup untuk mendapat berkat melalui keturunan (hagabeon) itu, dalam pandangan
masyarakat Batak tradisional bahwa memiliki banyak anak adalah sangat penting.
Bagi masyarakat Batak Toba yang menganut sistem kekerabatan patrilineal. Anak
laki-laki memiliki arti penting di dalam kehidupan keluarga. Keluarga yang tidak
memiliki anak laki-laki diibaratkan sebatang pohon yang tidak memiliki akar.
Setiap anak laki-laki mempunyai kewajiban mengurus dan meneruskan
kelangsungan hidup keluarga. Masyarakat Batak menginginkan kematian yang
ideal menurut adat kematian, yang dicita-citakan oleh setiap anggota masyarakat
Batak Toba, yaitu berusia lanjut, beranak, bercucu, bercicit, dan berbuyut. Semua
keturunanannya gabe (banyak keturunan) dan maduma (hidup sejahtera), tidak
ada cacat dan celanya. Kematian itu disebut saurmatua.
Kata Kunci : Sastra Lisan, Sigale-gale, nilai budaya, fungsi budaya, dan tanda.

Pendahuluan
Kebudayaan mendominasi pembicaraan sepanjang abad. Bukan saja dalam
ilmu sosial humaniora, tetapi juga ilmu kealaman. Definisi yang paling luas
menganggap kebudayaan sebagai semua hasil aktivitas manusia, baik kongkret
maupun abstrak, baik dengan tujuan positif maupun negatif. Definisi ini pertama
kali dikemukakan oleh E.B Taylor (Sardar dan Loon, 2001:4) dalam bukunya
45

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

yang berjudul Primitive Culture (1871). Untuk mengetahui resepsi masyarakat


intelektual terhadap keberagaman pengertian kebudayaan tersebut, Krober dan
Kluckhohn (1952) berhasil mengumpulkan sebanyak 160 definisi kebudayaan.

Setiap pembicaraan mengenai kebudayaan pada umumnya dikaitkan


dengan kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah. Dalam rangka memelihara
persatuan dan kesatuan bangsa, kebbudayaan nasional dianggap sebagai puncak-
puncak kebudayaan daerah, tataran tertinggi perwujudan hasil cipta, rasa, dan
karsa masyarakat. Kebudayaan daerah dengan demikian berfungsi untuk
menopang, memotivasi perkembangan kebudayaan nasional, dan sebagainya.
Bahasa Indonesia, lambang Negara, lagu kebangsaaan, Sumpah Pemuda, dan
sebagainya termasuk makanan dan pakaian nasional, dianggap sebagai identitas
nasional yang berfungsi sebagai pengikat persatuan bangsa (Ratna, Kutha
2010:153)

Menurut Santos (2010:15), dalam era globalisasi, khususnya dengan


masuknya berbagai bentuk budaya asing di satu pihak, penyebaran aspek-aspek
kebudayaan nasional menjadi milik dunia di pihak lain. Dengan adanya fenomena
seperti itu, maka ruang liingkup kebudayaan nasional perlu diperluas, yaitu pada
kebudayaan dunia, dalam hubungan ini kebudayaan Barat. Kebudayaan global
seolah-olah sudah menjadi satu dengan kebudayaan nasional, sebagai glonal
(globali nasional) sekaligus glokal (globa lokal). Sebagai catatan tambahan untuk
dipertimbangkan lebih lanjut, dengan argumentasi yang berbeda, bahkan
bertentangan secara diametral, peradaban manusia justru berasal dari timur, yakni
Indonesia.

Menurut Statda, Taput (2015: 5), Provinsi Sumatera Utara terletak pada 1°
- 4° Lintang Utara dan 98° - 100° Bujur Timur, Luas daratan Provinsi Sumatera
Utara 72.981,23 km². Sumatera Utara pada dasarnya dapat dibagi atas: Pesisir
Timur, Pegunungan Bukit Barisan, Pesisir Barat, Kepulauan Nias Pesisir timur
merupakan wilayah di dalam provinsi yang paling pesat perkembangannya karena
persyaratan infrastruktur yang relatif lebih lengkap daripada wilayah lainnya.
Wilayah pesisir timur juga merupakan wilayah yang relatif padat konsentrasi
penduduknya dibandingkan wilayah lainnya.

Mitos dan dan sejarah penyebaran orang Batak Toba (Vergouwen, 2004:
x) tidak dapat dipisahkan secara tegas. Orang Batak Toba yang sudah menjalani
pendidikan modern kemungkinan besar tidak lagi sepenuhnya menerima

46

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

kebenaran uraian yang mitologis mengenai sejarah perkembangan sukunya.


Tetapi, bagaimanapun juga, mereka akan menghargai asal-usul leluhurnya
tersebut. Konsep yang mendasar dalam organisisi kekerabatan Batak Toba adalah
marga. Marga adalah kelompok orang-orang yang nerupakan keturunan dari
seorang kakek bersama, dan garis keturunan itu dihitung melalui bapak (bersifar
patrilineal).

Semua anggota dari satu marga memakai satu identitas yang dibubuhkan
sesudah nama kecilnya, dan nama marga itu merupakan pertanda bahwa orang-
orang yang menggunakannya masih mempunyai kakek yang sama. Mungkin
secara nyata, tidak dapat lagi diperinci urutan nama para kakek yang
menghubungkan orang-orang se-marga dengan kakek bersamanya pada sekian
generasi yang lalu, namun ada suatu keyakinan bahwa orang-orang yang
menggunakan nama marga yang sama terjalin oleh hubungan darah, dan salah
satu konsekuensinya adalah larangan menjalin ikatan bagi perempuan dan laki-
laki yang mempunyai nama marga yang sama. Sistem kekerabatan merupakan
sendi utama dalam kebudayaan orang Batak Toba. (Vergouwen, 2004: x- xi).

Menurut Suwardi Endraswara (2003:151) Sastra lisan adalah karya yang


penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun-temurun. Oleh
karena penyebarannya dari mulut ke mulut, banyak sastra lisan yang memudar
karena tidak dapat dipertahankan. Selain keterbatasan memori manusia dalam
mengingat, perkembangan teknologi yang semakin canggih di era globalisasi
dewasa ini ikut menggeser sastra lisan yang pernah ada, termasuk sastra lisan
masyarakat Batak Toba yang memiliki nilai budaya tinggi, yang seharusnya dapat
dijaga kelestariannya.

Sastra lisan Batak Toba dapat dipandang sebagai aset budaya yang penting
dan berharga yang layak untuk dikaji dan dilestarikan (Nurelide, 2006: 1).
Sebagian dari sastra lisan Batak Toba masih ikut diterapkan dalam acara adat
masyarakat tersebut. Mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folklor),
merupakan genre prosa rakyat yang pernah hidup dalam mayarakat Batak Toba.
Mite merupakan cerita lama yang sering dikaitkan dengan dewa-dewa atau
kekuatan-kekuatan supranatural yang melebihi batas kemampuan manusia yang
diungkapkan secara gaib dan dianggap suci.

Legenda merupakan cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada


hubungannya dengan peristiwa sejarah tetapi tidak dianggap suci, dan dongeng

47

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benat terjadi oleh empunya cerita
dan dongeng tidak terikat oleh waktu dan tempat (Bascom dalam Danandjaya,
1984:50). Namun jika dikaji secara mendalam, ternyata legenda mempunyai
pengertian yang mendalam, terdapat pandangan hidup, kehidupan religi, dan
dunia sakral dari masyarakatnya. Sebagian individu dalam masyarakat
mempercayai legenda sebagai penuntun hidupnya.

Keingintahuan manusia untuk memahami sesuatu dibalik legenda semakin


kuat, yaitu peristiwa yang menggambarkan sejarah dan nilai-nilai moral yang
terdapat didalamnya dan hampir seluruh legenda memiliki hal-hal mistis.
Sehingga, melalui karya sastra tersebut ditemukan pola hubungan kekerabatan,
tingkah laku, kepercayaan dan segala sesuatu yang hidup dan menjadi tradisi
dalam mayarakat tersebut (Nurelide, 2006:5). Melalui karya sastra yang juga
tercipta sebagai salah satu produk budaya tentunya dapat menjembatani untuk
sampai pada pemahaman atau setidak-tidaknya sikap terbuka melakukan apresiasi
terhadap berbagai kultur etnink yang ada di Nusantara. Oleh karena peneliti ikut
terbuka dalam apresiasi sastra, maka peneliti tertarik untuk mengkaji sastra lisan
dalam Batak Toba. Landasan utama dalam penelitian ini adalah mengkaji nilai-
nilai budaya utama nonmaterial dalam sastra lisan Batak Toba ― Sigale-gale‖.

Sigale-gale merupakan salah satu cerita lisan yang dimiliki oleh


masyarakat Batak Toba, yang berasal dari Silalahi atau ―Tao Silalahi‖,
peninggalan dari Oppungku Raja Silahisabungan, yang dicatat dalam peta
Belanda, pada saat penjajahan Belanda tahun 1832 dengan ejaan lama yang diberi
nama Tao Silalahe. Sedangkan peresmian Silalahi tercatat pada pembangunan
tugu/makam Raja Silahisabungan yang diresmikan pada tanggal 23-27 Nopember
1981. Cerita ― Sigale-gale‖ tersebut memiliki nilai suri teladan yang dapat
diaplikasikan dalam kehidupan manusia. Sigale-gale merupakan bentuk
persidangan dalam masyarakat Silalahi yang menekankan aspek kejujuran.
Ketertarikan penulis dalam mengambil legenda Sigale-gale, selain memiliki nilai
suri teladan, tidak semua individu atau masyarakat Batak Toba yang mengenal
cerita lisan tersebut, untuk itu peneliti ingin memperkenalkannya agar cerita
tersebut tidak punah. Menurut (Olrik dalam Sukatman, 2009:13) kepunahan
tradisi lisan disebabkan terlalu lama tidak diingat oleh masyarakat dan tidak
pernah diperdengarkan lagi. Karena sastra lisan yang semakin memudar dan
hanya berdasarkan daya ingat penuturnya sehingga dapat merubah keaslian suatu
sastra lisan, peneliti merasa tertarik untuk mengkajinya kemudian
mendokumentasikannya, harapan yang ingin dicapai dalam peneltian ini dapat
48

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

menjadikan sastra lisan tersebut menjadi sastra yang selalu hidup dan dapat
dipertahankan.
Berdasar atas uraian tersebut, tulisan ini dimaksudkan untuk menganalisis
tanda yang ada pada tarian tradisional ―Sigale-gale‖ yang berasal dari suku Batak
Toba, Sumatera Utara. Penelitian ini menganalis tanda dalam legenda ―Sigale-
gale‖.
Semiotik menjadi salah satu kajian yang bahkan menjadi tradisi dalam
teori komunikasi. Tradisi semiotik terdiri atas sekumpulan teori tentang
bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan
dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri. (Littlejohn, 2009 : 53). Semiotik
bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sebuah tanda
atau menafsirkan makna tersebut sehingga diketahui bagaimana komunikator
mengkonstruksi pesan.
Konsep pemaknaan ini tidak terlepas dari perspektif atau nilai-nilai
ideologis tertentu serta konsep kultural yang menjadi ranah pemikiran masyarakat
di mana simbol tersebut diciptakan. Kode kultural yang menjadi salah satu faktor
konstruksi makna dalam sebuah simbol menjadi aspek yang penting untuk
mengetahui konstruksi pesan dalam tanda tersebut. Konstruksi makna yang
terbentuk inilah yang kemudian menjadi dasar terbentuknya ideologi dalam
sebuah tanda. Sebagai salah satu kajian pemikiran dalam cultural studies, semiotik
tentunya melihat bagaimana budaya menjadi landasan pemikiran dari
pembentukan makna dalam suatu tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem,
aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut
mempunyai arti. (Kriyantono, 2007 : 261). Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan di atas, penelitian ini memiliki beberapa rumusan masalah, yakni:
Bagaimana tanda yang terkandung dalam legenda Sigale-gale di Pulau Samosir,
Sumatera Utara?

Pembahasan

Simbol atau Tanda

Menurut Meliono dan Budianto, seiring perkembangan serta kemajuan


cara berpikir manusia, berkembang juga proses hubungan dalam melihat simbol.
Simbol tidak hanya sekadar tanda saja, tetapi menjadi sistem yang penuh dengan
trasnformasi untuk menemukan kreativitas, bahkan dapat menjadi simbol yang
lebih komunikatif. Manusia menjadi arif dalam menghubungkan simbol-simbol
dengan apa yang menjadi keinginannya, dan ia menjadi semakin pandai dalam
49

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

memahaminya pula. Pemahaman manusia terhadap simbol-simbol yang


digunakan membutuhkan seseorang untuk berpikir secara jernih dalam
merumuskan simbol (2004:26).

Hartoko dan Rahmanto dalam bukunya Pemandu di Dunia Sastra


mendefiniskan simbol sebagai berikut: Simbol dari kata Yunani ―sym-ballein‖
yang berarti melemparkan bersama. Suatu benda dikatakan dengan suatu ide.
Biasanya simbol terjadi berdasarkan metonimi dan metafora. Simbol dibedakan:
simbol universal, simbol kultural, dan simbol individual. (1978:133)

1. Hamoraon
Dalam cerita Sigale-gale, konsep hamoraon sebenarnya
sangat kental sekali terlihat pada tokoh Datu Panggana, Bao
Partigatiga, dan Datu Partoar, terutama tokoh Nai Manggale,
sebagai keluarga yang tidak memiliki keturunan. Di atas telah
disebutka kekayaan di ukur bukan harta saja, melainkan jumlah
anak. Akan tetapi, dalam teks Sigale-gale, Datu Partoar telah
memiliki boru walaupun hanya boru angkat. Tetap saja garis
keturunan masing-masing tokoh akan terputus karena tidak
memiliki anak kandung.
Dalam fenomena sosio-budaya Batak Toba, misi kehidupan
mamora (kaya-raya) atau hamoraon (kekayaan), tidak hanya
diukur dengan materi saja, melainkan juga jumlah keturunan.
Dalam kebudayaan Batak, secara tradisional, dirumuskan pula
tujuan hidup yang utama dari masyarakat Batak, yaitu mencapai
hamoraon (kekayaan), hagabeon (keturunan), dan hasangapon
(kehormatan). Khusus mengenai tujuan hidup untuk mendapat
berkat melalui hagabeon (keturunan) itu, dalam pandangan
masyarakat Batak tradisonal memiliki banyak anak adalah sangat
penting. Dalam banyak upacara perkawinan selalu diungkapkan
permohonan berkat agar pasangan diberi karunia banyak
keturunan: maranak sappulu pitu (beranak laki-laki 17), marboru
sappulu onom (beranak perempuan 16).

2. Hagabeon

Dalam cerita Sigale-gale, konsep hagabeon terlukis dengan


jelas. Tokoh Datu Panggana dan Datu Partiktik berusaha keras
50

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

untuk mencapai konsep hagabeon yang sudah disepakati tersebut.


Usaha-usaha yang dilakukan Datu Panggana dan Datu Partiktik
merupakan salah simbol asa yang diharapkan setiap individu
masyarakat Batak Toba.

―Bertahun-tahun sudah berlalu, namun Nai Manggale dan


Datu Partiktik tiada juga memperoleh keturunan. Telah
bersusah payah mereka berobat dari dukun yang satu ke
dukun yang lainnya, tapi rupanya Debata tiada
mengabulkan niat mereka. Datu Partoar pun, yang terkenal
dengan keajaiban obatnya tida berdaya dalam hal ini.
(Sigale-gale, 1978:50)

Hagabeon adalah kondisi berkeluarga yang dianugrahi


keturunan anak putra-putri, tetapi makna filosofinya tidak sampai
di situ saja. Hagabeon masih dapat dimaknai hingga memperoleh
banyak cucu, bahkan cicit.

Dalam masyarakat Batak Toba, konsep hagabeon


diungkapkan dalam hubungan perkawinan. Kata hagabeon
merupakan kata kunci dari konteks perkawinan, walaupun masih
berupa harapan-harapan, yaitu: kiranya mendapat keturunan
banyak putra dan putri, serta berumur panjang hingga menikmati
hidup suasana bercucu. Harapan-harapan itu secara filosofis
dianggap sebagai doa. Begitu besarnya makna hagabeon sehingga
sering dimohonkan ungkapan: maranak sappulu pitu, marboru
sappulu onom, artinya dikarunia 17 anak laki-laki serta 16 anak
perempuan, yang artinya 33 anak, angka yang melambangkan
berketurunan banyak. Uniknya, hingga saat ini umumnya masih
dianut masyarakat Batak Toba, meskipun setiap keluarga sudah
mengkritisi pemikiran semacam itu saat ini.

3. Hasangapon

Dalam fenomena kehidupan masyarakat Batak Toba,


hasangapon merupakan akumulasii dari kehormatan, wibawa, harga
diri, atau kharisma seseorang, tetapi hasangapon didukung hagabeon

51

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

dan hamoraon. Dalam hal ini, tokoh Datu Partiktik yang belum juga
mempunyai anak, maka akan padam sinar kehormatan keluarganya
sebagaimana tercermin dalam kutipan berikut:

―Nai, maklum, bahwa pastilah Datu Partiktik pasti lebih


bersedih hati lagi, karena dengan tak adanya anak, berarti tak ada yang
meneruskan marga Datu. Berhentinya pewarisan marga, berarti akan
padam sinar kehormatan keluarga. Ini sangat menusuk hati seorang
laki-laki Batak. (Sigale-gale, 1978:51)

Sebagai filosofi hidup, maka hasangapon tentu tidak sebatas


pada kriteria individu atau perorangan, tetapi dapat diterima dan
berlaku juga secara kolektif. Makna hasangapon dalam tatanan
kolektif lebih ditekankan pada kehormatan atau harga diri bersama
dalam suatu ikatan kelompok masyarakat.

4. Sarimatua dan Saurmatua

Salah satu kebahagiaan yang didambakan oleh setiap orang


Batak adalah dapat mencapai usia saurmatua. Sedangkan sarimatua
adalah tingkat usia dan kondisi seseorang apabila telah berusia lanjut,
telah mempunyai putra dan putri serta telah mempunyai cucu, tetapi
tidak semua putra dan putrinya telah berumah tangga, masih ada yang
belum menikah. Istilah sarimatua terdiri dari dua kata ―sari‖ dan
―matua‖. Sari berarti masih ada urusan yang harus diselesaikan, matua
berarti lanjut usia. Jadi, sarimatua adalah telah lanjut usia, tetapi masih
ada yang harus dikawinkan. Sedangkan saurmatua adalah tingkat usia
dan kondisi seseorang apabila telah berusia lanjut, telah sampai kepada
tingkat atau keadaan sudah mempunyai putra dan putri yang semuanya
telah berkeluarga dan juga telah mempunyai cucu. Lebih ideal lagi,
apabila ia mempunyai cicit (nini dan nono). Salah satu kebahagiaan
yang didambakan oleh orang Batak ialah agar dapat kiranya mencapai
usia saurmatua.

5. Papurpur Sapata

Cerita Sigale-gale erat sekali hubungannya dengan jenis


kematian. Kematian Nai Manggale mengharuskan adanya upacara
papurpur sapata yang dilakukan oleh patung Sigale-gale. Marbun

52

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

dan Hutapea (1987:105-106) mendefiniskan 6 jenis kematian


dalam budaya Batak Toba, yakni:

1. Mate Mangkar: suami atau istri yang meninggal sebelum


bercucu, putra-putrinya belum berumah tangga.
2. Mate Ponggol (mate matipul): meninggal dalam usia muda dan
belum menikah.
3. Mate Punjung: meninggal di negeri orang, dimana tidak ada
kerabat.
4. Mate Punu : meninggal dunia tanpa meningggalkan putra,
melainkan putrid saja.
5. Mate Pupur: meninggal di dunia tanpa ada keturunan baik
putra maupun putri.
6. Mate Tompo : meninggal secara tiba-tiba.

Berdasakan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan


bahwa ada unsur yang berhubungan dengan papurpur sapata
yaitu mate punu. Sapata ialah kutukan. Dahulu apabila
seseorang merasa terkutuk, maka untuk menghapuskannya
diadakan upacara papurpur sapata, yakni suatu rilis tertentu
yang diselenggarakan sebagai usaha menghilangkan sapata
tersebut. Nai Manggale sebagai tokoh utama juga mengutuk
suaminya Datu Partiktik tidak mempunyai anak, walaupun
menikah dengan wanita yang lain. Untuk mencegah hak
tersebut, Datu Partiktik harus memenuhi permintaan Nai
Manggale, yaitu membuat patung dari kayu sebesar badan
manusia dan diberi nama Sigalegale.

6. Ulos
Ulos tidak dijelaskan secara tersurat namun secara tersirat
terdapat dalam teks Sigale-gale. Masyarakat Batak tidak pernah
terlepas dari ulos, baik dalam acara suka dan duka. Ulos adalah sejenis
kain khusus yang ditenun dengan motif-motif tersendiri. Motif dan
warna-warna kain itu mengandung arti yang khusus pula, dan tidak
terdapat pada sembarang acara adat. Menurut (Tambunan 1982:92)
ulos holong bagi orang Batak yang meninggal, ada berbagai ketentuan
hukumnya,

53

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Dalam Sigale-gale yang menerima ulos ada seorang anak muda


yang meninggal/ Bila yang meninggal seorang anak (belum
berkeluarga) maka tidak ada acara pemberian saput. Bila yang
meninggal adalah orang yang sudah berkeluarga, setelah hula-hula
mendengar khabar tentang ini, disediakanlah sebuah ulos untuk tujung
dan pihak tulang menyediakan ulos saput. Pemberiannya diiringi kata-
kata turut berduka cita (marhabot ni roha). Setelah beberapa hari
berselang, dilanjutkan dengan acara membuka (mengungkap) tujung
yang dilakukan pihak hula-hula. Setelah mayat dikubur, pada saat itu
juga ada dilaksanakan mengungkap tujung, tergantung kesepakatan
kedua belah pihak.

Hula-hula menyediakan beras dipiring (sipir ni tondi), air


bersih untuk cuci muka (aek parsuapan), air putih satu gelas (aek sitio-
tio). Pelaksanaan acara mengungkap tujung umumnya dibuat pada
waktu pagi (panangkok ni mata ni ari). Setelah pihak hula-hula
membuka tujung dari yang balu, dilanjutkan dengan mencuci muka
(marsuap). Anak-anak yang ditinggalkan juga ikut dicuci mukanya,
kemudian dilanjutkan dengan penaburan beras diatas kepala yang balu
dan anak-anaknya.

Sebuah filsafat Batak mengatakan : Ijuk pangihot ni


hodong, ulos pangihut ni holong, artinya: ijuk ialah pengikat
pelepah pada batangnya dan ulos ialah pengikat kasih saying antara
orang tua dan anak-anak atau antara seseorang dengan orang lain.
(Sihombing, 1986:42).

54

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Daftar Pustaka
Ahmadi, Abu, 1986. Antropologi Budaya Mengenal Kebudayaan
dan Suku-
suku Bangsa di Indonesia. Surabaya: CV Pelangi

Antonius, Bungaran Simanjuntak.2006. Struktur Sosial Dan Sistem Politik Batak


Toba
Hingga 1945.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Barthes, Roland. 1977. ―The Death of the Author‖. New York: Hill
and Wang

B.Bernardi, C.Poni and A.Triulzi (Eds.) Fonti Orali, Oral Sources, Sources
Orales. Milan:
Franco Angeli, pp. 59–74.
Bisuk, Siahaan,. 2005. BATAK TOBA: Kehidupan di Balik Tembok Bambu,
Jakarta: Kempala
Foundation.
Culler, J. 1976. Saussure. London: Fontana.
Daeng, Hans J. 2000. Manusia, Kebudayaan dan
Lingkungan
Tinjauan Antropologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

David Kaplan dan Robert A. Manners, 2002, The Theory of Culture,


diterjemahkan oleh Landung Simatupang, Teori Budaya,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset

Danandjaja, James. 1 9 8 4 . Folklore Indonesian: Ilmu gosip,


Dongeng, dan
lain-lain. Jakarta: Graffiti Press.

Djanandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia, Dongeng, dan Lain-lain.Jakarta:


Grafiti Press.
Endraswara. Suwardi.2003. Metodologi Penelitian Sastra.

55

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Yogyakarta:
Pustaka Widyatama.

Eriyanto.2005. Analisis Wacana. Yogyakarta: Pelangi Aksara

Esten, Mursal (ed).1993 Struktur Sastra Lisan Kerinci. Jakarta:


Yayasan
Obor Indonesia.

Fetterman, M.David.1998. Etnography Step by Step. London: Sage


Publications,Inc.

Fernigan, M dan Golding, P. eds. 1997. Cultural Studies in Question.


London
dan Newbury Park, CA : Sage.

Finnegan, Ruth. 2012. Oral Literature in Africa. Cambridge: Open Book


Publishers.
CC BY edition.
Foucault, M. 1972. The Archaeology of Knowledge. New York : Pantheon.
Hutomo, Saripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar Studi
Lisan.Jatim: Hiski.
John W. Creswell, Qualitative Inquiry & Research Design, Choosing Among Five
Approch
(California: Sage Publications, 2007) hlm.68.
Kozok, Uli.1999. Warisan Leluhur Sastra Lama dan Aksara
Batak.Jakarta: Gramedia.

L.R. Gay, Geoffrey E. Mills & Airasian, Educational Research: Competencies for
analysis
and application-9th. Ed (New Jersey: Merril-Pearson Education, 2009),
hlm 404.
Lubis, Rayani Sriwidodo.1982. Sigale-gale. Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya.

Marbun, M.A. dan Hutapea. I.M.T. 1987. Kamus Budaya Batak.


56

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Jakarta:
Balai Pustaka

Marguerite G. Lodico, Dean T. Spaulding, Katherine H. Voegtle, Methods in


Educational
Research From Theory to Practice (San Fransisco: Jossey Bass, 2006),
hlm. 268.
Meliono Irmayanti dan Budianto, 2004. Ideologi Budaya. Jakarta:
Yayasan
Kota Kita

Meuraxa, Dada. 1973. Sejarah Kebudayaan Suku-suku di


Sumatera
Utara. Medan: Pemda

Niessen, Sandy A. 1985. Motifs of Life in Toba Batak Text and Textilles.
Dordrecht/Holland Cinnaminson /USA, Foris Publication.
Nurelide. 2007. Meretas Budaya Masyarakat Batak Toba dalam Cerita Sigale-
gale.
Semarang, Magister Ilmu Sastra Universitas Diponegoro. Tesis.
Paul Atkinson & Martyn Hammersley, Etnography and Participant Observation,

Strategies

of Qualitative Inquiry ed. Norman K Denzin & Yvonna S. Lincoln

(California:SAGE Publication, Inc, 1998)

Pardede T. Bertha dkk, 1981. Bahasa Tutur Perhataan dalam


Upacara
Adat Batak Toba. Jakarta: Pusat Bahasa Jakarta.

Ong, Walter. 1982. Orality and Literacy: the technologizing of the word. New
York:
Methuen Press.
Pardede T. Bertha dkk, 1981. Bahasa Tutur Perhataan dalam
57

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Upacara
Adat Batak Toba. Jakarta: Pusat Bahasa Jakarta.

Pudentia, MPSS.1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta:


Yayasan
Obor Indonesia.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Penelitian Sastra: Teori, Metode,


dan
Teknik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Rafiek, M. 2010. Teori Sastra; Kajian Teori dan Praktik. Bandung:


PT.
Refitika Aditama.

Sangti, Batara, 1977. Sejarah Batak. Balige: Karl Sianipar


Company.

Sibley, D. 1995. Geographies of Exclusion. London: Routledge.

Sinuhaji, Tolen,dkk, 1997/1998. Dalihan Na Tolu Dahulu dan


Sekarang.
Jakarta: Dirjen Kebudayaan.

Situmorang, Sitor. 2004. Toba Na Sae. Jakarta : Komunitas Bambu

Storey, J. 1993. Cultural Theory and Popular Culture. Edinburgh:


Edinburgh
University Press.

Tsaaior, James Tar. 2010. Webbed words, masked meanings: Proverbiality and
narrative/discursive strategies in D.T. Niane's Sundiata: and epic of old
Mali. Proverbium 27: 319-338.
Tambunan, Emil H.1982. Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan
Kebudayaanya
Sebagai dan Sarana Pembangunan. Bandung: Tarsito.
Tanjung, Zuraida,dkk.. 1982-1983, Isi dan Kelengkapan
Rumah
Tangga Tradisional Menurut Tujuan, Fungsi dan
58

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Kegunaan Suku
Batak Toba Daerah Tapanuli Utara. Jakarta : Depdikbud.

Vansina, Jan. 1978. Oral Tradition, Oral History: Achievements and


Perspectives,. A Study
in Historical Methodology. Chicago and London: Aldine and Routledge
& Kegan
Paul.
Vergouwen, J.C. 2004. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba.
Yogyakarta:Lkis Pelangi
Aksara.

LELUHUR TENGGER:
KEHADIRAN PSIKIS SANG PENJAGA GERBANG KOSMIS

Sony Sukmawan
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UB

59

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

ABSTRAK
Sifat Tengger dikonsepkan secara kaya dan secara psikis disajikan sebagai tokoh
suci dalam cerita rakyat. Konseptualisasi dan kehadiran ini berorientasi ekologis.
Studi ini membahas berbagai konseptualisasi sosok ajaib sebagai bentuk proses
metaforis dan juga mengungkapkan dampak ekologis dari keberadaan psikis
leluhur Tengger. Selanjutnya, penelitian ini juga meneliti hubungan antara
konstruksi narasi mitos Tengger dengan strategi budaya konservasi alam Tengger.
Melalui studi etnografi di sejumlah desa Tengger selama bulan Januari-Agustus
2017, sejumlah temuan dibuat: (i) Ritual Tengger adalah ungkapan pemahaman
orang Tengger tentang adanya roh kosmis yang memiliki dampak besar pada
kehidupan sosial dan memiliki efek konservatif terhadap alam; (ii) Sifat 'biologis'
Tengger menjadi referensi penting bagi aspek estetika bahasa yang diwahyukan
sebagai varietas yang sangat kaya dan kaya makna; Dan (iii) kodrat 'psikis'
Tengger juga memiliki peran penting dalam mewujudkan harmoni kosmik.
Harmoni kosmik adalah muara dari semua jaringan upstream yang beragam: nilai,
sikap, kepercayaan, ritus adat, dan kebiasaan sehari-hari.

Kata kunci: leluhur, danyang, cerita rakyat Tengger, kehadiran psikis.

ABSTRACT
The nature of Tengger is richly conceptualized and is psychically presented as a sacred
figure in folklore. This conceptualization and presence is ecologically oriented. The
present study discusses the variety of conceptualization of the magic figure as a
metaphorical process form as well as reveals the ecological impact of Tengger's ancestral
psychic presence. Furthermore, this study also examines the link between the construction
of Tenggerese‘s myth narrative with the cultural strategy of Tengger‘s nature
conservation. Through ethnographic studies in a number of Tengger villages during
January-August 2017, a number of findings were made: (i) Tengger rituals are the
expression of Tenggerese understanding of the presence of cosmic spirits that has a major
impact on social life and has a conservative effect on nature; (ii) Tengger's 'biological'
nature became an important reference to the aesthetics aspect of the language which was
revealed to be very rich variety and rich in meaning; And (iii) Tengger's 'psychic' nature
also has an important role in realizing the cosmic harmony. Cosmic harmony is the
estuary of all the various upstream networks: values, attitudes, beliefs, custom rites, and
daily habits.

Keywords: ancestor, danyang, Tengger‘s folklores, the presence of psychic.

PENDAHULUAN
60

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Sulit membayangkan bagaimana adat istiadat Tengger akan memudar jika


keyakinan atau kepercayaan Tengger yang menjadi pondasi aktualisasi adat
Tengger masih kukuh dipegang oleh para pemangkunya dan diikuti oleh
masyarakat pendukungnya. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu kebudayaan
akan tetap hidup dan bertahan jika memiliki dan didukung oleh masyarakat
pemangkunya. Kenyataan bahwa adat Tengger _sebagai salah satu kekayaan
budaya lokal nusantara_, masih dijalankan dengan baik di sejumlah wilayah desa
Tengger tentu menjadi kabar menggembirakan di tengah ironisme hilangnya
kekayaan budaya lokal di sejumlah tempat di penjuru nusantara. Setidak-tidaknya,
keberlangsungan kebudayaan Tengger ditunjukkan melalui optimisme para dukun
adat berikut ini.

Kami tidak khawatir bahwa pengetahuan tentang adat dan tradisi Tengger akan
hilang karena setiap generasi pasti ada yang mewarisi (pengetahuan) tersebut,
meskipun tidak ada bukunya (Pak Sepuh Ngadiwono, 60 th, wawancara 4
Agustus 2017).

Proses pewarisan pengetahuan adat Tengger secara sosio-kultural sudah


berlangsung sejak lama, setua usia kebudayaan Tengger, sejalan dengan peralihan
atau pergantian posisi spiritual dukun desa dari jaman ke jaman. Dalam konteks
ini, dukun memang menempati posisi strategis dalam pewarisan sekaligus
pemertahanan kebudayaan. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya
sebagian masyarakat Tengger yang pasif bahkan apatis terhadap keberlangsungan
adat Tengger. Orang yang demikian disebutkan oleh dukun Tengger sebagai orang
yang ‗belum mengerti‘.

Orang yang ‗mengerti‘ makna tradisi ritual Tengger pasti melaksanakannya


dengan sukarela dan sungguh-sungguh. Sebaliknya, orang yang ‗belum mengerti‘
kegunaannya, tentu akan berkeberatan melaksanakan tradisi, yang kebanyakan
tidak disampaikan secara terang-terangan atau dipendam dalam hati (Puja
Pramana, dukun pandita, 44th, wawancara 4 Agustus 2017 ).

‗Ngerti‘ atau paham terhadap pelaksanaaan tradisi di Tengger adalah


sikap batin yang perlu dimiliki oleh masyarakat Tengger agar dapat menjalankan
kehidupan sosial selaras dengan kehidupan ritual. Sikap batin menjadi kunci
pembuka kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga keselarasan hubungan
antara kehidupan sosial dengan kehidupan ritual, kehidupan fisik dengan
kehidupan psikis, alam jasmani dengan alam rohani, alam nyata dengan alam
gaib. Pelaksanaan tradisi ritual berkaitan erat dengan pembinaan hubungan

61

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

dengan alam rohani, alam metafisik. Karena itu, pelaksanaan ritual Tengger
sesungguhnya adalah ekspresi pemahaman ‗ngerti‘ orang Tengger terhadap
kehadiran kekuatan supranatural yang berpengaruh besar terhadap kehidupan
sosial.
Di Tosari jarang terjadi bencana tanah longsor, karena kebiasaan masyarakat di
sini yang selalu membuat tetamping. Setiap bulan, tepatnya Jumat Legi atau
Jumat Manis, selalu ada upacara membuat tetamping. Tetamping ini nantinya
akan dibagi-bagikan. Setiap satu tahun sekali juga diletakkan tetamping di
ladang. Hal ini bertujuan untuk meminta agar ladangnya dilindungi dari bencana.
Lalu, upacara barikan untuk meminta perlindungan kepada Danyang (Ibu Harati,
48 th,Wawancara 1 Mei 2017 )

Danyang, pepunden, baureksa, atau leluhur adalah sosok gaib yang sangat
dihormati (bukan ditakuti) oleh masyarakat Tengger karena menjadi pengayom
kehidupan lahir-batin mereka. Wong Tengger yang ‗ngerti‘ akan menjadikan ini
sebagai kesadaran yang membatin (terinternalisasi) sehingga mereka merasakan
pentingnya pelaksanaan ritual. Baik ritual harian, bulanan, tahunan, maupun lima
tahunan, baik ritual personal maupun komunal, akan mereka laksanakan dengan
penuh ketulusan dan kekhusukan jika didasari atas sikap batin ‗ngerti‘. Ritual
jenis apapun pada akhirnya merupakan wujud penghormatan terhadap kekuatan
gaib dunia nirskala.
Pembicaraan tentang danyang, pepunden, atau baureksa wilayah Tengger
mengarah kepada sosok-sosok psikis yang hadir dalam setiap jengkal tanah dan
seisinya hingga seluruh bagian di angkasa. Ruang dan segala bentuk hamparan di
dataran tinggi Tengger dipenuhi oleh para penghuni gaib yang menjaga atau
mereksa sepanjang waktu tempat-tempat yang dihuni itu. Masyarakat Tengger
yang merasa menjadi bagian di dalamnya akan menjalani kehidupan dengan aman
dan damai sepanjang mampu menjaga hubungan baik dengan sosok-sosok gaib
itu. Tulisan ini membahas ragam konseptualisasi sosok gaib sebagai bentuk proses
metaforis sekaligus mengungkap dampak ekologis kehadiran psikis leluhur
Tengger. Lebih jauh, artikel ini juga menelaah kaitan antara konstruksi narasi
mitos Tengger dengan strategi kultural dalam konservasi alam Tengger.

DESKRIPSI HASIL DAN PEMBAHASAN

KEKAYAAN BAHASA IMAJINASI DALAM TRADISI (LISAN)


TENGGER

62

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Alam Tengger telah lama hidup dan mengidupi angan dan pikiran
masyarakatnya. Alam Tengger menjadi rujukan penting estetika bahasa
masyarakat penghuninya. Melalui wujud fisik maupun sifat-sifat yang melekat
padanya, terkonstruksi ungkapan yang sangat beraneka dan kaya. Penelitian
Sukmawan (2017) menjelaskan pengaruh kuat alam fisik Tengger dalam proses
penamaan desa. Berbagai macam motif penamaan desa dikategorikan menjadi
motif kesesuaian dengan keadaan dan kondisi alam Tengger, penyebutan nama
unsur alam Tengger, penyebutan nama unsur alam Tengger beserta khasiat dan
fungsinya, penyebutan nama unsur alam Tengger beserta fenomena alam
lainnya, serta penyebutan nama unsur alam Tengger dan keadaannya.

Motif kesesuaian dengan keadaan atau kondisi alam, misalnya, digunakan


sebagai latar penamaan desa Ngadiwono.

......................................................................................................................

Pada suatu waktu, Eyang Tanggul memandang dan mengamati keadaan desa
tersebut. Ia berpikir bahwa di tempat yang ia tinggali kini telah berdiri desa dan
telah memiliki sumber air. Eyang Tanggul merasa senang. Dalam hati Eyang
Tanggul berkata, ―Desa ini tepat jika diberi nama desa Ngadiwono. Ngadi berarti
bagus, apik. Wono berarti hutan. Ngadiwono adalah hutan yang Indah‖.

(Asal-usul Desa Ngadiwono)


Ikhwal penamaan desa Ngadiwono berawal dari renungan bedah krawang
desa kala itu, Kakek Tanggul. Setelah sekian lama ‗bukak alas‘, mendirikan
perkampungan, kini tempat tersebut telah menjadi tempat hunian yang nyaman,
lengkap dengan mata air utuk mendukung kehidupan. Akan tetapi, keresahan
muncul dalam batin Kakek tanggul manakala tempat tinggal tersebut belum diberi
nama. Karena hunian tersebut bertempat di hutan dan berpemandangan indah,
Kakek Tunggul menamainya Ngadiwono, ngadi berarti bagus, apik; wono berarti
hutan. Ngadiwono adalah hutan yang Indah. Penamaan ini didasarkan atas
kesesuaian dengan keadaan dan kondisi alam.

Motif yang sama, yakni adanya kesesuaian dengan keadaan atau kondisi
alam Tengger digunakan pula sebagai latar penamaan desa Sapi Kerep, Ledok
Ombo, Sedaeng, dan desa Wonokitri. Selanjutnya, Motif penyebutan nama unsur
alam tampak dalam latar belakang penamaan desa Cemoro Gading, Padakaya,
Sedaeng, Ngadas, dan desa Cerbek. Penyebutan nama unsur alam beserta
khasiat dan fungsinya digunakan pula sebagai motif penamaan desa Tosari, desa
Purwono, dan Desa Balidono. Akhirnya, nama unsur alam, keadaannya serta
63

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

fenomena alam yang mengiringinya dijadikan dasar penyebutan nama desa


Kalitejo dan desa Argosari.
Paparan di atas selain menggambarkan pengaruh kuat alam terhadap
pembentukan bahasa manusia juga menunjukkan kedekatan manusia dengan alam.
Alam tidak sekadar menjadi pengisi lanskap imajinasi manusia, tetapi juga turut
membentuk identitas lokal, komunal, dan kultural, serta membangun historisitas
dan mitologis.
Dalam banyak ritual di Tengger, dapat dijumpai pula kekayaan bahasa
imajinatif yang menggambarkan penghadiran simbolisme alam. Alam dihadirkan
dengan konseptual yang sangat khas lokal sekaligus dimaknai melalui mekanisme
gatuk-matuk. Mekanisme ini adalah bentuk rasionalisasi mistisme Tengger,
sebagai bentuk kearifan lokal melalui konsep kebahasaan dan penalaran. Sebagai
contoh, dalam ritual Entas-entas digunakan ungkapan penamaan yang merujuk
kepada alam dan simbol-simbolnya.
Dalam praktiknya, ritual Entas-entas tediri atas sejumlah tahapan yang
dilaksanakan dalam tiga hari. Pada hari kedua terdapat ritual mbeduduk. Ritual
mbeduduk memiliki arti korban suci atau penyucian binatang. Makna dari ritual
mbeduduk adalah korban suci berupa hewan ternak, bisa berupa kambing, sapi,
atau kerbau, untuk leluhur yang dientas. Tujuan ritual mbeduduk adalah
memberitahukan kepada leluhur bahwa ada yang dipersembahkan kepada mereka
dan juga ditujukan kepada Yang Maha Kuasa.
Dalam pelaksanaanya, daun yang digunakan untuk mengikat hewan yang
akan disembelih adalah daun tlotok. Tlotok memiliki arti telu tok (hanya tiga).
Daun tersebut merupakan simbol dari ajaran agama Hindu yaitu Trimurti.
Trimurti sendiri merupakan pedoman hidup umat Hindu yang berisi anjuran untuk
berpikir yang baik, berbicara yang baik, dan berbuat yang baik. Selain makna
simbolis, penggunaan daun tlotok dirasakan lebih mudah, lentur, dan bertekstur
kuat jikadibandingkan dengan daun yang lainnya. Semakin mengering, daun
tlotok akan semakin kuat. Daun tlotok juga digunakan sebagai media pembuatan
Petra. Petra merupakan simbol arwah leluhur. Petra bagian atas (kepala) terbuat
dari daun tlotok yang memiliki makna telutok, yakni lahir, urip, mati.
Selain ritual mbeduduk, terdapat pula ritual memotong kayu dalam tahapan
awal ritual Entas-entas. Ritual memotong kayu disebut dengan negor kayu. Kayu
yang dipotong hanya khusus untuk keperluan dapur sebagai kayu bakar.
Menebang kayu untuk ritual Entas-entas tidak boleh sembarangan. Minimal satu
bulan buku atau dua bulan buku sebelum ritual dilaksanakan, kebutuhan harus
sudah dipersiapkan. Jika ritual dilaksanakan pada Jumat Pon misalnya, maka
64

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Jumat Pon sebelumnya harus sudah menyiapkan kayu. Istilahnya adalah pendak
dina untuk menebang kayu.
Salah satu ragam sesaji dalam ritual Entas-entas adalah bentung pithi.
Sesaji ini adalah simbol laki-laki dan perempuan. Pithi berisi nasi dan lauk-pauk.
Bentung pithi secara umum menyampaikan pesan simbolis bahwa bagi pemuda
yang belum bekerja dan bagi pemudi yang belum bisa mengerjakan urusan dapur,
jangan menikahterlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan pepatah Tengger, Lek e
durung weruh matenge sega, ojo rabi. Selain bentung pithi, terdapat pula gendok.
isi gendok adalah kuah yang rasanya manis, gurih, dan juga tawar. Kuah ini
adalah metafora hidup manusia yang sarat diamika: bisa manis maupun tawar.

PENGHADIRAN PSIKIS, PERLINDUNGAN KOSMIS


Seluruh penjuru ruang yang dalam mantra pamenyanan Tengger disebut
sebagai moncopat, direksa secara berlapis dan ‗birokratis‘ oleh kekuatan ruhaniah
yang tak kentara. Setidak-tidaknya, sosok gaib Danyang Banyu, Banaspati,
Tunggul Payung, dan Rojo Kabuyutan mereksa empat penjuru mata angin
wilayah Tengger. Sebagai stap ‗asisten/wakil‘, keempat sosok gaib ini
dibawahkan oleh Gusti Hyang Widi dan Kaki Nini Nyokro Buono Kaping Sewelas
sebagai ‗yang pusat‘. Penjuru mata angin adalah dimensi fisik ruang-ruang
alamiah. Maka arah/penjuru/bagian Utara, Selatan, Timur, dan Barat sebagai
hamparan ruang (teresterial) adalah representasi fisik-biologis. Sementara itu,
arah/penjuru/bagian Utara, Selatan, Timur, dan Barat sebagai konsepsi adalah
representasi pikiran.
Di antara alam dalam raganya secara fisik-biologis dan alam dalam pikiran
sebagai ruang persemayaman, terdapat alam psikologis. Alam psikologis adalah
alam yang hayati manusia sebagai imajinasi. Alam jenis ini bukan ‗nyata‘ dalam
istilah biologis atau abstrak dalam hal kognitif, tetapi berada di antara dunia fisik
dan dunia nonfisik. Danyang Banyu, Banaspati, Tungul Payung, dan Rojo
Kabuyutan adalah kehadiran psikis yang dimaksudkan. Mereka adalah roh
penguasa wilayah Tengger, bukan sekadar penguasa wilayah desa. Masing-
masing roh ini membawahkan penguasa wilayah desa. Sosok penguasa desa yang
dibawahkan adalah Danyang Banyu Desa, Danyang Kahuripan/Panguripan, dan
Danyang Prajapati/Pesetran.

Di desa semestinya ada danyang atau yang mengku desa. Yang pertama adalah
danyang banyu, danyang kahuripan/panguripan, dan danyang prajapatri/pesetran.
Danyang kahuripan yang menghidupi sehari-hari. Danyang banyu yang merawat

65

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

hidup kita sehari-hari, danyang pesetran menghantarkan arwah manusia yang


meninggal (Puja Pramana, DukunPandita, 44 th, wawancara 04 Agustus
2017)
Dalam struktur yang sederhana, danyang penguasa wilayah desa Tengger
membawahkan danyang-danyang lokal khusus. Danyang penguasa desa Tengger
dibawahkan oleh danyang penguasa wilayah Tengger dan baurekso, leluhur, atau
cikal bakal desa (keduanya setara). Danyang penguasa jagad mengatasi danyang
wilayah Tengger dan baurekso, lelehur, atau cikal bakal desa.
Danyang lokal khusus di wilayah desa Tengger disebutkan dalam sejumlah japa
mantra. Japa Ngaturen Sajen Tamping menyebukan danyang rumah, dapur,dan
jalan.
.....................................................................................................................
Hong pekulun kaki towok nini towok muah duatane pawon mahinten ngaturakon
tadah sajene tamping pawon
kaki soro soti nini soro soti muah duatane geni mahinten ngaturaken tadah sajene
tamping geni
kaki kolo kancing nini kolo kancing muah duatune lawang mahinten ngaturaken
tadah sajene tamping lawang
kaki kolo jenger nini kolo jenger muah duatane jogan mahinten ngaturaken sajene
tadah tamping jogan
kaki kolo kenjer nini kolo kenjer muah duatane dalan mahinten ngaturaken
tadah sajene tamping dalan.

(Japa Ngaturen Sajen Tamping)

Kaki-Nini Towok, danyang pawon ‗dapur‘; Kaki-Nini Soro Soti, danyang


geni ‗api‘; Kaki-Nini Kolo Kancing, danyang lawang ‗pintu‘; Kaki-Nini Kolo
Jenger, danyang jogan ‗lantai rumah‘; Kaki-Nini Kolo Kenjer, danyang dalan
‗jalan‘, merupakan danyang-danyang penjaga ruang dan bagian dalam dan sekitar
rumah. Secara tempat, danyang-danyang ini paling dekat dengan masyarakat
karena berada dalam satu ruang keluarga. Para roh halus ini terus-menerus
menjaga kelangsungan hidup sehari-hari, utamanya melindungi kepentingan dapur
dan urusan ‗perut‘. Karena menentukan kelangsungan hidup sehari-hari, danyang-
danyang ini diberi sesaji khusus yang disebut tamping. Pemberian tamping kepada
para danyang tersebut biasanya dilakukan rutin setiap bulan pada acara barian
jumat manis (legi). Selain itu, ritual-ritual personal maupun ritual komunal,
tetamping pasti disuguhkan kepada roh-roh penjaga wilayah rumah tangga tersebt
(domestik).

66

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Selain danyang khusus di wilayah keluarga atau rumah tangga, dongeng-


dongeng desa Tengger juga menyebutkan danyang khusus yang baureksa desa-
desa Tengger. Baurekso, leluhur, atau cikal bakal desa yang diyakini menjadi
danyang desa-desa Tengger di antaranya adalah Mbah Lodoyo (danyang desa
Cemoro Gading), Kek Bima (danyang desa Sapi Kerep), Mbah Rembaka Tunggul
Bayung (danyang desa Wanakitri), Mbah Rasyi (danyang desa Ngadisari), Mbah
Pani (danyang desa Ranupani), Kaki-Nini Sundari (danyang desa Argosari),
Mbah Sadek (danyang desa Ngadas), Mbah Jingkat (danyang desa Wanamerta),
Mbah Wiryosari (danyang desa Tosari), Eyang Tanggul (danyang desa
Ngadiwono), Mbah Juntak dan Nyai Juminah (danyang desa Padakaya), serta
Mbah Tejasari, Mbah Tunjung Trisno, Mbah Srintil, dan Mbah Tudheng Renjes
(danyang desa Kaliteja). Para danyang desa ini diangap memiliki kedudukan
setara dengan Kaki-Nini purwosari, Kaki-Nini Mergosari, dan Kaki-Nini
Sumbersari sebagaimana disebutkan dalam mantra pamenyanan.
Ada danyang khusus ruang keluarga dan danyang desa. Ada pula danyang
lokal pegunungan Tengger. Danyang lokal khusus yang tinggal di kawah Bromo
dan sekitarnya ini juga diyakini menjaga dan melindungi dengan kekuatan tak
kasat mata. Tempat dan wilayah persemayaman mereka yang jauh dari
pemukiman tidak lantas mengurangi rasa hormat dan segan masyarakat Tengger.
Tambah lagi, sesungguhnya tidak ada batas tegas pemisah lokalitas antara
pemukiman dan bukan pemukiman. Tengger adalah keutuhan dan pusaka
bersama, sehingga seluruh sudut pegunungan Tengger adalah wilayah milik
bersama yang harus dijaga dan dimiliki bersama-sama pula. Masyarakat Tengger
memiliki ‗jalan‘ sendiri dalam menjaga wilayah tersebut: melalui ritual. Melalui
ritual Kasada misalnya, disebut nama-nama danyang penguasa Pura Luhur Poten,
kawah Bromo, wilayah di sekitar kawah Bromo dan sekitarnya. Penyebutan nama
ini bukan sekadar sapaan, melainkan bentuk penghormatan terhadap roh-roh suci
penghuni wilayah pegunungan Bromo agar mereka melindungi kehidupan
masyarakat. Penggalan mantra Kesada Nggawa Ongkek memperlihatkan
penyebutan nama dan wilayah kekuasaannya.
..................................................................................................................
ngaturi Kaki dumeling kang wonten Munggal
ngaturi Kaki pernoto kang wonten Poten
ngaturi Kaki perniti kang wonten Mbejangan
ngaturi Sang Prabu Dewo Kusumo kang wonten kawah gunung Bromo
..................................................................................................................

67

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Raja diraja para danyang, leluhur desa, dan pepunden adalah Ki Dada
Putih atau Ki Dadap Putih. Sosok gaib ini sangat dihormati dan segani. Bahkan,
sosok hebat ini paling disegani dibandingkan dengan para danyang penguasa
wilayah pegunungan Tengger yang telah disebutkan sebelumnya. Menurut
penuturan sejumlah infroman, Ki Dada Putih lebih ‗sepuh‘ dibandingkan dengan
Dewa Kusuma dan lainnya. Hal ini diyakini berdasarkan cerita lisan yang
berkembang bahwa Ki Dada Putih adalah sosok yang menikahkan Roro Anteng
dan Jaka Seger. Catatan Antropologis yang mendalam dari Hefner (1985) juga
menuliskan bahwa Ki Dada Putih sebagai orang yang merestui pernikahan Rara
dengan Jaka Seger.

Menurut catatan Hefner (1985), Kiai Dadap Putih adalah seorang pendeta dari
sekitar kerajaan Majapahit. Pendeta ini tengah bersemedi di pegunungan
Tengger. Di tempat ini, ia bertemu dengan seorang perempuan dari majapahit
yang bernama Rara. Perempuan ini bersemedi di alas Grinting. Pada saat yang
sama, ada seorang pemuda dari desa kawasan Tengger bernama Jaka Seger
yang sedang mencari pamannya yang hilang. ketika sedang bertapa. Dalam
pertapaannya, dia bertemu Rara, jatuh cinta, dan mereka menikah atas
restu Kiai Dadap Putih.

Kesepuhan (usia maupun kesaktian) inilah yang membuat Ki Dada Putih


dihormati melebihi danyang-danyang yang lain, setidak-tidaknya penghormatan
lebih itu tampak dalam sebutan sejumlah mantera, di antaranya adalah japa
Pamenyanan, Mekakat Mepek Sega, Mekakat Persaitan Kate Mbedodok, Japane
Nurunen Pemenyanan Kate Nglukat (Ritual Entas-entas), Mekakat Nayupan Neng
Sanggar Tutupan Karo, Mekakat Mblaraki Jlongreng Soko (Ritual Karo). Dalam
setiap darasan japa, Ki Dodo Putih selalu lekat dengan gelar ratune wong sak
jagat (Raja manusia di bumi) secara aditif.

......................................................................................................................
Ki Klontong Waluh podo masang mrapat kurung mojopait mantuk dateng Ki
Dodo Putih retune wong sak jagat
.....................................................................................................................
(Mekakat Mblaraki Jlongreng Soko)

Nama Ki Dada Putih tidak hanya muncul dalam pendarasan japa mantra,
tetapi juga dalam tuturan lisan dongeng masyarakat Tengger. Dalam narasi
dongeng pun, sosok Ki dada Putih digambarkan sebagai leluhur yang bedah alas
sejumlah wilayah Tengger, contohnya dongeng desa Purwono, Podokoyo, dan
Sedaeng.
68

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

................................................................................................................................
Ki Dada Putih saat itu berjalan dari Keduwung ke arah barat, timur, selatan.
Ditemukannya pohon yang daun, batang, dan kembangnya berwarna putih.
Pepohonan tadi jika dilihat tampak pada kaya ‗tidak ada bedanya, semua sama‘
karena semua putih mulai dari daun, batang hingga bunga. Ki Dada Putih berujar,
―suatu saat tempat ini dinamakan Padakaya.
......................................................................................................................
(Padakaya)

Tidak hanya dalam dongeng-dongeng desa Tengger, Ki Dada Putih


bahkan sering disebutkan dan diulas secara khusus dalam penelitian-penelitian
masa lalu yang dilakukan pejabat kolonial dan antropolog Eropa. Adriaan Van
Ryck (1814), seorang komandan Belanda di Pasuruan, contohnya, menuliskan
tokoh utama legenda Tengger bernama Kieij Dadap Petak (Kiai Dadap Petak),
putra Sultan Banten yang tidak disebut namanya. Tokoh utama versi Adriaan Van
Ryck juga sama dengan yang dicatat Raffles, yakni Kiai Gede Dadap Putih (Kyai
Gede Dadap Putih).
Selanjutnya, J.D Van Hewerden (1844), seorang Residen Madiun,
mencatat pula bahwa pada zaman dahulu ketika Majapahit diserang Raden Patah
dan pengikutnya, penduduk yang bertempat tinggal di dataran rendah menyingkir
ke pegunungan di sekitar Malang yang disebut Tengger, dipimpin oleh Kiahie
Dadap Poetie (Kiai Dadap Putih). Sosok pemimpin panutan juga tergambar dalam
laporan J.E. Jasper, Residen dan kemudian Gubernur Yogyakarta (1926). Dalam
narasinya tentang Legenda Kasada, tokoh utama legenda ini bernama Putri
Tatiban dari Malang. Sang putri dikisahkan mengabdi kepada Kjai Gede Dadap
Poetih (Kiai Gede Dadap Putih). Laporan G.H. Von Faber, Direktur Museum
Provinsi dan Museum Kota Surabaya (1940), juga menegaskan ketokohan dan
keutamaan Kyai Dadap Putih.

PEMBAHASAN
Dalam kajiannnya terhadap Merapi dan masyarakatnya, Triyoga (2010)
menyimpulkan manifestasi kearifan ekologi dalam rangkaian sesaji dan upacara
ritual atau selamatan. Tujuan slametan masyarakat Lereng Merapi adalah
memberikan sedekah para roh leluhur dan makhluk halus penghuni Merapi.
Selamatan yang diadakan akan selalu mengingatkan eksistensi mereka dengan
lingkungan Merapi dan merupakan media komunikasi antara segenap penduduk
69

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

dengan alam adikodrati yang merupakan sumber kesehatan, kesuburan, dan


kehidupan. Tidak berbeda jauh dengan realitas yang dijelaskan Triyoga,
masyarakat Tengger juga akrab dengan pembuatan sesaji dan pelaksanaan
slametan. Bahkan, slametan yang mereka lakukan jauh lebih sering dan intensif.
Tidak kurang dari lima belas kali slametan yang mereka lakukan selama setahun,
baik slametan harian, bulan, maupun tahunan; baik hajatan personal maupun
komunal. Namun demikian, apapun jenisnya, untuk kepentingan apa, dan
kapanpun slametan dilaksanakan, kearifan ekologi termanifestasi di sana.
Sebagaimana tujuan slametan masyarakat Lereng Merapi, tujuan slametan
masyarakat Tengger juga memberikan sedekah para roh leluhur dan makhluk
halus penghuni kawasan Tengger. Keyakinan terhadap eksistensi roh leluhur
Tengger yang menjaga desa merupakan karakteristik umum keagamaan orang
desa. Suseno (1993) mengungkapkan bahwa keagamaan orang desa ditentukan
oleh kepercayaan terhadap eksistensi jiwa manusia yang sesudah kematiannya
tetap tinggal di dekat desa dan tetap memperhatikan kehidupannya. Kepercayaan
terhadap leluhur ini terkonfirmasi oleh kepercayaan umum masyarakat Jawa
bahwa sejak dahulu pulau Jawa memang dihuni oleh para lelembut. Para lelembut
ini mempunyai raja atau ratu. Dalam Suluk Dhanghyangan dijelaskan sejumlah
pemimpin dunia gaib di Pulau Jawa, misalnya Ki Jalangkah di Candi
Kahyanganira, Ki Kemandang di Wringinputih, Ki Wenangtaji di Jepara, Ki
Drusul di Banawi, Ni Daruni di Trenggalek, Ki Tlekah Ngawang-Ngawang di
Gunung Agung, Ni Rara Dhenok di Demak, Ki Tapa Ardi di Marapi, Ni Taruki di
Tanjung Bang, Ni Pandansari di Srisig, Ki Candung di Sawahan, Ki Dudukawarih
di Plabuhan, Ni Rara Aris di Bawang, Ki Padureksa di Sundara, Ki Jalela Ardi di
Sumbing, Ki Krama Ardi Merbabu, Ki Wewasi di Banjaran, Ki Kerta di
Sangkalbolongan, Ki Karangkula di Jenu, dan lain-lain (Hadisutrisno, 2009:51-
56).
Dalam konteks Tengger, penyebutan danyang penguasa jagad, danyang
wilayah Tengger, danyang desa, hingga danyang wilayah keluarga, bukan
sekadar sapaan. Lebih jauh, sebutan tersebut merupakan penghormatan terhadap
nenek moyang Tengger yang mempunyai kedudukan penting dalam kehidupan
keagamaan maupun kehidupan sosial. Sikap hormat terhadap nenek moyang ini
selain sebagai bukti ketergantungan masyarakat Jawa terhadap roh (Endraswara,
2010:81), juga menggambarkan kesatuan masyarakat Jawa dengan alam
adikodrati (Suseno, 1993).
Sifat gaib alam adikodrati menyatakan diri melalui kekuatan-kekuatan
yang tak kasat mata. Kekuatan-kekuatan tersebut dipersonifikasikan sebagai roh-
70

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

roh yang bernama dan tidak anonim, melainkan ditempatkan dalam suatu
kerangka yang dapat dimengerti. Maka, sebagaimana orang Jawa pada umumnya,
masyarakat Tengger pun mengalami dunia sebagai tempat dimana kesejahteraan
bergantung kepada apakah ia berhasil menyesuaikan diri dengan kekuatan-
kekuatan ruhaniah itu. Supaya roh-roh itu berkenan kepadanya maka pada waktu
tertentu diberikan sesajen dan diadakan slametan agar dapat menjamin diri
terhadap roh-roh itu sehingga beroleh slamet. Ritus pemulihan keadaan slamet
disebut slametan. Slametan merupakan ritual yang mengembalikan kerukunan
dalam masyarakat dan dengan alam rohani, dan yang demikian mencegah
gangguan-gangguan terhadap keselarasan kosmis (Suseno, 1993: 87-89)
Keselarasan kosmis dengan demikian adalah muara dari semua hulu ritus
adat, sikap, dan keyakinan yang dipelajari dan diyakini selama berpuluh-puluh
tahun oleh masyarakat Tengger agar dalam keselarasan optimal dengan alam raya
dan dengan roh-roh yang menghuninya. Ragam slametan beserta aneka simbol
sesaji, ragam penyebutan roh leluhur beserta ruang persemayamannya, serta
ragam penamaan danyang desa dalam narasi-narasi dongeng lokal Tengger
sejatinya adalah sebuah mekanisme pelindungan dan penjagaan kosmis.
Para penjaga gerbang kosmis tersebut adalah Kaki-Nini Towok, Kaki-Nini
Soro Soti, Kaki-Nini Kolo Kancing, Kaki-Nini Kolo Jenger, Kaki-Nini Kolo
Kenjer, (pereksa rumah tangga); Mbah Lodoyo, Kek Bima, Mbah Rembaka
Tunggul Bayung, Mbah Rasyi, Mbah Pani, Kaki-Nini Sundari, Mbah Sadek,
Mbah Jingkat, Mbah Wiryosari, Eyang Tanggul, Mbah Juntak dan Nyai Juminah,
serta Mbah Tejasari, Mbah Tunjung Trisno, Mbah Srintil, dan Mbah Tudheng
Renjes, Danyang Banyu, Banaspati, Tungul Payung, Rojo Kabuyutan (pereksa
desa); Ki Dumeling, Ki Pernoto, Ni Perniti, Dewo Kusumo (Pereksa Pegunungan
Tengger) ; Kaki-Nini Nyokro Buono dan Ki Dada Pituh (pereksa semsta). Jika
imajinasi kehadiran ini dikonkretkan maka seluruh wilayah Tengger dikelilingi
dan dilingkupi oleh roh pelindung dan pengayomnya, tidak ada sejengkal tanah
pun yang luput dari penguasan danyang-danyang yang disakralkan tersebut.
Penyakralan kehadiran psikis berwujud roh-roh baureksa dalam bingkai
sistem ritus Tenger adalah kunci konservasi alam Tengger. Kesakaralan para
danyang menyebar tidak hanya di tempat ia berada, tetapi juga pada daerah-
daerah di sekitarnya, kepada binatang yang hidup dan tetumbuhan yang tumbuh
di situ (Durkheim, 2001: 460). Alam Tengger yang hadir secara ‗psikologis‘
dalam wujud dayang-danyang suci terletak di antara ‗alam biologis‘ (hamparan
pegunungan, tanah, langit, satwa, dan tetumbuhan) dan ‗alam pikiran‘. Alam
psikis dialami manusia sebagai imajinasi. Alam ‗psikis‘ Tengger tidak berada
71

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

dalam alam ‗skala‘ dan tidak juga berada di alam ‗nirskala‘. Kemunculan alam
jenis ini biasanya dalam bentuk roh.
Dalam pandangan etika lingkungan, kesadaran masyarakat tentang nilai
intrinsik alam melatarbelakangi penghormatan terhadap alam sebagai bagian dari
ekologi. Pengakuan terhadap nilai intrinsik alam berarti pengakuan terhadap nilai
yang melekat pada alam yang membuatnya mempunyai hak untuk dihormati.
Alam berhak dihormati, bukan saja karena kehidupan manusia bergantung kepada
alam, melainkan pertama-tama karena kenyataan ontologis bahwa manusia
adalah bagian utuh alam. Atas dasar itu, manusia merupakan warga komunitas
ekologis. Integrasi antara manusia dan alam dalam komunitas ekologis adalah
sebuah kenyataan yang menjelaskan adanya keterkaitan, keterikatan, dan
ketakterpisahan relasi antara manusia dengan alam. Dalam pandangan dunia Jawa,
realitas dipandang sebagai satu kesatuan holistik. Realitas tidak dipandang
sebagai sesuatu yang terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu sama lain. Pada
hakikatnya, sebagaimana orang Jawa pada umumnya, orang Tengger melihat
interaksi-interaksi sosial sekaligus merupakan sikap terhadap alam, sebagaimana
juga sikap terhadap alam mempunyai relevansi sosial (Suseno, 1993:82). Lebih
lanjut, dalam kerangka pandangan Timur yang kosmosentris-spiritual, manusia
dan alam merupakan kesatuan dalam keselarasan (Saryono, 2008: 196).

PENUTUP
Gelaran ritual Tengger tegasnya adalah ekspresi pemahaman ‗ngerti‘
orang Tengger terhadap kehadiran kekuatan supranatural yang tidak hanya
berpengaruh besar terhadap kehidupan sosial tetapi juga berdampak konservatif
terhadap alam. Tidak ada ruang yang alpa penjagaan karena danyang, pepunden,
atau baureksa hadir dalam setiap jengkal tanah wilayah Tengger. Ruang dan
segala bentuk hamparan di dataran tinggi Tengger dipenuhi oleh para penghuni
gaib yang memantau sepanjang waktu tempat-tempat. Maka tidak ada pula ruang
bagi tindakan-tindakan yang merusak atau merugikan alam. Jika harus
berhubungan atau bersingungan dengan alam, mekanisme ritul dan sesaji khusus
dapat menjaga, memelihara, hingga memulihkan keharmonisan hubungan.
Masyarakat Tengger akan menjalani kehidupan dengan aman dan damai
sepanjang mampu menjaga hubungan baik dengan sosok-sosok gaib leluhur,
bedah krawang, dan para danyang.
Alam ‗biologis‘ Tengger menjadi rujukan penting estetika bahasa. Melalui
perujukan ini, alam ‗konseptual‘ Tengger dihadirkan dalam ungkapan yang sangat
beraneka dan kaya makna oleh masyarakat penghuninya. Alam ‗psikis‘ Tengger
72

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

juga memiliki kedudukan penting dalam kehidupan keagamaan, kehidupan sosial,


maupun keberlanjutan ekosistem. Ketiga hal ini adalah aspek tidak terpisakan
dalam membangun keselarasan kosmis. Keselarasan kosmis adalah muara dari
semua jejaring ragam hulu: nilai, sikap, keyakinan, ritus adat, kebiasaan sehari-
hari, pekerjaan di ladang hingga di dapur.
Penyakralan kehadiran psikis berwujud roh-roh baureksa dalam bingkai
sistem ritus Tenger adalah kunci konservasi alam Tengger. Sementara itu, ragam
slametan beserta aneka simbol sesaji, ragam penyebutan roh leluhur beserta ruang
persemayamannya, serta ragam penamaan danyang desa dalam narasi-narasi
dongeng lokal Tengger sejatinya adalah sebuah mekanisme kultural konservasi
alam, perlindungan kosmis.

DAFTAR PUSTAKA

Baudrillard, Jean. 1994.Simulacra and Simulation. Michigan: The University of


Michigan Press.
Bleakley, Alan. 2000. The Animalizing Imagination: Totemism,
Textuality and Ecocriticism. London: MCMILLAN PRESS LTD.
Durkheim, Emile. 2001. The Elementary Form of The Religious Life: Sejarah
Bentuk-bentuk Agama yang Paling Dasar.Terjemahan Inyiak Ridwan
Muzir dan M. Syukri. Jogjakarta: IRCiSoD.
Hadisutrisno, Budiono. 2009. Islam Kejawen. Yogjakarya: Eule Book.
Hefner, Robert W. 1985. Hindu Javanse: Tengger Tradition and Islam. New
Jersey: Princeton University Press
Lacan, J. 1979. The Four Fundamental Consepts of Psycho-Analysis. Harmonds
worth: Penguin.
Saryono, Djoko. 2008. Etika Jawa dalam Fiksi Indonesia: Representasi Nilai-
Nilai Etis Jawa. Malang: Pustaka Kayutangan.
Spradley, James P.1980. Participant Observation. USA: Holt, Rinehart and
Winston.
Sukmawan, Sony. 2017. Kearifan Ekologi dalam Sastra Lisan Tengger dan
Pemanfaatannya Sebagai Sarana Mitigasi Bencana. Laporan Penelitian
DPP/SPP 2017.
Suseno, Franz Magnis. 1993. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Triyoga, Lucas Sasongko. 2010. Merapi dan Orang Jawa: Persepsi dan
Kepercayaannya. Jakarta: Grasindo.

73

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

CERITA RAKYAT ETNIK BURU

(Kajian Strukturalisme Lévi-Strauss)

Everhard Markiano Solissa

Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

FKIP Universitas Pattimura Ambon

ABSTRACT

Buru etnic folk tales are cultural product which reflect cultural messages
related to people in Buru as individuals, social relationship, systems of beliefs,
and to the community norms in Buru. Essentially, the Buru folk tale is one form
of oral literature signifying substantial and functional meaning handed down from
generation to generation in a unique and specific way. The research aims at
describing Buru folk tales, with regard specifically to structure of folk tale. The
research is qualitative in nature making use of Lévi-Strauss‘s structural theory as
paradigm of analysis. The data obtained are in the form texts of folk tales,
statements of informen, and fact in the field. The sources of the data are as
follows: 3 informants − people of South Buru believed to be the owners of the
folk tales. The techniques of data collection include observation technique,
interview, and recording. The researcher function as the key instrument guided, of
course, by a set of guidelines for data collection. The data analysis is executed in
the frame of spiral model proposed by Creswell, and schematization model
introduced by Lévi-Strauss. The research findings show that all the stucture of the
tales presents geographic stucture in relation to the patterns of hunting and places
the people reside. The sosiological structure reflects the relationship between
people of Buru and their community. The techno-economic structure indicate how
the Buru people earn their living dan their expectations of the future. While the
cosmological structure exposes how the Buru people look at death and the real
world. All the four stuctures are related to and complemented each other with

74

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

regard to preserving the existence of the people of Buru and the cosmology of
Fuka Bupolo.

Keywords: Buru folk Tale, stucture of folk tale, philosophy of lyfe.

ABSTRAK

Cerita rakyat Etnik Buru merupakan produk budaya yang menyatakan sejumlah
pesan budaya yang berkaitan dengan manusia Buru sebagai pribadi, relasi sosial,
sistem kepercayaan, dan norma-norma komunitas Buru. Secara substantif, cerita
rakyat Buru adalah salah satu bentuk sastra lisan yang memiliki makna yang
hakiki dan fungsional sehingga diwariskan dengan cara yang unik dan spesifik.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mendeskripsikan struktur cerita rakyat
Buru. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan menggunakan teori
struktural Lévi-Strauss sebagai pisau analisisnya. Data penelitian berwujud teks
cerita rakyat, pernyataan informan, dan fakta di lapangan. Data tersebut diperoleh
dari 3 informan yakni masyarakat pemilik cerita rakyat di Buru Selatan. Kegiatan
pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara, dan rekaman.
Analisis data dilakukan dengan model spiral yang dikemukakan oleh Cresswel,
dan model skematisasi yang diperkenalkan oleh C.Lévi-Strauss. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa cerita rakyat Buru menampilkan struktur geografis yang
berkaitan dengan pola perburuan dan tempat tinggal orang Buru; struktur
sosiologis yang mengedepankan hubungan manusia Buru dalam komunitasnya;
struktur tekno-economi yang menggambarkan mata pencaharian dan pandangan
orang Buru tentang masa depan; dan struktur kosmologi yang merefleksikan
pandangan orang Buru tentang dunia kematian dan dunia nyata. Keempat struktur
ini berkaitan erat dan saling mengisi satu sama lain dalam rangka pemertahanan
eksistensi orang Buru dan kosmologi Fuka Bupolo.

Kata Kunci: Cerita rakyat, struktur cerita, pandangan hidup.

PENDAHULUAN

75

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Pulau Buru adalah salah satu pulau besar di provinsi Maluku dengan luas
12.655km2. Pada era Orde Baru pulau ini dijadikan sebagai tempat pembuangan
tahanan politik, termasuk sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Sebelum menjadi
kabupaten, Pulau Buru adalah bagian dari Kabupaten Maluku Tengah. Namun,
seiring bergulirnya era otonomisasi, Pulau Buru telah menjadi dua kabupaten
yaitu Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan.

Salah satu produk budaya masyarakat Buru adalah cerita rakyat. Cerita
rakyat dalam bahasa Buru disebut endohin sehingga ketika sebuah cerita
dikisahkan atau diceritakan kembali disebut ba dohi. Endohin ini pada umumnya
diceritakan pada waktu malam hari ketika semua anggota keluarga berkumpul di
sekitar wango-wango (perapian yang dibuat dekat tempat tidur), baik di kampung
maupun ketika berada di hutan. Yang bertindak sebagai pencerita adalah orang tua
(ayah, ibu, nenek atau kakek).

Cerita rakyat sebagai bagian dari sastra lisan dapat diimplemantasikan ke


dalam bentuk perilaku suatu kolektif. Dalam konsep Eliade (1991: 79), perilaku
tokoh tertentu dalam cerita rakyat merupakan arketipe bagi perilaku masyarakat
pemiliknya. Singkatnya, cerita rakyat memiliki daya untuk menggerakkan
masyarakat dalam berpikir dan bertindak. Misalnya, masyarakat Yogyakarta
selalu melakukan Upacara Larung di setiap bulan Sura untuk menghormati Ratu
Pantai Selatan. Hal ini didasarkan pada cerita Nyi Roro Kidul.

Entitas cerita rakyat dalam masyarakat desa dan representasi maknanya ke


dalam tindakan masyarakat menunjukkan bahwa cerita rakyat selalu diwariskan.
Pewarisan itu dapat bersifat vertikal dan horizontal (Sudikan, 2001: 22).
Pewarisan itu dapat berjalan dari generasi ke generasi karena cerita-cerita itu
dipercaya ada dan berpengaruh terhadap dunia dan nasib manusia.

Hal ini sejalan dengan pendapat Danandjaja (2002: 2) bahwa folklor


adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang disebarkan dan diwariskan
turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi
yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak
isyarat atau alat pembantu pengingat.

Folklor di Indonesia, khususnya di daerah-daerah pelosok mempunyai


peranan dalam masyarakat baik sebagai cerita yang dituturkan kepada anak-anak,
sebagai citraan kearifan lokal (local genius), ataupun sebagai cerminan
masyarakat lokal. Nilai dan norma yang terdapat dalam folklor merupakan
76

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

cerminan dari nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat pemilik folklor itu
sehingga sastra dan tata nilai dapat diibaratkan sebagi dua sisi mata uang yang
saling melengkapi.

Untuk memahami pandangan hidup suatu masyarakat diperlukan


pemahaman yang mendalam, memadai, dan menyeluruh terhadap nilai-nilai
budaya yang ada di masyarakat tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan
untuk tujuan itu adalah menelaah secara cermat dan mendalam produk budaya
masyarakat tersebut, salah satunya adalah cerita rakyat. Cerita rakyat sebagai
bagian dari sastra lisan pada hakikatnya dipandang sebagai sistem lambang
budaya dari suatu masyarakat. Selain itu, ia juga merupakan fakta mentalitas,
fakta kesadaran kolektif budaya, dan fakta sosial dari masyarakat yang
menghasilkannya (Rosyadi, 1995: 23). Dengan demikian, cerita rakyat Etnik Buru
merupakan bentuk sastra lisan yang merepresentasikan dan memanifestasikan
sejumlah pesan budaya yang berkaitan dengan identitas diri, dan pandangan hidup
masyarakat setempat.

Cerita-cerita tersebut memiliki struktur dan mengandung makna yang


cukup potensial sehingga pemahamannya memerlukan kertelibatan aktif peneliti
dengan berbagai cara. Salah satu cara yang tepat ialah dengan mencari strukur dan
menemukan makna cerita rakyat dalam konteks masyarakat pemiliknya serta
menjadikan cerita rakyat sebagai paradigma untuk memahami pandangan hidup
Etnik Buru. Atas dasar itu, strukturalisme Lévi-Strauss dianggap sebagai
perspektif ancangan yang cocok bagi kebutuhan kajian cerita rakyat Etnik Buru.

Melalui kajian strukturalnya, Lévi-Strauss berusaha memahami nalar atau


pikiran bawah sadar manusia dalam menjalani hidup. Sedangkan media yang
digunakan untuk memahami nalar tersebut yaitu mitos yang diyakini
kebenarannya. Struktur bawah sadar ini dapat menghadirkan berbagai fenomena
budaya. Sistem kekerabatan misalnya, merupakan hasil nalar untuk menjalani
kehidupan.

Mitos sebagai sebuah seni, menurut pemikiran Lévi-Strauss (2005: 277)


bersifat dialektikal. Ke-dialektikal-an itu melahirkan oposisi biner (binary
opposition), misalnya atas-bawah, kiri-kanan, kaya-miskin, langit-bumi, dan air-
api. Oposisi biner tersebut melahirkan suatu keharmonisan. Keharmonisan itu
tampak pada pola pikir masyarakat pemilik mitos tersebut. Dengan demikian, ada
hubungan homologis antara mitos dan konteks sosial-budaya masyarakat.

77

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Hubungan homologis antara mitos dan konteks sosial-budaya merupakan


mediasi dari masyarakat untuk mengatasi konflik (Barnauw, 1682: 254).
Masyarakat mencari jalan yang solutif untuk mengatasi konflik yang terdapat
pada keadaan sosial-budaya mereka dengan cara menyalurkannya pada cerita.
Penyaluran tersebut dilakukan dalam ketidaksadaran antropologis. Karena itu,
mediasi yang dilakukan terkadang tidak disadari.

Dalam analisisnya terhadap ―Asdiwal‖, Lévi-Strauss membedakan empat


tataran yang di dalamnya terdapat oposisi, yaitu (1) tataran geografis, (2) tataran
tekno-ekonomi, (3) tataran sosiologis, (4) tataran kosmologis. Empat tataran inilah
yang terdapat dalam sebuah cerita sehingga oleh Lévi-Strauss disebut struktur
cerita.

Pertama, adalah struktur geografis yang menunjukkan arah perjalanan


Asdiwal (Lévi-Strauss dalam Ahimsa-Putra, 2001: 127). Skema yang dibuat
bersifat umum. Dengan kata lain, skema ini menunjukkan pola perjalanan
masyarakat dalam kisah ―Asdiwal‖.

Kedua, struktur tekno-ekonomi. Struktur tekno-ekonomi berkaitan dengan


mata pencaharian. Dalam uraiannya, Lévi-Strauss menunjukkan struktur
ekonomis tokoh Asdiwal mencari ikan lilin (candle fish) yang kemudian mencari
ikan salmon. Hal itu disebabkan adanya perubahan musim dan kelaparan yang
menimpanya (Lévi-Strauss dalam Ahimsa-Putra, 2001: 119-120). Untuk
menemukan struktur ekonomis tersebut, Lévi-Strauss memperhatikan unsur mitos
yang menceritakan pengalaman tokoh, yakni pada kegiatan ekonomi mereka
(Ahimsa-Putra, 2001: 131). Dalam struktur tekno-ekonomi terdapat hubungan
oposisi seperti yaitu lapar-kenyang, gagal - sukses. Melalui oposisi biner
keharmonisan alamiah terwujud. Dalam struktur tekno -ekonomi terbuka pula
oposisi biner pada struktur lain, misalnya petani dan peternak.

Ketiga, struktur sosiologis. Struktur sosiologis berkaitan dengan masalah


kemasyarakatan. Dengan demikian, wujudnya adalah organisasi masyarakat. Di
samping berkaitan dengan organisasi masyarakat, struktur sosiologis berhubungan
dengan status sosial tokoh (Lévi-Strauss dalam Ahimsa-Putra, 2001: 130). Status
sosial tokoh tersebut tampak pada hubungan ayah-anak-ibu atau dengan orang
lain.

Keempat, Struktur kosmologi. Kosmologi pada hakikatnya berkaitan


dengan asal-usul, struktur, dan hubungan ruang dan waktu dalam alam semesta
78

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

(Alwi, dkk., 2001: 597). Lévi-Strauss mengaitkan struktur kosmoslogi dengan


dunia gaib. Hal itu tampak pada kajiannya terhadap ―Asdiwal‖ yang tokoh
utamanya melakukan perjalanan ke dunia gaib, dunia makhluk bukan manusia,
yang memperlihatkan oposisi atas-bawah (Ahimsa-Putra, 2001: 127).

Penelitian ini termasuk jenis penelitian etnografi. Hal ini sesuai dengan
kajian yang bersifat holistik-emik terhadap cerita rakyat Etnik Buru. Harris
(Creswell, 2014: 125) mengatakan bahwa etnografi adalah deskripsi dan
interpretasi tentang kelompok masyarakat tertentu baik bahasa, budaya, maupun
sistem dan pola yang dianut.
Baik paparan data, cara penjelasan data, maupun pemahaman cerita rakyat
Etnik Buru dilakukan secara mendalam. Kajian cerita rakyat Etnik Buru dengan
teori struktural Lévi-Strauss ini berupaya memberikan gambaran yang
menyeluruh tentang bagaimana cerita rakyat mampu mengemas dan melegitimasi
pandangan hidup Orang Buru.
Objek penelitian ini adalah cerita rakyat Etnik Buru yang meliputi mite,
dan legenda. Pada umumnya cerita-cerita itu dikuasai oleh orang-orang tua.
Penulis tidak sulit untuk memahami apa yang mereka sampaikan karena penulis
dapat berbahasa Buru. Selain orang-orang tua, anak-anak dan remaja pun banyak
yang mengetahui cerita-cerita tadi karena hampir setiap malam orang-orang tua
menceritakannya kepada mereka.
Data yang telah dikumpul dianalisis dengan menggunakan model
skematisasi sebagaimana yang dilakukan oleh Lévi-Strauss dalam menganalisis
mitos Asdiwal. Selain itu digunakan juga model spiral yang diperkenalkan oleh
Cresswel (2014: 254).

PEMBAHASAN

1. Struktur Geografis

Struktur geografis ditemukan dalam cerita Tit Favu yang berkaitan dengan
pola perburuan Orang Buru. Dalam cerita ini perburuan dilakukan oleh tiga orang
dari tiga marga yang berbeda yaitu Waeturen, Waekibo, dan Gebfua. Tempat
tinggal mereka di Buru Utara. Mereka bertiga mengejar seekor babi hutan yang

79

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

sebelumnya dibiarkan hidup di tengah kebun mereka. Setelah memakan habis


singkong, babi hutan itu pun pergi. Dari sinilah awal perburuan itu. Waeturen,
Waekibo, dan Gebfua mencari babi itu siang dan malam sampai mereka tidak
sadar bahwa mereka telah berhari-hari di hutan. Babi hutan itu akhirnya berhasil
dibunuh di Sungai Waemala yang berada di Buru Selatan. Tetapi babi itu
kemudian berubah menjadi batu. Ketiga orang ini pun memutuskan untuk
menetap di situ dan masing-masing memilih tempat tinggal sesuai keinginannya.
Lama-kelamaan tempat tinggal mereka menjadi tiga kampung besar di Buru
Selatan, yaitu Waeturen, Ewiri dan Waemala. Dengan demikian, secara visual
struktur cerita ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Buru Utara Buru Selatan

(daerah asal) (daerah baru)

Gambar 1 Struktur Geografis Cerita Tit Fav

Buru Utara adalah tempat asal para pemburu sedangkan Buru Selatan
tempat pemukiman baru mereka. Bagi Orang Buru jarak yang jauh bukanlah
halangan dalam beraktivitas seperti berkebun atau berburu. Dalam cerita ini,
aktivitas yang dilakukan adalah berburu. Karena jarak yang sangat jauh ketiga
orang tersebut tidak mungkin kembali ke utara sehingga mereka memutuskan
untuk menetap di selatan.

Skema di atas juga menggambarkan pola migrasi Orang Buru baik dari
utara ke selatan maupun sebaliknya. Setiap daerah baru yang belum berpenghuni
menjadi incaran setiap orang. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan Orang Buru
dalam bercocok tanam dengan pola pertanian yang berpindah-pindah. Ketika
daerah pertama telah digunakan beberapa kali mereka harus mencari daerah lain.
Begitu seterusnya. Dengan demikian, pola pergerakan mereka semakin hari
semakin jauh dari tempat semula. Pergerakan itu tentunya memakan waktu yang
lama. Lama kelamaan keturunan mereka semakin banyak. Ketika hal itu terjadi,
maka mereka bergerak dalam kelompok yang besar. Dari kelompok yang besar
inilah terbentuklah sebuah kampung.

Daerah bekas kebun disebut a ong sedangkan daerah baru berupa hutan
yang masih lebat disebut ewang. Jadi, a ong adalah daerah bekas ewang. A ong
yang telah ditinggalkan tetap berada dalam pengawasan pemiliknya. Orang lain
80

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

yang akan menggunakannya harus mendapat izin dari pemiliknya. Hal ini
berkaitan dengan pandangan Orang Buru bahwa tanah dan hutan bukan daerah tak
bertuan tetapi telah diatur kepemilikannya secara adat. Siapa yang pertama kali
membuka hutan, dialah pemiliknya. Namun demikian, ada pula hutan yang
dijadikan milik bersama atau milik kampung.

Sampai saat ini Orang Buru membuka kebun atau dusun yang jaraknya
puluhan kilometer dari kampung. Begitu pun dengan daerah perburuan. Lama
kelamaan, mereka tidak kembali lagi ke kampung dan menetap di dusun, kebun,
atau daerah perburuan itu tersebut sehingga terbentuklah sebuah kampung baru.
Hal inilah yang dilakukan oleh tiga tokoh utama dalam cerita ini sehingga sampai
saat ini marga Tasane, Selsili dan Hukunala yang adalah keturunan dari Waeturen,
Waekibo dan Gebfua dikenal sebagai marga asli di Buru Selatan. Mereka diakui
dan memiliki hak yang sama dengan orang asli Buru Selatan. Bahkan ketiga
marga ini dikenal sebagai pemimpin di desa Waeturen, Ewiri dan Waemala.

2. Struktur Tekno-Ekonomi

Struktur tekno-ekonomi berkaitan dengan mata pencaharian masyarakat


dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam banyak cerita rakyat sering
dijumpai tokoh cerita dengan mata pencaharian sebagai petani, nelayan, atau
pedagang. Hal ini disebabkan karena cerita rakyat lebih banyak berlatar kehidupan
di desa. Sudah tentu masyarakatnya didominasi oleh petani dan nelayan. Dalam
struktur tekno-ekonomi dapat diketahui pandangan dan sikap seseorang terhadap
pekerjaannya.

Struktur tekno-ekonomi ditemukan dalam cerita Tit Favu yang


menceritakan perburuan yang dilakukan oleh Waeturen, Waekibo, dan Gebfua
dari Buru Utara sampai ke Buru Selatan. Struktur tekno-ekonominya dapat
digambarkan sebagai berikut.

Berkebun
menanam
singkong

berburu babi hutan


Berburu
81

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Gambar 2 Struktur Tekno – Ekonomi Cerita Tit Favu

Skema di atas memperlihatkan kehidupan perekonomian Orang Buru yang


difokuskan pada bertani/berkebun dan berburu. Orang Buru tidak bisa
meninggalkan kebiasaan berkebun atau bertani karena dari hasil kebunlah mereka
bisa makan dan menyekolahkan anak-anak. Hal ini berkaitan dengan pandangan
mereka tentang tanah sebagai ―ibu‖ yang memberikan air susu bagi anak-anaknya.
Orang Buru tidak bisa dipisahkan dari tanah sebagai domain penting dalam sistem
perekonomian mereka. Tanah diolah sedemikian rupa sehingga dapat memberikan
hasil bagi kebutuhan hidup sehari-hari. Orang Buru mengenal empat tahap dalam
berkebun yaitu membuka lahan, membersihkan lahan, menanam, memanen. Dari
empat tahap ini, tahap membuka dan membersihkan lahan dilakukan oleh kaum
lelaki sedangkan tahap menanam dan memanen dilakukan oleh kaum perempuan.
Kedekatan Orang Buru dengan tanah mereka berimplikasi terhadap sistem
kepemilikan tanah. Orang Buru tidak mengenal jual beli tanah karena menjual
tanah sama dengan menjual hidup mereka. Tanah hanya dipinjamkan untuk
digunakan dalam jangka waktu tertentu.

Di sisi lain, berburu tak kalah penting artinya bagi Orang Buru. Kalau
berkebun dilakukan secara bersama-sama antara laki-laki dan perempuan, maka
berburu hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Berburu adalah bagian dari aktivitas
seorang laki-laki Buru yang telah dewasa. Berbeda dengan hasil kebun yang dapat
dibarter dengan barang lain, hasil buruan tidak pernah dijual tetapi dikonsumsi
baik secara individu maupun secara kelompok. Hasil buruan seperti babi hutan
dan rusa sekalipun adalah hasil usaha perorangan tetap dibagi kepada kerabat
dekat, anak yatim, dan janda. Selebihnya untuk dikonsumsi sendiri.

Perburuan dapat dilakukan oleh perorangan maupun secara bersama-sama.


Jika dilakukan oleh perorangan hanya berlangsung sekitar dua hari. Kalau
dilakukan dalam kelompok dapat mencapai satu minggu atau lebih. Dalam cerita
82

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Tit Favu, perburuan dilakukan berhari-hari sehingga para pemburu tiba di Buru
Selatan. Hal ini menyiratkan bahwa ketika sebuah pekerjaan belum ada hasilnya
Orang Buru tidak akan berhenti atau mundur dari pekerjaan itu. Apalagi jika hal
itu berkaitan dengan urusan mencari nafkah. Seorang laki-laki Buru yang telah
dewasa tanggungjawab dalam mencari nafkah bagi keluarganya. Lebih baik ia
tidak kembali daripada pulang dengan tangan hampa. Setiap laki-laki Buru akan
menjaga ―pamor‖ baik dalam keluarga maupun dalam kelompoknya sebagai
pelindung dan pencari nafkah. Kadang- kadang berburu dijadikan ajang untuk
menunjukkan kebolehan seorang laki-laki.

3. Struktur Sosiologis

Struktur sosiologis berkaitan dengan masalah kemasyarakatan. Kendati


demikian, menurut Lévi-Strauss (dalam Ahimsa-Putra, 2001: 130) struktur
sosiologis juga berhubungan dengan status sosial tokoh. Status sosial tokoh
tersebut tampak pada hubungan ayah-anak-ibu atau dengan orang lain.

Struktur sosiologis ditemukan dalam cerita Puan tu Fedat. Struktur


sosiologis dalam cerita ini berkaitan dengan status sosial tokoh, seperti hubungan
ayah - ibu, orang tua - anak, kakak - adik atau dengan orang lain. Dalam cerita
Puan tu Fedat diketahui bahwa tokoh utama cerita ini adalah dua orang kakak -
adik yang saling menyayangi. Sang kakak, Fedat, walaupun telah berada dunia
lain (dunia kematian) karena begitu sayang kepada adiknya harus kembali ke
dunia nyata untuk mengambil adiknya. Kasih sayang seorang kakak telah
menghubungkan dunia kematian dan dunia nyata sehingga Puan bisa hidup di
Harate yang jelas-jelas bukan tempat tinggal manusia. Hubungan ini
memperlihatkan sebuah oposisi yang secara visual dapat dilihat pada skema
berikut.
kakak adik

Gambar 3 Struktur Sosiologis Cerita Puan tu Fedat

Dalam kehidupan Orang Buru hubungan kakak – adik dikenal dengan


istilah kai – wait. Bagi Orang Buru, seorang anak atau adik perempuan adalah
permata sehingga ia mendapat perhatian yang lebih dari semua anggota keluarga.
83

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Sekalipun telah menikah, seorang adik perempuan tetap mendapat bagian dari
dusun milik keluarga. Begitu pula dengan seorang kakak. Dalam pandangan
Orang Buru seorang kai adalah pengambil keputusan, pengatur dalam hal
pembagian warisan orang tua, bertanggungjawab terhadap perkawinan adik-
adiknya. Tugas ini membuat seorang kai dihargai dalam keluarga bahkan sampai
ke tingkat mata rumah (marga). Karena itu, hubungan kai-wait bukan merupakan
hubungan vertikal yang membedakan kedudukan kakak dan adik dalam hubungan
atas-bawah tetapi merupakan hubungan horisontal yang menggambarkan betapa
eratnya tali persaudaraan sehingga digambarkan sebagai hubungan kiri-kanan

Hubungan kai – wait ini terus dipelihara dan dijaga sampai saat ini. Hal ini
telah menjadi pola hidup Orang Buru dalam tataran yang lebih luas. Jika di
Maluku Tengah atau di Kota Ambon dikenal istilah pela dan gandong, yaitu
hubungan persaudaraan antar kampung (desa) tanpa melihat perbedaan agama
atau status sosial lain, maka hubungan kai - wait bagi Orang Buru terdiri atas
empat tataran, yaitu (1) hubungan kai - wait dalam keluarga, (2) hubungan kai -
wait dalam mata rumah (marga), (3) hubungan kai - wait antar marga, (4)
hubungan kai - wait antar agama dan kampung.

Dalam mata rumah Mual, misalnya ada empat marga yakni Mual
Nohapun, Mual Arlale, Mual Nekerahi, dan Mual Natabotit. Dari susunan ini
dapat diketahui bahwa marga Mual Nohapun adalah kai bagi marga Mual lainnya.
Dalam hal sapaan, orang-orang dari marga Mual Natabotit selalu menyapa
saudara-saudaranya dari marga Mual lain sebagai kai, sekalipun dari segi usia
orang-orang dari marga Mual Natabotit lebih tua. Hubungan semacam ini
menciptakan sebuah keharmonisan dalam hubungan kekerabatan.

Hubungan antar marga dapat dilihat dari hubungan antara marga Masbait
dengan marga Mual. Kedua marga ini diakui sebagai kai-wait. Marga Masbait
adalah kai, sedangkan marga Mual adalah wait. Dari sisi agama, warga Mual
yang berada di Negeri Lima (pulau Ambon) yang beragama Muslim dikenal
sebagai wait dari warga Mual yang berada di Pulau Buru (Beragama Kristen).
Untuk memperkuat hubungan ini setiap tahun diadakan pertemuan keluarga Mual
di Pulau Buru. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa hubungan itu bukan sebatas
marga atau agama, tetapi juga adalah hubungan antar kampung atau desa.

84

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Dari uraian ini dapat diketahui makna kai – wait dalam kehidupan Orang
Buru. Hubungan itu bukan lagi sebatas kakak – adik dalam sebuah keluarga tetapi
telah menjangkau dan menembus batas-batas wilayah dan agama.

Struktur sosiologis ditemukan pula dalam cerita Gebabohot yang secara


visual digambarkan sebagai berikut.

suami-istri istri tinggal suami-istri


di hutan
tinggal di tinggal di
kampung, kampung,

(bertengkar) (berdamai)

tempat daerah tempat


tinggal netral tinggal

patrilokal patrilokal

Gambar 4 Struktur Sosiologis Cerita Gebabohot

85

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Skema ini memperlihatkan perjalanan seorang wanita dari kampung


menuju hutan dan akhirnya kembali ke kampung. Ia lari ke hutan karena
bertengkar dengan suaminya. Kampung adalah tempat tinggal wanita itu
sedangkan hutan adalah tempat tinggal Gebabohot. Wanita ini memilih pergi ke
hutan sebagai sebagai daerah netral untuk menghindari konflik yang lebih besar
dalam rumah tangganya. Sebagai istri yang baik, ia menjaga keutuhan rumah
tangganya. Jika ia kembali ke rumah orang tua atau ke rumah saudaranya sudah
tentu masalahnya akan semakin rumit bahkan akan menimbulkan konflik antar
keluarga. Dalam kehidupan Orang Buru hal itu menjadi pantangan karena akan
menjatuhkan nama baik keluarga.

Di tengah hutan ia bertemu dengan Gebabohot. Sebenarnya Gebabohot


adalah orang yang tidak suka berbaur dengan masyarakat sehingga ia selalu
menghindar jika bertemu dengan orang lain. Namun, ketika bertemu dengan
wanita ini ia memperlihatkan belas kasihnya. Wanita tersebut tinggal dengan
Gebabohot sampai ia melahirkan anaknya. Di sini dapat dilihat bahwa hutan
adalah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan Orang Buru. Selain
dijadikan tempat berburu dan berkebun, hutan juga dijadikan sebagai tempat
mengasingkan diri ketika seseorang mengalami permasalahan hidup. Orang Buru
tidak pernah melampiaskan kekesalan pada hal-hal yang merugikan diri sendiri
tetapi pada hal-hal yang positif. ―Pelarian‖ yang dilakukan oleh wanita itu adalah
suatu bentuk protes terhadap suaminya tetapi pelarian itu tidak merugikan dirinya
sendiri bahkan tidak memosisikan rumah tangganya pada dilema yang
berkepanjangan.

Pelarian seperti ini masih dijumpai dalam kehidupan Orang Buru sampai
saat ini. Seorang istri atau suami yang merasa tersinggung ketika ada masalah
dalam rumah tangganya selalu memilih pergi ke hutan atau kebun dan tinggal
beberapa hari di sana. Ketika berada di hutan atau kebun, seorang wanita tidak
duduk diam tetapi melakukan aktivitas seperti membersihkan kebun, menyalakan
api untuk mengusir babi hutan, menanam singkong, dan lain-lain. Sedangkan bagi
seorang suami, selain pameri (membersihkan dusun atau kebun) ia juga
memeriksa sot dan suran yang dipasang untuk menjerat kus-kus, babi hutan, dan
rusa. Setelah beberapa hari barulah ia pulang ke rumah dengan harapan emosi
suami atau istrinya telah reda. Namun, biasanya sang suami akan menjemput
istrinya di kebun atau sebaliknya jika suami yang berada di kebun, istrilah yang
ke kebun menemui suaminya. Di sanalah segala amarah menjadi reda dengan
sendirinya. Setelah itu mereka akan kembali ke kampung. Hal ini menunjukkan
86

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

bahwa dalam menyelesaikan konflik dalam rumah tangga, Orang Buru tidak
menggunakan kekerasan tetapi dengan melakukan hal-hal yang positif. Semua itu
didasarkan pada pengakuan dan penghargaan terhadap harkat dan meratabat
Orang Buru.

Selain berkaitan dengan cara mengatasi masalah dalam rumah tangga,


skema di atas memperlihatkan bagitu kuatnya sistem patrilokal dalam masyarakat
Buru. Seorang wanita yang telah menikah, berada dalam kuasa suaminya. Anak-
anak yang dilahirkan pun masuk dalam marga ayah. Persoalan serumit apa pun
dalam rumah tangga, seorang istri tidak boleh kembali ke rumah orang tua atau ke
rumah saudaranya karena ketika mas kawin telah dibayarkan, wanita itu telah
menjadi milik keluarga laki-laki. Akan lebih terhormat jika wanita itu pergi dan
tinggal dengan mertuanya daripada kembali ke rumah orang tuanya. Hal ini
menjadi sebuah tradisi turun-temurun dalam masyarakat Buru sampai saat ini.

4. Struktur Kosmologi

Cerita Puan tu Fedat juga menampilkan struktur kosmologi yang


berkaitan pandangan Orang Buru tentang dunia kematian dan dunia nyata. Dalam
cerita ini ditemukan dua tempat yaitu harate dan junai. Harate adalah tempat
tinggal orang-orang yang sudah meninggal (dunia kematian), sedangkan junai
adalah dunia nyata. Dua tempat ini yang menjadi tempat berlangsungnya
peristiwa. Junai adalah tempat di mana Puan dan Fedat hidup bersama masyarakat
lainnya. Di junai inilah Puan dan Fedat mengalami masa-masa sulit ketika orang
tua mereka meninggal dunia. Harate, di sisi lain adalah dunia bagi orang yang
telah meninggal. Di sinilah Puan tinggal bersama kakaknya, Fedat. Setelah
dewasa, Fedat mengantar adiknya kembali ke junai. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa harate adalah dunia atas sedangkan junai adalah dunia bawah.
Secara visual dapat digambarkan sebagai berikut.

87

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Harate (dunia orang


mati)

Junai (dunia nyata)

Gambar 5 Struktur Kosmologi Cerita Puan tu Fedat

Dalam pandangan Orang Buru, ketika seseorang meninggal dunia rohnya


akan pergi dan tinggal di harate. Karena itu, di makamnya selalu disediakan
piring, gelas, dan sendok. Bahkan di dalam petinya diletakkan pakaian, sabun,
parfum dan benda-benda lain yang biasa digunakan orang itu semasa hidupnya
seakan orang itu hendak bepergian ke suatu tempat.

Bagi Orang Buru, harate adalah tempat peristirahatan terakhir bagi semua
manusia setelah menjalani hidup di dunia. Sebagai tempat berdiam roh manusia,
harate dianggap sebagai tempat yang suci. Pandangan ini berimplikasi terhadap
cara hidup Orang Buru. Hal ini tampak dalam kehidupan keseharian mereka.
Salah satu sungai yang ada di desa Mngeswaen dianggap berasal dari harate
sehingga selalu dijaga kebersihannya sampai urusan mandi dan mencuci pun
diatur. Salah satu sisi sungai dijadikan tempat mencuci peralatan masak
sedangkan sisi lain untuk mencuci pakaian. Tempat mandi dan tempat mengambil
air minum agak ke hulu sungai. Hal ini juga memperlihatkan kebiasaan
masyarakat desa yang tetap berharmoni dengan alam.

Implikasi junai sebagai tempat tinggal manusia yang penuh dengan


tantangan terlihat dalam urusan ekonomi Orang Buru. Setiap anak laki-laki dalam
keluarga mempunyai dusun yang ditanami cengkih, pala, dan kelapa. Hal ini
88

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

dimaksudkan agar dapat menopang perekonomian keluarga di waktu yang akan


datang. Sedangkan berkebun dan berburu adalah kegiatan rutin dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Pola hidup semacam ini memperlihatkan bahwa Orang
Buru tidak hanya melihat hidup masa kini tetapi juga telah melihat jauh ke depan
terutama menyangkut masa depan anak-anaknya agar kelak mereka tidak
mengalami kesusahan.

Dari hasil analisis struktur cerita rakyat Buru, disimpulkan bahwa cerita
rakyat Buru memiliki empat struktur sebagaimana yang dikemukakan oleh Lévi-
Strauss, yakni (1) struktur struktur geografis yang berkaitan dengan pola
perburuan dan pola tempat tinggal Orang Buru, (2) struktur sosiologis yang
mengedepankan hubungan manusia Buru dalam komunitasnya, (3) struktur tekno-
ekonomi yang menggambarkan mata pencaharian dan pandangan Orang Buru
tentang masa depan, dan (4) struktur kosmologi yang merefleksikan pandangan
Orang Buru tentang dunia kematian dan dunia nyata. Kendati demikian, tidak
semua cerita memiliki empat struktur tersebut sekaligus. Hal ini disebabkan oleh
cerita yang pendek dan padat sehingga ada cerita yang hanya memiliki satu
struktur saja. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut.

SIMPULAN

Temuan penelitian menunjukkan bahwa cerita rakyat Buru mampu


merangkum, memproyeksikan, dan mengukuhkan pandangan hidup dan norma-
norma tradisi Buru. Paradigma strukturalisme Lévi-Strauss yang dipakai dalam
penelitian ini memandang karya sastra sebagai sebuah bangunan yang tersusun
atas struktur yang saling berhubungan. Persepsi ini mengedepankan cerita rakyat
Buru sebagai produk budaya yang merangkum keseluruhan pengetahuan
masyarakat Buru. Kajian struktur dan makna cerita serta penafsirannya
menyimpulkan bahwa cerita rakyat Buru merupakan representasi pandangan
hidup masyarakat Buru yang terakumulasi oleh struktur cerita itu sendiri.

Makna hakiki dalam cerita rakyat Etnik Buru berperan sebagai motif yang
mengkonstruk pikiran, perasaan, perilaku dan cara pandang individu maupun
kelompok. Dari sisi struktural, cerita rakyat Buru menampilkan struktur geografis
yang berkaitan dengan pola perburuan dan pola temapt tinggal Orang Buru;

89

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

struktur sosiologis yang mengedepankan hubungan manusia Buru dalam


komunitasnya; struktur tekno-ekonomi yang menggambarkan mata pencaharian
dan pandangan Orang Buru tentang masa depan; dan struktur kosmologi yang
merefleksikan pandangan Orang Buru tentang dunia kematian dan dunia nyata.
Keempat struktur ini berkaitan erat dan saling mengisi satu sama lain dalam
rangka pemertahanan eksistensi Orang Buru dan kosmologi Fuka Bupolo.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, dkk. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. Strukturalisme Lévi-Strauss; Mitos dan Karya
Sastra. Yogyakarta: Galang Press.
Barnauw, V. 1989. Etnology. Illinois: Dorsey Press.
Creswell, John W. 2014. Penelitian Kualitatif dan Desain Riset. Memilih di
antara lima pendekatan. (alih bahasa oleh Ahmad Lintang
Lazuardi).Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia. Ilmu gosip, dongeng, dan lain lain.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Eliade, Mircea. 1991. The Myth of the Eternal Return, or Cosmos and History.
Terjemahan oleh Cuk Ananta. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Lévi-Strauss, Claude. 2005. Antropologi Struktural. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Nida, Eugena A. 1964. Toward a Science of Translating. Leiden: E.J.Brill.
Rosyadi (ed). 1995. Nilai-Nilai Budaya dalam Naskah Kaba Anggun Nan Tungga
Si Magek Jabang, Episode Ke Balai Nan Kado Baha. Jakarta: Dewi Sari.
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra
Wacana.

90

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Nilai Estetik Papantung dalam Perkawinan Adat Masyarakat Suku Sangihe


di Desa Manente Kecamatan Tahuna Provinsi Sulawesi Utara

Sarleoki Nancy Umkeketony


Language Education and Literature
Graduate Program State University of Surabay

ABSTRAK
Suku Sangihe atau yang juga dikenal sebagai suku Sangir adalah sebuah
komunitas manusia yang mendiami pulau-pulau kecil di Kabupaten Kepulauan
Sangihe di Provinsi Sulawesi Utara. Salah satu literatur Sangihe lisan yang
digolongkan sebagai puisi lama adalah pantun yang disebut papantung. Papantung
adalah tradisi suku Sangihe yang berorientasi masyarakat yang dinyanyikan dalam
bahasa Talaud mengenai kegiatan adat tertentu, seperti pernikahan adat dan
Upacara Adat Tulude. Dalam tradisi itu mengandung nilai ajaran yang bisa
dijadikan pedoman hidup sehari-hari. Fokus penelitian ini adalah Figurative Toys
dan Samanas, dunia perjodohan, ukuran yang sama, lima bahasa, dan kesesuaian
papantung dalam pernikahan adat Sangihe Tribe Society. Penelitian ini
menggunakan pendekatan etnografi. Hasil penelitian ini adalah mainan figuratif
91

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

dan samara adalah penggunaan ungkapan, dunia berkencan. Asas dunia berkencan
di pantun di atas adalah adanya niat di deretan penerbit dengan maksud sesuai
konten. , ukuran yang sama adalah sajak Jumlah kata dan suku kata dalam jumlah
baris kalimat sama dengan jumlah kata dan suku kata dalam kalimat garis, bahasa
musik dalam aturan sajak yang beberapa ahli usulkan, pantun yang baik adalah
sajak sesuai dengan aturan pantun. kesesuaian papantung dalam perkawinan adat
Masyarakat Sangihe sesuai dengan karakteristik dan bentuk pantun. Di setiap
tahap pernikahan suku Sangihe Pantun asli bersifat estetis karena sesuai dengan
unsur nilai estetik.

Kata kunci: Nilai Estetik, Papantung, Pernikahan Adat, Suku Sangihe

ABSTRACT
Sangihe tribe or also known as the Sangir tribe is a community of people who
inhabit small islands in the District of Sangihe Islands in North Sulawesi
Province. One oral Sangihe literature classified as an old poem is a pantun
called papantung. Papantung is a community-oriented tradition of Sangihe
tribe sung in Talaud language on certain customary activities, such as adat
marriage and Tulude Traditional Ceremony. In the tradition it contains the
values of teaching that can be used as a guideline of everyday life. The focus
of this research is Figurative Toys and Samanas, the world of matchmaking,
the same size, the five languages, and the suitability of papantung in the
customary marriage of the Sangihe Tribe Society. This research uses
ethnography approach. The result of this research is the figurative toy and
samara is the use of phrase, the world of dating The world principle of dating
in the pantun above is the existence of the intent on the row of the publisher
with the intention in the line of content, the same size is the rhyme The
number of words and syllables in the sentence row number equal to the
number of words and syllables in the line sentence, the language music in the
rhyme rules that some experts propose, good pantun is rhyme in accordance
with the rules of pantun. the suitability of papantung in the customary
marriage of the Sangihe Tribe Society in accordance with the characteristics
and forms of the pantun. In every stage of the marriage of indigenous Sangihe
Pantun tribe is aesthetic because it corresponds to the elements of esthetic
value.

Keywords : Esthetic Value, Papantung, Customary Marriage, Sangihe Tribe


A. Pendahuluan
Suku Sangihe atau dikenal juga dengan suku Sangir adalah komunitas
masyarakat yang mendiami pulau-pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Sangihe di
Provinsi Sulawesi Utara. Pulau-pulau yang mejadi tempat bermukim Suku
92

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Sangihe berada di antara Pulau Sulawesi dan Pulau Mindanao, yang berbatasan
dengan Filipina. Suku Sangihe dimasa lalu tidak mengenal sastra dalam bentuk tulisan tetapi
sastra lisan. Sastera dalam kehidupan orang sangihe memiliki makna yang sangat mendalam.
Boleh bahwa hidup orang sangihe mengalir bersamaan dengan sastra lisan, menjadi bagian dari
jiwa,danmenjadi pedoman kehidupan bermasyarakat.
Sastra lisan suku Sangihe dimasa lalu telah melahirkan aturan terhadap tatanan hidup.
Sastra lisan Sangihe sudah ditulis oleh beberapa orang dariBelanda terutama para Zending dan
pekerja gereja, tapi sampaisaat ini buku-buku tersebut tidak pernah ditemukan. Sastra lisan Suku
Sangihe memiliki fungsi masing-masing berdasarkan bentuknya. Hal yang menjadi masalah
dalam pelestarian sastra lisan Suku Sangihe yaitu, (1) kebanyakan dari penutur cerita sudah lanjut
usia sehingga memungkinkan punahnya sastera lisan; (2) Banyak orang yang memiliki
kemampuan menuturkan sastera lisan tidak mau membagikannya kepada orang lain,
menganggap bahwa cerita yang dimiliki adalah milik keluarga; 3) tidak adanya sistim pewarisan
secara umum. Pewarisan sastra lisan hanya kepada orang-orang tertentu; 4) banyak cerita lisan
yang sudah di tulis oleh beberapa pemerhati sejarah dalam bentuk tulisan lepas dan selalu
disembunyikan.
Dalam kesusastraan Indonesia, puisi dibagi menjadi dua bagian yaitu puisi lama dan
puisi baru. Satu sastra lisan Sangihe yang digolongkan sebagai puisi lama yaitu pantun yang
disebut papantung atau medenden. Papantung merupakan tradisi berpantun masyarakat
Suku Sangihe yang dinyanyikan dalam bahasa Talaud pada kegiatan adat tertentu,
seperti perkawinan adat dan Upacara Adat Tulude. Dalam tradisi berpantun
terkandung nilai-nilai pengajaran yang dapat digunakan sebagai pedoman
kehidupan sehari-hari. Nilai pengajaran pantun boleh didapat secara tersirat
maupun yang tersurat. Beberapa kajian mengungkapkan bahawa di dalam pantun
terkandung nilai-nilai yang berharga. Salah satu nilai yang dapat diperoleh dari
bait-bait pantun adalah nilai estetik atau keindahan. Berbicara tentang keindahan
pantun, ada keindahan yang terkait dengan bahasa dan ada keindahan terkait
dengan isi, makna, amanat, atau strukturnya. Pantun mengandungi keindahan
terkait dengan bahasa dan sekaligus keindahan struktur batinnya. Pantun yang
hingga sekarang masih hidup di dalam masyarakat suku Sangihe khususnya
pantun dalam tradisi peminangan atau masuk minta, mengandung muatan
pengajaran kepada pendengarnya terutama sepasang mempelai yang akan
menjalani bahtera kehidupan. Bait-bait pantun yang disampaikan pemantun yang
mewakili pihak perempuan dan pihak lelaki dengan gaya bahasa tertentu itu kaya
akan makna dan kiasan yang secara tersurat mahupun tersirat berisi tentang tata

93

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

panduan dan atau cara dalam memandang hidup untuk menjadi lebih baik untuk
setiap anggota masyarakat. Papantung yang dituturkan dalam tradisi peminangan
atau masuk minta dapat menjadi bahan pegangan pasangan pengantin baru untuk
menjalani bahtera kehidupan, karena papantung yang dituturkan mengandung
nilai-nilai pendidikan yang sangat bermanfaat sehingga masyarakat Melayu tidak
kehilangan arah terbawa arus globalisasi dengan berbagai sentuhan budaya asing.
Penelitian ini terbagi atas lima fokus penelitian, yaitu Mainan kiasan dan
samara, dunia berjodoh, sama ukuran, Rima bahasa, dan kesesuaian papantung
dalam perkawinan adat Masyarakat Suku Sangihe di Desa Manente, Kecamatan
Tahuna Provinsi Sulawesi Utara. Penelitian ini menggunakan pendekatan
etnografi dan hasil penelitian adalah deskriptif naratif dan menggunakan teknik
penafsiran teks (hermeneutika).

B. Pembahasan
Dalam konsep estetik, pantun secara khusus dikaji dalam lima aspek estetik yaitu,
mainan kiasan dan samaran, dunia berjodoh, sama ukuran, musik bahasa, sesuai
dan patut. Konsep estetik pantun tersebut dijumpai melalui bait-bait Papantong
dalam perkawinan masyarakat adat suku Sangihe.

1. Mainan kiasan dan samara dalam Papantong


Mainan kiasan dan samaran pada Papantong berikut terdapat dalam
penggunaan frasa ―tonggeng papuahiang‖ dan ―Rituwoengu winawing‖.
Tonggeng atau tanjung diibaratkan tempat bagi pria menentukan pasangan
hidupnya, sedangkan ―Rituwoengu winawing atau tumbuhlah pohon Hinawing
‖ melambangkan gadis yang akan di pinang. Artinya, tukang Papantong
menyembunyikan maksud sebenarnya. Perhatikan data Papantong berikut.

Dade tonggeng papuahiang


Rituwoengu winawing
Maeng bou mekakaghiang
I kadua seng mekawing

Terjemahan Interpretatif
Di sana di tanjung papuahiang
Tumbuhlah pohon winawing
Setelah sudah tunangan
Maka kita akan kawin

94

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Dalam Papantong ini, pihak laki-laki bermaksud meminang gadis. Hal


ini terbukti dari kalimat baris ketiga ―Setelah sudah tunangan‖ yang kemudian
diikuti kalimat baris ke empat ―Maka kita akan kawin‖. Pada Papantong
tersebut secara tersurat dan tersirat didapati sesuai dengan bentuk dan ciri-ciri
pantun, yaitu terdiri dari empat baris setiap baris mengandungi empat kata
dasar, dengan jumlah suku kata antara 8 hingga 10. terbahagi kepada 2 unit,
yaitu pembayang (di sana di tanjung Papuahiang Bertumbuhlah pohon
Hinawing) dan maksud (Setelah sudah tunangan, Maka kita akan kawin)

2. Dunia Berjodoh dalam Papantong


Prinsip dunia berjodoh dalam Papantong berikut adalah adanya persamaan
maksud pada baris dengan maksud di baris isi. Pada baris data berikut, Tukang
Papantong mengatakan ―Sirsingu su talimedo‖, ―Taku kuateng sasara ‖.
―Sirsingu su talimedo atau Cincinmu dijariku ini‖dan ―Taku kuateng sasara
atau akan kujadikan tanda‖ merupakan petanda bahwa cincin merupakan tanda
ikatan antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama. Perhatikan
Papantong berikut ini.

Tamai sarang tamako


Mesasaheu monara
Sirsingu su talimedo
Taku kuateng sasara

Terjemahan interpretatif
Ke sana pergi ketamako
Mencari kenyataan pekerjaan
Cincinmu dijariku ini
Akan kujadikan tanda

3. Papantong Sama Ukuran


Jumlah kata dan suku kata pada kalimat baris pembayang berjumlah sama
dengan jumlah kata dan suku kata pada kalimat baris maksud. Jumlah kata dan
suku kata pada baris pertama pembayang ialah 4 kata dan 10 suku kata,
jumlah ini sama dengan jumlah kata dan suku kata pada baris keempat yaitu 4
kata dan 10 suku kata. Papantong yang mempunyai kualiti yang baik, salah
satunya adalah Papantong yang memiliki jumlah perkataan dan suku kata

95

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

empat perkataan dan antara lapan hingga dua belas suku kata. Perhatikan data
Papantong berikut.

Tarai daleng makehu


Nengkasese uralere
Bunau wera pakesehu
Aribe pelandang kire

Terjemahan Interpretatif
Karena jalan berhutan
Penuh dengan batata pantai
Peminangan harus jadi
Jangan melakukan dusta

4. Rima Bahasa Papantong


Papantong yang baik adalah Papantong yang menurut pada aturan pantun.
Papantong memiliki persajakan yang berurut yaitu a-a-b-b. Secara umum
persajakan dalam Papantong sangat erat hubungannya dengan rima kata.
Dengan adanya rima itu tadi, Papantong membentuk musik bahasa yang
indah, yaitu terdapat permainan musik bahasa yang indah dengan
menggunakan kata ―makalengang‖ pada akhir baris pertama yang sama rima
dengan kata ―makalengang‖, dan kata ―lonti‖ pada akhir baris kedua yang
samarima dengan kata ―mekakonti‖ pada baris keempat. Perhatikan data
papantong berikut.
Ia tawe makalengang
Maeng makoa sarang lonti
Ia mauli kehengang
Sembang tawe mekakonti

Terjemahan interpretatif
Saya tidak bisa jalan kaki
Jika hendak pergi ke ronti
Saya memberi tahu dengan benar
Tidak lagi mau berdusta

5. Kesesuaian Papantong
Kesesuaian bukan hanya dapat ditemukan pada kesesuaian berdasar bentuk,
namun juga kesesuaian batin. Papantong itu dipantunkan pemantun pihak
lelaki kepada pihak perempuan dengan maksud untuk meminang. Maksud
96

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

yang disampaikan dalam Papantong sesuai dengan maksud kedatangan pihak


lelaki kerumah perempuan. Dari sisi bentuk, Papantong itu sudah sesuai
dengan kaedah pembuatan pantun, yaitu, terdiri dari empat baris, bersajak
aabb, memiliki pembayang dan isi, setiap baris terdiri dari empat hingga enam
kata dan lapan hingga dua belas kata. Keindahan Papantong dapat ditemukan
dalam dua aspek, yaitu aspek dalaman dan aspek luaran. Perhatikan data
Papantong berikut.

Medea daungu winawing


Ipemikung kaeng humbia
Ia hikingbe pakapia
I kadua maeng seng mekawing

Terjemahan Interpretatif
Mencari daun pohon winawing
Untuk membungkus makanan sagu
Kita berdua kalau sudah kawin
Aku harus dipelihara dengan baik

Kesesuaian batin yang dimaksudkan pada Papantong tersebut adalah untuk


memberi peringatan dan nasihat kepada pihak laki-laki untuk menjaga
perempuan yang akan menjadi istrinya.

97

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN

C. Simpulan
Estetik merupakan cabang filsafat yang membahas tentang keindahan yang
melekat pada karya sastra. Dalam konsep estetik, pantun secara khusus dikaji
dalam lima aspek estetik yaitu, mainan kiasan dan samaran, dunia berjodoh, sama
ukuran, musik bahasa, sesuai dan patut. Mainan kiasan dan samara adalah
penggunaan frasa, dunia berjodoh yaitu Prinsip dunia berjodoh dalam pantun di atas
adalah adanya persamaan maksud pada baris pembayang dengan maksud di baris isi,
sama ukuran merupakan rima bahasa Jumlah kata dan suku kata pada kalimat baris
pembayang berjumlah sama dengan jumlah kata dan suku kata pada kalimat baris,
musik bahasa dalam aturan pantun yang dikemukakan beberapa ahli, pantun yang
baik adalah pantun yang sesuai dengan aturan pantun. kesesuaian papantung di
dalam perkawinan adat Masyarakat Suku Sangihe sesuai dengan ciri-ciri dan bentuk
pantun. Dalam setiap tahapan perkawinan adat Masyarakat Suku Sangihe Pantun
bernilai estetik karena sesuai dengan unsur-unsur nilai estetik.

D. Daftar Rujukan

Sudikan Yuwana Setya. 2015. Metode Penelitian Sastra Lisan (edisi ketiga). Lamongan:
Pustaka Ilalang Group

Danandjaja James.1997. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

91

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN

PERAN GURU ANAK USIA DINI DALAM PENGENALAN PACELATHON


UNDHA- USUK BASA JAWA LOKALITAS KEDIRI SEBAGAI PENGUATAN
KARAKTER TATA KRAMA BERBICARA SISWA DALAM KELAS
DI ERA INDUSTRI KREATIF

Encil Puspitoningrum
Universitas Nusantara PGRI Kediri

Marista Dwi Rahmayanti


Universitas Nusantara PGRI Kediri

ABSTRAK
Pacelathon udha usuk basa Jawa memiliki nilai karakter tata krasma di dalamnya.
Kesantunan serta kearifan berbahasa secara tidak langsung termuat dalam udha
usuk basa Jawa. Meskipun demikian, nyatanya udha usuk basa Jawa semakin
lama semakin pudar di kalangan masyarakat. Memudarnya pacelathon udha usuk
basa Jawa ini ternyata berdampak hingga generasi muda. Tak sedikit generasi
muda yang tidak mampu bahkan tidak bisa udha usuk basa Jawa. Hal ini cukup
memprihatinkan sehingga perlu pembelajaran udha usuk basa Jawa ini
dikombinasikan pada pembelajaran kelas, khususnya sejak usia dini. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan peran guru anak usia dini dalam mengenalkan
pachelaton udha ushuk basa Jawa lokalitas Kediri sebagai penguatan karakter tata
krama berbicara siswa usia dini dalam kelas.

Kata kunci:, peran guru, undha-usuk basa Jawa, tata krama

PENDAHULUAN
Bahasa Jawa yang dituturkan di Jawa Timur memiliki beberapa dialek yang
digunakan. Salah satunya daerah Kediri Jawa Timur, yang termasuk sebagian besar
penduduknya menuturkan dialek bahasa Jawa hampir sama dengan bahasa Jawa
Tengahan atau bahasa Jawa Solo (Mataram). Jadi, penggunaan undha-usuk basa atau
tingkatan berbahasa adalah sebagai salah satu ciri khas kearifan lokal bahasa daerah dan
92

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN

sarana komunikasi antar-anggota masyarakat di daerah Kediri. Oleh karena itu,


keterampilan berbicara merupakan salah satu alat komunikasi dalam tindak berbahasa
yang dilakukan oleh seorang individu masyarakat Kediri. Sehubungan dengan itu,
dibutuhkan sebuah bahan ajar berbicara yang kemudian dapat menjadi salah satu media
untuk siswa tingkat menengah atas dalam melaksanakan pembelajaran berbicara undha-
usuk bahasa Jawa agar penggunaan tata krama berbicara bahasa Jawa sehari-hari dapat
tetap dipakai dengan baik oleh para generasi muda di Kediri.
Bahasa daerah mempunyai fungsi sebagai salah satu alat komunikasi antar
anggota masyarakat yang mencerminkan ciri khas daerah tersebut. Bangsa Indonesia
memiliki bahasa daerah yang banyak jumlahnya. Hampir setiap daerah dari Sabang
sampai Merauke mempunyai bahasa daerah. Demikian halnya dengan daerah Jawa
Timur, bahasa daerah merupakan salah satu ciri khas kearifan lokal (local wisdom).
Bahasa daerah mempunyai atau memuat nilai-nilai budi pekerti luhur dan tata krama
yang mencerminkan karakter anggota masyarakat pemakainya.
Bahasa Jawa dituturkan oleh sebagian besar Suku Jawa. Bahasa Jawa yang
dituturkan di Jawa Timur memiliki beberapa dialek. Di daerah Mataraman salah
satunya daerah Kediri, Bahasa Jawa yang dituturkan hampir sama dengan pemakaian
bahasa di Jawa Tengah atau lebih tepatnya daerah Surakarta atau Solo.
Saat ini di Jawa Timur Bahasa Jawa merupakan salah satu mata pelajaran
muatan lokal yang diajarkan di sekolah-sekolah dari tingkat SD hingga SMA. Dari
fenomena semakin menurunnya pengetahuan dalam penggunaan Undha-usuk Basa
atau tingkat berbahasa bahasa Jawa dan Madura pada generasi muda di Jawa Timur,
Gubernur Jawa Timur telah menetapkan sebuah peraturan. Peraturan Gubernur Jawa
Timur No. 19 Tahun 2014 tentang pembelajaran muatan lokal bahasa daerah (Jawa dan
Madura) tidak hanya di tingkat SD dan SMP tetapi juga tingkat SMA atauSMK.
Meskipun demikian, pembelajaran udha usuk basa Jawa harusnya dimulai sejak anak
usia dini. Hal tersebut karena pembelajaran di tingkat usia dini semakin lama semkin
luput dari perhatian penerapan udha usuk basa Jawa ini.
Banyak anak anak yang sudah sulit berkomunikasi menggunakan udha usuk
basa Jawa. Sebagian besar berkomunikasi dengan basa Jawa ngoko atau bahasa gaul
khas anak remaja. Hal ini sungguh memperihatinkan. Anak sudah luput dari sopan
santun berkomunikasi. Dalam proses komunikasi menurut Cummings (2007),
komunikator dan komunikan tidak dapat dilepaskan dari suatu konteks komunikasi.
Apabila anak tidak diajarkan konteks komunikasi sejak dini, maka bisa jadi anak
tersebut tidak mampu membedakan cara berkomunikasinya. Diksi, pola, dan proses
komunikasi yang dialkukan oleh anak pada temannya akan sama saja dengan yang
93

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN

dilakukannya pada orang lain. Hal ini tentu sangat mendegradasi moral dan kesantunan
berbahasa anak.
Menanggapi masalah-masalah tersebut, maka kesantunan berbahasa yang
dalam kajian ini difikuskan pada udha usuk basa Jawa, perlu diajarkan baik secara
tersirat maupun tersurat oleh guru anak usia dini. Itulah sebabnya peran guru anak usia
dini begitu vital dalam mengajarkan udha usuk bahasa Jawa ini.

LANDASAN TEORI
1. Undha-usuk BahasaJawa
Undha-usuk artinya tingkat-tingkat, yang menunjukkan bahwa Bahasa Jawa
yang dipakai dalam proses berkomunikasi dapat meningkat nilai moral semantiknya.
Kata yang semula melambanginya, ketika suasana tindak tutur berubah ke suasana
moralitas yang lebih tinggi, harus ditanggalkan dan mengambil kata lain yang lebih
sesuai. Suasana moralitas yang meningkat itu dalam tradisi bebrayan (lembaga sosial)
Jawa disebut unggah-ungguh (meningkat kedudukannya). Oleh karena itu, istilah
undha-usuk juga disebut unggah- ungguhing basa. Baik kata undha maupun kata
unggah artinya ‗naik‗. Sementara itu, usuk maupun ungguh kedua-duanya
mengandung pengertian ‗landasan‗ atau ‗tempat‗ (Ahmadi, 2010:52).
Ketika seseorang berbicara selain memperhatikan kaidah-kaidah tata bahasa,
juga masih harus memperhatikan siapa orang yabg diajak berbicara. Berbicara kepada
orang tua berbeda berbicara kepada anak kecil atau yang seumur kata-kata atau bahasa
ditujukan kepada orang lain itulah yang disebut : unggah-ungguhing basa. Unggah
ungguhing basa pada dasarnya dibagi menjadi tiga yaitu: Basa Ngoko, Basa Madya,
dan Basa Krama (Purwadi, 2012:16).
Tingkat tutur dalam bahasa Jawa dibagi menjadi tiga yaitu tingkat tutur ngoko,
tingkat tutur madya dan tingkat tutur krama. Atau secara umum dibagi menjadi dua
saja yaitu tingkat

94

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN

tutur ngoko dan tingkat tutur karma. Tingkat tutur bahasa Jawa di atas akan dijelaskan
sebagai berikut. Tingkat Tutur Ngoko (Ragam Ngoko) adalah bentuk unggah-ungguh
Bahasa Jawa yang berintikan leksikon ngoko, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam
ngoko adalah leksikon ngoko bukan leksikon yang lain. (Sasangka 2004:95).
Ragam ngoko mempunyai dua bentuk varian, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus
(Sasangka 2004:95). Ngoko Lugu Yang dimaksud dengan ngoko lugu adalah bentuk
unggah- ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya berbentuk ngoko dan netral
(leksikon ngoko dan netral) tanpa terselip leksikon krama, krama inggil, atau krama andhap,
baik untuk persona pertama, persona kedua, persona kedua, maupun kedua, maupun untuk
persona ketiga. Ngoko Alus Yang dimaksud dengan ngoko alus adalah bentuk unggah-
ungguh yang di dalamnya bukan hanya terdiri atas leksikon ngoko dan netral saja,
melainkan juga terdiri atas leksikon krama inggil, krama andhap, atau leksikon krama yang
muncul di dalam ragam ini sebenarnya hanya digunakan untuk menghormati mitra wicara
(Sasangka 2004:99-100).
Tingkat Tutur Krama (Ragam Krama) adalah bentuk unggah-ungguh Bahasa Jawa
yang berintikan leksikon krama, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam krama adalah
leksikon krama bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam ragam ini pun
semuanya berbentuk krama (misalnya, afiks dipun-, -ipun, dan –aken). Ragam krama
digunakan oleh mereka yang belum akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih
rendah status sosialnya daripada lawan bicara. Ragam krama mempunyai dua bentuk varian,
yaitu krama lugu dan krama alus (Sasangka, 2004:104).
Krama Lugu secara semantis ragam krama lugu dapat didefinisikan sebagai suatu
bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya rendah. Meskipun begitu, jika dibandingkan
dengan ngoko alus, ragam krama lugu tetap menunjukkan kadar kehalusan Krama Alus
yang dimaksud adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya terdiri
atas leksikon krama dan dapat ditambah dengan leksikon krama inggil atau krama andhap.
Meskopun begitu, yang menjadi leksikon inti dalam ragam ini hanyalah leksikon yang
berbentuk krama. Leksikon madya dan leksikon ngoko tidak pernah muncul di dalam
tingkat tutur ini. Selain itu, leksikon krama inggil atau krama andhap –secara konsisten-
selalu digunakan untuk penghormatan terhadap mitra wicara. Secara semantis ragam krama
alus dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya tinggi
(Sasangka2004:111).

95

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN

Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku Jawa di


Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur (Wikipedia, 2015). Letak
wilayah dalam satu daratan, rendahnya intensitas pertemuan (rendahnya
mobilitas) menyebabkan bergeser dan berubahnya sebuah kata, pengertian
dan maknanya, dan juga menyebabkan perbedaan cara menyusun kata dalam
sebuah kalimat, sehingga banyak muncul bermacam-macam cengkok bahasa
(dialek). Sistem tingkat tutur bahasa Jawa itu merupakan pertanda
pentingnya adat sopan santun yang menjalin sistem tata hubungan manusia
Jawa. Lebih lanjut Ngadiman (2006:3) menjelaskan sejak kecil seorang anak
Jawa dididik oleh orang tua untuk menjadi manusia Jawa yang otentik.
Manusia Jawa yang otentik adalah manusia selalu berperilaku santun
terhadap orang lain. Berperilaku santun artinya berperilaku sedemikian rupa
sehingga tidak menimbulkan konflik. Kata santun adalah kata sifat dan kata
bendanya adalah kesantunan. Kesantunan adalah tatacara atau kebiasaan,
norma atau adat yang berlaku dalam suatu masyarakat. Kesantunan
merupakan tata cara atau aturan perilaku yang menjadi kesepakatan bersama
oleh suatu masyarakat tertentu. Bagi masyarakat Jawa kesantunan kerap
disebut sopan santun, unggah-unnguh, atau tata krama atauetika.
Fungsi Bahasa Jawa adalah sebagai pesan untuk menyampaikan
pesan atau isi informasi oleh anggota masyarakat yang saling berinteraksi
dan bekerja sama dalam tataran pergaulan masyarakat lingkung kebudayaan
dan peradaban Jawa. Secara antropologi dan kultural fenomenologis bahasa
jawa mempunyai ragam penampilan menurut lingkung budayanya yaitu : (1)
lingkung Negaragung meliputi Jogja dan Solo, (2) lingkung Dulangmas
meliputi Kedu, Magelang, dan Banyumas, (3) lingkung pesisiran meliputi
Brebes, Demak, Kudus, Semarang, Rembang, Lasem, Tuban, Babat, dan
Bojonegoro, (4) lingkung Majapahit meliputi Mojokerto, Jombang, Malang,
Kediri , (5) lingkung Pesisir Wetan/Timur meliputi Surabaya, Probolinggo,
Pasuruan, Lumajang, (6) lingkung Blambangan (Banyuwangi). Dari berbagai
ragam penampilan tersebut penataan Bahasa Jawa mengacu pada lingkung
Negaragung (Jogja dan Solo) yang secara historis sebagai pusat pemikiran
dan pengembangan bahasa dan kebudayaan Jawa (Ahmadi, 2010:2).

2. Anak Usia Dini


Belajar bersama anak tentu tak dapat dipisahkan dari dunia serta
lingkungan anak. Hal tersebut karena kepribadian anak tidak bisa dilepaskan
dari pengaruh lingkungannya. Locke (dalam Kurniawan, 2013:42-44)
mengatakan bahwa pada dasarnya terdapat empat pengaruh lingkungan yang
membentuk kepribadian anak.
151

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Pertama, proses asosiasi. Dalam diri anak, perilaku yang dibuatnya


merupakan perwujudan dari asosiasi antara satu unsur dengan unsur yang
lainnya secara teratur. Unsur-unsur tersebut bisa diperoleh dari tuturan yang
didengar, pengetahuan yang diperoleh, hal-hal yang dilihat, dan segala
bentuk pengalaman lain yang dialami oleh anak. Dalam kehidupan sehari-
hari proses asosiasi terjadi apabila anak mampu mengaitkan suatu hal dengan
hal lain. Contohnya adalah apabila anak melihat di hadapanya ada orang
yang jatuh karena kulit pisang, maka anak akan paham bahwa kulit pisang itu
menyebabkan orang jatuh sehingga ia akan menghindari kulit pisang atau
bahkan ia akan membuang kulit buah yang telah di makannya pada tempat
sampah. Ketika dikaitkan dengan udha usuk basa Jawa, maka cerita-cerita
tokoh pahlawan yang dikemas dengan dialog udha usuk basa Jawa dapat
diasosiasikan dengan semangat belajar untuk mempertahankan bangsa
sekaligus rasa syukur atas jasa pahlawan.
Kedua, proses imitasi. Imitasi adalah tiruan atau tindakan meniru.
Anak memiliki kecenderungan untuk meniru segala sesuatu yang
dianggapnya menarik, tanpa ia tahu benar atau tidaknya. Kelogisan anak
akan luntur karena dominasi rasa imitasi yang ada pada dirinya. Buktinya
adalah kecenderungan akan laki-laki meniru tokoh superhero yang bisa
berubah atau mengeluarkan jurus-jurus sakti. Ketika mereka berkata,
―Berubah!‖ maka seketika jiwa dan raga mereka telah berubah seperti super
hero yang mereka inginkan. Padahal secara logika, mereka masih sama
seperti sebelum mengatakan kata, ―Berubah!‖. Kecenderungan yang terjadi
pada anak perempuan lebih kompleks lagi, mereka cenderung mengidolakan
ibu atau kakak perempuannya. Itulah sebabnya tidak jarang bahwa mereka
selslua bermain masak-masakan, seolah mereka sedang menyiapkan
hidangan untuk orang-orang di rumahnya. Melihat fenomena ini, maka
dalam sastra anak, tokoh protagonis cenderung dimenangkan dan berwatak
baik. Ada harapan bahwa melakukan perbuatan baik adalah hal yang benar
dan pada akhirnya memberikan kemenangan. Cara untuk memaksimalkan
sifat ini adalah dengan memberi model tokoh protagonis yang sering
mengucapkan udha usuk basa Jawapada orang yang lebih tua.
Ketiga, proses repetisi. Pada dasarnya repetisi merupakan habitus
atau kebiasaan yang dilakukan secara berulang. Aristoteles mengistilahkan
habitus ini sebagai sesuatu yang ada atau being (Fashri, 2014:94). Konsep
habitus Aristoteles sangat cocok apabila diterapkan pada benda, tapi sulit
dikaitkan dengan manusia. Pierre Bordieu mengembangkan konsep being
milik Aristoteles ini sebagai sebuah habitus yang digunakan oleh masyarakat.
Konsep Habitus Bordieu menjamin koherensi hubungan konsepsi masyarakat

152

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

dan pelaku (Haryatmoko, 2016:40). Secara sederhana, contoh habitus ini


dapat diketahui melalui sifat dasar seorang anak, seperti sabar, pemarah,
rajin, tekun, cerdas, lambat dalam mengerjakan sesuatu, suka menangis
(melankolis), dan sifat dasar lainnya. Habitus juga dapat dilihat dari gerak
badan yang tidak disengaja. Contohnya adalah beberapa orang cenderung
untuk menoleh ke kanan atau ke kiri selama lima menit sekali, mendengkur
saat tidur, gagap saat bicara, atau mengulang secara refleks gerak yang
dilakukan oleh orang di sekelilingnya. Ketika dikaitkan dengan pembelajaran
sastra anak, maka hendaknya sastra dijadikan sebagai habitus. Membaca dan
menulis sastra alangkah baiknya pabila dijadikan sebagai landasan
pembiasaan yang berulang pada anak, sehingga anak sejak dini memiliki
pola repetisi dalam melakukan proses literasi. Dampak positifnya adalah
minat baca anak tinggi, dan sejak dini terampil menulis karena terbiasa.
Itulah sebabnya penanaman udha usuk basa Jawamerupakan bentuk habitus
pada anak.
Ketiga, proses reward and punishment. Proses reward and
punishment merupakan proses pembentukkan anak dengan teknik
memberikan hadiah apabila anak tersebut membuat hal yang benar menurut
pemberi hadiah dan mendapat hukuman apabila anak tersebut melanggar
ketentuan yang diberikan. Reward and punihment seringkali diterapkan di
lingkungan keluarga yang otoriter serta sekolah yang konservatif. Tujuannya
adalah meberikan efek terkesan ketika menerima hadiah dan memberikan
efek jera ketika melakukan kesalahan. Meskipun cara seperti ini sudah tidak
lagi mendominasi pada zaman sekarang, namun tidak jarang ditemukan
masih ada keluarga atau sekolah yang menetapkan sisitem ini dalam
membentuk pola perilaku anak. Penggunaan reward and punishment dapat
diterapkan pada pola belajar udha usuk basa Jawapada anak. Reward
diberikan pada anak yang berhasil mengucapkan udha usuk basa
Jawadengan tepat, sedangkan punishment diberikan pada anak yang sudah
diajarkan udha usuk basa Jawatapi enggan untuk menerapkan. Punishment
pun tidak harus selalu fisik, bisa jadi dalam bentuk lain seperti menulis atau
membaca cerita yang memiliki udha usuk basa Jawa.

3. Peran Guru

Peran guru dalam pengenalan udha usuk basa Jawa bagi anak usia
dini teramat penting. Cara yang paling mudah untuk menerapkan udha usuk
basa Jawa yang dapat dilakukan oleh guru melalui sastra anak. Guru
memiliki posisi penting dalam menentukan sumber literasi sastra anak bagi
anaknya. Stewig (1980:10) mengungkapkan tiga posisi penting yang dimiliki
153

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

guru dalam menentukan sumber bacaan sastra anak yaitu (1) penyeleksi
(selector), (2) penyedia (presenter), dan (3) perekomendasi (recomender).
Guru berperan sebagai penyeleksi memiliki arti bahwa
guru merupakan pembimbing yang menentukan sumber belajar
anak. Guru wajib memilah-milah bahan bacaan mana saja yang
cocok dan tidak cocok untuk dikonsumsi anak. Meskipun bacaan
tersebut berupa sastra, namun guru tetap haarus slektif.
Keselktifan guru ini nantinya akan mempengaruhi pada minat
baca anak. Dalam hal ini, anak diibaratkan seperti kertas putih
yang siap untuk diwarna apa saja. Seniman yang mewarna kertas
tersebut adalah guru, melalui warna warna bacaan yang
disediakan untuk anak. Semakin cerah bacaan untuk mereka,
maka semakin terbiasa mereka membaca bacaan sastra yang
mencerahkan. Demikian pula sebaliknya, semakin mereka
disuguhkan bacaan sastra yang menyesatkan atau merusak
moral, maka mereka akan terbiasa mengkonsumi bacaan yang
demikian. Dampak lain adalah apabila bacaan yang dibaca oleh
anak tersebut diyakini kebenaranya, maka bukan tidak mungkin,
anak akan meniru perilaku perilaku yang dilakukan oleh tokoh-
tokoh atau dalam karya sastra yang dibacanya. Dalam proses
pengenalan udha usuk basa Jawamaka gurulah yang bertugas
untuk menyeleksi bahkan memilihkan bahan bacaan menarik
untuk anak.
Peran guru selanjutnya adalah penyedia. Setelah
proses seleksi dilaksanakan, maka guru menyediakan bahan
bacaan bermuatan udha usuk basa Jawa tersebut pada anak.
Bacaan yang disediakan oleh guru alangkah baiknya dikemas
semenarik mungkin. Anak-anak cenderung menyukai tampilan
visual sebelum mmbaca teks-teks yang terdapat di dalamnya.
Oleh sebab itu dibutuhkan beberapa teknik khusus yang daat
dilakukan oleh guru. Teknik tersebut antara lain sebagai berikut:
a. Pameran
Buku udha usuk basa Jawayang telah dipilih oleh guru alangkah
baiknya dipamerkan dan disusun secara berjajar di depan kelas. Buku
jangan sampai ditumpuk, akrena anak akan kesulitan untuk membukanya.
Tumpukan buku juga mempengaruhi suasana hati anak dalam membaca.
Anak cenderung enggan untuk membuka buku yang disusun secara
154

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

bertumpuk tumpuk. Oleh sebab itu, perlu dijajarkan buku buku ini di
hadapan anak. Dalam teknik pameran, usahakan buku yang dijajarkan
terlihat covernya. Setiap buku sastra anak pasti memiliki cover beragam.
Untuk membuatnya menarik, maka dalam penyusunan pameran buku,
letakkanlah cover yang paling bagus di jajaran paling depan. Hal tersebut
bertujuan untuk memantik rasa penasaran pada anak agar mau melihat
cover cover yang lainnya. Pemilihan cover ini bisa didasari dari segi
warna dan karakter yang diilustrasikan. Semakin berwarna cover, maka
semakin menarik di mata anak. Karakter juga demikian, semakin unik
karakter yang ditampilkan dalam cover, maka anak akan semakin
penasaran untuk mengetahui apa saja yang dilakukan oleh karakter
tersebut dalam buku sastra yang ada di hadapannya.
b. Pajangan
Selain dipamerkan, buku bermuatan udha usuk basa Jawa yang
telah diseleksi oleh guru juga bisa dipajang di dinding-dinding ruangan.
Guru tidak menyuruh anak untuk mengambil atau membaca, namun guru
membiarkan anaknya agar dengan sadar memilih buku yang menarik
baginya. Pemajangan ini bertujuan untuk menarik minat baca anak dengan
sendirinya. Anak akan dibuat penasaran dengan buku yang terpajang di
dinding kelas, terlebih buku tersebut terpajang sat pembelajaran
berlangsung. Ketika melihat buku yang dipajang, maka timbul rasa
penasaran bagi anak untuk mengambilnya. Di sisi lain, mereka sadar
bahwa mereka sedang mengikuti pelajaran yang tidak ada kaitannya
dengan sastra. Saat hal tersebut terjadi, rasa penasaran anak ini akan
semakin terpupuk. Hasrat untuk membacanya semakin tinggi. Bahkan,
strategi ini juga bisa memacu anak untuk memiliki rencana baca. Anak
yang tidak mungkin untuk mengambil buku pada jam pelajaran, akan
memiliki rencana mengambil buku tersebut saat jam istirahat atau pulang
sekolah. Ketika pelajaran usai, anak menghampiri buku tersebut kemudian
mengambilnya untuk dibaca. Secara tidak langsung, ini juga membentuk
kebiasaan baca anak. Mereka akan membaca dengan terencana. Untuk
mengoptimalkan startegi ini, tentu buku yang dipajang harus memiliki
cover menarik agar anak memiliki minat untuk mengambilnya. Memang
konsentrasi belajar pada pelajaran utama sedikit terganggu, namun
sebenarnya guru melakukan dua tujuan sekaligus yaitu mengajar materi
yang diberikan sekaligus menumbuhkan hasrat baca bagi anak. Buku yang
dipajang juga tidak perlu banyak-banyak, sedikit saja namun menarik.
155

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Apabila buku yang dipajang sedikit, maka anak merasa ingin menjadi
yang pertama membaca buku tersebut. Apabila dalam praktiknya, buk
yang sedikit itu diminati oleh banyak anak, maka barulah guru
mengeluaran buku sejenis yang disimpan dalam lemari, usai jam pelajaran
formal.
Peran teraakhir adalah peran sebagai perekomendasi. Apabila
peran pertama dan kedua telah dijalankan dan menunjukkan hasil yang
poitif, maka guru dapat merekomendasikan bacaan sejenis yang
bermuatan udha usuk basa Jawapada anak. Rekomendasi tersebut bisa
dengan cara menceritakan atau mendemonstrasikan kembali. Guru juga
diperbolehkan untuk merekomendasikan anak agar mendapatkan buku
tersebut di toko terdekat. Ini akan membuat anak untuk mau mencari
bahan bacaan yang direkomendasikan oleh gurunya di luar jam pelajaran.
Anak akan termotivasi dan hasrat membaca sastranya akan semakin
berlipat. Teknkik merekomendasikan juga dapat dilakukan sebelum
kegiatan membaca sastra. Guru menceritakan terlebih dahulu tentang
sebagian isi atau cerita yang hendak dibawanya, sehingga anak semakin
penasaran. Setelah itu, pada perteman berikutnya, barulah guru membawa
sastra anak yang diceritakan tersebut. Pembelajaran tidak berakhir di sini,
setelah anak selesai membaca, guru merekomendasikan lagi pada mereka
cerita cerita yang sejenis yang lebih menarik dan biarkan mereka sendiri
mencarinya. Anak yang menemukan karya yang direkomendasikan guru,
maka diperbolehkan membawa karya temuannya ke sekolah untuk
ditunjukkan atau dibacakan pada teman-temannya.

c. Proses Seleksi
Beragam karya sastra anak di era milenium ini bermunculan dan
sangat mudah diakses. Namun, tidak semua sastra anak cocok diberikan
pada anak. Terlebih tidak semua memuat udha usuk basa Jawa. Itulah
sebabnya perlu dilakukan proses seleksi yang ketat. Hal tersebut karena
pada dasarnya anak cenderung menelan bacaan secara mentah-mentah.
Perlu ada proses evaluasi yang dilakukan oleh guru dalam memilih dan
memilah buku bermuatan udha usuk basa Jawa. Proses seleksi tersebut
brtujuan untuk menentukan kelayakan karya sastra yang hendak
dikonsumsi anak. Sedikitnya, terdapat delapan aspek yang diadaptasi dari
Stewig (1980:13) yang hingga kini dapat dijadikan sebagai acuan dalam

156

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

menilai kelayakan buku bacaan anak, khususnya sastra anak. Kedelapan


aspek tersebut antara lain sebagai berikut.
Pertama, karakteristik. Karakteristik dalam karya sastra anak ini
nerpengaruh pada kecocokan atau kelayakan karakter karya yang hendak
diberikan pada anak. Setiap karya sastra pasti memiliki karakter sendiri-
sendiri, atau memiliki nilai rasa sendiri-sendiri. Belum tentu rasa yang
sama dapat diberikan pada anak yang berbeda. Untuk melihat kesesuaian
karakter ini, maka guru terlebih dahulu perlu memahami karakter
anaknya, mulai dari kebiasaan, pola belajar, hingga lingkungan setempat.
Kebiasaan anak yang memiliki pola belajar visual tentu berbeda dengan
anak yang memiliki pola belajar auditif. Contohnya apabila di kelas, anak
cenderung memiliki poa belajar visual, maka guru dapat memilih sumber
belajar sasra anak yang didominasi oleh gambar-gambar visual. Hal
tersebut untuk menarik minat belajar anak. Namun apabila di kelas, anak
ternyata didominasi oleh anak anak yang memiliki pola belajar auditif,
maka guru dapat mencarikan karya sastra yang dilengkapi dengan
Compact Disk (CD) inetraktif. Guru juga dapat memilih karya sastra yang
sedikit visualisasi gambarnya, namun sangat cocok untuk diacakan,
sehingga karya yang dipilih diperdengarkan pada anak melalui pembacaan
guru.
Kedua, keberadaan dialog. Dalam sastra anak, tokoh tidaklah lepas
dari dialognya. Tokoh karya sastra anak memiliki kecenderungan untuk
membentuk karakter mereka melalui dialog dialog yang diucapkannya.
Tokoh tersebut merupaan tokoh antagonis atau protaagonis, dapat
diketahui dari diski atau pilihan kata dalam dialog. Meskipund emikian,
peran guru sangat penting. Guru harus mengetahui benar diksi-diksi yang
digunakan oleh tokoh dalam dialog. Diksi tersebut sudah layak atau belum
jika dibaca atau diperdengarkan pada anak. Meskipun diksi tersebut
diucapkan oleh tokoh antagonis, guru perlu melakkan sensor agar tidak
sampai anak mendengar kata-kata kotor atau kata kata yang tidak layak.
Hal tersebut akan mempengaruhi pada dikssi atau kosa kata anak. Usia
anak merupakan usia yang cenderung reseptif dalam berbahasa, sehingga
kosa kata kosa kata baru yang diterimanya akan dengan mudah diserap
dan dismpan dalam memori. Ini akan berdampak negatif apabila diksi
diksi negatif yang diserap oleh anak, digunakan sebagai bentuk
percakapan sehari-hari. Oleh sebab itu perlu ada proses evaluasi
berdasarkan dialog yang diucapkan oleh para tokoh. Semakin dialog
157

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

tersebut mengandung makna yang positif, maka ucaapan dan kosa kata
anak akan semakin positif pula.
Ketiga, penggunaan setting. Sama halnya dengan penokohan dalam
dialog, setting atau latar juga memiliki peran utama dalam karya sastra
anak. Kisah yang disajikan dalam sastra anak tidak lepas dari settingnya
baik itu setting waktu ataupun setting tempat. Kesesuaian setting dalam
proses pemilihan karya sastra anak dapat diketahui melalui tingkat
kekontekstualan cerita. Setting yang sesuai dengan keadaan lingkungan
(kontekstual) sanak, maka akan semakin mengena. Demikian pula
sebaliknya, kisah yang memliki setting jauh dari letak geografis anak.
Maka cerita tersebut akan sulite dicerna oleh anak. Setting yang dipilh
berdasarkan lingkungan setempat, akan membuat anak cepat beradaptasi.
Secara tidak langsung, setting mencerminkan kondisi sosial budaya tokoh
dan segala sesuatu yang dialaminya. Contoh pemilihan setting yang tepat
adalah, apabila guru mengajar sastra anak di daerah pegunungan, maka
berikanlah pada anak bacaan bacaan karya sastra yang bertema kelestarian
hutan, kelestarian gunung, dan kelestarian alam sekitar atau segala sesuatu
yang masih ada kaitannya dengan gunung. Akan menjadi keluru apabila
guru menyodorkan bacaan karya sasra anak yang bersetting laut, atau
berseting kota metropolitan. Mereka akan lelah karena harus
mengimajinasikan dan merasakan dulu kondisi laut yang keadaan iklim,
cuaca, serta pola masyarakatnya tidak sama dengan lingkungan setempat
mereka. Menurut Penny Ur (1996), skemata yang dimiliki oleh anak
berdampak pada tingkat pemahaman membaca anak. Skemata tersebut
dapat diperoleh dari pengalaman sehari-hari dan lingkngan sekitar.
Semakin mirip lingkungan atau setting yang berada dalam karya sastra
anak dengan kehidupan sehari-hari mereka, maka semakin mudah anak
untuk memahami jalan cerita, bahkan pesan moral yang disampaikan
dalam cerita anak.
Keempat, penggunaan plot. Karya sastra anak yang baik tentunya
memiliki alur (plot) yang jelas. Alur maju merupakan alur yang biasa
diterima oleh anak. Mulai dari pengenalan, konflik, hingga resolusi atas
konflik. Alangkah baiknya apabila anak diberikan karya sastra yang
alurnya mudah dipahami atau tidak berbelit-belit. Semakin mudah alur
dipahami, maka anak akan semakin udah mengkonstruk jalan cerita yang
dibacanya. Dengan demikian, anak menjadi semakin paham serta semkain
gemar membaca. Demikian pula sebaliknya, apabila alur dalam karya
158

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

sastra anak terkesan berputar-putar, maka anak akan pusing dan


kebngungan untuk memahami jalan ceritanya. Kerumitan ini dapat
mempengaruhi mental anak. Apabila alur yang disajikan terlalu rumit,
maka mereka cederung trauma sehingga tidak mau membaca karya sastra
lain, atau karya sastra anak sejenis.
Kelima, keberadaan konflik. Cerita anak yang menaik tentunya
apabila cerita tersebut memiliki konflik. Tujuan dari konflikadalah agar
kisah yang disajikan dalam sastra anak tidak datar atau membosankan.
Konflik yang baik tentunya konflik yang sesuai dengan permasalahan
anak. Hal tersebut agaar anak dapat belajar dari konflik yang dialami
tokoh sastra sebagai refleksi dalam menghadapi permasalahannya.
Pemilihan konflik disesuaikan dengan usia anak. Kecenderungan yang
sering muncul adalah apabila konflik yang disajikan dalam karya sastra
anak, ternyata merupakan konflik konflik yang dialaami oleh orang
dewasa. Konflik yang tidak sesuai dengan usia anak adntara lain adalah
percintaan, keromantisan, perceraian. Permasalahan rumah tangga,
perjudian, mabuk-mabukkan, hingga hal hal pornografi. Selain aspek
fisik, aspek non fisik seperti konflik harus diperhatikan. Bisa jadi gambar-
gambar yang disajikan dalam sastra anak tersebut menarik, namun
ternyata setelah ditinjau kembali terdapat muatan-muatan dewasa dalam
konfliknya. Itulah sebabnya, guru dalam menyeleksi karya sastra anak,
perlu membaca terlebih dahulu dan memahami konflik yang terjadi agar
tidak teripu oleh tampilan visual yang ada dalam karya sastra anak.
Keenam, adanya resolusi. Setelah meninjau aspek konflik, maka
tinjauan selanjutnya adalah aspek resolusi. Konflik dan resolusi berjalin
berkelindan satu sama lain. Cerita anak yang menarik apabila cerita
tersebut dibumbuhi oleh konflik yang pelik namun mampu diselesaikan
dengan resolusi yang tepat. Pemlihan resolusi ini perlu diperhatikan juga,
karena resolusi menentukan pola pikir anak dalam menyelesaikan sesuatu.
Semakin realistis, semakin nyata, dan semakin solutif resolusinya, maka
akan semakin bermanfaat bagi anak. Begitu pula sebaliknya, apabila
resolusi yang dihadirkan tidak realistis, tidak solutif, bahkan cenderung
lari dari masalah, maka anak akan menyelsaikan masalah dengan cara
yang sama pula. Itulah sebabnya resolusi perlu diperhatikan. Satu hal lagi
yang perlu dievaluasi oleh guru adalah pasca resolusi. Biasanya tokoh
dalam cerita anak melakukan selebrasi pasca resolusi. Selebrasi ini
bertujuan untuk mengungkapkan kegembiraan atas keberhasilan
159

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

mengatasi konflik. Bentuk selebrasi beragam, sesuai dengan adat,


kebudayaan, dan tata nilai setempat. Cerita anak yang berasal dari Eropa
cenderung melakukan hal-hal seperti ciuman seusai mengatasi
permasalahannya. Tentu hal tersebut perlu diseleksi lagi, disesuaikan
dengan kearifan lokal negeri sendiri.
Ketujuh, tema buku. Tema yang patut diseleksi dalam sastra anak
adalah muatan moral yang dikandung. Setiap karya sastra anak yang
disajikan pasti memiliki tema tersenidiri. Tema sastra anak tentunya
memiliki nilai moral dalam setiap kisah yang disajikan. Alangkah baiknya
apabila nilai moral yang dimuat dalam tema tidak disajikan secara tersurat
namun tersirat. Beberapa anak merasa bosan apabila digurui, oleh sebab
itu nilai moral yang disajikan secara tersirat lebih digemari anak. Biarkan
anak berproses menangkap nilai-nilai yang disajikan dalam karya sastra
anak. Semakin anak memahami karya sastra yang disajikan dengan
sendirinya, maka semakin melekat nilai moral yang tersebut pada
benaknya.
Kedelapan, gaya atau style. Aspek terakhir yang perlu dinilai
adalah style atau gaya penulisan. Style setiap penulis sastra anak berbeda-
beda. Ada penulis yang menyajikan karyanya secara lugas, ada yang
menyajikan secara naratif, ada pula yang menyajikan dengan dialog yang
banyak. Alangkah baiknya apabila anak-anak diperkenalkan beragam style
karya sastra agar pengalaman baca mereka beragam. Nantinya style ini
juga mempengaruhi produktifitas karya anak. Anak akan memilih dia
akan bercerita dengan style seperti apa, tergantung dari bacaanya. Pada
dasarnya, style apapun tidaklah menjadi masalah asalkan konten atau
muatannya masih seuai dengan anak.
C. Cara Apresiasi
Setelah bahan bacaan anak ditemukan oleh guru, maka proses
selanjutny adalah proses apresiasi. Dalam hal ini apresiasi yang dilakukan
untuk mengapresiasi bahan bacaan bermuatan udha usuk basa Jawa
adalah cara apresiasi sastra anak. Beragam cara dapat dilakukan untuk
mengapresiasi sastra anak. Stewig (1980:28) menyebutkan bahwa terdapat
lima cara dasar yang bisa digunakan untuk mengajak anak mengapresiasi
karya sastra, termasuk sastra anak. Kelima cara tersebut adalah sebagai
berikut.
Pertama, cara verbal. Apresiasi sastra anak yang dilakukan guru
bersama anak adalah dengan cara mendiskusikan bersama karya yang
160

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

telah dibaca oleh anak. Cara ini dilakukan dengan mengajak anak untuk
kritis menanggapi karya sastra yang telah dibacanya atau disimaknya.
Memancing kekritisan anak dapat dilakukan dengan memberikan
pertanyaan pada mereka. Pertanyaan yang diberikan meliputi kesan apa
yang didapat setelah membaca karya tersebut? Siapa tokoh yang mereka
idolakan? Mengapa mereka mengidolakan tokoh tersebut? Pelajaran apa
yang didapat dari cerita tersebut? dan beragam pertanyaan lain yang
mampu menguak kreatifitas siswa.
Kedua, cara verbal dan psikis. Cara verbal dan psikis merupakan
cara atau tahapan yang dilakukan guru beresama anak untuk
mengapresiasi sastra secara lebih mendalam. Kenapa dikatakan
mendalam? Hal itu karena guru mengajak anak untuk ikut merasakan apa
yang dirasakan oleh tokoh dalam cerita. Apresiasi verbal dan psikis ini
dapat dilakukan dengan cara mendramatisir atau mengekspresikan
kembali lakuan tokoh dalam kisah-kisah yang telah dibaca atau disimak.
Ketiga, cara visual. Cara mengapresiasi sastra anak yang dapat
dilakuka bersama anak yaitu dengan cara menampilkannya kembali dalam
bentuk visual. Anak diajak untuk menggambarkan hal menarik yang ada
dalam cerita yang paling mereka suka, seperti tokoh yang paling
diidolakan, tempat dalam kisah yang dirasa indah, atau menggambarkan
salah satu adegan dalam kisah.
Keempat, musikal. Cara apresiasi musikal, sangat cocok bagi anak
yang memiliki pola belajar musikal. Bagi anak yang memiliki pola belajar
auditif, cara yang dapat dilakukan adalah dengan musikalisasi sastra anak.
Musikalisasi ini bisa dilakukan bersama anak untuk mengapresiasi puisi.
Anak diajak untuk menyanyikan puisi yang baru saja diapresiasinya
menjadi sebuah lagu, sehingga puisi berfungsi sebagai syair lagu.
Apresiasi menggunakan musik juga dapat dilakukan dalam naskah drama
anak. Dialog-dialog dalam naskah drama dinyanyikan agar lebih menarik.
Bukan hanya dalam naskah drama, dalam prosa fiksi pun juga demikian.
Narasi dalam prosa fiksi dapat dimonologkan dengan nada dan lagu.
Variasi penceritaan ini diharapkan mampu menarik minat dan perhatian
siswa dalam bersastra.
Kelima, cara menggubah kembali. Mengkonversi ke dalam bentuk
lain atau menggubah kembali, merupakan salah satu cara yang dapat
digunakan untuk mengapresiasi sastra anak. Menggubah kembali menjadi
bentuk lain merupakan salah satu tahapan apresiasi yang tidak mudah.
161

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Perlu pamahaman serta kreativitas. Penggubahan kembali bisa dari sastra


ke sastra atau dari sastra ke teks lain. Penggubahan dari sastra ke sastra
contohnya adalah menggubah cerpen menjadi puisi atau sebaliknya,
menggubah puisi menjadi cerpen atau sebaliknya. Penggubahan dari
sastra ke teks lain dapat dilakukan dengan cara menggubah dari sastra
menjadi surat. Contohnya apabila anak tertarik pada salah satu tokoh
prosa fiksi, maka anak diajak untuk menyuratinya. Topik surat adalah
segala sesuatu yang ingin disampaikan oleh anak pada tokoh idolanya.
Dengan demikian anak dapat mengkolaborasikan pembelajaran sastra dan
kemampuan berbahasanya secara bersamaan.

PENUTUP

Mirisnya pengetahuan anak terhadap udha usuk basa


Jawamerupakan hal yang patut untuk segera ditangani. Salah satu cara
penanganan yang dapat dilakukan adalah dengan mengoptimlakan peran
guru dalam mengenalkan udha usuk basa Jawapada anak. Pengenalan
tersebut tentunya lebih optimal apabila diintegrasikan dengan gerakan
literasi, khususnya membaca. Bahan bacaan anak yang menarik digunakan
untuk mengenalkan udha usuk basa Jawayaitu bahan bacaan sastra anak.
Meskipun demikian, guru perlu menyeleksi bahan bacaan yang cocok
untuk digunakan oleh anak. Setelah itu proses selanjutnya adalah proses
apresiasi. Anak diajak untuk mengapresiasi bahan bacaan bermuatan udha
usuk basa Jawayang telah dipilih sebelumnya. Dengan demikian, maka
pengenalan udha usuk basa Jawapada anak usia dini dapat berjalan secara
optimal akibat pengaruh yang diberikan oleh gurunya.

Daftar Rujukkan

Ahmadi, M., Sunoto., Susanto, G., Sulistyaorini, D., Karkono., 2010.


Modul Pembelajaran

Bahasa dan Sastra Jawa. Malang: Diklat Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Jawa

162

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

(tidak diterbitkan) Universitas Negeri Malang.

Cummings, Louis. 2007. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fashri, F. 2014. Pierre Bourdieu: Menyingkap Kuasa Simbol.


Yogyakarta: Jalasutra.

Haryatmoko. 2016. Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis


Post-Strukturalis. Yogyakarta: Kanisisus.

Jakarta: Yayasan Paramalingua.


Kurniawan, H. 2013. Sastra Anak: Kajian Strukturalisme, Sosiologim
Semiotika, Hingga Penulisan Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Ngadiman, Agustinus. Makalah Tingkat Tutur Bahasa Jawa Wujud


Kesantunan Manusia Jawa (Dulu dan Sekarang). Surabaya:
Universitas Katolik Widya Mandala. Diunduh dari http://ki-
demang.com/kbj5/index.php/makalah-kunci/1132-09-tingkat-tutur-
bahasa-jawa-wujud-kesantunan-manusia-jawa

Purwadi., Mahmudi., & Zaidah, N. 2012. Tata bahasa Jawa. Yogyakarta:


Pura Pustaka.

Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 2004. Kamus Jawa-Indonesia


Krama-Ngoko.

Stewig, J.W. 1980. Childern and Literature. USA: Rand McNally


College Publishing Company.

Ur, Penny. A Course in Language Teaching: practice and theory. Great


Britain: Cambridge University Press.

163

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

PAGELARAN WAYANG KULIT SEBAGAI MEDIA PENANAMAN


KARAKTER ANAK (PERSPEKTIF HUKUM EPIK AXEL OLRIX)
Pana Pramulia
Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
panapramulia@unipasby.ac.id

Abstract
One of the most popular oral literature in Javanese is the wayang kulit
performance.Thelakonwayang kulit is drawn from the Indian epic
Ramayana and Mahabharata.Wayangkulit performances are also a guide
for the people who watch. Wayang not just as a means of entertainment, but
also as a medium of communication, counseling and education.
Performances of wayang kulit can be used as a vehicle for character
planting that contains moral, ethical, and values. To understand and
discover the moral, ethical, and supreme values of the wayang kulit
performances required relevant theories. This study will use Axel Olrix epic
law and use the performance of wayang kulit LakonLaire Semar with
DalangKi. Purbo Asmoro.The Epic Law of Axel Olrix has twelve laws to be
used to analyze. However, in this study the Epic Law of Axel Olrix taken
only three points relating to the cultivation of the child's character. This
study uses an ethnographic approach to understand the linkage between
moral and values in society with that illustrated in the performance of
wayang kulit.

Keyword: Wayang Kulit Performance, The Epic Law of Axel Olrix, child's
character.

PENDAHULUAN
Sastra lisan merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Meneliti sastra lisan membutuhkan kecermatan atau ketelitian tersendiri, karena
sastra lisan berbaur dengan tradisi lisan sendiri. Barangkali sastra lisan yang
berbaur ini sudah tidak utuh lagi, dengan kata lainnya sudah diubah oleh generasi-
generasi penerusnya. Menurut Endraswara (2008), sastra lisan dibedakan menjadi
dua bagian, yaitu (1) sastra lisan murni, dan (2) sastra lisan tidak murni. Sastra
164

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

lisan murni bisa berupa mite, dongeng, legenda, hikayat, peribahasa, puisi lisan,
nyanyian/tembang (macapat, maskumambang, dirge dll) dan Pergelaran-
Pergelaran yang tersebar secara lisan di masyarakat. Sedangkan sastra lisan tidak
murni bisa berupa drama panggung, peraturan adat (undang-undang), mitos, dan
lain sebagainya.
Salah satu sastra lisan yang paling populer di masyarakat Jawa adalah
pagelaran wayang kulit atau dalam bahasa Jawa disebut dengan ringgit purwa.
Pagelaran wayang kulit, yaitu tontonan yang berupa boneka yang terbuat dari kulit
yang penuh warna-warni, yang bentuknya melukiskan suatu bangun kepribadian
manusia, dalam aspek kedalamannya justru merupakan tuntunan kehidupan,
sehingga juga disebut wayang purwa (Purwadi, 2009:25). Wayang purwa atau
populer disebut wayang kulit merupakan salah satu dari sekian banyak kekayaan
budaya Jawa. Selain sebagai hiburan, pertunjukan wayang kulit juga menjadi
tuntunan bagi masyarakat yang menonton. Maksudnya, wayang bukan sekadar
sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai media komunikasi, media penyuluhan,
dan media pendidikan. Bahkan wayang juga sebagai wahana pengabdian dalang
bagi masyarakat, negara, dan bangsa serta umat manusia pada umumnya
(Sujamto, 1995:26-27). Lakon wayang kulit Jawa diambil dari epik India, yaitu
Ramayana dan Mahabarata.
Pagelaran wayang kulit merupakan wahana penanaman karakter, karena
Pagelaran wayang kulit memuat moral, etika, dan nilai-nilai adi luhung.
Berdasarkan hal tersebut, Pagelaran wayang kulit dapat dijadikan media untuk
menanamkan karakter generasi penerus bangsa yang saat ini diambang
kehancuran. Maka dari itu, untuk memahami dan mengerti moral, etika, dan nilai-
nilai adi luhung Pagelaran wayang kulit dibutuhkan teori yang relevan. Penelitian
ini menggunakan teori hukum epik Axel Olrix dan menggunakan objek pagelaran
wayang kulit lakon Laire Semar dengan dalang Ki. Purbo Asmoro. Hukum Epik
Axel Olrix tersebut mempunyai dua belas hukum yang akan digunakan untuk
membongkar moral, etika, dan nilai-nilai adi luhung, sehingga dapat dijadikan
media penanaman karakter anak. Hukum epik Axel Olrix merupakan suatu hukum
yang diterapkan untuk menganalisis mite, dongeng, legenda, dan epik yang
digagas oleh Axel Olrix. Axel Olrix menyatakan, bahwa struktur Pagelaran prosa
rakyat terikat oleh hukum-hukum yang sama yang biasa disebut hukum epos
(Danandjaja, 1984:82). Berdasarkan hal tersebut, maka struktur Pagelaran rakyat
(epik) antara satu dengan lainnya identik. Hukum-hukum tersebut membatasi
kreativitas pengarang sastra lisan, karena sastra lisan mengikuti hukum tersendiri.

165

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Hukum epik Axel Olrix ada dua belas poin, antara lain hukum pembukaan
dan penutup, hukum pengulangan, hukum tiga kali, hukum dua tokoh di dalam
satu adegan, hukum keadaan berlawanan, hukum anak kembar, hukum tokoh
keluar pertama dan terakhir, hukum ada satu pokok Pagelaran saja, hukum berpola
Pagelaran rakyat, hukum penggunaan adegan tablo, hukum logika legenda, dan
hukum kesatupaduan rencana Pagelaran (Sudikan, 2014:103). Dua belas hukum
tersebut merangkai Pagelaran wayang kulit dari jejer sampai tancap kayon atau
dari awal Pagelaran wayang kulit sampai akhir Pagelaran wayang kulit. Hanya,
dalam penelitian ini dibatasi pada tiga poin hukum epik, yaitu hukum pembukaan
dan penutup, hukum pengulangan, dan hukum logika legenda. Maka, penelitian ini
berjudul ―Pagelaran Wayang Kulit Sebagai Media Penanaman Karakter Anak
(Perspektif Hukum Epik Axel Olrix)‖.
Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi untuk memahami
keterkaitan antara moral dan nilai-nilai di masyarakat dengan moral dan nilai-nilai
yang digambarkan pada pagelaran wayang kulit lakon Laire Semar. Pendekatan
etnografi berkaitan dengan kebudayaan dan tradisi masyarakat yang akan diteliti.
Menurut Endraswara (2003:1) penelitian kebudayaan bersifat dinamis dan
dialektis. Maksudnya, dinamis mempunyai makna bahwa penelitian kebudayaan
senantiasa mengikuti gelombang kebudayaan yang bersifat labil. Dialektis,
maksudnya dalam penelitian budaya perlu memerhatikan aspek-aspek kedaerahan,
dimana aspek tersebut berbeda dengan daerah lainnya. Setiap daerah memiliki ciri
khas tersendiri. Hal tersebut sebagai identitas bahwa daerah satu dengan yang lain
berbeda.

PEMBAHASAN
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa untuk menemukan moral dan nilai-
nilai adi luhung sebagai penanaman karakter, teori digunakan yaitu Hukum Epik
Axel Olrix. Hukum epik Axel Olrix ada dua belas poin, antara lain hukum
pembukaan dan penutup, hukum pengulangan, hukum tiga kali, hukum dua tokoh
di dalam satu adegan, hukum keadaan berlawanan, hukum anak kembar, hukum
tokoh keluar pertama dan terakhir, hukum ada satu pokok Pergelaran saja, hukum
berpola Pergelaran rakyat, hukum penggunaan adegan tablo, hukum logika
legenda, dan hukum kesatupaduan rencana Pergelaran. Pada penelitian ini hanya
tiga poin yang dipilih, yaitu hukum pembukaan dan penutup, hukum pengulangan,
dan hukum logika legenda.
Sebelum menggunakan Hukum Epik Axel Olrix, peneliti menguraikan alur
cerita dan pola alur dalam cerita. Alur cerita merupakan urutan cerita (konflik)
166

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

dari pathet nem sampai pathet manyura. Pola cerita disusun terstruktur dengan
menggunakan kaidah pola alur segi tiga tidak beralas dan pola garis menanjak.
Kedua pola tersebut digunakan sebagai pijakan analisis berikutnya.
A. Alur Cerita
1) Tejamaya, Ismaya, dan Manikmaya merupakan anak yang patuh kepada
orang tuanya.
2) Pesan dari Sang Hyang Tunggal di Pendopo Jonggring Saloka kepada tiga
anaknya, yaitu Tejamaya, Ismaya, dan Manikmaya, bahwa siapapun yang
kukuh akan bisa menggantikannya. Pesan tersebut menyulut watak
angkara murka ketiganya.
3) Tejamaya sebagai anak tertua sesumbar bahwa yang bisa menggantikan
ayahnya hanya dia.
4) Ismaya yang merasa paling kuat tidak terima dan menyampaikan kepada
Tejamaya bahwa dia yang mampu menggantikan ayahnya.
5) Terjadi adu argumentasi dan pertengkaran antara Tejamaya dengan Ismaya
karena keduanya merasa paling kuat.
6) Manikmaya merasa di atas angin dan mengadu domba keduanya.
7) Tejamaya dan Ismaya beradu kekuatan untuk menelan gunung.
8) Keduanya menjadi buruk rupa setelah menelan gunung.
9) Sang Hyang tunggal marah dan menghukum Tejamaya dan Ismaya untuk
turun ke bumi.
10) Tejamaya berganti nama menjadi togog dan ditugaskan menjadi abdi dan
pengingat dari Raja-Raja yang mempunyai watak angkara murka.
11) Ismaya berganti nama menjadi Semar dan ditugaskan menjadi abdi dan
pengingat dari Raja-Raja yang mempunyai watak berbudi luhur.
12) Manikmaya diangkat oleh Sang Hyang Tunggal menjadi Raja di Jonggring
Saloka.
13) Togog dan Semar menemui Sang Hyang Wenang untuk mencari petunjuk
dan nasihat.
14) Sang Hyang Wenang menasihati Togog dan Semar agar menerima dengan
rela hukuman yang diterimanya, karena hukuman tersebut berasal dari
ulah mereka sendiri.
15) Togog dan Semar turun ke bumi dan menjalani hukuman

B. Struktur alur digambarkan dalam dua pola


1) Tejamaya, Ismaya, dan Manikmaya merupakan anak yang patuh kepada
orang tuanya. Pesan dari Sang Hyang Tunggal di Pendopo Jonggring Saloka
167

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

kepada tiga anaknya, yaitu Tejamaya, Ismaya, dan Manikmaya, bahwa


siapapun yang kukuh akan bisa menggantikannya. Pesan tersebut menyulut
watak angkara murka ketiganya. Tejamaya sebagai anak tertua sesumbar
bahwa dia yang bisa menggantikan ayahnya. Ismaya yang merasa paling kuat
tidak terima dan menyampaikan kepada Tejamaya bahwa dirinya yang
mampu menggantikan ayahnya. Manikmaya mengadu domba. Tejamaya dan
Ismaya berlomba untuk menelan gunung. Tejamaya dan Ismaya mendapatkan
hukuman.

2) Cerita pada selanjutnya mengungkapkan bahwa Tejamaya dan Ismaya rela


menerima hukuman karena kesalahannya. Tejamaya berganti nama menjadi
togog dan ditugaskan menjadi abdi dan pengingat dari Raja-Raja yang
mempunyai watak angkara murka. Ismaya berganti nama menjadi Semar dan
ditugaskan menjadi abdi dan pengingat dari Raja-Raja yang mempunyai
watak berbudi luhur. Togog dan Semar menemui Sang Hyang Wenang untuk
mencari petunjuk dan nasihat.

Data yang telah terstruktur berdasarkan alur cerita dan pola alur
kemudian dipelajari dan dikaitkan dengan teori yang digunakan. Sebelum
melakukan analisis, peneliti melakukan pembacaan transkripsi dan
terjemahan secara kritis, pengidentifikasian moral dan nilai-nilai adi luhung
sampai dengan menyimpulkan hasil. Pada akhirnya, data berupa pergelaran
wayang kulit tersebut dianalisis dengan menggunakan teori Hukum Epik Axel
Olrix yang telah diacu.

C. Hukum Epik Axel Olrix

168

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Ada dua belas poin dalam Hukum epik Axel Olrix, diantaranya (1) hukum
pembukaan dan penutup; (2) hukum pengulangan; (3) hukum tiga kali; (4) hukum
dua tokoh di dalam satu adegan; (5) hukum keadaan berlawanan; (6) hukum anak
kembar; (7) hukum tokoh keluar pertama dan terakhir; (8) hukum ada satu pokok
pagelaran saja; (9) hukum berpola pagelaran rakyat; (10) hukum penggunaan
adegan tablo; (11) hukum logika legenda; dan (12) hukum kesatupaduan rencana
pagelaran (Sudikan, 2014:103). Dua belas hukum tersebut hanya tiga poin yang
dipilih, yaitu hukum pembuka dan penutup, hukum pengulangan, dan hukum
logika legenda. Alasannya, tiga poin tersebut terkait dan dapat dijadikan sebagai
media penanaman karakter anak. Data yang ditemukan dinalisis dan dimaknai,
kemudian ditarik keterkaitan dengan penanaman karakter anak.

1. Hukum Pembuka dan Penutup


Pada poin pertama, yaitu hukum pembuka dan penutup akan diuraikan melalui
tabel yang kemudian akan dianalisis dan dimaknai, kemudian ditarik keterkaitan
dengan penanaman karakter anak. Hukum pembukaan pada pagelaran wayang
kulit dapat dilihat dari pengadeganan babak pertama atau biasa disebut jejer
pathet nem. Sedangkan hukum penutup dalam pagelaran wayang kulit dapat
dilihat dari pengadeganan terakhir pada babak tiga atau pathetmanyura (sebelum
tancap kayon) dengan iringan gendhing penutup. Hukum pembuka dan penutup
diuraikan melalui tabel berikut ini.
Tabel 1 Hukum Pembuka dan Penutup
Hukum Pembuka Hukum Penutup

Janturan Pisowanan Agung Gendhing Umbul Donga

Swuh rep data pitana anenggih pundi ta Ya Allah iman basuki,


ingkang tata pambukaning kandha. Sinebut
kaeka adi dasa purwa eka marang sawijati. Ya Allah slamet-slamet,
Adi linuwih, dasa sepuluh, purwa wiwitan, Ya Allah mulya waluya,
senajan kathah titahing Bathara kang
kasangga ing pratiwi kaungkulaning angkasa Ya Allah selameta,
tinapit samudra. Kapitan tan anggara raras
Ya Allah negarane,
tan kadi ingkang minangka bebukaning
kanda ya pambukaning carita. Lah menika Gusti kawula.
ingkang datan ing Kahyangan, ya Jonggring
169

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Saloka…..

Terjemahan Bebas

Janturan Pisowanan Agung Gendhing Umbul Donga

Pada mulanya suasana dunia ini sepi, Ya Allahiman basuki


suwung, sunyi (awung-awung), kemudian
munculah cerita yang dapat dikatakan Ya Allah semoga memberi keselamatan
sebagai adi dasa purwa eka terhadap Ya Allah berilah kemuliaan
kesejatian. Adi yang bermakna mempunyai dankesehatan
kelebihan dan keutamaan, dasa adalah
sepuluh, purwa merupakan permulaan, Ya Allah berilah selamat
walaupun banyak sabda dari Dewa yang
Ya Allah untuk negaraku
menjadi penyangga jagad serta angkasa raya
dan lautan. Di antara keindahan yang menjadi Gustiku.
pembukaan cerita itu ada sebuah tempat yang
biasa disebut dengan kahyangan atau
Jonggring Saloka….

Pada pagelaran wayang kulit atau seni pertunjukan lainnya, hukum


pembuka dan penutup menjadi sebuah keniscayaan. Pagelaran wayang kulit lakon
―Laire Semar‖ hukum pembuka terdapat pada Janturan Jonggring Saloka. Hukum
penutup terdapat pada gendhing sebelum tancap kayon, yaitu gendhing umbul
donga. Secara filosofis Janturan Jonggring Saloka bermakna bahwa manusia
harus mempunyai kelebihan dan keutamaan dalam menjalani kehidupan. Selain
itu, manusia harus senantiasa ingat kepada kebesaran Pencipta. Sedangkan
gendhing umbul donga berpesan bahwa setiap perbuatan atau tindakan harus
diakhiri dengan doa.
Intinya, manusia harus menjalani kehidupan dengan berdasar pada
perintah dan larangan Tuhan, sehingga dapat berbuat kebaikan. Di sisi lain, segala
tindakan dan perbuatan hendaknya disandarkan pada kekuatan doa. Dalam hal ini,
perbuatan dan tindakan manusia harus berdasarkan kebaikan dan setiap saat atau
untuk mengakhiri tindakan disertai dengan doa sebagai keuatan. Makna tersebut
dapat ditanamkan kepada anak dalam kehidupan sehari-hari untuk menguatkan
karakter.
170

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

2. Hukum Pengulangan
Pengulangan dilakukan dalam berbagai bentuk, misalnya saja pengulangan nama
tokoh dengan nama lain, pengulangan suluk, dan pengulangan perang antar tokoh.
Pada pembahasan ini yang akan diuraikan hanya pengulangan suluk dan perang,
karena berkaitan dengan penanaman karakter anak. Datanya sebagai berikut.
Tabel 2 Hukum Pengulangan Suluk
Suluk Terjemahan Bebas Pengulangan

Suluk Gurisa Suluk Gurisa

Bremara reh manguswa Suara kumbang berdengung


amung mbrengengeng, hendak mencium bunga,

Kadi karunaning kaswosih, seperti terpikat oleh


o, senandung,

Ning marga amalatkung, o, di jalan, yang menimbulkan Lima


rasa kasih,
Risang gandawastratmaja,
Sang Ganda Wastratmaja,
Leng leng lalu hangulati.
Terpesona ketika melihatnya.

Suluk Pathet Nem Jugag Suluk Pathet Nem Jugag

Anjrah ingkang puspita rum, Harumnya bunga menyebar,


kasiliring samirana, mrik, o, o,

sekar gadung, kongas wanginya terbawa hembusan


gandanya, o, angin, o,

maweh mawas renaning kembang gadhung semerbak Tujuh


driya, o, o. aromanya,

membuat hati begitu senang.

Data di atas dipilih berdasarkan pemaknaan terhadap isi dan


keterkaitannya dengan kehidupan sehari-hari anak. Maksudnya, suluk yang dipilih
171

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

dapat dijadikan pijakan untuk menanamkan dan menumbuhkan karakter anak.


Dua suluk yang dipilih tersebut paling banyak diulang daripada suluk lainnya. Isi
dari dua suluk tersebut hampir sama, yaitu menceritakan tentang keindahan.
Berdasarkan banyaknya pengulangan dan isi suluk, dalang pergelaran wayang
kulit lakon ―Laire Semar‖ mengagungkan keindahan. Dari sini uraian isi dan
makna suluk dapat dikaitkan dengan penanaman karakter anak.
Pengagungan keindahan dapat ditanamkan kepada anak sejak dini sebagai
media pengingat kebesaran dan kekuasaan Tuhan.Jika keagungan keindahan
sudah tertanam dalam diri anak, maka karakter yang kuat akan dapat dimiliki
sebagai modal menjalani kehidupan sehari-hari dan menjadi bekal dewasa nanti.

Tabel 3 Hukum Pengulangan Perang


Nama Tokoh Pengulangan

Tejamaya melawan Ismaya Dua

Data di atas merupakan pengulangan perang dilakukan tokoh yang sama,


yaitu Tejamaya dan Ismaya. Perang pertama dilakukan dengan cara adu kekuatan
(fisik), dan hasilnya dua tokoh tersebut tidak ada yang menang (saling terluka).
Perang kedua dilakukan dengan cara adu kekuatan untuk menelan gunung.
Hasilnya, dua tokoh tidak ada yang berhasil dan berubah wujud menjadi buruk.
Kedua perang tersebut berasal dari watak serakah dan angkara murka dari
Tejamaya maupun Ismaya. Perang pertama yang berdampak buruk tidak
menjadikan bahan pembelajaran dua tokoh tersebut yang pada akhirnya
memunculkan perang kedua.
Perilaku yang dilakukan Tejamaya dan Ismaya dapat diistilahkan sebagai
―masuk di lubang yang sama‖ atau melakukan kesalahan kembali. Berdasarkan
uraian tersebut, maka perilaku yang dilakukan oleh Tejamaya dan Ismaya dapat
dijadikan sebagai media perenungan dan penanaman karakter anak. Dalam hal ini,
berhati-hati menjalankan segala sesuatu ditekankan agar tidak mengalami dampak
yang buruk. Di sisi lain, keserakahan dan watak angkara murka dapat
menimbulkan kerugian pada diri sendiri dan orang lain. Perilaku dan peristiwa
yang dialami Tejamaya dan Ismaya juga berkaitan dengan hukum logika legenda.

3. Hukum Logika Legenda


Hukum logika legenda dalam pergelaran wayang kulit lakon ―Laire Semar‖
terdapat pada hukum sebab–akibat yang dialami tokoh. Kejahatan dan keburukan
172

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

akan berdampak pada kerugian. Kebaikan dan kebenaran akan menghasilkan


kebaikan. Tejamaya dan Ismaya yang mempunyai watak serakah mendapatkan
akibat setimpal. Salah satu peristiwa dalam pergelaran wayang kulit lakon ―Laire
Semar‖ yang dapat dijadikan penanaman karakter, yaitu pengulangan perang yang
dilakukan Tejamaya dan Ismaya.
Pengulangan perang yang berdampak pada kerugian dapat dikatakan
bahwa tokoh tidak bisa mengambil pelajaran akan peristiwa. Maksudnya,
peristiwa (perang) pertama yang mengakibatkan kerugian terulang kembali pada
peristiwa kedua. Kegagalan dalam membaca peristiwa dan akibat tersebut
berdampak pada hukuman yang diterima keduanya. Hyang Tunggal marah dan
menghukum Tejamaya dan Ismaya untuk turun ke bumi. Kemudian, Hyang
Wenang menasihati Togog dan Semar agar menerima dengan rela hukuman yang
diterima, karena hukuman tersebut berasal dari ulah mereka sendiri.
Artinya, hukum sebab–akibat berlaku bagi siapa saja. Kebaikan akan
berdampak pada kebaikan dan keburukan akan mengakibatkan kerugian, bahkan
kehancuran. Peristiwa yang dialami Tejamaya dan Ismaya tersebut dapat
digunakan sebagai penanaman karakter anak. Sejak dini hendaknya anak dididik
agar senantiasa berhati-hati dalam mengambil sikap, menjauhi watak serakah, dan
menghindari sifat angkara murka.

SIMPULAN
Penelitian pagelaran wayang kulit lakon ―Laire Semar‖ ini dianalisis
menggunakan hukum epik Axel Olrix. Hukum epik Axel Olrix ada dua belas
poin, antara lain hukum pembukaan dan penutup, hukum pengulangan, hukum
tiga kali, hukum dua tokoh di dalam satu adegan, hukum keadaan berlawanan,
hukum anak kembar, hukum tokoh keluar pertama dan terakhir, hukum ada satu
pokok Pergelaran saja, hukum berpola Pergelaran rakyat, hukum penggunaan
adegan tablo, hukum logika legenda, dan hukum kesatupaduan rencana
Pergelaran. Hanya, dalam penelitian dibatasi pada tiga poin hukum epik, yaitu
hukum pembukaan dan penutup, hukum pengulangan dan hukum logika legenda.
Alasannya, tiga poin tersebut berkaitan dan tepat digunakan sebagai media
penanaman karakter anak. Sebelum Hukum Epik Axel Olrix digunakan, terlebih
dahulu alur cerita dan pola alur dalam cerita diuraikan. Alur cerita merupakan
urutan cerita (konflik) dari pathet nem sampai pathet manyura. Pola cerita disusun
terstruktur dengan menggunakan kaidah pola alur segi tiga tidak beralas dan pola
garis menanjak.

173

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Poin pertama yaitu hukum pembuka dan penutup, hukum pembuka


terdapat pada Janturan Jonggring Saloka dan hukum penutup terdapat pada
gendhing sebelum tancap kayon, yaitu gendhing umbul donga. Makna dari hukum
pembuka dan penutup tersebut, bahwa manusia harus menjalani kehidupan
dengan berdasar pada perintah dan larangan Tuhan, sehingga dapat berbuat
kebaikan. Di sisi lain, segala tindakan dan perbuatan hendaknya disandarkan pada
kekuatan doa. Hukum pengulangan menjadi poin kedua dalam penelitian ini. Ada
dua jenis pengulangan, yaitu suluk dan perang. Isi dari dua suluk menceritakan
tentang keindahan. Pengulangan perang dilakukan tokoh yang sama, yaitu
Tejamaya dan Ismaya. Perilaku yang dilakukan Tejamaya dan Ismaya dapat
diistilahkan sebagai ―masuk di lubang yang sama‖ atau melakukan kesalahan
kembali. Poin ketiga yaitu hukum logika legenda, di mana hukum sebab–akibat
yang dialami tokoh. Tejamaya dan Ismaya mendapatkan akibat dan hukuman
setimpal dari perbuatannya. Maka, uraian tersebut dapat dijadikan rujukan untuk
menanamkan karakter kepada anak. Baik dalam kehidupan sehari-hari maupun
sebagai bekal dalam kehidupan kelak.

DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja, James. 1984, Foklor Indonesia: ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain.
Jakarta: Grafitipers.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra, edisi revisi. FBS
Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta: Buku kita.
Purwadi, Dr. 2009. Pengkajian Sastra Jawa. Yogyakarta: Pura Pustaka.
Sudikan. Setya Yuwana. 2014. Metode Penelitian Sastra Lisan. Lamongan:
Pustaka Ilalang.
Sujamto. 1995. Wayang dan Budaya Jawa. cetakan ketiga, cetakan pertama tahun
1992. Semarang: Dahara Prize.

174

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

SEMIOTIK KULTURAL DALAM NASKAH DRAMA GAMBUS MISRI


JOMBANG

Susi Darihastining dan Siti Nur Inayah


STKIP PGRI JOMBANG. Education Program Indonesian language and
Letters.
Jl. Patimura III/20 Jombang Street. Housing : Jl. Imam Bonjol No. 58 A,
Denanyar Jombang.
E-mail: s.nanink@gmail.com/ 081357946975

Abstrak
Drama selalu dihubungkan dengan karya sastra. Karya sastra
menggunakan bahasa sebagai media penyampaian. Bahasa sebagai
alat komunikasi mampu menjadi perantara tersampaikannya ide-ide
dari pengarang melalui suatu tanda. Bermula dari bahasa sebagai
sistem tanda, maka karya sastra yang bermediumkan bahasa

175

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

merupakan sistem semiotika atau sistem tanda. Artinya, semua yang


hadir dalam kehidupan manusia dilihat sebagai tanda, yaitu sesuatu
yang harus diberi makna. Sedangkan manusia berada dalam
lingkungan sosial budayanya. Oleh karena itu, semiotik melihat
kebudayaan sebagai sistem tanda. Seperti halnya pada kesenian asli
Jombang, yaitu Gambus Misri. Kesenian Gambus Misri
mengandung kearifan budaya yang tercermin dalam lakon (cerita)
yang disuguhkan. Tujuan penelitian yakni mendeskripsikan tonggak
dalam naskah drama Gambus Misri ―Senja yang Bercerita‖ sebagai
kearifan budaya. Kajian yang digunakan adalah semiotik kultural.
Bersumber dari teori Charles Sanders Pierce tentang semiosis yang
terdiri dari representament, object, dan interpretant. Sumber data
penelitian berupa naskah drama Gambus Misri ―Senja yang
Bercerita‖ karya Candra Irawan, Devi Nur S., Yuni Wulansari, dan
Fatimatuz Zahroh, yaitu mahasiswa STKIP PGRI Jombang Program
Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa (1) analisis semiotik kultural tentang proses
semiosis (pemaknaan tanda) berupa tonggak (tanda dan ingatan).
Wujud tonggak yang terdapat pada naskah tersebut terdiri dari
peristiwa dan ingatan serta lagu dan ingatan. Tonggak tersebut
membantu masyarakat mengingat akan sesuatu pada masa lalu yang
menjadi sebuah tanda kebudayaan; (2) makna kultural yang terdapat
pada wujud tonggak berupa peristiwa dan ingatan terdiri dari sistem
kekerabatan dan organisasi sosial, sistem religi, pengetahuan,
bahasa, kesenian, dan sistem ekonomi atau mata pencaharian hidup;
makna kultural yang terdapat pada wujud tonggak berupa lagu dan
ingatan terdiri dari sistem kesenian dan sistem religi. Makna-makna
kultural tersebut sebagai suatu kearifan budaya dalam kehidupan
bermasyarakat.
Kata kunci: Tonggak, Naskah drama Gambus Misri, Semiotik
Kultural.

PENDAHULUAN
Gambus Misri merupakan kesenian asli Jombang yang bernafaskan
keislaman serta musik melayu sebagai pengiringnya atau lebih dikenal dengan
ludruk islami. Lebih jelasnya Nanang, dkk (2012: 462) menjelaskan bahwa
Gambus Misri adalah salah satu kesenian rakyat yang pernah hidup dan
berkembang di Kabupaten Jombang. Gambus Misri merupakan orkes gambus
yang banyak mengandalkan lagu-lagu Mesir, karena pada waktu itu lagu-lagu
padang pasir yang berasal dari Mesir sangat populer. Gambus Misri

176

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

merupakan representasi kesenian kaum santri di Jombang. Oleh karena itu,


mulanya cerita (lakon) yang dibawakan Gambus Misri merupakan cerita
bernafaskan keislaman. Menurut Dasar Anshori, salah satu penulis, sutradara,
dan aktor grup Gambus Misri ―Mawar Besemi‖, ciri khas yang menonjol dan
berbeda dengan kesenian yang lain adalah dari unsur musik, tarian, lawak,
lakon, dan yang paling penting adalah tujuannya. Menurut Nanda Sukmana,
Dewan Kesenian Jombang menjelaskan bahwa Gambus Misri menceritakan
lakon yang bernafaskan keislaman. Lakon-lakon Gambus Misri bertema islami
bersumber dari sahabat Nabi dan cerita seribu satu malam. Misalnya kisah
Umar bin Khattab, Shafyan bin Umayyah, Aladin dan Lampu Wasiat, dan lain
sebagainya. Cerita-cerita islami disuguhkan bertujuan untuk memberikan
perbedaan dari kesenian yang lain. Kesenian Gambus Misri disajikan untuk
memberikan hiburan kepada santri yang mondok di pesantren-pesantren. Saat
itu memang hiburan-hiburan seperti ludruk, jaranan, dan lain sebagainya tidak
bisa dinikmati oleh para santri.
Gambus Misri sebagai kesenian asli Jombang mengandung kearifan
budaya yang tercermin dalam lakon (cerita) yang disuguhkan. Kearifan
budaya tersebut bersumber dari unsur-unsur kebudayaan. Koentjaraningrat
(2015: 2) membagi kebudayaan menjadi tujuh unsur. Unsur-unsur tersebut
disebut unsur-unsur universal karena merupakan unsur-unsur yang pasti bisa
ditemukan pada kebudayaan dunia. Unsur-unsur tersebut diantaranya; sistem
religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, sisem mata pencaharian hidup, sistem
teknologi dan peralatan.
Di samping itu, naskah Gambus Misri sebagai suatu karya sastra yang
bermediumkan bahasa merupakan sistem tanda. Tanda-tanda kebudayaan
dipelajari dalam semiotik kultural. Kajian semiotik kultural bersumber dari
teori Charles Sanders Pierce tentang semiosis. Semiosis merupakan poses
pemberian makna (Hoed, 2014: 4).Semiosis terdiri dari representament
(persepsi indrawi), object (sasaran), dan interpretant (penafsiran). Semiosis
lahir dalam suatu batasan tertentu. Pierce menyebutnya dengan istilah
tonggak. Tonggak adalah unsur yang mengingatkan pada seseorang, suatu
benda, keadaan, atau peristiwa (Hoed, 2014: 333). Adapun hasil penelitian
menunjukkan bahwa (1) analisis semiotik kultural tentang proses semiosis
(pemaknaan tanda) berupa tonggak (tanda dan ingatan). Wujud tonggak yang
terdapat pada naskah tersebut terdiri dari peristiwa dan ingatan serta lagu dan
ingatan. Tonggak tersebut membantu masyarakat mengingat akan sesuatu
177

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

pada masa lalu yang menjadi sebuah tanda kebudayaan; (2) makna kultural
yang terdapat pada wujud tonggak berupa peristiwa dan ingatan terdiri
darisistem kekerabatan dan organisasi sosial, sistem religi, pengetahuan,
bahasa, kesenian, dan sistem ekonomi atau mata pencaharian hidup; makna
kultural yang terdapat pada wujud tonggak berupa lagu dan ingatan terdiri dari
sistem kesenian dan sistem religi. Makna-makna kultural tersebut sebagai
suatu kearifan budaya dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal tersebut mendorong peneliti untuk mengangkat kesenian Gambus
Misri sebagai salah satu teater rakyat asli dari Jombang. Selain itu, kesenian
Gambus Misri yang sangat digemari masyarakat pada jamannya dulu tiba-tiba
tergeser dengan adanya musik dangdut atau pun rock. Mulai dari unsur tarian,
lawakan, lagu, sampai ceritanya terpengaruh oleh musik dangdut atau pun
musik India sehingga memengaruhi keaslian kesenian ini. Menurut Amari
(Rifai, 2016: 155-156) menjelaskan bahwa faktor-faktor kesenian Gambus
Misri mulai tegeser karena regenerasi yang sulit, para pemuda sudah mulai
beralih kearah musik yang lebih menggairahkan seperti rock-dut dan musik-
musik lain sesuai zaman pada saat itu, pemain lama yang tidak bisa
menggantungkan diri dari berkesenian memaksa untuk banyak yang bekerja di
luar kota ditambah dengan persaingan bisnis yang kuat memicu timbulnya
media hiburan yang lebih terbaharui, seperti televisi, dan media lainnya yang
saat ini mampu mengubah pola pikir masyarakat yang sudah lepas dari nilai-
nilai sosial. Meski demikian, sampai saat ini para pelajar, mahasiswa atau pun
seniman terutama di Jombang masih berusaha untuk melahirkan kembali
kesenian ini. Hal ini disebabkan karena gambus misri merupakan salah satu
kekayaan budaya Jombang yang bernilai besar.
Penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu membuat
gambaran atau lukisan secara sistematis mengenai suatu data yang diteliti
tanpa menggunakan perhitungan dan angka-angka. Metode penelitian
deskriptif kualiatif dilakukan dengan memaparkan data dengan menggunakan
konsep tonggak (tanda dan ingatan). Peneliti berusaha mendeskripsikan
tonggak (tanda dan ingatan) yang bersumber dari kearifan budaya dalam
naskah drama Gambus Misri ―Senja yang Bercerita‖ dengan menggunakan
teori Charles Sanders Pierce.
Sumber data utama berupa naskah drama gambus misri yang berjudul
―Senja yang Bercerita‖ karya Candra Irawan, Devi Nur S., Yuni Wulansari, dan
Fatimatuz Zahroh, mahasiswa STKIP PGRI Jombang Prodi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2013. Naskah yang terdiri dari 32
178

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

halaman tersebut dibuat dan dipertunjukkan untuk memenuhi tugas akhir mata
kuliah penyutradaraan serta merupakan visualisasi dan adaptasi sebagai upaya
menghidupkan kembali kesenian Gambus Misri yang hampir punah. Sumber
data pendukung berupa transkrip wawancara langsung peneliti kepada empat
penulis naskah drama ―Senja yang Becerita‖ mengenai deskripsi secara umum
atau pengenalan naskah. Data pendukung lainnya adalah transkrip wawancara
penulis dengan tiga pelaku gambus misri dahulu tentang pengenalan gambus
misri. Sedangkan data penelitian berupa kata-kata pada naskah drama gambus
misri ―Senja yang Bercerita‖. Baik data yang berasal dari bentuk dialog,
narasi, atau pun nyanyian yang meliputi kajian semiotik kultural tentang
proses semiosis dan makna kultural tonggak peristiwa dan ingatan serta lagu
dan ingatan sebagai suatu kearifan budaya dalam kehidupan bermasyarakat.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian yaitu instrumen utama dan
instrumen pendukung. Instrumen utama merupakan peneliti sendiri yang
bertugas sebagai pencari data, mulai dari tahap sebagai perencana, pelaksana
pengumpulan data, analis, penafsir data dan pelapor hasil penelitian.
Instrumen pendukung dalam penelitian ini berupa tabel yang digunakan
peneliti untuk mempermudah mengklasifikasikan data yang ada, yaitu proses
semiosis (pemaknaan tanda) pada wujud tonggak dan makna kultural tonggak
peristiwa dan ingatan serta lagu dan ingatan sebagai kearifan budaya. Berikut
merupakan format tabel identifikasi dan klasifikasi data yang digunakan dalam
penelitian.
1. Tabel Identifikasi Tonggak Peristiwa dan Ingatan serta Lagu
dan Ingatan
1.1. Tonggak Peristiwa dan Ingatan
No. Kode Data Data Tonggak Peristiwa dan Ingatan
1. 02/SYB/T.PI/A2 Aku habis menjenguknya. Peristiwa
Wajahnya pucat. Tubuhnya menjenguk(representament),
menguning tergeletak di Sukidi, si Dewi Bulan yang
atas dipan. Seolah-olah terbaring sakit (object), Dewi
sudah tidak ada lagi Nirwana gelisah dan kebingungan
harapan… mencari pengganti Sukidi sebagai
Dewi Bulan (interpretant).

1.2 Tabel Tonggak Lagu dan Ingatan


No. Kode Data Data Tonggak Lagu dan Ingatan
1. 01/SYB/T.BI/A1 Selamat datang kami Lagu “Selamat
ucapkan
179

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Para hadirin yang budiman Datang”(representament),


Berdoa kami bersama kesenian Gambus Misri dari
kawan Jombang (object), lagu ―Selamat
Semoga di dalam
Datang‖ merupakan lagu
keselamatan …
pembuka yang wajib dinyanyikan
karena sudah menjadi pakem
kesenian Gambus Misri asli
Jombang. Lagu tersebut
digunakan untuk menyambut
kehadiran penonton (interpretant).

2. Tabel IdentifikasiMakna Kultural Tonggak Peristiwa dan


Ingatan serta Lagu dan Ingatan
2.1. Makna Kultural Tonggak Peristiwa dan Ingatan

Makna Kultural
No. Kode Data Data Tonggak Lagu dan
Ingatan
1 2 3 4 5 6 7
1. 02/SYB/T.PI/A2 Aku habis √
menjenguknya.
Wajahnya pucat.
Tubuhnya
menguning
tergeletak di atas
dipan. Seolah-olah
sudah tidak ada
lagi harapan.
2.3. Makna Kultural TonggakLagu dan Ingatan

Makna Kultural
No. Kode Data Data Tonggak Peristiwa dan
Ingatan
1 2 3 4 5 6 7
1 01/SYB/T.BI/A1 Selamat datang √
kami ucapkan
Para hadirin yang
budiman
Berdoa kami

180

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

bersama kawan
Semoga di dalam
keselamatan …

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan teknik


observasi, wawancara, dan dokumentasi. Data yang diperoleh diklasifikasikan
sesuai dengan karakteristik masing-masing data. Data berupa proses semiosis
diklasifikasikan berdasarkan wujudnya, yaitu peristiwa dan ingatan serta lagu
dan ingatan dan makna kultural tonggak diklasifikasikan berdasarkan unsur-
unsur kebudayaan, yaitu sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan
organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sisem mata
pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan. Data yang telah
diklasifikasikan tersebut akan dianalisis melalui analisis model semiotik
Charles Sanders Pierce.

PEMBAHASAN
A. Proses Semiosis (Wujudnya)
Analisis semiotik kultural tentang proses semiosis (pemaknaan
tanda) berupa tonggak (tanda dan ingatan) diklasifikasikan menjadi
empat macam, yaitu benda dan ingatan, peristiwa dan ingatan, lagu dan
ingatan, serta bau atau aroma dan ingatan (Hoed, 2014: 333). Pada
penelitian ini fokus pada tonggak berupa peristiwa dan ingatan serta lagu
dan ingatan.
1) Tonggak berupa Peristiwa dan Ingatan
Tonggak berupa peristiwa meliputi kejadian (hal, perkara,
dan sebagainya); kejadian yang luar biasa (menarik perhatian dan
sebagainya) yang benar-benar terjadi yang mengingatkan pada
sesuatu.
Data Kutipan:
a. SURYANI:
Bu, mbok jangan menangis?
DEWI NIRWANA:
Aku habis menjenguknya. Wajahnya pucat. Tubuhnya
menguning tergeletak di atas dipan. Seolah-olah sudah tidak ada
lagi harapan.
SURYANI:
Kasihan sekali ya, padahal pamornya sedang naik daun...
02/SYB/T.PI/A2

Wujud tonggak peristiwa menjenguk(representament)


dilakukan oleh Dewi Nirwana. Peristiwa tersebut mengingatkan
kepada Sukidi, Dewi Bulan yang terbaring sakit (object). Dewi

181

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Nirwana gelisah dan kebingungan mencari pengganti Sukidi


sebagai Dewi Bulan (interpretant).Peristiwa tersebut menjadi
sebuah tanda yang mengingatkan pada Sukidi sedang terbaring
sakit sehingga tidak bisa memainkan peran Jasmin dalam cerita
Aladin dan Putri Jasmin.

b. SARAH:
Berdo’alah. Mintalah petunjuk pada Allah Azza Wajalla. Aku
yakin Allah akan memberimu jalan keluar yang terbaik atas
permasalahan ini. Aku ingin hatiku menjadi lebih tenang.
Semoga dengan begitu aku bisa lebih dekat dengan Allah dan
bertaubat mengurangi dosa-dosaku…08/SYB/T.PI/A6

Wujud tonggak peristiwa pada data tersebut adalah


peristiwa berdoa (representament). Peristiwa berdoa
mengingatkan kepada Sarah dan Ibrahim (object). Sarah meminta
Ibrahim untuk mendoakannya agar dirinya menjadi tenang, lebih
dekat dengan Allah dan bertaubat mengurangi dosa-dosa
(interpretant). Peristiwa tersebut menjadi sebuah tanda yang
mengingatkan pada cerita Sarah dan Ibrahim.

c. SUDI:
Bune. Itu karena Suryani meskipun pemain kelas C, sangat
berperan besar ketika gambus kita pada masa-masa sulit dulu.
Masak kamu tidak ingat. Darsono menjadi pemain besar dan
menyelamatkan kelompok kita karena juga peran Suryani. Kita
bekerja atas gotong royong semua anggota, Bune. Bukankah
Bune dulu juga menyarakankan Suryani jadi wayang,, tapi bapak
menolak?... 10/SYB/T.PI/A7

Wujud tonggak peristiwa pada kutipan data tersebut


adalah peristiwa gotong royong (representament). Peristiwa
gotong royong mengingatkan kepada anggota grup Gambus
Misri ―Bunga Delima‖ (object). Anggota grup Gambus Misri
―Bunga Delima‖ saling bergotong royong dalam membangun
sebuah pertunjukan yang sukses (interpretant). Peristiwa tersebut
menjadi sebuah tanda yang mengingatkan pada grup kesenian
Gambus Misri.

2) Tonggak berupa Lagu dan Ingatan


Tonggak berupa lagu meliputi ragam suara yang berirama
(dalam bercakap, bernyanyi, membaca, dan sebagainya);

182

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

nyanyian; ragam nyanyi (musik, gamelan, dan sebagainya) yang


mengingatkan pada sesuatu.
Data Kutipan:
a. selamat datang kami ucapkan
para hadirin yang budiman
berdoa kami bersama kawan
semoga di dalam keselamatan ( 2x )… 01/SYB/T.LI/AB

Wujud tonggak lagu dan ingatan pada kutipan data tersebut


adalah lagu “Selamat Datang”(representament) yang
mengingatkan pada kesenian Gambus Misri dari Jombang
(object). Lagu ―Selamat Datang‖ pada kesenian Gambus Misri
merupakan lagu pembuka yang wajib dinyanyikan karena sudah
menjadi pakem kesenian Gambus Misri asli Jombang. Lagu
tersebut digunakan untuk menyambut kehadiran penonton
(interpretant).Lagu tersebut menjadi sebuah tanda yang
mengingatkan pada kesenian Gambus Misri Jombang.

b. DARSONO TUA :
(Menyanyi)
petik-petik bungadelima ya nona
petik-petik jangan dibuang sayang
biar paceklik asal bahagia ya nona
baik-baik menjaga sembahyang… 02/SYB/T.LI/A1

Wujud tonggak lagu dan ingatan pada kutipan data tesebut


adalah lagu “Petik-petik Bunga Delima”(representament).
Lagu tersebut mengingatkan kepada Darsono tua (object). Lagu
yang dinyanyikan Darsono tua ketika membersihkan keris pusaka
pemberian Pak Sudi (bos grup Gambus Misri ―Bunga Delima‖)
untuk mengenang masa kejayaannya bermain sandiwara Gambus
Misri bersama Suryani tua (interpretant). Lagu tersebut menjadi
sebuah tanda yang mengingatkan pada Darsono tua yang
mengenang masa kejayaannya dulu bermain sandiwara Gambus
Misri

c. Lagu Tari Selendang Merah


Selendang merah berjuntai ya tuan
Dung tak tak tak dung musik bersahutan
Selamat datang oh duhai rupawan
Tuk tak tik tuk tak kita berdendangan…07/SYB/T.LI/A8

183

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Wujud tonggak lagu dan ingatan pada kutipan data


tersebut adalah lagu ―Selendang Merah‖ (representament) yang
mengingatkan pada pementasan Joko Bromo CS dengan sebuah
perubahan besar(object). Lagu tersebut dinyanyikan oleh biduan
bersuara merdu dengan tarian oleh penari perempuan asli
(interpretant). Lagu tersebut menjadi sebuah tanda yang
mengingatkan pada kesenian Gambus Misri yang menyajikan
tarian dengan iringan musik melayu.

B. Makna Kutural Tonggak sebagai Kearifan Budaya


Makna kultural tonggak sebagai kearifan budaya bersumber dari
unsur-unsur kebudayaan. Koentjaraningrat (2015: 2) membagi kebudayaan
menjadi tujuh unsur. Unsur-unsur tersebut diantaranya; sistem religi dan
upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, sisem mata pencaharian hidup, sistem
teknologi dan peralatan.

1) Makna pada Tonggak Peristiwa dan Ingatan


Makna kultural yang terdapat pada wujud tonggak berupa peristiwa
dan ingatan terdiri dari sistem kekerabatan dan organisasi sosial, sistem
religi, pengetahuan, bahasa, kesenian, dan sistem ekonomi atau mata
pencaharian hidup.
a. Peristiwa Menjenguk pada Data 02/SYB/T.PI/A2
Peristiwa menjenguk merupakan kebudayaan masyarakat pada
umumnya. Seperti halnya Dewi Nirwana, sebagai istri dari bos grup
Gambus Misri ―Bunga Delima‖ merasa peduli kepada Sukidi yang
sedang terbaring sakit.Menjenguk merupakan kearifan budaya yang
sudah menjadi sebuah kebudayaan di masyarakat. Kebudayaan
menjenguk bertujuan menyambung tali silaturahmi, antara saudara,
teman dan tetangga.Peristiwa menjenguk merupakan unsur
kekerabatan dan organisasi sosialyang sudah menjadi kebudayaan
masyarakat pada umumnya.
b. Peristiwa Berdoa pada Data 08/SYB/T.PI/A6
Berdoa merupakan kebiasaan yang kita lakukan sehari-hari, baik
dalam keadaan bahagia maupun susah. Berdoa mengucap syukur ketika
kita diberi rejeki dan kebahagiaan, begitu pun ketika mendapat masalah
kita meminta pertolongan hanya kepada Tuhan. Berdoa juga dilakukan
ketika kita akan melakukan aktifitas, misalnya makan, tidur, bercermin,
dan lain sebagainya. Berdoa menjadi suatu kebiasaan baik dalam
kehidupan bemasyarakat. Kebiasaan inilah menjadi suatu kearifan

184

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

budaya dalam masyarakat. Kepercayaan masyarakat kepada suatu Dzat


yang Agung, Dzat yang Maha segalanya. Kebudayaan manusia tidak
dapat dipisahkan dari sistem religi. Manusia percaya adanya Tuhan
dengan adanya dunia. Oleh karena itu berdoa sebagai suatu kebudayaan
masyarakat dilakukan sebagai kewajiban seorang hamba kepada
Tuhannya.
c. Peristiwa Gotong-royong pada Data 10/SYB/T.PI/A7
Gotong-royong adalah istilah lain dari bekerja sama. Bekerja sama
untuk mencapai tujuan bersama. Dalam kehidupan bermasyarakat,
gotong-royong sering kita jumpai dalam berbagai kegiatan. Misalnya,
gotong-royong membangun jalan, membersihkan lingkungan, dan lain
sebagainya. Gotong-royong tidak hanya terjadi dalam suatu kegiatan
sosial saja, dalam suatu organisasi pun gotong-royong sangat
diperlukan, yaitu gotong-royong dalam menjalin keharmonisan antar
anggota. Gotong-royong menjadi sebuah kearifan budaya di
masyarakat. Karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa
hidup sendiri. Manusia hidup membutuhkan bantuan orang lain.

2) Makna pada Tonggak Lagu dan Ingatan


Makna kultural yang terdapat pada wujud tonggak berupa lagu dan
ingatan terdiri dari sistem kesenian dan sistem religi.
a. Makna Lagu ―Selamat Datang‖ pada Data 01/SYB/T.LI/AB
Lagu ―Selamat Datang‖ merupakan lagu wajib (sudah menjadi
pakem) kesenian Gambus Misri. Kearifan budaya digambarkan melalui
lagu tersebut untuk menyambut kehadiran penonton. Lagu ―Selamat
Datang‖ sebagai penanda bahwa pertunjukan kesenian Gambus Misri
dimulai. Biasanya lagu tersebut dinyanyikan sesudah hadirnya musik-
musik instrumental atau lagu-lagu lain untuk menunggu kehadiran
penonton. Lagu merupakan salah satu unsur kebudayaan dalam sistem
kesenian. Lagu ―Selamat Datang‖ mencerminkan kebudayaan kota
Jombang yang dikenalkan melalui kesenian Gambus Misri.
b. Makna Lagu ―Petik-petik Bunga Delima‖ pada Data02/SYB/T.LI/A1
Lagu sebagai unsur kebudayaan memiliki makna tersendiri. Lagu
―Petik-petik Bunga Delima‖ berisi nasehat-nasehat kehidupan. Darsono
tua menyanyikan lagu tersebut sebagai nasehat untuk dirinya sendiri di
usia yang sudah tua. Lagu yang berisi nasehat kehidupan bahwa di masa
tua kehidupannya sudah berbeda dengan masa mudanya dulu yang jaya
ketika melakoni sandiwara Gambus Misri. Di usia yang sudah tua harus
tetap beribadah, mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Melalui lagu, masyarakat bisa menyelipkan nasehat-nasehat kehidupan
sebagai kerifan budaya, sehingga lagu sudah tentu menjadi unsur
kebudayaan masyarakat dalam sistem kesenian. Sedangkan rasa

185

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

berserah, mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan


sistem kepercayaan.
c. Makna Lagu ―Selendang Merah‖ pada Data07/SYB/T.LI/A8
Lagu ―Selendang Merah‖ sebagai pengiring tarian selingan dalam
pertunjukan grup Gambus Misri. Lagu yang diiringi tari menjadi ciri
khas pertunjukan kesenian Gambus Misri. Iringan musik yang
digunakan adalah musik melayu atau sering disebut orkes melayu. Lagu
tersebut sebagai selingan pertunjukan agar penonton merasa terhibur
dan tidak merasa jenuh. Lagu tersebut merupakan lagu suka cita yang
mengandung hiburan, menyenangkan hati penonton. Fungsi lagu, tari,
dan iringan musik sangat penting dalam pertunjukan kesenian Gambus
Misri. Oleh karena itu, lagu sebagai sistem kesenian yang sudah
melekat dan menjadi sebuah kerifan budaya dalam masyarakat.
PENUTUP
A. Simpulan
Adapun simpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Analisis semiotik kultural tentang proses semiosis (pemaknaan tanda)
berupa tonggak (tanda dan ingatan). Wujud tonggak yang terdapat pada
naskah tersebut terdiri dari peristiwa dan ingatan serta lagu dan ingatan.
Tonggak tersebut membantu masyarakat mengingat akan sesuatu pada
masa lalu yang menjadi sebuah tanda kebudayaan;
2) Makna kultural yang terdapat pada wujud tonggak berupa peristiwa dan
ingatan terdiri dari sistem kekerabatan dan organisasi sosial, sistem
religi, pengetahuan, bahasa, kesenian, dan sistem ekonomi atau mata
pencaharian hidup; makna kultural yang terdapat pada wujud tonggak
berupa lagu dan ingatan terdiri dari sistem kesenian dan sistem religi.
Makna-makna kultural tersebut sebagai suatu kearifan budaya dalam
kehidupan bermasyarakat.
B. Saran
Beberapa saran ditujukan kepada (1) pejabat bidang pendidikan dan
kebanyakan para pengambil kebijakan di bidang pendidikan dan kebudayaan,
terutama di Kabupaten Jombang, selayaknya membuat kebijakan-kebijakan
yang menggairahkan pertunjukan kesenian Gambus Misri Jombang sehingga
dapat memperkuat kembali eksistensi identitas lokal masyarakat Jombang.
Kebijakan sosialisasi bisa ditempuh, misalnya, sosialisasi melalui pendidikan
formal atau nonformal. Jika dilakukan, hal itu dapat memperkuat sejak dini
karakter generasi muda; (2) peneliti selanjutnya,sebaiknya dilakukan
penelitian lanjutan yang mengkaji tentang naskah drama kesenian gambus
misri dengan harapan dapat menjadi wacana masyarakat untuk melestarikan
kesenian Gambus Misri. Untuk penelitian-penelitian selanjutnya diharapkan
naskah kesenian gambus misri dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan
dan metode yang berbeda.

186

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan


Praktik.Jakarta: Rineka Cipta.
. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik.Jakarta: Rineka Cipta.
Berger, Arthur Asa. 2015. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Christomy, Tommy dan Yuwono, Untung. 2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian
Masyarakat Universitas Indonesia.
Djajasudarma, T. Fatimah. 2009. Semantik 1 Makna Leksikal dan Gramatikal.
Bandung: PT Refika Aditama.
Herimanto, Winarno. 2009. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.
Hoed, Benny H. 2014. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas
Bambu.
KBBI. Kamus Versi Online/ Daring (Dalam Jaingan). (kbbi.web.id). Diakses
pada 20 Agustus 2017.
Koentjaraningrat. 2015. Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan. Jakarta: PT
Gramedia.
―Mencari Format Baru Gambus Misri‖ dalam ―Cerita Burung-burung‖. Jombang,
20 Mei 2017.
Moleong, Lexy J. 2011. Metode Penelitian Kualiatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Nanang, dkk. 2012. Sejarah dan Budaya Jombang. Jombang: DINAS
PENDIDIKAN JOMBANG.
Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung:
Angkasa Bandung.
Sudikin, Basrowi. 2003. Pengantar Ilmu Budaya. Jakarta: Insan Cendekia.
Sukmadinata, N.S. 2011. Metode Penelitian Pendidikan.Bandung:
RemajaRosadakarya Offset.

187

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

MAKNA JAJANAN PADA ACARA TAHLILAN PERINGATAN


KEMATIAN DI KABUPATEN SAMPANG

Asri Bariqoh
Pogram Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
STKIP PGRI Sampang
gaudi_1@yahoo.com

Abstrak
Sejarah sastra lama menulis kebudayaan Indonesia dipengaruhi oleh
agama Hindu dan Budha.Ini dibuktikan dengan adanya asimilasi budaya yang
dapat ditemukan pada berbagai tradisi yang ada di masyarakat.Salah satunya
adalah jajanan yang disuguhkan dalam tahlilan peringatan kematian.Jajanan
memiliki fungsi ritual sebagai perantara simbolik tradisi yang berkaitan dengan
Ketuhanan.Jajanan merupakan salah satu bentuk folklor bukan lisan yang
188

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

memiliki tanda dan makna.Hasil analisis diketahui pemilihan kue dan waktu
penyuguhan pada tahlilan selamatan kematian ini sarat akan makna. Artinya tiap
waktu memiliki keterkaitan yang erat dengan kue yang disuguhkan. Penyuguhan
jajanan seperti kue Cucur, Apem, Nagasari dan Lemas pada tahlilan peringatan
kematian seseorang merupakan tanda yang maknanya dapat diketahui melalui
semiotik Pierce.Kue Cucur dan Apem sebagai ikon merupakan representasi
payung yang bermakna melindungi roh.Sedangkan Nagasari merupakan bantal
yang bermakna memberikan ketenangan. Adapun Lemas berbentuk seperti perahu
yang penuh dengan perbekalan sebagai makna bahwa roh akan pergi jauh menuju
alam barunya.
Kata Kunci: folklor non lisan, tahlilan, jajanan.

Abstract
The old literary history of Indonesian culture is influenced by Hinduism
and Buddhism. This is evidenced by the existence of cultural assimilation that can
be found in various traditions that exist in the community. One of them is kinds of
foods (jajanan) that served in tahlilan as a death celebration. Jajanan have ritual
function as a symbolic intermediary traditions relating to the Godhead. Jajanan
are one of non verbal folkloreformwhich has sign and meaning.The results of
analysis are known that the foods are being chosen and the time of treatment in
tahlilan as a death celebration is full of meaning. This means that each time has a
close relationship with the served food. The served foodssuch as Cucur, Apem,
Nagasari and Lemas at the tahlilan someone's death celebration are signs whose
meaning can be known through semiotik Pierce. Cucur and Apem as icons
represent umbrellas which mean to protect the spirit. While Nagasari is a pillow
that means to provide peace. Lemas is shaped like a boat full of provisions as
meaning that the spirit will go far into its new nature.
Keywords: non verbal folklore, tahlilan, food.

PENDAHULUAN
Sejarah sastra lama menulis bahwa kebudayaan Indonesia dipengaruhi
oleh agama yang turut berkembang pada masa itu.Sebelum kedatangan Walisongo
dengan ajaran agama Islam, tanah Melayu dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan
agama Hindu dan Budha.Agama ini dibawa oleh para pedagang yang kemudian
diterima dan menjadi salah satu agama yang berkembang.Hal ini dibuktikan
dengan tersebarnya kerajaan bercorak Hindu dan Budha seperti kerajaan Kutai di
Kalimantan Timur, Majapahit di Jawa Timur, dan Dinati Syailendra dengan
peninggalannya Candi Borobudur di Jawa Tengah (Anwar, 2014:78).
Lalu saat Islam datang, kebudayaan ini lambat laun dipengaruhi oleh
ajaran Islam.Terjadi asimilasi budaya dari ketiga agama tersebut.Ini berarti
kebudayaan bercorak Hindu dan Budha tidak hilang begitu saja, namun
bertransformasi menjadi sesuatu yang baru.Ini dilakukan agar agama Islam mudah

189

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

diterima oleh masyarakat Indonesia kala itu.Lambat laun kebudayaan ini mulai
berubah seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan.Meski demikian di
beberapa kelompok masyarakat kebudayaan ini masih dapat dilihat.Kuatnya
kebudayaan ini masih dapat dirasakan hingga sekarang, salah satunya pada
jajanan tradisional.Jajanan tradisional yang dikenal saat ini pada dasarnya
merupakan salah satu bentuk kebudayaan masa lalu. Hal ini seperti diungkapkan
Koentjaraningrat (1979:186-187) bahwa wujud kebudayaan ada tiga, yaitu sebagai
gagasan atau ide, nilai dan norma, wujud kebudayaan sebagai pola tindakan
manusia dalam masyarakat, dan wujud yang terakhir sebagai benda hasil karya
manusia.Berdasarkan pengertian ini maka jajanan tradisional merupakan salah
satu wujud kebudayaan.
Jajanan atau makanan tradisional sebagai warisan budaya juga merupakan
salah satu bentuk folklor, tepatnya folklor bukan lisan.Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh Danandjaja (1997:2) bahwa folklor merupakan sebagian
kebudayaan masyarakat kolektif yang diwariskan secara turun temurun diantara
kolektif macam apa saja secara tradisional baik secara lisan ataupun melalui
contoh yang disertai gerak atau alat pegingat. Penyebutan jajanan sebagai bentuk
folklor bukan lisan tentunya berkaitan pula dengan latar belakang jajanan
tersebut.Artinya, jajanan tersebut merupakan jenis makanan yang dianggap
sebagai milik folk atau budaya suatu kolektif.
Makanan atau jajanan sebagai warisan budaya selalu hadir dan digunakan
masyarakat dalam ritual upacara keagamaan.Saat kelahiran seorang anak ada
tradisi tedak siten yang menggunakan Jadah dan Wajik dalam prosesinya. Begitu
pula saat seseorang berhasil atau selamataan untuk membuka usaha, mereka akan
menggunakan Tumpeng. Lebih jauh lagi jajanan tradisional juga digunakan dalam
tahlilan selamatan orang yang meninggal dunia.Tradisi tahlilan atau memberikan
doa kepada orang yang telah meninggal dunia merupakaan kegiatan yang lumrah
dilakukan pada masyarakat Indonesia.Tradisi ini dilakukan mulai hari pertama
kematian hingga hari ketujuh.Ini dilakukan karena kepercayaan menyebutkan roh
orang yang telah meninggal masih berada di sekitar mereka.Selanjutnya tahlilan
terhadap orang yang meninggal dilanjutkan pada 40 hari dan 100 hari karena
dipercaya pada hari tersebut roh datang kembali untuk berpamitan menuju alam
berikutnya.Terakhir, tahlilan juga diadakan saat peringatan 1000 hari
kematiannya.
Salah satu daerah yang masih memegang teguh tradisi ini adalah
masyarakat Torjun Kabupaten Sampang Madura.Mereka memiliki keyakinan
jajanan yang disuguhkan pada tahlilan tidak boleh sembarangan.Artinya, jajanan
tertetu harus hadir pada tahlilan tersebut.Menurut hasil pengamatan serta
wawancara yang dilakukan, kue Cucur dan Nagasari wajib disuguhkan pada acara
tahlilan.Namun jika tidak menggunakan kue Cucur, maka dapat diganti dengan
kue Apem.Pemberian jajanan ini juga tidak serta merta dilakukan setiap tahlilan,
namun hanya pada hari-hari tertentu saja, yaitu pada hari ketiga, ketujuh, 40, 100

190

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

dan 1000 hari. Pemilihan jajanan ini bukan tanpa alasan, tetapi sarat akan makna.
Ini karena setiap jajan yang disuguhkan memiliki makna simbolis.Masyarakat
pemilik folklor ini percaya jajanan tersebut merupakan bagian dalam
mengantarkan roh ke alam barunya.
Persoalan makna pada jajanan sebagai produk folklor bukan lisan
merupakan hal yang perlu untuk diketahui.Karena manusia hidup dikelilingi oleh
tanda.Makna tersebut perlu diketahui generasi selanjutnya agar kearifan lokal
tetap terjaga.Namun tidak semua anggota folklor tersebut mengetahui makna
dibalik jajanan tersebut.Hal ini seperti yang diungkapkan Sudikan (2013:151)
bahwa sistem pendidikan saat ini tidak memiliki perlengkapan manusia Indonesia
unuk menghadapi terjangan globalisasi dengan kearifan lokal.Oleh sebab itu
pelestarian folklor ini harus dilakukan sebagai warisan nenek moyang.

PEMBAHASAN
1. Jajanan pada Tradisi Tahlilan Kematian Masyarakat Sampang
Kehidupan sehari-hari masyarakat selalu melibatkan adat dan
tradisi.Mereka tidak bisa melepaskan diri karenaadat serta tradisi selalu ditemui
pada tiap sisi kehidupan.Masyarakat bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan
adat, tradisi dan norma yang telah disepakati. Hal ini menjelaskan bahwa setiap
kegiatan yang dilakukan oeh manusia tidak bisa dilepaskan dari budaya.Saat
menunggu kelahiran seorang anak, maka ada upacara tujuh bulanan. Saat
kelahiran seorang anak, ada tradisi akikahan yang kemudian dilanjutkan tedak
siten pada saat usia tujuh bulan. Selanjutnya ada upacara pernikahan, tumpengan
dan lain sebagainya.
Tidak hanya itu, saat seorang anggota masyarakat meninggal dunia, maka
ada upacara kematian. Dikaitkan dengan agama, sebagian besar masyarakat
Indonesia melakukan tahlilan atau doa bersama. Pada acara tahlilan tersebut
mereka yang datang akan disuguhkan dengan jajanan. Beberapa jajanan yang
disuguhkan tersebut memiliki nilai simbolis, seperti kue Cucur, Apem, Nagasari
serta Lemas [lɛmas]. Namun pada kenyataaannya tidak semua anggota masyarakat
yang hadir mengetahui makna yang ada dibalik makanan tersebut.
Jajanan ini pada dasarnya merupakan produk budaya yang termasuk dalam
folklor bukan lisan.Seperti dijelaskan oleh Brunvand (Danandjaja, 1997:21-22)
folklor dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu folklor lisan, folklor setengah
lisan, dan folklor bukan lisan.Salah satu bentuk foklor bukan lisan adalah
makanan rakyat.Jadi berdasarkan penjelasan tersebut diketahui jajanan merupakan
makanan rakyat yang dianggap sebagai milik folk karena tidak diketahui siapa
pemiliknya.Jajanan tersebut dianggap sebagai milik kolektif.
Sebagai milik kolektif, maka saat seseorang tidak melakukan tradisi
seperti yang dilakukan oleh masyarakat lainnya ia akan menjadi bahan
pembicaraan. Ini karena ciri dan fungsi kearifan lokal adalah sebagai penanda
identitas komunitas, elemen perekat sosial, tumbuh dari bawah dan eksis dalam

191

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

masyarakat dan bukan yang dipaksakan dari atas, memberi warna kebersamaan
komunitas, dapat mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan
kelompok, mampu mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi dan
mekanisme bersama untuk mempertahankan diri (Haba, 2007:7-8).Jadi folklor
pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan kolektifnya, karena folklor
membantu kolektif untuk menjalankan tradisinya.
Selain itu, sebagai folklor bukan lisan jajanan memiliki aneka kegunaan,
yaitu: 1) sebagai ikatan sosial, makanan disuguhkan kepada tamu ataupun
dalamperhelatan, 2) sebagai fungsi ritual yang digunakan dalam tradisi tertentu
serta memiliki makna simbolik yang terkait dengan Ketuhanan (Endraswara,
2010:164-165).Dengan demikian jajanan pada acara tahlilan kematian memiliki
kedua fungsi seperti yang disampaikan oleh Endraswara.Jajanan ini selain
berfungsi sebagai suguhan para tamu juga berfungsi ritual yang digunakan secara
simbolik.Artinya jajanan tersebut disuguhkan kepada para tamu yang hadir dalam
ritual keagamaan, dalam hal ini adalah tahlilan.Selain itu, penyuguhan jajanan
tersebut pada hari-hari tertentu tahlilan kematian menunjukkan bahwa jajanan
tersebut memiliki makna simbolik yang perlu untuk diketahui.
1) Makanan Jajanan pada Tradisi Tahlilan Peringatan Kematian Masyarakat
Sampang
Jajanan sebagai bentuk folklor bukan lisan merupakan sistem tanda yang
memiliki makna.Artinya folklor-folklor tersebut menyiratkan sebuah makna.Hal
ini senada seperti ungkapan Endraswara (2009:157) bahwa folklor merupakan
ekspresi jiwa yang terwujud dalam tanda.Tanda yang ada dalam folklor perlu
diungkapkan maknanya agar diketahui ideologi atau ekspresi jiwa pemilik folklor
tersebut. Oleh sebab itu diperlukan semiotik untuk mengungkap makna tanda
tersebut.
Jajanan merupakan artifak yang memiliki bentuk serta konsep yang saling
berkaitan. Saat menyebutkan nama jajanan maka akan terkonsep dalam benak
tentang bentuk dan rasa jajanan tersebut. Bentuk jajanan dalam ilmu semiotik
disebut dengan penanda (signifier), sedangkan konsep disebut dengan petanda
(signified).Adapun hubungan antara keduanya bersifat arbitrer, bergantung pada
lingkungan budaya yang melingkupinya.
Tanda dalam jajanan dapat dibedakan menjadi tiga aspek, yaitu aspek
representasi, objek, dan interpretasi.Ketiga aspk ini memiliki hubungan yang
membentuk makna.Semiotik Pierce menawarkan tanda folklor yang memuat
hubungan antara representasi, objek, dan interpretasi, yaitu ikon, indeks dan
simbol (2009:157-158). Ikon merupakan suatu tanda yang menggunakan
kesamaan dengan apa yang dimaksudkan, sedangkan indeks merupakan tanda
yang memiiki keterkaitan kausal dengan apa yang diwakilinya. Berbeda dengan
ikon dan indeks, simbol merupakan hubungan antara penanda dan petanda
berdasarkan konvensi masyarakat.
a. Makna Kue Cucur dan Apem

192

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Kue Cucur dikenal tidak hanya di Indonesia saja, tetapi juga di beberapa
negara dengan nama yang berbeda. Kue Cucur pada dasarnya merupakan kue
berbentuk bulat yang dibuat dari tepung beras dengan campuran gula.Biasanya
gula yang digunakan juga gula merah.Sebagai ikon penyuguhan kue Cucur dalam
tahlilan peringatan kematian berkaitan dengan representasi payung.Bentuk kue
Cucur yang melebar seperti telur mata sapi diibaratkan seperti payung yang
terbuka.
Sebagai indeks, kue Cucur merupakan kue tradisional yang harus ada pada
acara ritual keagamaan, seperti pernikahan dan juga tahlilan peringatan
kematian.Pada tahlilan peringatan kematian kue Cucur biasanya disuguhkan pada
hari ketiga, ketujuh, 40, 100 dan hari ke 1000. Pemilihan hari dalam penyuguhan
kue Cucur menunjukkan kue ini sebagai alat ritual tahlilan.hal ini seperti
dijelaskan sebelumnya bahwa kebudayaan Indonesia dipengaruhi oleh agama
Hindu dan Budha. Dalam kepercayaan orang Cina salah satu kewajiban religius
anak-anak yang masih hidup adalah menyajikan makanan dan kebutuhan lain bagi
orang yang telah meninggal (Cassirer, 1990:128).
Selanjutnya kue Cucur menurut sejarah dibuat dengan mengucurkan
adonan ke dalam loyang sehingga berbentuk bulat dan melebar. Zaman dahulu
keranda yang digunakan untuk mengangkut jenazah tidak memiliki
penutup.Sehingga untuk menutupi bagian kepala jenazah digunakan
payung.Penggunaan kue Cucur dalam tahlilan peringatan kematian menggantikan
payung pada upacara tersebut.Sebagai simbol kue Cucur memiliki makna
perlindungan bagi orang yang telah meninggal.Artinya, doa-doa yang dikirimkan
khusus kepadanya pada hari-hari tertentu tersebut bertujuan untuk memberikan
perlindungan yang selalu mengucur kepadanya di dunianya yang baru.
Sama halnya dengan kue Cucur, kue Apem juga diberikan pada hari-hari
tertentu pada tahlilan peringatan kematian. Bentuknya yang mirip dengan kue
Cucur juga memiliki ikon serta indeks yang sama dengan kue Cucur. Oleh sebab
itu, penggunaan kue Apem ini merupakan opsional.Artinya jika tidak ada kue
Cucur pada peringatan tersebut, dapat diigantikan dengan kue Apem.Meski
demikian, kue Apem memiliki simbol yang sedikit berbeda dengan kue
Cucur.Kue Apem dalam tradisi Jawa bermakna afwu atau maaf.Jadi melalui
penyuguhan kue Apem keluarga meminta maaf atas kesalahan yang pernah
dilakukaan.Sehingga dengan memaafkan diharapkan orang yang telah meninggal
dapat melanjutkan kehidupannya.
b. Makna Kue Nagasari
Kue Nagasari juga digunakan dalam ritual tahlialan peringatan
kematian.Kue ini dibungkus dengan daun pisang.Kue ini berwarna putih dan
berasa gurih dengan isian pisang.Sekilas bentuk kue ini merepresentasikan
bantal.Jadi tidak salah jika masyarakat pemiliki folklor ini menyebut ikon kue
Nagasari dengan menyamakannya dengan bantal.Van Zoest (2007:102)
menyatakan yang terpenting dari ketiga tanda semiotik adalah ikon, sebab segala

193

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

sesuatu dapat dikaitkan dengan sesuatu yang lain di luar dirinya selama syarat
kemiriripan yang menjadi hubungan antara tanda dan representasi. Selanjutnya
sebagai indeks kue Nagasari sama halnya dengan kue Cucur dan kue Apem,
merupakan sarana untuk melakukan ritual tahlilan peringatan kematian.
Penyuguhannya juga bersamaan dengan kue Cucur ataupun kue Apem.Artinya
kedua kue ini harus ada pada setiap tahlilan peringatan kematian.
Penyamaan kue Nagasari sebagai bantal dapat dilihat dari bentuk dan
warnanya.Warna putih pada kue Nagasari menandakan bantal yang masih baru.Ini
berkaitan dengan simbol bahwa dunia setelah kematian adalah dunia yang baru,
sehingga agar yang telah meninggal merasa nyaman, maka perlu disediakan
bantal.Dunianya yang baru merupakan dunia yang panjang, sehingga perlu untuk
menyediakan beberapa kebutuhannya.Simbol ini juga dikuatkan dengan pemilihan
hari penyuguhan kue tersebut.Hari pertama sampai ketujuh kematian menurut
kepercayaan roh orang yang telah meninggal masih berada di sekitar rumah
tersebut.Kemudian pada hari keempat puluh roh tersebut tengah bersiap-siap
untuk berangkat menuju alam barunya.Begitu pula dengan tahlilan peringatan 100
hari.Tahlilan peringatan kematian pada hari ini merupakan selamatan untuk jasad
yang mulai membusuk dan sebagai tanda roh telah berangkatke alam
barunya.Oleh sebab itu kue Nagasari sebagai bantalbertujuan untuk memberikan
ketenangan.
c. Makna Lemas
Berbeda dengan ketiga kue sebelumnya, Lemas merupakan masakan
tradisional yang terdiri dari kue berbahan dasar ketan yang diberi warna serta gula
sebagai rasa serta ikan laut.Kue berbahan dasar ketan tersebut dibentuk berbagai
macam, seperti orang-orangan, cobek dan ulek, gelang, dan lain sebagainya.Selain
itu, ikan yang digunakan adalah duaikan kopek atau ikan dugdug, sejenis ikan
laut.Semua kue tersebut ditaruh dalam wadah yang dibuat dari daun pisang.Kedua
ikan tersebut diselipkan pada pinggiaan daun sehingga berbentuk seperti
perahu.Kemudian wadah tersebut diselubungi dengan janur sehingga membentuk
seperti layar yang menutupi perahu.Jadi Lemas sebagai ikon direpresentasikan
seperti perahu layar yang membawa muatan.
Selanjutnya beberapa masyarakat memercayai manusia dan arwah dapat
melakukan komunikasi.Oleh sebab itu perlu dilakukan pemujaan.Pemujaan
teerhadap leluhur di Cina dianggap sebagai satu-satunya religi yang dianut oleh
masyarakat (Cassirer, 1990:128).Sebagai kebudayaan yang dipengaruhi oleh
agama Budha, maka Lemas menjadi indeks dalam melakukan ritual tahlilan
peringatan 1000 hari kematian seseorang. Tanpa adanya Lemas maka jalan bagi
arwah akan terhambat.
Lemas dibentuk menyerupai perahu yang siap berlayar.Di dalam wadah
tersebut berisi berbagai macam bentuk peralatan sebagai representasi peralatan
yang sebenarnya.Lemas disuguhkan pada 1000 hari tahlilan peringatan kematian
seseorang karena pada hari tersebut diyakini jasad telah melebur dengan tanah

194

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

sehingga arwah telah benar-benar berada di alam barunya.Lemas dalam hal ini
disimbolkan sebagai perahu yang digunakan oleh roh mengarungi dunianya yang
baru.Hal ini dapat dimaknai dengan pemberitahuan kepada roh bahwa telah tiba
saatnya ia harus benar-benar pergi meninggalkan keluarganya yang masih hidup.
Bagi sebagian orang pemilik folklor tersebut percaya Lemas berfungsi sebagai
sarana yang menghantarkan roh terbang ke atas, ke pangkuan Tuhannya. Lemas
digunakan sebagai bentuk perhatian keluarga yang masih hidup kepada roh.Lebih
jauh lagi, Lemas dapat dimaknai sebagai bekal bagi roh untuk hidup di alam
barunya, sama seperti bekal bagi manusia dalam menjalani kehidupan.

SIMPULAN
Makanan merupakan salah satu bentuk folklor bukan lisan sekaligus wujud
dari kebudayaan.Makanan memiliki fungsi sosial sekaligus fungsi ritual, sehingga
makanan seperti jajanan menjadi alat pelengkap dalam ritual keagamaan seperti
kelahiran, pernikahan, bahkan kematian.Penggunaan kue-kue ini berkaitan dengan
keberadaan makanan sebagai tanda yang memiliki makna.Kue-kue yang
digunakan oleh masyarakat Kotem Kabupaten Sampang pada tahlilan peringatan
kematian adalah kue Cucur, apem, Nagasari, dan Lemas.Kue-kue ini merupakan
tanda, karena disuguhkan pada hari-hari tertentu tahlilan karena memiliki makna
yang mendalam.Oleh sebab itu pengetahuan tentang makna kue-kue tersebut perlu
untuk diketahui sebagai warisan budaya nenek moyang sekaligus guna
mengetahui ideologi masyarakat pemilik folklor tersebut.
Berdasarkan analisis diketahui pemilihan kue dan waktu penyuguhan pada
tahlilan selamatan kematian ini sarat akan makna. Artinya tiap waktu memiliki
keterkaitan yang erat dengan kue yang disuguhkan.Kue Cucur, Apem, dan
Nagasaridisuguhkan pada hari ketiga dan ketujuh saat roh dianggap masih berada
di sekitar rumah. Ketiga kue ini juga biasa disuguhkan pada 40 hari dan 100 hari
tahlilan peringatan kematian selamatan untuk jasad yang mulai membusuk dan
sebagai tanda roh telah berangkat ke alam barunya. Selanjutnya pada tahlilan
peringatan 1000 hari kematian seseorang semua kue termasuk Lemas disuguhkan
pada hari tersebut.Ini berkaitan dengan sempurnanya jasad bersatu dengan tanah,
sekaligus bermakna sempurnanya perpisahan dengan roh.Roh telah menempati
alam barunya, sehingga kue-kue tersebut menyimbolkan pemberian bekal
untuknya sebagai perlindungan dirinya selama di alam barunya, serta memberikan
rasa aman dan tenang kepada roh.Selain itu, simbol kue Apem dengan makna
pemberian maaf bertujuan untuk memberitahukan kepada roh bahwa semua
kesalahan yang pernah dilakukan teah dimaafkan, sehingga roh dapat mati dengan
tenang. Selanjutnya Lemas menandakan waktu bagi roh untuk berpisah dengan
keluarga yang masih hidup. Hal ini ditunjukkan dengan isi Lemas sebagai
representasi bekal yang dapat dibawa oleh roh untuk hidup di dunia barunya.

DAFTAR PUSTAKA

195

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Anwar, M. Shoim. 2014. Sastra Lama. Lamongan: Pustaka Ilalang Group.


Cassirer, Ernst. 1990. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang
Manusia.Diindonesiakan oleh Alois A. Nugroho. Jakarta: PT.Gramedia.
Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, dongeng, dan lain-lain.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Folklor: Konsep, Teori, dan
Aplikasi. Yogyakarta: Media Pressindo.
Endraswara, Suwardi. 2010. Folklor Jawa, Bentuk, Macam, dan Nilainya. Jakarta:
Penaku.
Haba, John. 2007. Revitalisasi Kearifan Lokal: Studi Resolusi Konflik di
Kalimantan Barat, Maluku, dan Poso. Jakarta: ICIP dan Eropean
Commision.
Koentjaraningrat. 1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Ratna, Prof. Dr. Nyoan Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra:
dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudikan, Setya Yuwana. 2013. Kearifan Budaya Lokal. Sidoarjo: Damar Ilmu.

SEJARAH PERKEMBANGAN KETOPRAK SISWO BUDOYO


196

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Endang Waryanti
FKIP Universitas Nusantara PGRI Kediri

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk mendiskripsikan mengenai seni teater


tradisional. Salah satu seni tradisional tersebut adalah Kethoprak Siswo
Budoyo. Kelompok Teater kethoprak siswo budoyo dipimpin oleh Ki
siswondo yang mempunyai talenta berakting. Ki siswondo merupakan tokoh
popular di dunia seni pertunjukan. Kethoprak Siswo Budoyo selalu
menyuguhkan nilai moral, spiritual dan social kepada penontonnya.
kata kunci : sejarah, kethoprak, pendidikan karakter
abstract
this article describe about history of traditional art. This call kethoprak
siswo budoyo. The theatre group of kethoprak siswo budoyo lead by Ki
Siswondo who has high acting talent. He is very popular in javanesse
community that like show theatre. Kethoprak siswo budoyo always give
morality, spirituality an sociaty value to audience. Therefore kethoprak
siswo budoyo have some fanatic fans. Everyone like kethoprak siswo budoyo
because this group teach character education.
Keyword : history, kethoprak , character education

PENDAHULUAN
Ketoprak merupakan seni sandiwara tradisional Jawa. Sebelum
menguraikan sejarah perkembangan Ketoprak Siswo Budoyo terlebih dahulu
diuraikan mengenai asal-usul ketoprak. Uraian searah asal-usul diambil atau
bersumber pada buku hasil Penelitian Proyek Pembinaan Kesenian Direktorat
Pembinaan Kesenian Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, kedua buku hasil Proyek Penelitian dan
Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Penelitian tersebut menyimpulkan, ketoprak lahir di Surakarta sekitar
tahun 1908, diciptakan oleh almarhum Raden Mas Tumenggung Wreksodiningrat,
walaupun sebenarnya sebelum ketoprak memperoleh wujud seperti itu dapat
dimengerti bahwa prototype ketoprak semula berasal dari alunan irama gejog
yang lazim dilakukan oleh petani dengan mempergunakan lesung. Suara berirama
ini akhirnya diikuti oleh tari-tarian. Perbedaan antara pemain dan penonton masih

197

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

sulit dibedakan karena ketertarikan pemain dan penonton sangat erat dan
kesempatan berpartisipasi terbuka lebar. Selanjutnya tradisi ini masuk ke
golongan priyayi dan ditangani oleh golongan priyayi. Beliaulah yang membina
ketoprak pada waktu itu. Ketoprak pada masa itu menggunakan alat-alat pukul
sebuah lesung, kendang, terbang dan seruling. Pemain utamanya Ki Wisangkara
dan mbok Gendra atau lebih dikenal Nyai Badur. Lagu-lagu yang sering
mengiringi antara lain Kuputarung, Megemendung, Simak-simak, Buluktiba,
Randangangsu (Bratawijaya, 1977 : 13-21). Cerita yang dibawakan menceritakan
seorang petani sedang mencangkul di sawah. Istrinya menyusul dengan membawa
makanan kiriman. Alat yang dibawanya berupa tenggok dan cangkul.
Penampilannya dengan cara menari-nari. Kostum atau pakaiannya masih
sederhana sekali. Mengingat penampilannya lucu, maka penonton sering
menyebutkan dengan tontonan badutan. Dialognya sebagian dalam bentuk
nyanyian atau tembang, sebagian lagi berbentuk gancaran atau dialog dengan
bahasa sehari-hari (Soedarsono, 1999:61).

Sejarah asal-usul ketoprak siswo budoyo


Kesuburan kethoprak tidak saja didominasi oleh masyarakat Surakarta,
Yogyakarta dan sekitarnya, tetapi masyarakat Jawa Timur tidak kalah pentingnya
dalam ikut melestarikan dan membudayakan (menghidupkan) seni budaya
tradisional yang disebut kethoprak. Hal ini terbukti dengan adanya perkumpulan
kethoprak seperti : Wahyu Budoyo dari Kediri yang dipimpin oleh ibu Suci,
kethoprak Siswo Budoyo dipimpin oleh Siswondho Hs dari Kalangbret Tulung
Agung. Yang terakhir ini merupakan kethoprak gaya baru yang cukup dikenal
oleh masyarakat khususnya suku Jawa.
Perbedaan kethoprak gaya lama dan gaya baru yang menyolok adalah segi
pementasan. Dialog-dialog banyak mempergunakan nyanyian. Peralatan yang
digunakan untuk mengiringinya sangat sederhana. Berbeda dengan kethoprak
gaya baru, pemetasan cerita tidak lagi banyak diwarnai dengan dialog yang berupa
nyanyian. Nyanyian dipergunakan untuk waktu tertentu saja, sedangkan
pembicaraan tokohnya sudah berapa dialog. Begitu juga peralatan yang
mengiringinya sudah lengkap dan cukup modern. Untuk mengetahui sejarah
perkembangan kethoprak di Jawa Timur khususnya kethoprak Siswo Budoyo,
terlebih dahulu ditampilkan secara garis besar asal-usul kethoprak yang berasal
dari kota Tulung Agung ini. Tokoh utama kethoprak di daerah ini diawali oleh
Raden (Bupati) Tulung Agung yang sering disebut dengan Kanjeng Wajak (1890-
1923).
198

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Berdasarkan ceramah Ki Siswondho Hs di kantor Lembaga Penelitian


Kebudayaan Yogyakarta di Bulaksumur, bahwa kethoprak sebelum memperoleh
bentuk seperti sekarang ini diawali oleh adanya keciprak (Sastroamijoyo, 1982:8).
Instrument atau gamelannya telah dilengkapi dengan boning renteng, angklung,
kenong, gender, dang ending jedor. Adapun lakon yang tampil untuk menyambut
tamu adalah babad, misalnya babad Tulung Agung. Setelah itu, lakon masih
berkisar pada masalah pedesaan, seperti : Paman Tari Utun, Sri Sadono. Begitu
sejarah asal-usul kethoprak Tulung Agung tempo dulu.
Paguyuban kesenian kethoprak gaya baru Siswo Budoyo lahir dari
kawasan kota Tulung Agung tepatnya pada tanggal 19 Juni 1958 di desa Kiping,
Kecamatan Gondang Kawedanan Kalangbret. Ki Siswondho Hs bersama bapak
Ruslan dan Bapak Mulyadi mendirikan suatu paguyuban kethoprak dengan nama
Siswo Budoyo. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ki Siswondho Hs pimpinan
kethoprak Siswo Budoyo diperoleh keterangan, bahwa pemberian nama itu
didasarkan atas dua kata yakni siswo dan budoyo yang berarti murid atau cantik
yang mengabdi pada budaya (kesenian) khususnya kesenian Jawa. Dengan nama
itu dimaksudkan agar paguyuban kethoprak Siswo Budoyo dapat : menggali,
mengubah, memelihara, dan melestarikan martabat seni budaya bangsa khususnya
seni tradisional. Dengan perantaraan paguyuban kethoprak ini dapat memberikan
hiburan pada masyarakat juga memberikan tuntunan dan pendidikan pada
masyarakat untuk cinta terhadap budaya bangsa sendiri. Lebih jauh bertujuan
menanggulangi ekspansi kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan kepribadian
bangsa Indonesia.
Selama tahun 1959-1962 Siswo Budoyo hanya bermain di kota Tulung
Agung dan sekitarnya, tetapi sejak tahun 1963 sampai sekarang Siswo Budoyo
telah menjadi sebuah kethoprak keliling dan berpindah-pindah tempat. Hampir
seluruh pelosok kota di Jawa Timur pernah menjadi tempat pentas kethoprak
Siswo Budoyo. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari angket dan hasil
wawancara dapat diketahui bahwa semula Siswo Budoyo didukung oleh sekitar
35 orang seniman dan seniwati, namun setelah tahun tujuh puluhan yakni tahun
1979 telah bertambah menjadi 120 orang. Tahun 1982 meningkat lagi menjadi
140 orang seniman dan seniwati.

PEMBAHASAN
Perkembangan ketoprak siswo budoyo
Jika dilihat kondisi objektif, baik prasarana dan sarana yang dimiliki
kethoprak gaya baru Siswo Budoyo tergolong dalam kethoprak besar. Maksudnya
199

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

berdasarkan jumlah anggota, ukuran gedung, ukuran panggung, jumlah dekor,


lampu, peralatan dan kursi penonton, jaminan sosial serta kekayaan (material)
organisasi Siwo Budoyo memungkinkan diklasifikasikan jajaran besar. Kriteria
ini didasarkan pendapat Soedarsono (1999:72) menyimpulkan bahwa:‖ kethoprak
keliling besar anggotanya berkisar 125 sampai 200 orang, ukuran gedung sekitar
80x30 meter. Panggung 20x18meter. Jumlah dekor layar 20 buah dengan ukuran
12 ban (10x 4,5 meter), lampu 80 buah, jumlah peralatan kira-kira 15, jumlah
kursi kurang lebih 1500. Honorarium tiap anggota minimal Rp. 750 tiap malam,
perawatan kesehatan (periksa dokter dan obat)menjadi tanggungan organisasi atau
manager, begitu juga biaya bersalin anggota, biaya kematian (meninggal dunia)
dan perjalanan pulang pergi menengok keluarga atau cuti‖.
Ukuran atau kriteria itu bagi kethoprak gaya baru Siswo Budoyo sebagian
besar telah terpenuhi, sehingga dengan demikian Siswo Budoyo tergolong pada
kethoprak besar. Begitu pula apabila diikui sejarah perkembangan sejak
berdirinya, yakni tahun 1958 sampai saat ini Siswo Budoyo mengalami
perkembangan dan pertumbuhan yang pesat. Perkembangan itu tidak saja terjadi
dalam bentuk kuantitas pendukung Siwo Budoyo, namun dalam kualitas pun
tampak jelas perkembangannya.
Berbagai faktor pendukung perkembangan Siswo Budoyo dapat
disebutkan antara lain: sistem organisasi (kebersamaan) dan faktor teknik
penyajian. Sistem organisasi yang berlaku dan dipakai oleh pemimpin Siswo
Budoyo lebih bersifat kooperatif. Artinya perkumpulan itu milik bersama (semua
anggota), kekuasaan di tangan pengurus (manager) yang telah dipilih
(Soedarsono, 1999 : 73). Kekayaan dari keuntungan pementasan milik bersama,
semua anggota mempunyai tanggung jawab atas kerugian yang diterima atau
dideritanya. Faktor teknik misalnya penyajiannya selalu didasarkan pada
pengarahan sutradara dan berdasarkan teks. Namun demikian bukan berarti para
pemain bersifat pasif, tetapi karena pendukung Siswo Budoyo merupakan orang-
orang yang kreatif dan berbakat, oleh karena itu dalam penampilannya dapat
memukay para penonton. Satu hal lagi keistimewaan Siswo Budoyo dengan
dilengkapi peralatan-peralatan yang cukup modern maka hal ini memungkinkan
berpengaruh positif terhadap kelangsungan dan perkembangan kethoprak itu
sendiri, sesuai dengan tuntutan jaman dan selera masyarakat pendukungnya.
Faktor lain yang merupakan pendukung keberhasilan Siswo Budoyo,
yakni sarana dan prasarananya cukup modern. Kondisi seperti ini besar
peranannya dalam perkembangan kethoprak gaya baru. Namun faktor-faktor itu
tidak berarti jika pengolahannya tidak terarah dan terencana dengan cara yang
200

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

baik. Untuk lebih mendewasakan dan menyempurnakan kethoprak Siswo Budoyo


maka dibentuklah suatu yayasan Siswo Budoyo, tepatnya tanggal 1 Desember
1981. Pembentukan dengan berbagai pengurus memungkinkan perencanaan dan
perkembangan Siswo Budoyo cepat terwujud. Fungsi yayasan tidak saja untuk
menyiapkan kader-kader Siswo Budoyo, tetapi lewat jalur ini kelestarian hidup
dan perkembangannya dapat terkontrol dan terarah, lebih jauh kesejahteraan
pendukungnya dapat terjamin dengan baik.
Berbagai unsur dan bidang kemajuan perkembangan yang dialami
ketoprak gaya baru Siswo Budoyo dapat terperinci sebagai berikut:
Unsur cerita
Jika diikuti sejarah perkembangan ketoprak yang mula-mula jadi bahan
cerita atau lakon antara lain : cerita klasik, legenda dan cerita khayal seperti Panji
dan Joko Tarub, kemudian meningkat ke cerita-cerita Menak, Mesiran dan Cina
(Gazali, 1958:48).
Perkembangan semacam ini juga dialami dan dilakukan oleh kethoprak
Siswo Budoyo. Perkembangan itu pada dasarnya selaras dengan perkembangan
jaman dan perkembangan penonton. Mengingat Siswo Budoyo telah menyatu
dengan masyarakat, maka kethoprak ini dituntut untuk memenuhi dan mengikuti
selera penonton kethoprak sebagai satu bentuk kesenian yang dikenal untuk masa.
Karenanya dalam penataan dan penggarapan diprioritaskan pada selera
masyarakat (Soedarsono, 1999 :77). Unsur estetika, etika, pendidikan dan kontrol
sosial tidak ditinggalkan, walaupun masyarakat menuntut sesuatu Siswo Budoyo
mempunyai kewajiban dan sekaligus hak tetap untuk mempertahankan ciri
khasnya.
Unsur peralatan panggung
Peralatan panggung dalam hal ini meliputi : pengeras suara, dekorasi,
lampu termasuk juga peralatan musik gamelan. Peralatan- peralatan yang dimiliki
Siswo Budoyo semakin hari semakin bertambah banyak , lengkap dan modern.
Dapat diberikan contoh pemakaian slide sebagai alat pengubah suasana (hujan,
awan atau api). Kemajuan –kemajuan teknologi yang ada dimanfaatkan oleh
Siswo Budoyo sehingga dengan demikian akan semakin tampak maju. Adanya
spot light dan berbagai peralatan modern yang dimiliki dan digunakan untuk
kelengkapan pementasan. Hal semacam ini pada dasarnya dimaksudkan untuk
lebih menghidupkan pementasan dan terlebih lagi untuk mendukung
perkembangan Siswo Budoyo sendiri.
Unsur teknik dan akting

201

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Baik teknik dan penampilan acting bagi kethoprak Siswo Budoyo semakin
tampak lebih mantap atau meyakinkan penggemar kesenian tradisional ini.
Berbagai teknik misalnya : tata lampu, teknik drama, teknik dialog dan berbagai
jenis tari dan teknik perang dengan bermacam-macam seni bela diri telah
diajarkan dan dikuasai oleh para pemain Siswo Budoyo.
Manager Siswo Budoyo sengaja mendatangkan berbagai ahli yang
berkaitan dengan pementasan kethoprak dimaksudkan untuk menambah
pengetahuan, mendidik pemain-pemain kethoprak Siswo Budoyo agar semakin
trampil dan berpengalaman. Demikian dengan kegiatan dan penambahan waktu
latihan dimaksudkan untuk lebih memantapkan penampilan-penampilan
berikutnya.
Kegiatan ini bertujuan agar Siswo Budoyo semakin tambah maju, dan
ketrampilan demi ketrampilan terus diupayakan untuk meningkatkan jumlah
penonton kesenian tradisional yang disebut kethoprak. Kemajuan di bidang teknik
dan akting bagi warga Siswo Budoyo merupakan suatu hal yang mendapat
perhatian khusus.
Unsur penonton
Selain unsur sarana dan prasarana berpengaruh terhadap perkembangan
perkumpulan Siswo Bodoyo, maka faktor penonton pun tidak kalah pentingnya
dengan unsur-unsur diatas. Dengan penonton yang cukup banyak, misalnya
pemasukan yang diperoleh semakin meningkat. Hal ini akan berpengaruh
terhadap kelestarian hidup dan perkembangan kethoprak itu sendiri. Karena tanpa
adanya pemasukan yang cukup mustahil kelangsungan hidup kethoprak itu
bertahan lama. Pernyataan Soedarsono (1999:80), ―hambatan-hambatan kethoprak
keliling yang menjadi suram prospeknya itu terutama karena daya beli penonton
kethoprak masih rendah. Sehingga harga produksi juga rendah, padahal biaya
produksi selalu meningkat.― Siswo Budoyo bagi masyarakat Jawa khususnya
masyarakat Jawa Timur merupakan kethoprak yang cukup dikenal dan dianggap
cukup modern. Kenyataan ini mengingatkan bahwa penggemar kethoprak Siswo
Budoyo cukup banyak dan merakyat. Masyarakat pencintanya pun menyatakan
bahwa Siswo Budoyo bagi mereka tidaklah mahal, walaupun bila kita ingat
pementasan Siswo Budoyo tidak kecil biayanya.
Kelangsungan tampil dan hadir Siswo Budoyo bukan karena dana yang
diperoleh melalui pentas keliling, tetapi kethoprak satu ini telah melangkah lebih
maju, yakni terjun ke bidang studio rekaman, baik itu lewat kaset maupun video
kaset. Lewat acara televise sebulan sekali merupakan tambahan pemasukan yang
tidak kecil bagi Siswo Budoyo.
202

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Unsur perencana dan manajemen


Kehidupan dengan variasi jatuh bangun dan kekaburan arah maupun sifat
dari kebanyakan perkumpulan kethoprak karena adanya pemikiran dan
penggarapan yang serius masalah pengelolaan (Bratawijaya,1977:52). Masalah
pengelolaan merupakan faktor penentu kelestarian organisasi kethoprak. Bidang-
bidang yang memerlukan pengelolaan antara lain: perencanaan, teknik artistik,
organisasi,produksi, keuangan dan administrasi. Cara-cara ini merupakan wahana
perwujudan pengembangan suatu organisasi, termasuk juga kethoprak Siswo
Budoyo.
Ketoprak gaya baru Siswo Budoyo di bawah pimpinan Ki Siswondho Hs
telah mengupayakan langka-langkah diatas. Satu bukti adalah terbentuknya
yayasan Siswo Budoyo. Yayasan ini tidak sekedar untuk kepentingan kethoprak,
tetapi juga merupakan suatu alat perwujudan kesejahteraan warga Siwo Budoyo.
Bentuk yang lebih nyata misalnya dengan didirikannya TK (Taman Kanak-
Kanak) Siswo Budoyo.
Pengelolaan dan perencanaan yang cukup mantap membawa Siswo
Budoyo ke perkembangan yang lebih modern. Dengan memperhatikan beberapa
unsur dan fakta yang dimiliki Siswo Budoyo, maka kethoprak gaya baru ini dapat
menduduki posisi yang cukup dominan di antara kethoprak-kethoprak lain yang
masih hidup di tengah-tengah masyarakat.
Cerita-cerita yang Telah Dipentaskan Kethoprak Siswo Budoyo
cerita yang pernah dipentaskan Siswo Budoyo mengalami perkembangan
jumlahnya. Lakon yang pertama dipentaskan sekitar cerita-cerita kejawen dan
seterusnya melangkah dengan penampilan- penampilan cerita Panji, Mesiran, dan
Cina. Jika diklasifikasikan secara kuantitatif cerita yang pernah dipentaskan
kethoprak Siswo Budoyo berjumlah kurang lebih 160 buah cerita. Untuk lebih
konkritnya cerita-cerita itu antara lain: cerita kejawen, Majapahitan, Panji,
Mesiran, Cina, kepahlawanan, roman, silat, horor, humor, detektif, cerita rakyat
atau dongeng rakyat populer, cerita seri atau cerita bersambung. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Ki Siswondho Hs diperoleh keterangan bahwa :
Cerita kejawen
Cerita kejawen ialah cerita jaman kerajaan Demak dan sebelumnya, yang
menggunakan kostum ikat kepala, kain batik, surjan atau beskap. Cerita yang
menggunakan kostum tersebut adalah Babad Tanah Jawi, Berdirinya Yogyakarta,
Arya Penangsang , Tudung Madiun, Pangeran Kencet, Sinuwun Seda Krapyak
(Clifford Geertz, 1981:92).
Cerita majapahitan
203

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Cerita majapahitan ialah cerita jaman Majapahit dan masa sebelum


kerajaan Majapahitan, yakni sampai jaman kerajaan Kediri, Singosari, Pajajaran.
Kostum yang digunakan adalah gelung, pilis kepala, kain batik bukan batik Solo
dan Yogyakarta yang bercorak candi, congokan (gaya Pekalongan) dan tidak
memapaki baju atau gaya rompi. Cerita yang menggunakan kostum tersebut
adalah Kamandaka, Ken Arok, Jaya Katwang, Putri Duyung, Joko Thole,
Ranggalawe Tuban, dan Pemberontakan Ra Kuti.
Cerita panji
Cerita Panji ialah cerita jaman Kediri, kostum yang digunakan adalah
kostum gedog (mendekati wayang dan menggunakan irah-irahan). Cerita yang
menggunakan kostum tersebut adalah : Panji Semirang, Angraeni Larung, Ande-
ande Lumut, Enthet, Candra Kirana Bakul Jamu, Timun Emas, Keong Emas,
Bancak Doyok, dan Melati Putih Edan.
Cerita Mesiran
Cerita Mesiran ialah cerita yang dalam pementasannya menggunakan
kostum Mesiran, yaitu: jobahan, ubel (serban); misalnya: cerita Mesir, Bagdad
dan cerita Islam. Cerita yang menggunakan kostum tersebut adalah Putri Johar
Manik, Aladin, Ali Baba, Umar Amir, Sirat Pencuri Bagdad, Syamsul Hilal,
Tabuh Hari Raya Idul Fitri dan Putri Paresade.
Cerita India, Romawi memakai kostum jobahan, tetapi tidak memakai serban.
Cerita yang menggunakan kostum tersebut adalah Putri Sawitri, Lonceng Natal,
Romeo Yulia, Kelahiran Yesus, Nabi Musa, Laela Majnun, Kapten Lazaro, dan
Putri Damayanti.
Cerita Cina
Cerita Cina adalah cerita yang menggunakan kostum Cina. Cerita yang
menggunakan kostum tersebut adalah : cerita Sampek Engtay, Sie Jiem Koei dan
Putri Merak (Muangtai).
Cerita kepahlawanan
Cerita kepahlawanan ialah cerita yang mengandung tema atau
dititikberatkan pada tema kepahlawanan, dan yang termasuk cerita ini adalah
Pangeran Diponegoro, Nyai Ageng Serang, Gajah Mada, Retno Dumilah, Probo
Retno, Trunojoyo, Erlangga Narotama, Untung Surapati, Joko Tingkir Suwita, Sri
Wulandari, Patih Jelantik, Sungging Purbangkara, Syeh Jangkung dan Shampo
Khong.
Cerita fiksi atau carangan juga termasuk non fiksi mengandung unsur
kepahlawanan, antara lain Naga Sasra Salangit di Langit Singosari, Pahlawan

204

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Sudra, Mahabharata dan I Swasta Setahun di Bedahulu. Badai Laut Selatan, Api
di Bukit Menoreh, Manggala Yuda Sudira Prana.
Cerita Roman
Cerita Roman ialah cerita yang mengandung tema atau dititikberatkan
pada cerita yang bertemu cinta (romantis). Cerita jenis ini adalah Roro Mendut,
Raga Padmi, Jaya Prana Layonsari, Kamandoko, Sri Huning, Putri Duyung,
Rencong Aceh, Joko Tarub, Labuh Tresno Saboyo Pati dan Putri Sedah Merah.

PENUTUP
Pementasan pertama dilakukan pada tahun 1909 dalam rangka perkawinan
agung Sri Paku Alam VII, bertempat di Kepatihan Surakarta dengan putri Sri
Susuhunan Paku Buwana X yang bernama GBRA Retno Puwasa. Perkembangan
selanjutnya ditandai dengan lahirnya kethoprak Krido Madya Utomo (1924).
Kethoprak ini masuk wilayah Yogyakarta sekitar tahun 1925 dengan penampilan
pertama di Demangan. Pementasan ini membawa pengaruh positif terhadap
kethoprak di daerah Yogyakarta. Perkumpulan kethoprak selanjutnya tidak
sekedar diiringi dengan lesung, tetapi masyarakat Yogyakarta menambah dengan
peralatan gamelan.
Gaya dialog dagelan atau lawak untuk peran abdi, sedang dialog tembang
digunakan pada adegan-adegan sedih atau percintaan, serta waktu pasewakan
agung kerjaaan. Unsur pakaian mengalami perkembangan pada jumlah cerita yang
ditampilkan semakin bertambah banyak. Ini merupakan ciri ketoprak peralihan.
Berdirinya kethoprak Langen Wanodya (1928) di Yogyakarta merupakan babakan
kethoprak gamelan. Kethoprak ini sudah menuju pada bentuk kethoprak
profesional yang pernah berkeliling ke Bandung, Jakarta bahkan pernah tampil di
kawasan timur seperti Semarang dan Surabaya. Pertumbuhan dan perkembangan
bentuk kethoprak pada masa ini sudah mulai tampak jelas.
Dengan demikian hadirnya kethoprak pada masa itu menggugah
munculnya perkumpulan-perkumpulan kethoprak lainnya. Dapat dikatakan
tumbuhnya kesenian itu semakin subur. Di antaranya muncul kethoprak Krido
Mudo (Yogyakarta, 1929), kethoprak Krido Raharjo (Yogyakarta 1932),
kethoprak Wargo Wandowo (Yogyakarta 1937). Jaman penjajahan Jepang dan
masa setelah kemerdekaan kehidupan kethoprak semakin maju pesat. Menyimak
perkembangan kethoprak sampai sekarang secara ringkas dapat diperinci atas tiga
periode : tahun 1887 sampai 1925 periode kethoprak lesung, tahun 1925 sampai
tahun 1927 periode kethoprak peralihan dan tahun 1927 sampai sekarang periode
kethoprak gamelan.
205

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

DAFTAR PUSTAKA
Bratawijaya, 1977.mengungkap dan mengenal budaya jawa. Jakarta: Pradaya
Paramita.
Clifford Geertz, 1981. Abangan, santri, priyayi dalam masyarakat jawa.
Terjemahan aswab mahasin. Jakarta : Pustaka Jaya.
Gazali. 1958. Langgam sastra lama. Jakarta : Balai Pustaka.
Sastroamijoyo, 1982. Renungan tentang pertunjukan wayang kulit. Jakarta :
Kinta.
Soedarsono, 1999. Metodologi penelitian seni pertunjukkan , MSPI, Yogyakarta.

ETNOPUITIKA RELIGI DAN DAKWAH KULTURAL


“SYI’IR SUROBOYOAN” KH MOENTOWI

Heru Subrata dan Hendratno


Universitas negeri Surabaya
herusubrata@unesa.ac.id
hendratno@unesa.ac.id

Abstrak:
―Syi‘ir Suroboyoan‖KH Moentawi adalah salah satu karya sastra yang
berkembang di masyarakat Jawa pesisiran(Surabaya). Syair ini di tulis oleh KH
Moentowi. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa dan Arab. Syi‘ir tersebut
memuat ajaran-ajaran agama yang dapat dijadikan pedoman hidup. Untuk
memaknai ―Syi‘ir Suroboyoan‖ KH Moentowiyang sarat dengan ajaran dan
nilaidiperlukan pendekatan yang sesuai agar lebih mudah dipelajari dan dipahami.
Sesuai dengan karakteristik Syi‘ir sebagai karya sastra yang bergenre puisi, dan
206

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

dipakai sebagai media dakwah, maka kajian difokuskan pada etnopuitika religi
dan dakwah kultural. ―Syi‘ir Suroboyoan‖ KH Moentawi merupakan karya sastra
lisan, karena berbentuk syair yang cara membacanya dilantunkan dengan irama
tertentu. Dari sisi budaya, ditemukan adanya budaya pesantren yang berisikan
ajaran-ajaran agama Islam, yaitu tentang: ajaran Islam dan masyarakat, asal
kejadian manusia, dan masalah anak.
kata kunci: etnopuitika, religi, dakwah kultural, syi‘ir kh moentowi.

A. PENDAHULUAN

Karya sastra sebagai karya seni, berkaitan erat dengan moral dan
agama.ImamAl-Ghazali (1993) menyatakan bahwa efek yang ditimbulkan karya
seni termasuk karya sastra terhadap jiwa manusia sangat besar, dan karenanya
seni menentukan moral dan penghayatan keagamaannya. Jika masalah estetika
hanya dikaitkan dengan selera dan kesenangan sensual atau kesenangan
inderawi, maka nilai seni itu akan merosot. Oleh karena itu, menurut Noor
(2011:82-83), puncak keberhasilan sebuah karya sastra adalah bertemunya
kebenaran dan religiusitas dengan keindahan (estetika).

Iqbal (dalam Miss Luce-Claude Maitre, 1991:53) menyatakan bahwa karya


seni yang membangun kekuatan kemauan kita yang terlena dan memberi kita
semangat untuk menghadapi ujian kehidupan dengan sikap jantan, itulah karya
seni yang tinggi. Seni tertinggi adalah seni yang membangunkan kekuatan dan
kemauan kita yang terlena dan memberi kita semangat untuk menghadapi ujian-
ujian kehidupan tersebut. Mahkota seniman ialah keindahan yang akan
menimbulkan cinta kepada Ilahi dan sesama.

Pernyataan Iqbal di atas merupakan gagasan luhur mengenai misi seorang


sastrawan. Karya sastra baik genre puisi, cerpen, novel, maupun drama,
seharusnya merupakan penuntun ketuhanan dan kemanusiaan. Dalam konteks
itulah sastra hendaknya mampu membawa pencerahan batin bagi pembacanya
menuju kedekatan dengan Sang Pencipta.

207

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Dalam khazanah sastra Jawa, sastra religi memiliki peran yang sangat
penting. Ada beberapa alasan, pertama, genre sastra ini memiliki kedalaman
makna yang sangat berarti bagi pembaca dalam rangka memperkaya khasanah
batinnya. Kedua, genre sastra ini memiliki kekhasan yakni pengungkapan
religiusitas–bukan ritual keagamaan yang formal—yang memadukan dimensi
ketuhanan (Ilahiyah) dengan dimensi sosial kemanusiaan (insaniyah). Dua
dimensi yang harus dikembangkan dalam setiap diri manusia yang beragama
Islam. Ketiga, eksistensi genre sastra ini penting dalam perkembangan sastra
Jawa pesisiran dan masyarakatnya sastra Jawa pada umunya.

Karya sastra pada dasarnya melukiskan problema manusia yang bersifat


universal, tidak hanya tentang hakikat kehidupan, masalah moral, sosial dan
kultural, kemanusiaan, kematian dan ketuhanan saja, melainkan juga masalah
kebencian, ambisi,cita-cita, dan cinta kasih sayang. Aminuddin (1998:115)
menyatakan bahwa sebagai hasil kreasi manusia, karya sastra baik genre puisi,
cerita pendek, novel, maupun drama, mampu mengungkapkan realitas di luar
dirinya. Sastra adalah cermin yang menjadi representasi dari realitas itu sendiri.
Tegasnya, karya sastra mengandung empat masalah besar yakni masalah (1)
kehidupan, (2) kematian, (3) kemanusiaan, dan (4) ketuhanan. Urgensi sastra
sebagai sumber nilai moral juga dapat mempertajam kesadaran sosial dan
religius pembaca.

B. Puisi Jawa
1. Tradisionoal

Puisi Jawa tradisional umumnya berupa puisi tembang. Menurut Hariadi


(1981:9) ternbang yaitu puisi tradisional Jawa yang memiliki bentuk (tipografi)
yang khas, yang terikat dengan guru wilangan, guru lagu dan gatra. Guru
wilangan adalah jumlah suku kata tiap baris, guru lagu adalah aturan tentang
persajakan bunyi akhir kata pada tiap baris, dan guru gatra adalah jumlah baris
pada setiap padaatau bait bait sebuah tembang.
208

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Puisi Jawa tradisional (tembang) Syi‘ir Suroboyoan K. H. Moentawi


termasuk dalam kategori parikan. Bentuk tembang parikan ini juga tersusun dalam
bentuk bait-bait sebagaimana yang terdapat dalam tembang-tembang macapat.
Hanya saja selain simpel—karena terdiri dari empat baris—Syi‘ir KH Moentawi
juga berisi hanya satu jenis kategori saja, yaitu Parikan. Hal ini berbeda dengan
umumnya serat-serat yang ditulis dengan berbagai kategori tembang.

2. Sastra Jawa Pesisiran

Sastra Jawa pesisiran adalah karya sastra yang bermediakan bahasa


Jawa pesisiran. Yang dimaksud dengan bahasa Jawa Pesisiran adalah
bahasa yang dipergunakan oleh orang Jawa di daerah pantai utara pulau Jawa
(Hutomo, 1994:41). Bahasa yang digunakan oleh K.H. Moentawi dalam ―Syi‘ir
Suroboyoan‖ adalah bahasa Jawa berdialek Surabaya. Bahasa Jawa ―dialek
Suroboyoan‖ yang lugas dan mudah dipahami oleh masyarakat Surabaya dan
masyarakat Jawa pada umumnya sehingga menghantarkan karya ―Syi‘ir
Suroboyoan‖ K.H. Moentawi dapat diterima disisi masyarakat
pemakainya.

Puisi Syi‘ir khusus untuk menggambarkan atau menceritakan cerita-


cerita yang diambil dari sejarah Islam, hadist, Al Qur' an, hal-hal yang
mengenai kehidupan agama, filsafat agama Islam, dan kehidupan
masyarakar".Padaumumnya teks asli Syi‘ir menggunakan aksara Arab pegon yang
sulit dibaca oleh orang awam, tetapi teks tersebut dapat kita simak dan kita
saksikan di berbagai even, di antaranya: di pondok-pondok pesantren dan mimbar-
mimbar ceramah agama, di surau-surau atau langgar yang dilantukan saat
menunggu sholat fardhu tiba oleh para santri maupun kiyai, juga para penyair
Syi‘ir lainnya.

Menurut Purnomo dalam Yuhana (1998:4-5) membagi hasil-hasil


sastra Jawa pesisiran menjadi tiga kriteria yaitu; pertama pada bait pembuka

209

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

selalu memuji asma Allah S.W.T. karena hal tersebut merupakan ciri khas dan
harnpir dipastikan selalu muncul pada karya sastra pesisiran. Seperti halnya
dengan ―Syi‘ir Suroboyoan‖ K.H. Moentowi, pada setiap pertunjukan dan
ceramah agamanya dalam hasil karya sastranya terdapat bait pembuka yang
berbunyi seperti dalam kutipan berikut,

Bismillahirrahmanirrahim
Mukaddimah(pembuka)
―sakderengipun syiir mulai
mangka sakderenge sami nilai
pundi kang sae mangka ngelampahi
pundi kang awon kedah nebihi‖

Sebelumnya syiir mulai, maka sebelumnya bersama menilai, mana yang baik kita
jalani, dan yangjelek kita jahui
―sarana nyebut lafad bismillah
lan kula muji allhamdulillah
kula mulai bukak masalah
mugi syiir anbektha fadhillah‖

Dengan menyebut lafad bismillah, dan saya memuji alhamdulillah, saya mulai
membuka masalah, semoga syiir membawa fadhillah.

Adapun bagian kedua, adalah isi atau inti dari syi‘ir. Jumlah bait dan baris
serta ragam isi atau inti dari syi‘ir bergantung dari pengarang masing-masing.
Dalam ―Syi‘ir Suroboyoan‖ KH Moentawi berisi tiga sub tema, yaitu ajaran
Islam dan masyarakat, asal kejadian manusia, dan masalah anak.

Di bagian akhir(penutup) ―Syi‘ir Suroboyoan‖ KH Moentowiberisi penutup yang


berbunyi,

―Ringkese syiir namun semanten


menawi lepat nyuwun ngapunten
kang kula seja utawi boten
kersaha derek purun ngapunten‖

210

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Ringkasnya syiir cuma begini, apabila ada kesalahan saya minta rnaaf, yang saya
sengaja atau tidak, sudilah saudara mau memaafkan

―syi‘ir kang radi kirang utama,


para sederek puruna nerima
kirang langkunge ing tata kerama
nyuwun agunge ing pangaksama‖

Syiir yang tadi kurang utama, para saudara mau menerima, kurang lebihnya ditata
krama, minta maaf yang sebesar-besarnya

―ringkese syingir akhire kalam


ketutup ngangge ucapan salam
dateng sedaya sederek islam
salah benere wallahu alam‖

Ringkasnya syiir akhimya ucapan, ditutup dengan ucapan salam, pada seluruh
saudara Islam, salah benamya Allah yang menentukan.

C. Etnopuitika dan Etnopuitika religi KH Moentowi.


1. Etnopuitika

Istilah etnopuitika diperkenalkan ke dunia akademis oleh Rothenberg pada


tahun 1968, melalui jurnal Alcheringa. Terdapat dua ciri utama yang secara khas
menandai etnopuitika. Pertama, etnopuitika memfokuskan diri pada pentas sastra
atau verbal art performance. Dalam hal ini etnoputika dapat dipandang sebagai
puitika-pentas, yang merupakan titik temu dari berbagai disiplin, seperti
linguistik, antroplogi, sastra (lisan), dan folklore (Sherzer & Woodbury 1987: 2).
Kedua, etnoputika berusaha mempelajari makna pentas sastra serta implikasinya
dengan lebih dahulu memahami pengetahuan lokal. Artinya, setiap kelompok
budaya (a culture) atau komunitas penutur bahasa (a speech community) memiliki
ciri-ciri lokal yang khas, yang tidak terdapat pada kelompok budaya atau
komunitas penutur bahasa lainnya. Hal tersebut akan memberikan deskripsi yang

211

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

memadai (adequate description) terhadap puitika-pentas yang bercirikan budaya


lokal.

Dalam mengkaji puisi, umumnya dihadapkan dengan unsur bentuk dan


makna. Kedekatan antara bentuk dan makna atau iconicity, sebagaimana yang
disarankan oleh Pope dalam ungkapan the sound must seem an echo to the sense,
membantu menciptakan nada bagi puisi atau bahasa puitis pada umumnya. Jadi,
puisi memang ingin menjadikan dirinya iconic, dan sifat iconic dari bahasa puitis
atau teks sastra tersebut akan terdengar semakin jelas dan menonjol bila ia
dilisankan atau dipentaskan.

Etnopuitika mengandung dua unsur utama yaitu (1) materi formal yang
berupa bahasa dan (2) suara. Karena keduanya bernuansa puitis, etnopuitika
mengacu pada keindahan bahasa susastra dan suara. Pertama, keindahan bahasa
susastra oleh Hymes disebut the universality of the line. Kadarisman (2005)
mengusulkan fitur puisi yang universal (the universality of poetics features).
Materi formal berupa bahasa susastra ini berupa bahasa tulis dan lisan. Bahasa
tulis untuk etnopuitika pada Syi‘ir KH Moentawi yang merupakan bahasa
susastra tulis ini tidak mencerminkan suara. Keindahan bahasa itu sangat
tergantung pelantunnya. Kedua, keindahan unsur suara, Tedlock menyebutnya
(the art or aesthetics of sounding the narratives texts). Sebagai sastra lisan, sangat
dipengaruhi oleh kualitas suara atau olah vokal. Dalam olah vokal terdapat unsur
tempo, dinamik, pemanjangan, penekanan, intonasi, lafal, dsb. (Stephen. 1989).
Olah vokal bersifat mandiri dan kolaborasi. Olah vokal mandiri, jika Syi‘ir
dilantunkan berupa tuturan tanpa diikuti gending, sedangkan olah vokal
kolaboratif yaitu olah vokal berSyi‘ir dengan diiringi alat
musik(tradisional/modern). Tentu saja akan menghasilkan nuansa yang berbeda.

2. Etnopuitika Religi KH Moentawi Dalam Dakwah Kultural

212

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Syi‘ir KH Moentawi merupakan karya sastra genre puisi religius. Hal


tersebut ditunjukkan dari unsur isi yang terkandung di dalamnya. Dari ketiga
bagian Syi‘ir tersebut semua berkaitan dengan ajaran agama Islam, yaitu tentang
habluminallah dan habluminannas. Ketiga bagian tersebut adalah: ajaran Islam
dan masyarakat, asal kejadian manusia, dan masalah anak.

Syi‘ir KH Moentawi tumbuh di kalangan masyarakat Jawa pesisiran


(Surabaya), khususnya di lingkungan pesantren. Syi‘ir tersebut dimaksudkan
sebagai media dakwah kultural. Dakwah yang mengakomodasikan budaya sebagai
wahananya. Bentuknya yang khas dan sederhana, sehingga gampang dipahami
masyarakat awam. Teknik penyampaiannya biasanya dilantunkan atau
dikumandangkan dalam acara-acara tertentu maupun untuk pengiring sebelum
adzan sholat fardhu.

Syi‘ir KH Moentawi ini hampir mirip dengan Syi‘ir Tanpa Waton karya
KH Midhoful Mustofa (Ahli Tasawuf) pemangku pondok pesantren ―Ahlus-Shofa
Wal-Wafa‖, Ulama Jamaah Thoriqoh Qodliyah Nahsabandiyah Sidoarjo, yang
bersyi‘ir kritik tentang pola pikir yang serba syariat, mengabaikan hakekat.
Sebuah cara menanamkan tasawuf pada masyarakat awam melalui laku-laku
spiritual. Berikut kutipan bagian inti dari Syi‘ir Tanpa Waton,

―Ayo sedulur ja ngelaleake


wajibe ngaji sak pranatane
nggo ngandelake iman tauhide
baguse sangu mulya matine 2x‖

―Kang aran sholeh baguse atine


kerana mapan sari ngelmune
laku thoriqah lan makrifate
uga hakekat manjing rasane 2x‖

Syi‘ir Suroboyoan K.H. Moentawi mempunyai kekhasan tersendiri dari


segi penciptaan puisi dibandingkan dengan puisi lama lainnya yang cenderung
klasik dan statis. Syi‘ir Suroboyoan K.H. Moentawi cenderung lebih inovatif
213

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

dalam menuangkan gagasan imajinasinya yang mencerminkan gejolak realitas


kehidupan masyarakat baik yang lampau dan sekarang. Beliau lebih teliti dan
pandai menangkap realitas yang dirasa menyimpang dari nilai dan norma
kehidupan agama dan sosial.

Sebagai syi‘ir untuk dakwah kultural, dalam penyajiannya


―Syi‘irSuroboyoan‖K.H Moentawi cenderung dilantunkan secara lisan. Penuturan
lisan dengan ditembangkan tersebutmenjadi cirikhas Syi‘ir.Selain mempermudah
penikrnat untuk menangkap secara langsung, Syi‘iran yang KH Moentawi mampu
memberikan nuansa religius yang kental, mengajarkan pentingnya hubungan
manusia dengan Allah SWT, Rosulullah Muhammad SAW, juga hubungan
insaniyah antar manusia.

―Syi‘ir Suroboyoan‖ K.H. Moentawi juga ditulis dalam bentuk tulisan Arab
pegon (Arab gundhul). Syi‘ir tersebut juga disertai dengan penjelasan teks
sehingga memudahkan pemahaman pembaca, atau pendengar Syi‘iran.
Penjelasan yang juga memperkuat dan menunjang makna Syi‘ir an dengan disertai
landasan dasar agama yang berupa firman dalam Al quran dan Hadist.

Berdasarkan isinya, ―Syi‘ir Suroboyoan‖ KHMoentawi mempunyai


kekhasan dalam menuangkan gagasan imajinasinya berisi gejolak realitas
kehidupan masyarakat yang terjadi, baik yang lampau dan sekarang. Syi‘ir K.H
Moentawi terdiri dari tiga bagian, yaitu, (1) Kritik terhadap orang tua yang tidak
bisa mendidik anak, yang kemudian dibagi menjadi beberapa bagian juga, yaitu,
(a) kritik tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan iman anak, (b) kritik
tanggungjawab orang tua terhadap pendidikan moral anak, (c) kritik tanggung
jawab orang tua terhadap pendidikan intlektual anak, (d) kritik tanggung jawab
orang tua terhadap pendidikan psikis anak, (e) kritik tanggung jawab orang
tua terhadap pendidikan sosial anak.

214

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Syi‘ir Suroboyoan Moentawi lebih transparan mengungkap realitas sosial


yang terjadi dan lebih sopan dalam penggunan bahasa Jawa dialek
Suroboyoan. Kerendahan hatinya yang tidak menonjolkan kesombongan sebagai
seorang kiyai atau penyair membuat syi‘ir karangannya hadir mencerminkan
kesederhanaan bagi diri beliau dan masyarakat yang digambarkannya.
Seperti dalam kutipan teks pembuka syi‘ir berikut,

/sing ngarang syiir nami Moentawi/asli /yang mengarang syiir bemarna Moentawi asli
lahire kang tanah jawi/ngarang syiiran lahir dari tanah Jawa/mengarang syiir kata-
ternbunge Jawi/basane ngoko nggak katanya Jawa/bahasanya kasar tidak memakai
ngangga kawi/ kawi/
/mula takjalok kelawan seru/menawa ana /maka kuminta dengan tegas kalau ada kata-
gunem sing keliru/para sedulur jok sampek kata yang keliru/para saudara jangan sampai
niru/sebab sing ngarang ya dede guru/ meniru/sebab yang menciptakan ya bukan guru/
/napa perlune kula duduhi/supaya dulur /apa perlunya saya beritahu/supaya saudara
pada ngeruhi/sebab sing ngarang duduk semua tahu/sebab yang mengarang bukan
kiyai/mula yen nyeluk jok ditambahi/ kyai/maka kalau memanggil jangan ditambahi
/lamun sing nyeluk bocah sing cilik/nyeluk /seumpama yang memanggil anak kecil/
cacak utawa pak lek/lamun sing nyetuk wis panggillah kakak atau paman/seumpama yang
tuwek/jok nyelok kiyahi ben nggak kecelek/ memanggil sudah lebih tua/jangan panggil kyai
/sing ngarang syiir tiyang biasah/sanes biar tidak tertipu/
lulusan saking madrasah/pun boten /yang mengarang syiir orang biasa/bukan
gadhah tandha ijasah/saben dinane diuber lulusan dari madrasah/juga tidak mempunyai
susah/ tanda ijasah/setiap harinya diliputi kesusahan
/mila wonten kekeliruan/tak suwun dulur /bila ada kekeliruan/saya minta saudara
pengapurane/sebabmenungsa wis memaafkan/sebab manusia sudah tempatnya/
panggonane/ luput lan laliiku gawene/ salah dan lupa itu sudah biasa
/mila wontene niki syiiran/kula nenuwun /maka adanya ini syiiran/saya meminta pada
dhateng pengeran/mugi dadoso sebab pengeran/semoga menjadi sebab perantara/ bisa
lantaran/sagete bukak akal pikiran/ membuka akal pikiran/

Puisi Syiir Suroboyoan K.H. Moentawi terdiri dari 302 bait dan antar
bait yang satu dengan yang lain saling terkait dalam mengungkapkan isi cerita.
Biasanya suatu puisi (syiir) itu terdiri dari beruluh-puluh dan beratus-ratus sajak.
Hal yang bagi kebanyakan orang rnernpunyai pengaruh mernbosankan dan
215

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

menjerakan untuk membacanya atau rnenyaksikan pagelarnnya. Tetapi


berbeda dengan syiir Suroboyoan K.H. Moentawi yang rnempunyai
karakteristik dan estetik sastra tersendiri dalarn melahirkan dan malantunkan
tembang syiir Suroboyoan.

Syiir KH Moentawi pada hakikatnya bertujuan sebagai media dakwah


(Islam) untuk mengingatkan dan memberi kritikan pada manusia atas
ketimpangan sosial yang saat ini melanda umat manusia.. Manusia diharapkan
mampu membangun pondasi mental dan memupuk jiwa yang luhur sesuai
dengan hukum agama Islam dan norna-norma sosial yang berlaku di masyarakat.
Dari tuntunan agama, manusia dapat mengenal jati dirinya sebagai hamba Tuhan
yang dibekali akal pikiran untuk mengenal mana yang baik dan mana yang buruk,
sebab agama merupakan institusi penting yang mengatur kehidupan manusia.
Oleh sebab itu manusia hendaknya mengenal Tuhannya secara benar dengan
memahami asal muasalnya.

Allahta'alaingkangdadekna
bahanmanungsabarangsing ina
tapiwujudedisampurnakna
sandhangpanganewisdicepakna

muladakpanteslamunmanungsa
gakgelerrinyembahnyangsingkuwasa
sebabparingikangMahaKuasa
manungsagawegakbakalbisa

Untuk memahami nilai-nilai Islam tersebut, KH Moentawi


menyampaikannya dengan luwes dan halus. Tampak menunjukkan kesadaran
dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat yang heterogen. Hal ini
mirip dengan metode dakwah para wali(yang di Jawa dikenal dengan sebutan
Wali Sanga). Mereka dapat dengan mudah memasukkan Islam karena agama
tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan
kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi ―bingkisan‖ yang

216

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam. Inilah yang termasuk dalam. kategori
dakwah kultural.

Dakwah kultural yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga misalnya, ia banyak


menciptakan kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam. Dakwahnya memiliki
keefektifan memasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang gerak
dakwah yang lebih memadai. Dakwah Islam di Jawa masa itu memang lebih
banyak ditekankan pada aspek esoteriknya, karena orang Jawa punya
kecenderungan memasukkan hal-hal ke dalam hati, dan syi‘irpun adalah sebuah
upaya penghalusan rasa dan budi. Islam di masa lalu cenderung sufistik sifatnya.

C. SIMPULAN

Syi‘ir KH Moentawi merupakan suatu pendekatan dakwah dengan


memperhatikan kecenderungan manusia sebagai makhluk berbudaya. Syi‘ir KH
Moentawi merupakan media dakwah kultural yang sasarannyamasyarakat Jawa
pesisir (Surabaya). Syi‘ir Syi‘ir KH Moentawi disampaikan dengan bahasa
sederhana, namun dengan cara yang cerdas.Syi‘ir KH Moentawi disampaikan
dengan cara bijak dan dengan bahasa yang mudah diterima(bahasa Jawa ngoko.

Syi‘ir KH Moentawi berisi tentang tiga hal, yaitu: ajaran Islam dan
masyarakat, asal kejadian manusia, dan masalah anak. Sebagaimana umumnya
bentuk syi‘ir, Syi‘ir KH Moentawi secara tipologi juga terdiri atas
pendahuluan(pembuka), Isi, dan penutup.

Syiir KH Moentawi pada hakikatnya bertujuan sebagai media dakwah


(Islam) untuk mengingatkan dan memberi kritikan pada manusia atas
ketimpangan sosial yang saat ini melanda umat manusia.. Manusia diharapkan
mampu membangun pondasi mental dan memupuk jiwa yang luhur sesuai
dengan hukum agama Islam dan norna-norma sosial yang berlaku di masyarakat.
Dari tuntunan agama, manusia dapat mengenal jati dirinya sebagai hamba Tuhan

217

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

yang dibekali akal pikiran untuk mengenal mana yang baik dan mana yang buruk,
sebab agama merupakan institusi penting yang mengatur kehidupan manusia.

Sebagai media dakwah kultural, syiir KH Moentawi merupakan sastra lisan


yang cara menyampaikannya dengan ditembangkan(dilagukan), baik tanpa iringan
alat musik maupun dengan diiringi alat musik. Adapun irama lagunya bergantung
yang menyanyikannya.

Daftar Pustaka

AbdulhadiW.M.1998.SastraSufi.Jakarta:PustakaFirdaus.
AbdulhadiW.M.2004.Hermeneutika,Estetika,
Religiusitas.Yogyakarta:Matahari.
Aminuddin,M.1987.PengantarApresiasiSastra.Bandung:SinarBarudanMalang:Y
A3.
Atmosuwito,Subiyanto.1989.PerihalSastradanReligiusitasdalam
Sastra.Bandung:SinarBaru.Claude
Kadarisman, A Effendi. 2001. Berkenalan dengan Etnopuitika. Makalah Seminar
Nasional Asosiasi Tradisi Lisan. Bogor
Kadarisman, A Effendi. 2002. Etnopuitika: Dari Bunga Rampai Teks dan Pentas
sampai ke Akar Budaya. Makalah Seminar Internasional Metodologi
Penelitian Seni Pertunjukan Indonesia. Surakarta.
Kadarisman, A Effendi. 2005. Sketsa Puitika Jawa: Dari Rima Anak-Anak
samapai Filsafat Rasa. Makalah. Malang: UNM.
Kuntowijoyo.1997.BudayadanMasyarakat.Yogyakarta:TiaraWacana.
Lazar,Gillian.1993.LiteratureandLanguageTeaching,AnswerGuideTeachersand
Trainers.United Kingdom:CambridgeUniversityPress.
Lucas, Stephen. 1989. The Art of Public Speaking. New York: McGraw-Hill
Publishing Company.
Zoetmulder, PJ. 1983. Kalangwan. Djakarta: Penerbit Djambatan.

218

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

RITUAL USING:

KEARIFAN, KELISANAN, DAN FUNGSI SOSIAL

Heru S.P. Saputra, Titik Maslikatin, Edy Hariyadi

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

219

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

heruespe@gmail.com, titikunej@gmail.com, edy.hariyadi@gmail.com

Abstract: This research aimed at exploring local wisdom aspect, orality, and
social function of Using ritual, in Banyuwangi. This research used
ethnography emic perspective, with functional analysis of Radcliffe Brown.
The result of the study showed that Using ritual (Barong ider Bumi, Seblang
Olehsari, Seblang Bakungan, Keboan Aliyan, Kebo-keboan Alasmalang)
were local wisdoms inherited by ancestors of Using society. The rituals were
cultural expression to devote gratitude for ancestors, nature, and God due to
sustenance, tranquillity, and social peace gained by the local society, so that
there was a social condition which was slamet (absence of emotional
disturbance). As social cultural institutions, Using ritual had orality (verbal
aspect), mainly in its gendhing-gendhing accompanist (ode) and its japa
mantra (spell, and however it was not verbalized). The verbal aspect had
been an integral part which was also important than nonverbal aspects of
ritual act, because verbal aspects was used as ujub (pray) which underlined
all ritual procession. Meanwhile, social function of Using ritual was
integrative, as unifier media for all society level to reach slamet condition.
This was based on the sameness of belief to magical power so that figured
inner space which was able to be a togetherness binder in daily social
relation. The bond of togetherness affirms local religious system functioning
to actualize social harmony. Accordingly, this harmony social implied to the
affirmation of social role of each society member in social structure of the
local society.

Keywords: ritual, local wisdom, oral tradition, integrative, Using

Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi aspek kearifan lokal,


kelisanan, dan fungsi sosial ritual Using, Banyuwangi. Metode penelitian
menggunakan etnografi perspektif emik, dengan analisis fungsional ala
Radcliffe-Brown. Hasil kajian menunjukkan bahwa ritual Using (Barong Ider
Bumi, Seblang Olehsari, Seblang Bakungan, Keboan Aliyan, Kebo-keboan
Alasmalang), merupakan kearifan lokal yang diwariskan oleh leluhur orang
Using. Ritual tersebut menjadi ekspresi kultural untuk mencurahkan rasa
syukur kepada leluhur, alam, dan Gusti Allah atas rezeki, ketenteraman, dan
kedamaian sosial yang dialami oleh masyarakat setempat, sehingga terwujud
kondisi sosial yang slamet. Sebagai pranata sosial kultural, ritual Using
mengandung unsur kelisanan (aspek verbal), terutama pada gendhing-
gendhing pengiring (syair) dan japa mantra-nya (meskipun hanya dibatin).
Aspek verbal tersebut menjadi bagian integral yang tidak kalah penting
dibandingkan dengan aspek nonverbal berupa tindakan ritual, karena aspek
verbal dimanfaatkan sebagai ujub (niat/doa) yang mendasari seluruh
rangkaian prosesi ritual. Sementara itu, fungsi sosial ritual Using bersifat

220

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

integratif, yakni menjadi media pemersatu berbagai lapisan masyarakat untuk


menuju kondisi slamet. Hal tersebut dilandasi oleh persamaan kepercayaan
terhadap kekuatan gaib sehingga membentuk ruang batin yang mampu
menjadi pengikat kolektivitas dalam relasi sosial sehari-hari. Ikatan
kolektivitas semacam itu memperkokoh sistem religi lokal yang berfungsi
mewujudkan harmoni sosial. Terbentuknya harmoni sosial berimplikasi pada
penguatan peran sosial masing-masing anggota masyarakat dalam struktur
sosial masyarakat setempat.

Kata kunci: ritual, kearifan lokal, tradisi lisan, integratif, Using

1. Pendahuluan
Sebagai wilayah bekas Kerajaan Blambangan, Banyuwangi memiliki khazanah
tradisi Using, baik yang profan seperti Gandrung, Janger, Kuntulan,
Colongan/Mlayokaken, Tumpeng Sewu, Gelar Pitu, Rebo Wekasan, Gredoan, Puter
Kayun, Ndhog-ndogan, Mocoan Pacul Gowang, Angklung, Kendang Kempul, dan
Jaranan maupun yang sakral, seperti Barong Ider Bumi, Keboan Aliyan, Kebo-keboan
Alasmalang, Seblang Olehsari, dan Seblang Bakungan. Eksistensi khazanah tradisi Using
tersebut relatif tetap terjaga di tengah arus perkembangan zaman dewasa ini. Hal itu
merupakan wujud positif dari kerja sama berbagai pihak, baik dari dalam (pewaris aktif,
pemangku adat, pelaku, dan komunitas) maupun dari luar (apresiator, pemerintah desa,
pemerintah daerah/dinas pariwisata dan budaya, budayawan, akademisi, dan tokoh
masyarakat).
Dari berbagai khazanah tradisi tersebut, tradisi sakral berupa ritual Seblang, baik
Seblang Olehsari maupun Seblang Bakungan, menarik untuk dicermati, baik dari aspek
lokalitas, kelisanan, maupun fungsinya bagi masyarakat lokal. Ritual Seblang lahir dan
tumbuh dalam lokalitas Using, sehingga diasumsikan menjadi cerminan kearifan lokal
Using. Ritual tersebut tidak hanya terdiri atas tindakan yang berinti pada tarian,
melainkan juga mengandung unsur verbal atau kelisanan, di antaranya berupa gendhing
dan mantra. Ritual Seblang tetap eksis hingga kini lantaran berfungsi bagi pemiliknya, di
antaranya fungsi sosial yang terkait dengan keberadaan struktur sosial. Bertolak dari hal
tersebut, penelitian ini bertujuan mengeksplorasi aspek kearifan lokal, dimensi kelisanan,
dan fungsi sosial ritual Seblang.
Penelitian ini bukan benar-benar baru, karena telah ada kajian-kajian sebelumnya,
dengan fokus yang berbeda, di antaranya dilakukan oleh Wessing (1999;2012—2013),
Subagyo (1999), Singodimayan (2006;2009), Siswanto (2008), Hasmarani (2012),
Saputra (2014), Saputra & Hariyadi (2015), Wiyata, dkk. (2015), dan Maslikatin &
Ningsih (2016). Secara garis besar, kajian-kajian tersebut menekankan pada makna
simbolik (ritual Seblang), makna reflektif (gendhing-gendhing Seblang), fungsi ritual,
koreografi tari, dan paparan aspek historis Seblang. Sedikit berbeda dari kajian-kajian

221

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

tersebut, penelitian ini memfokuskan pada aspek kearifan lokal, dimensi kelisanan, dan
fungsi sosial dalam struktur sosial pada ritual Seblang Olehsari dan Seblang Bakungan.
Konsep teoretis yang menjadi pijakan dalam kajian ini, di antaranya konsep ritual
(Bell), kelisanan (Ong), dan fungsi sosial (Radcliffe-Brown). Prinsip dasar dalam ritual
menunjukkan bahwa ritual merupakan bentuk konsensus yang memiliki keragaman
dimensi dalam rangka mengkonstruksi realitas sosial (Bell, 1997). Sementara itu, tradisi
senantiasa ditopang oleh kelisanan dengan karakteristiknya yang khas dan berbeda dari
budaya keberaksaraan (Ong, 1989). Eksistensi tradisi juga ditopang oleh fungsi sosialnya,
di antaranya fungsi sosial yang mampu memperkokoh struktur sosial (Radcliffe-Brown,
1979). Konsep teoretis tersebut digunakan secara fleksibel dan kontekstual dalam
memahami ritual Seblang Oleh Sari dan Seblang Bakungan.

2. Metode
Meskipun khazanah ritual Using beragam, kajian ini dibatasi pada ritual Seblang,
baik Seblang Olehsari maupun Seblang Bakungan. Untuk memahami fungsi sosial ritual
dalam implikasinya dengan aspek kearifan lokal dan dimensi kelisanan, dilakukan
eksplorasi data lapangan secara partisipatif dengan cara ―nonton‖ seluruh rangkaian
prosesi ritual Seblang dan mewawancarai wong adat, terutama pawang Seblang.
Mekanisme semacam ini mengikuti metode etnografi perspektif emik (Spradley, 1997;
Ahimsa-Putra, 1997) guna memahami fungsi ritual dari sudut pandang wong adat Using.

Sebagaimana dilakukan sebelumnya (Saputra, dkk., 2017), kegiatan ―nonton‖


Seblang Olehsari dilakukan selama tujuh hari (pasca-Idulfitri, 3—9 Juli 2017), pukul
13.00—17.00 WIB, sedangkan untuk Seblang Bakungan dilakukan selama satu malam
(pasca-Iduladha, 10 September 2017), pukul 19.00—23.00 WIB. Rangkaian fenomena
sosial, khususnya berupa relasi sosial, baik pada hari-hari praritual maupun pascaritual,
juga diamati secara cermat. Tindakan ritual dan tindakan relasi sosial tersebut merupakan
teks sosial yang dijadikan titik tolak untuk memahami fungsi sosial, khususnya dengan
menggunakan paradigma fungsionalisme-struktural (Radcliffe-Brown, 1979; Marzali,
1997). Selain itu, dipahami pula unsur verbal dan kearifan lokal yang menjadi bagian
integral ritual Seblang, di antaranya gendhing-gendhing pengiring dan mantra-mantra
peng-ujub, dengan didasari konsep kelisanan (Ong, 1989; 2013).

3. Hasil dan Pembahasan


Hasil dan pembahasan terhadap aspek kearifan lokal, kelisanan, dan fungsi sosial
ritual Using dapat dipahami bahwa sebagai mekanisme kultural, ritual merupakan salah
satu formulasi dari nilai-nilai lokalitas yang diyakini mampu menjadi solusi kultural
dalam mencapai keseimbangan hidup. Mekanisme tersebut memerlukan kelengkapan
222

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

aspek verbal berupa ujub (niat/doa) dengan tujuan bermuara pada pencapaian fungsi
sosial yang bersifat integratif. Hasil tersebut dipaparkan dalam tiga bagian, yakni ritual
sebagai kearifan lokal, ritual Using mengandung dimensi kelisanan, dan ritual Using
khususnya Seblang senantiasa dirayakan dalam rangka mencapai fungsi sosial bagi warga
setempat.

a. Ritual: Kearifal Lokal


Sebagaimana khazanah tradisi dan kesenian lain (profan), ritual Using (sakral)
khususnya Seblang, merupakan kearifan lokal yang juga diwariskan oleh leluhur orang
Using. Khazanah kultural sakral cenderung sebagai produk budaya yang bersifat turun-
temurun, menjadi wujud weluri, bukan ―ciptaan‖ kekinian yang didasari oleh kreativitas.
Eksistensi ritual di benak wong adat relatif ―langgeng‖ dibandingkan warisan leluhur
berupa tradisi profan, karena bersifat intangible (‗takbendawi‘) yang notabene berurusan
dengan hati, kepercayaan, dan keyakinan. Dalam konteks keyakinan inilah, wong adat
senantiasa merasa tidak tenteram hidupnya manakala tidak/belum melaksanakan ritual
yang telah diwariskan oleh leluhur mereka.
Sebagaimana dinyatakan pawang Seblang Bakungan, Mbah Rus (Ruslan)
(wawancara, 9 September 2017) dan pawang Seblang Olehsari, Pak Wan (Akwan)
(wawancara, 11 September 2017) bahwa wong adat di Olehsari dan Bakungan dalam
ngangkataken ritual Seblang dilandasi oleh keyakinan dan sekaligus tanggung jawab
terhadap mandat atau amanat yang telah diberikan oleh leluhur sebagai bentuk weluri.
Pak Wan memberi penekanan bahwa seminggu sebelum hari H pelaksanaan ritual
Seblang Olehsari, pikiran dan perasaannya tidak tenang karena merasa nduwe wajib
untuk menanggung keselamatan seluruh warga Olehsari. Artinya, secara fungsional, ritual
menjadi spirit untuk mengemban mandat keselamatan. Dalam konteks seperti ini,
sebagaimana disinggung Bell (1997:27—29), bahwa dimensi fungsional menjadi salah
satu elemen yang menggerakkan spirit warga untuk tetap nguri-uri ritual.
Sebagaimana diketahui, terdapat tiga jenis kategori ritual, yakni upacara sekuler,
upacara semi religius, dan upacara agama (Suhardi, 2009:12—13). Prinsip upacara
sekuler berfungsi sosial-politik, yang menekankan pada prosesi seremonial. Upacara semi
religius berintikan pada peringatan peristiwa daur hidup dan semacamnya, yang memiliki
dimensi sisi sekuler dan sakral, dengan tujuan mencari jalan keselamatan (terhindar dari
gangguan makhluk metafisik). Sementara itu, upacara agama bertujuan mencari jalan
keselamatan jiwa melalui pola peribadatan guna menjalin komunikasi dengan alam
transenden. Dalam konteks ini, ritual Seblang dapat diketegorikan sebagai upacara semi
religius yang bersifat sakral guna mendapatkan situasi slamet dan terhindar dari pagebluk.
Di sisi lain, ritual tersebut juga menjadi ekspresi kultural untuk mencurahkan rasa syukur
kepada leluhur, alam, dan Gusti Allah atas rezeki, ketenteraman, dan kedamaian sosial
yang dialami oleh masyarakat setempat.
223

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi basis utama bagi orang Using dalam
nguri-uri ritual Seblang adalah spirit sugestif dan fungsional, di samping rasa
kebersamaan (komunal) dan saling berbagi (gotong royong). Ranah kepercayaan
(sugestif) menjadi pondasi dalam menopang bangunan ritus yang sakral, sekaligus
memupuk-suburkan kepercayaan tersebut secara fungsional dalam konteks dinamika
sosial. Perkembangan peradaban dan semangat zaman tidak akan menafikan nilai
kepercayaan masyarakat atas ritual. Spirit sugestif menjadi ideologi kultural dalam
memahami fenomena alam, baik pada ranah alam kasar maupun alam alus. Spirit
tersebut terus dibangun di dalam benak lantaran mampu mendatangkan fungsi bagi
perjalanan peradaban mereka.
Nilai-nilai rasa kebersamaan menjadi bagian integral berupa tanggung jawab
bersama dalam mewujudkan perayaan ritual Seblang. Implikasi positif dan negatif dari
dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya ritual Seblang akan dirasakan secara kolektif
oleh wong adat dan masyarakat lokal pada umumnya. Dalam konteks yang demikian,
agar terhindar dari dampak negatif (gangguan makhluk metafisik), mereka senantiasa
nyengkuyung untuk senantiasa ngangkataken ritual Seblang. Mereka merasa memiliki
tanggung jawab yang sama karena mempercayai bahwa mereka memiliki garis genealogis
dengan leluhur yang sama. Dalam konteks yang demikian, wong adat dan warga pada
umumnya saling berbagi (gotong royong), sehingga mampu membangun spirit batiniah
yang menopang sistem religi lokal. Ruang batin yang dirawat dalam konteks ritual
mencakup ranah individual (mikrokosmos) dan ranah kolektif (makrokosmos).
Ritual Seblang menjadi khazanah kearifan lokal yang dapat menopang
mekanisme kultural lainnya, karena spirit sugestif yang menjiwai ritual tersebut mampu
mempertebal kepercayaan atas sistem religi lokal. Ritual Seblang dan agama dipercaya
mampu saling mengisi dan melengkapi, karena keduanya diyakini bermuara pada alam
transenden.

b. Ritual Using: Dimensi Kelisanan


Sebagai bagian dari folklor, ritual Using merupakan produk budaya yang dapat
dikategorikan sebagai folklor setengah lisan, karena selain terdiri atas tindakan ritual
yang notabene berupa perilaku nonverbal, dimensi kelisanan (verbal) juga menjadi bagian
integral dalam ritual Using. Selama ini dimensi kelisanan dalam ritual sering dipandang
sebagai bagian subordinat dan hanya menjadi pelengkap semata. Gendhing-gendhing
pengiring pada ritual Seblang sering dipahami dalam konteks hiburan sebagaimana pada
seremonial profan. Padahal, jika dicermati secara jeli, sebenarnya tidak demikian.

Gendhing Seblang Lakenta1 pada ritual Seblang Olehsari, misalnya, menjadi


salah satu penentu—bersama-sama dengan suara gamelan, mantra Ngundang, tindakan

1
Terkait kuatnya pengaruh tradisi lisan, penulisan leksikon lokal seringkali tidak seragam. Sebagai
contoh, nama gendhing yang mengawali ritual Seblang ditulis dalam beberapa versi, di antaranya
224

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

ngutuki dengan kepulan asap sekul arum (‗kemenyan‘) yang dilakukan pawang, dan
diputarnya anglo di atas kepala penari Seblang dengan berlawanan arah jarum jam—
berhasil tidaknya roh halus masuk ke wadhag penari Seblang untuk ndadi (trance), yang
ditandai dengan jatuhnya nyiru dari genggaman kedua tangan penari Seblang. Artinya,
keberadaan gendhing menjadi bagian integral dalam menyusun ―kekuatan‖ guna
mengundang dan kemudian memasukkan alam alus ke dalam diri alam kasar. Meskipun
demikian, hal tersebut tidak terjadi pada Seblang Bakungan, karena prosesi untuk ndadi-
nya penari Seblang telah dilakukan di tempat paes Seblang, bukan di arena genjot.

Di sisi lain, gendhing-gendhing pengiring (judul dan isi syairnya) juga


merefleksikan keragaman peristiwa keseharian atau realitas sosial yang dialami oleh
wong adat, baik terkait dengan profesinya sebagai petani, aspek ekonomi, hubungannya
dengan alam, maupun pergaulan sosial keseharian, atau dalam pembahasan Wessing
(2012—2013:165, 174, 190) menekankan tema pertanian, relasi laki-laki dan perempuan,
mitologi, dan keadilan. Rangkaian gendhing yang dilantunkan sinden sejak awal hingga
akhir prosesi ritual Seblang, menjadi mozaik perjalanan wong adat dalam menghayati
liku-liku hidup, bukan saja dalam konteks lahiriah, melainkan juga batiniah. Bagi wong
adat, gendhing-gendhing tersebut sekaligus menjadi aktualisasi diri yang berimplikasi
pada peneguhan identitas Using.

Pada ritual Seblang Olehsari 2017, gendhing yang didendangkan oleh sinden
dengan diiringi gamelan oleh wiyaga dalam setiap hari terdiri atas 31 gendhing, meliputi:
Seblang Lakenta, Lilira Kantun, Cengkir Gadhing, Padha Nonton Pupuse, Padha Nonton
Pudhak Sempal, Kembang Menur, Kembang Gadhung, Kembang Pepe, Kembang Dirma,
Layar Kumendhung, Ratu Sabrang, Kebyar-kebyur, Baguse, Sekar Jenang, Ayun-ayun,
Tambak, Petung, Punjari, Sambung Laras, Ayo Kundur, Kembang Abang, Kembang
Waru, Celeng Mogok, Candra Dewi, Agung-agung, Erang-erang, Gerang Welut, Emping-
emping, Upak Gadhung, Lilira Gule, dan Sampun.2

Seblang Lukento (Singodimayan, 2006:32; Siswanto, 2008:97; Wiyata, dkk., 2015:36), Seblang
Lokento (Singodimayan, 2009:87; Hasmarani, 2012:103; Wiyata, dkk., 2015:36), Seblang
Lakento (Wessing, 2012—2013:161; Subagyo, 1999:159; Maslikatin & Ningsih, 2016:5),
Seblang La Kentok (Brosur Panitia Seblang Bakungan 2017). Setelah berkali-kali memutar
ulang rekaman suara yang telah didapatkan dari hasil rekaman di lapangan (dalam ritual Seblang
Olehsari dan Seblang Bakungan), Tim Peneliti menetapkan penggunaan leksikon Seblang
Lakenta. Vokal a pada suku kata –ta diucapkan sebagaimana ucapan vokal a pada suku kata –ra
pada kata dalam bahasa Jawa lara (‗sakit‘)—bandingkan perbedaan bunyi vokalnya dengan kata
larane (‗sakitnya‘) dan loro (‗dua‘).
2
Secara umum, gendhing yang dilantunkan pada Seblang Olehsari berjumlah 31, tetapi kadang-
kadang terjadi variasi sehingga yang dilantunkan hanya 27 gendhing. Dalam kajian sebelumnya,
di antaranya dilakukan oleh Singodimayan (2006:32—36) disebutkan bahwa gendhing utama
pada Seblang Olehsari berjumlah 25 gendhing, tetapi jika dijumlahkan dengan gendhing
tambahan (subgendhing) menjadi 31 gendhing. Sementara itu, dalam kajian berikutnya,
225

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Sementara itu, pada ritual Seblang Bakungan 2017, gendhing yang didendangkan
adalah 14 gendhing, dengan urutan: Seblang Lakenta, Padha Nonton, Nglemar-nglemir,
Kembang Gadhung, Uga-uga, Mendem Gadhung, Ratu Sabrang, Liya-liyu, Dongsrok,
Sukma Ilang, Mancing-mancing, Emping-emping, Ing-ing, dan Erang-erang.3

Selain gendhing, dimensi kelisanan (aspek verbal) lain yang mendasar diperlukan
dalam relasi alam kasar dan alam alus adalah mantra (japa mantra). Dimensi kelisanan
tersebut menjadi bagian integral yang tidak kalah penting dibandingkan dengan aspek
nonverbal berupa tindakan ritual, karena mantra dimanfaatkan sebagai ujub (niat/doa)
yang mendasari seluruh rangkaian prosesi ritual. Mantra menjadi pondasi ―ideologis‖
yang mengendalikan keterlibatan dan partisipasi roh halus—baik cikal bakal, dhanyang,
maupun leluhur—dalam prosesi ritual Seblang. Meskipun demikian, karena sifatnya
sakral dan rahasia, mantra tidak dilisankan oleh pawang sebagaimana ucapan biasa yang
dapat didengar oleh orang lain (lenisi luar), melainkan hanya diucapkan dalam hati
(dibatin atau lenisi dalam). Dengan mengutip Walker, Setyawati (2006:64—65)
menyebutnya sebagai ajapa (‗tanpa ucapan‘ atau ‗ucapan dalam hati‘) atau manasa
(‗batin‘ atau ‗ucapan batin‘). Dalam rangkaian ritual, khususnya ketika mengakhiri acara
slametan, juga digunakan media kelisanan berupa doa yang dipanjatkan oleh tokoh
agama. Sebagaimana ditekankan oleh Saputra, dkk., (2017:83—84) doa yang di-ujub-kan
oleh modin prinsipnya bersandar pada kersane Gusti atau garise hang kuwasa, yang
mencerminkan wujud sinkretis antara ritual Seblang dan Islam.

Mantra-mantra yang digunakan oleh Pak Wan dalam Seblang Olehsari, di


antaranya mantra Ater-ater, Papan Werit, Masang Genjot, Mangkat, Ngundang,
Nangekna, Lungsuran, dan Mbangsulaken. Mantra-mantra tersebut merupakan ―senjata‖
utama yang digunakan oleh Pak Wan untuk menguasai dan mengendalikan rangkaian
prosesi ritual Seblang Olehsari, utamanya ketika berkomunikasi dengan alam alus, baik
roh cikal bakal, dhanyang, maupun leluhur (Saputra, dkk., 2017:83). Hal serupa juga
dilakukan oleh Mbah Rus dalam mengendalikan ritual Seblang Bakungan. Meskipun
demikian, mantra-mantra yang digunakannya berbeda dari yang digunakan oleh Pak
Wan. Mantra-mantra yang digunakan Mbah Rus di antaranya Makam, Nylameti,
Njangkungi, Rasa Sejati, Wesi Aji, Kanggo Seblang, Nawar, dan Balik Langgeng.

Singodimayan (2009:19) menyebutkan bahwa gendhing Seblang Olehsari berjumlah 28


gendhing, hal serupa juga disebutkan oleh Maslikatin & Ningsih (2016:5—6), yakni berjumlah
28 gendhing. Tentang jumlah gendhing, baik pada Seblang Olehsari maupun Seblang Bakungan,
lihat lebih lanjut pembahasan Wessing (2012—2013:161—162).
3
Semula telah direncanakan 13 gendhing, tetapi dalam pelaksanaan kemudian ada perubahan
hingga menjadi 14 gendhing, dengan tambahan gendhing Mendem Gadhung pada urutan ke-6.
Dalam kajian sebelumnya, di antaranya dilakukan Singodimayan (2006:10—11; 2009:18),
disebutkan bahwa gendhing pada Seblang Bakungan berjumlah 12 judul gendhing, sedangkan
Maslikatin & Ningsih (2016:6) menyebutkan berjumlah 11 gendhing.
226

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

c. Ritual Using, Seblang: Fungsi Sosial


Sebagaimana diketahui, masyarakat Using memiliki khazanah ritual Seblang,
baik Seblang Olehsari maupun Seblang Bakungan. Pranata ritual Seblang merupakan
seperangkat ritus tolak balak dan kesuburan yang berintikan pada pentas tari Seblang
yang trance. Ritual yang dipercaya sebagai warisan leluhur tersebut senantiasa
diangkataken secara rutin setahun sekali. Jika tidak dilaksanakan, diyakini akan
berdampak buruk bagi keselamatan warga setempat.
Meskipun sama-sama bertujuan untuk tolak balak dan kesuburan, tetapi ada hal-
hal yang membedakan antara Seblang Olehsari dan Seblang Bakungan, sebagaimana
paparan dalam tabel berikut.4

Seblang
No Informasi
Olehsari Bakungan

1. Kriteria penari  Keturunan Seblang  Keturunan Seblang


 Perempuan remaja (diupayakan  Perempuan tua (sudah tidak haid)
―perawan‖)  Tampil seumur hidup (sampai
 Tampil 3 kali berturut-turut, tetapi semampunya)
dapat dipilih kembali
2. Waktu  Setelah hari raya Idulfitri  Setelah hari raya Iduladha
pelaksanaan  Selama sepekan  Selama sehari
 Siang hari  Malam hari
3. Prosesi  Diawali kejiman  Tidak ada kejiman
 Diakhiri ider bumi  Diawali ider bumi
 Tidak membawa keris  Menghunus keris
4 Omprok  Terbuat dari anyaman bambu  Terbuat dari kulit binatang
(‗mahkota‘)  Kelengkapan: bunga, pupus pisang,  Kelengkapan: mori, bunga dari
pupus pinang, pupus nanas, cermin plastik, daun dari plastik

Pada tabel tampak bahwa unsur yang terkait dengan kriteria penari, waktu
pelaksanaan, prosesi, dan omprok bukan hanya berbeda, melainkan justru bertolak
belakang dan membentuk oposisi biner. Meskipun demikian, secara substansial,
implikasi sosial dari perayaan ritual Seblang dari kedua wilayah cenderung paralel, yakni
merasakan kelegaan yang mendalam.
Sebagaimana dinyatakan Saputra, dkk., (2017:85), ketika belum dan bahkan tidak
hendak merayakan ritual Seblang, muncul kegelisahan yang teraktualisasi dalam ekspresi
keseharian. Namun, setelah menunaikan kewajiban atau ngangkataken, barulah mereka

4
Dikutip dari Saputra (2013:16—17), dengan beberapa koreksi perbaikan.
227

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

merasakan kelegaan yang mendalam. Selain itu, juga disebutkan bahwa mereka merasa
lega, ayem, dan akhirnya plong. Sebagaimana yang bisa dicermati dalam realitas empiris,
tindakan sosial semacam itu tidak hanya dirasakan oleh individual tertentu, melainkan
kolektif, terutama wong adat. Mereka dapat sama-sama merasakan rasa yang sama,
sehingga menjadi guyub.
Eksistensi pranata Seblang menjadi bagian integral dalam arus kehidupan orang
Using lantaran mekanisme kultural tersebut dikonstruksi sebagai bagian dari sistem religi.
Untuk itu, mereka memiliki ―kewajiban‖ untuk ngangkataken secara rutin setahun sekali
sesuai cara adat Using. Cara adat perlu digaribawahi karena merupakan wewaler sesuai
―pakem‖ dalam ranah ritual. Dalam konteks yang demikian, ritual Seblang telah menjadi
institusi sosial yang memiliki kekuatan ―seperti hukum‖ (Saputra, 2014:60). Artinya,
pelanggaran atau pengingkaran terhadap pranata tersebut dipercaya akan berdampak
buruk bagi warga setempat. Pengingkaran untuk tidak melaksanakan pranata ritual
Seblang, yang berakibat disharmoni sosial, menjadi legitimasi kultural yang tidak
terbantahkan bagi kepercayaan orang Using. Bukan hanya itu. Pelaksanaan pranata ritual
Seblang yang tidak sesuai dengan cara adat pun dipercaya akan memunculkan
disharmoni sosial. Hal ini menjadi legitimasi kultural tentang keunikan dan keanehan
fenomena budaya, yang mau-tidak-mau harus dipahami dan diterima oleh orang Using
sebagai bagian dari realitas sosial.

Kasus yang timbul sebagai akibat dari ritual Seblang yang diangkataken tidak
sesuai cara adat Using, di antaranya kasus tahun 2008 dan 2014 pada Seblang Olehsari,
serta kasus 2011 pada Seblang Bakungan. Ritual Seblang Olehsari tahun 2008 mengalami
―kekacauan‖ hingga penari tidak bisa trance, dipercaya lantaran pengaruh situasi politik
yang tidak kondusif—dalam wujud dominannya spanduk partai politik yang bertebaran di
lingkungan arena Seblang—sehingga mengganggu sakralitas ritual Seblang. Kasus 2014,
tidak ndadi-nya penari Seblang Olehsari dipercaya lantaran rangkaian prosesi tidak
diawali adanya kejiman sehingga proses pemilihan penari dan waktu pelaksanaan ritual
dilakukan secara musyawarah oleh sesama alam kasar, tanpa melibatkan alam alus atau
roh leluhur. Kasus 2011 pada Seblang Bakungan, yang mengawali prosesi ritual bukan
dengan adu jago melainkan menggantinya dengan pitik-pitik‘an, berakibat pada
meninggalnya salah satu pitik (‗orang yang memerankan ayam‘) tidak lama setelah ritual
usai, yang dipercaya sebagai balak lantaran tidak sesuai cara adat.

Gambaran dari ketiga peristiwa yang tidak sewajarnya tersebut dipercaya oleh
masyarakat sebagai akibat dari melencengnya pelaksanaan prosesi ritual dari cara adat
yang telah di-weluri-kan oleh leluhur mereka. Persoalan semacam itu dapat saja dianggap
sebagai peristiwa yang debatable, tetapi atas dasar kepercayaan, mereka merasa bahwa
hal tersebut tidak dapat dinafikan sebagai implikasi dari ritual yang tidak ngukuhi cara
adat secara murni. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa dinamika sosial dan arus
perkembangan peradaban akan menggerus—dalam batas tertentu—kemurnian ritual.
228

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Namun, di sisi lain, nyatanya ada batas tertentu pula bagian-bagian ritual yang dapat
dinegosiasikan untuk diubah atau digeser dalam prosesi ritual Seblang. Sistem religi
lokal—yang di dalamnya mengandung warisan sugesti secara turun-temurun—yang telah
tertanam di dalam benak menjadi pondasi dalam memahami detak nadi kehidupan, yang
notabene tidak dapat dipisahkan dari persentuhan antara alam kasar dan alam alus.

Dalam menghayati fungsi sosial ritual Seblang pun, wong adat khususnya dan
masyarakat setempat pada umumnya, terhegemoni oleh spirit sugestif—pada ranah
perspektif emik—dalam membangun ruang batiniah guna menopang sistem religi lokal.
Dalam konteks ini, dimensi fungsional menjadi peneguh dalam memetik hikmah ritual
dalam konteks realitas sosial. Artinya, realitas empiris menjadi salah satu takaran dari
proyeksi ideologi kultural, khususnya implikasi sosiologis bagi arus kehidupan
keseharian. Paralel dengan itu, bahwa fungsi sosial yang dirasakan dan dihayati oleh
wong adat menjadi jawaban atas angan-angan kolektif (sugestif) mereka terhadap ritual
Seblang. Orientasi hilir dari dimensi fungsional atas ritual Seblang adalah pencapaian
keseimbangan dalam kehidupan, yakni keseimbangan vertikal-horizontal (yang
mencakup tataran lahir-batin atau jasmani-rohani).
Capaian keseimbangan dalam konteks fungsi sosial juga berorientasi pada
integrasi sosial, yakni menjadi media pemersatu berbagai lapisan masyarakat untuk
menuju kondisi slamet secara padha-padha. Hal tersebut dilandasi oleh persamaan
kepercayaan terhadap kekuatan gaib sehingga membentuk ruang batin yang mampu
menjadi pengikat kolektivitas dalam relasi sosial sehari-hari. Ikatan kolektivitas semacam
itu memperkokoh sistem religi lokal yang berfungsi mewujudkan harmoni sosial.
Terbentuknya harmoni sosial berimplikasi pada penguatan peran sosial masing-masing
anggota masyarakat dalam struktur sosial masyarakat setempat. Capaian semacam ini—
kondisi slamet, mewujudkan harmoni sosial, dan menguatkan struktur sosial—hanya akan
menjadi kenyataan apabila cara adat benar-benar dipatuhi secara tertib.
Berbeda hasilnya apabila ritual Seblang diangkataken dengan meremehkan cara
adat. Sebagaimana contoh yang telah disebutkan—yakni kasus 2008, 2011, dan 2014—
hasilnya mengecewakan, karena bertolak belakang dengan harapan yang telah
dicanangkan sebelumnya. Kesan umum yang kemudian muncul sebagai ekses dari kasus-
kasus tersebut adalah ―saling menyalahkan‖, meskipun tidak diungkapkan secara terbuka.
Dalam kasus 2008, pihak yang menjadi sasaran kekecewaan adalah ketua panitia, karena
dianggap tidak mampu mengelola secara baik ruang publik di area ritual Seblang
Olehsari, sehingga sakralitas menjadi terganggu. Dalam kasus 2011, pihak yang menjadi
tumpuan kesalahan adalah ketua adat Bakungan, karena dianggap sembrono dalam
menggantikan adu jago dengan pitik-pitik‘an lantaran ketakutan kepada Bupati—baru
menjabat—yang notabene religius. Dalam kasus 2014, pihak yang terindikasi menjadi
pangkal keruwetan adalah pawang Seblang Olehsari, yang dianggap terlalu gegabah,
lantaran berani ngangkataken sebelum ada kejiman. Dalam situasi semacam ini, relasi
sosial di antara mereka merenggang, lantaran fungsi sosial ritual Seblang tidak mencapai
229

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

sesuai harapan sehingga struktur sosial juga menjadi terganggu. 5 Meskipun demikian, hal
tersebut terjadi tidak secara terbuka.
Gambaran pada kasus tersebut menjadi tanda bahwa keteledoran terhadap cara
adat berdampak pada pencapaian fungsi ritual yang tidak maksimal sehingga
berimplikasi pada merenggangnya relasi sosial yang sekaligus melemahnya struktur
sosial. Hal tersebut paradoks dengan pelaksanaan yang menjunjung tinggi cara adat,
yang notabene mampu mencapai target fungsi sosial sesuai harapan sehingga relasi sosial
menjadi integratif dan struktur sosial menjadi menguat. Dalam kondisi yang demikian,
warga dan wong adat menjadi guyub dan harmoni dalam frame menguatnya struktur
sosial.

4. Simpulan
Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa ritual merupakan mekanisme
kultural yang diaktualisasikan oleh warga setempat—khususnya wong adat—dengan
basis nilai-nilai lokalitas guna mencapai keseimbangan hidup. Hal tersebut juga dilandasi
oleh kepercayaan terhadap relasi yang saling berkelindan, baik secara vertikal (terhadap
cikal bakal, dhanyang, leluhur, dan Gusti) maupun horizontal (terhadap lemah, alam
semesta, dan sesama). Dimensi verbal berupa ujub menjadi pondasi batiniah yang
mendasari tindakan lahiriah berupa prosesi ritual dan segala ubarampe-nya. Upaya
ngangkataken ritual merupakan tanggung jawab wong adat dalam mengemban amanat
leluhur dengan didasari kepercayaan terhadap roh yang memiliki hubungan genealogis
dengan wong adat. Dengan keyakinan, wong adat merasakan fungsi sosial bahwa ruang
batin mereka dipersatukan hingga berimplikasi pada relasi sosial yang integratif dan
mewujud pada harmoni sosial dalam frame menguatnya struktur sosial.

Ucapan Terima Kasih

Makalah ini disarikan dari sebagian hasil penelitian skim Penelitian Terapan
Unggulan Perguruan Tinggi berjudul ―Weluri Ritual: Pandangan-Dunia Orang Using
tentang Relasi antara Alam Sakral, Alam Profan, Religiositas Sinkretis, dan Harmoni
Sosial untuk Mengkonstruksi Etnowisata Menjadi Basis Produktivitas Sosial‖,

5
Terganggunya atau melemahnya struktur sosial terefleksi dari hubungan struktural di antara
mereka, baik pada tataran pelaksana ritual maupun tataran lingkungan desa. Dalam tataran
pelaksana, relasi sosial antara pawang, ketua adat, ketua panitia, dan penari Seblang terganggu.
Ada kesan saling menyalahkan di antara mereka. Hal tersebut diketahui ketika dilakukan
wawancara kepada masing-masing pihak secara terpisah. Hal serupa juga terjadi pada tataran
lingkungan desa, yakni relasi sosial antara pelaksana ritual, kepala desa, wong adat, dan warga
setempat menjadi kurang baik. Tetapi hal tersebut dilakukan secara diam-diam. Realitas empiris
semacam itu mengidikasikan bahwa struktur sosial melemah akibat dari pencapian fungsi sosial
yang tidak maksimal lantaran prosesi ngangkataken yang melenceng dari pakem cara adat.
230

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Ditlitabmas Ditjen Dikti, 2017. Tim Peneliti mengucapkan terima kasih kepada
Ditlitabmas Ditjen Dikti atas dukungan fasilitas dalam kegiatan ini.

231

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, H.S. 1997. ―Etnografi sebagai Kritik Budaya: Mungkinkah di


Indonesia?‖ Jerat Budaya, 1(1):16—40.

Bell, C. 1997. Ritual, Perspective and Dimensions. New York: Oxford University Press.
Hasmarani, L.H.N. 2012. ―Etnografi Tari Seblang pada Upacara Bersih Desa,‖ Skripsi.
Jakarta: IKJ.
Marzali, A. 1997. ―Struktural-Fungsionalisme,‖ Antropologi Indonesia, 52:33—43.

Maslikatin, T. & Ningsih, S. 2016. ―Ritual Using dan Jawa: Mitos, Hibriditas Budaya
sebagai Integrasi dan Harmoni Sosial,‖ Laporan Penelitian Hibah Bersaing.
Jakarta: Ditlitabmas Dikti.
Ong, W.J. 1989. Orality and Literacy: the Technologizing of the Word. London:
Methuen.
Ong, W.J. 2013. Kelisanan dan Keaksaraan. Yogyakarta: Gading.
Radcliffe-Brown, A.R. 1979. Structure and Function in Primitive Society. London: The
Free Press.
Saputra, H.S.P. & Hariyadi, E. 2015. ―Seblang: Mantra dan Ritual dalam konteks Struktur
Sosial,‖ dalam Folklor dan Kearifan Lokal (Prosiding Seminar Nasional).
Surabaya: FS Unej & Pustaka Radja, 46—75.
Saputra, H.S.P. 2013. ―Menghayati Ritual, Mengangan Struktur Sosial: Fenomena
Seblang, Kebo-keboan, dan Barong dalam Masyarakat Using, Banyuwangi,‖
dalam Folklor dan Folklife dalam Kehidupan Dunia Modern (Prosiding Kongres
Internasional). Yogyakarta: Ombak, 14—25.
Saputra, H.S.P. 2014. ―Wasiat Leluhur: Respons Orang Using terhadap Sakralitas dan
Fungsi Sosial Ritual Seblang,‖ Makara: Hubs-Asia, 18(1):53—65.
Saputra, H.S.P., Maslikatin, T., & Hariyadi, E. 2017. ―Guyub: dari Ritual ke Harmoni
Sosial,‖ dalam Penguatan Budaya Lokal sebagai Peneguh Multikulturalisme
Melalui Toleransi Budaya: Tradisi, Ritual, Kearifan Lokal, dan Harmonisasi
Sosial (Prosiding Konferensi Internasional). Makassar: FIB Unhas, 79—87.

Setyawati, K. 2006. ―Mantra pada Koleksi Naskah Merapi-Merbabu,‖ Humaniora,


18(1):63—71.
Singodimayan, H. 2006. Ritual Adat Seblang Banyuwangi. Banyuwangi: DKB.
Singodimayan, H. 2009. Ritual Adat Seblang: Sebuah Seni Perdamaian Masyarakat
Using Banyuwangi. Banyuwangi: Disbudpar Banyuwangi.
Siswanto. 2008. ―Simbolisme dalam Upacara Adat Seblang di Desa Olehsari Kecamatan
Glagah Kabupaten Banyuwangi,‖ Skripsi. Jember: UNEJ.
Spradley, J.P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
232

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Subagyo, H. 1999. ―Fungsi Ritual Seblang pada Masyarakat Olehsari Kabupaten


Banyuwangi Jawa Timur,‖ Tesis. Yogyakarta: UGM.
Suhardi. 2009. ―Ritual: Pencaharian Jalan Keselamatan Tataran Agama dan Masyarakat:
Perspektif Antropologi,‖ Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Antropologi.
Yogyakarta: FIB-UGM.
Wessing, R. 1999. ―A Dance of Life: the Seblang of Banyuwangi, Indonesia,‖ Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 155(4):644—682.
Wessing, R. 2012—2013. ―Celebrations of Life: The Gendhing Seblang of Banyuwangi,
East Java,‖ Bulletin de l‘École française d‘Extrême-Orient, 99: 155—225.
Wiyata, A.L., Anoegrajekti, N. Macaryus, S. & Maslikatin, T. 2015. ―Etnografi Seni
Tradisi dan Ritual Using: Kebijakan Kebudayaan dan Identitas Using,‖ Laporan
Penelitian Hibah Unggulan Perguruan Tinggi. Jakarta: Ditlitabmas Dikti.

MANTRA BERCOCOK TANAM PADI


DI KECAMATAN PERAK KABUPATEN JOMBANG
(KAJIAN STRUKTUR DAN FUNGSI)
MU‘MININ

233

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


STKIP PGRI Jombang
Email: mukminin.stkipjb@gmail.com

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendokumentasikan mantra bercocok


tanam padi di kecamatan Perak kabupaten Jombang. Data yang sudah direkam kemudian
ditranskipsikan dan diterjemahkan. Pembahasan penelitian ini meliputi struktur dan
fungsi mantra bercocok tanam padi di Kecamatan Perak Kabupaten Jombang. Penelitian
ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif yang dilakukan dengan
pengumpulan data dengan teknik perekaman, pencatatan, dan studi pustaka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mantra bercocok tanam padi yang ada
dikecamatan Perak kabupaten Jombang terdapat beberapa mantra yang digunakan pada
saat proses penanaman hingga memanen padi. Dari mantra-mantra tersebut ada yang
memiliki struktur mantra lengkap yaitu mantra tandur dari dusun Bacek Desa
Gadingmangu, mantra methik dari dusun Ngemplak Desa Pagerwojo, mantra methik dari
Dusun Genuk Desa Plosogenuk,mantra nyebar wineh dari Dusun Pedes Desa Sukorejo,
dan mantra keleman dari Dusun Ampel Desa Sumberagung
Kata kunci: struktur mantra,fungsi mantra

Abstract:This study to document the spell of rice farming in Perak district of


Jombang district. The recorded data is then transcribed and translated. Discussion of this
research includes the structure and function of rice planting spells in Perak District
Jombang. This research uses qualitative descriptive research method which is done by
collecting data by recording technique, recording, and literature study.
The results showed that the existing rice planting spells in Perak district Jombang
District have some spells used during the planting process to harvest rice. From those
spells there is a complete mantra structure that is tantal spell from Bacek Gadingmangu
Village, methic spell from Ngemplak village Pagerwojo Village, methic mantra from
Genuk Plosogenuk Village, spreading nyar wineh from Pedes Village Sukorejo Village,
and mantra keleman from Dusun Ampel Sumberagung Village
Keywords: mantra structure, spell function

LATAR BELAKANG
Mantra tidak dapat diketahui secara pasti siapa penciptanya atau penulisnya,
mantra disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut dan tidak ada bukti tertulis
awal mantra itu diciptakan. Mantra diucapkan untuk mendatangkan kekuatan gaib,
tetapi di zaman yang modern ini tidak semua mantra yang diucapkan dapat
mendatangkan kekuatan gaib, dikarenakan tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
Menurut Amir (2013:67) mantra didaraskan seseorang pada tempat tertentu,
teksnya juga sudah tertentu, lafalnya tidak jelas, kekuatan magis implisit di

234

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

dalamnya, dan ada akibat riil atas pelaksanaannya. Pada dasarnya mantra
merupakan pujian-pujian atau kata-kata terhadap sesuatu yang gaib atau terhadap
sesuatu yang dianggap dikeramatkan. Mantra lahir dari kepercayaan dan
keyakinan masyarakat sejak zaman nenek moyang kita.
Mantra biasanya dituturkan oleh dukun atau orang yang dipercayai oleh
masyarakat untuk mengucapkan atau melafalkan mantra itu. Mantra diucapkan
dengan penuh penghayatan tidak dengan suara keras. Mantra memiliki ciri khas
yaitu mantra diucapkan pada saat tertentu dan memiliki tujuan yang tertentu pula,
mantra dianggap suci, memiliki kekuatan gaib, tidak boleh diucapkan oleh
sembarang orang, selalu dijaga kemurniannya dan diturunkan secara berhati-hati.
Pada masa kini mantra masih berperan terutama di desa dengan intensitas
yang berkurang. Sebaliknya, di daerah perkotaan sudah jarang terdapat mantra,
peranannya dalam kehidupan sudah makin terlupakan seiring dengan
berkembangnya zaman. Namun, hingga saat ini masih ditemui dalam sekelompok
masyarakat yang masih menggunakan mantra didalam kehidupan sehari-harinya.
Mantra masih digunakan dan masih produktif hingga saat ini karena mantra harus
dilestarikan supaya tidak punah keberadaanya. Mantra merupakan warisan dari
nenek moyang kita dan sudah seharusnya untuk tetap dilestarikan.
Mantra bercocok tanam padi merupakan mantra yang digunakan pada saat
bercocok tanam padi mulai dari menabur benih, menanam padi, pada saat padi
menguning, memanen padi sampai pada saat membawa padi pulang ke rumah.
Mantra bercocok tanam ini dibacakan oleh dukun setempat yang diyakini
masyarakat bisa membacakan atau menuturkan mantra. Mantra ini dilakukan
dengan harapan, pada saat bercocok tanam padi tanaman diberikan sehat,
terhindar dari penyakit dan hama, petani juga berharap mendapatkan hasil panen
yang melimpah.
Mantra bercocok tanam padi ini selalu dilakukan oleh warga di kecamatan
Perak Kabupaten Jombang dan telah menjadi suatu kebiasaan saat bercocok
tanam padi. Warga melakukan bercocok tanam padi pada saat musim hujan,
dikarenakan tanaman padi membutuhkan air yang cukup banyak. Menurut
kepercayaan warga, dengan membacakan mantra pada saat bercocok tanam padi
tanaman akan tumbuh dengan baik dengan hasil yang melimpah. Kebiasan ini
diwariskan secara turun temurun dan sampai saat ini masih banyak warga yang
melakukannya.
Dewasa ini kebanyakan mantra ditujukan untuk mendapatkan
penyembuhan, terutama yang berhubungan dengan gangguan mental. Hal itu
terjadi karena ajaran Islam melarang umatnya untuk meminta ampun selan kepada
235

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Allah swt. Mereka tidak dibenarkan berhubungan dengan makhluk halus (seperti
jin dan setan) karena makhluk tersebut tidak mungkin dikontrol oleh manusia.
Makhluk tersebutlah justru yang akan senantiasa mohon lindungan Allah swt,
mereka tidaklah dibenarkan secara sembrono mengutuk sesama manusia karena
hanya Tuhan sajalah yang Maha mengetahui tentang jiwa manusia.
STRUKTUR MANTRA
Menurut Yusuf (2001:15) Bentuk atau struktur mantra ialah struktur fisik
mantra. Dengan kata lain, penampilan mantra secara linguistik. Yang termasuk
dalam bentuk itu, antara lain: 1) pola kalimat atau konstruksi linguistik; 2) diksi
atau pilihan kata dalam mantra; 3) majas atau simbolisme yang terdapat dalam
mantra; 4) metrik (rima, ritma, dan metrum); 5) bunyi atau suara tertentu yang
menyertai mantra kebanyakan tidak memiliki makna sendiri.
Struktur mikro merupakan elemen penjelas terhadap tiga tataran umum
dalam struktur makro (baik pada bagian pembuka,inti, maupun penutup) meliputi:
1) Superstruktur bagian pembuka meliputi: rangkaian kegiatan awal memulai
bacaan dapat berupa basmalah, puji syukur (hamdalah), sholawat, pujian, doa
permohonan dan pemberitahuan. 2) Superstruktur bagian isi meliputi: doa atau
harapan, perintah, dan pemberitahuan. 3) Superstruktur penutup meliputi:
pernyataan tamat atau selesai, doa permohonan perlindungan keselamatan, dan
pujian.
Menurut Anggoro (2011) Struktur mantra tidak memiliki pola umum, tetapi
mantra mempunyai komponen atau komposisi pembentuk dan unsur pembangun
bahasa mantra. Mantra tersusun atas unsur-unsur yang membentuk struktur yang
disebut struktur mantra. Unsur-unsur tersebut jalin-menjalin secara erat dan
sistematis sehingga membentuk kesatuan dan keutuhan karya sastra. Kesatuan dan
keutuhan dianggap penting karena karya sastra pada dasarnya merupakan susunan
bersistem.
FUNGSI MANTRA
Menurut Yusuf (2001) Pada masa lalu ketika mantra masih berpengaruh
dalam kehidupan masyarakat Aceh, mantra memiliki banyak fungsi. Fungsi itu
dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Masyarakat memiliki dan mengamalkan
mantra yang berfungsi menolak dan menandingi serangan musuh yang datang dari
insani, misalnya saat perkelahian atau menghadapi keroyokan perampok, baik
secara perorangan maupun massa. Dengan membaca mantra itu musuh yang
hendak menyerang kita akan kehilangan sasaran sehingga musuh yang dikenai
mantra akan lemah tangan dan kakinya.

236

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Mantra juga digunakan untuk melindungi diri dan keluarga dari ancaman,
gangguan, khianat, dan fitnah orang-orang yang bermaksud jahat. Mantra yang
berfungsi memanggil wanita yang dicintai atau yang diinginkan, baik pada siang
maupun malam hari. Pemantra dapat menguasai roh wanita yang dituju. Wanita
itu terpikat dan mengasihi pria yang mengamalkan mantra jenis itu. Jenis mantra
itu hanya milik kaum pria dan dapat digunakan oleh siapa saja, kapan saja, dan
dimana saja
Mantra juga digunakan untuk memikat seseorang agar mengasihi,
menyenangi, dan mencintai pemantra. Pengamal mantra jenis ini selalu disenangi
orang lain dan dirinya memiliki daya pikat tersendiri yang tidak diketahui oleh
orang lain. Mantra itu dapat diamalkan oleh pria dan wanita, orang dewasa, dan
anak remaja. Apabila mantra sudah melekat pada seseorang, orang itu senantiasa
dikagumi oleh orang lain tanpa alasan yang jelas
Mantra ini dipakai untuk menundukkan orang lain yang sedang marah.
Seseorang yang mengamalkan mantra ini akan terhindar dari usaha pembunuhan,
perampokan, dan maksud jahat lainnya. Bahkan, jika ada yang hendak membunuh
pengamal mantra dengan membawa benda tajam, orang itu akan menyerahkan
benda tajam kepada pengamal mantra dengan rasa penyesalan dan permohonan
maaf.
Orang yang dimantrai ini menjadi tidak sadar terhadap apa yang dikerjakan.
Mantra itu diperuntukkan kepada wanita yang menolak lamaran/pinangan pria
dengan kasar sehingga pria itu merasa sakit hati. Mantra itu juga dapat digunakan
oleh kaum wanita dengan tujuan tertentu. Mantra jenis itu dapat diamalkan oleh
siapa saja, kapan saja, dan dimana saja.
Pada masa lalu hidup dan berkembang mantra yang berfungsi
menundukkan/melawan/menangkal roh halus atau setan-setan yang mengganggu
ketentraman manusia. Jenis mantra itu dapat didefinisikan sebagai berikut:
Masyarakat berkeyakinan bahwa penyakit yang diderita oleh manusia
disebarkan roh halus atau setan. Penyakit itu dapat dibasmi dengan mantra. Oleh
karena itu, berkembanglah mantra yang berfungsi membasmi penyakit. Mantra
tersebut diamalkan oleh para dukun atau pawang. Masyarakat biasanya enggan
mengamalkan mantra jenis itu karena memiliki persyaratan tertentu yang sukar
dipenuhi. Dengan demikian, pada mantra jenis ini hanya milik dukun dan pawang.
Mantra juga diamalkan oleh dukun atau pawang yang digunakan orang
untuk menangkal gangguan setan. Dengan demikian, orang yang dimantrai
terbebas dari penyakit dan gangguan setan baik di rumah maupun di luar rumah.
Mantra itu dapat juga dipakai untuk menangkal rumah dan harta benda lainnya.
237

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Mantra juga berfungsi untuk mengusir dan menangkal tikus yang


mengganggu harta benda. Tikus yang diusir dan ditangkal dengan mantra adalah
tikus yang makan padi di sawah dan berkeliaran di rumah. Masyarakat Aceg
memiliki mantra yang berfungsi manangkap burung liar. Burung yang
berterbangan dapat diarahkan untuk memasuki sangkar pemantra dan dapat juga
ditangkal agar tidak terbang ke tempat tertentu. Mantra jenis itu dapat juga
digunakan oleh siapa saja dengan syarat bahwa burung itu untuk dipelihara dan
tidak dijual kepada orang lain, bukan untuk dianiaya.
Pembahasan
Secara garis besar struktur mantra terbagi dalam tiga bagian yaitu bagian
awal atau pembuka, tengah atau isi, dan akhir atau penutup mantra. Struktur
mantra terikat antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, pemahaman
struktur mantra sangatlah penting untuk melihat secara rinci dan lengkap dari
struktur mantra. Berdasarkan data yang telah penulis ambil dari mantra bercocok
tanam padi yang terdapat di kecamatan Perak kabupaten Jombang, maka penulis
berusaha menyajikan data yang menunjukkan struktur mantra yang dianalisis.
Berikut data analisis dari mantra bercocok tanam padi di kecamatan Perak
kabupaten Jombang:

Mantra bercocok tanam padi dusun Bacek Gadingmangu Perak Jombang


Mantra tandur atau mantra menanam padi diatas mempunyai struktur mantra
hanya berupa isi. Pada kalimat Suket teki, Podo mati, Tandure ijoroyo-royo
koyok mendungmerupakan isi dari mantra yangmemiliki maksud bahwa pada saat
menanam padi rumput-rumput atau dinamakan dengan rumput teki akan mati atau
tidak tumbuh, yang tumbuh hanyalah tanaman yang ditanam yaitu padi, padi
tumbuh dengan subur terlihat hijau royo-royo atau terlihat indah yang diibaratkan
seperti mendung atau awan. Mantra tandur (menanam padi)
Suket teki
Podo mati
Tandure ijoroyo-royo koyok mendung
Mantra methik atau memanen padi diatas mempunyai struktur mantra
berupa pembuka mantra. Pada kalimat Nyai danyang, Kaki danyang, Nyai bodo,
Kaki bodo merupakan pembuka mantra karena pada kalimat tersebut merupakan
salam kepada yang dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai dzat yang
dimintai bantuan. Dan pada kalimat Iki bageanmu, Jenang mener seng diweruhi
derek‘e sampean, Lan adik‘e seng mbarep karo seng ruju, Kakang kawah adi ari-
238

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

ari, Seng kerawatan seng mboten kerawatan, Jenang sengkolo, Mbucal


sengkolone awak kulo, Seng tumindak, Seng dereng tumindak, Seng salah yo
tanduranmu lor etan karo kidul etan, Iki bageanmu mbok sri muliho, Kowe tak
sediani wedak tak sediani ngilon tak sediani suri, Brai-braio ndok omah ndok
gedung roro deno kmerupakan isi mantra.
Kalimat-kalimat tersebut memiliki tujuan untuk memberitahukan kepada
sesuatu atau dzat yang percayai oleh masyarakat setempat yaitu nyai danyang,
kaki danyang, nyai bodo, kaki bodo yang berada di lahan pertanian untuk
menerima sesaji yang telah dipersiapkan seperti berbagai jenang (bubur) seperti
jenang mener dan jenang sengkolo, wedak (bedak), ngilon (kaca), dan juga suri
(sisir). Tujuan dipersiapkannya sesajian tersebut agar dzat yang dipercaya tidak
mengganggu pada saat petani memanen padi, supaya dzat yang dipercaya
masyarakat tersebut pulang kembali Mantra methik (memanen padi)
Nyai danyang
Kaki danyang
Nyai bodo
Kaki bodo
Iki bageanmu
Jenang mener seng diweruhi derek‘e sampean
Lan adik‘e seng mbarep karo seng ruju
Kakang kawah adi ari-ari
Seng kerawatan seng mboten kerawatan
Jenang sengkolo
Mbucal sengkolone awak kulo
Seng tumindak
Seng dereng tumindak
Seng salah yo tanduranmu lor etan karo kidul etan
Iki bageanmu mbok sri muliho
Kowe tak sediani wedak tak sediani ngilon tak sediani suri
Brai-braio ndok omah ndok gedung roro denok
Mantra bercocok tanam padi Dusun Ngemplak Perak Jombang
Mantra tandur atau menanam mempunyai struktur mantra yang lengkap
karena pada mantra terdapat struktur mantra berupa pemuka mantra, isi mantra,
dan penutup mantra. Penulis menemukan pembuka mantra terdapat pada kalimat
salam tapi salam, dumateng guru wicaksono, karena pada kalimat tersebut
terdapat salam dan terdapat dzat yang dituju dalam pembacaan mantra.
salam tapi salam
239

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

dumateng guru wicaksono


monggo kulo caosi sekol petak gondo arum lan sak
wontenipun
monggo dipun dhahar
mbok menawi wonten kirang langkungipun dalem nyuwun ngapunten
lan mbah e anggenipun tanem dinten meniko nyuwun pandongo wilujeng
slamet
sepindah maleh mbahe nyumerepi syeh subakir
monggo kulo caosi sekol petak gondo arum monggo dipun dhahar
mbok menawi kirang langkunge dalem nyuwun pangapunten
Pada mantra diatas penulis menemukan isi mantra. Kalimat yang merupakan
isi mantra yaitu monggo kulo caosi sekol petak gondo arum lan sak wontenipun
monggo dipun dhahar, yang mempunyai arti bahwa si pemantra telah menyiapkan
sekol pethak (nasi putih), gondo arum (kemenyan), lan sak wontenipun (dan
seadanya) untuk di makan oleh dzat yang dimaksud dalam mantra atau dzat yang
dituju.anggenipun tanem dinten meniko nyuwun pandongo wilujeng slamet, yang
mempunyai arti kalau menanam hari ini minta doa agar selamat jadi pemantra
meminta izin bahwa pada hari ini pada saat menanam padi agar diberikan doa
keselamatan.nyai danyang kaki danyangdanyang seng mbaorekso dusun Buntel,
dan pada kalimat tersebut pemantra menyebutkan danyang atau dzat yang
menjaga dusun Buntel. Jadi mantra dan sesaji yang dilakukan oleh pemantra atau
dukun ditujukan kepada danyang atau dzat yang menjaga dusun buntel supaya
pada saat proses menanam padi dzat tidak mengganggu dan dzat memberikan doa
supaya diberi keselamatan.
Penutup mantra yang terdapat pada mantra tandur di Dusn Ngemplak
terdapat pada kalimat slamet saking kersane gusti Allah, yang mempunyai arti
atau maksud si pemantra atau dukun meminta keselamatan dari Allah swt.
Pemantra menutup mantra tersebut dengan memohon doa kepada Allah swt.
Mantra bercocok tanam padi di dusun Genuk Plosogenuk Perak Jombang
Mantra tandur (menanam padi) yang terdapat di Dusun Genuk Plosogenuk
Perak hanya memiliki struktur mantra berupa pembuka mantra dan isi mantra.
Pada mantra diatas setelah dianalisa oleh peneliti tidak memiliki struktur mantra
yang berpa penutup mantra. Jadi, pada mantra diatas dikatakan mantra yang tidak
memiliki struktur yang lengkap.
Pembuka mantra pada mantra di atas terdapat kata-kata atau kalimat pujian
yang ditujukan kepada Allah swt yaitu berupa bacaan basmalah dan surat

240

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

fatikhah. Pembuka mantra pada mantra diatas juga terdapat kalimat syahadat
sebagai pembuka mantra.
Isi mantra pada mantra diatas yaitu terdapat kata-kata tujuan atau maksud
dari dibacakannya mantra yaitu terdapat kalimat ono sukmo, nandur sukmo, gusti
allah aweh pandum, gusti allah kang duwe pada kata-kata tersebut pemantra
bermaksud menanam dengan meminta Allah untuk memberikan nyawa kepada
tanaman yang ditanam.
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahirabbil‘alamin
Arrahmanirrohim
Malikiyaumidiin
Iyyakana‘buduwaiyyakanasta‘in
Ihdinasshirotol mustaqim
Shirotolladzina an‘amta‘alaihim ghairilmaghdzubi‘alaihim waladholin
amiin
Mantra keleman (padi menguning) yang terdapat di Dusun Genuk
Plosogenuk tidak memiliki struktur mantra yang lengkap karena, pada mantra
diatas hanya memiliki struktur pembuka mantra dan isi mantr. Pada pembuka
mantra terdapat kalimat basmalah, bacaan surat fatikhah dan juga syahadat. Pada
isi mantra terdapat kalimat gusti allah nyuwun tulong yang bermaksud meminta
tolong kepada Allah, tulungono woh e koldu, pang papat kang limo pancer, roh e
pitutur, kembange sadapiyah, pentile pangangenangen, towo saking brojo,towo
saking sengkolo, towo saking wasesoyang memiliki maksud pemantra meminta
tolong kepada Allah untuk menjaga padi yang menguning atau padi yang sedang
hamil untuk dijaga dari barang-barang yang akan mengganggu proses kehamilan
si padi. Padi menguning ini diibaratkan tingkep seperti manusia.
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahirabbil‘alamin
Arrahmanirrohim
Malikiyaumidiin
Iyyakana‘buduwaiyyakanasta‘in
Ihdinasshirotol mustaqim
Shirotolladzina an‘amta‘alaihim ghairilmaghdzubi‘alaihim waladholin
amiin
Bismillahirrahmanirrahim
Asyhaduallailahaillallah waasyhaduannamuhammadarrosululloh
mbok sri sedono riko tak gowo muleh
241

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

riko dijaluk i sandang pangan


ojo berobah nek gak berobah saking kersane gusti allah
slamet slamet saking kersane allah
Mantra methik (memanen padi) diatas memiliki struktur mantra yang
lengkap. Pada mantra diatas memiliki struktur pembuka mantra, isi mantra, dan
penutup mantra. Untuk pembuka mantra pada mantra diatas terdapat bacaan
basmalah, surat fatikhah dan juga syahadat. Dan untuk isi mantra terdapat kalimat
mbok sri sedono riko tak gowo muleh, riko dijaluk i sandang pangan, ojo berobah
nek gak berobah saking kersane gusti allah pada kata-kata tersebut memiliki
tujuan untuk memberitahukan kepada si padi atau dengan sebutan mbok sri
sedono bahwa ia akan dibawa pulang ke rumah petani, pemantra memberitahukan
kepada si padi supaya jangan berubah yang dimaksud jangan berubah bentuk, isi
atau ukuran kecuali dengan kehendak Allah. Pada penutup mantra dari mantra
diatas terdapat kalimat slamet slamet saking kersane allah maksudnya pemantra
meminta keselamatan hanya dari kehendak Allah swt.
Mantra bercocok tanam padi dusun Pedes Sukorejo Perak Jombang
Mantra nyebar wineh (menabur benih) yang terdapat di Dusun Pedes
Sukorejo Perak memiliki struktur mantra yang lengkap. Pada mantra diatas
memiliki struktur berupa pembuka mantra, isi mantra, dan penutup mantra.
Pembuka mantra pada mantra diatas yaitu terdapat bacaan basmallah dan surat
fatikhah. Isi mantra pada mantra diatas yaitu berupa niat dari pemantra untuk
menancapkan padi dan menabur benih padi diatas ladang yang digunakan untuk
membuat bibit padi atau biasa disebut dengan tempat pinihan. Dan yang terakhir
struktur mantra di atas yaitu penutup mantra pada mantra diatas ditutup dengan
bacaan dua kalimat syahadat yang dibaca sebanyak tiga kali.
assalamu‘alaikum salam
jis wola wali anem
jin setan pribayangan
gendruwo tetek‘an keno sapot podo uluk salam
salamun salam
nyai danyang kaki dangyang
danyang kang ngerekso dusun Cikar
kang manggen sak lebete dusun sak njawine dusun
aku caos sekol petak gondo arum
arum caosipun njenengan tuwok-tuwok ipun dhahar
anggenipun kulo nanem mbok sri sedono wonten alangipun nyuwun
pandongane
242

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

jis wola wali anem


jin setan pribayangan
gendruwo tetek‘an keno sapot podo uluk salam
Mantra tandur (menanam padi) yang terdapat di Dusun Pedes Sukorejo
Perak memiliki struktur mantra lengkap. Pada mantra di atas memilik struktur
yang berupa struktur pembuka mantra, isi mantra, dan juga penutup mantra.
Pembuka mantra pada mantra diatas berupa kalimat salam kepada dzat yang
dipercayai oleh masyarakat setempat dengan sebutan nyai danyang kaki danyang,
danyang ingkang mbaorekso dusun Cikar sak lebete dusun sak njawine dusun
maksudnya dzat yang dipercayai yang berada didalam dusun maupun yang berada
diluar dusun.
Isi mantra pada mantra diatas yaitu menunjukkan tujuan dari dibacakannya
mantra tersebut yaitu meminta keselamatan pada saat menanam padi dan supaya
tidak ada yang mengganggu pada proses penanaman padi yang terdapat pada
kalimat anggenipun kulo nanem mbok sri sedono wonten alangipun nyuwun
pandongane. Dan pada isi mantra juga dijelaskan bahwa sudah disediakan sesaji
yang lengkap supaya dimakan oleh dzat yang dimaksud sehingga pada saat proses
penanaman padi dzat yang dimaksud pemantra tidak mengganggu. Penutup
mantra pada mantra diatas ditutup dengan kalimat syahadat yang Mantra keleman
(padi menguning)
Fungsi mantra bercocok tanam padi di Dusun Bacek Gadingmangu
Mantra tandur yang terdapat di Dusun Bacek Perak memiliki fungsi
menundukkan tumbuhan karena, pada mantra tersebut memberikan
pemberitahuan kepada rumput teki agar mati atau tidak tumbuh dan yang tumbuh
hanyalah tanaman (padi) yang hijau dan subur.
Teks asli Teks terjemah
Suket teki Rumput teki
Podo mati Semua mati
Tandure ijo Tanaman hijau
royo-royo koyok mendung Subur seperti hamparan
mendung

Mantra methik ini memiliki fungsi sebagai mantra menundukkan roh halus.
Yang dimaksudkan roh halus disini yaitu kepercayaan warga setempat yang diberi
nama nyai bodo kaki bodo. Roh halus tersebut ditundukkan supaya tidak
mengganggu kegiatan yang akan dilakukan oleh petani dengan meminta bantuan

243

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

dari pemantra. Roh halus ditundukkan dengan disediakan sesaji yang lengkap dan
juga disediakan bedak, sisir, dan kaca. Pemantra menyuruh roh halus yang sedang
ada di sawah untuk pulang dan membawa sesaji yang telah dipersiapkan.

Teks asli Teks terjemah


 Nyai danyang  Nyi danyang
Kaki danyang Kaki danyang
Nyai bodo Nyai bodo
Kaki bodo Kaki bodo
Iki bageanmu Ini jatahmu bubur menir
Jenang mener seng yang diketahui saudara
diweruhi derek‘e kamu
sampean  Ini jatahmu pulanglah
 Iki bageanmu mbok sri Kamu saya sediakan
muliho bedak saya sediakan
Kowe tak sediani wedak kaca saya sediakan sisir
tak sediani ngilon tak Beriaslah dirumah
sediani suri digedung rorodenok
Brai-braio ndok omah
ndok gedung roro denok

Fungsi mantra bercocok tanam padi di dusun Ngemplak Pagerwojo Perak


Mantra tandur atau menanam padi dari Dusun Ngemplak Perak memiliki
fungsi sebagai penunduk roh halus. Roh halus yang dimaksud dalam mantra diatas
yaitu guru wicaksono,nyai danyang kaki danyang, danyang dusun Buntel. Mantra
tersebut bertujuan agar roh halus yang dipercayai oleh masyarakat tidak
mengganggu pada saat proses penanaman padi. Roh halus disediakan sesaji, sesaji
tersebut disiapkan oleh petani dan pemantra yang memberikan atau yang
mempersilahkan kepada roh halus untuk memakan sesaji yang telah dipersiapkan.
Sesaji tersebut diantaranya nasi putih dan kemenyan. Pemantra juga meminta do‘a
supaya diberikan keselamatan saat menanam padi.

Teks asli Teks terjemah


 dumateng guru wicaksono  dumateng guru wicaksono
monggo kulo caosi sekol silahkan saya siapi nasi

244

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

petak gondo arum lan sak putih kemenyan dan


wontenipun seadanya silahkan dimakan
monggo dipun dhahar  nyai danyang kaki danyang
 nyai danyang kaki danyang kang menjaga
danyang dusun Buntel
danyang seng mbaorekso yang ada didalam dusun dan
dusun Buntel diluar dusun
sak lebete dusun sak  waktu menanam hari ini
njawine dusun minta do‘a selalu selamat
 anggenipun tanem dinten
meniko nyuwun pandongo
wilujeng slamet

Fungsi mantra bercocok tanam padi di Dusun Genuk Plosogenuk Perak


Mantra tandur atau menanam padi dari Dusun Genuk Plosogenuk Perak
memiliki fungsi untuk menundukkan tumbuhan yaitu menyemai padi. Mantra ini
dibacakan pemantra agar padi yang ditanam tumbuh dengan baik sesuai dengan
kehendak pemilik. Pada mantra ini pemantra meminta bantuan pertolongan dari
Allah SWT. Pada kata ono sukmo nandur sukmo gusti allah aweh pandum gusti
allah kang duwe memiliki maksud bahwa padi yang ditanam ada sukmanya dan
yang memberikan sukma itu allah yang memiliki juga Allah.

Teks asli Teks terjemah


 ono sukmo  ada sukma
nandur sukmo menanam sukma
gusti allah aweh pandum Allah yang memberi
gusti allah kang duwe Allah yang mempunyai

Mantra keleman atau padi menguning ini memiliki fungsi menundukkan


tumbuhan yaitu menyemangati padi. Mantra ini dibacakan pemantra untuk
menjaga padi yang sedang menguning agar dapat menahan dari gangguan hama
dan juga gangguan burung. Fungsi dari mantra diatas terdapat pada kata-kata towo
saking brojo, towo saking sengkolo, towo saking waseso yang berarti tawar atau
terhindar dari segala marabahaya.
245

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Teks asli Teks terjemah


 Towo saking brojo  tawar dari benda-benda
 Towo saking sengkolo yang membahayakan
 Towo saking waseso  tawar dari
keapesan/kemalangan
 tawar dari pengganggu

Fungsi mantra bercocok tanam padi di Dusun Pedes Sukorejo Perok


Mantra nyebar wineh atau menabur benih memiliki fungsi untuk
menundukkan tumbuhan yaitu menyatakan niat untuk menabur benih padi supaya
bisa tumbuh terdapat pada kata-kata niat ingsun ngencepno pari lan nyebar winih.
Mantra tersebut dibaca saat benih disebar ke ladang dan disertai dengan membaca
syahadat karena mantra tersebut meminta keselamatan ditujukan kepada Allah.
Teks asli Teks terjemah
 Niat ingsun ngencepno pari  Saya berniat menancapkan
lan nyebar wineh padi dan menyebar benih
 Asyhadualla ilaha illallah  -

Mantra tandur atau menanam padi ini memiliki fungsi


menundukkan roh halus yaitu berupa nyai danyang kaki danyang, nyai bodo kaki
bodo,supaya tidak mengganggu pada proses menanam padi karena roh halus
tersebut sudah di siapkan sesaji yang lengkap. Sesaji tersebut supaya dibawa atau
dimakan oleh roh halus yang dipercaya masyarakat, jadi pada saat petani
menanam padi roh halus tersebut tidak mengganggu. Sesaji yang telah disiapkan
yaitu nasi putih dan kemenyan.
Teks asli Teks terjemah
 Nyai danyang kaki danyang, Nyai danyang kaki danyang,
nyai bodo kaki bodo nyai bodo kaki bodo
 Aku caos sekol petak gondo  Saya siapkan nasi petak ,
arum kemenyan
 Anggenipun kulo nanem  Waktu saya menanam padi
mbok sri sedono wonten bila ada halangannya minta
alangipun nyuwun do‘anya
pandongane

246

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Mantra ini memiliki fungsi menundukkan tanaman yaitu menyemangati


padi menguning dan mantra diatas memberitahukan bahwa si padi sedang
mengandung layaknya manusia yang perlu diberikan keselamatan sampai padi
bisa dipanen. Mantra ini juga bertujuan untuk menjaga padi yang sedang
menguning agar dapat menahan diri dari gangguan hama, penyakit dan gangguan
burung. Pada saat pembacaan mantra diatas juga disediakan sesaji yang ditujukan
untuk mendo‘akan keselamatan padi.

Teks asli Teks terjemah


 Milujengi mbok sri sedono  (Mbanca‘i) mendo‘akan
ingkan manggen wonten padi yang ada di sawah
saben oro-oro kecomboran kehujanan dan kepanasan
lebat kepanasan  Membenarkan kandungan
 Ngleresipun bobotane mbok padi
sri sedono  Ada nasi gurih
 Entenipun sego gurih  Ada jagung yang direbus
 Wontenipun blendung ditaburi parutan kelapa
 Wontenipun karak muda
 Wontenipun sekol kabuli  Ada nasi yang sudah
 Minupun wonten alangane dijemur
nyuwun pandonganipun  Ada nasi kabuli
slamet  Apabila ada halangannya
minta do‘a selamat

Mantra methik atau memanen padi ini memiliki fungsi menundukkan roh
halus, roh halus diberitahu bahwa padi yang berada disawah akan diambil oleh
pemiliknya terdapat pada kata-kata kaki bodo nyai bodo, pariku tak jalok. Pada
mantra diatas juga terdapat kata podo muliho, seng picek tuntunen seng lemper
gendongen yang mempunyai maksud apabila ada roh halus yang ada di sawah
agar pulang supaya tidak mengganggu petani pada saat memanen padi.
Mantra boyong mbok sri atau membawa padi pulang dari Dusun Pedes
Sukorejo Pera memiliki fungsi menundukkan roh halus. Roh halus yang dimaksud
yaitu jin setan pribayangan, nyai bodo kaki bodo, nyai danyang kaki danyang,
danyang kang ngerekso dusun Cikar. Pemantra menundukkan roh halus supaya
tidak mengganggu proses padi dibawa pulang kerumah pemilik padi, karena roh
halus yang dipercayai masyarakat setempat telah diberikan sesaji yang lengkap.
247

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

Mantra diatas juga memiliki tujuan mendo‘akan petani dan juga padi agar selamat
dan terhindar dari bahaya.
PENUTUP
Mantra bercocok tanam padi yang ada dikecamatan Perak kabupaten
Jombang terdapat beberapa mantra yang digunakan pada saat proses penanaman
hingga memanen padi. Dari mantra-mantra tersebut ada yang memiliki struktur
mantra lengkap yaitu mantra tandur dari dusun Bacek Gadingmangu, mantra
methik dari Dusun Ngemplak Pagerwojo, mantra methik dari Dusun Genuk
Plosogenuk,mantra nyebar wineh dari Dusun Pedes Sukorejo, mantra tandur dari
dusun Ampel Sumberagung.
Fungsi dari mantra bercocok tanam padi yang ada dikecamatan Perak
kabupaten jombang dapat ditarik kesimpulan bahwa ada mantra yang berfungsi
untuk menundukkan tumbuhan dan ada mantra yang berfungsi untuk
menundukkan roh halus. Mantra yang berfungsi untuk menundukkan tumbuhan
yaitu mantra tandur dari Dusun Bacek Gadingmangu, mantra tandur dari Dusun
Genuk Plosogenuk,

248

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN

DAFTAR PUSTAKA
Amir, Adriyetti.2013.Sastra Lisan Indonesia.Yogyakarta:Andi Offset.
Aminuddin.1984.Pengantar Memahami Unsur-Unsur Dalam Karya
Anggoro, Hendi.2011.Struktur Mantra Primbon Ajimantrawara.Semarang.UNS.
Bungin, Burhan.2007.Metodologi Penelitian Kualitatif.Jakarta:Raja Grafindo
Persada.
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi.2008.Metodologi Penelitian.Jakarta:PT Bumi
Aksara.
Melani dkk.2002.Membaca Sastra.Magelang:Indonesia Tera.
Ratnawati.2015.Analisis Struktur Dan Fungsi Mantra Pengobatan Masyarakat Di
Dusun Senempek Desa Limbung Kecamatan Lingga Utara Kabupaten
Lingga.Tanjung Pinang.Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Riyanto, Yatim.2007.Metodologi Penelitian Pendidikan.Surabaya:Unesa
University Press.
Siswantoro.2008.Metode Penelitian Sastra.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Suryabrata, Sumadi.1983.Metodologi Penelitian.Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada.
Trisia, Meta.2014.Analisis Struktur Dan Fungsi Mantra Pada Masyarakat
Tarempa Kecamatan Siantan Kabupaten Kepulauan Anamban.Tanjung
Pinang.Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Tjahjono, Tengsoe.2011.Mendaki Gunung Puisi.Malang:Bayumedia Publishing.
Wiratmojo, Bayu.2015.mantra Pengobatan Di Desa Gantang Kecamatan
Sawangan Kabupaten Magelang (Kajian Struktur Dan
Fungsi).Surakarta.Universitas Sebelas Maret.
Waluyo, Herman J.1987.Teori dan Apresiasi Puisi.Jakarta:Erlangga.
Yusuf, Yusri dkk.2001.Struktur dan Fungsi Mantra Bahasa Aceh.Jakarta:Pusat
Bahasa

249

SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN

Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin


ISBN 978-602-60218-1-6

ETNOGRAPHY Of SPEAKING

IN SHOWS LAN TEJUL AND KAMELOH

IN KATINGAN REGENCY, CENTRAL KALIMANTAN

By

Diplan

The University of Muhammadiyah Palangka Raya, Central Kalimantan

Teacher Training and Education Faculty

Email: diplan161181@gmail

Abstract: This study aims to: (1) describe the ethnography of SPEAKING Performances Lan Tejul and
(2) describe the ethnography of SPEAKING Performance Kameloh.The theory used in this research is
Dell Hymes of theory. Data collection techniques in this research use: (1) recording techniques, both
audio and audiovisual, (2) recording, (3) deep interview, (4) literature study, and (5) documentation
analysis. The results of ethnography SPEAKING performances Lan Tejul and Kameloh include:
situations related to time and place, time at night, and place in front of residents' houses; Participants in
the event of this speech are the hosts, singers, musicians, and spectators; ends is the purpose of the show
is entertaining and the mass gathering tool; act or form and the content of speech in the form of
incomplete sentences, expressed through direct sentences and does not contain connotative meaning; key
is the form and content of speech, in speech events in the form of verbal and non verbal talks; instruments
in the show are musical instruments guitars, flutes, and keyboards; the norms in this speech event are very
polite, friendly, and friendly; The genre in this speech event is in the form of a song poem in the realm of
art.

Key Words: ethnography, SPEAKING, and performances

1
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

A. Pendahuluan
Bahasa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial. Khusus untuk daerah
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, lingua franca orang-orang Dayak adalah bahasa Dayak
Ngaju. Setiap suku memiliki bahasa daerah sendiri-sendiri, dialek dan kosakata sedikit berbeda.

Dalam setiap komunikasi manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran,
gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung. Para sosiolinguis mempertanyakan
keberadaan variasi bahasa dari berbagai tataran yang jelas-jelas bukan merupakan sekadar performansi
sebagai akibat kondisi-kondisi gramatikal yang tidak relevan, tetapi adanya benar-benar diakibatkan oleh
bermacam-macam faktor ekstralingual sebagai pencerminan dari sebuah masyarakat bahasa yang selalu
bersifat heterogen (Wijana, 2012: 12-13).

Dalam masyarakat seseorang tidak lagi dipandang sebagai individu yang terpisah dari yang lain.
Ia merupakan anggota dari kelompok sosialnya. Oleh karena itu, bahasa dan pemakaian bahasanya tidak
diamati secara individual, tetapi selalu dihubungkan dengan kegiatannya di dalam masyarakat. Bahasa
tidak saja dipandang sebagai gejala individual tetapi juga sebagai gejala sosial.

Sebagai gejala sosial, bahasa dan pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor linguistik
tetapi juga oleh faktor non-linguistik, antara lain adalah faktor sosial. Faktor-faktor sosial yang
mempengaruhi pemakaian bahasa misalnya status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis
kelamin dan sebagainya. Selain itu, pemakaian bahasa juga dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional.
Pemilihan penggunaan bahasa oleh penutur dalam sebuah peristiwa bahasa tidak terjadi secara acak,
melainkan harus mempertimbangkan beberapa faktor yaitu siapa yang berbicara, siapa lawan bicaranya,
topik apa yang dibicarakan, dan di mana peristiwa tutur itu terjadi (Wijana, 2012: 7).

B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah (1) etnografi SPEAKING Pertunjukan Lan Tejul dan (2) etnografi
SPEAKING Pertunjukan Kameloh.

C. Manfaat Penelitian

Secara teoretis, kajian ini menghasilkan model penelitian etnografi komunikasi (etnografi
SPEAKING). Manfaat praktis, bagi guru dan dosen hasil penelitian ini dapat dijadikan alternatif
materi pembelajaran muatan lokal budaya, bahasa, dan sastra Dayak untuk memperkuat nilai-
nilai karakter khususnya bagi peserta didik di Kabupaten Katingan, serta Provinsi Kalimantan
Tengah pada umumnya.

D. Teori Ethnography of Communication

2
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Peristiwa interaksi verbal atau proses komunikasi selalu terdapat beberapa komponen yang
mengambil peranan dan terlibat dalam peristiwa tersebut. Bell (1976: 75) menyatakan secara tradisional
terdapat tiga komponen yang telah lama diakui sebagai komponen utama dari sebuah peristiwa atau
situasi komunikasi yaitu: penutur (speaker), lawan tutur (hearer), dan topik pembicaraan. Dalam setiap
proses komunikasi yang terjadi antara penutur dan lawan tutur terjadi juga apa yang disebut peristiwa
tutur atau peristiwa bahasa (speech event). Etnografi komunikasi (Ethnography of Communication) yang
diprakarsai oleh Dell Hymes meliputi peristiwa tutur (speech event) dan kaidah-kaidah yang menandai
terjadinya sebuah peristiwa tutur atau peristiwa bahasa.

Variasi pemakaian bahasa tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu pertama,
etnisitas. Etnisitas yang dimaksudkan adalah bertalian dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau
kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa. Ada
sejumlah sumber daya linguistik (linguistics resourches) yang dimiliki oleh multiethnic
communities. Misalnya: bahasa standar (standardization language), variasi regional (regional varieties),
alih kode (code-switching). Dalam kaitannya dengan bahasa dan etnisitas, ada beberapa hal yang sangat
penting dalam membentuk ethnicity identity, di antaranya sebagai berikut: pertama, A heritage
language. Focus pembicaranya mengenai identitas etnik. Identitas etnik berperan penting dalam
membedakan kelompok etnik dan kebanggaan atau rasa harga diri etnik itu sendiri. Kedua, Specific
linguistic features. Linguistic features termasuk keberagaman merupakan elemen kunci dalam
mereproduksi identitas etnik (ethnic identity) dan aspek identitas lainya seperti gender, dan social class.
Aspek yang menarik dalam language adalah adanya perbedaan jenis variabel yang dilihat misalnya:
fonetik, sintaksis atau leksikal. Ketiga, Suprasegmental features. Terhadap keberagaman etnik,
suprasegmental featureas merupakan bagian dari etnic identity. Menurut Fought syllable
timing merupakan faktor penting dalam bahasa Inggris yang digunakan oleh penutur Mexican—American
di Los Angeles. sebagian penutur Mexican—American menggunakan dialek standar bahkan pola intonasi
yang menampakkan ethnisitas mereka. Keempat, Using a borrowed variety.

Melalui borrowed variety, dimaksudkan sebuah code yang semula dari luar ethnic group, tetapi
pantas bagi individu atau komunitas untuk menggunakan code tersebut. Melalui proses difusi, inovasi
leksikal, konvergensi (kontak bahasa). Kedua, faktor sosial. Faktor sosial tersebut di antaranya: status
sosial, umur, gender, style, pendidikan, dan ekonomi (Hymes, 1972: 124)

Komunikasi Etnografi (Ethnography of Communication) merupakan sebuah pendekatan untuk


menganalisis sebuah wacana yang digunakan. Pendekatan ini didasarkan pada antropologi dan linguistik.
Pendekatan ini berfokus pada berbagai perilaku komunikatif (communicative competence) dalam
masyarakat penutur (speech community), komunikasi berpola dan diatur sebagai sebuah sistem peristiwa
komunikatif, dan cara-cara berinteraksi dengan sistem budaya lainnya (Hymes,1972: 2).

Tokoh pelopor dan sekaligus pendiri komunikasi etnografi adalah Dell Hymes dengan istilahnya
yang terkenal yaitu ―ethnography of speaking‖ (komunikasi etnografi) dalam memahami penggunaan
bahasa. Hymes berpendapat:

3
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

…that the study of language must concern itself with describing and analyzing the ability of the
native speakers to use language for communication in real situations (communicative competence) rather
than limiting itself to describing the potential ability of the ideal speaker/listener to produce
grammatically correct sentences (linguistic competence). Speakers of a language in particular
communities are able to communicate with each other in a manner which is not only correct but also
appropriate to the sociocultural context. This ability involves a shared knowledge of the linguistic code as
well as of the socio-cultural rules, norms and values which guide the conduct and interpretation of speech
and other channels of communication in a community … [T]he ethnography of communication … is
concerned with the questions of what a person knows about appropriate patterns of language use in his
or her community and how he or she learns about it (Hymes, 1972: 59).

Hymes menekankan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari bagaimana dan mengapa bahasa
itu digunakan, dan bahwa pertimbangan penggunaan bahasa sering sebagai prasyarat untuk pengakuan
dan pemahaman tentang banyak bentuk linguistik. Komunikasi etnografi mengambil bahasa sebagai
bentuk budaya sosial untuk mengakui dan menganalisis kode itu sendiri dan proses kognitif penutur dan
lawan tutur, yang memang konstitutif dalam banyak budaya.

Dalam rangka menggambarkan dan menganalisis komunikasi Hymes membagi ke dalam tiga unit
analisis, meliputi situasi (situation), peristiwa (event), dan tindak (act). Situasi komunikatif
(communicative situation) merupakan konteks di mana komunikasi terjadi seperti upacara, perkelahian,
perburuan, pembelajaran di dalam ruang kelas, konferensi, pesta dan lain sebagainya. Peristiwa
komunikatif (communicative event) merupakan unit dasar untuk sebuah tujuan deskriptif komunikasi
yang sama meliputi: topik yang sama, peserta yang sama, ragam bahasa yang sama. Tindak komunikatif
(communicative act) umumnya berbatasan dengan fungsi tunggal interaksional, seperti pernyataan
referensial, permintaan, atau perintah, yang mungkin berupa tindak verbal atau tindak nonverbal (Hymes,
1972: 23 — 24).

Peristiwa tutur adalah sebuah aktivitas berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk
ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan,
dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer, 2010: 47). Tidak dapat dikatakan bahwa dalam setiap
proses komunikasi pasti terjadi juga peristiwa tutur atau peristiwa bahasa.

Interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang pasar dan pembeli pada waktu tertentu
dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur. Hal yang sama
juga terjadi dan kita dapati dalam acara diskusi, di ruang kuliah, rapat dinas di kantor, sidang di
pengadilan, dan sebagainya.

Hymes membedakan antara peristiwa tutur dan tindak tutur. Hymes berpendapat bahwa peristiwa
tutur (speech event) terjadi dalam sebuah konteks non-verbal. Hymes Dell lebih lanjut membahas
peristiwa tutur dan menunjukkan bahwa berbagai komponen harus disertakan dalam deskripsi etnografis
komprehensif tindak tutur. Klasifikasi yang ia usulkan dikenal sebagai speaking. Setiap huruf dalam
akronim tersebut adalah singkatan untuk komponen komunikasi yang berbeda.

4
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

E. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan pengamatan, perekaman, pencatatan,
wawancara, studi kepustakaan, dan analisis dokumentasi.

F. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Analisis Speaking Pertunjukan Lan Tejul

Pertunjukan Lan Tejul yang dianalisis adalah saat konser 16 November 2016 di Kasongan,
Kabupaten Katingan).

a) Situation
Situasi saat itu terjadi pada malam hari. Lan Tejul sangat antusias menyanyi dihadiri kalangan tua
dan muda. Panggung terletak di depan rumah warga. Semakin malam pertunjukan semakin ramai.
Pengunjung yang datang sangat antusias menikmati pertunjukan yang dilakukan Lan Tejul.

Tata pentas dihadirkan sesuai dengan konsep yang menjadi pilihan. Kemudian berdasarkan
sejarahnya, panggung hadir karena terjadinya suatu pergeseran dari hal yang bersifat ritual ke hal yang
bersifat sebagai hiburan untuk manusia. Kelahiran pentas sama dengan peralihan dari sebuah kepercayaan
menuju pada ke pertunjukan yang sangat digemari rakyat.

Panggung tempat berlangsungnya sebuah pertunjukan ditata dengan sederhana karena


pertunjukan Lan Tejul ini merupakan kesenian rakyat. Desain panggung sederhana. Namun, mampu
memberi nuansa kebahagiaan untuk para penonton yang hadir pada pertunjukan Lan Tejul tersebut.

Penata panggung sudah memahami bentuk dari masing-masing panggung, karena itulah penata
panggung dapat merancangkan karyanya berdasarkan situasi yang diinginkan penyanyi dan penonton.

Persiapan pertunjukan Lan Tejul ini dibantu oleh penata lampu dan penata musik.

5
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Gambar 1: Situation
b) Partisipants

Partisipan dalam dalam pertunjukan Lan Tejul adalah masyarakat di Kasongan. Kebanyakan dari
mereka para kaula muda. Partisipan dalam pertunjukan Lan Tejul ini adalah penonton. Penonton
pertunjukan Lan Tejul adalah semua lapisan masyarakat, baik yang beragama Kaharingan, Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Budha. Orang tua, remaja, anak-anak, baik laki-laki maupun
perempuan, bisa menyaksikan pertunjukan Lan Tejul.

Apabila Pertunjukan Lan Tejul di dalam gedung, maka penonton disiapkan kursi untuk duduk.
Namun apabila di dalam rumah. Penonton cukup disiapkan alas berupa karpet. Jika di lapangan terbuka,
penonton bisa menonton sambil berdiri, bisa juga lesehan dengan membawa alas duduk masing-masing
atau disiapkan oleh pihak penyelenggara atau panitia.

Keterangan Denah:

A: Para Pemain Musik

B: Penyanyi (Lan Tejul)

C: Ruang Panggung Kosong


Gambar 2: Denah Pertunjukan Lan Tejul
D: Penonton

c). End (Tujuan Pembicaraan)


Tujuan pertunjukan Lan Tejul adalah untuk menghibur penonton. Rakyat yang tinggal di
Desa, rata-rata haus hiburan. Selain menghibur penonton tujuan pertunjukan Lan Tejul adalah
6
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

alat pengumpul massa, jika yang meminta Lan Tejul tampil tersebut orang yang sedang
bertarung memperebutkan suara rakyat.

d) Act

Bentuk tuturan Lan Tejul adalah nyanyian rakyat. Isi ujaran dalam pertunjukan Lan Tejul
ungkapan perasaan terhadap pasangan baik rasa suka maupun duka (patah hati). Urutan tindakan
dalam Pertunjukan Lan Tejul adalah (1) pembawa acara menyapa para penonton; (2)
penyanyi/Lan Tejul tampil menyanyi; (3) pembawa acara meminta penonton request lagu atau
menyumbangkan lagu favoritnya; (4) Penonton request lagu; (5) penyanyi dan penonton
bergantian menyanyi, kadang-kadang solo, kadang-kadang duet dengan penyanyi atau sesama
penonton.
Selain itu, bentuk isi ujaran Lan Tejul berbentuk kalimat tidak lengkap, diungkapkan
melalui kalimat langsung, dan tidak mengandung makna konotatif.

e) Key

Atmosfer saat pertunjukan Lan Tejul sangat meriah dan hangat. Teriakan panggilan nama Lan
Tejul sangat dahsyat. Penonton bernyanyi dan berjoget mengikuti irama hentakan musik dan gerakan
sang idola (Lan Tejul).

f) Instrument

Instrument saat pertunjukan Lan Tejul menggunakan instrumen yang sederhana. Saat menyanyi
Lan Tejul menggunakan pelantang, diiringi dengan alat musik gitar, seruling, dan keyboard.

g) Norms (massage form)

Saat pentas dalam pertunjukan acara miliknya, Lan Tejul sangat sopan dan ramah, dia paham
betul membedakan baik dan buruk. Peraturan hidup dalam pergaulan diterapkannya. Misalnya dalam
berjoget dia tidak menunjukan goyangan yang erotis. Lan Tejul juga sangat santun dan ramah. Selain itu
pembawaannya sangat bersahabat.

h). Genre (Massage Content)

Genre pertunjukan Lan Tejul ini termasuk dalam ranah kesenian. Salah satu ranah kesenian
adalah pertunjukan seni musik. Musik dapat dikelompokan sesuai dengan kemiripannya. Dapat juga

7
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

dikelompokan sesuai dengan kriteria lain, misalnya geografi. Musik yang berasal dari Kalimantan
Tengah, tentu sangat menonjol sekali bedanya dengan musik dari daerah Jawa.

Berdasarkan analisis speaking terhadap pertunjukan Lan tejul dapat disimpulkan kalau
situation/setting yang berkaitan dengan waktu dan tempat, waktunya pada malam hari, dan tempatnya di
depan rumah warga; Partisipant dalam peristiwa tutur ini adalah pembawa acara, penyanyi, pemain
musik, dan penonton; ends adalah tujuan pertunjukan adalah menghibur dan alat pengumpul massa; act
atau bentuk dan isi ujaran berbentuk kalimat tidak lengkap, diungkapkan melalui kalimat langsung dan
tidak mengandung makna konotatif; key adalah bentuk dan isi ujaran, dalam peristiwa tutur berbentuk
pembicaraan verbal dan non verbal; instrument dalam pertunjukan adalah alat musik gitar, seruling, dan
keyboard; norms dalam peristiwa tutur ini sangat santun, ramah, dan bersahabat; Genre dalam peristiwa
tutur ini berbentuk syair lagu dalam ranah kesenian.

2. Analisis Speaking Pertunjukan Kameloh

Pertunjukan Kameloh yang dianalisis adalah saat konser 1 Desember 2016 di Kasongan,
Kabupaten Katingan).

a) Situation

Situasi saat itu terjadi pada pagi hari. Panggung terletak di lapangan sepak bola. Pengunjung yang
datang terdiri dari anak-anak, remaja, dan orang tua. Penonton sangat antusias menikmati pertunjukan
yang dilakukan Kameloh.

Panggung sangat sederhana terbuat dari kayu bulat dan papan dari kayu. Kameloh membaur
dengan penonton. Kadang-kadang berdiri di panggung yang sangat kecil ukurannya.

8
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Gambar 3: Situation

b) Partisipants

Partisipan dalam dalam pertunjukan Kameloh adalah semua kalangan masyarakat yang tua dan
yang muda. Penonton pertunjukan Kameloh meliputi lapisan masyarakat, baik yang beragama
Kaharingan, Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Budha. Orang tua, remaja, anak-anak,
baik laki-laki maupun perempuan.

Keterangan Denah:

A: Penyanyi (Kameloh)

B: Para Pemain Musik

C: Ruang Panggung Kosong

D: Penonton

Gambar 4: Denah Pertunjukan Kameloh

c) End (Tujuan Pertunjukan)


Tujuan pertunjukan Kameloh adalah untuk menghibur penonton dan alat pengumpul
massa. Sebagai alat pengumpul massa, jika yang meminta kameloh tampil adalah salah satu
partai atau calon yang sedang bertarung memperebutkan suara rakyat. Paling banyak permintaan
rakyat adalah ketika ada perasaan resepsi pernikahan.

d) Act

Tuturan Kameloh berbentuk nyanyian rakyat. Isi ujaran dalam pertunjukan Kameloh
ungkapan kasih sayang ibu kepada anaknya, ungkapan perasaan perasaan cinta maupun patah
hati terhadap lawan jenis. Urutan tindakan dalam pertunjukan Kameloh adalah (1) pembawa
acara menyapa para penonton; (2) penyanyi/Kameloh tampil menyanyi; (3) pembawa acara
meminta penonton request lagu atau menyumbangkan lagu favoritnya; (4) Penonton request

9
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

lagu; (5) penyanyi dan penonton bergantian menyanyi, kadang-kadang solo, kadang-kadang
duet dengan penyanyi atau sesama penonton.
Selain itu, bentuk isi ujaran Kameloh berbentuk kalimat tidak lengkap, diungkapkan
melalui kalimat langsung, dan tidak mengandung makna konotatif.

e) Key

Atmosfer saat pertunjukan Kameloh sangat luar biasa meriahnya. Mulai dari kalangan anak-
anak, remaja, sampai yang di atas umur 50 tahun sangat bersemangat bernyanyi dan berjoget.

f) Instrument

Instrument saat pertunjukan Kameloh diiringi dengan alat musik gitar, seruling, dan keyboard.
Kadang-kadang Kameloh menyanyi hanya diiringi gitar saja untuk membahagiakan anak-anak yang
menontonnya.

g) Norms (massage form)

Kameloh cukup sopan dalam berbusana. Goyangannya tidak menimbulkan nafsu syahwat. Selain
itu, pembawaannya hangat dan sangat merangkul orang-orang di sekelilingnya, terutama anak-anak.

h) Genre (Massage Content)

Genre pertunjukan Kameloh ini termasuk dalam ranah kesenian sama dengan pertunjukan Lan
Tejul. Salah satu ranah kesenian adalah pertunjukan seni musik. Musik dapat dikelompokan sesuai
dengan kemiripannya. Dapat juga dikelompokan sesuai dengan kriteria lain, misalnya geografi. Musik
yang berasal dari Kalimantan Tengah, tentu sangat menonjol sekali bedanya, jika dibandingkan dengan
musik dari daerah Sumatra.

Dapat disimpulkan analisis SPEAKING terhadap pertunjukan Kameloh meliputi: situation/setting


yang berkaitan dengan waktu dan tempat; Partisipant dalam peristiwa tutur ini adalah penyanyi, pemain
musik, dan penonton; ends adalah tujuan pertunjukan adalah menghibur dan alat pengumpul massa; act
atau bentuk dan isi ujaran berbentuk kalimat tidak lengkap, diungkapkan melalui kalimat langsung dan
tidak mengandung makna konotatif; key adalah bentuk dan isi ujaran, dalam peristiwa tutur berbentuk
pembicaraan verbal dan non verbal; instrument dalam pertunjukan adalah alat musik gitar, seruling, dan
keyboard; norms dalam peristiwa tutur ini sangat santun dan ramah serta pembawaan antara para
penyanyi dan penonton sangat ramah dan bersahabat; Genre dalam peristiwa tutur ini berbentuk syair
lagu dalam ranah kesenian.

10
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

G. Penutup

Penelitian ini memberikan implikasi Praktis: (1) untuk meningkatkan apresiasi dalam
pembelajaran sastra lisan; dan (2) sebagai identitas budaya lokal.

Daftar Pustaka

Arps, Bernard. 1992. Tembang in Two Traditions: Performance and Interpretation of Javanese
Literature.Southampton: Hobbs the Printers Ltd.

Balai Bahasa Kalimantan Tengah.(2006). Laporan Penelitian Tim Pemetaan dan Kekerabatan Bahasa-
bahasa Daerah Kalteng.

Bell, T. Roger. 1976. Sociolingistics: Goals, Approaches and Problems. London: B.T. Batsford Ltd.

Bloom, William. 1990. Personal Identity, National Identity, and International Relations. Cambridge:
Cambridge University Press.

Broun, P. Dan Stephen C. Levinson. 1987. Politeness, Some Universal in Language Use. Cambridge:
Cambridge University Press.

Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Bandung : Rineka Cipta

Chaer, Abdul., Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal (Edisi Revisi). Jakarta: PT.
Rineka Cipta.

11
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Hymes, D. 1972. Models of The Interaction of Language and Social Life. In J. Gumperz & D. Hymes
(Eds.), Directions in Sociolinguistics: The Ethnography of Communication. New York: Holt,
Rinehart, Winston.

Isnani, Ika Hafizah. 2011. Kajian Etnopragmatik terhadap Bahasa Ngudang Bayi di Desa Dungpolo RT
01 RW X, Ngadiluwih, Matesih, Karanganyar. Surakarta: Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra
Indonesia dan daerah, FKIP, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Riwut, Nila. 2003. Maneser Panatau Tatau Hiang. Palangka Raya: Pusakalima.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan (diindonesiakan oleh Melani
Budianta). Jakarta: Pustaka Widyatama.

Wierzbicka, Anna. 1996. Semantics Primes and Universal. Oxford/New York: Oxford University Press.

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: ANDI.

SOUND AND IRAMA IN HIYANG WADIAN OF MALAHERAN


DAYAK OF MAANYAN IN EAST BARITO REGENCY
(PERSPECTIVE OF EKOPUITIKA)
By
Dr. Misnawati, S.Pd., M.Pd.
The University of Palangka Raya, Central Kalimantan
Teacher Training and Education Faculty
Indonesian Language and Literature Education Study Program
Email: Misnawati.sani@yahoo.co.id

Abstract: The purposes of the reseach are namely: (1) describe the sound form in hiyang wadian of
malaheran Dayak Maanyan in East Barito regency: ekopuitika perspective; and (2) describe the rhythmic
form in the hiyang wadian of malaheran Dayak Maanyan in East Barito regency: ecopuitic perspectives.
The theory used in this research is ecopuitika theory, ecological theory, and the theory of puitika.

Data collection techniques in this research use: (1) recording techniques, both audio and audiovisual, (2)
recording, (3) in-depth interview, (4) literature study and documentation analysis. The main data source
analyzed is oral text of hiyang wadian of malaheran.
The Examination of the validity of data in this qualitative research include: credibility, transferability,
dependability, and confirmability.

12
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

The Finding research on sound form in hiyang wadian of malaheran Dayak Maanyan in East Barito
regency: Ekopuitika Perspective, covering: (a) rima, (b) asonansi, (c) alliteration, (d) anafora, (e) efoni, (f)
kakafoni, not depicted in this hiyang wadian of malaheran, and (g) onomatope, not depicted in hiyang
wadian of malaheran this.
The findings of research on rhythmic form in hiyang wadian of malaheran Dayak Maanyan in East Barito
regency: Ekopuitika Perspective, including: (a) metrum and (b) rhythm.

Key Words: hiyang wadian, wadian, malaheran, and ekopuitika

C. Pendahuluan
Adat dan tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Dayak Maanyan merupakan bagian dari
budaya dan kekayaan Nusantara. Adat dan tradisi lisan dapat mengandung sastra lisan. Seperti
tradisi Malaheran Dayak Maanyan di Kabupaten Barito Timur ini mengandung sastra lisan
berupa hiyang wadian. Hiyang wadian adalah mantra atau cerita yang diucapan wadian dan
mengarah pada suatu tujuan.
Ada hal unik yang berhubungan dengan tradisi melaheran ini yaitu (1) harus menyiapkan
sesaji yang sesuai untuk ritual malaheran, jika tidak, wadian tidak dapat berkomunikasi dengan
roh halus/arwah para leluhur; dan (2) wadian yang mengucapkan hiyang wadian malaheran
harus itendrek (tanda yang ditulis pada tubuh wadian, saat dia akan mengucapkan hiyang wadian
bisa berupa tanda tambah atau titik-titik.
Wadian adalah orang yang memimpin ritual (dalam hal ini ritual Malaheran). Masyarakat
Suku Dayak Maanyan di Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah masih melakukan tradisi
Malaheran.
Malaheran adalah hukum adat yang mengatur masalah melahirkan. Dalam kehidupan
masyarakat Dayak Maanyan tidak ada upacara resmi sewaktu seorang ibu mengandung janinnya,
tetapi ada hal-hal yang wajib ditaati yaitu (1) suami/istri tidak boleh membunuh ular selama
mengandung, karena menurut mitos, jika membunuh ular selama masa ibu mengandung, ada
kemungkinan kandungan ibu akan hilang dengan sendirinya. (2) Tidak melakukan hal-hal
negatif, karena ada kemungkinan menurun kepada anak yang dilahirkannya kelak. (3) Tidak
memotong jari atau kuku binatang, karena dikawatirkan anak yang akan dilahirkan cacat bisa
buntung jari kaki/tangannya (wawancara dengan Pak Taim 29 Juli 2013).
Saat wawancara dengan Pak Taim 29 Juli 2013, beliau menyatakan kalau seorang
ibu/perempuan dalam kehidupan masyarakat Dayak Maanyan setelah melahirkan wajib
melaksanakan upacara: (1) pemalasan bidan yang menolong proses persalinan dan (2) pemalasan
untuk anak/bayi (nyaki puhet) dan pemalasan untuk ibu (ngalap amirue). Media yang harus
disiapkan untuk upacara pemalasan adalah (1) daun rirung dan daun kammat dan (2) darah
ayam ditaruh di dalam sasiri (piring kecil).
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, sangat penting untuk didiseminasikan mengenai
tradisi lisan Malaheran karena tradisi ini mengandung sastra lisan berupa hiyang wadian.
13
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

D. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan, fokus penelitian ini adalah (1) bentuk
bunyi dalam hiyang wadian malaheran Dayak Maanyan di Kabupaten Barito Timur: perspektif
ekopuitika. (2) Bentuk irama dalam hiyang wadian malaheran Dayak Maanyan di Kabupaten
Barito Timur: perspektif ekopuitika.

C. Manfaat Penelitian
Secara teoretis, hasil penelitian ini meperkaya teori ekopuitika dan menghasilkan model
penelitian yang dapat digunakan sebagai acuan oleh para peneliti selanjutnya. Manfaat praktis,
bagi pendidik dan calon pendidik diharapkan hasil penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan
pengetahuan dan apresiasi terhadap karya sastra, terutama sastra lisan.

D. Teori yang digunakan


1. Teori Ekopuitika
Teori ekopuitika dalam penelitian merupakan gabungan dari dua teori yaitu teori ekologi
dan teori puitika (ilmu sastra/ilmu puisi). Jadi ekopuitika adalah teori sastra/ilmu tentang puisi
yang dihubungkan dengan lingkungan (Misnawati, 2015: 24).

2. Teori Ekologi
Lingkungan hidup sebenarnya sangat berkaitan dengan perempuan, yaitu ada persamaan
berupa pola dominasi terhadap perempuan dan perlakuan dominasi terhadap alam. Sementara itu
menurut mitos-mitos yang ada di masyarakat, perempuan sering diasosiasikan dengan alam
(Wulan, 2007: 115).
Carolyn Merchant menggarisbawahi empat hal yang saling berkaitan yakni ekologi,
produksi, reproduksi dan kesadaran. Lingkungan paling dalam tertera inti dari ekologi
(ecological core) yang berinteraksi dengan produksi-produksi manusia. Tanaman, binatang,
bakteri, fagus, mineral saling menukarkan energi termasuk juga dengan manusia. Produksi
manusia (ekstraksi, proses, dan penukaran komoditas) diarahkan pada pembuatan makanan, baju,
tempat tinggal atau yang dapat membuat profit dalam perdagangan, industrialisasi dan
kapitalisme (Wulan, 2007: 115).

4. Teori Puitika
Todorov (1985: 4—5) menyatakan kalau puitika sastra lebih mencoba untuk menemukan
kaidah-kaidah umum yang mendahului kelahiran setiap karya dibandingkan dengan
Menemukankan maknanya. Meskipun demikian, usaha pencariannya tetap berada di dalam
wilayah kesusastraan itu sendiri.

14
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Puitika adalah teori sastra (ilmu tentang puisi). Puitika adalah kata yang diterjemahkan
dari bahasa Yunani. Puitika dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah poetry/poetic.1
Kepuitikan sebuah karya terbentuk oleh bunyi dan irama.

a. Bunyi
Sayuti (2003:103) menyatakan bunyi dalam puisi digunakan untuk mencapai nilai estetik.
Bunyi-bunyi yang sering muncul dalam puisi adalah rima, asonansi, aliterasi, anafora, efoni,
kakafoni, dan onomatope.

b. Irama
Bunyi-bunyi yang berulang, pergantian yang teratur, dan variasi-variasi bunyi
menimbulkan suatu gerak yang hidup, seperti gemericik air yang mengalir turun tak putus-putus.
Gerak yang teratur itulah yang disebut irama (Pradopo, 2000: 40).
Irama terbagi dua yaitu metrum dan ritme. Metrum adalah irama tetap, artinya
pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Ritme adalah irama yang disebabkan
pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan suku kata
yang tetap, melaikan hanya menjadi gema dendang sukma penyairnya (Pradopo, 2000: 40).

E. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian lapangan ini adalah pengamatan, perekaman, pencatatan,
wawancara, studi kepustakaan, dan analisis dokumentasi.

F. Pembahasan Mengenai Bunyi dan Irama dalam Hiyang Wadian


Malaheran Dayak Maanyan di Kabupaten Barito Timur: Perspektif
Ekopuitika

1. Bunyi
a. Bunyi dalam Hiyang Wadian Malaheran
Bunyi dalam puisi sangat diperlukan untuk mencapai nilai estetik. Sama halnya, jika
mendengarkan hiyang wadian maka yang ditangkap oleh telinga pada dasarnya adalah rentetan
bunyi. Bunyi-bunyi itu muncul secara berganti-ganti dalam kelompok tertentu membentuk kata.
Bunyi memang membentuk kata, namun tidak setiap bunyi membentuk kata. Maka dapat
1. Wawancara dengan Prof. Muhammad Haji Salleh di Yogyakarta, saat acara Kongres Internasional Folklor Asia III
dipastikan bahwa dasar terkecil yang membentuk hiyang wadian sebagaimana bahasa pada
(KIFA III), 7 — 9 Juni 2013.
umumnya adalah bunyi.
Bunyi-bunyi yang sering muncul dalam sebuah karya sastra adalah rima, asonansi,
aliterasi, anafora, efoni, kakafoni, dan onomatope.

15
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

1) Rima (Persajakan)
Hampir semua penyair memperhatikan aspek persajakan dalam puisi-puisinya. Secara
singkat dikatakan bahwa persajakan merupakan perulangan bunyi yang sama dalam puisi.
Biasanya rima ditandai dengan abjad, misalnya: ab-ab; cde-cde; a-a; dan b-b. Rima dalam
hiyang wadian malaheran dapat dilihat pada kutipan berikut.

Nyamme aku ma rirung kummang a Kupegang daun rirung kummang.


Juwa lelu nganjang anrau baya kammat b Anrunganyan. Bersamaan dengan daun
burit Sintaruk hijau jangkeng a kammat burit sitantaruk hijau jangkeng.
Nyumpuran anri ira taturung sidura dure c Campur dengan darah ayam jago (sidura
Riak amu rengkai lengan d dure riak amu rengkai lengan) menjunjung
Nyunjung amas maeh riang a emas berwarna merah yang indah (jengger
(HWM, 1.a, larik 1 – 6). ayam jago).

Kutipan tersebut menunjukkan kalau rima dalam hiyang wadian malaheran dapat
berbentuk aba-cda.

2) Asonansi
Bunyi asonansi adalah berupa bunyi vokal berjarak dekat. Bunyi vokal tersebut adalah
/a/, /i/, /u/ ,/e/, dan /o/ yang ditimbulkan dalam satu baris puisi.

Asonansi dalam hiyang wadian malaheran dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

Nyamme aku ma rirung kummang Kupegang daun rirung kummang.


Juwa lelu nganjang anrau baya kammat burit Anrunganyan. Bersamaan dengan daun
Sintaruk hijau jangkeng kammat burit sitantaruk hijau jangkeng.
Nyumpuran anri ira taturung sidura dure Campur dengan darah ayam jago (sidura
Riak amu rengkai lengan dure riak amu rengkai lengan) menjunjung
Nyunjung amas maeh riang emas berwarna merah yang indah (jengger
(HWM, 1.a, larik 1 – 6). ayam jago).
a) Asonansi (bunyi vokal berjarak dekat dalam satu baris) yang terdapat pada larik ke-1
tersebut adalah /a/, /e/, /a/, /u/, /a/, /i/, /u/, /u/, dan /a/.
b) Asonansi (bunyi vokal berjarak dekat dalam satu baris) yang terdapat pada larik ke-2
tersebut adalah /u/, /a/, /e/ ,/u/, /a/, /a/, /a/, /a/, /u/, /a/, /a/, /a/, /a/, /u/, dan /i/.
c) Asonansi (bunyi vokal berjarak dekat dalam satu baris) yang terdapat pada larik ke-3
tersebut adalah /i/, /a/, /u/, /i/, /a/, /u/, /a/, dan /e/.
d) Asonansi (bunyi vokal berjarak dekat dalam satu baris) yang terdapat pada larik ke-4
tersebut adalah /u/, /u/, /a/, /a/, /i/, /i/, /a/, /a/, /u/, /u/, /i/, /u/, /a/, /u/, dan /e/.
e) Asonansi (bunyi vokal berjarak dekat dalam satu baris) yang terdapat pada larik ke-5
tersebut adalah /i/, /a/, /a/, /u/, /e/, /a/, /i/, /e/, dan /a/.

16
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

f) Asonansi (bunyi vokal berjarak dekat dalam satu baris) yang terdapat pada larik ke-6
tersebut adalah /u/, /u/, /a/, /a/, /a/, /e/, /i/, dan /a/.
Berdasarkan uraian tersebut asonansi dalam hiyang wadian malaheran (berupa bunyi
vokal berjarak dekat) untuk bunyi vokal a pada larik ke-1 muncul sebanyak empat kali, bunyi
vokal e muncul hanya satu kali, bunyi vokal u muncul sebanyak tiga kali. Jadi, asonansi (berupa
bunyi vokal berjarak dekat) yang paling sering muncul pada larik ke-1 tersebut adalah bunyi
vokal a dan u (masing-masing sebanyak tiga kali).
Asonansi dalam hiyang wadian malaheran (berupa bunyi vokal berjarak dekat) pada larik
ke-2 untuk bunyi vokal a muncul sebanyak sembilan kali, bunyi vokal e muncul sebanyak satu
kali, bunyi vokal u muncul sebanyak empat kali, dan i sebanyak satu kali. Jadi, asonansi (berupa
bunyi vokal berjarak dekat) yang paling sering muncul pada larik ke-2 tersebut adalah bunyi
vokal a (sebanyak sembilan kali).
Asonansi dalam hiyang wadian malaheran (berupa bunyi vokal berjarak dekat) pada larik
ke-3 untuk bunyi vokal u muncul sebanyak dua kali, bunyi vokal i muncul sebanyak dua kali,
bunyi vokal a muncul sebanyak tiga kali, bunyi vokal e muncul sebanyak satu kali. Jadi,
asonansi (berupa bunyi vokal berjarak dekat) yang paling sering muncul pada larik ke-3 tersebut
adalah bunyi vokal a (masing masing muncul sebanyak tiga kali).
Asonansi dalam hiyang wadian malaheran (berupa bunyi vokal berjarak dekat) pada
larik ke-4 untuk bunyi vokal u muncul sebanyak enam kali, bunyi vokal a muncul sebanyak lima
kali, bunyi vokal i muncul sebanyak tiga kali, bunyi vokal e muncul sebanyak satu kali. Jadi,
asonansi (berupa bunyi vokal berjarak dekat) yang paling sering muncul pada larik ke-4 tersebut
adalah bunyi vokal u sebanyak enam kali.
Asonansi dalam hiyang wadian malaheran (berupa bunyi vokal berjarak dekat) pada larik
ke-5 bunyi vokal i muncul sebanyak dua kali, bunyi vokal a muncul sebanyak tiga kali, bunyi
vokal u muncul sebanyak satu kali, bunyi vokal e muncul sebanyak dua kali. Jadi, asonansi
(berupa bunyi vokal berjarak dekat) yang paling sering muncul pada larik ke-5 tersebut adalah
bunyi vokal a muncul sebanyak tiga kali.
Asonansi dalam hiyang wadian malaheran (berupa bunyi vokal berjarak dekat) pada larik
ke-6 untuk bunyi vokal u muncul sebanyak dua kali, bunyi vokal a muncul sebanyak empat kali,
bunyi vokal i muncul sebanyak satu kali. Jadi, asonansi (berupa bunyi vokal berjarak dekat) yang
paling sering muncul pada larik ke-6 tersebut adalah bunyi vokal a sebanyak empat kali.

3) Aliterasi
Bunyi aliterasi adalah bunyi dalam satu baris yang berupa persamaan bunyi konsonan
yang ditimbulkan dalam satu baris puisi. Bunyi aliterasi adalah bunyi selain bunyi vokal.
Aliterasi dalam hiyang wadian malaheran dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

17
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Nyamme aku ma rirung kummang Kupegang daun rirung kummang.


Juwa lelu nganjang anrau baya kammat burit Anrunganyan. Bersamaan dengan daun
Sintaruk hijau jangkeng kammat burit sitantaruk hijau jangkeng.
Nyumpuran anri ira taturung sidura dure Campur dengan darah ayam jago (sidura
Riak amu rengkai lengan dure riak amu rengkai lengan)
Nyunjung amas maeh riang menjunjung emas berwarna merah yang
(HWM, 1.a, larik 1 – 6). indah (jengger ayam jago).
a) Aliterasi (bunyi dalam satu baris berupa persamaan bunyi konsonan) yang terdapat pada
larik ke-1 tersebut adalah /m/, /k/, dan /r/. Aliterasi pada larik pertama didominasi bunyi
konsonan /m/.
b) Aliterasi (bunyi dalam satu baris berupa persamaan bunyi konsonan) yang terdapat pada
larik ke-2 tersebut adalah didominasi bunyi /l/, /n/, dan /m/.
c) Aliterasi (bunyi dalam satu baris berupa persamaan bunyi konsonan) yang terdapat pada
larik ke-3 tersebut adalah didominasi bunyi /j/.
d) Aliterasi (bunyi dalam satu baris berupa persamaan bunyi konsonan) yang terdapat pada
larik ke-4 tersebut adalah bunyi /n/, /r/, /t/,dan /d/. Aliterasi pada larik keempat didominasi
bunyi konsonan /n/.
e) Aliterasi (bunyi dalam satu baris berupa persamaan bunyi konsonan) yang terdapat pada
larik ke-5 adalah bunyi konsonan /ng/.
f) Asonansi (bunyi vokal berjarak dekat dalam satu baris) yang terdapat pada larik ke-6
tersebut adalah didominasi bunyi /m/ dan /ng/.
Berdasarkan uraian tersebut aliterasi dalam hiyang wadian malaheran yang sering
muncul adalah bunyi /k/, /r/, /m/, /l/, /n/, /j/, /d/, dan /ng/.

4) Anafora
Anafora adalah pengulangan bunyi, kata, atau struktur sintaksis pada larik-larik atau
kalimat-kalimat yang berurutan untuk memperoleh efek tertentu.
Kutipannya anafora ―Kala talak rantai batang, nimmang intai jawa kala.” ‗datangnya roh
diibaratkan seperti obor‘ (HWM, 2.d).
Anapora pada kutipan hiyang wadian malaheran tersebut adalah pengulangan kata yaitu
kata kala ‗datangnya.‘

5) Efoni
Bunyi-bunyi yang merdu dan menyenangkan dapat melancarkan pengucapan, bersifat
musikal, bunyi-bunyi tersebut disebut efoni ‗euphony‘. Bunyi efoni dipakai untuk menghadirkan
suasana keriangan, semangat, gerak, vitalitas hidup, kegembiraan, dan keberanian.
Efoni dalam teks hiyang wadian malaheran ini tergambar pada setiap bait dan larik
hiyang wadian. Kesan efoni yang paling menonjol tergambar pada saat wadian mengucapkan

18
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Hiyang Ngalap Amirue ‗mengambil roh‘ dapat dilihat pada (HWM, 2.e—2.j). Efoni dapat dilihat
pada kutipan berikut ini.

Kala talak wawa hiang, nimmang intai bintang maling.


Terjemahannya: [datangnya roh diibaratkan seperti cahaya bintang].
Kala talak wawuyu nyinrau, nawa hiang lawu layar. Jalak amirue madi, intai salulungan mantuk.
Terjemahannya: [datangnya roh menyala-nyala].
Mudi ma watang tenga, mantuk ma pakun manuk.
Terjemahannya: [kepulangan roh seperti cahaya berkilau-kilau].
Mudi ma puru ula, mantak ma lalansikan.
Terjemahannya: [kembali roh ke badan].
Mudi ma wila wulu mantuk ma raun mukeng.
Terjemahannya: [kembali ke sela-sela helai rambut].
Kuruyak … kuruyak … kuruyak.
Terjemahannya: [syukur … syukur … syukur sudah selamat.
(HWM, 2.e—2.j).
Bunyi-bunyi merdu vokal /a/, /i/, /u/, dan /e/ menghadirkan suasana riang, gembira, dan
bahagia. Perasaan gembira dan bahagia itu tentunya karena roh sudah pulang dengan selamat.
Hiyang Ngalap Amirue ini dilakukan untuk menyucikan/memalas ibu/perempuan yang baru
melahirkan. Sungguh merupakan suatu perjuangan yang sangat berat, saat seorang ibu
melahirkan anaknya. Perjuangan yang sangat mulia. Sehingga roh kehidupan sang ibu perlu
disucikan, agar seorang ibu dapat selamat setelah melahirkan anaknya.

6) Kakafoni
Kakafoni adalah bunyi sajak yang tidak merdu dan tidak menyenangkan, bunyi tersebut
terdengar parau, penuh dengan bunyi-bunyi konsonan yang tak bersuara seperti /b/, /p/, /m/, /k/,
/h/, /p/, /t/, /s/, /r/, /ng/, dan /ny/. Bunyi kakafoni dapat dipakai untuk menciptakan suasana-
suasana tertekan, keterasingan, kesedihan, syahdu, suram, haru, dan pilu.
Dalam hiyang wadian malaheran ini tidak ditemukan bunyi kakafoni karena bunyi-bunyi
yang keluar dalam Hiyang Malaheran selalu terdengar merdu, tidak parau. Tidak ada bunyi yang
menciptakan suasana-suasana tertekan, keterasingan, kesedihan, syahdu, suram, haru, dan pilu.
Bunyi-bunyi yang keluar hanya suasana gembira dan bahagia.

7) Onomatope
Bunyi onomatope disebut sebagai lambang rasa. Onomatope adalah tiruan bunyi yang
menghadirkan bunyi-bunyi makhluk hidup, alam, dan binatang.
Dalam hiyang wadian malaheran ini juga, tidak ditemukan bunyi onomatope karena
tidak ada tiruan bunyi-bunyi makhluk hidup, alam, dan binatang.

b. Bunyi dalam Hiyang Wadian Malaheran Terkait dengan Ekologi

19
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Masyarakat Dayak Maanyan di Kabupaten Barito Timur, Terkait dengan


Ekologi
1) Bunyi yang Terkait dengan Representasi Alam
Bunyi yang terkait dengan ekologi representasi alam adalah berhubungan dengan
tumbuhan dan binatang.

a) Berhubungan dengan Tumbuhan


Ekologi representasi alam yang berhubungan dengan tumbuhan tergambar pada (HWM,
1.a, larik ke-1 s.d. ke-3) yaitu ―Nyamme aku ma rirung kummang, juwa lelu nganjang anrau
baya kammat burit sintaruk hijau jangkeng.‖ ‗Kupegang daun rirung kummang. Anrunganyan.
Bersamaam dengan daun kammat burit sitantaruk hijau jangkeng‘.
Suku Dayak Dayak Maanyan yang ada di Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah
memanfaatkan tumbuhan hutan untuk berbagai keperluan hidup. Pemanfaatan tumbuhan selain
untuk keperluan pangan, industri dan obat-obatan dapat juga dimanfaatkan untuk keperluan
melakukan ritual malaheran. Tumbuhan yang berupa daun rirung kummang dan daun kammat
burit digunakan sebagai media untuk dapat berinteraksi dengan alam gaib.

b) Berhubungan dengan Binatang


Ekologi representasi alam yang berhubungan dengan binatang tergambar pada (HWM,
1.a, larik 4 s.d. 6) ―nyumpuran anri ira taturung sidura dure riak amu rengkai lengan. Nyunjung
amas maeh riang.‖ Terjemahannya: ‗Campur dengan darah ayam jago (sidura dure riak amu
rengkai lengan) menjunjung emas berwarna.‘
Suku Dayak Dayak Maanyan yang ada di Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah
sangat menghormati binatang karena itulah di setiap kegiatan apa saja ada di siapkan darah ayam
jago. Darah ayam jago disiapkan untuk menghormati binatang dan sebagai pelengkap ritual yang
dilakukan. Darah ayam digunakan untuk menyucikan/memalas bidan, menyucikan ibu yang baru
melahirkan, dan menyucikan bayi yang baru dilahirkan dari gangguan makhluk halus yang jahat.
Selain itu, darah ayam jago juga digunakan agar bidan, ibu, dan bayi dijauhkan dari penyakit.

2) Bunyi yang Terkait dengan Representasi Tingkah Laku


Bunyi yang terkait dengan ekologi representasi tingkah laku adalah berhubungan dengan
ritual dan bahasa.

a) Berhubungan dengan Ritual


Bunyi yang terkait dengan ekologi representasi tingkah laku yang berhubungan dengan
ritual tergambar pada kutipan berikut.

Nyame ma ira saki, ngurut ma raya pilah, saki [Kupegang darah untuk menyucikan.

20
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

ma watang tenga, pilah ma pakun munuk, Anrunganyan. Membuang ke layun lawen


ngumpe kawan layun lawen, padi mira, sawuh (membuang sial). Larangan sawuh samar.
samar, sakilah teka sagudan gansana, Sucikan dari makhluk halus yang jahat,
penyakit pangaring, jangan angkatalau. sucikan dari penyakit. Dijauhkan dari
Nasana wit teka, umpui uyung, antu ngangkun pertanda celaka, dari makhluk halus yang
ngawuat. ingin menguasai bayi].
(HWM, 1.c)

Kutipan tersebut menggambarkan seorang wadian sedang mengucapkan hiyang wadian


pada saat upacara malaheran.
Ritual setelah melahirkan yang dilakukan oleh Suku Dayak Maanyan membutuhkan
beberapa perlengkapan khusus. Sesuai dengan kutipan tersebut, perlengkapan tersebut di
antaranya adalah darah ayam jago. Darah ayam jago digunakan untuk membuang sial agar
terhindar dari gangguan makhluk halus yang jahat dan dari segala macam penyakit.

b) Berhubungan dengan Bahasa


Bahasa sangat berperan penting dalam melakukan ritual untuk berkomunikasi dengan
alam manusia maupun alam gaib. Bahasa Dayak Maanyan (Pangunraun) merupakan bahasa
utama yang dominan digunakan dalam pelaksanaan upacara adat.
Bunyi yang terkait dengan ekologi representasi tingkah laku yang berhubungan dengan
bahasa tergambar pada semua ucapan wadian yang ada dalam hiyang wadian malaheran.

2. Irama
a. Irama dalam Hiyang Wadian Malaheran
Bunyi-bunyi yang berulang, pergantian yang teratur, dan variasi-variasi bunyi
menimbulkan suatu gerak yang hidup, seperti gemericik air yang mengalir turun tak putus-putus.
Gerak yang teratur itulah yang disebut irama.
Irama terbagi dua yaitu metrum dan ritme. Metrum adalah irama tetap, terjemahan
pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Ritme adalah irama yang disebabkan
pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan suku kata
yang tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang sukma penyairnya.
Metrum dalam hiyang wadian malaheran pergantiannya tidak tetap menurut pola tertentu.
Metrumnya tergantung pada wadian yang mengucapkannya. Begitu juga dengan ritme, sangat
tergantung pada wadian yang mengucapkannya.

b. Irama dalam Hiyang Wadian Terkait dengan Ekologi Masyarakat Dayak


Maanyan di Kabupaten Barito Timur

1) Irama Terkait dengan Ekologi Masyarakat Dayak Maanyan Berupa


Representasi Alam
21
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Irama yang terkait dengan ekologi representasi alam adalah yang berhubungan dengan
air.
Ekologi representasi alam yang berhubungan dengan air tergambar pada kutipan (HWM,
2.a, larik 1—2).: ―kuruyak amirue karutitik inang-inang. Ramu tuwing tala amas amirue, tunne
tulak mirah salulungan.‖ ‗Syukur-syukur roh sudah kembali. Air suci/air bersih. Roh dianggap
sama nilainya dengan emas‘. Kutipan tersebut menceritakan rasa syukur wadian karena roh
sudah kembali. Kembalinya roh diibaratkan air yang suci dan memang saat wadian memanggil
roh digunakan juga air sebagai media untuk memercikan roh dan memanggil roh. Keberadaan air
merupakan hal yang mutlak bagi manusia dan bagi masyarakat Dayak Maanyan. Air dianggap
suci dan merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat Dayak Maanyan.

2) Irama Terkait dengan Ekologi Masyarakat Dayak Maanyan Berupa


Representasi Tingkah Laku
Irama yang terkait dengan ekologi representasi tingkah laku adalah yang berhubungan
dengan ritual. Tergambar pada kutipan berikut ini.

Kamtiti inang-inang, weah ata inantue. Mudikala [Sewaktu roh tersebut


wuah hunang, mantuk alang wuah epu. Kamtiti dipanggil dengan beras,
inang-inang weah ata inahiri. Mudi kala weah langsung datang, tidak
hunnang, mantuk alang wuah widi berbelok-belok].
(HWM, 2.b).

Kutipan tersebut menggambarkan wadian sedang memanggil roh dengan media beras
yang ditaburkan pada saat upacara Malaheran. Pada ritual Malaheran ini media beras wajib ada
sebagai media untuk memanggil roh-roh halus yang baik. Roh-roh halus yang baik dianggap
dapat membuat ritual malaheran berjalan dengan lancar
Ritual biasanya dijumpai pada upacara atau tatacara agama, dan ada pada semua agama,
misalnya dalam bentuk tatacara ibadah sembahyang, perjamuan, penyucian, kurban, doa, tarian,
nyanyian, dan ziarah. Baik ibadah pribadi maupun bersama orang lain. Masyarakat Dayak
Maanyan yang memeluk kepercayaan Kaharingan juga memunyai ritual yang wajib dilaksanakan
setelah ibu melakukan persalinan/melahirkan yaitu ritual Malaheran.

G. Penutup

Penelitian ini memberikan implikasi praktis sebagai identitas budaya lokal masyarakat Dayak
Maanyan di Kabupaten Barito Timur mengenai upacara malaheran.

22
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

DAFTAR RUJUKAN

Aminuddin. 1991. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung Sinar Baru.

Atmazaki. 1993. Analisis Sajak: Teori, Metodologi dan Aplikasi. Bandung: Angkasa

Jakobson, Roman. 1960 [1987]. ―Linguistics and Poetics‖. Dalam Pomorska, K. & Rudy, S. Roman
Jakobson (Eds), Language in Literature, pp. 62—94. Cambridge, Mass, London, England: The
Belknap Press of Harvard University Press.

Misnawati. 2015. ―Hiyang Wadian Dayak Maanyan di Kabupaten Barito Timur (Kajian Ekopuitika).‖
Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. (Disertasi, tidak diterbitkan).

Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

Pradopo, Rachmat Djoko. 2000. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

23
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Salleh, Muhammad Haji. 2000. Puitika Sastera Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Sayuti, S.A. 2003. Berkenalan dengan Puisi. Jakarta: Gama Media.

Todorov, T. 1984. Introduction to Poetics. Minneapolis: UM Press

Wulan, Tias Retno. 2007. ―Ekofeminisme Transformatif Alternatif Kritis Mendekonstruksi Relasi
Perempuan dan Lingkungan‖. Jakarta: Jurnal Trandisiplin Sosiologi, Komumnikasi, dan
Ekologi Manusia. Vol.01/No.1. April 2007. pp. 105—130.

KAJIAN MAKNA MANTRA PAWANG HUJAN

Endah Imawati
IKIP Widya Darma
endahimawati@gmail.com

Abstrak: Mantra yang dilafalkan pawang hujan menjadi bagian dari sastra lisan. Saat ini jasa pawang
hujan masih diperlukan untuk menyingkirkan hujan selama acara berlangsung. Penelitian ini bertujuan
makna mantra, medan makna, dan peranan mantra yang digunakan pawang hujan dalam upayanya
menyingkirkan hujan saat acara berlangsung. Yang menjadi informan dalam penelitian kualitatif ini
adalah Ki Ageng Sumari dan Joko Hari Nugroho. Keduanya menunjukkan mantra yang berbeda, tetapi
dengan tujuan sama. Mereka juga melakukan ritual yang menyertai pengucapan mantra. Mantra pawang
hujan bermakna mohon kekuatan Tuhan untuk menyingkirkan hujan ke tempat lain. Makna itu dapat
dipahami jika memahami budaya yang menjadi medan maknanya. Dengan demikian, peranan mantra
pawang hujan dapat digunakan oleh masyarakat yang memercayainya.

Kata kunci: mantra, pawang hujan, medn makna

24
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

A. Pendahuluan
Saat musim pertandingan sepak bola, diperlukan cuaca cerah untuk mendukung
pertandingan. Jika pertandingan dilakukan pada musim hujan, pertandingan di lapangan terbuka
berpotensi dilakukan saat hujan turun. Meskipun tidak mengganggu pertandingan, penyelenggara
biasanya mengharapkan cuaca cerah.
Masyarakat Jawa Timur memiliki cara yang lebih terjangkau, yaitu dengan minta bantuan
pawang hujan untuk mengalihkan hujan di wilayah tertentu. Pawang hujan dengan mantranya
merupakan kekayaan budaya Indonesia. Di Jawa, keberadaan mereka masih tidak tergantikan
oleh teknologi karena terbukti hasilnya bisa diandalkan.
Salah satu pawang hujan yang menjadi informan penelitian ini adalah Ki Ageng Sumari.
Bagi penyelenggara pertandingan sepak bola, nama Ki Ageng Sumari cukup dikenal. Dia
dipercaya menjaga situasi agar hujan tidak turun ketika pertandingan sepak bola berlangsung.
Mantra yang diucapkan Ki Ageng Sumari ini awalnya mantra kejawen. Akan tetapi, kini
dia menggunakan doa Islam sebagai pembuka meskipun ritualnya tetap kejawen.
Masyarakat memiliki cara tersendiri untuk mencegah agar tidak turun hujan. Dalam
tradisi orang Betawi keturunan Tionghoa, untuk mencegah hujan turun mereka memiliki
kebiasaan menusukkan sebutir bawang merah dan sebutir cabai merah pada tusuk sate dan
ditancapkan pada pagar rumah. Untuk mencegah agar pada pesta pernikahan tidak turun hujan,
orang Jawa Timur keturunan Tionghoa mencegahnya dengan melarang mandi pada para calon
mempelai sejak kemarin petangnya (Danandjaja, 1997:165).
Penelitian atas sastra lisan seperti mantra perlu dilakukan karena dari kajian-kajian ini
akan terlihat budaya Indonesia yang beragam. Kajian linguistik pada mantra juga bisa menepis
anggapan bahwa mantra selalu berkonotasi negatif. Bagi sebagian orang Jawa, sepanjang
hidupnya selalu ada mantra yang menyertai mulai dari dalam kandungan, lahir, tumbuh,
menikah, hingga mati.
Fungsi sastra lisan dalam masyarakat antara lain mengetahui apakah peranan sastra di
dalam masyarakat. Jika sastra berperan dalam masyarakat, sedikit ataukah banyak ia
mencerminkan keadaan budaya dan tata susunan masyarakat? Jika sastra lisan merefleksikan
keadaan masyarakat, apakah yang direfleksikan itu (Hutomo, 1991:18).
Masalah yang akan dibahas hanya pada mantra dan bukan doa yang dilafalkan oleh
pawang hujan di Surabaya. Karena pawang hujan-pawang hujan yang menjadi sumber data ada
yang mengolaborasikan mantra dengan doa Islam, maka doa Islam tidak akan dibahas karena
tidak termasuk dalam mantra. Penelitian ini dibatasi pada tiga masalah, yaitu makna mantra,
medan makna, dan peranan mantra yang digunakan pawang hujan dalam masyarakat.
Jasa pawang hujan masih diperlukan dalam masyarakat yang menyebut diri modern.
Keberadaan pawang hujan ini menjadi kajian menarik karena setiap pawang hujan memiliki
mantra dan ritual yang berbeda.

25
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Kajian makna mantra akan menambah kekayaan penelitian sastra lisan maupun linguistik
mengenai bahasa yang digunakan dalam budaya masyarakat. Meski dianggap kuno,
kenyataannya sampai saat ini mantra masih berkembang meski sudah dimodifikasi. Penelitian
tentang mantra membuktikan bangsa ini memiliki kekayaan budaya yang layak diteliti. Jasa dan
mantra pawang hujan masih banyak digunakan dalam masyarakat. Manfaat penelitian ini untuk
mengetahui makna mantra yang digunakan pawang hujan.
Ciri-ciri sastra lisan adalah penyebarannya melalui mulut, lahir di dalam masyarakat yang
berdorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum mengenal huruf. Sastra
lama menggambarkan ciri budaya suatu masyarakat sebab sastra itu warisan budaya, tidak
diketahui siapa pengarangnya dan oleh karena itu menjadi milik masyarakat. Sastra ini bercorak
puitis, teratur, berulang-ulang, juga tidak mementingkan fakta dan kebenaran kebih menekankah
pada aspek khayalan/fantasi yang tidak bisa diterima masyarakat modern. Biasanya, sastra lisan
itu terdiri dari beberapa versi, menggunakan bahasa lisan sehari-hari, tidak menggunakan dialek,
dan kadang-kadang diucapkan tidak lengkap (Hutomo, 1991:3).
Mantra pawang hujan termasuk sastra lisan primer. Sastra lisan primer adalah hasil sastra
lisan yang tidak dikenal versi tulisnya dan penyampaiannya umumnya secara langsung dan
terlebih dulu tidak perlu menghafalkan teks tulis. Sebaliknya, sastra lisan sekunder adalah hasil
sastra lisan yag didahului oleh teks tulisannya. Teks tulis ini dibaca dan dihafal baru kemudian
dilisankan pada khalayak pendengar (Hutomo, 1998:224).
Mantra merupakan salah satu produk sastra sebagai sebuah kebudayaan yang pernah
mewarnai kehidupan masyarakat di Nusantara. Mantra bisa berupa puisi lisan yang berpotensi
memiliki kekuatan gaib atau semacam doa yang memanfaatkan bahasa lokal dengan didasari
oleh keyakinan yang telah diwariskan oleh para leluhur. Agar dapat dimanfaatkan, mantra tidak
cukup untuk sekadar dihafalkan, tetapi harus disertai laku mistik (Saputra, 2007:xxv).
Mantra menurut leksikon Sansekerta berasal dari kata man/manas ‗berpikir/pikiran‘ dan
tra/tri ‗melindungi‘. Jadi, apabila kita berpijak pada pengertian tersebut, artinya mantra bersifat
melindungi pikiran manusia dari nafsu-nafsu rendah duniawi. Secara sederhana mantra diartikan
sebagai perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib (KBBI, 2008:876). Tim Penyusun
Kamus berpendapat tentang pengertian mantra adalah (1) perkataan atau ucapan yang dapat
mendatangkan daya gaib (misal: dapat menyembuhkan; mendatangkan celaka; dan sebagainya);
(2) susunan kata berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan
oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain.
Mantra memiliki banyak jenis berdasarkan fungsinya, yaitu mantra pengasihan, mantra
kanuragan, mantra kasuksman, mantra pertanian, mantra dagang/penglarisan, mantra
panyuwunan, mantra panulakan, mantra pengobatan, mantra trawangan/sorog, mantra
panglarutan, mantra sirep/panglerepan, mantra pangracutan, dan mantra dhanyangan.
Era modern dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih, ternyata masih
menyisakan ruang bagi tradisi lisan, khususnya mantra. Namun pada kenyataannya tradisi lisan

26
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

hanya mampu berkembang di pelosok-pelosok desa. Kebingungan manusia untuk membedakan


antara tradisi dan modern, akhirnya menuntut manusia untuk menggabungkan antara yang
dianggap tradisi dan yang dianggap modern. Dalam kehidupan masyarakat modern, tidak jarang
mantra menunjukkan keberadaannya pada situasi-situasi tertentu.
Sebagai produk bahasa, mantra memiliki medan makna sesuai dengan latar belakang
penuturnya. Menurut Harimurti Kridalaksana dalam Chaer (2002), medan makna (semantic field,
semantik domain) adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari
bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu yang direalisasikan oleh
seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan.
Istilah teori medan makna berkaitan dengan teori bahwa perbendaharaan kata dalam
suatu bahasa memiliki medan struktur, baik secara leksikal maupun konseptual (Aminuddin,
2008:108). Ini dikuatkan oleh Sembiring (2005:49) dalam kumpulan tulisan Pesona Bahasa yang
menyatakan medan merupakan istilah yang mengacu pada hal atau topik. Medan makna
merupakan subjek atau topik dalam teks untuk pembicaraan.
Pandangan F. De Saussure dalam Parera (2004:138) mengungkapkan bahwa medan
makna adalah suatu jaringan asosiasi yang rumit berdasarkan pada simililaritas atau kesamaan,
kontak/hubungan, dan hubungan-hubungan asosiatif dengan penyebutan satu kata. Makna kata
ditentukan oleh tempat titik yang menggambarkannya dalam keseluruhan jaringan. Aspek yang
paling penting dari jaringan semantik ini ialah hubungan hierarki dari sebuah himpunan.
Kajian yang akan dipakai adalah makna mantra sebagai perkataan atau ucapan yang dapat
mendatangkan daya gaib dan medan makna menurut Harimurti Kridalaksana. Penelitian tentang
fungsi mantra pawang hujan ini memanfaatkan teori Ruth Finnegan yang menguraikan pengaruh
puisi lisan termasuk mantra. Menurut Finnegan, pengaruh puisi lisan tidak harus bergantung
pada sifat permanen teks, tetapi pada lingkungan sekitar tempat puisi lisan (Sudikan, 2001:115).
Secara umum, puisi lisan meliputi ritual penyembuhan, penyelesaian perselisihan, menambah
kekhidmatan upacara, memberi kenyamanan, dan lain-lain.

B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Data diambil dari mantra
pawang hujan di Surabaya. Informan dalam penelitian ini adalah Ki Ageng Sumari, seorang
pawang hujan yang jasanya sering dipakai event organizer acara out door dan Joko Hari
Purnomo, seorang jurnalis yang dapat memanfaatkan mantra sebagai penyingkir hujan. Data
yang dianalisis adalah mantra di luar doa Islam yang digabungkan dalam mantra mereka.
Cara kerja penelitian ini menggunakan beberapa teknik. Di antaranya teknik pengamatan
untuk mengumpulkan data berupa gerak-gerik pawang hujan. Untuk menggali data yang berupa
sistem pengetahuan pawang hujan, sistem pengetahuan anggota masyarakat dan struktur sosial,
dan sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat digunakan teknik wawancara (Sudikan,

27
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

2001:165). Dilakukan juga teknik perekaman dilakukan untuk mengumpukan seluruh mantra dan
data yang ada di lapangan.
Agar pengumpulan data ini efektif, pelaksanaan pengumpulan data dilakukan dengan
menjalin komunikasi intensif dengan para pawang hujan. Itu berarti mengikuti mereka dan
mengamati ritual yang dilakukannya. Pelaksanaan pengumpulan data ini memerlukan waktu
lama karena tidak setiap hari jasa mereka digunakan apalagi di luar musim hujan.

C. Pembahasan
Setiap bentuk (lambang bunyi) memiliki makna atau mendukung makna. Analisis makna
kadang-kadang menyampingkan analisis kata meski kata atau susunan kata kadang-kadang
memiliki makna yang tidak dapat diramal dari makna keseluruhannya (Djajasudarma, 1999:49).

Wa iya kanas ta in wujudku kai fafa robuka… byak… byak…


Ini penulisan asli dari Ki Ageng Sumari. Maksudnya:
Waiya ka nastain
wujudku
Kaifafa Robbuka
Byak… byak…

Artinya
Waiya ka nastain
Dan kepadaNya kami minta pertolongan
Dan kepadaNya kami minta pertolongan

Wujudku
Ragaku
Hai ragaku

Kaifafa Robbuka
Perhatikan Tuhanmu
Perhatikan Tuhanmu

Byak… byak…
____ ____ (gerakan menyibak awan dan hujan)
Dan tersibaklah awan yang mengandung air hujan

Sun matek aji montro dirgo


Aku memasang jimat mantra udara

28
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Aku tengah menggunakan kekuatan gaib dalam mantra di jagat raya

Rogo mulyo roso jati ingsun


Raga mulia rasa sejati aku
Seluruh raga dan rasaku

Podo sebo marang dumadi


Semua menghadap kepada yang terjadi
Pasrah pada apa yang akan terjadi

Surodirojoyoningrat
Angkara murka
Agar semua angkara murka

Lebur dening pangastuti


Mmelebur dengan memuja Yang Kuasa
Lebur bersama saat memuja Tuhan yang Mahakuasa

Hayu hayu hayu rahayu


Selamat selamat selamat selamat
Selamat, semuanya dalam diberkahi

Kersaning Gusti kang maha suci


Keinginan Tuhan yang maha suci
Sesuai dengan keinginan Tuhan yang Mahasuci

Makna mantra Ki Ageng Sumari ini untuk meminta agar awan tersibak, menyingkir, dari
suatu tempat untuk sementara dengan seizin Tuhan. Meskipun telah menggunakan kekuatan,
justru karena manusia tidak berdaya jika Tuhan tidak berkehendak, maka dia melebur seluruh
rasa dan raga dalam kekuasaan Tuhan dalam kepasrahan total supaya angkara murka tidak
mendekat. Dengan berserah sepenuhnya, maka seluruh alam akan selamat. Ini juga menjadi
bentuk motiviasi untuk berjuang melawan kejahatan.
Mantra Ki Ageng Sumari menggabungkan doa Islam dengan mantra dengan melihat
sisipan wujudku dalam dua doa Islam di awal mantra. Matek aji artinya menggunakan atau
memanfaatkan kekuatan gaib yang terkandung di dalam mantra dengan mekanisme prosesi ritual
yang berupa laku mistik.

Mantra Joko Hari Nugroho yang digunakan untuk menahan hujan adalah:

29
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Bismillahirachman hirrachim

niat ingsun nerang udan


niat saya menahan hujan
Niat saya supaya hujan tidak turun

kakang kawah adhi ari-ari


kakak ketuban adik plasenta
Wahai saudaraku yang tak kelihatan

sedulur papat lima pancer


saudara empat lima pusat
Empat saudara spiritual dalam satu jiwa

Muhammad ya Rosulku
Nabi Muhammad Rosulku
Nabi Muhammad Rasulku

Selanjutnya membaca Al Fatihah (doa pembuka), Al Ikhlas (ketaukhidan, keesaan Tuhan), Al


Falaq (menjauhkan dari maksud buruk), Annas (perlindungan diri dari godaan setan), dan Ayat
Kursi (supaya merasa aman).
Medan makna mantra ini dapat dipahami dengan melihat makna dalam bahasa aslinya.
Bukan hanya makna kalimat tetapi juga arti filosofi mantra ini.
Kalimat kakang kawah adhi ari-ari sedulur papat lima pancer diambil dari Kitab
Kidungan Purwajati yang dimulai dari lagu Dhandanggula. Menurut Saputra (2007), sedulur
papat atau saudara empat adalah marmati, kawah, ari-ari (plasenta), dan darah yang umumnya
disebut rahsa. Semua itu berpusat di pusar si bayi, di setiap manusia.
Marmati artinya samar mati (takut mati). Saat proses kelahiran, air kawah (ketuban) akan
keluar dulu sebelum bayi. Ini membuat kawah juga dianggap sedulur tuwa yang kemudian
disebut kakang kawah. Setelah bayi lahir, proses itu diakhiri dengan keluarnya ari-ari (plasenta).
Karena keluar kemudian, plasenta ini disebut sedulur enom atau adhi ari-ari. Setiap kelahiran
akan membuat banyak darah keluar. Keluarnya darah (rah = getih) ini pada waktu proses
berakhir. Karena itu rahsa juga dianggap sebagai sedulur enom. Puser (tali pusat) bati umumnya
akan pupak (gugur) ketika bayi berumur tujuh hari. Tali pusat yang lepas ini dianggap saudara
bayi. Pusar inilah yang dianggap pusat saudara empat. Inilah yang disebut sedulur papat lima
pancer.
Sedulur papat lima pancer ini juga berarti bahwa manusia memiliki empat saudara
spiritual yang berupa hasrat dan satu jiwa (diri). Empat hasrat itu meliputi nafsu aluamah,

30
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

amarah, supiyah, dan mutmainah yang dituturkan dalam bahasa Jawa dari bahasa aslinya bahasa
Arab. Sedangkan jiwa atau diri merupakan unsur kelima yang menjadi pusat dan bertugas
mengendalikan empat unsur lainnya (Saputra, 2007:154).
Medan makna yang ada dalam mantra Ki Ageng Sumari dan Joko Hari Nugroho tak bisa
begitu saja dipahami karena penuh perlambang. Dalam konsep medan makna menurut Harimurti
Kridalaksana, medan makna (semantic field, semantik domain) adalah bagian dari sistem
semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam
semesta tertentu yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya
berhubungan.
Makna leksikal yang ada dalam dua mantra ini hanya bisa digambarkan dengan
mengusung latar belakang budaya mereka. Keduanya dari Jawa dan dengan pemahaman atas
realitas alam semesta dalam budaya Jawa, dua mantra ini bisa dipahami.
Kata-kata yang memiliki makna bersayap dan harus melihat kembali latar budayanya
agar mengetahui maknanya adalah:
matek aji
rogo mulyo roso jati ingsun
marang dumadi
surodirojoyoningrat
pangastuti
hayu rahayu

Kakang kawah adhi ari-ari


Sedulur papat lima pancer

Mantra Ki Ageng Sumari ini meski sekuat tenaga ingin menahan hujan tetapi juga
menunjukkan kerendahhatian sebagai manusia yang tak berdaya. Meski 80 persen usahanya
berhasil, tetap ada 20 persen yang tak bisa dilakukannya.
Dalam mantra Joko Hari Nugroho, penyebutan saudara spiritual ini untuk menguatkan
maksud. Menurutnya, semua tetap sesuai dengan kehendak alam tetapi dengan pendampingan
saudara spiritual ini dia merasa lebih kuat memohon.
Tanpa memahami budaya yang melatarbelakangi kedua pawang ini, makna leksikal
dalam mantra tak akan bisa didapat. Tanpa mengerti kisah panjang di belakang kalimat yang
diucapkan, mantra ini hanya berfungsi sebagai susunan kalimat atau bisa dianggap sebagai puisi.

D. Penutup
Mantra yang dilakukan pawang hujan Ki Ageng Sumari dan Joko Hari Nugroho memiliki
arti minta kepada Tuhan yang Mahakuasa agar hujan tidak turun di suatu tempat pada saat
tertentu.

31
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Medan makna dalam mantra pawang hujan Ki Ageng Sumari dan Joko Hari Nugroho
hanya dapat dimengerti dengan mengetahui latar belakang budaya keduanya dan latar belakang
bahasa yang digunakannya. Mereka menggunakan bahasa Jawa dan dalam setiap kata dan
kalimat memiliki arti khusus. Mantra yang dilafalkan tak hanya berupa deretan bunyi tetapi
penuh makna. Tanpa memahami budaya yang melatarbelakangi, mantra ini hanya menjadi puisi
yang tidak memiliki arti mendalam.
Ketika merapalkan mantra, ada ritual yang digunakan oleh keduanya. Ritual itu dipercaya
bisa menjadi alat untuk menguatkan maksud menunda turunnya hujan. Ki Ageng Sumari
melakukan ritual dengan pasa mutih, berpuasa dengan hanya makan nasi tanpa garam dan
minum air putih, selama tiga hari. Jadi, Ki Ageng Sumari tak bisa menerima job mendadak
karena dia harus menyiapkan diri.
Selain pasa mutih, sebelum hajatan diadakan, dia akan datang ke tempat itu untuk
memasang sepasang janur. Janur ini diikat pada tiang yang menjadi pusat acara. Jika acaranya
menggunakan panggung, maka janur diikat di dua tiang panggung. Jika acara dilakukan dalam
gedung, dia akan mengikat sepasang janur di pintu masuk, kanan dan kiri.
Kadang-kadang karena alasan teknis, mendung yang sudah penuh titik air hujan tak bisa
disibakkan. Jika sudah demikian, Ki Ageng Sumari akan menurunkan hujan sebelum acara. Jadi
ketika acara dimulai, langit sudah bersih.
Joko Hari Nugroho tak punya ritual khusus. Dia hanya salat lima waktu dan berdoa. Satu-
satunya alat yang digunakan adalah sapu lidi yang dipasang terbalik. Pada ujung sapu lidi ini
ditancapkan bawang merah, bawang putih, dan cabai. Menurut Joko Hari Nugroho, ini kebiasaan
warga Magetan ketika melangsungkan pernikahan. Karena biasanya mereka menyiapkan
masakan sendiri dalam jumlah besar dan memakai pekarangan terbuka, sapu lidi itu sebagai
sarana untuk menahan hujan agar acara memasak tetap lancar. Karena berurusan dengan dapur
maka perlambang yang digunakan dalam alat juga berhubungan dengan isi dapur.
Ritual atau laku mistik menurut Saputra (2007:xxiv) adalah proses ritual yang dilakukan
untuk mendapatkan kekuatan gaib. Dalam konsep Islam (santri), laku mistik dapat dilakukan
dengan salat lima waktu secara khusyuk dan memperbanyak dzikir. Sedangkan dalam konteks
tradisi atau abangan dapa dilakukan dengan cara puasa, semedi, dan lek-lekan. Laku mistik
tersebut sebenarnya diperlukan oleh seseorang sebagai perantara untuk mencapai tingkat
konsentrasi yang cukup tinggi yang kemudian menghasilkan tenaga psikokinetis.

Daftar Pustaka

Aminuddin. 2008. Semantik Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.

Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
32
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama.

Djajasudarma, Fatimah. 1999. Semantik 1. Bandung: Refika Aditama.

Hartarta, Arif. 2009. Mantra Jawa dalam penelitianmantra.blogspot.com.23 Juli.

Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan. Surabaya: Himpunan


Sarjana Kesusastraan Indonesia.

Hutomo, Suripan Sadi. 1998. Kentrung Warisan Budaya Tradisi Lisan Jawa. Malang:
Yayasan Mitra Alam Sejati.

Kushartanti, dkk. 2005. Pesona Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Parera, J.D. 2004. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.

Saputra, Heru S.P. 2007. Memuja Mantra. Jogjakarta: LKiS.

Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra
Wacana.

Suyono, Capt. R. P. 2009. Mistisisme Tengger. Jogjakarta: LKiS.

SAPAAN BAHASA MELAYU MANADO

DI KALANGAN ANAK MUDA

Nontje J. Pangemanan

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Manado

33
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk-bentuk dan fungsi kata sapaan


bahasa Melayu Manado yang digunakan kalangan muda untuk usia lebih tua dan usia
sebaya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif,
dengan teknik observasi dan wawancara. Penelitian ini menggunakan rancangan
sosiolingusitik. Hasil penelitian yang diperoleh memperlihatkan bentuk kata sapaan
bahasa Melayu Manado yang digunakan kalangan muda untuk usia lebih tua yakni:
ajus, father, om, mam/mams, mather, mace, nona/cewek, nyong, pace, sebe, dan
tanta. Bentuk-bentuk kata sapaan yang digunakan untuk usia sebaya, yang
menunjukkan hubungan keakraban: anjing, babi, bos, bots/botak, bro, cak, fren,
gocap, kambing, karapi, sob, tolek, uti, dan ungkek.

Kata kunci: sapaan, bahasa Melayu Manado, anak muda

This research was aimed at describing adressing terms and function Manado Malay
spoken by youths for older and of the samme age. This researh is the deskriptif
method of uses with observation and intervieu tekhnique. The socialinguitics desings
were used in the research. The results of research indicated to various dressing terms
of the uses spoken by youths Manado for older, such: ajus, father, ungcle, mam/mams
mather, mace, nona/cewek, nyong, pace, sebe, dan tanta. The addressing terms for of
the samme age, such: dog, pig, bos, bots/botak, bro, cak, fren, gocap, goat, karapi,
sob, tolek, uti, dan ungkek.

Key of word: forms of greetings, Malay Manado Language, youths

PENDAHULUAN

Di daerah Sulawesi Utara terdapat beragam bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa
pengantar dalam berinteraksi. Bahasa ini menjadi ciri penanda identitas para penuturnya, yang sering
disebut dialek regional. Salah satu dialek regional yang terdapat di Sulawesi Utara adalah Melayu
Manado. Penggunaan istilah Melayu Manado didasarkan pada perspektif leksikonnya dimana bahasa
Melayu Manado memperlihatkan banyak persamaan dengan bahasa Melayu. Terdapat kesamaan anasir
leksikon antara kedua bahasa tersebut, sehingga memperkuat penamaan ini. Pemakaian nama bahasa
Melayu Manado mengikuti istilah yang sering juga digunakan oleh penutur bahasa Melayu Manado.

Lalamentik dan Salea (1985) mengemukakan bahwa bahasa Melayu Manado merupakan lingua
franca antarberbagai etnis yang mendiami daerah Sulawesi Utara bahkan juga sebagian Sulawesi Tengah.
Dominasi penggunaan bahasa ini mengalahkan bahkan mengancam keberadaan bahasa-bahasa daerah

34
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

lainnya yang ada di Sulawesi Utara, seperti Minahasa, Sangihe dan Talaud, serta Bolaang Mongondow.
Ragam bahasa Melayu Manado yang dikenal sebagai bahasa Melayu Pasar (Manoppo, 1983) berstatus
regional sebagai bahasa provinsi karena penggunaannya menonjol di Sulawesi Utara (Lalamentik dan
Salea 1985). Namun, di kota Manadolah ragam bahasa ini begitu dominan digunakan. Oleh sebab itu,
kajian ini hanya dilakukan terhadap penutur bahasa Melayu Manado yang saat ini tinggal di kota Manado.

Penggunaan bahasa Melayu Manado oleh penuturnya menunjukkan keunikan, misalnya


penggunaan sapaan untuk menyapa, yang sering digunakan di kalangan anak muda (remaja dan pemuda).
Kaum muda di kota Manado menggunakan ragam tertentu untuk menyapa. Muncul penggunaan bentuk-
bentuk tertentu yang begitu khas untuk menyapa lawan tutur. Mereka melakukan pilihan bahasa untuk
menyapa bergantung pada situasi, siapa yang menjadi lawan bicara, dan topik yang dibicarakan. Sikap ini
didasarkan pada pandangan Hymes (1979:51) bahwa masyarakat tutur menggunakan pilihan bahasa
tertentu karena mereka memiliki pengetahuan mengenai aturan-aturan atau kaidah-kaidah untuk
mengintepretasi suatu bahasa. Realisasinya bisa dilihat pada penggunaan saapan.

Kridalaksana (dalam Amir, 2011:71) mengemukakan bahwa sistem sapaan adalah sistem yang
mengikat unsur-unsur bahasa yang menandai perbedaan status dan peran partisipan dalam komunikasi
dengan bahasa. Kridalaksana mengemukakan bahwa terdapat sembilan jenis kata sapaan dalam bahasa
Indonesia untuk menyapa seseorang, yakni: (1) kata ganti orang (kamu, engkau), (2) nama diri (Tuti,
Rijal), (3) istilah kekerabatan (bapak, ibu, kakak), (4) gelar dan pangkat (dokter, profesor, letnan, ustads,
(5) bentuk pelaku nomina (penonton, pendengar, pemirsa), (6) bentuk nomina –ku (Tuhanku, anakku,
sayangku), (7) kata deiksis (sini, situ, di situ), (8) bentuk nomina lain (awak, bung, tuan), dan (9) bentuk
zero (penghilangan kata sapaan).

Dalam peristiwa komunikasi antarpenutur bahasa Melayu Manado sering terjadi alih kode dan
campur kode dari bahasa tertentu, karena lawan tutur dan situasi yang dihadapi. Fenomena ini begitu
tampak dalam penggunaan kata sapaan yang sangat bervariasi. Kata sapaan dalam bahasa Indonesia,
bahasa Inggris, bahasa Melayu Manado, dan berbagai etnis yang ada di Sulawesi Utara sering
dikombinasikan dan digunakan untuk menyapa orang tertentu. Hal ini sejalan dengan pendapat Alwi,
dkk. (2000:258) muncul kata-kata penyapa pada dasarnya dipengaruhi oleh (l) letak geografi, (2) bahasa
daerah, (3) lingkungan sosial, dan (4) budaya bangsa.

Penggunaan bentuk-bentuk sapaan di kalangan anak muda penutur bahasa Melayu Manado begitu
unik dan menarik. Rombepayung (2012:3) menyatakan jika ditinjau dari aspek sosiolinguistik bentuk-
bentuk sapaan bahasa Melayu Manado menunjukkan kekhasan, yang mengadopsi sapaan dari beragam
bahasa dan dialek dan menciptakan sapaan tersendiri secara unik. Apa yang bagi penutur lain terdengar
kasar dan tidak sopan, tetapi bagi penutur bahasa Melayu Manado, terutama di kalangan anak muda
sapaan tersebut berterima dan tidak menimbulkan masalah. Bahkan sapaan yang digunakan
menunjukkan terjalinnya keakraban di antara mereka. Kata-kata sapaan seperti: anjing, babi, dan
kambing, yang merupakan kata makian begitu lazim digunakan untuk menyapa. Perhatikan contoh
percakapan yang dicontohkan berikut:

35
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Alo : Hei anjing da pi mana ngana so nyandak dapa-dapa lia?

―Hei anjing, kamu ke mana, sudah tidak lagi kelihatan?‖

Boy : Da pi kampung babi, da lia pa kita pe oma saki!

―Pergi ke kampung babi, mengunjungi nenek yang sakit!

Dialog antara Alo dan Boy di atas, sangat kasar. Alo menyapa si Boy dengan anjing, tetapi si Boy balas
menyapa Alo dengan babi. Akan tetapi, dari peristiwa tutur ini antara Alo dan Boy tidak merasa
tersinggung atau terjadi kesalahpahaman di antara mereka, bahkan mereka melanjutkan percakapan
dengan santainya. Bagi penutur lain, cara mereka menyapa mungkin sesuatu yang sulit diterima, karena
kasar dan tidak menunjukkan rasa hormat. Akan tetapi, begitulah realitas anak muda penutur bahasa
Melayu Manado mengembangkan gaya tersendiri dalam menyapa.

Fenomena penggunaan sapaan penutur bahasa Melayu Manado khususnya di kalangan anak
muda begitu menarik. Sapaan di sini menurut Kridalaksana (2008:214, adalah morfem, kata, atau frase
yang dipergunakan untuk saling merujuk dalam situasi pembicaraan dan yang berbeda-beda menurut
hubungan antarpembicara. Munculnya penggunaan kata sapaan dalam suatu peristiwa tutur bahasa
Melayu Manado di kalangan anak muda yang menggunakan kata-kata tertentu bisa dipengaruhi oleh
sistuasi atau lawan bicara yang dihadapi. Bila dalam situasi yang santai (alami) dan lawan bicara yang
dihadapi adalah usianya sebaya, maka sapaan menggunakan nama hewan antuk lawan tutur adalah hal
yang berterima. Bila orang yang dihadapi atau lawan tutur usianya lebih tua, maka sapaan menggunakan
nama hewan atau ciri-ciri fisik tidak akan digunakan. Mereka cenderung memilih sapaan-sapaan yang
lebih halus atau sopan.

Fenomena penggunaan kata sapaan kalangan anak muda di kota Manado dalam sebuah peristiwa
tutur sehari-hari di tempat pangkalan ojek, lapangan bermain bola, ataupun tempat-tempat berkumpul
anak muda menarik minat penulis untuk mengkajinya. Di tempat seperti inilah mereka bebas
mengkepresikan diri menyapa orang yang lebih tua dan dan teman sebaya. Ruang lingkup pembahasan
penelitian ini dibatasi pada interaksi verbal khususnya penggunaan sapaan dalam percakapan sehari-hari,
yang meliputi: bentuk-bentuk kata sapaan dan fungsi kata sapaan bahasa Melayu manado di kalangan
anak muda dari sudut pandang sosiolinguistik.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan sosiolinguistik. Penelitian ini
akan menghasilkan data verbal mengenai bentuk sapaan anak muda penutur bahasa Melayu Manado.
Penelitian ini akan dilakukan di kota Manado. Data penelitian diperoleh dari sejumlah informan. Untuk

36
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

mengumpulkan data digunakan teknik observasi dan wawancara. Observasi digunakan untuk melakukan
pengamatan secara langsung terhadap aktivitas anak muda di tempat-tempat biasa mereka berkumpul
melalui penyimakan, pencatatan, dan perekaman. Wawancara digunakan untuk mewawancarai secara
langsung informan yang sudah ditentukan untuk mendapatkan data mengenai penggunaan bentuk-bentuk
dan fungsi sapaan bahasa Melayu Manado di kalangan anak muda.

Analisis data penelitian dilakukan menggunakan model analisis model alir yaitu analisis selama
pengumpulan data dan setelah pengumpulan data berakhir. Langkah-langkah analisis yang dilakukan
adalah (a) mendeskripsikan data berupa kata-kata penyapa bahasa Melayu Manado yang digunakan
kalangan muda, (b) mengklasifikasikan bentuk-bentuk kata sapaan berdasarkan jenisnya, dan (c)
melakukan analisis terhadap fungsi penggunaan bentuk-bentuk kata sapaan bahasa Melayu Manado di
kalangan anak muda.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian diperoleh bentuk-bentuk dan fungsi sapaan bahasa Melayu Manado yang
sering digunakan anak muda dalam berinteraksi, baik terhadap orang yang lebih tua (orang tua) maupun
yang seusia (sebaya).

1. Bentuk Sapaan terhadap Orang yang Lebih Tua

Dari data yang dikumpulkan memperlihatkan bahwa terdapat bentuk kata sapaan yang khas
milik anak muda dalam bahasa Melayu Manado. Anak muda penutur bahasa Melayu Manado
menggunakan sapaan tertentu untuk orang yang lebih tua sebagai penghormatan. Bentuk sapaan yang
lazim digunakan anak muda penutur bahasa Melayu Manado untuk orang yang lebih tua sebagai berikut.

1) ajus
Kata ajus merupakan akronim dari ajudan setan yang bermakna mama/ibu. Kata sapaan ajus
merupakan sapaan khas anak muda untuk wanita/perempuan yang sudah menikah atau terlihat tua,
baik memiliki hubungan darah maupun tidak memiliki hubungan darah. Kata ini biasa digunakan
untuk menunjukkan rasa hormat terhadap orang yang ebih tua termasuk lanjut usia.
(1) Ajus tunggu ju pa kita ndak lama. (Mama tunggu saja saya, tidak lama.)
(2) Ajus, secapat jo tu kukis ne. (Mama, itu kue dibuat lebih cepat.)
2) father
Kata ini diambil dari bahasa Inggris, yang bisa berarti ayah/papa sebutan, untuk pria yang sudah
menikah/tua. Kata ini lazim digunakan anak mudah untuk menyapa meskipun tidak ada hubungan
darah di tempat tertentu seperti pangkalan ojek.

37
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

(3) Father nanti jo kita antar, jangan tako. (Ayah biar saya yang mengantar, tidak usah
khawatir.)
(4) Inga tu supik father, jangan golojo. (Ingat itu penyakit asam surat ayah, jangan rakus.)
3) om
Bentuk ini diambil dari bahasa Indonesia, memiliki arti orang yang sudah terlihat tua/menikah. Kata
ini menjadi sapaan umum, digunakan untuk semua pria yang sudah menikah atau terlihat tua. Kadang
juga, kata ini digunakan untuk meledek.
(5) Ndak usah naik pa dia pe motor om. (Tidak usah naik motornya om.)
(6) Ado, om pe mata karanjang dok e. (Aduh, om mata keranjang sekali.)
4) mam/mams
Bentuk mam atau mams disingkat dari mami. Bentuk mam dan mams ini digunakan secara bergantian
untuk menyebut perempuan yang sudah agak tua atau sudah menikah dan memiliki status sosial yang
tinggi. Namun, sapaan ini digunakan anak muda bila wanita tersebut dikenalnya.
(7) Adoh mam pe gaga do‘e tu baju. (Aduh mami, bagus sekali bajunya.)
(8) Mams do‗e pe jaha. (Mami jahat sekali ya.)
5) mather
Bentuk ini diambil dari bahasa Inggris, mother yang berarti ibu. Kata mather merupakan sapaan
untuk wanita yang sudah menikah/tua secara umum.
(9) Bagitu jo mather, so murah itu. (Begitu saja ibu, itu sudah murah.)
(10) E dodo‗ pa mather su pasung. (Aduh, ibu sudah kelihatan cantik.)
6) mace
Mace merupakan apaan untuk perempuan yang sudah tua, maupun yang masih muda. Bentuk ini
merupakan bentuk bahasa slang khas Melayu Manado. Biasanya digunakan untuk menyindir atau
mengungkapkan kejengkelan.
(11) Adoh pa mace dang so klar tu ibadah baru datang. (Aduh mace baru tiba padahal ibadah
sudah selesai.)
(12) He mace so pasung, so boleh jo basisir. (Hai mace sudah cantik, cukup sudah menyisir
rambut.)

7) nona/cewek

Bentuk ini diambil dari bahasa Indonesia, yang berarti gadis yang belum menikah atau kawin. Nona
dan cewek sering digunakan bergantian.

(13) He nona dari mana do‘e? (Hai gadis dari mana ya?)
(14) Boleh jo cewek kita antar pulang? (Bolekah gadis saya antar pulang?)
8) nyong

Bentuk ini digunakan untuk menyapa pria yang belum menikah, sapaan khas bahasa Melayu Manado,
baik yang sudah dikenal maupun yang belum dikenal.

(15) Nyong mo pi pa sapa, naik ojek jo. (Cowok mau pergi ke rumah siapa, naik ojek saja.)
(16) Dasar ngana nyong langkoi. (Dasar kamu pria yang sudah berumur.)

38
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

9) pace

Sapaan pace ini digunakan bagi orang yang sudah tua atau sangat tua (kakek) dan sering digunakan
untuk meledek dan menyindir. Bentuk ini merupakan bahasa slang padanan dari mace untuk
perempuan.

(17) So pace le masi suka bagaya. (Sudah pria tua masih suka bergaya.)
(18) Itu pace bahugel denga anak SMA. (Pria tua itu berselingkuh dengan anak SMA.)
10) sebe

Bentuk ini padanan dari ajus untuk perempuan. Kata sapaan sebe berarti lelaki yang sudah menikah
atau terlihat tua, akronim dari setan besar. Bentuk ini sering digunakan menjadi sapaan umum untuk
menunjukkan rasa hormat meskipun antara penutur dan lawan tutur tidak saling mengenal dan
maknanya telah meluas menjadi om atau opa.

(19) Sudah jo macam-macam sebe so tua kasiang. (Tidak usah macam-macam sebe, usia sudah
tua.)
(20) Kita pe sebe marah skali kalu kita ba mabo. (Sebe saya sangat marah kalau saya mabuk.)

11) tanta

Kata tanta merupakan variasi bentuk dari bahasa Indonesia tante sebagai sapaan umum, yang
digunakan untuk menyapa perempuan yang sudah menikah atau kelihatan tua.

(21) Bagitu jo tanta, biaya ojek skrang so bagitu. (Begitu saja tante, biaya sewa ojek sudah
seperti itu.)
(22) Kalu tanta mo pigi pasar, ndak usah naik mikro macet. (Kalau tante ke pasar tidak usah
naik mikrolet, macet.)

2. Sapaan untuk Usia Sebaya

Penutur bahasa Melayu Manado, khususnya kalangan anak muda begitu muda menyerap kata-
kata sapaan dari berbagai bahasa daerah lain, bahkan juga sapaan khas dialeg Jakarta. Kata-kata tersebut
digunakan untuk menyapa sahabat dekat, bahkan orang yang belum dikenal sekalipun yang usianya
sebaya. Sapaan ini digunakan untuk menunjukkan hubungan keakraban, rasa hormat, tetapi juga
kejengkelan. Karena itu, bentuk sapaan antara anak muda penutur bahasa Melayu Manado, begitu
beragam. Ada sapaan yang kedengaran sangat kasar, sering digunakan untuk memaki, yakni
menggunakan nama hewan (anjing, babi, kambing), namun yang unik di sini, di antara mereka tidak
terjadi salah paham. Ada juga sapaan yang diadopsi dari dialek jakarta, atau juga bahasa-bahasa daerah di
wilayah Sulawesi Utara dan sekitarnya, dan juga sapaan berdasarkan ciri-ciri fisik, seperti diuraikan
berikut.

1) anjing
39
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Anjing merupakan salah satu jenis hewan peliharaan masyarakat kota Manado yang bergama
Kristen. Daging hewan ini menjadi salah satu santapan khas, yang banyak digemari dan dinamakan RW
(rintek wuwuk/bulu halus). Namun, uniknya kata ini justeru sering digunakan oleh kalangan anak mudah
untuk menyapa sahabat karibnya. Dalam situasi lain, kata ini sering digunakan untuk memaki atau
mencemooh. Namun yang sangat unik, sapaan ini bisa diterima, bahkan lawan tutur bisa menyapa dengan
kata yang sama terhadap penutur.

(23) Adoh, anjing kiapa ngana baru datang? Aduh, anjing mengapa kamu baru datang?
(24) Kita so bilang ndak usah pigi anjing. (Saya sudah katakan, tidak usah pergi anjing.)

2) babi

Babi juga merupakan hewan peliharaan yang dagingnya dikonsumsi oleh sebagian masayarakat
kota Manado yang beragama Kristen. Dalam setiap acara makan-makan, menu daging ini wajib
disediakan. Uniknya, seperti kata anjing, kata babi bisa juga digunakan untuk menyapa di kalangan anak
muda, meskipun terdengar sangat kasar, karena sering digunakan untuk makian. Akan tetapi, sapaan ini
bisa diterima oleh para penutur yang memiliki hubungan keakraban, dan tidak menimbulkan masalah.

(25) Ngana sudah iko deng dorang babi. (Kamu tidak usah ikat mereka babi.)
(26) Ambe jo babi tu doi sewa ojek. (Ambil saja babi, itu uang ongkos ojek.)

3) bos

Sapaan ini sering digunakan oleh anak muda yang memiliki kesetaraan usia, terutama yang belum
dikenal. Sapaan ini begitu khas bagi anak muda di kota Manado dalam pergaulan.

(27) Bos mo pi mana dok. (Bos mau pergi ke mana ya?)


(28) Ya bos, ndak ada lima ribu se pulang. (Ya bos tidak ada uang kembali lima ribu rupiah.)

4) bots / botak

Bots sebagai plesetan dari botak sering digunakan bergantian. Sapaan ini digunakan berdasarkan
pada ciri-ciri fisik anak muda lelaki yang rambutnya digundul, sehingga kelihatan plontos.

(29) He botak/bots jang ngana lupa bawa itu HP. (Hei botak jangan lupa membawa HP).

(30) Bots/Botak sabantar tong pigi di latian koor. (Botak sebentar, kita pergi di latihan koor).

5) bro

Bentuk ini merupakan bentuk slang yang disingkat dari brother bahasa Inggris yang berarti
saudara laki-laki. Bentuk ini merupakan serapan dari dialeg Jakarta, yang begitu sering menjadi sapaan di
sinetron, bahkan acara komedi televisi. Sapaan ini begitu cepat menyebar digunakan juga oleh anak muda
yang ada di kota Manado. Bentuk ini biasa digunakan untuk anak muda yang sudah saling mengenal dan
belum saling mengenal. Sapaan ini digunakan untuk menunjukkan rasa persahabatan antara penutur dan
mitratutur, yang sebaya.
40
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

(31) Sudah jo bro kita so ndak jadi mo pigi. (Tidak usah teman, saya tidak jadi pergi.)

(32) Pigi jo bro nanti ngana so ndak mo dapa tampa. (Pergi saja teman, nanti kamu tidak bisa
mendapat tempat.)

6) cak

Cak sebenarnya merupakan kata sapaan yang digunakan di kalangan preman. Sapaan ini
ditujukan kepada pria/laki-lai yang bertato dan suka berkelahi. Sapaan ini telah meluas, tidak hanya
dikalangan preman tapi di kalangan anak muda secara umum.

(33) Cak kase kase pulang jo kita pe doi. (Cak kembalikan saja uangku.)

(34) Hei, cak pi mana so gaga bagitu. (Hai, cak mau ke mana sudah tampak gagah.)

7) ente

Ente bisa bermakna anda, kamu, engkau, yang diadopsi dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia.
Kata ini juga begitu populer digunakan anak muda di kota Manado untuk menyapa teman sebaya sebagai
orang kedua, baik sahabat, kenalan atau pun orang tidak dikenal, yang baru pertama kali bertemu.

(35) Ente pe motor do‗ so baru. (Motor kamu sudah baru.)

(36) Ente mo pi mana so? (Anda mau pergi ke mana ya?)

8) fren

Bentuk fren ini diadopsi dari bahasa Inggris friend yang bermakna kawan, sobat, teman, sahabat.
Perubahan bentuk ini disesuaiakan dengan pelafalan bahasa Melayau Manado. Kata fren ini begitu
dominan digunakan sebagai sapaan oleh kalangan anak muda di kota Manado baik yang saling mengenal
dan tidak mengenal.

(37) Fren nanti kita mo pigi pa ngana pe rumah. (Kawan, nanti saya yang akan pergi ke
rumahmu.

(38) Bagitu jo fren, so butul tu ngana da beking. (Begitu saja kawan, sudah benar yang kamu
lakukan.

9) gocap

Gocap merupakan bentuk akronim dari gondrong caparuni (rambut panjang jorok). Saapan ini
digunakan berdasarkan ciri fisik seseorang , yakni pria muda yang berambut panjang tapi kelihatan norak
atau jorok.

(39) Oh ngana gocap, rampas kita pe penumpnag. ( Oh, kamu gocap, merampas penumpang saya.
41
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

(40) Hei gocap, mari jo ibadah so mo mulai. (Hei gocap mari saja, ibadah sudah dimulai.)

10) kambing

Menyapa orang dengan kambing, secara etika tidak pantas, seperti anjing dan babi. Uniknya kata
ini justeru sering digunakan oleh kalangan anak mudah untuk menyapa sahabat karibnya, seperti anjing
dan babi. Uniknya juga sapaan ini, bisa diterima, bahkan lawan tutur bisa menyapa dengan kata yang
sama terhadap penutur. Namun, sapaan ini hanya bisa digunakan oleh penutur dan lawan tutur yang saling
mengenal dan bersahabat karib. Bila tidak, bisa menimbulkan kesalapamaan bahkan perkelahian.

(41) Pigi jo kambing bili roko. (Pergi saja kambing membeli rokok.)

(42) Napa itu kambing sue so muncul. (Itu kambing sialan sudah datang.)

11) karapi

Karapi ini sebenarya berasal dari bahasa Tontemboan yang berarti teman, kawan, sahabat.
Bentuk ini begitu dominan digunakan, karena jumlah penutur bahasa Tontemboan merupakan terbanyak
di antara penutur-penutur bahasa di Minahasa dan banyak bermukim di kota Manado. Oleh sebab itu,
sapaan karapi meluas penggunaannya di kalangan anak muda kota Manado. Sapaan ini digunakan untuk
menyapa orang yang sudah dikenal dan belum dikenal.

(43) Karapi, so boleh jo brenti ba miras. (Sobat, berhenti saja minum miras)
(44) Tenang jo karapi, ngana pe doi kita kase pulang. (Tenang saja kawan, uangmu nanti saya
kembalikan.)

12) sob

Sob diadopsi dari kata sobat bahasa Indonesia, sebagai akibat pemendekan, mengambil tiga huruf
awal, bukan suku. Sob bisa berarti teman, kawan, sobat. Bentuk ini juga merupakan bahasa slang yang
diciptakan sendiri oleh anak muda untuk menyapa sahabat, kenalan, dan orang yang tidak dikenal.

(45) Boleh tanya sob, di mana kang tu palak pe rumah? (Boleh bertanya sobat, di mana ya rumah
kepala lingkungan?)

(46) Sob datange pa kita pe acara HUT. (Sobat datang ya di acara HUT saya.)

13) tolek

Kata ini berasal dari bahasa Tolour sebagai salah satu bahasa di Minahasa, sebagai sapaan untuk
anak lelaki. Sapaan ini diadopsi juga oleh anak muda di kota Manado, meskipun maknanya berubah yakni
untuk menyapa laki-laki/pria muda yang menunjukkan sifat kampungan atau juga udik. Oleh sebab itu,
bentuk ini sering digunakan sebagai sapaan yang tujuannya untuk meledek sahabat. Sapaan ini agak sulit
dicari padanannya dengan bahasa Indonesia.

42
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

(47) Pigi jo tolek, tu penumpang so dari tadi ba tunggu. (Pergi saja tolek itu penumpang sudah
menunggu dari tadi.)

(48) Aduh ngana tolek, ngana pe papak da cari. (Adu kamu tolek, ayahmu sedang mencarimu.)

14) uti

Bentuk ini berasal dari bahasa Gorontalo, yang digunakan sebagai sapaan untuk laki-laki/pria.
Bentuk ini menjadi populer di kalangan anak muda kota Manado, karena di kota Manado, hampir semua
pusat keramaian seperti pasar dan terminal pedagangnya berasal dari gorontalo. Oleh sebab itu, sapaan ini
sering juga digunakan oleh anak muda kota Manado terhadap teman, yang wajah atau kulitnya
menunjukkan kemiripan dengan pria dari Gorontalo, meskipun orang tersebut tidak berasal dari
Gorontalo.

(49) Uti pi jo jemput jo kata ngana pe mamak. (Uti, pergilah menjemput ibumu.)

(50) Ngana uti, HP bekas bagi tu mo jual mahal. (Kamu uti, HP bekas mau dijual mahal.)

15) ungkek

Sama halnya denga uti, bentuk ini juga diadopsi dari bahasa daerah Sangihe dan Talaud. Kata ini
digunakan sebagai sapaan khas untuk laki/laki atau pria dalam bahasa Sangihe dan Talaud. Ungke sering
digunakan karena warga dari Sangihe dan Talaud banyak juga yang bermukim di Manado, dengan ciri
khas kulit hitam manis. Akan tetapi sapaan ini digunakan juga oleh anak muda kota Manado menyapa
temannya, sekalipun orang tersebut bukan berasal dari Sangihe dan Talaud, hanya karena orang tersebut
memiliki kulit yang agak hitam.

(51) Ungkek pi jemput jo kata pa om Toni. (Ungkek, pergi saja menjemput Bapak Toni.)

(52) Kita bilang pa ngana ungkek jangan ba miras. (Saya sudah katakan padamu ungkek,
berhenti minum miras.)

Beragamnya sapaan yang digunakan kalangan anak muda di kota Manado merupakan fenomena
berbahasa yang unik. Anak muda kota Manado mengembangkan bentuk-bentuk tersendiri untuk menyapa
orang yang lebih tua atau teman sebaya. Bentuk-bentuk sapaan yang digunakan diadopsi dari bahasa
Inggris, bahasa Indonesia, kemudian diubah sesuai pelafalan bahasa Melayu Manado, dari bahasa-bahasa
daerah tertentu, nama hewan ataupun ciri-ciri fisik seseorang. Oleh sebab itu, sapaan bahasa Melayu
Manado di kalangan anak muda tidak bisa kaitkan dengan etnis, tertentu di Sulawesi Utara, karena
fleksibiltas bahasa Melayu Manado untuk menyerap kosa kata baru dari bahasa-bahasa lain. Temuan ini
memperkuat penelitian (Rombepajung, 2012) yang meneliti pknggunaan Kata sapaan bahasa Melayu
Manado sebagai lingua franca di pasar Karombasan.

43
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Bentuk kata-kata sapaan dalam bahasa Melayu Manado yang digunakan kaum muda dalam
interaksi dapat dilihat dari dua segi, yakni untuk orang yang lebih tua usianya dan sapaan yang digunakan
untuk usia sebaya yang menunjukkan hubungan mkeakraban. Secara alami, terjadi kesepakatan antara
kalangan anak mudah menggunakan sapaan dalam bahsa Melayu Manado. Apa yang bagi penutur bahasa
daerah lain terdengar kasar dan tidak sopan, bagi anak muda penutur bahasa Melayu Manado biasa saja
dan berterima. Inilah kreasi berbahasa anak muda kota Manado menciptakan style tersendiri dalam hal
menyapa unik dan menarik. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukan oleh Hudson (1980:120)
pembicaraan merefleksikan relasi antara pembicara dan pendengar. Relasi ini menyebabkan terjalinnya
saling pengertian di antara mereka.

SIMPULAN

Bentuk kata sapaan dalam bahasa Melayu Manado yang digunakan anak muda di kota Manado
merupakan kombinasi antarberbagai bahasa, yakni bahasa Indonesia, Inggris, dialek Jakarta, dan bahasa-
bahasa daerah lainnya di Sulawesi Utara dan sekitarnya. Bentuk-bentuk kata sapaan bahasa Melayu
Manado yang digunakan kalangan muda dapat dilihat dari dua segi, yakni: sapaan untuk orang yang
usianya lebih tua dan sapaan untuk usia sebaya yang menunjukkan keakraban. Bentuk-bentuk sapaan
untuk usia lebih tua yang digunakan: ajus, father, om, mam, mams, mather, mace, nona/cewek, nyong,
pace, sebe, dan tanta. Bentuk-bentuk sapaan untuk usia sebaya, yang menunjukkan hubungan keakraban:
anjing, babi, bos, bots/botak, bro, cak, fren, gocap, kambing, karapi, sob, tolek, uti, dan ungkek.

DAFTAR RUJUKAN

Alwi, dkk. Tata Bahasa Indonesia Baku. Jakarta: Balai Pustaka. 2000.

Amir, J. Sapaan dalam Bahasa Bugis Dialeg Sidrap. Linguistik Indonesia. Jurnal Ilmiah Masyarakat
Linguistik Indonesia. Tahun ke-29, Nomor 1, Februari 2011. Halaman 69-83. Jakarta: MLI.

Chaer. A. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. 2004.

Hymes, D. H. 1979. On Communication Competence. Dalam J. B. Pride & Janet Holmes (Eds.).
Sosiolinguistic. New York: Penguin Books.
Kridalaksana, H. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia. 2008.

Lalamentik, W dan Salea-W. Partikel Bahasa Melayu Manado: Proyek P2T UNSRAT. 1985.

Manoppo, W,G. Struktur Bahasa Melayu Manado.Hasil Penelitian Tim Kanwil P dan K Provinsi
Sulawesi Utara. Fakultas Sastra Unsrat. 1983.

Rombepajung, P. A. 2012. Penggunaan Kata Sapaan Bahasa Melayu Manado sebagai Lingua Franca di
Pasar Karombasan. Tesis, tidak diterbitkan. Program Pascasarjana Universitas Negeri Manado
44
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Salea, W. Variasi Bahasa Melayu Manado: Duta Budaya no. 15 tahun 1981 Fakultas Sastra Unsrat. 1981.

Sudaryanto. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Pengantar Penelititan Wahana Kebudayaan
Secara Linguistis. Indonesia: Dutawacana. 1993.

SASTRA LISAN MADURA


(Sebuah Tinjauan Psikologis terhadap Sastra Lisan Madura)

Prof. Dr. Maryaeni, M.Pd.


Anas Ahmadi
Jurusan Sastra Indonesia,

Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang

Abstrak

Sastra lisan Madura merepresentasikan psikologi masyarakat Madura yang


memiliki keuletan, ketegasan, kekuatan, harga diri, kepahlawanan, dan keagamaan.
Sastra lisan Madura sebagai salah satu bentuk local wisdom, local knowledge, dan

45
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

local culture selayaknya diwariskan kepada generasi muda agar kelak mereka
masih mengenal, memahami, dan mencintai sastra lisan Madura.
Kata kunci: sastra lisan, psikologi, madura

Madurese oral literature represents the psychology of Madurese people who have
resilience, firmness, strength, dignity, heroism, and religion. Madurese oral
literature as a form of local wisdom, local knowledge, and local culture should be
passed on to the young generation so that they will know, understand and love
Madurese literature.
Keywords: oral literature, psychology, madura

PENDAHULUAN
Membaca dan menyoal tentang Madura adalah hal yang luar biasa. Bagaimana
tidak, jika kita lihat google books, terdapat 142 buku tentang Madura. Jika kita search
google, ada 131 juta data tentang Madura. Jika ditinjau dari segi bahasa, penutur bahasa
Madura saat ini menduduki peringkat ketiga setelah bahasa Jawa dan bahasa Sunda
(Putro, 2000:274; Rifai, 2007:50) dan penuturnya tersebar ke berbagai daerah yang ada di
Indonesia. Lebih jauh, Kisyani (2009:4) menyatakan bahwa bahasa Madura menduduki
peringkat ke-61 dunia dengan jumlah penutur sekitar 13,7 juta mengalahkan bahasa
Minangkabau peringkat ke-95 dunia dengan jumlah penutur 6,5 juta dan bahasa Batak
peringkat ke-99 dunia dengan jumlah penutur 6,2 juta.
Menggali Madura dari berbagai segi sangat menarik. Ibarat sumur, semakin
digali, semakin banyak air yang dikeluarkan. Beberapa istilah atau identitas bagi
masyarakat Madura sebagai ‗kaum bersarung‘, ‗tukang carok‘, ‗pengepul‘, dan yang
tidak ketinggalan ‗ramuan Madura‘. Identitas yang melekat pada image masyarakat luas
terhadap etnis Madura tersebut boleh kita
percaya, kita nafikan, atau kita abaikan. Dalam fakta kehidupan keseharian (ordinary) kita sering
mendengar bahwa orang Madura adalah sosok pelaut handal (Stenross, 2012). Mereka
disejajarkan dengan pelaut dari Sulawesi. Gaya mereka berlayar dan mencari ikan secara
tradisional benar-benar menunjukkan kehidupan manusia yang memiliki local knowledge yang
tinggi. Tanpa kompas, nelayan Madura berani mencari ikan jauh dari Madura bahkan sampai ke
luar negeri.Dalam hal agama, Madura adalah wilayah yang memiliki basis Islam yang kuat.
Dalam konteks religiusitas, masyarakat Madura dikenal memegang kuat, berpedoman pada
ajaran Islam dalam pola kehidupannya kendati pun menyisakan ―dilema,‖ untuk menyebut
adanya deviasi/kontradiksi antara ajaran Islam (formal dan substantif) dan pola perilaku
sosiokultural dalam praksis keberagamaan mereka itu. Pengakuan bahwa Islam sebagai ajaran
formal yang diyakini dan dipedomani dalam kehidupan individual etnik Madura itu ternyata
tidak selalu menampakkan linieritas pada sikap, pendirian, dan pola perilaku mereka
46
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

(Taufiqurrahman, 2007). Madura diakui atau tidak, memang sangat kental dengan Islam,
meskipun ada beberapa kesenjangan antara teori dan praktiknya.

Dalam fakta pekerjaan, mereka direpresentasikan sebagai sosok pekerja yang kuat, ulet,
dan tangguh (McCarthy et al, 2013). Karena itu, mereka boleh disebut juga dengan sosok yang
workaholik. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada masyarakat Madura, mereka sangat kreatif
dalam hal pekerjaan. Kita mungkin pernah dengan humor lisan,‖Kalau orang Jawa, minum air
mineral, trus dibuang botolnya. Tapi kalau orang Madura, buang air mineralnya ambil botolnya.‖
Artinya apa, orang Jawa, setelah minum air mineral, langsung saja botolnya dibuang. Tetapi bagi
orang Madura, bekas botol air mineral yang dibuang tersebut bisa dijadikan uang. Sungguh luar
biasa gaya entrepreneur mereka.

Dalam hal harga diri, orang Madura memiliki apa yang disebut dengan tradisi bertarung
ala carok (Smith, 1997; Latif, 2002 ). Ketika orang Madura punya masalah, terutama masalah
harkat dan matarabat diri/keluarga diinjak oleh orang lain, salah satu jalannya adalah carok.
Carok yang terdapat di masyarakat Madura ini mengingatkan kita pada tradisi bertarung Jepang,
yakni bushi (orang yang bersenjata, lebih akrab dengan istilah samurai). Bedanya, kalau carok
menggunakan senjata berupa celurit, sedangkan bushi menggunakan pedang.

Berkaitan dengan fenomena psikologi masyarakat Madura tersebut, dalam artikel ini
dieksplorasi psikologi masyarakat Madura yang terepresentasikan melalui sastra lisannya.
Melalui eksplorasi sastra lisan (oral literature) ini diharapkan (1) masyarakat Madura lebih
mengenal, mencintai, dan melestarikan sastra lisan dalam kehidupan keseharian; (2)
mengenalkan pada masyarakat Indonesia bahwa psikologi masyarakat bisa ditinjau dari sastra
lisannya; dan (3) munculnya penguatan sastra lisan di masyarakat Indonesia sebab sastra lisan
saat ini semakin teralienasi dari kehidupan manusia modern. Masyarakat sekarang, terutama
anak-anak/remaja, mereka lebih suka dengan game online, main ke mall, gadget, dan dunia
virtual yang lain. Mereka sudah mulai meminggirkan bahkan meninggalkan apa yang disebut
dengan sastra lisan.

SASTRA LISAN DAN PSIKOLOGI


Jika ditarik payung utama, sastra lisan adalah bagian dari folklor. Folklor secara
tradisional pada hakikatnya berkait dengan tradisi kolektif, baik lisan, setengah lisan,ataupun
bukan lisan (Dundes, 1965:3;Propp, 1984:4) yang mengarah pada pengetahuan tradisional
(traditional knowlegde). Namun, dalam konteks kontemporer, Sims (2011:8) memaparkan
bahwa folklor tidak hanya berkutat pada dunia yang meneliti pengetahuan tradisional
(traditional knowlegde). Folklor berkait dengan belajar yang informal, pengetahuan yang tidak
tinggi/modern tentang dunia, keyakinan/kepercayaan (beliefs), budaya (cultures), dan tradisi
(traditions) yang diungkapkan secara unik/kreatif melalui kata (oral), musik, kebiasaan, tindakan,
47
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

perilaku, dan material. Karena itu, folklorist modern tidak hanya berkutat pada dunia tradisional,
tetapi dunia modern. Mereka meneliti internet lore, game lore, urban lore, urban lore, dan death
lore, dan heal lore (kesemuanya disebut dengan istilah new lore/folklor kontemporer).

Berkait dengan sastra lisan, Bartlett (1965:244-245) menandaskan bahwa sastra lisan
pada hakikatnya berkait dengan sastra yang diperdengarkan. Sebagai sastra yang diperdengarkan,
sastra lisan lebih banyak hidup di kalangan masyarakat tradisional yang masih mempertahankan
unsur penceritaan/ pendongengan pada anak-turun mereka. Adapun untuk masyarakat perkotaan
lebih mempumpunkan pada unsur baca-tulis. Dengan demikian, sastra lisan lebih kuat dan masih
banyak hidup di masyarakat pedesaan.

Historisitas sastra lisan tidak lepas dari sosok Finnegan (1970;1977) yang berbicara
tentang sastra lisan di Afrika yang berkait dengan puisi, drama, musik, retorik, dan proverb dan
Ong (1982) yang berbicara tentang ‗kelisanan dan keberaksaraan‘. Di Indonesia, kita kenal
dengan sosok Prof. Dananjaja, Prof. Sutarto, Prof. Sudikan dan lain-lain yang menguatkan sastra
lisan di Indonesia. Selain mereka, juga banyak nama-nama lain yang menguatkan sastra lisan di
Indonesia. Secara umum, sastra lisan berkait dengan cerita rakyat, puisi rakyat, lagu rakyat,
ungkapan rakyat, teka-teki rakyat, peribahasa rakyat, dan pisuan rakyat.

Sastra lisan sebagai bentuk proses kreatif kolektif tidak lepas dari psikologi. Karena itu,
sastra lisan memengaruhi psikologi dan sebaliknya psikologi juga memengaruhi sastra lisan.
Karena itu, Wellek dan Warren (1990:90) mengungkapkan bahwa sastra tidak lepas dari
psikologi. Merujuk pada pandangan Wellek dan Warren, sastra lisan juga tidak lepas pula dari
konteks psikologi. Fenomena tersebut tampak jika kita merujuk pada teori oedipus kompleks
yang dimunculkan oleh Sigmund Freud ternyata istilah oedipus kompleks tersebut diambil dari
kisah mitologi Yunani Kuna ―Oedipus Rex‖; penamaan narsis untuk orang yang mencintai diri
sendiri dan suka memamerkan diri sendiri diambil dari kisah mitologi Yunani Kuna ―Narcissus‖;
penamaan teori elektra kompleks yang dikenalkan oleh Carl G. Jung diambil dari kisah Yunani
Kuna ―Electra‖. Dengan demikian, sastra lisan ternyata banyak memberikan kontribusi pada
dunia perpsikologian. Fenomena sastra lisan dalam perspektif psikologi banyak digarap oleh
psikolog, terutama psikoanalisis Sigmund Freud dan Psikoanalisis Carl G. Jung.

SASTRA LISAN MADURA DAN PSIKOLOGI MASYARAKAT MADURA

Sastra lisan Madura ada yang sudah dikenal oleh masyarakat banyak. Kita kenal dengan
sastra lisan genre peribahasa berikut.

48
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Abenthal ombhak, a asaphok angin (berbantal ombak, bergulingkan angin)

Ungkapan ini menunjukkan bahwa orang Madura sangat kenal, paham, dan cinta dengan laut.
Karena itu, mereka mengatakan berbantal ombak, bergulingkan laut bukan mengatakan
berbantalkan uang atau bergulingkan emas. Mereka, manusia Madura (terutama yang nelayan)
adalah sosok yang mendarahdaging dengan kehidupan laut. Mereka sejak kecil sudah dikenalkan
oleh orang tuanya tentang kehidupan laut. Peralatan melaut nelayan Madura juga sangat
tradisional, tetapi mereka bisa mendapatkan ikan yang banyak. Dengan demikian, mereka
memahami psikologi laut pula. Tidak hanya berhenti sampai di situ, dalam hal membuat kapal,
manusia Madura juga handal. Mereka paham cara membuat kapal yang bagus yang diolah dari
kayu-kayu yang bagus pula.

Angok pote tolang atembang pote mata ( lebih baik putih tulang dari pada putih mata)

Ungkapan tersebut berkait dengan psikologi masyarakat Madura sangat kuat dalam hal
menjunjung harga diri. Karena itu, mereka mending mati daripada malu. Mereka lebih baik mati
berkalang tanah daripada menanggung malu dalam kehidupan. Sering kita dengar ada orang
yang carok dan mengakibatkan nyawa melayang. Bagi masyarakat Madura, carok adalah salah
satu cara untuk menunjukkan harga diri. Ketika harga diri mereka diinjak-injak, hanya ada satu
kata lawan. Ketika pertarungan dilakukan melalui carok, salah satu mungkin jadi korban atau
kedua-duanya mati. Itulah psikologi kematian masyarakat Madura, mati yang estetis, mati yang
membawa dan menjunjung tinggi harga diri.

Aeng aghili (air yang mengalir)

Psikologi masyarakat Madura sangat istiqomah dalam menjalani kehidupan. Karena itu, marilah
kita lihat kehidupan manusia Madura yang terdapat di kota besar, misal Surabaya. Mulanya,
mereka datang di Surabaya dengan tangan kosong (dalam hal ini masih belum punya apa-apa).
Kemudian, mereka membuat bedeng-bedeng kecil dari seng ataupun kardus untuk rumah tinggal
sementara (ukurannya sekitar 2x3 m). Bedeng tersebut dibuat di sekitaran pinggir jalan ataupun
tepian sungai. Mereka hidup menjadi pemulung yang mencari barang-barang bekas yang
kemudan barang bekas tersebut dijual ke pengepul (biasanya tharetan dhibik [saudara sendiri]
sesama orang Madura]). Selang beberapa lama, sang pemulung tersebut mulai merombak
bedengnya dan diganti dengan tembok. Dalam proses mulai dari bedeng sampai rumah tembok,
mereka kuat untuk menjalani hidup yang keras dan berat sebab mereka berfilosofi hidup ini
adalah air yang mengalir.

49
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Legenda Perseorangan dan Legenda Keagamaan

Selain peribahasa, kita juga kenal dengan cerita rakyat Madura yang memiliki keunikan dan
kekhasan tersendiri jika dibandingkan dengan legenda masyarakat yang lain. Misal saja
‗Legenda Joko Thole‘ dan ‗Kek Lesap‘, yang mengisahkan sosok laki-laki perkasa dalam
menjalani kehidupan. Tokoh-tokoh ini juga melakukan perlawanan terhadap penjajah. Kita juga
kenal dengan legenda keagamaan di Madura, misal Adi Rasa, Adi Podai yang dianggap sebagai
wali oleh sebagian masyarakat Madura. Adi Rasa dan Adi Podai merupakan sosok pembawa
ajaran Islam ke wilayah kepulauan di Madura, terutama wilayah Raas dan Wilayah Sapudi.
Mereka adalah orang yang sakti sebab konon Adi Rasa dan Adi Podai bisa bertapa di pucuknya
ilalang (Ahmadi, 2012). Melalui dua cerita rakyat tersebut tampak secara proyektif bahwa
psikologi manusia Madura sebenarnya tidak lepas dari cerita rakyatnya. Ketika kita menelusuri
sastra lisan yang berkait dengan legenda perseorangan ataupun legenda keagamaan, tampak
bahwa manusia Madura memiliki rasa tanggung jawab ketika menjadi pemimpin. Dalam
konteks agama (religion), manusia Madura mampu menuju pada titik ‗sacred of religion‘.
Karena itu, tidak salah jika kaum bersarung tersebut banyak yang naik haji meskipun dari segi
penghasilan masih pas-pasan.

Ungkapan tentang Perempuan

Kita mungkin pernah dengar ungkapan bahwa ‗perempuan Madura itu ibarat membuat kopi,
maka yang bergerak cingkirnya‘. Nah, biasanya, kalau di Jawa atau standar umum, namanya
buat kopi yang bergerak sendoknya, bukan cingkirnya. Tapi, kalau Madura, yang gerak
cingkirnya, bukan sendoknya. Sungguh luar biasanya. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan
Madura adalah sosok perempuan yang luar biasa, tentunya tidak hanya masalah indoor
(permainan di dalam kamar), tetapi juga masalah outdoor (bekerja). Dalam hal pekerjaan,
perempuan Madura adalah sosok yang tangguh dan perkasa. Bagaimana tidak, sering kita
temukan di wilayah Madura, terutama kepulauan yang kecil-kecil, misal Kangean, Sapeken,
Gili, Raas, Sapudi, Talango, para perempuan sudah terbiasa membajak sawah, mencangkul,
menyunggi batu di atas kepala, ataupun memanjat nyiur.

Kemanakah Mamaca?

Terlepas dari uraian di atas, tampaknya perlu diingat lagi dan bahkan
dipertahankan sampai akhir jaman. Tentu kita ingat sastra lisan khas Madura, Mamaca,
yang sudah banyak dibicarakan dan diteliti pemerhati sastra dan pakar sastra lisan
Madura. Mengingat Mamaca merupakan sastra lisan khas Madura, tidak berlebihan bila

50
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

pada kesempatan ini diingat dan diungkap lagi meskipun di permukaannnya. Menarik dan sangat
bisa dipakai sebagai rujukan adalah penelitian yang dilakukan oleh AM Hermien Kusmayati dan
Suminto A Sayuti tahun 2010. Tiga kesimpulan penelitian tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, meskipun secara umum seni tradisi mengalami kemunduran, masih dijumpai
pendukung seni tradisi yang tegar dan mampu bergerak leluasa, seperti halnya seni tradisi lisan
Mamaca di Kabupaten Pamekasan Madura. Kedua, perkembangan tradisi lisan Mamaca di
Kabupaten Pamekasan dipelopori oleh Haji Sastra dan Bapak Suparno yang meneruskan tradisi
ini dari orang tua.Upaya pelsetarian tradisi lisan Mamaca dilakukan dengan dua cara, yaitu (1)
pentas secara rutin dan (2) melayani permintaan atau undangan dari masyarakat untuk acara-
acara tertentu. Ketiga, sastra lisan Mamaca berfungsi mendorong masyarakat menuju tataran
yang lebih baik melalui pesan-pesan yang disampaikan. Penonton akan memperoleh inspirasi
terkait dengan semangat hidup, optimisme, pencerahan, dan kebahagiaan. Nilai yang bersifat
filosofis-transendental dapat dipetik masyarakat penonton yang menghendaki melalui pergelaran
Mamaca. Pergelaran tradisi lisan ini menyajikan pembacaan teks-teks tertentu yang isinya
bersifat didaktis dan moralistis. Teks-teks yang dibawakan pada gelar Mamaca disesuaikan
dengan kepentingan yang punya hajat.
Tidak ubahnya seperti seni tradisi di lain tempat dan wilayah yang juga mengalami
―nasib‖ yang sama, yaitu menurun dan pelahan menghilang karena pelaku seni tradisi sangat
sulit menciptakan regenerasi, sebut saja seni tradisi ludruk di Mojokerto, Jombang, Surabaya,
dan Malang. Pentas-pentas rutin hampir tidak ada. Pentas ludruk bisa dinikmati pada saat-saat
tertentu, misalnya acara agustusan (perayaan Hari Kemerdekaan RI), pembukaan waktu giling di
pabrik gula, hajatan, dan kesempatan-kesempatan sejenis.

SIMPULAN

Berdasarkan paparan tersebut dapat disimpulkan tiga hal sebagai berikut. Pertama, sastra
lisan sebagai salah satu genre folklor sebenarnya merepresentasikan psikologi masyarakat.
Dalam hal ini, pemunculan psikologi masyarakat tersebut bisa jadi secara sadar (counscious)
ataupun (unsconscius). Kedua, sastra lisan Madura merepresentasikan psikologi masyarakat
Madura yang memiliki keuletan, ketegasan, kekuatan, harga diri, kepahlawanan, dan keagamaan.
Ketiga, sastra lisan Madura sebagai salah satu bentuk local wisdom, local knowledge, dan local
culture harus diwariskan kepada anak cucu agar kelak mereka masih mengenal, memahami, dan
mencintai sastra lisan Madura yang di dalamnya menunjukkan psikologi mereka.

DAFTAR RUJUKAN

Ahmadi, A. 2012. Sastra Lisan dan Psikologi. Surabaya: Unesa Press.


Bartlet, F.C. 1965.‖Some Experiment on the Introduction of the Folklor.‖ In Alan

51
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Dundes (ed). The Study of Folklore. Englewood, N.J.: Prentice Hall. 243-258.
Finnegan, R. 1970. Oral Literature in Africa . Oxford: Clarendon Press.
Finnegan, R. 1977. Oral Poetry: Its Nature, Significance, and Social Context
Cambridge: Cambridge University Press.
Propp, Vladimir. 1984. Theory and History of Folklore. Rusia: Minnesota.
Kisyani. 2009. ―Bahasa daerah di Indonesia: Meretas Jalan untuk Bertahan Hidup dan/atau
Berkembang‖. Di sampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu
Linguistik pada Fakultas Bahasa dan Seni, Unesa tanggal 26 Februari 2009.

Kusmayati, AM Hermien dan Sayuti, Suminto A.2010. Eksistensi Sastra Lisan Mamaca Di
Kabupaten Pamekasan, Madura.Yogyakarta

McCarthy, S. et al. 2013. Psychology at Work in Asia. Cambridge: Cambridge Scholarship.


Ong, WJ. 1982. Orality and Literacy: The Technologizing of the Word. London: Routledge.
Rifai, A. 2007. Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan, dan
Pandangan Hidupnya seperti yang dicitrakan Peribahasanya. Yogyakarta: Pilar.
Stenross, K. 2012. Madurese Seafarers. Prahus, Timber and Illegality on the Margins of the
Indonesian State. Hawaii : Honolulu, ASAA Southeast Asia Publications Series.
Sims, C. Martha. 2011. Living Folklore: An Introduction to the Study of People and Their
Traditions. Utah: Ohio State University.

Smith, G. 1997. Carok Violence in Madura: From Historical Conditions to Contemporary


Manifestations. Folk-Journal of the Danish Etnography Society, 39, 57:75.
Putro, H. 2000. ―Bahasa Indonesia, Ipteks, dan Era Globalisasi.‖ Dalam Alwi, H. (Peny.).
Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi: Pemantapan Peran Bahasa Sebagai Sarana
Pembangunan Bangsa. Jakarta: Depdiknas.
Taufiqurrahman. 2007. Identitas Budaya Madura. KARSA, 11 (1): 1—11.
Wiyata, A.L. 2002. Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta:
LkiS.

52
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

TINJAUAN KOREOGRAFIS DAN KEBERADAAN


TARI KABELA DI BOLAANG MONGONDOW

Sri Sunarmi
Program Studi Sendratasik
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Manado
Abstrak
Tari Kabela, merupakan tarian penyambutan tamu serta menunjukkan
Bagaimana Keberadaan Tari Kabela di Bolaang Mongondow. Tujuannya
menginventarisasi karya seni-budaya lokal, sehingga dengan adanya wujud
tersebut maka, mahasiswa Seni Tari akan mudah dan terpacu untuk dapat
belajar serta mencintai budaya miliknya khususnya seni tari tradisional daerah
sebagai tari daerah setempat. Jenis penelitian kualitatif dengan beberapa
pendekatan, yaitu Etno Art, Fungsi keberadaan, dipakai untuk menggambarkan
wujud koreografi dengan memahami fenomena yang menjadi kesadaran
masyarakat Bolaang Mongondow, kaitannya dengan fungsi keberadaan Tari
Kabela di tengah-tengah masyarakatnya. Pendekatan ini dapat melihat dan
53
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

mengungkap dua jawaban yang diajukan dalam penelitian ini. Tari Kabela
sebagai bentuk tari kreasi kerakyatan, yang dilakukan oleh para penari putri,
dan biasanya dilakukan secara berkelompok, atau lebih dari satu penari.
Penyajiannya dilaksanakan dengan gerak, yang diiringi alat musik rebana dan
suling. Medium-medium yang digunakan sangat sederhana. Penyajian terdiri
dari beberapa vokabuler gerak yang sederhana. Tari Kabela disajikan sebagai
tari penyambutan sebagai rasa penghormatan kepada para tamu yang datang
baik secara individual dalam acara resmi kenegaraan.
Kata kunci: tari kabela, etno art

Abstract
Kabela Dance, is a guest welcoming dance and shows how the existence of Kabela
Dance in Bolaang Mongondow. The aim is to inventory the works of local art and
culture, so that the existence of the form then, the Dance Arts students will be easy
and motivated to be able to learn and love their own culture, especially traditional
dance as a local dance area. The type of qualitative research with several approaches,
namely Etno Art, the function of existence, is used to describe the form of
choreography by understanding the phenomenon that became the consciousness of
Bolaang Mongondow community, its relation to the existence function of Kabela
Dance in the midst of its society. This approach can see and reveal the two answers
raised in this study. Kabela Dance as a dance form of popular creations, performed by
the female dancers, and usually done in groups, or more than one dancer. The
presentation is done by motion, accompanied by rebana and flute instruments. The
mediums used are very simple. The presentation consists of some simple vocabular
motion. Kabela Dance served as a welcoming dance as a tribute to the guests who
come both individually in official state events.
keywords: kabela dance, ethno art

54
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

PENDAHULUAN

Kebudayaan adalah suatu bentuk kehidupan dari sekelompok orang yang disebut
masyarakat, keberadaannya merupakan hasil dari proses kehidupan masyarakat sebelumnya yang
berkembang menurut tuntutan sejarahnya sendiri- sendiri (Kayam, 1981:16 ). Oleh karena itu,
tiap-tiap daerah memiliki karakteristik sosial-budaya yang berbeda-beda. Budaya masing-masing
daerah memberikan gambaran umum kehidupan masyarakat di tiap-tiap daerah. Seperti halnya
budaya dan kesenian yang ada didaerah Bolaang Mongondow.
Bolaang Mongondow merupakan salah satu suku/etnik daerah yang ada di provinsi
Sulawesi Utara. Bolaang Mongondow juga sama dengan daerah-daerah lain yang memiliki
budaya yang berbeda dengan daerah atau suku etnik lainya. Budaya agama, perilaku maupun
budaya berkesenian juga berbeda dengan budaya daerah yang lain. Namun dalam perkembangan
budaya di Bolaang Mongondow, kesenian, moralitas dan agama, serta perilaku pada hakikatnya
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Salah satu bagian dari kebudayaan adalah
kesenian, itulah sebabnya kesenian tidak dapat dipisahkan dari perjalanan kehidupan masyarakat
Indonesia.
Kesenian adalah salah satu unsur yang menyangga kebudayaan (Umar Kayam, 1981:38).
Kesenian yang merupakan warisan turun temurun secara berkesinambungan adalah kesenian
tradisional. Kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat. Sebagai salah satu bagian yang
penting dari kebudayaan, karena kesenian merupakan ungkapan kreativitas dari masyarakatnya
itu sendiri. Kesenian di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian seperti: seni
rupa, seni tari, seni musik, seni drama, dan lain sebagainya. Setiap daerah di Indonesia memiliki
jenis kesenian masing-masing dan ekspresi kesenian di tiap-tiap daerah itu merupakan pencitraan
atau merupakan cerminan dari kondisi perkembangan kebudayaan daerah tersebut. Kesenian
(seni atau karya seni) pada umumnya secara tidak langsung dipakai sebagai sarana untuk
pengembangan budaya masyarakat setempat dalam hubungannya dengan sistem budaya itu
sendiri (Sri sunarmi,2004.1). Salah satu bagian dari kesenian adalah seni tari. Seni tari ada
bermacam-macam jenisnya, salah satu dari jenis tari adalah tari tradisional.
Tari tradisional merupakan jenis tarian yang tumbuh dan berkembang karena tradisi
lingkungannya serta yang bersifat turun temurun secara berkesinambungan. Tari tradisional
mempunyi ciri dan karakteristik yang berbeda-beda sesuai daerah-daerah dimana tumbuh dan
berkembang, sehingga tari tradisional dapat mencerminkan kehidupan daerah serta
mencerminkan kekayaan harta warisan budaya bangsa Indonesia. Melalui tarian tradisonal dapat
terungkap ciri-ciri tertentu khas daerah yang bersangkutan, yang berbeda dengan daerah–daerah
yang lain. Oleh sebab itu, tari tradisional merupakan tari yang sangat memegang peranan penting
dalam kehidupan masyarakatnya, karena karakteristik atau ciri-ciri khas tersebut dapat
dimengerti untuk mencerminkan suatu daerahnya. Salah satu wujud seni atau kesenian yang ada
di suku/etnik Bolaang Mongondow, sebagai sarana dalam pengembangan budaya tersebut adalah
Tari Kabela.
55
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Tari Kabela merupakan tari tradisional yang diperagakan secara berkelompok. Tari
kelompok ini diperagakan oleh beberapa putri-putri cantik yang membawa kotak berisikan buah
pinang dan bunga-bunga tabur. Tari Kabela merupakan tari kelompok yang diperagakan sebagai
sarana penyambutan atau sebagai sarana pengucapan selamat datang kepada para tamu dalam
berbagai acara atau hajatan. Setiap acara atau hajatan baik formal maupun nonformal di daerah
Sulawesi Utara, apalagi di daerah Bolaang Mongondow, penampilan Tari Kabela selalu
mengawali acara atau hajatan dimulai.
Sampai pada dewasa ini, Tari Kabela merupakan tari tradisional sebagai warisan dari
pendahulu yang secara turun temurun, serta masih eksis dan masih selalu ditampilkan dalam
setiap acara-acara atau hajatan di daerahnya. Sepertinya Tari Kabela mempunyai peranan yang
sangat penting dalam kehidupan masyarakat di daerah Bolaang Mongondow. Selain hal tersebut,
Tari Kabela juga merupakan tari yang dapat mencerminkan ciri khas daerah Bolaang
Mongondow.

Namun dengan adanya kemajuan teknologi di zaman globalisasi sekarang ini telah
banyak menjanjikan dan memberikan pesona yang baru kepada masyarakat, sehingga banyak
seni-seni atau tari-tari yang hilang atau punah karena telah dipengaruhi globalisasi tersebut. Pola
perubahan hidup yang baru lebih menawarkan cita-rasa yang terkesan lebih maju dibandingkan
dengan cita-rasa ekspresi budaya lokal sehingga anak-anak muda, khususnya anak-anak sekolah,
karena berbagai macam sebab lebih terpesona dengan aneka gaya, pola dan cara hidup global
dan tidak tertarik dengan budayanya sendiri. Pernyataan ini mengindikasikan adanya suatu
kecemasan masyarakat dalam menatap kelangsungan hidup tari tari tradisional, sebagai tradisi
budaya miliknya.
Oleh sebab itu, dengan kemajuan tehnologi di zaman yang telah modern atau zaman
globalisasi sekarang ini, sebagai bangsa Indonesia berkewajiban untuk menjaga, melestarikan
serta mengembangkannya kedunia yang lebih luas. Artinya, demi kemajuan zaman tidak
menampik kemajuan tehnologi namun perlu adanya usaha atau sikap yang lebih selektif mungkin
serta, berkewajiban untuk menjaga seni-seni tradional khususnya tari-tari tradisional yang ada di
Indonesia ini. Seperti dijelaskan oleh Kartodirjo, dalam buku penelitian dan pengembangan
Historiografi Indonesia suatu Alternatif, bahwa :

‖Modernisasi bukan berarti keharusan untuk membuang atau menghilangkan nilai-nilai


masa lampau atau tradisonal, karena masih banyak yang relevan dan telah diuji secara
empiris sehingga tidak lapuk olah zaman‖ . (Kartodirjo, 1982:124)

Berdasarkan hal tersebut, tampak gejala yang menarik untuk dicermati, serta dijadikan
permasalahan yang menjadi pokok perhatian penelitian. Adapun masalah tersebut dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1) Bagaimana wujud koreografi Tari Kabela?
56
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

2) Bagaimana keberadaan Tari Kabela di Bolaang Mongondow?

Penelitian bersifat kualitatif dengan beberapa pendekatan pada Tari Kabela ini dibingkai
pada ―literatur lisan‖ dan dipahami sebagai suatu teks, untuk memunculkan verbalitas dengan
berbagai konsepsi Etno Art, keberadaan fungsi Tari Kabela di tengah-tengah kehidupan
masyarakat Bolaang Mongondow. Pendekatan tersebut dipakai untuk memahami fenomena yang
menjadi kesadaran untuk mengungkap koreografis serta keberadaan Tari Kabela. Informasi
seniman Kabela ataupun data-data audio dan audio-visual akan dipahami sebagai suatu dokumen
yang terbuka untuk dideskripsikan. Keberadaan atau kehidupan sebuah kebudayaan atau
kesenian sangat di tentukan oleh kondisi lingkungan masyarakat pendukunganya (Umar Kayam,
1981:38). Pemikiran Umar Kayam tersebut untuk melihat keberadaan Tari Kabela serta untuk
mendapatkan gambaran Tari Kabela dalam kehidupan masyarakat Bolaang Mongondow
dikarenakan adanya tuntutan zaman yang selalu berubah. Koentjaraningrat mengatakan bahwa
manusia sebagai pendukung kebudayaan, terdiri dari latar belakang kebudayaan yang berbeda-
beda. Mereka saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama sehingga
kebudayaan-kebudayaan tersebut berubah sifatnya yang khas serta berubah wujudnya menjadi
unsur-unsur kebudayaan campuran.
Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan di atas, dapat digunakan sebagai acuan atau
landasan serta sebagai pendukung dalam penelitian ini. Selain itu, dalam penelitian ini juga lebih
memperhatikan kesadaran dan minat masyarakat tehadap Tari Kabela yang merupakan salah satu
kesenian tradisional daerah Bolaang Mongondow. Hal ini juga dengan memperhatikan
bagaimana munculnya Tari Kabela di tengah-tengah masyarakatnya, serta bagaimana Tari
Kabela itu digunakan oleh masyarakat Bolaang Mongondow.

METODE
Penelitian terhadap koreografi Tari Kabela menggunakan kajian terhadap teks koreografi
dengan menguraikan secara detail medium yang melekat. Penelitian yang dilakukan merupakan
penelitian kualitatif dengan melaporkan penelitian dalam bentuk etno art. Untuk itu, deskripsi
terhadap teks pertunjukan Tari Kabela dalam kehidupan sosial budaya masyarakatnya.
Pendekatan Etno Art dalam penelitian ini berusaha mendeskripsikan fungsi keberadaan, dipakai
untuk menggambarkan wujud koreografi dengan memahami fenomena yang menjadi kesadaran
masyarakat Bolaang Mongondow, kaitannya dengan fungsi keberadaan Tari Kabela di tengah-
tengah masyarakatnya.

PEMBAHASAN

A. Tinjauan Koreografis Tari Kabela.

57
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Nama dari Tari Kabela diambil dari properti yang digunakan dalam tarian tersebut, yaitu
Kabela. Properti adalah alat perlengkapan yang dipergunakan oleh penari di atas pentas, yang
digunakan untuk memperjelas tema serta maksud yang akan disampaikan. Namun pada Tari
Kabela, alat ini selain untuk memperjelas tema dan maksud dari tariannya, dan bukan merupakan
busana melainkan properti tersebut merupakan sesuatu alat yang digunakan untuk menari
sebagai alat yang ditarikan. Alat atau properti dalam Tari Kabela ini sebagai simbol yang
mempunyai fungsi dan makna yang ada padanya ( Wawancara dengan Roy Kumaat, Pelatih Tari
Kabela: 16 agustus 2011). Dipertegas lagi oleh Ginupit6, bahwa, properti yang digunakan dalam
Tari Kabela yaitu menggunakan Kabela. Kabela adalah benda berbentuk kotak atau berbentuk
kubus yang merupakan suatu wadah atau tempat ramuan – ramuan kinang.
Tari Kabela merupakan salah satu wujud seni tari tradisional rakyat Bolaang
Mongondow. Di samping karena tumbuh dan berkembang pada masyarakat juga karena
merupakan hasil kreativitas masyarakat Bolaang Mongondow, wujud fisik dari Tari Kabela
adalah tari yang yang diperankan atau dimainkan oleh sekelompok penari putri, dengan jumlah
penari tergantung pada kebutuhan. Seperti diungkapkan di dalam Ensiklopedi Umum, yang
menyatakan bahwa Tari Kabela adalah tarian rakyat yang sangat populer di daerah Bolaang
Mongondow, Sulawesi Utara. Di dalam ensiklopedi disebutkan bahwa tarian ini dibawakan oleh
penari-penari putri. Tari Kabela biasa disajikan pada acara atau hajatan penyambutan tamu
(Pringgodigdo, 1977: 649).
Penyajian Tari Kabela dilakukan hanya dengan menggunakan peralatan yang sangat
sederhana. Ini sesuai dengan pengertian tari rakyat yang pernah dirumuskan oleh Humardani
(1983:6) yang mengatakan bahwa ―Seni rakyat tidak memerlukan gerak medum [sic!]7yang jauh,
hingga tidak menuntut persiapan dan latihan yang lama untuk perwujudan atau peragaan atau
hayatan yang wajar‖. Berdasarkan perspektif di atas, maka Tari Kabela dapat dikatakan sebagai
suatu wujud seni tradisional rakyat. Eksistensinya tampak dan hidup secara turun temurun dari
generasi ke generasi hingga sekarang. Tari Kabela juga telah dikembangkan sedemikian rupa,
dan bahkan berkembang menjadi suatu bentuk kesenian yang mepresentasikan ciri kultural
masyarakat Bolaang Mongondow ( Pringgodigdo, 1977:649).

Wujud Tari Kabela merupakan tari yang ditarikan oleh beberapa penari wanita dengan
membawa properti atau sarana yang dinamakan kabela yang berbentuk kubus persegi panjang
dengan berisikan ramuan-ramuan kinang. Biasanya jumlah penari sesuai dengan kebutuhan,
namun biasanya selalu berkelompok. Penari-penari wanita atau putri dalam tampilannya
menggunakan tata busana maupun tata rias yang sama atau seragam, sehingga tampak seperti
wanita kembar. Penari-penari tersebut menampilkan gerakan- gerakan yang sama dengan lemah
gemulai berputar-putar sambil membuat formasi-fomasi atau pola lantai. Adapun formasi-
6
Ginupit, wawancara tanggal 15 Juli 2011.
7
Maksud dari medum yang tersebut adalah medium. Jadi yang kata medum hanyalah salah cetak pada buku
kutipan.
58
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

formasi diantaranya formasi lingkaran, segi tiga, garis sejajar, formasi berbentuk V, dan berbaris
sejajar.
Adapun gerak-gerak yang ditampilkan sangat lembut dan mengalir mengikuti irama
musik. Gerak-gerak yang ditampilkan seolah-seolah gerak yang bermakna para wanita-wanita
sedang melakukan bersolek atau merias diri. Selain itu, disela-sela tampilan gerak, ada gerakan
yang seolah-olah gerak akrobatik, yaitu gerak duduk dengan atraksi kayang.
Tampilan Tari Kabela ini biasanya ditampilkan di tengah-tengah para tamu atau dimuka
para tamu-tamu di setiap acara atau hajatan baik formal maupun nonformal. Mereka bergerak-
gerak secara serempak, bersama-sama, dengan gerakan-gerakan seragam mengikuti irama musik
pengiring. Gerakan dilakukan dengan cara yang sangat sederhana. Namun, pengamatan sehari-
hari menunjukkan bahwa anggota badan yang digunakan sebagai medium paling dominan adalah
tangan sambil memegang Kabela dibandingkan dengan kaki. Sebab dominasi gerak yang paling
menonjol adalah gerak tangan dari pada gerakan kaki. Gerakan kaki seolah-olah cuma bergerak
silang-silang dan lebih banyak gerak jalan dengan langkah kecil-kecil dan jinjit-jinjit.
Volume gerak yang digunakan banyak menggunakan volume yang luas tetapi pada
gerakan tangan yang diputar-putar atau ukel-ukel ebih banyak menggunakan volume yang
sempit.8. Namun, menurut Damopilii sebagai orang yang mencipta Tari Kabela bahwa bentuk-
bentuk gerak yang lebih bersifat dinamis serta bersifat artistik sering kali sangat
dipertimbangkan. Gerak kaki, tangan, maupun ungkapan-ungkapan verbal yang terekspresi lewat
gerakan maknawi yang terangkai dalam tempo dan irama yang tetap, ajeg, yang ditentukan oleh
irama musik iringan tarinya.
Dalam kaitannya dengan musik, tanpa vokal, terdengar suara iringan instrumen yang
disebut kulintang dan suara suling sebagai melodi, juga suara alat perkusi rebana. Irama yang
digunakan dalam Tari Kabela sepertinya mengalun lembut, mengalir serta sedikit ada tekanan-
tekanan dan sepertinya kelihatan monoton dan beriramakan melankolis. Tempo yang ada pada
Tari Kabela kelihatan teratur mengikuti irama yang melankolis namun selalu tampak ceria
Pada Tari Kabela juga menggunakan vokabuler-vokabuler9 gerak yang disesuaikan
dengan maksud dan isi dari tema yang ada padanya, yaitu merupakan sambutan penghormatan
kepada tamu. Adapun alur bentuk sambutan dan penghormatan tersebut adalah dimulai dengan
persiapan bersolek atau berdandan merias diri untuk menyambut para tamu-tamu. Setelah merias
diri juga mempersiapkan sarana penyambutan yaitu ramuan-ramuan kinang yang akan diberikan
kepada para tamu. Sifat dan bentuk vokabuler gerak itu pun sedemikian rupa spesifik pada

8Volume gerak adalah jauh dan dekatnya jarak jangkauan gerakan, baik gerak tangan maupun gerakan kaki yang
dihitung dari jarak badan penari. Volume gerak yang luas berarti jangkauan geraknya jauh dengan jarak badan
penari itu sendiri, sedangkan volume gerak yang sempit berarti jangkauan geraknya dekat dengan jarak badan penari
itu sendiri.
9
Pengertian vokabuler didalam dunia tari pada umumnya merupakan beberapa gerak yang dirangkai menjadi satu
kesatuan gerak.
59
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

masing-masing adegan, sesuai adegan per adegannya, atau sesuai dengan alur tema isi Tari
Kabela sebagai tari penyambutan,atau penghormatan.
Namun pada prinsipnya, dalam Tari Kabela menggunakan vokabuler gerak atau istilah
kesatuan gerak yang dirangkai menjadi satu. Vokabuler yang digunakan dalam Tari Kabela dapat
terinventarisir terdiri dari vokabuler gerak tangan, kaki serta vokabuler gerak kepala. Adapun
vokabuler-vokabuler tersebut yaitu gerak pembuka, gerak hormat pada tamu, gerak
mempersilahkan tamu masuk, mempersilahkan tamu duduk, gerak mengelilingi Kabela, gerak
kayang, gerak merias diri yang diantaranya gerak menyisir rambut, gerak memakai bedak,
memakai pencil alis, dan juga bercermin atau gerak seolah-olah lagi berkaca di muka cermin.
Selain itu juga, gerak persiapan untuk memakan kinang, yang dimulai dengan mengupas buah
pinang, memakan daun sirih.
Gerak-gerak pembuka ini terdiri dari gerak kedua tangan memegang Kabelanya. Kabela
diletakkan di atas telapak tangan kiri sejajar bahu dan tangan kanan di atas kabela dengan posisi
telapak tangan menghadap kedepan, dan jari-jari tengah dan ibu jari kanan dijepit, atau bentuk
ngithing. Selain itu juga gerak tangan diukel, atau diputar-putar di atas kabela. Selanjutnya juga
gerak lembehan yaitu gerak tangan kanan yang diputar atau diukel di samping bawah sejajar
pinggul, dan pandangan kepala mengikuti gerak tangan kanan. Dengan posisi kaki sejajar badan
berusaha naik turun-naik turun.
Vokabuler gerak hormat sepertinya merupakan gerak kabela yang diayun-ayun
kesamping kiri dan samping kanan sambil diputar-putr di atas kepala, yang kemudian kabela
juga dilepas yaitu diletakkan di lantai. Selain vokabuler hormat tersebut juga ada vokabuler
hormat yang lain, yaitu kedua tangan silang di depan dada, kedua tangan ditarik kesamping kiri,
dilanjutkan kedua tangan sejajar bahu badan naik dan lurus ke depan, yang dilanjutkan kedua
tangan diangkat di atas kepala secara bersamaan. Dengan posisi kedua telapak tangan
menghadap ke atas dan semua ujung jari saling bersentuhan. Selanjutnya, kedua tangan perlahan-
lahan turun diletakan di atas paha diikuti badan juga turun. Kemudian dilanjutkan kedua telapak
tangan bertemu di depan dada seperti posisi sembah sambil posisi badan dan kepala tunduk dan
hormat.10
Vokabuler dengan makna mempersilahkan tamu masuk, dimulai kedua tangan silang di
depan dada, dilanjutkan kedua tangan ditarik, tangan kanan ditarik ke atas samping kanan dan
diikuti pandangan ke atas dengan posisi badan miring kekanan sambil badan agak miring
dengan gerakan badan naik turun. Sedangkan tangan kiri ditarik ke samping bawah sejajar
dengan pinggul sebelah kiri.
Vokabuler dengan makna mempersilahkan tamu duduk, dimulai poosisi duduk
berlutut.Kemudian tangan kanan ditarik ke samping kanan belakang, sedangkan tangan kiri
kedepan sejajar dada dengan kedua tangan di ukel-ukel sambil badan digerak-gerak naik turun.

10
Lihat, Diktat Kumpulan Tari Daerah Sulawesi Utara, Taman Budaya Propinsi Sulawesi Utara. Manado: 1993. p.
57.
60
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Dan sebaliknya, tangan kiri juga ganti ditarik ke samping kiri belakang tangan kanan di depan
dada diukel-ukel sambil badan digerak-gerakan naik turun secara bergantian. Selanjutnya, tangan
kanan bergerak di atas lutut, dan tangan kiiri ditarik ke atas sejajar kepala dengan ukel-ukel.
Masih dalam vokabuler ini, dilanjutkan gerak mengelilingi kabela. Gerak ini dimulai
dengan posisi berdiri menghadap kabela, kaki kanan melangkah serong kiri diikuti kaki kiri
melangkah ke belakang kaki kanan. Tumit kaki kiri diangkat dan tangan kanan sejajar lutut
sambil gerakan ukel-ukel. Sedangkan tangan kiri sejajar kepala juga diukel-ukel dilanjutkan
kaki kana melangkah di tempat sambil badan bergerak naik turun. Kemudian, kaki kiri
melangkah dengan putar ke kanan, dan tangan kiri ditarik kebawah sejajar lutut dan posisi tangan
kiri di atas kabela. Kemudian tangan kanan ditarik sejajar kepala dan digerak-gerak ukel diikuti
kaki kanan melangkah ke belakang arah kaki kiri. Posisi tumit diangkat dan selanjutnya kaki
kiri melangkah di tempat sambil badannya digerakkan naik turun.
Berikutnya adalah vokabuler gerak atraksi, yaitu gerakan kayang. Vokabuler gerak ini
dimulai dengan posisi duduk dan gerakan badan yang kayang atau melengkung posisi seperti
gerak senam rol belakang, disertai kedua tangan memegang kabela secara perlahan-lahan badan
melengkung ke belakang sambil meletakkan kabela ke arah belakang badan. Selanjutnya
divariasi dengan gerakan badan miring dan kedua tangan gerak ukel di depan dada, dan ditarik
ke arah lutut sambil bergerak ukel-ukel. Selanjutnya gerak mengambil kabela lagi dengan posisi
duduk sambil kayang, yang kemudian diletakkan di atas lantai lagi di depan badan.
Berikutnya adalah Vokabuler gerak dengan makna menyisir rambut. Vokabuler gerak ini
dimulai dengan tangan kiri di depan sejajar bahu telapak tangan menghadap ke arah mata.
Tangan kanan digerakan di atas kepala bagian depan ke arah belakang kepala. Tangan kanan di
depan sejajar bahu, dan telapak tangan menghadap ke arah mata. Sedangkan tangan kiri digerak
ke arah kepala dari depan kebelakang kepala. Demikian juga vokabuler gerak dengan makna
gerak memakai bedak, yang dmulai dengan gerakan layaknya gadis-gadis sedang berbedak, yaitu
memakai bedak sama dengan gerakan pada gerakan menyisir rambut, namun gerakan tangan
kanan atau kiri posisinya diarahkan ke arah pipi dan bukan ke arah kepala.
Vokabuler gerak dengan makna gerak mengupas kulit buah pinang. Vokabuler gerak ini
dimulai dengan tangan kiri ditekuk di depan dada, dengan telapak tangan mengahadap ke arah
dada. Selanjutnya, tangan kanan dari depan dada bergerak melingkar ke arah atas tangan kiri.
Kemudian bergerak ke bawah sambil diikuti badan menunduk. Tangan kanan diangkat dengan
melewati tangan kiri dan telapak tangan menghadap ke arah depan.
Vokabuler gerak dengan makna gerak makan daun sirih. Vokabuler gerak ini dimulai
gerakan kedua tangan bergerak di depan dada, dan tangan kanan ditarik ke arah depan mulut di
sebelah samping kiri. Sedangkan tangan kiri ke depan sejajar bahu dan digerak-gerakan,
kemudian tangan kanan seolah-olah membuang ke arah belakang.
Vokabuler gerak dengan makna gerak memakai pencil alis untuk mempertegas bulu alis.
Gerakan ini dimulai dengan posisi duduk dan gerakan jari-jari tangan dan ibu jari kedua tangan

61
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

dijepit serta digerak-gerakan, dan tangan kanan mendekati alis sebelah kanan, dan badan sambil
bergerak agak miring. Tangan kiri bergerak di depan sejajar bahu. Demikian juga bergantian
gerak tangan kiri mendekati alis sebelah kiri, dan badannya dimiringkan ke arah kiri pula.
Tangan kanan bergerak di depan sejajar bahu pula.
Vokabuler gerak dengan makna gerak sedang bercermin. Vokabuler gerak ini dimulai
masih dalan keadaan posisi duduk, berlutut. Kedua tangan diangkat kedepan dada dan tangan
diputar-putar atau diukel-ukel di depan dada perlahan-lahan bergerak ke arah serong kanan dan
pandangan ke arah ketelapak kedua tangan sambil kepala digeleng-kekanan dan geleng kekiri.
Vokabuler gerak tabur bunga, dimulai dengan gerakan penutup kabela dibuka, dan kedua
tangan menjepit bunga yang ada di dalam kabela. Selanjutnya tangan diangkat dan menyentuh
bahu kanan, dengan posisi duduk serong ke arah kiri sambil badan miring ke arah kanan.
Berikutnya adalah kedua tangan dipindah dibahu sebelah kiri dan badan agak miring kekiri. Dan
kedua tangan digerakan kedepan dada sambil badan tunduk, dan melempar bunga ke arah atas,
dengan cara jari-jari digerak-gerakkan sambil melebar. Berikutnya, kedua tangan ditarik ke
depan dada, telapak tangan dipertemukan sambil tunduk. Selanjutnya, secara perlahan-lahan
bergerak serong kanan, dan menaburkan bunga ke depan, dan badan perlahan-lahan menghadap
kedepan juga. Selanjutnya adalah gerak dengan menutup kabela dan tangan di posisi di atas
penutup kabela.
Berikutnya adalah Vokabuler gerak penutup. Vokabuler ini dimulai dengan badan
menunduk dan putar kanan kira 180 derajat, kemudian kabela diayun-ayun ke samping kanan
ayun ke samping kiri dengan badab digerakan naik turun sambil lari-lari kecil di tempat dan
selanjutnya adalah gerak lari seperti gerak trisik keluar pentas.

B. Keberadaan Tari Kabela di Bolaang Mongondow

Keberadaan Tari Kabela pada waktu dulu dan sekarang tidak ada perbedaannya. Hal ini
bisa dikatakan demikian karena menurut beberapa pihak yang telah diwawancarai bahwa Tari
Kabela dahulu sampai sekarang masih tetap eksis dalam kehidupan bermasyarakat di Bolaang
Mongondow. Artinya, Tari Kabela di Bolaang Mongondow selalu ditampilkan pada setiap acara
atau hajatan apapun. Penampilan Tari Kabela ini selalu ditampilkan pada awal acara atau biasa
sebagai pembuka acara. Untuk itu, perlu adanya pembahasan mengenai keberadaan fungsi Tari
Kabela pada waktu dahulu11 dan pada dewasa ini.

1. Tari Kabela pada Waktu Dulu


Tari Kabela pada waktu dahulu sampai sekarang sangat menjadi idola serta menjadi
kebanggaan masyarakat daerah Bolaang Mongondow. Hal ini dikarenakan setiap ada penampilan
Tari Kabela itu akan menunjukkan atau sudah dapat dimengerti oleh orang-orang bahwa itu

11
Pada waktu dulu, Yang dimaksukan adalah tidak terbatas dulu dan tidak pasti kapan.
62
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Tarian yang berasal dari daerah Bolaang Mongondow. Selain hal tersebut, bahwa Tari Kabela
merupakan ciri khas serta sudah menjadi suatu identitas daerah Bolaang Mongondow. Artinya
bahwa bagi siapa saja yang menyaksikan Tari Kabela dengan pasti orang itu bisa mengetaui
bahkan seolah-olah melihat masyarkat Bolaang Mongondow.
Tari Kabela di Bolaang Mongondow dari dahulu sampai sekarang memiliki peranan
yang sangat penting. Tari Kabela pada waktu dahulu digunakan pada acara-acara penting
seperti: penyambutan tamu baik secara formal maupun nonformal, acara resepsi kenegaraan,
serta dipakai atau ditampilkan untuk acara hiburan masyarakat sampai pada tingkat perlombaan.
Dalam acara penyambutan tamu dan resepsi kenegaraan, Tari Kabela ditampilkan sebagai sarana
untuk memberikan penghormatan kepada para tamu-tamu dengan rasa dan suasana keakraban
dan penuh pergaulan. Dalam acara penyambutan tersebut seolah-olah para tamu yang datang
merasa diberikan penghargaan serta penghormatan yang agung. Para tamu merasa dipersilahkam
untuk masuk, duduk, serta disuguhi ramuan-ramuan kinang sebagai tanda penyambutan dan
keakraban penuh dengan rasa penghormatan yang tinggi, sehingga dapat menarik perhatian bagi
orang yang menyaksikannya. Apalagi didukung dengan kostum atau pakaian yang digunakan
juga sangat menarik perhatian karena lebih kelihatan sangat megah dengan aksesoris dan warna-
warna yang kontras penuh keemasan.
Tari Kabela di Bolaang Mongondow sudah menjadi identitas masyarakat daerah Bolaang
Mongondow, karena sajian Tari Kabela sudah menjadi tradisi bagi masyarkatnya ( Wawanacara,
Mamonto: 3 September 2011). Dikatakan demikian karena di zaman yang sudah modern dan
zaman yang globalisasi yang penuh dengan tantangan pola hidup yang serba baru, Tari Kabela
tetap dan selalu menjadi tampilan yang paling utama. Padahal pola hidup yang serba baru selalu
memberikan suatu yang lebih, namun Tari Kabela tidak berpengaruh atau bergeser sedikitpun.
Karena ini dapatlah dilihat di setiap ada acara atau hajatan apapun selalu diadakan penampilan
dan pementasan Tari Kabela.

2. Tari Kabela pada Dewasa Ini


Dengan adanya suatu perkembangan pada masyarakat di Bolaang Mongondow dalam
sistem informasi, tehnologi, maupun hiburan, maka timbulah suatu perubahan yang membuat
masyarakat ingin mencoba hal-hal baru. Hal ini merupakan hal yang sangat normal dalam suatu
perubahan kebudayaan. Namun dengan datangnya pola-pola yang baru bagi masyarakat Bolaang
Mongondow tidak merasa terpengaruh dengan sesuatu yang baru, hal ini bukan berarti
masyarakat daerah Bolaang Mongondow tidak menerima hal–hal yang lebih baru, namun bagi
masyarakat setiap bertindak harus selalu mengadakan kegiatan lebih selektif, sehingga
kebudayaan yang lama merasa tidak bisa digeser oleh apapun. Oleh sebab itu, Tari Kabela di
daerah Bolaang Mongondow masih tetap dominan peranannya dalam kehidupan masyarakat
Bolaang Mongondow (Wawancara: Damopolii, 5 Maret 2011 )

63
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Namun di zaman yang telah modern ini juga sangat mempengaruhi Tari Kabela. Tetapi
pengaruh tersebut bukanlah pengaruh dari peranan Tari Kabela dalam kehidupan masyarakat
Bolaang Mongodow, namun lebih pengaruh yang lebih untuk menuju ke sesuatu yang lebih baik.
Artinya, bahwa perubahan-perubahan itu adalah demi kebaikan pada bobot kualitas dari Tari
Kabela sebagai pertunjukan yang lebih artistik. Sesuatu yang baru itu dalam segi penyajian, atau
penampilannya, yaitu para kreator, para penari lebih memperhatikan bobot kualitas
penampilannya baik secara fisik maupun secara dinamik. Hal ini dapat dilihat dari penampilan
yang secara teknik kesenian lebih diperhatikan.
Adapun teknik-teknik kesenian tersebut diantaranya yaitu dari segi gerak sebagai medium
pokok sangat diperhatikan dalam hal elemen-elemen geraknya Seperti misalkan kejelasan pada,
bentuk, volume, garis, irama serta ekspresi dalam vokabuler gerak sangat diperhatikan. Selain
hal tersebut juga dari segi medium pendukungnya, diantaranya dari segi tata rias serta serta
penataan busana sebagai kostum Tari Kabela. Dalam segi penampilan kostum yang mengalami
beberapa perubahan, artinya busana yang dulu sangat sederhana sekarang lebih didesain baik
dari bahan yang digunakan, maupun dalam penataan desain model baju sebagai kostumnya.
Penataan-penataan tersebut dibuat lebih bisa menarik perhatian, baik bagi yang melihat maupun
yang memakainya.
Jadi, perubahan tersebut merupakan perubahan pada tingkat perkembangan kreativitas
teknik kesenian. Hal ini dapat dilihat dalam penggarapan pada gerakan-gerakan tari. Pada
gerakan tari sekarang lebih menarik serta lebih kelihatan lincah dan atraktif, sehingga membuat
lebih manarik dalam penyajiannya. Mengenai fungsi seni pertunjukan atau penampilan Tari
Kabela dari dahulu hingga sekarang sebenarnya masih sama.

SIMPULAN

Tari Kabela merupakan jenis tarian yang tumbuh dan berkembang karena tradisi
lingkungannya serta yang bersifat turun temurun secara berkesinambungan. Tari Kabela di
Bolaang Mongondow dari dahulu sampai sekarang memiliki peranan yang sangat penting bagi
masyarakat pendukungnya. Artinya, bahwa Tari Kabela pada waktu dahulu sampai pada dewasa
ini digunakan pada acara-acara penting seperti: penyambutan tamu baik secara formal maupun
nonformal, acara resepsi kenegaraan, serta dipakai atau ditampilkan untuk acara hiburan
masyarakat sampai pada tingkat perlombaan.
Dalam acara penyambutan tamu dan resepsi kenegaraan, Tari Kabela ditampilkan sebagai
sarana untuk memberikan penghormatan kepada para tamu-tamu dengan rasa dan suasana
keakraban serta penuh pergaulan. Dalam acara penyambutan tamu tersebut seolah-olah para
tamu yang datang merasa diberikan penghargaan serta penghormatan yang agung. Para tamu
merasa dipersilahkan untuk masuk, duduk, serta disuguhi ramuan-ramuan kinang sebagai tanda
penyambutan dan keakraban penuh dengan rasa penghormatan yang tinggi, sehingga dapat

64
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

menarik perhatian bagi orang yang menyaksikannya. Apalagi didukung dengan kostum atau
pakaian yang digunakan juga sangat menarik perhatian karena lebih kelihatan sangat megah
dengan aksesoris dan warna-warna yang kontras penuh keemasan. Tari Kabela di Bolaang
Mongondow sudah menjadi identitas masyarakat daerah Bolaang Mongondow, karena sajian
Tari Kabela sudah menjadi tradisi bagi masyarakatnya. Tari Kabela sebagai tari tradisional
mempunyi ciri dan karakteristik yang berbeda dengan daerah-daerah yang lain. Penampilan Tari
Kabela selalu ditampilkan pada awal atau pembukaan acara atau hajatan.
Secara koreografis Tari Kabela merupakan tari yang ditampilkan oleh beberapa penari
wanita dengan membawa properti Kabela yang berbentuk Kubus. Tari Kabela ditampilkan
secara berkelompok, biasanya jumlah penari selalu ganjil, atau lima orang penari. Adapun pola
gerak yang digunakan sangat sederhana, yaitu menggunakan vokabuler gerak yang gampang
dilakukan artinya, tidak mempunyai tingkat kesulitan. Adapun vokabuler-vokabuler gerak
tersebut antara lain yaitu: gerak masuk pentas atau pembuka, gerak hormat, mempersilahkan
tamu mengelilingi kabela, gerak atraksi kayang, vokabiler nerias diri dan gerak penghormatan
atau penghargaan serta gerak penutup.

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa Putra, H.S. 2004. ―Ethno Art Fenomenologi Seni Untuk Indiginasi Seni dan ilmu‖.
Makalah Seminar Internasional Seni Pertunjukan dan ilmu Pengetahuan Seri II 2002-
2004 di STSI Surakarta.
Ahimsa Putra, H.S. 2003. ―Etno Art Fenomenologi Seni Untuk Indiginasi Seni‖. Dewa Ruci,
Jurnal Pengkajian & Penciptaan Seni. Program Pendidikan Pascasarjana STSI
Surakarta,Vol. I, No.3, April 2003.
Anneke J. Suoth, 2008. Seni Pertunjukan Etnis Bolaang Mongondow. Manado: Balai Pelestarian
Sejarah dan Nilai tradisional.
Cahyono Dwi, M. 1994. Urgensi Kajian Fungsi Seni Dalam Studi Sejarah Kesenian. Jakarta :
depdikbud.
Kayam, Umar. 1981. Seni Tradisi Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.
Kartodirjo, Sartono. 1982. Penelitian dan Pengembangan Historiografi Indonesia Suatu
Alternatif. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat.1999. Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Djambatan
Koentjaraningrat.1987.Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia.
Mamonto, Herindra. 2006. SKRIPSI. ― Musik Gambus Di Moyongkota Kecamatan Modayag‖ .
Sendratasik. UNIMA.
Mejaan, A, dkk. ―Sejarah Bolaang Mongondow‖. Kotamobagu: tanpa penerbit.
Murgiyanto, Sal. 1983. Koreografi. Jakarta : Depdikbud.

65
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Moleong, L. J., 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Keempat. Bandung : PT.
Remaja Roesdakarya.
Mokolanot Indrus, dkk. Sejarah Bolaang Mongondow , Materi Pelajaran SMP Semester I,
Jakarta : CV Cakra Media.
Nusantara Yayat .2006. Seni Budaya SMA. PT. Erlangga.
Pangkey, J.A. 1986. Peralatan Hiburan Dan Kesenian Tradisional Daerah Sulawesi
Utara.Sulawesi Utara: Depdikbud Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah
dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokementasi Kebudayaan Daerah.
Pristiwanto, 2007. Peranan Elite Lokal Dalam Keteraturan Sosial Budaya Masyarakat Bolaang
MOngondow.Jurnal Esagenang Volume 5, No. 10 Agustus 2007. Manado: Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Sri Sunarmi, 2004. Tari Maengket: Perpsektif Pemikiran di Balik Ritual Pergaulan di Minahasa.
Suleman. Mantori.2000.Budaya Daerah Sulawesi Utara.Manado: PT. Pabelan.
Sedyawati, Edy. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
Sedyawati, Edy.1984. Tari: Tinjauan dari berbagai segi.. Jakarta: Pustaka Jaya
Sedyawati, Edy.1986. Pengetahuan Elementer Tari dan Beberapa masalah tari.Jakarta :
Depdikbud.
Sedyawati, Edy. 2007. Budaya Indonesia kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT.
Rajagrahafindo.
Soerjono Soekanto. 1990. Sosiologi Suatu Pengatar . Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suanda Sumaryano Endo, 2006. Tari Tontonan, Jakarta: lembaga Pendidikan Seni Nusantara.
Susanto Astrid. 1993. Sejarah Kesenian Tari Dan Musik. Seminar, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Soedarsono. 1978. Pengantar Komposisi dan Pengetahuan Tari. Yogyakarta: ASTI.
Tim Penyusun. 1989. Adat Tradisional Daerah Propinsi Sulawesi Utara. Sulawesi Utara:
Depdikbud.
Tim Penyusun.1979. Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Sulawesi Utara. Manado: Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
Tim Penyusun. 1993. Kumpulan Tari Daerah Sulawesi Utara. Manado: Taman Budaya
Provinsi Sulawesi Utara.
Watimena J,R. Tanpa Tahun. Analisis Ragam Hias Rumah Tradisional Minahasa di Desa
Woloan I. Tondano: Pendidikan Seni Rupa Dan Kerajinan UNIMA.
Watupongo – Manopo. Y.T Geraldine.1997/1998.Ensiklopedia Musik dan Tari Daerah SULUT.
Manado: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.

66
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

FORMULA CERITA KEMATIAN

KAJIAN ALBERT B. LORD PADA SYI’IR RENG MATE

Jiphie Gilia Indriyani


Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Trunojoyo Madura

Abstrak

Keberadaan syair di masyarakat merupakan salah satu bentuk karya sastra yang tidak
beredar secara umum. Pada umumnya, syair hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang
memiliki kemampuan membaca. Dewasa ini, perkembangan syair lebih luas, di Desa Chabak,
terdapat sebuah syair yang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, hal itu dikarenakan
syair telah mengalami proses reproduksi dengan menggunakan proses perekaman. Syair tersebut
adalah Syi‘ir Reng Mate.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kelisanan Albert B. Lord. Teori
tersebut mengulas beberapa aspek kelisan, diantaranya adalah mengenai penutur. Penutur yang
dimaksud adalah seorang performer sekaligus composer yang membawakan sebuah sastra lisan
sekaligus dengan bagaimana proses transmisi terjadi dari penutur sebelumnya ke penutur
berikutnya. Selain itu Lord juga mengulas mengenai formula, ekspresi formulaik dan tema dalam
sebuah sastra lisan. Pemilihan teori ini sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengungkapkan penutur, formula dan tema legenda Syi‘ir Reng Mate
yang disampaikan oleh penutur pada saat proses penceritaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penutur yang melantunkan Syi‘ir Reng Mate
bertindak sebagai pemain atau pelaku pertunjukkan tersebut, namun tidak berperan sebagai
pengarang, penggubah, atau penyusun cerita. Penutur mengalami masa transmisi saat dewasa,
proses transmisi tersebut tidak dilakukan secara khusus. Untuk melantunkan Syi‘ir Reng Mate
tersebut, terdapat sebuah tema utama nasihat yang kemudian dilanjutkan dengan tema khusus,
yaitu nasihat mengenai kematian. Selain tema, penutur juga memiliki formula-formula dalam
menceritakan syair tersebut. Beberapa diantaranya adalah formula yang digunakan penutur untuk
menasihati. Keseluruhan tersebut dirangkai oleh penutur menjadi sebuah kesatuan dalam
penyampaian Syi‘ir Reng Mate.

Kata kunci: Sastra lisan, penutur, formula, transmisi

Abstract

The existence of poetry in the community is one form of literary works that are not circulating in
general. In general, poetry can only be enjoyed by people who have the ability to read. Today, the
development of poetry is wider, in Chabak Village, there is a poem that can be enjoyed by all
67
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

levels of society, it is because the poem has undergone the process of reproduction by using the
recording process. The poem is Syi'ir Reng Mate.

The theory used in this research is Albert B. Lord's theory of alignment. The theory discusses
some aspects of the lining, such as the speaker. The speaker is a performer and composer who
presents an oral literature as well as how the transmission process takes place from the previous
speaker to the next speaker. In addition, Lord also discusses formulas, formulaik expression and
themes in an oral literature. The choice of theory is in line with the goals to be achieved. The
purpose of this study was to reveal the speakers, formulas and themes of the legend of Shi'ir Reng
Mate conveyed by the speakers at the time of telling.

The results show that the speaker who sang 'Shi'ir Reng Mate' acted as a performer or performer,
but did not play the author, composer, or storyteller. Speakers experience a period of transmission
in adulthood, the transmission process is not done specifically. To recite the Shi'ir Reng Mate,
there is a major theme of advice which is then continued with a special theme, namely advice on
death. In addition to themes, speakers also have formulas in reciting the poem. Some of these are
the formulas that speakers use to advise. The whole is assembled by speakers into a unity in the
delivery of Shi'ir Reng Mate.

Keywords: Oral literature, speaker, formula, transmission

68
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

PENDAHULUAN

Dunia musik sedang diramaikan oleh lagu daerah. Lagu daerah yang dimaksud di sini
adalah lagu berlirik bahasa daerah, mulai dari lagu Kanggo Rika yang berbahasa Banyuwangi
hingga saat lagu Jaran Goyang yang melejit menjadi lagu kesukaan masyarakat saat ini.
Masyarakat yang dibicarakan adalah masyarakat daerah. Beberapa lagu berbahasa daerah
tersebut kerap dibawakan dalam genre dangdut, terlebih danngdut pesisir utara (Pantura).
Menengok dunia dangdut, beberapa waktu lalu juga sempat melejit lagu dangdut berjudul
Anoman yang menceritakan kisah Hanuman, seekor kera yang memasuki Alengka kemudian
membakar Alengka.

Kisah Hanuman dan ajian Jaran Goyang yang disebutkan di atas merupakan sebuah sastra
lisan yang ada di masyarakat. Narasi sastra lisan tersebut kembali direproduksi oleh masyarakat
dalam bentuk lain yang dapat lebih mudah dinikmati. Hal ini berkaitan dengan bentuk sastra
lisan yang telah disebutkan pada mulanya memiliki bentuk yang terbatas. Misalnya saja cerita
Hanuman, pada masa lalu, cerita tersebut hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang memiliki
kemampuan membaca Kitab Ramayana. Kemudian seiring berkembangnya zaman, kisah
tersebut mampu dinikmati masyarakat umum (masyarakat pembaca) dalam bentuk bahasa
Indonesia. Masyarakat pembaca di sini juga merupakan sebagian kecil dari masyarakat pada
umumnya. Hingga kemudian ada seseorang yang mereproduksi cerita tersebut dalam bentuk
lagu. Lagu di sini merupakan sebuah bentuk sastra yang dapat dinikmati hanya dengan
mendengar. Seseorang yang tidak memiliki kemampuan membaca juga dapat menikmati kisah
Hanuman tersebut. Fenomena tersebut menjadikan kisah Hanuman semakin mudah dinikmati
oleh masyarakat. Hal ini juga berarti bahwa kisah tersebut semakin diapresiasi.

Pada jenis reproduksi cerita hanuman ini, terdapat sebuah proses transmisi sastra lisan
yang mengikuti perkembangan teknologi, yaitu perekaman. Melalui rekaman tersebut, sastra
lisan dapat dinikmati oleh masyarakat dengan mudah, yaitu masyarakat pengguna teknologi baik
yang tidak atau meimiliki kemampuan membaca. Perkembangan reproduksi sastra seperti ini
juga terjadi di Desa Chabak. Desa ini terletak di Kecamatan Kamal, Kabupaten Bangkalan, Jawa
Timur. Diantara beberapa sastra lisan yang ada, masyarakat juga menikmati Syi‘ir Reng Mate.
Syi‘ir Reng Mate ini merupakan sebuah syair yang menceritakan sebuah perjalanan ruh setelah
meninggal.

Dunia Sastra merupakan bagian dari masyarakat, dimana segala bidang kehidupan dalam
masyarakat dapat menjadi sumber inspirasi karya sastra. Seperti yang disampaikan oleh Teeuw
(1994:204), bahwa hubungan antar masyarakat dengan pencipta karya sastra dikatakan sebagai
hubungan dialektik. Sastra dan masyarakat saling mempengaruhi, perkembangan dunia sastra
69
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

sangat bergantung dengan respon masyarakat, di satu sisi, masyarakat pembaca karya sastra juga
tidak mungkin ada tanpa hadirnya sastra di tengah-tengah masyarakat, serta di lain pihak
kehadiran pengarang yang juga anggota masyarakat menghadirkan sebuah ide dari luar
fenomena sosial.

Legenda Syi‘ir Reng Mate ini merupakan bagian dari sastra lisan yang ada di Indonesia.
Penelitian ini fokus pada bentuk kelisanan legenda ini. Bentuk kelisasanan legenda ini memiliki
memiliki beberapa aspek yaitu mengenai penutur, formula dan tema. Guna menjabarkan aspek
penutur, formula dan tema pada legenda Syi‘ir Reng Mate ini, peneliti menggunakan teori Albert
B. Lord. Hal ini dikarenakan Albert B. Lord membicarakan mengenai formula dalam sastra lisan
pada buku The Singer of Tale yang ditulisnya.

METODE

Teori Albert B. Lord dalam penelitian ini disampaikan Lord dalam buku The Singer of
Tale (1981), bahwa ada beberapa hal dalam sastra lisan, yaitu bagaimana posisi penutur dalam
pertunjukkan sastra lisan, hubungan antara pertunjukkan dan transmisi pada penutur, serta
bagaimana penutur menciptakan formula dan menggunakan tema dalam kegiatan
penceritaannya.

Sastra lisan merupakan sebuah pertunjukkan dengan cara pelafalan, penyampaian sebuah
teks secara lisan oleh seseorang. Seseorang tersebut oleh Lord disebut Singer. Our singer of tale
is a composer of tale. Singer, performed, composer, and poet are one under different aspects but
at the same time (Lord, 1971:13 ). Misal dalam sebuah pertunjukkan, ada seseorang yang
medongengkan sebuah cerita. Seseorang tersebut adalah singer atau penutur. Selain sebagai
penutur, orang tersebut adalah pemain atau pelaku pertunjukkan tersebut, juga sebagai
pengarang, penggubah, atau penyusun cerita. Istilah penutur, pemain, pengarang atau penyusun
cerita memiliki perbedaan, namun dalam pertunjukkan sastra lisan, ketiga hal tersebut dilakukan
oleh orang yang sama dalam waktu yang sama. Seorang penutur tidak hanya semata-mata
sebagai seseorang yang membawa tradisi, namun juga seseorang yang membuat tradisi.
Kebanyakan orang sulit untuk memandang seorang penutur cerita sebagai pembuatnya sekaligus,
karena kebiasaan kita yang tidak pernah melihat bahwa penutur bisa juga sebagai pembuat.

We must remember that the oral poet has no idea of a fixed model text to serve as his
guide (Lord, 1971:22). Tidak ada dua penutur yang dapat menceritakan kembali sebuah cerita
dengan cerita, ritme, dan ekspresi yang sama. Pasti ada perbedaan diantara mereka, walaupun
sedikit di bagian tertentu saja. He has models enough, but they are not fixed and he has no idea
70
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

of memorizing them in a fixed form (Lord, 1971:22). Oleh sebab itu, bahkan satu orang penutur
yang menyampaikan cerita yang sama pun, dalam pertunjukkannya pasti memiliki perbedaan.

Kajian sastra lisan dengan menggunakan konsep formula pada mulanya diperkenalkan
oleh Milman Parry. Ide Milman Parry ini kemudian dikembangkan oleh muridnya Albert B.
Lord dengan menggunakan teori formula untuk mengkaji puisi lisan Yugoslavia. Lord
mengungkapkan pengertian formula adalah ―a group of works which is regularly employed
under the same metrical condition to express a given essential idea‖ (Lord, 1971 : 30).
Kelompok kata yang disebut formula itu dapat berupa kata, frase, klausa, atau larik. Kondisi
matra yang direalisasikan dalam peengulangan ini sangat berguna bukan hanya untuk penonton
tetapi juga membantu kelancaran pencerita membuat komposisi ceritanya.

Dalam pembahasan sebuah formula, Lord tidak hanya memandang dari luar ketika
menganalisis teks, tetapi juga dari sudut pandang dari penutur (singer) dan tradisi (Lord,
1971:30). Lord mengibaratkan sebuah lanskap pemandangan dalam melihat sebuah formula
dalam teks. Ketika memperhatikan sebuah pemandangan, kita tidak hanya melihat secara
keseluruhan sebagai suatu gambaran yang utuh, namun menurut Lord, untuk melihat formula,
saat kita memandang sebuah lanskap pemandangan, kita juga harus melihat bagaimana
ketinggian gunung, kedalaman lembah, dan kaki lembahnya.

Seorang penutur tidak akan memproduksi ulang sebuah tema dengan kata-kata yang sama
persis. Tema, walaupun disampaikan secara verbal, tidak memiliki kata-kata yang paten, tapi
merupakan sebuah kumpulan ide (Lord, 1971:69). Walaupun tema mengalir secara alami
membentuk sebuah cerita yang hidup di dalam pikiran pencerita, tema-tema tersebut memiliki
wilayah semi independennya sendiri.

71
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini, ada seseorang yang melantunkan sebuah syair. Seseorang tersebut
adalah singer atau penutur. Selain sebagai penutur, orang tersebut adalah pemain atau pelaku
pertunjukkan tersebut, juga sebagai pengarang, penggubah, atau penyusun cerita. Istilah penutur,
pemain, pengarang atau penyusun cerita memiliki perbedaan, namun dalam pertunjukkan sastra
lisan ini, ketiga hal tersebut dilakukan oleh orang yang sama dalam waktu yang sama. Begitu
juga dengan penutur dalam penelitian ini. Penutur adalah seseorang yang memiliki kedudukan
dalam tatanan masyarakat.

Sastra lisan merupakan sebuah pertunjukkan dengan cara pelafalan, penyampaian sebuah
teks secara lisan oleh seseorang. Seseorang tersebut oleh Lord disebut Singer. Penutur pada
penelitian ini adalah seorang pemuka agama. Penutur tersebut memberikan sebuah nasihat
kepada para santri di sebuah pengajian. Sebagaimana pengajian pada umumnya, salah satu sesi
pengajian tersebut berisi pemberian nasihat oleh seorang Ustad kepada santrinya.

Penayampaian wejangan tersebut bermacam-macam, salah satunya adalah melalui sebuah


syair. Syair tersebut dikenal sebagai Syi‘ir Reng Mate.

Ka’ Dinto Bab Caretana Oreng Mate

Caretana oreng mate sopaje e padhe ngarte

Peteni kok di budhina de‘ akherat pamolena

Mayyit pon e pakalowar dhari roma ka langger

Balana ban taretana a kompol se mandi‘ina

Badha se negu‘ tanangnga

Badha se ngosap kole‘na

Badha se negu‘ serana

Badha se negu‘ sokona


72
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Mayyit a cereng a tuwat

Ajem ngedhing pas a kotak

Bila mare e pandii e bundhu‘ labun se pote

Teros e tale e telo‘

Soko ceta‘ sareng tabu‘

Mayyit ngocak ban tangesah sowarana cek melasse

Je‘ tale e muwa bula ngabes je‘ anak ban bala

Sabebe bula sanonto di budhina badha dinto‘

Sanonto bula pon depa‘ kapesa bala ban anak

Aduh taretan

sadaja anak poto je‘sangajeh

Nyo‘ona pa‘ tepa‘ agi mon sala paenga‘ agi

Bila mare sholat agi, mayyit nanges ngoca‘ pole

Bula sanonto pon mate, pon tak bias odi‘ pole

Bula nyo‘ona de‘ dhika saban wakto je‘ lopa

Pas badha sowara ngoca‘ tengate be‘na la para‘

Apesa a ban binena, reng towana ban potona

Mara amet de‘ potona je‘ sengkok la ajelena

73
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Bila mayyit pon epekol esabe‘ e lencak bungkol

Mayyit nangis ben oca‘na

Demi Allah mon sompana

Aduh taretan

sadaja sanonto bula mangkate

Teros amet de‘ potona sarengnga de‘ tetanggena

Tengate be‘na sateya a pesa‘a ban reng towa

Gen sateya di budhina sengkok atemo ban be‘na

tak bisa a temo pole saterosa tak nengale

Bila ajelen se ngibe telo kale patendhe‘geh

Pas ngoca‘ pole mayyitta

Hewannah ngeding sadeje

Sambi nanges pangocakna mellas agi sowarana

Aduh anak ban le bala paenga‘ dhika de‘ bula

Senga‘ kacong je‘ tokaran

Sataretan je‘ rebu‘an

A pasebe‘ de‘ kembuli je‘ bedhe se ngathibi‘i

Je‘ palebur nombuk dunya

Je‘ lopa de‘ Pangerannna

Mara sengko‘ gabay tande andhi‘ dunya tak egibeh


74
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Bheli‘ pa benyak de‘ duanah

Duli tobat dusana

Ben pole be‘na je‘ lopa saben jumat a sedeka

Sanajen nase‘ saleper de‘ sengko‘ je‘ sampe kecer

Apa pole saben dina tanto sengko‘ tambe bunga

Bila mayyit ampon depa‘

De‘ penggir kobur esabe‘

Acereng mayyit tangese melas agi sanget sossa

Sambi ngocak duh taretan, tatangge ban kan-ponakan

Be‘na kabbi je‘ palopa a dua ban a sedekah

Sengko‘ reya di budhina se ngabes mowana be‘na

Pas teros mayyit esabe‘ delem kobur lobeng lande‘

Samarena e topoe mayyit jege odhi‘ pole

Lamon ontong parobuna tepa‘ pole kenengnganna

Sabab moste e pareksa dheri sadaja amalla

Marena kalkin ebaca, se mayyit atambe sossa

Pas bedhe malaikat deteng, aro‘oman ropa ganteng

Neka arum nyamana sanget alos patanyana

Depa‘ de‘ mayyit make eleng, mayyit anyar eleng-eleng


75
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Mara pas toles amalla, jube‘ bece‘ je‘ pa sala

A jawab ta‘ andi‘ mangsen, copana kagebey mangsen

Ajeweb tak andi‘ kalam, koncu‘na ka gabay kalam

Mayyit noles ce‘ lerena, sambi ngetek ce‘ tako‘na

Mayyit noles ampon mare mon kasossa tak e re mare

Laju ngoca‘ malaekat, mara bukuna pas ecap

Mayyit ajeweb oca‘na ta‘ andi‘ panngecappana

Jareya kokona be‘na ecap agi ka bukuna

Deteng pole duwe‘ oreng

Benakerun ca‘na oreng

Munkar ban Nakir nyamanna

Sanget nako‘e ropana

Oreng duwe‘ pade kerreng de‘ ka mayyit reng mancoreng

Berit onggu abesenna serta gerimis buluna

Bila ngoca‘ colo‘ rabe‘ akatha ben kelap

Celleng lorek mon robena, kor sanget tajem seyongnga

Patanyana ce‘ kerase de‘ ka mayyit ce‘ bengissa

Mon be‘na salah jawabba

Tak burung be‘na e gada


76
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Sapa be‘na Pangeranna ben sapa be‘na Nabina

Ben Sapa pole Imamma ben Kiblate be‘na dimma

Quran riya dhari sapa, mara jawab je‘ pasala

Ajeweb Allah Robbuna

Muhammadun nabiyuna

Wal quranu imamuna

Baitullahi kiblatuna

Qurani ka salamullah

Epatoron neng e Mekah

Malaekat ngoca‘ pole

Mara teddung be‘na mare

Papade be‘na se teddung ben kom mantan se on laon

Mayyit teddung ce‘ bungana lopot dhari ka seksana

Tandena gen neko bajra, ban e kobura

Bila ontong kobur jember lebbien dhari dhemar

Sabab tera‘ saterossa e kobur tak nemo sossa

Namon sala pangoca‘na pas epentong ben gedena

Allah !

Be‘na reya dereka


77
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Dedi esena neraka

Bila depa‘ duwa kali

Car kancer tolang se pote

Tolang daging mledis kabbi

Epokol tak eyambui

Tanges epon raje keni‘ akantha monyena embi‘

Mander bula tolong agi

Mata duwe‘ ngatol kabbi

Raje onggo mon gadana

Seperti gunung rajena

Mayyit mator ben serona abeliye de‘ dunyana

Etoro‘a parentaNa ejeuanna larangnganNa

Laju ngoca‘ malaekat

be‘na reya oreng jahat, oreng cengkal, oreng pengko

La koddu dusa malolo

A rasa kasta sateya

Bila kalowar otekgeh

Edunya tak a pangrasa jek bakal narema seksa

Be‘na la depa‘ tempona

Pabales kalakoanna

Ben be‘na buru parcajeh

Bila bandanna e gada


78
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Aduh tertan

sadaja mander pabenyak tobatta

Ajeui tengka sala

Budhina ma ta‘ kasta

Seksa kobur gita‘ raje katembeng seksa neraka

Ya Robbana firlana dzunubana khotoyana

Syair tersebut merupakan hasil terjemahan dari sastra lisan ke dalam bentuk tulisan.
Tidak ada ritual khusus dalam pelantunan syair tersebut. Pada awalnya, syair tersebut hanya
disampaikan oleh seorang ustad dalam sebuah forum pengajian, namun seiring berkembangnya
waktu dan teknologi, syair yang dilantunkan oleh ustad tersebut telah beredar luas di masyarakat.
Perjalanan transmisi tersebut memiliki grafik sebagai berikut.

pengajian

Penutur/Ustad Santri

direkam

dibagikan

Masyarakat

Secara umum, pelantunan syair yang dilakukan penutur ini tidak memiliki peraturan
khusus dalam penuturannya. Dengan kata lain, pelantunan syair ini dapat dilakukan kapan saja
79
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

dan di mana saja. Dalam proses penyampaiannya juga tidak memiliki syarat khusus mengenai
bagaimana penyampaian, siapa penontonnya, maupun sajian apa yang harus dihidangkan.
Pelantunan syair ini dapat disampaikan kapan saja tanpa batasan tempat.

Ada tiga tahap dalam pembelajaran sastra lisan. Pertama adalah mendampingi orang yang
sedang bercerita. Dari tahap ini, si penutur yang belajar dapat mengetahui tentang macam-
macam cerita, macam-macam karakter, bagaimana ritme tiap cerita, bagaimana menciptakan
suasana, dan bagaimana pergantian ekspresi tiap karakter. Dalam hal ini penutur baru
menyaksikan, guru atau kyainya, karena yang harus dilihat bukan hanya pada saat perunjukan
saja, akan tetapi keseharian si penutur itu sendiri. Kedua, belajar menyanyikan lagu yang sudah
ia pelajari tampa musik yang mengiringi. Dia harus bisa memperkirakan ritmenya sendiri. Hal
yang harus dilakukan adalah, dia harus mengulang-ulang bait atau bagian puisi atau lagu yang
sama dengan intonasi dan ritme yang berbeda untuk menciptakan variasi sampai dia bisa
menghafal seluruh cerita. Terakhir, pada saat penutur baru sudah siap dan dapat melantunkan
syair tersebut untuk yang pertama kali di depan santri secara penuh.

Komposisi lisan diciptakan oleh pencerita sebagai bentuk produksi ketika ia


mendapatkan cerita tersebut dari pencerita sebelumnya. Penutur menyadari, bahwa syair yang
dituturkannya tentu memiliki perbedaan dengan syair yang dituturkan oleh penutur lain. Hal ini
menujukkan bahwa setiap penutur memiliki ciri khas sendiri dalam menyusun komposisi cerita.
Penutur memperoleh syair ini pertama kali pada masa belajar mengaji dari berbagai ustad,
kemudian mengkomposisikan cerita tersebut sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, baik
kemampuan mengingat maupun kemampuan menyusun komposisi syair nambun tidak dapat
secara bebas. Komposisi Syi‘ir Reng Mate yang disusun terdiri dari tokoh Si Orang meninggal
yang disebut dengan Mayyit.

Mayyit merupakan tokoh sentral yang menjadi tokoh utama dalam syair ini. Hal tersebut
tampak dari penyebutan ‗Mayyit‘ sejak awal hingga akhir syair. Penyebutan berulang kata
‗Mayyit‘ merupakan sebuah formulan sastra lisan yang khas. Mayyit disebut berulang tidak
hanya menunjukkan sebagai tokoh utama namun sebagai pengingat tentang kematian. Hal
tersebut sesuai dengan tujuan pembuatan syair, yaitu syair nasihat.

Mayyit pon e pakalowar dhari roma ka langger

Balana ban taretana a kompol se mandi‘ina

Badha se negu‘ tanangnga

Badha se ngosap kole‘na

Badha se negu‘ serana

80
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Badha se negu‘ sokona

Selain adanya komposisi tokoh tersebut, syair ini memilikii sebuah formula yang
digunakan penutur untuk memulai sebuah nasihat. Formula adalah sekelompok kata yang secara
teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan ide yang esensial.
Formula muncul berkali-kali dalam cerita, mungkin berupa kata, frasa, klausa, atau larik (Lord,
1981:30—43. Bentuk yang memperlihatkan perulangan dengan sistem formula disebut ekspresi
formulaik. Ekspresi formula itu juga dibentuk menurut pola irama dan sintaksis yang sama serta
mengandung sekurang-kurangnya satu kata yang sama, baik dalam bentuk perulangan maupun
sinonim (Sweeney, 1987:68. Formula setiap pencerita berbeda, hal ini dikarenakan setiap
pencerita dapat menciptakan sendiri formulanya.

Untuk menghasilkan hal itu, ada dua cara yang ditempuh oleh pencerita, yaitu mengingat
perulangan dan menciptakan melalui analogi dengan perulangan kata, frase, klausa, dan larik
yang telah ada. Pencerita dapat merangkai suatu cerita dalam waktu relatif pendek dengan cara
membentuk baris yang berformula. Dengan cara ini, pencerita dapat menyesuaikan cerita dengan
situasi pertunjukan, seperti keadaan tempat, penonton, dan waktu pertunjukan.

Syi‘ir reng Mate ini seperti cerita berbingkai, dimana penutur menceritakan langsung
kisah kematian hingga siksa kubur, sekaligus juga berperan sebagai orang pertama yang bercerita
dan memberikan nasihat kepada keluarga dan kawan. Formula tersebut adalah kata /aduh/ yang
digunakan sebagai awal atau cara penutur mengambil ancang-ancang untuk menyampaikan
nasihat. Berikut adalah kutipannya.

Data 1

Aduh taretan

sadaja anak poto je‘sangajeh

Nyo‘ona pa‘ tepa‘ agi mon sala paenga‘ agi

Data 2

Aduh taretan

sadaja sanonto bula mangkate


81
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Teros amet de‘ potona sarengnga de‘ tetanggena

Tengate be‘na sateya a pesa‘a ban reng towa

Gen sateya di budhina sengkok atemo ban be‘na

tak bisa a temo pole saterosa tak nengale

Data 3

Aduh anak ban le bala paenga‘ dhika de‘ bula

Senga‘ kacong je‘ tokaran

Sataretan je‘ rebu‘an

A pasebe‘ de‘ kembuli je‘ bedhe se ngathibi‘i

Data 4

Aduh tertan

sadaja mander pabenyak tobatta

Ajeui tengka sala

Budhina ma ta‘ kasta

Pada data 1, penutur menggunakan kata /aduh/ sebagai pemula nasihat untuk saudara dan
anak agar membantu mengingatkan atau menegur jika terjadi kesalahan. Pada data 2, penutur
mencoba menasihati saudara, cucu, dan tetangga bahwa kematian adalah sebuah perpisahan, juga
berpisah dengan orang tua. Pada data 3, penutur mencoba menasihati anak dan saudara bahwa
jangan bertengkar, dann jika ada sesuatu yang diinginkan, sebaiknya jangan berebut. Pada data
keempat, penutur menyampaikan nasihat kepada saudara untuk banyak bertobat agar tidak
menyesal dikemudian hari.

SIMPULAN

82
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Dari data yang telah disampaikan, penutur yang merupakan seorang ulama yang kegiatan
pelantunan syairnya direkam oleh santri, hal ini menunjukkan bahwa proses transmisi dilakukan
secara modern. Preses transmisi tersebut direkam oleh santri kemudian dibagikan kepada
masyarakat luas. Hal ini membuka kemungkinan penikmat syair. Dari isi yang telah
diterjemahkan, formula yang telah ditemukan dan komposisi yang ditemukan, peneliti
menemukan sebuah tema pokok dalam syair ini, yaitu syair bertema nasihat mengenai kematian.

DAFTAR PUSTAKA

Bouvier, Hélène.2002. Lèbur! Seni Musik dan pertunjukkan dalam Masyarakat Madura.
Jakarta:Yayasan Obor Indonesia

Chamamah-Soeratno. 1994. Penelitian Sastra sari Sisi Pembaca : Suatu Pembicaraan


Metodologi dalam Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta : Masyarakat Poetika Indonesia
dan IKIP Muhammadiyah.

Faruk. 2012.Metode Penelitian Sastra Sebuah Perjalanan Awal. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Hutomo, Suripan Sadi.1991. Mutiara yang Terlupakan : Pengantar Studi Sastra Lisan.
Surabaya: Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia.

Lord, Albert B. 1971. The Singer of Tale. Harvard University

Taum, Yoseph Yapi. 2011. Studi Sastra Lisan : Sejarah, Teori, Metode, dan Pendekatannya
Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta : Lamalera.

Teeuw, A. 1994. Sastra dan Ilmu Sastra : Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.

83
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

“WADHAH LAN ISI, CURIGA MANJING WARANGKA”


PENCANDRAAN DUALISTIS POLITIK DALAM LAKON KEBO KENANGA MBALELA

Rohmat Djoko Prakosa12


Pascasarjana FISIP, Universitas Airlangga .

Abstrak
Tradisi lisan pertunjukan kethoprak memberikan refleksi penolakan romantis terhadap
sejarah politik penguasa tanah Jawa. Kisah Kebo Kenanga Mbalela adalah permainan populer
yang menggambarkan kisah perjuangan politik selama masa transisi runtuhnya Majapahit dari
pendirian kerajaan Islam Demak. Demak berperan sebagai kerajaan baru yang berusaha
menguasai semua aset politik Majapahit yang selalu saling bertentangan dengan ahli waris
Majapahit lainnya.
Refleksi perjuangan politik ditandai dengan munculnya simbol wadhah lan isi, curiga
manjing warangka. Perang Pengging dan Demak tak terelakkan, Pengging tetap hancur oleh
kekuatan politik baru. Kethoprak sebagai tradisi lisan menyajikan refleksi simbolis dari
perjuangan politik masa lalu dalam bentuk ungkapan dramatis. Raden Patah, raja Demak,
berjuang melawan Kebo Kenanga karena takut melemahkan kekuatan politiknya. Ini adalah
perlawanan yang didukung oleh gagasan dualistis politik dan dualisme yang digambarkan oleh
ekspresi estetika.
Untuk membaca dan memahami ungkapan dibutuhkan sebuah pendekatan yang
menggunakan menafsirkan teks pertunjukan kethoprak bermain Kebo Kenanga Mbalela. Periset
mengamati teks pertunjukan tersebut dan menafsirkannya dengan pendekatan hermeneutik,
sehingga menemukan makna paling dalam.
Kata-kata kunci: Pertunjukan ketoprak, isi dan wadah, dualistis.
Abstract
The Oral tradition in kethoprak performances provides a reflective of romantic
resistance to the political history of the rulers of Java land. The story of Kebo Kenanga Mbalela
is a popular play depicting the story of political struggle during the transition of the Majapahit
collapse of the establishment of the Islamic empire of Demak.Demak work as a new empire
trying to master all Majapahit political assets always clashing with other heirs Majapahit others.
Reflection of political struggle is marked by the emergence of symbol wadhah and isi,
keris manjing warangka. War of Pengging and Demak is inevitable, Pengging remains crushed
by new political forces. Kethoprak as an oral tradition presents a symbolic reflection of past
political struggles in the form of dramatic expressions. Raden Patah the king of the Demak
fighting to Kebo Kenanga for fear of weakening his power of politic. this is a resistance that is
underpinned by the notion of political duality and dualism depicted by aesthetic expression.
To read and understand the expression required an approach that uses interpret to the
text of the show kethoprak play Kebo Kenanga Mbalela. Researchers observed the text of the
show and interpreted it with a hermeneutik approach, thus finding the deepest meaning.

12
Rohmat Djoko Prakosa adalah mahasiswa program Doktoral S3 FISIP UNAIR SURABAYA
angkatan tahun 2015 sedang aktif melakukan pengamatan berbagai pertunjukan rakyat di wilayah
pegunungan Kendheng.
84
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Keywords: kethoprak performances, wadhah content, duality

A. PENDAHULUAN
Konsep ―wadhah isi, curiga manjing warangka‖ dalam konsep politik jawa merupakan
representasi Negara dan rakyat, raja dan rakyat. Kisah yang memuat gagasan politik
Negara/keraton Jawa dilakonkan melalui pertunjukan kethoprak13 selalu mengeskpresikan
konsep politik yang dibalut dengan berbagai fiksi romantic. ―Wadhah Isi, curiga manjing
warangka‖ merupakan istilah yang dikaitkan dengan penafsiran hubungan maknawi Manusia
dengan Tuhan, hubungan tubuh dengan jiwa. Dalam konteks kekuasaan, istilah tersebut
dipersepsikan sebagai hubungan kekuasaan Negara dengan rakyat, raja dengan para kawulanya.
Perkara raja dan tahtanya, raja dengan wilayah kekuasaannya, raja dengan kawulanya
selalu muncul secara representasional dalam lakon-lakon kethoprak, lakon brandhal padang
karautan adapatasi Pararaton (kisah Ken Arok ketika menjadi perompak di Padang Karautan),
Brandal Lokajaya mengadaptasi kisah Sunan Kalijaga, Kebo Kenanga Mbalela mengambil dari
Babad Tanah Jawi, Raden Mas Grendhi Mbalela, Pangeran Samber Nyawa, Ki Ageng
Mangir/Ki Ageng Wanabaya Merong, Gimbal Naya Sentika, Samin Surasentika. Kisah-kisah
tersebut merupakan cerminan ―dualistis, praktik sosial yang dilakukan para aktor merupakan
bagian dari dekontruksi terhadap struktur dan system yang dijalankannya. Konsep ―wadhah isi,
curiga manjing warangka‖ yang diungkapkan pada lakon Kebo Kenanga Mbalela memiliki
kerangka tafsir yang multidimensional. Dalam lakon ini akan selalu muncul dimensi politik
agama, Negara, raja terhadap rakyat dan wilayah kekuasaannya.
Dualistis politik kuasa negara terhadap wilayah-wilayah kekuasaan keraton-keraton Jawa
tercermin dalam foklor yang disajikan dalam lakon-lakon kethoprak. Sebagian besar lakon yang
disajikan dalam kethoprak bersumber pada serat babad yaitu bentuk karya sastra yang
mengadaptasi ceritera sejarah ke dalam fiksi dengan menggarap medium seni pertunjukan.
Lakon Kebo Kenanga Mbalela/Ki Ageng Pengging Mbalela merupakan lakon kethoprak yang

13
Pertunjukan kethoprak biasanya mengambil babon ceritera dari serat babad tanah jawa, atau babad
yang lain relevan dengan sejarah local.
85
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

popular dalam masyarakat Jawa. Dalam berbagai sumber Kiangeng pengging.kia geng kebo
kenanga akhirnya ditumpas oleh Sunan Kudus atas perintah Sultan Patah14.
Resistensi kekuasaan atas wilayah perdikan15, kadipaten, kerajaan menjadi peristiwa
pertunjukan yang unik dan menarik. Istilah ―Wadhah Isi, curiga manjing warangka‖ menjadi
gambaran simbolis resistensi para penguasa wilayah-wilayah politik terhadap Raja, Sultan,
adipati sebagai penguasa tunggal yang syah atas Negara. Narasi tentang resistensi politik
Perdikan Pengging dengan kasulatanan Demak dimaknai sebagai penanda penting dalam sejarah
raja-raja Jawa, karena Mas Krebet/Joko Tingkir dikemudian hari menjadi raja jawa yang ditandai
dengan berdirinya kerajaan Pajang setelah kerajaan Demak runtuh.
Menguatnya politik dinasti dalam kerjaan-kerajaan jawa—mungkin juga di wilayah yang
lain—terbukti dengan perebutan kekuasaan, pemberontakan, pembangkangan yang berujung
beralihnya kekuasaan dan beralihnya pusat-pusat kekuasaan dinasti raja-raja Jawa di berbagai
kota sebagai keraton yang sering disebut dengan ―negari‖.
Dalam telaah terhadap ―Wadhah Lan Isi, Curiga Manjing Warangka‖ penulis menyimak
sumber tertulis berupa serat babad, layang kandha untuk mengumpulkan informasi tentang
foklor terkait. Babad Tanah Jawi oleh Soewito Santoso, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan
timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara oleh Slamet Muljana. Hal ini dirasakan penting
karena dalam fakta empiriknya dua sumber ini melahirkan varian yang beragam, baik dalam
bentuk narasi tertulis maupun dalam pertunjukan.
Untuk itu penulis juga mengamati berbagai pertunjukan kethoprak maupun teater
tradisional yang lain sebagai bandingan untuk memperoleh kelengkapan literature secara
mendalam.ceritera terkait dengan lakon Kebo Kenanga/Ki Ageng Pengging dalam konteks
tradisi lisan dan ceritera babad. Pertunjukan kethoprak sebagai salah satu pertunjukan tradisi
lisan memiliki keberagaman ungkapan simbolik. selanjutnya teks kaji dengan pendekatan
hermeneutik, analisis dilakukan terhadap teks pertunjukan kethoprak lakon Kebo Kenangga
Mbalela dengan kembali menyimak beberapa literatur yang relevan.
B. PEMBAHASAN

14
. Slamet Mulyana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara .
(2005: 224-229)
15
Merupakan wilayah otonom dan bebas pajak.
86
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

1. Struktur Teks Lakon Kebokenanga Mbalela16


Lakon Kebokenanga Mbalela diawali penolakan kebokenanga terhadap penguasaan
sultan Patah wilayah bumi Perdikan Pengging. Telah beberapa kali pasewakan Kebokenanga
tidak hadir, maka diutuslah patih Wanasalam mengingatkan Kebokenanga. Sampai setahun
kemudian kebokenanga tidak juga hadir menghadap Sultan Demak, maka Kebo Kenanga dinilai
memberontak. Sunan Kudus segera diperintahkan untuk menyelesaikan tuntas masalah
Kebokenanga.
Kehadiran Sunan Kudus diterima oleh Kebo Kenanga dalam bilik suci. Sunan kudus
segera menjabarkan misinya dengan menggunakan sanepa17. Sunan kudus menyampaikan
pertanyaan kepada Kebo Kenanga,
Sunan kudus: ―jebeng Kenanga, kanjeng sultan Patah pitakon marang sira, iki ingsun digawani
kendaga kencana kang isine sesotya adi,…jeneng sira pilih wadhah apa isine,
jebeng!.
Kebokenanga: ―Rama Sunan kekalihipun kula pilih. Wadhah tuwin isi punika loro-loroning
atunggal, menawi wadhah tuwin isi punika lajeng dipun pisahaken ical
suraosing wadhah tuwin isi..candranipun raga koncatan ruh temah kecalan
gesangipun.‖
Sunan kudus: Jebeng kenanga jeneg sira kudu milih salah sawiji !
Kebokenanga: Mboten kanjeng sunan! kula sampun gadhah pinyambak, bumi perdikan
pengging , sak kawulanipun!

Sunan Kudus terperangah bahwa misinya gagal. Ia segera menunjukkan keris pusaka dari
sultan adipati Patah, Kebo Kenanga segera mengeluarkan Kyai Crubuk, keduanya berdebat
mengenai hakekat makna curiga manjing warangka.
Sunan Kudus: ―Ana Curiga kalawan Warangka. Yen mung katon Warangka, aneng ngendi
Curiganira?‖
Kebokenanga: ―Amanjing Warangka. Manunggal anyawiji!‖

Mendengar jawaban itu Sunan Kudus segera menusukkan keris ke tubuh kebokenanga.
Setelah kebokenanga tewas sunan kudus segera keluar dari bilik suci dan pergi meninggalkan
pengging. Nyai Kebo Kenanga kaget melihat suaminya tewas segera mengumpulkan prajurit
pengging mengejar sunan kudus. Terjadilah perang antar prajurit demak dengan prajurit

16
Teks ini saya kutip dari pertunjukan kethoprak desa Jakenan kec Juwana Kab Pati.
17
Bahasa simbolis untuk menyampaikan pesan penting dari sultan agar tidak dipersepsikan sebagai bahasa arogan
penguasa.
87
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

pengging. Sunan kudus bermuslihat memerintahkan prajurit Demak untuk membunyikan Bendhe
Beri dari segala penjuru. Kemudian sunan kudus berkata pada prajurit Pengging..pulanglah
kalian kalian telah terkepung, ini antara sultan dengan ki Ageng Pengging….pulanglah demi
sanak keluargamu…Para prajurit Pengging akhirnya mundur.
Pada teks ini yang dikutip diatas memiliki perbedaan mendasar dengan apa yang
dituliskan dalam babad tanah Jawa, dan juga teks pertunjukan kethoprak pada umumnya. Kisah
tewasnya Ki Ageng Pengging/Kebokenanga secara detail dilukai pada siku lengan kirinya, tetapi
dalam pertunjukan tersebut penusukan keris pada Kebokenanga tepat saat menjawab amanjing
warangka. Nampaknya Dwija18 memberikan tafsir yang tersendiri terhadap Peran Sunan Kudus
dalam peristiwa tersebut. Muncul tafsir yang berbeda, Nampak sekali Sunan Kudus bernafsu
dalam menjalankan tugas politiknya.
Dalam pertunjukan lain, Kebo Kenanga/Ki Ageng Pengging Tewas bukan ditusuk oleh
Sunan Kudus, tetapi dengan menyanyat siku kiri. Sudah barang tentu versi ini diungkapkan oleh
kelompok pemain kethoprak yang berbeda. dalam tradisi pertunjukan kethoprak para pelaku
memilih ungkapan-ungkap simbolik dengan berdasar pada pengalaman mereka, kedalaman
tafsirnya memiliki pengaruh yang significan dalam membangun tanda dan symbol-simbol dalam
tingkat kerumitan tertentu.
2.2 Pencandraan dan Pemaknaan
Dalam teks kisah Kebo Kenanga mbalela dapat ditengarai adanya struktur, aktor sosial,
praktik sosial yang dimainkan dalam pergulatan tanda dan simbol terkait dengan dualistis,
strukturasi, Rekonseptualisasi terhadap tindakan, struktur, dan system diawali dengan melihat
praktik-praktik sosial. Demak, Pengging merupakan represesntasi keberadaan struktur dengan
system kekuasaan yang dijalankan oleh Sultan Patah dan Kebokenanga sebagai aktor sosial
yang menjalankan praktik sosial dalam ceritera politik. Sunan kudus, para prajurit menjadi
bagian penting dalam menggunakan wadhah isi, curiga manjing warangka sebagai diplomasi
simbolis sebagai praktik sosial politik penguasaan Demak terhadap wilayah Pengging sebagai

18
Dwija merupakan salah satu pemain kethoprak dari desa Karangtawang Juwana, seorang pemain kethoprak yang
tergolong laris karena selalu optimal dalam peran-peran antagonis. Dalam peran tersebut ia menengaskan peran
sunan kudus merupakan figure yang berkarakter licik dalam berbagai diplomasi politik kenegaraan. Dalam
konvensi pertunjukan kethoprak, bahkan dalam kehidupan sehari-hari selalu muncul intrik Sunan Kudus, untuk
daerah Pati, Rembang, mungkin juga Blora dan Purwadadi Sunan Kudus dimainkan sebagai tokoh Antagonis.
88
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

bumi perdikan19, praktik peguasaan Raden Patah selaku Sultan Demak terhadap Ki Kebo
Kenanga sebagai sub ordinasi kekuasaannya.
Pengerahan Sunan Kudus dengan tentara Demak merupakan praktik control yang
dilakukan dengan menggunakan kekuatan militer, ―memperdengarkan bende beri20 sebagai
penada perang‖ merupakan pendekatan persuasif simbolik terhadap prajurit pengging yang
dibangun dari mentalitas agraris memiliki spirit yang jauh berbeda dengan prajurit Demak
dengan spirit maritim yang dibangun oleh Sultan Patah . Praktik sosial yang melekat pada aktor
sosial mencerminkan resistensi sang penguasa, pengusaan, dan obyek yang dikuasi dalam
control sosial politik melalui kekuatan militer.
Pembangkangan ―mrengkang pranataning negara‖ yang dilakukan oleh Kebokenanga
merupakan pengingkaran kekusaan Demak didasarkan pada esksitensi Pengging sebagai bumi
perdikan (kadipaten), dan integritas personalnya sebagai penguasa Pengging21. Kontrol yang
dilakukan Raden Patah selaku penguasa tunggal kasultanan Demak terhadap Pengging
dilakukan dengan pendekatan diplomasi politik oleh patih Wanasalam dan kemudian disusul
dengan control melalui kekuatan militer yang direpresentasikan kehadiran Sunan Kudus dan
pengepungan pengging oleh Prajurit Demak.
Sunan kudus dalam perang pengepungan tersebut memposisikan prajurit pengging
sebagai petani (rakyat jelata) yang harus mematuhi Demak sebagai Negara yang menguasai
Pengging. Tindakan ini merupakan representasi dari alat penguasaan Negara yang dilakukan oleh
Sultan Patah, Kebokenanga, dan rakyat pengging. Pembangkangan Pengging yang dipimpin
oleh Kebo Kenanga merupakan praktik sosial—gerakan sosial politik—yang bersifat
rekonseptualisasi terhadap struktur dan sisitem yang dipandang telah melanggar hak-hak
asasinya atas wilayah pengging. Ini diungkap melalui dialog, ―tidak rama sunan aku telah
memiliki wadhah dan isinya” jawaban ini mengandung penolakan tegas terhadap penguasaan
Demak atas Pengging.

19
Wilayah otonom bebas pajak, biasanya otonomidiberikan pada penguasa lokalyang berjasa bagi kerajaan, raja,
atau penguasa Negara. Perdikan dibebaskan dari pembayaran upetidan pajak.
20
Dalam naskah lain disebutkan bendhe beri (gong papar ) tetapi dalam foklor kethoprak disebutkan bende becak
sebagai pusaka Sunan Bonang
21
Kebokenanga merupakan putra Prabu Pengging Handayaningrat menantu Brawijaya V, dan sejak Majapahit
Pengging merupakan bumi perdikan samna dengan Lasem.
89
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Sepeninggal Kebo Kenaga, maka Pengging tidak lagi memiliki pemimpin yang mampu
melakukan praktik sosial dan interaksi sosial sehingga struktur terpelihara melalui system yang
diciptakan oleh agen sosial (dalam hal ini Kebo Kenanga atau Raden Patah). Kekuasaan
Kebokenanga telah dipatahkan oleh Raden Patah selaku penguasa tunggal Demak melalui agen
sosial (Sunan Kudus) yang mampu menjalankan praktik sosialnya menggunakan kekuatan
militer untuk menggepur system kekuasaan Pengging. Dalam konteks ini Kebo Kenanga
diposisikan sebagai aktor sosial yang tidak memiliki kemampuan dalam menjalankan praktik
kekuasaannya. Sultan Patah dengan sendirinya menguasi Pengging dan kemudian memberikan
kedudukan adipati kepada mas Krebet yang masih bayi sebagai penguasa yang baru sub ordinat
dari kekuatan politik Demak.
Sistem pengaturan itu ditolak oleh Nyai Ageng Tingkir22, Mas Krebet dan Pengging akan
memiliki haknya atas pengging tanpa harus menjilat kesaksian palsu Raden Patah selaku
penguasa Negara, maka Mas Krebet diboyong ke Tingkir. Dari lanjutan kisah muncul aktor
sosial bernama Nyai Ageng Tingkir yang secara laten menolak keras system penguasaan Demak
atas Pengging. Ki Ageng Pengging/ Kebo Kenanga memaknai hubungan Pengging dengan
Demak merupakan wilayah otonom yang merdeka saling memaknai, tanpa harus ada yang
berposisi sebagai pusat/ordinat maupun subordinat.
Hubungan Raden Patah dan Kebo Kenanga merupakan hubungan keluarga kakak adik
menanggalkan status politik dan penguasaan wilayah, ikatan yang harus dibangun adalah
kesetaraan sosial salang memaknai kedaulatan wilayah sebagai mana telah diwarisi dari generasi
sebelumnya. Raden Patah sebagai putra brawijaya yang lahir dari putri Campa telah
mendapatkan warisan Bumi Glagah Wangi yang kemudian atas dukungan para wali didirikan
kerajaan Islam dengan sebutan Demak, sedangkan Ki Kebo Kenanga merupakan pewaris
tunggal Kadipaten Pengging dari Pangeran Pengging Handayaningrat.
Raden Patah maupun Kebo Kenanga telah memiliki status sosial politik yang setara,
merupakan pola hubungan dualistis saling memaknai secara merdeka tidak ada yang menjadi
ordinat maupun sub ordinat, wilayah Pengging merupakan wilayah yang otonom setara dengan

22
Dalam pertunjukan kethoprak perang Nyai Ageng Tingkir dalam konteks politik tidak pernah tergarap sebagai
negarawan, tetapi lebih mengungkapkan sebagai wanita yang penuh kasih sayang memungut Mas Krebet sebagai
yatim piatu korban perang, dan korban tipu daya politik.
90
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

kedaulatan Demak. Kebo Kenanga maupun Raden Patah memiliki kesetaraan sebagai penguasa
atas wilayah politiknya masing-masing. Perkembangan Demak menuntut semua eks wilayah
politik Majapahit menjadi wilayah kuasa politiknya menjadi awal perselisihan.
Kewajiban sowan dan caos glondhong pengareng-areng para adipati kepada penguasa
tertinggi negara merupakan symbol pengakuan kedaulatan. Para adipati, raja bawahan, para
penguasa perdikan ketika sowan asok glondhong pengareng-areng merupakan symbol
penaklukkan wilayah dan kuasa politik maka Demak menjadi ordinat dan wilayah kuasa
dibawahnya merupakan sub ordinat yang diawasi dan dikendalikan oleh Sultan sebagai penguasa
tunggal. Dalam konteks simbolik Wadhah Isi, Keris Manjing Warangka yang hadir dalam lakon
Kebo Kenanga Mbalela memberikan gambaran tentang pola penguasaan Negara terhadap
wilayah kekuasaan, praktik politik penguasaan raja terhadap kawula sehingga kedaultan menjadi
sesuatu yang mutlak bagi penguasa. Raden Patah sebagai Sultan Bintara Demak memiliki
perangkat politik yang kuat yaitu para wali dan Islam yang menawarkan tatanan sosial yang baru
yang berbeda dengan tatanan majapahit yang dipandu oleh pandangan keagamaan Hindu Buda.
Gambaran skematik tentang peristiwa dramatik tersebut di atas dapat dinyatakan dalam
bagan sebagai berikut:

Dualitas Dualisme

Wadhah Isi
Representasi
struktur Keris: curiga
manjing warangka

Raja Negara rakyat


Wilayah kuasa

Sultan Patah
Aktor sosial Kebo Kenanga
Sunan kudus

Diplomasi Wanasalam
Diplomasi politik Sunan Kudus
91
Pembunuhan Kebo Kenanga
Perang prajurit PenggingSEMINAR
dan Demak NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Praktek sosial

Bagan 1. Pencandraan Resistensi dualistis politik Raden Patah dan Kebo Kenanga

2.3 Politik Dinasti dan Politik Agama


Dalam perspektif religi wadhah isi, curiga manjing warangka dimaknai sebagai
ungkapan refleksi tradisi Sufisme Jawa. Dalam beberapa sumber memiliki hubungan kontekstual
dengan teks-teks yang lain, terutama dengan legenda tokoh sufisme Islam jawa Syeh Siti Jenar.
Paham islam kejawen yang diajarkan oleh Syeh Siti Jenar dalam konteks politik keagamaan
Wali Sanga dianggap bertentangan dengan syari‘at dan politik Negara Demak, dalam teks
Babad Tanah Jawi. Dalam pertunjukan kethoprak konflik agama para wali, politik kenegaraan
Demak tergambarkan dalam berbagai lakon yang kait mengkait, Syeh Siti Jenar, Syeh Dhomba,
Ki Lonthang Semarang, Ki Kebo Kenanga/Ki Ageng Pengging.Ajaran tasawuf manunggaling
kawula-Gusti, Jumbuhing kawula-Gusti, yang digambarkan dengan simbol curiga manjing warangka -
warangka manjing curiga. Menyatunya ruh dan badan, titah dengan sang khaliq sebagai kesatuan yang
abadi, menumbuhkan pemahaman yang ditentang para wali, dan dilarang diajarkan pada masyarakat luas.
Kebo Kenanga merupakan murid kinasih Syeh Siti Jenar dengan demikian ajaran-ajaran
makrifat juga telah dihayati pada kedalaman batinnya. Hal ini menjadikan posisi Kebo Kenanga
sebagai pembangkang menguat. Dalam beberapa adegan kethoprak dieskpresikan dalam
berbagai motif dialog, antara lain dialog kebo kenanga dengan Ki Ageng Tingkir berikut.

Ki Ageng Tingkir: Adi Kenanga, ora kersa sowan menyang bintara kuwi ateges mrengkang
pranataning ratu, merong kampuh jingga. Ayo tak dherekake sowan
(adikku kenanga menolak sowan ke demak itu melawan raja, engkau
dianggap pemberontak, ayo aku antarkan kau ke Demak)
Kebo Kenanga: Pedah ipun punapa kakang, kula menika namung santri ndusun, tani utun,
damel lingsem kemawon, menawi marak sultan bintara,( tidak ada gunanya
kakang. Saya hanyalah santri dusun petani lugu, membuat malu kalau saya
ke Demak)
Ki Ageng Tingkir: Adi kenanga tak ibaratake kendhaga jun kang wadhahing uyah, dikumbaha
ping sewu tetap nggada asin, elingga yen siadi iku isih trah ratu..wayah
dalem nata ing majapahit, mijil saka Pangeran Pengging Handayaningrat,
92
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Raden Patah iku isih pamanmu dhewe…(Dinda Kenanga ibaratnya engaku


ini adalah jun tempat menyimpan garam dicuci seribu kali akan tetap asin,
ingatlah engkau itu masih trah ratu cucu raja majapahit, anak dari pangeran
pengging handayaningrat, Raden Patah itu Masih pamanmu sendiri)
Kebo Kenanga: Mboten kakang, menawi njeng sultan bintara rumaos gadhah kerabat ingkang
klendran ing padhusunan, mesthinipun njeng sultan rawuh dhateng
pengging, mboten kedah kula ingkang ngrumiyini sowan. Mboten tambuh-
tambuh ndadak utusan gandhek (tidak kakang, kalau kanjeng sultan
merasa punya kerabat di desa tentu akan menjemputku di Pengging, tanpa
saya harus mendahului ke Demak, jadi tidak perlu denganb mengirim
utusan.
Ki Ageng Tingkir: Pun kakang tanggap, yen siadi arep mbalela, aja rangu-rangu ati tengu, sira
iku tus majapahit, (saya tanggap, kalau dinda mau memberotak jangan
ragu-ragu, karena engkau pewaris majapahit juga)
Kenanga: Mboten kakang, menawi kula ratu..sak turun-turun kula inggih ratu, mboten wonten
paedahipun kela sowan dhateng bintara (tidak kakang, kalau aku seorang
raja, anak keturunanku juga raja, tidak adagunanya saya dating ke Demak
Bintara)

Dalam berbagai pertunjukan kethoprak motif dialog tersebut menjadi wos /inti; demikian
pula dialog syekh siti jenar juga diterapkan pada pada dialog sunan kudus dengan Kebo
Kenanga/Ki Ageng Pengging. terdapat dua pola dualistis dalam dialog-dialog yang diekspresikan
dalam pertunjukan kethoprak Lakon Kebo Kenanga Mbalela. Yang pertama dualistis politik
sebagai bentuk ekspresi kesetaraan hubungan antara raden patah dengan kebo kenanga sebagai
pewaris majapahit, kesetaraan Demak sebagai kadipaten dengan pengging sebagai perdikan
karena diwarisinya sebagai wilayah kadipaten Pengging.
Yang kedua, dualistis hubungan vertikal antara kholik dan titahnya, sebagaimana dalam
berbagai ekspresi adegan kethoprak dalam berbagai motif dialog tentang saling kebermakanaan
antara sang pencipta dengan titahnya. Aku ada dalam dirinya, dirinya ada dalam diriku.
Menyatunya jiwa dan raga, bersatunya manusia dengan Sang Pencipta, yang diuyngkapkan dalam isbat
curiga manjing warangka- warangka manjing curiga. Hakekat meleburnya dzat Tuhan dengan manusia,
dalam diri manusia terdapat dzat tuhan yang satu, diungkapkan dengan slogan makrifat manunggaling
kawula-Gusti.
Politik agama dalam kerajaan Islam pertama di Jawa yaitu Demak, tampak secara tegas
diekspresikan dalam dialog-dialog ajaran makrifat Syekh Siti Jenar, Ki Kebo Kenanga/ki Ageng
Pengging, ki Lonthang Semarang, maupun Syekh Domba. Perbedaan visi penyebaran Islam wali sanga

93
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

dalam konteks kenegaraan tidak menghendaki tumbuhnya sufisme Syekh Siti Jenar yang mengabaikan
kepentingan ukuwah yang bersan.dar secara mendasar pada praktik syariat pada masyarakat luas
Dalam lakon Kebo KenagaMbalela dualistis diekspresikan secara tegas, sehingga dari sisi
pandang dualistis politik antara Kebo Kenanga dengan Raden Patah tampak jelas. Kebo Kenanga dalam
beberapa ekspresi pertunjukan ditampilkan sebagai sosok pembangkang, dan Raden Patah sebagai
penguasa tunggal yang dinaifkan kedaulatannya sebagai pewaris sah kerajaan Majapahit. Beberapa versi
mengekspresikan bahwa Kebo Kenanga juga menginginkan pengging berdaulat setara dengan Demak,
politik dinasti semacam ini juga sering diekspresikan dalam berbagai lakon sebelum episode Demak.
Pembangkangan Bre Wirabumi/Menakjingga terhadap Suhita Ratu Majapahit, politik dinasti,
belenggu feodalisme yang ditandai dengan kepemilikan wilayah sebagai aset ekonomi nampak kuat.
Istilah ―tus‖ yang melekat pada nama kerajaan menunjukkan garis dinasti. Hal ini yang menyebabkan
konflik setiap pergantian raja, peralihan kekuasaan dan berpindahnya pusat kerajaan. Sengketa Arya
Penangsang dengan Jaka Tingkir pada awal berdirinya pajang sebagai pusat kerajaan diwarnai dengan
perdebatan pewaris kerajaan yang diekspresikan dengan istilah ―tus majapahit‖ yang melekat pada Jaka
Tingkir anak Pangeran Pengging Handayanigrat.. Konsep wadhah isi, curiga manjing warangka konteks
lakon Kebo Kenanga Mbalela Nampak berlanjut sampai pada konteks politik kerajaan Islam pada
periode-periode berikutnya.
C. SIMPULAN
Menyimak beberapa teks pertunjukan kethoprak dalam konteks lakon Kebo Kenanga
Mbalela pada prinsipnya terkait dengan konsep wadhah isi, curiga manjing warangka sebagai
ungkapan dualistis. Resistensi terjadi dalam lakon Kebo Kenanga Mbalela terjadi karena awal
berdirinya Demak sebagai kerajaan Islam di Jawa menuntut dualisme yang ditandai dengan
penguasaan sepenuhnya aset-aset politik Majapahit di bawah kedaulatan Demak. Terdapat
resistensi yang mengacu pada narasi dualistis, yaitu
Yang pertama dualistis politik sebagai bentuk ekspresi kesetaraan hubungan antara raden
patah dengan kebo kenanga sebagai pewaris majapahit, kesetaraan Demak sebagai kadipaten
dengan pengging sebagai perdikan karena diwarisinya sebagai wilayah kadipaten Pengging.
Yang kedua dualistis hubungan vertikal antara kholik dan titahnya, sebagaimana dalam
berbagai ekspresi adegan kethoprak dalam berbagai motif dialog tentang saling kebermakanaan
antara sang pencipta dengan titahnya. Aku ada dalam dirinya, dirinya ada dalam diriku.

94
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Menyatunya jiwa dan raga, bersatunya manusia dengan Sang Pencipta, yang diungkapkan dalam isbat
curiga manjing warangka- warangka manjing curiga.
Dalam konteks lakon Kebo Kenanga Mbalela dualistis politik tampak lebih menonjol,
kesetaraan posisi sebagai ―tus majapahit‖. Hal tersebut menumbuhkan resistensi kekuasaan,
konflik, dan pembangkangan Kebo Kenanga terhadap Demak.

Daftar Pustaka

---------------. Kepustakaan - * Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai
Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi.
Giddens, Anthony. 1984. Constitution of Society (Outline of the Theory of
Structuration). Berkeley, LA: University of California Press.
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Purwadi. 2001.Babad Tanah Jawi: Menelusuri Jejak Konlik. Yogyakarta: Pustaka
Alif.
Slamet Mulyana. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya.
Negara-negara Islam di Nusantara.Yogyakarta:LKiS.
Soewito Santoso.2003. Babad Tanah Jawi (galuh Mataram). Surakarta: Dewan
Penyantun STSI Surakarta.
Yasraf Amir Piliang. 2003. Hiper-moralitas; Mengadili Bayang-Bayang. Yogyakarta:Belukar.

FUNGSI DAN NILAI BUDAYA


LEGENDA TELAGA NGEBEL PONOROGO

95
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Nuraini Saura Putri


STKIP Bina Insan Mandiri
nurainisaura@stkipbim.ac.id

Abstrak

Melestarikan budaya merupakan kewajiban setiap warga negara. Salah satu cara untuk
melestarikan budaya adalah dengan mempertahankan cerita rakyat. Folklor adalah budaya daerah yang
harus dilestarikan untuk memperkaya keanekaragaman budaya bangsa Indonesia. Folklor terbagi menjadi
tiga, cerita rakyat lisan, dongeng semi-lisan, dan cerita rakyat non verbal. Legenda adalah salah satu
bentuk cerita rakyat lisan, yang berisi nilai sastra dan nilai pendidikan bagi masyarakat. Untuk
mengetahui nilai literatur dan pendidikan yang terkandung dalam legenda Telaga Ngebel melakukan
penelitian yang menggambarkan fungsi dan nilai budaya. Penelitian ini menggunakan pendekatan
deskriptif dengan menjelaskan data seperti apa adanya kejadian dengan kalimat penjelasan kualitatif.
Pendekatan ini digunakan untuk mendapatkan gambaran tentang fungsi dan nilai budaya dari legenda
Telaga Ngebel.

Kata kunci: legenda, folklor, fungsi, nilai budaya, Telaga Ngebel

Abstract

Preserving culture is an obligation of every citizen. One way to preserve culture is to maintain folklore.
Folklor is a regional culture that must be preserved to enrich the cultural diversity of the Indonesian
nation. Folklor is divided into three, oral folklore, semi-oral folklore and non-verbal folklore. Legend is
one form of oral folklore, which contains literary value and educational value for the community. To find
out the value of literature and education contained in the legend Telaga Ngebel conducted a study
describing the function and cultural values. This research uses descriptive approach. Describe the data
as it is and explain the data or events with qualitative explanation sentences. This approach is used to get
descriptions of the function and cultural values of the legend of Telaga Ngebel.

Keywords: legend, folklor, function, cultural value, Telaga Ngebel

A. PENDAHULUAN
Folklor adalah kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun di antara
kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun
contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu mengingat misalnya pada pertunjukan
wayang (Danandjaja, 2007). Foklor menjadi salah satu warisan budaya yang perlu dilestarikan, karena
didalamnya mengandung kekayaann bangsa.Kekayaan yan v
96
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Bruvand memperinci folklor menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) folklor lisan (verbal folklore), (2)
folklor setengah lisan (partly verbal folklore), (3) folklor bukan lisan (non verbal folklore). Folklor sering
dikaitkan dengan apa yang dinamakan sastra lisan, hal ini dikarenakan sastra lisan bagian dari folklor.
Sastra lisan sebenarnya adalah kasusastraan yang mencangkup ekspresi kesusastraan warga suatu
kebudayaan yang disebarkan dan diturun temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut).
Legenda merupakan salah satu bentuk folklor lisan.Legenda adalah cerita prosa rakyat yang
dianggap sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi.Legenda sering dipandang sebagai
―sejarah‖ kolektif (folk history), karena ―sejarah‖ tidak tertulis maka mengalami distorsi, sehingga
ceritanya sering jauh berbeda dengan kisah aslinya (Danandjaja, 2007).

Penelitian ini mengkaji Legenda Telaga Ngebel merupakan telaga yang terbentuk secara
alami oleh alam, berada di kaki gunung wilis tepatnya berada di Kecamatan Ngebel, Kabupaten
Ponorogo sekitar 30 km dari pusat kota Ponorogo. Mempunyai luas sekitar 5 km serta
mempunyai suhu sekitar 20-26 derajat celcius.Telaga Ngebel merupakan tujuan wisata utama
yang berada di Kabupaten Ponorogo.
Pemilihan legenda Telaga Ngebel Ponorogo sebagai kajian penelitian ini dengan alasan
tempat ini mempunyai kisah-kisah yang masih berhubungan dengan mitos yang selama ini
dipercaya oleh masyarakat sekitar, hal ini terbukti dengan masih adanya upacara adat pada setiap
bulan Asyuro.Dengan adanya penelitian ini diharapkan masyarakat luas dapat mengetahui fungsi
dan nilai budaya pada legenda Telaga Ngebel.Penelitian ini juga bertujuan untuk menjaga
kelestarian legenda Telaga Ngebel agar tetap diketahui oleh masyarakat luas.
Legenda Telaga Ngebel menceritakan mengenai sepasang suami istri yang merantau
bersama.Istri yang bernama Roro Kijang meminjam pisau terhadap suaminya Ki ageng
Mangir.Ki Ageng Mangir meminjamkan pisau sakti dengan syarat agar tidak
memangkunya.Karena kelalaian Roro Kijang, akhirnya pisau sakti tersebut dipangku dan
seketika hilang.Roro Kijang merasa bersalah, Ki Ageng menyuruhnya bertapa untuk menebus
kesalahan.Selang waktu Roro Kijang hamil, dia hamil karena pisau yang masuk ke dalam
rahimnya.Akhirnya Roro Kijang melahirkan seekor ular.Ular tersebut dikurung dan
ditinggalkannya.Saat tumbuh besar ular tersebut berusaha mencari orang tuanya.Dia menemukan
Roro Kijang yang sedang bertapa. Roro Kijang menyuruh Ular yang kemudian diberi nama Baru
Klinting tersebut untuk mencari ayahnya yang sedang bertapa di Gunung Wilis. Setelah bertemu,
97
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Ki Ageng Mangir memberikan syarat kepada Ular tersebut untuk melingkari Gunung Wilis
sebagai penyempurnaan wujudnya.Warga desa sekitar Wilis tanpa sengaja menyayat tubuh Ular
yang sedang bertapa.Sayatan tubuh Ular tersebut digunakan untuk selamatan desa.Ular yang
telah disayat tubuhnya menjelma menjadi anak kecil yang penuh dengan luka.Anak kecil
tersebut menghampiri kerumunan orang yang sedang selamatan untuk meminta makanan, namun
mereka malah mengusirnya.Melihat ketamakan dan kesombongan mereka, akhirnya anak kecil
tersebut membuat sayembara. Ditancapkannya lidi di tanah, siapa yang bisa mencabutnya akan
mendapatkan banyak daging. Tidak seorangpun dapat memenangkan sayembara tersebut,
akhirnya anak kecil tersebut mencabut lidi dan keluarlah air dari tanah hingga menenggelamkan
seluruh Desa dan seisinya.
Berdasarkan pemaparan sebelumnya maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut.
(1) Bagaimana fungsi legenda Telaga Ngebel? (2) Bagaimana nilai budaya dalam legenda Telaga
Ngebel?.Dengan tujuan penelitian (1) mendeskripsikan fungsi legenda Telaga Ngebel. (2)
mendeskripsikan nilai budaya dalam legenda Telaga Ngebel.

B. PEMBAHASAN

Sesuai dengan tujuan penelitian, hasil penelitian dan bahasannya disajikan berdasarkan urutan (1)
Fungsi legenda Telaga Ngebel, dan (2) Nilai budaya legenda Telaga Ngebel.

Fungsi Legenda Telaga Ngebel

Analisis fungsi legenda Telaga Ngebel didasarkan pada teori fungsi yang dikemukakan oleh
Bascom yang meliputi tiga fungsi sebagai berikut.

Sebagai Bentuk Hiburan

Sebuah hiburan dapat diperoleh dari berbagai media dan tempat, dengan cara pergi ke berbagai
tempat wisata ataupun dengan menonton televisi dan mendengarkan dongeng. Dongeng sering kali
diceritakan oleh para orang tua, baik saat bersantai ataupun menjelang tidur. Selain dongeng, asal-usul
nama desa, legenda atau mitos suatu tempat juga biasa diceritakan oleh guru kepada siswanya.

98
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Legenda Telaga Ngebel dapat berfungsi sebagai hiburan.Legenda ini sangat menghibur karena
dapat dinikmati oleh siapapun.Cerita legenda ini sudah dikenal oleh banyak kalangan, beberapa
diantaranya sudah menceritakan melalui blog-blog di media sosial.Hal tersebut membuat masyarakat
lebih mudah untuk mengetahuinya.Cerita yang menarik mampu menjadi hiburan bagi setiap pembacanya,
begitu pula dengan cerita legenda Telaga Ngebel ini.Legenda Telaga Ngebel mengisahkan seekor ular
yang terlahir dari rahim manusia, yang disebabkan oleh pisau pusaka yang hilang ketika di pangku oleh
Roro Kijang.Perjuangan Baru Klinting (ular) untuk menyempurnakan wujudnya sebagai manusia dengan
bertapa melingkari gunung Wilis juga merupakan hiburan.Suatu hiburan tidak hanya yang bersifat lucu,
namun juga yang memberikan pengetahuan dan pelajaran. Berikut hal-hal yang menghibur dalam legenda
Telaga Ngebel:

Pisau pusaka yang dipinjam oleh Roro Kijang menghilang saat diletakkan dipangkuannya.Karena
kelalaiannya, dia harus bertapa dirawa-rawa dan seiring berjalannya waktu perutnya semakin membesar.

Kemudian lupa pesan suaminya dan pisau pusaka itu ditaruh di atas
pangkuannya, tetapi apa yang terjadi ia amat terkejut dan heran karena pisau di atas
pangkuannya seketika itu hilang musnah dicari kesana kemari tidak ada.

Dengan ratap dan tangis ia menceritakan apa yang terjadi dan yang telah
dialami kepada Ki Ageng Mangir. Suaminya menerima kejadian itu dengan sabar hati,
karena hal itu sudah menjadi kehendak Tuhan dan untuk menebus kesalahannya ini Roro
Kijang harus bertapa di tengah – tengah Rawa.

Diceritakan bahwa Roro Kijang perutnya makin hari semakin bertambah besar
seperti orang bunting.

Roro Kijang yang lalai terhadap pesan suaminya membuat dirinya mendapat hukuman.Dia hamil
dan melahirkan seekor ular, kulitnya bercahaya dan kepalanya seperti mahkota.

Diceritakan bahwa Roro Kijang perutnya makin hari semakin bertambah besar
seperti orang bunting.Saat melahirkan apa yang terjadi, ia tidak melahirkan seorang
anak manusia melainkan seekor ular. Sekalipun ular tetapi tidak sembarang ular. Ular
yang ajaib, kulitnya bercahaya berkilauan seperti emas kepalanya seperti mahkota.

Ular (Baru Klinting), merasa hidup sendiri akhirnya ia memutuskan untuk mecari orang tuanya.

Ia menjalar kesana kemari sambil menggerak -gerakan kepalanya sehingga


kelenting dilehemya berbunyi ―kelinting-kelinting‖. Karena ia merasa hidup sendirian
99
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

maka timbulah pertanyaan dalam hatinya, siapakah yang melahirkan dirinya dan
siapakah kedua orang tuanya. Akhirnya timbulah niat untuk mencari kedua orang
tuanya.

Tantangan yang diberikan oleh Solokantoro terhadap Baru Klinting untuk melingkari gunung
Wilis dapat dilaksanakan.

Dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa maka Baru Klinting dapat melingkari
kaki gunung, ekor di depan sang pertapa dan kepala sampai menyentuh ekor tetapi
tinggal sepanjang jari saja. Untuk mencapai ekomya maka dengan seijinnya Baru
Klinting mengeluarkan lidahnya dengan sepanjang-panjangnya sampai ke ujung ekor.

Baru Klinting yang melakukan pertapaan cukup lama membuat tubuhnya ditutupi oleh semak-
semak hingga terlihat seperti kayu.Suatu ketika ada masyarakat desa desa Ngebel sedang berburu tanpa
sengaja memotong tubuh Baru Klinting.Setelah tau yang dipotong adalah sebuah daging maka beramai-
ramai mereka memotongnya untuk acara selamatan bersih desa.

Ada seorang yang sambil duduk mengayunkan kapaknya ke batang kayu anehnya
kayu itu mengeluarkan darah, ia amat terkejut sambil berteriak. Karena batang kayu itu
geluarkan darah maka yang lainpun mencoba mengiris batang kayu tapi keluar
darahnya.Semua riang gembira sesutau yang disangka kayu itu dipotong-potong
badannya.Mereka beramai-ramai membawa pulang hasil buruan dan dimasak bersama-
sama di rumah Kepala Desa.

Lidi yang dicabut oleh anak kecil mengeluarkan air cukup deras hingga menenggelamkan
masyarakat desa.

Akhirnya anak kecil itu dengan perlahan-lahan mencabut lidi sapu yang
tertancap di tanah tadi dengan mudahnya, kemudian seolah-olah timbul sebuah mata air
yang besar dan menggenangi halaman dan pekarangan kepala desa.Karena derasnya air
maka anak-anak dan orang tua jatuh tenggelam, semua orang mati dan segala bangunan
roboh terapung- apung. Sebentar saja desa itu tenggelam dan menjadi Danau yang
selanjutnya dinamakan ” danau Ngebel “.

Sebagai Alat Legitimasi Pranata-pranata dan Lembaga-lembaga Kebudayaan

Legenda Telaga Ngebel juga mengandung fungsi sebagai alat pengesahan pranata-pranata
kebudayaan.Kebudayaan memiliki pranata sosial seperti tolong menolong, kerjasama, kesepakatan, dan

100
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

perjanjian.Kebudayaan kesepakatan terdapat dalam legenda Telaga Ngebel.Hal tersebut dapat kita lihat
dalam kutipan berikut ini.

Solokantoro mau mengaku sebagai ayahnya, tetapi sebelumnya harus menurut


perintahnya dahulu yaitu : Lingkarilah Gunung Wilis ini kalau dari ujung ekor sampai
kepalamu cukup panjang untuk melingkari Gunung Wilis ini rnaka akan diterima sebagai
anaknya

Berdasarkan kutipan di atas bisa kita lihat adanya kesepakatan antara Solokantoro dan anaknya,
kesepakatan itu berisi bila ular tersebut mampu melingkari gunung Wilis maka dia akan diterima sebagai
anaknya.

Pada legenda Telaga Ngebel terlihat kebudayaan kerjasama, seperti pada bagian cerita saat
masyarakat Ngebel berbondong-bondong berburu untuk selamatan bersih desa.

Pada suatu hari di desa Ngebel di lereng Gunung Wilis akan mengadakan bersih
desa pelaksanaannya dipusatkan di rumah Kepala Desa segala biaya dipikul oleh rakyat
desa. Untuk menghemat biaya semua warga desa laki-laki masuk hutan mencari
binatang buruan baik kijang, rusa ataupun yang lainnya untuk lauk pauk dalam pesta
rakyat nanti.

Kebersamaan saat ada selamatan desa masih sering terjadi hingga saat ini.Kebersamaan yang
dilakukan masyarakat desa selain meringankan dalam pengeluaran juga meringankan dalam
pekerjaan.Kebersamaan yang dilakukan oleh warga desa juga dapat memupuk rasa persaudaraan.

Pada legenda Telaga Ngebel terlihat kebudayaan tolong-menolong, seperti pada bagian cerita
ketika seorang nenek yang menolong anak kecil selamat dari air besar yang menenggelamkan desa.
Berikut kutipannya:

Kemudian datang rang nenek tua yang memberi nasi sebungkus penuh dengan
pindang ing sate nasi diterima terus saja dimakan sebentar saja habis.

Hanya dua Orang yang selamat yaitu nenek tua dan anak kecil tadi dimana
setelah mengetahui ada air datang ia langsung naik lesung sebagai perahunya dan
Entong sebagai alat pendayung.

101
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Berdasarkan kutipan di atas bisa kita lihat adanya perbuatan saling tolong-menolong.Seorang
nenek memberikan nasi terhadap anak kecil yang sedang kelaparan.Sebagai gantinya anak kecil tersebut
memberikan pertolongan dengan sebuah pesan agar nenek tersebut naik lesung dan membawa centong
nasi ketika banjir.Pada akhirnya nenek tersebut selamat dari banjir yang telah menenggelamkan seluruh
desa.

Sebagai Alat Pendidikan Anak

Fungsi selanjutnya dalam legenda Telaga Ngebel dapat digunakan sebagai alat
pendidikan.Legenda ini dapat diceritakan kepada anak-anak, tidak hanya di sekolah namun juga di luar
sekolah.Mengungkapkan asal-usul sebuah tempat, dapat menjadi sebuah pengetahuan baru untuk anak-
anak. Diharapkan anak-anak mampu menjadi penerus dan pewaris sastra lisan, karena dikhawatirkan
akan ada cerita legenda yang direkayasa. Selain sebagai pendidikan, cerita legenda Telaga Ngebel ini
dapat menjadi warisan budaya bagi generasi selanjutnya.

Pada bagian cerita Telaga Ngebel ini, nilai pendidikan yang dapat diambil mengenai sikap
seseorang yang mau menyesali kesalahan yang telah diperbuat dan mencari solusi dengan cara bekerja
keras. Legenda Telaga Ngebel juga memberikan pesan bahwa saling menyayangi dan saling tolong dapat
berdampak baik bagi diri. Menuruti pesan orang tua memberikan kebaikan untuk sang anak.

Pesan moral yang dapat dijadikan sebagai alat pendidikan anak diantaranya, kepatuhan tokoh
Baru Klinting terhadap orang tuanya.Patuh terhadap orang tua membuat Baru Klinting mampu
menyempurnakan wujudnya menjadi manusia.

Atas pesan dan saran Ibunya yaitu Roro Kijang.Baru Klinting disuruh menyusul
dan mencari orang tuanya yang sedang bertapa digunung Wilis.

Solokantoro mau mengaku sebagai ayahnya, tetapi sebelumnya harus menurut


perintahnya dahulu yaitu ―Lingkarilah Gunung Wilis ini kalau dari ujung ekor sampai
kepalamu cukup panjang untuk melingkari Gunung Wilis ini maka akan diterima sebagai
anaknya‖. Dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa maka Baru Klinting dapat melingkari
kaki Gunung, ekor di depan sang pertapa dan kepala sampai menyentuh ekor tetapi tinggal
sepanjang jari saja.

Berdasarkan cerita tersebut teladan yang dapat diambil bahwa ketika seorang anak patuh terhadap orang
tua dia akan mendapat kemudahan dalam menghadapi segala hal. Selanjutnya teladan yang dapat diambil
bahwa ketika menghina orang lain bukan hal yang patut dicontoh. Legenda Telaga Ngebel menceritakan
102
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

bahwa warga desa Ngebel yang menghina anak kecil penuh borok (Baru Klinting), mendapatkan
musibah. Desa Ngebel digenangi air semua rumah roboh dan penduduk desa mati tenggelam beikut.

Sewaktu anak-anak sedang bermain di luar rumah, datanglah seorang anak


compang-camping pakaiannya dan banyak luka di badannya, dimana anak itu datang
mendekati anak-anak itu menjauh. Mereka merasa muak melihat anak itu datang, merasa
dihina oleh kawan-kawannya, maka ia lalu pergi ke dapur minta nasi. Semua orang benci
melihatnya dan tak ada seorangpun mau memberi nasi.

……………………….

Karena derasnya air maka anak-anak dan orang tua jatuh tenggelam. Semua orang mati
dan semua bangunan roboh terapung- apung sebentar saja desa itu tenggelam dan
menjadi danau yang selanjutnya dinamakan ” Telaga Ngebel “.

Berdasarkan cerita tersebut kita mampu memberi pendidikan terhadap anak, bahwa sebagai warga
bermasyarakat hendaklah kita saling menolong sesama dan jangan pernah menghina orang lain.
Selanjutnya perilaku yang mampu menjadi alat pendidik anak dalam legenda Telaga Ngebel adalah
bahwa sesama umat manusia harus saling tolong menolong.Hal tersebut tergambarkan melalui tokoh
nenek yang menolong Baru Klinting dengan memberinya sebungkus nasi dan ikan daging ular.Atas
perbuatannya nenek selamat dari bencana luapan air yang menggenangi desa Ngebel.

Kemudian datang rang nenek tua yang memberi nasi sebungkus penuh dengan
pindang ing sate nasi diterima terus saja dimakan sebentar saja habis.

Hanya dua Orang yang selamat yaitu nenek tua dan anak kecil tadi dimana
setelah mengetahui ada air datang ia langsung naik lesung sebagai perahunya dan
Entong sebagai alat pendayung.

Berdasarkan cerita tersebut kita dapat mengajarkan bahwa jika seseorang berbuat baik terutama
menolong sesama akan mendapatkan hal yang baik pula bagi dirinya.

Nilai Budaya Legenda Telaga Ngebel

Dalam menganalisis nilai budaya legenda Telaga Ngebel digunakan teori milik Lantini, bahwa
nilai budaya ada tiga, yaitu (1) nilai didaktik, (2) nilai etik, (3) nilai religiusitas (Lantini, 1997: 263-267).

Nilai Didaktik

Nilai didaktik adalah nilai yang berhubungan dengan ajaran tentang agama, budi pekerti, ajaran,
kesempurnaan diri, ajaran cara-cara mengabdi raja, kepahlawanan, dan ketatanegaraan.Legenda Telaga
103
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Ngebel memiliki nilai dikdaktik, dalam legenda Telaga Ngebel terdapat nilai agama. Di dalam cerita
Telaga Ngebel memang tidak diungkapkan agama apa yang dianut oleh para tokohnya, namun bisa kita
lihat bahwa mereka mempercayai adanya Tuhan. Ki Ageng Mangir yang sabar hati dengan kejadian yang
dialami Roro Kijang, dia mempercayai bahwa semua kejadian adalah kehendak Tuhan. Berikut
kutipannya

Suaminya menerima kejadian itu dengan sabar hati, karena hal itu sudah
menjadi kehendak Tuhan. Untuk menebus kesalahannya Roro Kijang harus bertapa di
tengah-tengah rawa.

Kutipan di atas suami yang dimaksudkan adalah Ki Ageng Mangir, bisa dilihat dalam kutipan
tersebut bahwa Ki Ageng Mangir menerimanya dengan sabar hati.Dia meyakini kejadian tersebut atas
kehendak Tuhan. Meyakini segala yang terjadi adalah kehendak Tuhan menggambarkan seseorang yang
mempunyai agama dan percaya akan adanya Tuhan.

Nilai Etika

Nilai etika dalam legenda Telaga Ngebel mengenai hubungan sebab akibat dari sifat baik dan
buruk manusia. Perbuatan baik akan mendapat balasan kebaikan pula, begitu pula sebaliknya perbuatan
buruk akan mendapatkan keburukan pula. Nilai etika meliputi tiga aspek yaitu (1) aspek kesetiaan, (2)
aspek ketaatan, (3) aspek kejujuran.Dalam legenda Telaga Ngebel terdapat dua aspek yaitu aspek ketaatan
dan aspek kejujuran.

Aspek ketaatan yaitu kepatuhan seseorang terhadap segala perintah.Legenda Telaga Ngebel
menggambarkan sikap ketaantan melalui tokoh Baru Klinting.Baru Klinting melaksanakan perintah orang
tuanya untuk bertapa melingkari Gunung Wilis demi menyempurnakan wujudnya.Meskipun hal tersebut
sedikit sulit dilakukan namun dia berusaha untuk melingkari Gunung Wilis.Hingga Baru Klinting pun
harus menjulurkan lidahnya demi dapat melingkari gunung tersebut.

Dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa maka Baru Klinting dapat melingkari
kaki Gunung, ekor didepan sang pertapa dan kepala sampai menyentuh ekor tetapi
tinggal sepanjang jari saja. Untuk mencapai ekomya maka dengan seijinnya Baru
Klinting mengeluarkan lidahnya dengan sepanjang-panjangnya sampai ke ujung ekor

Selain untuk mencapai kesempurnaan wujud, Baru Klinting melakukannya juga agar diakui anak oleh Ki
Ageng Mangir.
104
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Aspek kejujuran juga tergambar dalam cerita legenda Telaga Ngebel. Kejujuran seorang Roro
Kijang terhadap Ki Ageng Mangir dapat dilihat dalam kutipan berikut ini

Kemudian lupa pesan suaminya dan pisau pusaka itu ditaruh diatas
pangkuannya, tetapi apa yang teijadi ia amat terkejut dan heran karena pisau di atas
pangkuannya seketika itu hilang musnah dicari kesana kemari tidak ada.Dengan ratap
dan tangis iamenceritakan apa yang terjadi dan yang telah dialami kepada Ki Ageng
Mangir

Roro Kijang jujur atas perbuatannya yang telah lalai terhadap pesan Ki Ageng Mangir untuk tidak
meletakkan pisau pusaka di atas pangkuan.Roro Kijang bersikap jujur dan sangat menyesali
perbuatannya.Dengan kejujuran akhirnya Ki Ageng Mangir memakluminya dan menerima dengan sabar
hati.

Nilai Religius

Nilai religius dalam legenda Telaga Ngebel berhubungan dengan kepercayaan atau keyakinan
seseorang terhadap agama, Tuhan atau hal-hal yang berada di luar kemampuan manusia.Aspek religius
dalam legenda Telaga Ngebel tergambarkan melalui kepercayaan tokoh yang menganggap setiap kejadian
adalah kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa.

Suaminya menerima kejadian itu dengan sabar hati, karena hal itu sudah
menjadi kehendak Tuhan.

…………………

Dengan ridho Tuhan Yang Maha Kuasa maka Baru Klinting dapat melingkari kaki
Gunung, ekor didepan sang pertapa dan kepala sampai menyentuh ekor tetapi tinggal
sepanjang jari saja.

Berdasarkan kutipan di atas bisa kita ketahui bahwa tokoh sangat mempercayai segala yang terjadi
merupakan kehendak Tuhan.Tidak ada hal yang mustahil ketika Tuhan telah menghendaki, dan sebagai
manusia kita harus mempercayainya.

C. SIMPULAN

105
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Berdasarkan pembahasan di atas bisa peneliti simpulkan terdapat beberapa fungsi dan nilai
budaya yang bisa kita teladani dari Legenda Telaga Ngebel.Fungsi sebagai bentuk hiburan, Legenda
Telaga Ngebel dianggap berfungsi sebagai hiburan karena mampu memberikan pengetahuan dan
pengajaran. Pengetahuan yang dikberikan mengenai asal-usul nama tempat yaitu Telaga Ngebel.
Sedangkan pengajarannya tergambar melalui beberapa sifat manusia yang mendapat balasannya sesuai
sikap dan perilakunnya. Seseorang yang bersikap buruk, akan mendapatkan balasan keburukan.
Masyarakat desa yang tamak, pelit, dan sombong mendapat hukuman dengan cara tenggelam. Seorang
nenek yang baik memberi makan terhadap anak kecil yang penuh borok, akhirnya selamat dari bencana
banjir besar.Sebagai alat legitimasi pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.Kebudayaan
memiliki pranata sosial seperti tolong menolong, kerjasama, kesepakatan, dan perjanjian.

Dalam legenda Telaga Ngebel terdapat, nilai-nilai kebudayaan tersebut.Sebagai alat pendidik
anak, Legenda Telaga Ngebel mengandung cerita pendidikan yang dapat diambil. Yaitu mengenai sikap
seseorang yang mau menyesali kesalahan yang telah diperbuat dan mencari solusi dengan cara bekerja
keras. Legenda Telaga Ngebel juga memberikan pesan bahwa saling menyayangi dan saling tolong dapat
berdampak baik bagi diri. Menuruti pesan orang tua memberikan kebaikan untuk sang anak.

Nilai budaya dalam Legenda Telaga Ngebel terdapat nilai diktatik, nilai etik, dan nilai
religius.Legenda Telaga Ngebel memiliki nilai dikdaktik. Cerita Telaga Ngebel memang tidak
mengungkapkan agama apa yang dianut oleh para tokohnya, namun mereka mempercayai adanya Tuhan.
Nilai Etika Legenda Telaga Ngebel terlihat melalui hubungan sebab akibat sifat baik dan buruk manusia,
dengan ganjaran yang mereka dapatkan.Aspek religius dalam Legenda Telaga Ngebel tergambarkan
melalui kepercayaan tokoh yang menganggap setiap kejadian adalah kehendak Tuhan Yang Maha
Kuasa.Kepercayaan atas setiap kejadian merupakan kehendakNya merupakan hubungan langsung
manusia dan Tuhannya.Hal tersebuat adalah gambaran hubungan langsung manusia dan Tuhannya
sebagai gambaran nilai riligius.

Daftar Pustaka

Arifah, Dinillah dkk.2007. Singgasana Raja yang Bergoyang (Kumpulan Cerita Rakyat Pasuruan).
Pasuruan: Cipta Pustaka Utama.

Barthes, Roland. 2006. Mitologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Daen, Hans J. 2008. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
106
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Danandjaja, James. 2007. Foklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan. Jatim: Himski Komisariat.

Lantini, Susi Endah. 1997. Refleksi Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Serat. Jakarta: Dekdikbud.

Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. REmaja Rosdakarya.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Satori, Djaman dan Aan Komariah. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta.

Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.

Sudikan, Setya Yuwana. 2007. Antropologi Sastra. Surabaya: Unesa University Press.

Supratno, Harris. 2010. Sosiologi Seni. Surabaya: Unesa University Press.

Suyono. 1990. Cerita Asal-usul Nama Tempat sebagai Bahan dalam Sastra Indonesia. Surabaya: Jurusan
Bahasa dan Sastra Indonesia.FBS.IKIP Surabaya.

Tondowidjojo, Jhon. 1992. Etnologi dan Pastoral di Indonesia. Flores: Nusa Indah.

107
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISI LISAN NUSANTARA


(Penggalian Nilai-nilai Kebhinekaan untuk Indonesia Masa Kini dan Masa Depan)

Setya Yuwana Sudikan


Universitas Negeri Surabaya

Abstrak

Penggalian pengetahuan dan kearifan lokal dalam tradisi lisan Nusantara perlu dilakukan
secara komprehensif dan holistik guna menunjang pengembangan pendidikan karakter bangsa di
sekolah, keluarga, dan masyarakat. Pengetahuan lokal untuk menggambarkan tradition-based-
literacy, artistic, scientific works, performances, inventions, scientific discoveries, designs,
marks, names and symbols, undisclosed information and all other tradition based innovations
and creation yang berasal dari kegiatan intelektual dalam bidang industri, keilmuan, sastra
ataupun seni. Di pihak lain, kearifan lokal mencakup dimensi pengetahuan lokal, nilai lokal,
keterampilan lokal, sumber daya lokal, mekanisme pengambilan keputusan lokal, dan dimensi
solidaritas kelompok lokal.
Pengetahuan dan kearifan lokal dari berbagai etnik (baca: masyarakat tradisional) yang
ada di Nusantara tidak ada yang bertentangan dengan nilai-nilai moral utama yang bersifat
universal (meskipun ada yang berbeda), bahkan memperkaya nilai-nilai moral tersebut.
Pendidikan karakter bangsa sebaiknya mengangkat pengetahuan dan kearifan lokal Nusantara
daripada meng-impor nilai-nilai moral dari bangsa lain (bangsa Amerika dan Eropa), yang
terkadang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Abstract
The exploration of local knowledge and wisdom in the oral tradition of the archipelago
needs to be comprehensive and holistic in order to support the development of nation character
education in schools, families and communities. Local knowledge to illustrate the tradition-
based literacy, artistic, scientific works, performance, inventions, scientific discoveries, designs,
marks, names and symbols, undisclosed information and all other tradition based innovations
and creation derived from intellectual activity in industry, literature or art. On the other hand,
local wisdom includes the dimensions of local knowledge, local values, local skills, local
resources, local decision-making mechanisms, and the dimensions of local group solidarity.
The local knowledge and wisdom of the various ethnic (read: traditional societies)
existing in the archipelago are not incompatible with the universal (though somewhat different)
108
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

main moral values, even enriching those moral values. The character education of the nation
should raise the knowledge and local wisdom of the archipelago rather than import the moral
values of other nations (Americans and Europeans), which sometimes does not fit the personality
of the Indonesian nation.

1. PENDAHULUAN
Tradisi lisan adalah berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun-menurun
disampaikan secara lisan dan mencakup hal-hal tidak hanya berisi cerita rakyat, mite, dan
legenda (….) tetapi menyimpan sistem kognasi (kekerabatan) asli yang lengkap, sebagai contoh
sejarah, praktik hukum, hukum adat, pengobatan (…‖oral traditions do not only contain
folktales, myths and legends (…), but store complete indigeneous cognate systems. To name a
few: histories, legal practices, adat law, medication‖) (Roger Tol dan Pudentia, 1995:2).Tradisi
lisan diartikan sebagai ―segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan yang beraksara‖
atau dikatakan juga sebagai ―sistem wacana yang bukan aksara‖ (Pudentia MPSS, 1998:vii).
Danandjaja (1998:54) menyatakan bahwa istilah tradisi lisan (oral tradition) adalah
sinonim dari folklor lisan. Menurut Brunvand (1968:2-3) folklor lisan adalah folklor yang
bentuknya murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yan termasuk ke dalam kelompok besar
ini, antara lain: 1) ragam tutur rakyat (folkspeech) seperti logat, julukan, jabatan tradisional, dan
gelar kebangsawanan; 2) ungkapan tradisional, seperti paribahasa, pepatah, dan pameo; 3)
pertanyaan tradisional seperti teka-teki; 4) puisi rakyat seperti pantun, gurindam, dan syair; 5)
cerita prosa rakyat (mite, legenda, dan dongeng).
Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran antara unsur
lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan rakyat, misalnya, yang oleh orang ―modern‖ seringkali
disebut takhayul itu, terdiri atas pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat
yang dianggap mempunyai makna gaib. Kepercayaan masyarakat terhadap benda yang dianggap
berkhasiat untuk melindungi atau dapat membawa rezeki, seperti batu-batu permata tertentu atau
pusaka juga termasuk folklor sebagian lisan.
Kata folklor merupakan pengindonesiaan kata Inggris folklore. Kata ini adalah kata
majemuk, yang berasal dari dua kata folk dan lore (Danandjaja, 1998:53). Folk memiliki arti
yang sama dengan kolektif (collectivity), sedangkan lore adalah tradisi folk. Menurut Dundes
(1965:2) folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan

109
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu
antara lain dapat berwujud: warna kulit yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang
sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Namun yang penting lagi adalah
bahwa mereka telah memiliki satu tradisi, yakni kebudayaan, yang telah mereka warisi turun-
menurun, sedikitnya dua generasi, yang dapat mereka akui sebagai milik bersama. Selain itu,
yang lebih penting adalah mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri. Yang dimaksud
dengan loreyaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan turun-menurun secara lisan atau
melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pengingat (mnemonic device).
Definisi folklor yaitu sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan
turun-menurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda,
baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai alat pembantu pengingat (mnemonic
device) (Danandjaja, 1984:2).Menurut Danandjaja (1984:3-5) untuk membedakan dengan
kebudayaan (culture pada umumnya), folklor mempunyai beberapa ciri pengenal, seperti: (a)
penyebaran dan pewarisannya bersifat lisan; (b) bersifat tradisional; (c) ada (exist) dalam versi-
versi bahkan varian yang berbeda; (d) bersifat anonim; (e) biasanya memiliki bentuk berumus,
(f) mempunyai kegunaan (fungsi) dalam kehidupan bersama kolektifnya; (g) bersifat pralogis;
(h) milik bersama (kolektif); dan (i) pada umumnya bersifat polos dan lugu.

Pembahasan
Hakikat Pengetahuan dan Kearifan Lokal
Ada tiga istilah yang sering digunakan secara tumpang tindih, yaitu pengetahuan lokal
(local knowledge), kearifan lokal (local wisdom), dan kecerdasan setempat (local genius). Istilah
pengetahuan tradisional (baca: pengetahuan lokal, pen.) adalah segala sesuatu yang terkait
dengan bentuk-bentuk tradisional (baca: lokal, pen.), baik itu suatu kegiatan ataupun hasil suatu
karya yang biasanya didasarkan pada suatu kebudayaan tertentu (Avonina, 2006). Sardjono
(2004:28-29) menyatakan pengetahuan tradisional adalah pengetahuan yang dimiliki atau
dikuasai dan digunakan oleh suatu komunitas, masyarakat atau suku bangsa tertentu, yang
bersifat turun-menurun dan terus berkembang sesuai dengan perubahan lingkungan.

110
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

The World Intellectual Property Organization (WIPO) menggunakan terminologi


pengetahuan tradisional untuk menggambarkan tradition-based-literacy, artistic, scientific
works, performances, inventions, scientific discoveries, designs, marks, names and symbols,
undisclosed information and all other tradition based innovations and creation yang berasal dari
kegiatan intelektual dalam bidang industri, keilmuan, sastra ataupun seni (Sardjono, 2004:8).
Di pihak lain, Wales (dalam Poepawardojo, 1986:30) memaknai local genius sebagai the
sum of the cultural characteristics which the vast majority of a people have in common as a
result of their experiences in early life‖ (keseluruhan ciri-ciri kebudayaan yang dimiliki bersama
oleh suatu masyarakat/bangsa sebagai hasil pengalaman mereka pada masa lampau).
Mundardjito (1986:40) menjelaskan secara implisit hakikat local genius, yaitu: (1) mampu
bertahan terhadap budaya luar; (2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya
luar; (3) memiliki kemampuan mengintegrasi unsur-unsur budaya luar ke dalam budaya asli; (4)
mempunyai kemampuan mengendalikan; (5) mampu memberikan arah pada perkembangan
budaya.
Sedyawati (1986:186-187) membedakan dua pengertian local genius, yaitu: (1) segala
nilai, konsep dan teknologi yang telah dimiliki suatu bangsa sebelum mendapat ―pengaruh
asing‖; (2) daya yang dimiliki suatu bangsa untuk menyerap, menafsirkan, mengubah, dan
mencipta sepanjang terjadinya pengaruh asing.
Sedangkan kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di
dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu
daya tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah di mana komunitas itu berada. Kearifan lokal
adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-politis, historis, dan situasional yang bersifat
lokal (Saini dalam Permana, 2010:1).
Kearifan lokal dimaknai kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta yang
berwajah manusia dan menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh
berbagai bencana dan kendala alam serta keteledoran manusia (Wahono, dkk., 2004:vii).
Kearifan lokal juga diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi
kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab
berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Sistem pemenuhan kebutuhan mereka

111
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

pasti meliputi seluruh unsur kehidupan, agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi,
organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman,
program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki dan
mengembangkan unsur kebutuhan dan cara pemenuhannya, dengan memperhatikan sumber daya
manusia dan sumber daya alam di sekitarnya (Depsos, 2006).
Hadi (2006) menyatakan bahwa pada dasarnya dalam setiap komunitas masyarakat
memiliki kearifan lokal (local wisdom). Kearifan lokal yang terdapat pada setiap komunitas
masyarakat tradisional sekalipun terdapat terdapat suatu proses untuk ‗menjadi pintar dan
berpengetahuan‘ (being smart and knowledgeable). Hal itu terkait dengan adanya keinginan agar
dapat mempertahankan dan melangsungkan kehidupan, sehingga warga komunitas masyarakat
akan secara spontan memikirkan cara-cara untuk melakukan dan/atau menciptakan sesuatu.
Dalam hal ini termasuk juga cara untuk membuat makanan, cara untuk membuat peralatan yang
diperlukan untuk mengolah sumberdaya alam demi menjamin tersedianya bahan makan, dan
sebagainya. Dalam proses tersebut suatu penemuan yang sangat berharga dapat terjadi tanpa
disengaja. Mereka menemukan bahwa suatu jenis tanaman tertentu dapat menghasilkan buah
yang dapat dimakan setelah dilakukan cara pengolahan tertentu; atau daun tertentu dapat
menyembuhkan mereka dari sakit perut, sedang daun lain mengobati demam; atau akar-akaran
tertentu dapat menyembuhkan luka. Pengembangan suatu sistem pengetahuan dan teknologi
yang asli tersebut itulah yang disebut kearifan lokal.
Kearifan lokal dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat tersendiri dalam
kehidupan masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk
menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan situasi, kondisi,
kemampuan, dan tata nilai yang dihayati di dalam masyarakat yang bersangkutan. Kearifan lokal
tersebut, selanjutnya menjadi bagian dari cara hidup mereka yang arif untuk memecahkan segala
permasalahan hidup yang mereka hadapi. Berkat kearifan lokal mereka dapat melangsungkan
kehidupannya, bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan (sustainable development) (Hadi,
2006).
Kearifan lokal dipandang lahir dan berkembang dari generasi ke generasi seolah-olah
bertahan dan berkembang dengan sendirinya. Tidak ada ilmu dan teknologi yang mendasari

112
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

lahirnya kearifan lokal, bahkan tidak ada pendidikan dan pelatihan untuk meneruskannya.
Sejatinya manusia menciptakan budaya dan lingkungan fisik dan biologisnya. Kebiasaan-
kebiasaan, praktik, dan tradisi diwariskan dari generasi ke generasi. Pada gilirannya kelompok
atau masyarakat tersebut tidak menyadari darimana asal warisan kebijaksanaan tersebut.
Generasi berikutnya terkondisikan menerima ‗kebenaran‘ itu tentang nilai, pantangan,
kehidupan, dan standar perilaku (Idrus, 2008).
Kearifan lokal dapat pula didefinisikan sebagai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam
kekayaan-kekayaan budaya lokal berupa tradisi, pepatah-petitih, dan semboyan hidup. Salah satu
ungkapan dari kearifan lokal adalah alon-alon waton kelakon, kebat kliwat (pen.) (biar lambat
asal tujuan tercapai daripada terlalu cepat tetapi merugikan) dalam budaya Jawa, atau semboyan
marsiadap ari (saling membantu dalam melakukan suatu pekerjaan) dalam budaya Batak.
Konsep kearifan lokal atau kearifan tradisional atau sistem pengetahuan lokal (indigenous
knowledge system) adalah pengetahuan yang khas milik suatu masyarakat atau budaya tertentu
yang telah berkembang lama sebagai hasil dari proses hubungan timbal balik antara masyarakat
dengan lingkungannya (Marzali dalam Mumfangati, dkk. 2004). Jadi konsep sistem kearifan
lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Karena hubungan
yang dekat dengan lingkungan dan sumber daya alam, masyarakat lokal, tradisional, atau asli,
melalui ―uji coba‖ telah mengembangkan pemahaman terhadap sistem ekologi di mana mereka
tinggal yang telah dianggap mempertahankan sumber daya alam, serta meninggalkan kegiatan-
kegiatan yang dianggap merusak lingkungan (Mitchell, 2003).
Berdasarkan uraian tersebut, pengetahuan lokal, local genius, maupun kearifan lokal,
pada hakikatnya memiliki pengertian yang sama. Ketiga istilah tersebut mendasari pemahaman
bahwa kebudayaan itu telah dimiliki dan diturunkan secara berkelanjutan dari generasi ke
generasi selama ratusan bahkan ribuan tahun oleh masyarakat setempat atau lokal. Kebudayaan
yang telah kuat berakar itu tidak mudah goyah dan terkontaminasi dengan pengaruh dari
kebudayaan lain yang masuk.
2. PEMBAHASAN
a. Dimensi Kearifan Lokal

113
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Menurut Sutarto (2010:vii) kearifan lokal yang terkandung dalam produk budaya, terkait
dengan lima kegiatan kebudayaan. Pertama, sebagai bangsa yang religius, kearifan lokal terkait
dengan sikap serta perilaku dalam berkomunikasi dengan Sang Pencipta, Tuhan Yang Mahaesa.
Kedua, terkait dengan diri sendiri, yakni bagaimana menata diri dan mengendalikan diri agar
dapat menerima dan diterima oleh pribadi-pribadi lain di luar diri kita. Ketiga, bagaimana
bergaul atau berkomunikasi dengan masyarakat luas karena kita menjadi bagian darinya. Dalam
hal ini kearifan lokal terkait dengan rasa keadilan, tolerasi, dan empati, yang bermuara pada
bagimana menyenangkan perasaan orang lain agar orang lain menerima kita sebagai bagian yang
penting dan dibutuhkan. Keempat, sikap dan perilaku yang terkait dengan anggota keluarga dan
kerabat kita. Kita harus menghargai orang tua kita, dan kerabat kita yang lain. Kearifan lokal
yang terkait dengan etos belajar dan etos bekerja akan mengantar kita menjadi insan yang kreatif
dan produktif. Kreativtas kita bukan hanya akan menolong diri kita, tetapi juga menolong orang
lain. Jika kita dapat memberikan sesuatu kepada masyarakat, kita akan menjadi bagian yang
berarti bagi masyarakat. Kelima, kearifan lokal yang terkait dengan lingkungan akan membuat
hidup kita aman dan nyaman karena lingkungan yang kita jaga dan pelihara akan memberi
manfaat positif kepada kehidupan kita. Lingkungan yang rusak akan membuat kehidupan kita
rusak.
Endraswara (2008:195-201) mengidentifikasi ada 25 bentuk kearifan lokal Jawa, di
antaranya: (1) nama sasmita, (2) pepiridan, (3) unen-unen, (4) perintah halus, (5) nglulu, (6)
cangkriman, (7) dolanan, (8) sekar gendhing, (9) basa basuki, (10) filosofi, (11) tembang
dolanan, (12) isbat, (13) pepali.
Menurut Ife (2002) kearifan lokal memiliki enam dimensi, sebagai berikut ini. Pertama,
Dimensi Pengetahuan Lokal. Setiap masyarakat di mana pun mereka berada selalu memiliki
pengetahuan lokal yang terkait dengan lingkungan hidupnya. Pengetahuan lokal terkait dengan
perubahan dan siklus iklim kemarau dan penghujan, jenis-jenis flaura dan fauna, dan kondisi
geografi, demografi, dan sosiografi. Hal ini terjadi karena masyarakat mendiami suatu daerah itu
cukup lama dan telah mengalami perubahan-perubahan yang bervariasi menyebabkan mereka
mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Kemampuan adaptasi ini menjadi bagian dari
pengetahuan lokal mereka dalam menguasai alam.

114
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Kedua, Dimensi Nilai Lokal. Untuk mengatur kehidupan bersama antara antarwarga
masyarakat, maka setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai lokal yang ditaati dan
disepakati bersama oleh seluruh anggotanya. Nilai-nilai itu biasanya mengatur hubungan antara
manusia dengan Tuhanhnya, manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan alam. Nilai-
nilai itu memiliki dimensi waktu berupa nilai masa lalu, masa kini, dan masa datang. Nilai-nilai
tersebut akan mengalami perubahan sesuai dengan kemajuan masyarakatnya.
Ketiga, Dimensi Keterampilan Lokal. Keterampilan lokal bagi setiap masyarakat
dipergunakan sebagai kemampuan bertahan hidup (survival). Keterampilan lokal dari yang
paling sederhana seperti berburu, meramu, bercocok tanam maupun membuat industri rumah
tangga. Keterampilan lokal ini biasanya hanya cukup dan mampu memenuhi kebutuhan
keluarganya masing-masing atau disebut dengan ekonomi subsistensi.
Keempat, Dimensi Sumber Daya Lokal. Sumber daya lokal pada umumnya adalah
sumber daya alam yaitu sumber daya yang tak terbarui dan yang dapat diperbarui. Masyarakat
akan menggunakan sumber daya lokal sesuai dengan kebutuhannya dan tidak akan
mengeksploitasi secara besar-besar atau dikomersialkan. Sumber daya lokal ini sudah dibagi
peruntukkannya seperti hutan, kebun, sumber air, lahan pertanian, dan permukiman.
Kepemilikan sumber daya lokal ini biasanya bersifat kolektif.
Kelima, Dimensi Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal. Setiap masyarakat pada
dasarnya memiliki pemerintahan lokal sendiri atau disebut pemerintahan kesukuan. Suku
merupakan kesatuan hukum yang memerintah warganya untuk bertindak sebagai warga
masyarakat. Masing-masing masyarakat mempunyai mekanisme pengambilan keputusan yang
berbeda-beda. Ada masyarakat yang melakukan secara demokratis atau duduk sama rendah
berdiri sama tinggi. Ada juga masyarakat yang melakukan secara hierarkis, bertingkat atau
berjenjang.
Keenam, Dimensi Solidaritas Kelompok Lokal. Suatu masyarakat umumnya dipersatukan
oleh ikatan komunal untuk membentuk solidaritas lokal. Setiap masyarakat mempunyai media-
media untuk mengikat warganya dapat dilakukan melalui ritual keagamaan atau acara dan
upacara adat lainnya. Masing-masing anggota masyarakat saling memberi dan menerima sesuai

115
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

dengan bidang dan fungsinya masing-masing, seperti dalam solidaritas mengolah tanaman padi
dan kerja bakti gotong-royong.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa Sutarto dan Endraswara
menyederhanakan konsep kearifan lokal hanya pada ungkapan tradisional. Di pihak lain, Ife
memandang kearifan lokal sebagai konsep yang lebih luas mencakup dimensi pengetahuan lokal,
nilai lokal, keterampilan lokal, sumber daya lokal, mekanisme pengambilan keputusan lokal, dan
dimensi solidaritas kelompok lokal. Dalam makalah ini penulis memilih konsep Ife untuk
memahami dan mengungkap pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat Indonesia.
*
Faizal (dalam Daily, 2003) mencontohkan beberapa kekayaan budaya, kearifan lokal
Nusantara yang terkait dengan pemanfaatan alam yang layak digali lebih lanjut makna dan
fungsinya untuk kepentingan masa sekarang dan yang akan datang. Kearifan lokal yang terdapat
di beberapa daerah, di antaranya:
1. Masyarakat Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku). Gunung
Ersberg dan Grasberg sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai bagian dari hidup
manusia. Dengan demikian pemanfaatan sumber daya alam secara hati-hati.
2. Masyarakat Serawai, Bengkulu, terdapat keyakinan celako kumali. Kelestarian lingkungan
terwujud dari kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam
tanjak.
3. Masyarakat Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana‘ ulen. Kawasan
hutan dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi
oleh aturan adat.
4. Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat. Masyarakat ini mengembangkan kearifan
lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan
memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa bera, dan
mereka mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi pertanian sederhana dan ramah
lingkungan.

116
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

5. Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh, Jawa Barat. Mereka


mengenal upacara tradisional, mitos, tabu, sehingga pemanfaatan hutan hati-hati. Tidak
diperbolehkan eksploitasi kecuali atas izin sesepuh adat.
6. Masyarakat Bali dan Lombok mempunyai kearifan lingkungan awig-awig.Awig-awig
adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di Bali, yang umumnya dibuat
secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya dan berlaku sebagai pedoman
bertingkah laku dari anggota organisasi yang bersangkutan. Dengan demikian, awig-awig
adalah patokan-patokan tingkah laku yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan
berdasarkan rasa keadilan dan rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang
bersangkutan.
7. Masyarakat Baduy mempunyai kearifan lingkungan yang mendasari mitigasi bencana dalam
bentuk pikukuh (ketentuan adat pokok) yang mengajarkan antara lain: gunung teu meunang
dilebur, lebak teu meunang dirusak (gunung tidak boleh dihancurkan, sumber air tidak boleh
dirusak).
*
Sistem pertanian yang digunakan oleh masyarakat tradisional atau petani tradisional
adalah sistem pertanian yang didasarkan pada pengamatan selama bertahun-tahun terhadap
lingkungan masyarakat dan lingkungan alam sekitarnya. Masyarakat tradisional memiliki
berbagai pengetahuan untuk mempertahankan hidup termasuk pengetahuan bercocok tanam dan
setiap jenis tanaman. Berdasarkan hasil pengamatan, setiap jenis tanaman memiliki kegunaan
untuk bermacam-macam kepentingan sehingga dalam setiap varietas terkandung berbagai
macam pengetahuan (Hardiyoko dan Saryoto, 2005:200).
Lebih lanjut, Hardiyoko dan Saryoto (2005:201) menyatakan masyarakat tradisional dan
petani membudidayakan varietas lokal karena setiap jenis mempunyai fungsi yang berbeda-beda.
Misalnya di tanah Toraja, Sulawesi Selatan, setiap padi mempunyai fungsi dan kegunaan yang
berbeda. Semisal padi lotong adalah padi yang digunakan untuk menjamu tamu agung, jadi tidak
dijual ke pasar. Padi ini hanya dimasak dan disajikan jika seseorang menjamu tamu agung yang
berkunjung. Padi kasale adalah padi yang digunakan untuk persembahan dalam upacara-upacara

117
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

tradisional, sedangkan padi yang untuk dijual adalah padi bau. Menurut adat Toraja padi lotong
tidak dijual di pasar karena padi tersebut digunakan untuk menjamu tamu agung.
Fenomena tersebut membuktikan bahwa setiap varietas mengandung berbagai
pengetahuan, yang di antaranya, meliputi: pola tanam, pemupukan, pengendalian hama, seleksi
benih, dan teknik penyimpanannya.
*
Susan (2012:13) menyatakan masyarakat Indonesia yang disusun oleh perbedaan etnis,
agama, keyakinan, dan golongan melalui konteks sosio historis, sesungguhnya telah membangun
mekanisme resolusi konflik damai.
1. Masyarakat Ambon memiliki mekanisme pela gandong. Pela adalah suatu sistem hubungan
sosial yang dikenal dalam masyarakat Maluku berupa suatu perjanjian hubungan antara satu
negeri (kampung atau desa) dengan negeri lainnya (Bahasa Ambon: Tapele Tanjong).
Biasanya satu negeri memiliki paling tidak satu atau dua pela yang berbeda jenisnya. Pada
dasarnya dikenal tiga jenis Pela, yaitu: 1)Pela Karas (Keras), 2) Pela Gandong (Kandung)
atau Bongso (Bungsu), dan 3) Pela Tampa Sirih (Tempat sirih). Gandong adalah rahim dan
pangku, suatu pusat dan awal dari segala sesuatu yang hidup.
2. Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat memiliki basaru sumangat. Adalah ritual do‘a
yang diadakan untuk mengembalikan roh perang dan memanggil semangat pulang, dilakukan
bila perang sudah berakhir dengan pembayaran adat pati‘ nyawa dari pihak musuh. Dengan
demikian, dalam konsep dasar agama suku Dayak Kanayatn, antara lain: Jubata sebagai
―yang tertinggi‖ yang menentukan segalanya dan berada di latar belakang kehidupan semesta.
Jubata adalah esa atau ―nange‖.
3. Masyarakat Bima, Nusa Tenggara Barat memiliki ndempa (pertarungan antarjawara) usai
masa panen tiba. Budaya ini teralienasi dan seakan perang hari ini sebagai sebuah permainan
saja.
4. Masyarakat Aceh memiliki acara tepung tawar. Perkataan Tepung Tawar berasal dari dua
perkataan, yaitu ―Tempung dan Tawar (Tampung Tawar)‖ yang bermakna Tampung tangan
untuk menerima penawar atau obat. Upacara kebiasaan bagi puak Melayu dalam berbagai
upacara.

118
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Berbagai lembaga mekanisme resolusi konflik yang berbeda-beda tersebut hadir dan
terbangun melalui kontkes sosio-historis yang berbeda. Walaupun demikian memiliki fungsi
mengintegrasikan masyarakat dalam sistem sosial yang damai.

Etiket, Moralitas, dan Budi Pekerti dalam Budaya Jawa


Pelbagai kitab, folklor, dan seni pertunjukan Jawa, misalnya serat-serat dan wayang
Jawa, menekankan pentingnya etika sebagai praksis hidup dan kehidupan (periksa Saryono,
2007:43). Dalam kedudukan dan keberadaan inilah, konsep etika dalam budaya Jawa harus
dibaca dan dipahami sebagai etiket dan moralitas. Dengan kata lain, dalam budaya Jawa, yang
berkembang adalah etiket dan moralitas, bukanlah etika dan ilmu kritis, sehingga nilai menjadi
sesuatu yang kongkret dan nyata, bukan abstrak dan konseptual. Etiket dan moralitas budaya
Jawa ini terungkap terutama dalam konsep wis (n)Jawa, gak (n)Jawa, dan durung (n)Jawa. Jadi,
konsep wis (n)Jawa, gak (n)Jawa, atau durung (n)Jawa merupakan superordinat etiket dan
moralitas Jawa. Pemangku budaya Jawa yang disebut atau dikatakan wis (n) Jawa atau wis ngerti
berarti sudah mengerti dan menguasai etiket dan moralitas Jawa, sedangkan pemangku budaya
Jawa yang disebut atau dikatakan gak (n)Jawa dan durung (n)Jawa (durung ngerti) berarti tidak
dan belum mengerti dan menguasai serta menggunakan etiket dan moralitas budaya Jawa
(periksa Saryono, 2007:43). Terhadap orang yang gak (n)Jawa, durung (n)Jawa atau durung
(n)Jawa atau durung ngerti ini, setiap pemangku budaya Jawa diseyogyakan untuk
memakluminya, pangerten, bukan mengumpat atau mengutuknya meskipun semua itu tidak
sesuai dengan moralitas yang diidealkan. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa
superordinat etika dan moralitas budaya Jawa adalah konsep wis (n)Jawa dan gak (n)Jawa serta
durung (n)Jawa, yaitu keadaan hati nurani (karsa) yang sudah, belum, dan tidak sesuai dengan
tuntutan etiket dan moralitas Jawa (periksa Saryono, 2007:44).
Etiket lebih berbicara tentang kesopansantunan-ketidaksopansantunan, sedangkan
moralitas lebih berbicara tentang kebaikan-keburukan. Hal ini mengimplikasikan bahwa etiket
dan moralitas budaya Jawa berbicara tentang kesopansantunan dan kebaikan menurut persepsi
pemangku budaya Jawa. Ungkapan becik ketitik ala ketara, aja tumindak ala, wong sing ngerti
unggah-ungguh, ngundhuh wohing pakarti, wong sing temen tinemu wong salah seleh dan

119
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

ungguh-ungguhing basa, misalnya, adalah contoh artikulasi dan eksternalisasi etiket dan
moralitas Jawa. Dalam hal ini menjadi jelas bahwa etiket dan moralitas budaya Jawa tidak hanya
mempersoalkan kebaikan keburukan (becik, apik, ala), tapi juga persoalan kesopansantunan-
ketidaksopansantunan atau kepantasan-ketidakpantasan (unggah-ungguh, pakarti, pantes,
tatakrama). Kebaikan di sini lebih berkenaan dengan aspek standar moral tertentu yang
substantif-ontologis, sedangkan kesopansantunan atau kepantasan berkenaan dengan aspek
perwujudan atau praksis standar moral ke dalam etiket yang proporsional-kontekstual-
performatif. Ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku etis pemangku budaya Jawa harus selalu
dalam koordinat kebaikan dan kepantasan ini: misalnya, pemangku budaya Jawa tidak cukup
hanya bertindak dan berbuat baik, tetapi juga harus bertindak dan berbuat pantas. Orang yang
sudah bisa bertindak dan berbuat baik dan pantas ini dapat dikategorikan orang yang sudah Jawa,
wis (n)Jawa. Dalam hidup dan kehidupan, setiap manusia Jawa harus menguasai asas-asas dan
kaidah-kaidah kebaikan dan kepantasan (menurut persepsi budaya Jawa) ini agar dapat disebut
wis (n)Jawa. Di samping itu, dia harus dapat menjaga, melindungi, mempertahankan, dan
mengusahakan terus-menerus kemantaopan dan keterpeliharaan asas-asas dan kaidah-kaidah
kebaikan dan kepantasan tersebut.
Dalam budaya Jawa, ucapan, tindakan, perbuatan, dan perilaku yang dianggap baik dan
pantas adalah yang bijaksana dan penuh kasih sayang (wicaksana, asih ing sesami [welas asih]).
Pemangku budaya Jawa yang wicaksana (memiliki kawicaksanan) dan asih ing sesami
(memiliki welas asih) pada umumnya disebut orang baik dan santun-pantas. Sebaliknya, orang
disebut tidak baik dan tidak santun-pantas jika tidak mengedepankan atau menampilkan
kawicaksanan dan asih ing sesami. Tidak heran, dalam budaya Jawa ada tuntutan kepada setiap
manusia untuk mencari kebijaksanaan (ngudi kawicaksanan) dan mengembangkan
kekasihsayangan (nguri-uri asih sing sesami/welas asih). Dengan kebijaksanaan dan
kekasihsayangan, diharapkan setiap manusia Jawa akan mampu atau dapat bersikap, berucap,
bertindak, berbuat, dan berperilaku dengan baik dan pantas. Di sinilah dapat dinyatakan bawa
kebaikan dan kepantasan menurut pandangan etis budaya Jawa adalah kebijaksanaan dan
kekasihsayangan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa koordinat etiket dan moralitas Jawa
adalah nilai kebijaksanaan dan kekasihsayangan sebagai manusia.

120
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Budi pekerti berkaitan dengan sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan Tuhan
Yang Mahaesa, diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan alam sekitar. Di dalam Buku
Pedoman Umum Pendidikan Budi Pekerti, nilai-nilai budi pekerti dirumuskan ke dalam 86 butir
nilai esensial budi pekerti, antara lain: adil, amanah, antisipatif, baik sangka, bekerja keras,
beradab, berani berbuat benar, berani memikul resiko, berpikir jauh ke depan, bersahaja,
bersemangat, bijaksana, cermat, cinta ilmu, demokratis, dinamis, disiplin, efisien, empati, gigih,
hemat, hormat, ikhlas, jujur, kebersamaan, ksatria, lapang dada, lembut hati, mawas diri,
menghargai karya orang lain, rasional, patriotik, pemaaf, pemurah, percaya diri, rajin, ramah,
rasa memiliki, rela berkorban, rendah hati, sabar, setia, sopan santun, susila, syukur, tanggung
jawab, tegas, tegar, tekun, tenggang rasa, tepat janji, terbuka, tertib, ulet, dan sebagainya (Dirjen
Dikdasmen, 2003:7).
*
Rifai (2007:197) mengidentifikasi sosok manusia yang diidealkan oleh orang Madura
melalui khasanah peribahasa atau ca‘oca‘an Madura (yang meliputi ongkabhan, bhabhasan,
saloka, parebhasan, parocabhan, parsemmon, dan bangsalan yang terkadang dituangkan dalam
bentuk papareghan, pantun, syiir, palegghiran, send?elan, lalogedhan, dan baburughan). Dalam
memanfaatkan sumber daya alam janganlah lingkungan dirusakkan, seperti dengan tegas
diungkapkan dalam peribahasa pegha‘ jhuko‘na jha‘ palekko aengnga (tangkap ikannya jangan
keruhkan airnya). Jha teghaan (jangan kejam), jha kaneyajaan (jangan keji), kaneserre bhurun
alas (kasihani binatang) adalah seperangkat nasihat orang tua-tua Madura agar manusia hidup
akrab dengan sesama makhluk ciptaan Allah. Peribahasa seperti tarata eocol ka alas (ayam
hutan dilepas ke belantara), mara alas ban macanna (seperti hutan dan harimaunya) atau tada‘
alas ta‘ bada macanna (tidak hutan tak berharimau) menggambarkan saling ketergantungan
unsur-unsur alam dalam sebuah ekologi demi kelangsungan kelestarian keberadaannya.
Salah satu landasan hidup orang Madura adalah diaatinya tangga kuasa bhu, pa‘ bhabhu‘
ghuru, rato (ibu, bapak, sesepuh, guru, raja). Orang Madura akan menghormati ibunya, lalu
bapaknya, kemudian sesepuhnya, sesudah itu gurunya, dan baru raja atau pemerintahnya sebagai
panutan terakhir. Urutan peringkat penghormatannya selanjutnya ditafsirkan menjadi ‗ibu bapak
guru raja‘. Dalam masyarakat Madura dikenal ca‘-oca‘an Madura abhantal sadhat, asapo‘ iman,

121
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

apayung Allah (berbantal dua kalimah syahadat, berselimut iman, berpayung Allah). Sosok ideal
manusia Madura adalah sosok yang berpegang teguh kepada ajaran Islam. Jika berangkat tidur
selalu mengucapkan dua kalimat syahadat, berdzikir, dan menebalkan keimanan, yaitu iman
kepada Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, dan yakin kepada takdir buruk dan baik yang datangnya
dari Allah. Dikenal jugaca‘-oca‘an Maduramon ngajhi ka Arab, mon adhaghang ban Cena
(kalau mengaji pergilah pada orang Arab, kalau berdagang berhubungan dengan orang Cina).
Ca‘-oca‘an tidak dimaksudkan untuk mengurangi makna hadis Nabi Muhammad yang
menyuruh umat Islam agar tidak tanggung-tanggung berguru mencari ilmu sekalipun harus pergi
ke negeri Cina.Wiyata (2007:4) menyatakan dalam masyarakat Madura juga dikenal ca‘-oca‘an
Madura ango‘an poteya tolang etembang poteya mata (maknanya: lebih baik putih tulang dari
pada putih mata, terjemahan dari peribahasa Melayu ‗lebih baik mati berkalang tanah daripada
hidup menanggung malu‘).
Setiap manusia Madura dinasihati untuk selalu 1) menghormati sesepuh, hukum, dan
agama; 2) menjaga mulut, perilaku, dan kegiatan; 3) menghindari sifat kejam, keji, dan
kekurangpasrahan, 4) memiliki kesetiaan, kesucian hati, dan kejujuran; 5) mengusahakan
pencapaian kesepakatan, kesenangan lahir, dan kebahagiaan batin; 6) mampu mengelola waktu,
harta, dan kesehatannya; 7) mau lebih giat belajar sampai tao bisa dhadhi (tahu bisa jadi),
berinovasi dalam berusaha, dan tanggap memetik pelajaran untuk diambil manfaatnya sehingga
dapat hidup akrab dengan alam untuk bisa mensyukuri semua nikmat berkat Allah secara
berkelanjutan (Rifai, 2007:447-448).
*
Peneliitian Sudjijono (2007) menunjukan gagasan yang menonjol dan berulang dalam
legenda adalah gagasan yang mengandung pemikiran positif, seperti cinta, pengabdian,
pengorbanan, perjuangan, dan takdir. Kecuali itu ada gagasan yang bersisi negatif seperti
kesombongan, kecerobohan, kezaliman, keserakahan, pengkhianatan, fitnah, dan dosa.
Cinta merupakan perasaan suka, sayang, kasih, terpikat antara lelaki dan wanita. Cinta
itu dapat menciptakan sesuatu yang positif, dan sebaliknya, cinta dapat menjadi penyebab
terjadinya tiondakan negatif dan desktruktif. Pengabdian adalah penghambaan dengan tanpa
memperhitungkan imbalan finansial. Pengabdian dilakukan karena keyakinan pada agama,

122
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

perintah penguasa, kewajiban terhadap negara.Pengorbanan adalah perbuatan memberikan


sesuatu (materi, badan, dan jiwa) sebagai tanda bakti atau setia pada Zat Mulia, masyarakat,
umat manusia. Ada pengorbanan yang menyerupai mitos aitiologis, korban diri sebagai sarana
bagi kesejahteraan hidup manusia. Perjuangan adalah usaha yang dilakukan dengan sekuat
tenaga dan sungguh-sungguhuntuk mencapai tujuan tertentu. Usaha itu dilakukan dengan
konflik, perkelahian, dan perang. Takdir adalah ketetapan atau ketentuan dari Yang Mahakuasa.
Pemikiran takdir dalam legenda terkait dengan sandyakalaning kekuasaan raja.
Di pihak lain, kesombongan yang tersirat dalam legenda mengisahkan tokoh yang
mendapat bencana karena kesombongannya. Kecerobohan yang tersirat dalam legenda
mengisahkan tokoh yang terburu nafsu dan tidak sabar sehingga mengalami bencana yang tragis.
Kezaliman yang tersirat dalam legenda mengisahkan kezaliman terhadap kaum wanita dan anak
yatim piatu. Keserakahan terkait dengan rebutan kekuasaan di antara para putra raja yang akan
menggantikan takhta kerajaan sang ayah. Pengkhianatanmerupakan perbuatan tidak setia atau
bertentangan dengan janji yang telah disepakati sebelumnya. Fitnah adalah perkataan yang
bermaksud menjelekkan, merugikan, mencelakakan, atau merendahkan kehormatan nama orang
lain dengan menggunakan alasan yang tidak benar. Dosa memiliki dua dimensi, vertikal (terkait
dengan agama dan Tuhan) dan horizontal (terkait dengan sesama orang). Di dalam legenda,
perbuatan dosa berdimensi horizontal.

Nilai Moral Utama Universal


Dua nilai moral utama yang bersifat universal, yaitu: (1) sikap hormat, dan (2)
bertanggung jawab.Nilai-nilai rasa hormat dan bertanggung jawab tersebut sangat diperlukan
untuk: (1) pengembangan jiwa yang sehat, (2) kepedulian akan hubungan interpersonal, (3)
sebuah masyarakat yang humanis dan demokratis, (4) dunia yang adil dan damai (Lickona,
2013:69-70).
Rasa hormat berarti menunjukkan penghargaan terhadap harga diri orang lain ataupun hal
lain selain diri kita. Ada tiga hal yang menjadi pokok, yaitu: penghormatan terhadap diri sendiri,
penghormatan terhadap orang lain, dan penghormatan terhadap semua bentuk kehidupan dan
lingkungan yang saling menjaga satu sama lain. Penghormatan terhadap diri sendiri,

123
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

mengharuskan kita untukmemperlakukan apa yang ada pada hidup kita sebagai manusia yang
memiliki nilai secara alami. Meskipun demikian, perlakuan mengarah pada perusakan diri
ataupun penyalahgunaan narkoba dan alkohol merupakan hal yang salah.Penghormatan terhadap
orang lain, mengharuskan kita untuk memperlakukan semua orang bahkan orang-orang yang kita
benci sebagai manusia yang memiliki nilai tinggi dan memiliki hak yang sama, dengan kita
sebagai individu.
Tanggung jawab, secara literal berarti ―kemampuan untuk merespons atau menjawab.‖
Hal itu berarti, tanggung jawab berorientasi terhadap orang lain, memberikan bentuk perhatian,
dan secara aktif memberikan respons terhadap apa yang mereka inginkan. Tanggung jawab
menekankan pada kewajiban positif untuk saling melindungi satu sama lain. Tanggung jawab
merupakan sikap saling membutuhkan, tidak mengabaikan orang lain yang sedang dalam
keadaan sulit. Kita menolong orang-orang dengan memegang komitmen yang telah kita buat, dan
apabila kita tidak menolong mereka, artinya kita membuat sebuah kesulitan baru bagi mereka.
Sikap tanggung jawab ditekankan pada mengutamakan hal-hal yang hari ini dianggap penting
sebagai suatu perbaikan di masa yang akan datang dengan didasari ‗hak-hak‘.

Karakter yang Baik


Karakter terbentuk dari tiga aspek yang saling terkait, yaitu pengetahuan moral, perasaan
moral, dan tindakan moral. Karakter yang baik terdiri atas mengetahui kebaikan, menginginkan
kebaikan, dan melakukan kebaikan – kebiasaan pikiran, kebiasaan hati, dan kebiasaan perbuatan
(Lickona, 2013:72).

124
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Komponen Karakter yang Baik


Lickona (2012:16-21) menyatakan ada sepuluh esensi kebajikan untuk membangun
karakter yang kuat, yakni: (1) kebijaksanaan (wisdom) sebagai gurunya kebajikan.
Kebijaksanaan adalah penilaian yang baik; (2) keadilan (justice). Keadilan berarti menghormati
hak-hak semua orang; (3) keberanian (fortitude). Keberanian memungkinkan kita untuk
melakukan apa yang benar dalam menghadapi kesulitan; (4) pengendalian diri (yang disebut
―temperance‖). Pengendalian diri adalah kemampuan untuk mengatur diri kita sendiri; (5) cinta.
Cinta lebih dari sekedar keadilan, melainkan memberikan lebih dari keadilan yang diberikan.
Cinta adalah keinginan untuk mengorbankan diri demi kepentingan yang lain; (6) sikap positif.
Kekuatan karakter tentang harapan, antusiasme, fleksibilitas, dan rasa humor adalah bagian dari
sikap positif; (7) bekerja keras. Bekerja keras mencakup inisiatif, ketekunan, penetapan tujuan,
dan kecerdikan; (8) integritas. Integritas berarti mengikuti prinsip moral, yaitu setia pada
kesadaran moral, menjaga kata-kata, dan berdiri pada apa yang kita percayai. Memiliki integritas
adalah menjadi ―seluruhnya‖, sehingga apa yang kita katakan dan lakukan dalam situasi yang
berbeda adalah konsisten daripada saling bertentangan. Integritas adalah mengatakan yang
sebenarnya pada diri sendiri; (9) syukur. Seperti cinta, syukur bukanlah perasaan, melainkan
tindakan kehendak. Syukur sering digambarkan sebagai rahasia dari hidup bahagia; (10)
kerendahan hati. Kerendahan hati yang memungkinkan kita untuk mengambil tanggung jawab
atas kesalahan dan kegagalan kita (bukan menyalahkan orang lain), meminta maaf pada mereka,
dan berusaha untuk menebus kesalahan.
Sembilan pilar karakter IHF, yaitu: 1) cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya (love Allah,
trust, reverence, loyalty); 2) kemandirian dan tanggung jawab (responsibility, excellence, self
reliance, discipline, orderliness); 3) kejujuran/amanah, bijaksana (trustworthiness, reliability,
honesty); 4) hormat dan santun (respect, courtesy, obedience); 5) dermawan, suka menolong, dan
gotong royong (love, compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation); 6)
percaya diri, kreatif, dan pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness,

125
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

courage, determination, and enthusiasm); 7) kepemimpinan dan keadilan (justice, fainess,


mercy, leadhership); 8) baik dan rendah hati (kindness, friendliness, humility, modesty); 9)
toleransi, kedamaian, dan kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity) (Megawangi,
2004).

Pendidikan Karakter
Yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah suatu payung istilah yang
menjelaskan berbagai aspek pengajaran dan pembelajaran bagi perkembangan personal.
Beberapa area di bawah payung ini meliputi ―penalaran moral/pengembangan kognitif‖;
―pembelajaran sosial dan emosional‖, ―pendidikan kebajikan moral‖; ―pendidikan keterampilan
hidup‖, ―pendidikan kesehatan‖; ―pencegahan kekerasan‖, ―resolusi konflik‖, dan ―filsafat
etik/moral‖ (Latif, 2009:82). Seperti diiindikasikan oleh ragam istilah yang berkaitan dengan itu,
pendidikan karakter bersifat luas dalam cakupan dan sulit untuk didefinisikan secara tepat.
Pendidikan karakter menggarap pelbagai aspek dari pendidikan moral, pendidikan
kewargaan, dan pengembangan karakter. Sifatnya yang multi-faceted membuatnya menjadi
konsep yang sulit untuk diberikan di sekolah. Setiap komponen memberikan perbedaan tekanan
tentang apa yang penting dan apa semestinya yang diajarkan.
Pendidikan moral menitikberatkan dimensi etis dari individu dan masyarakat serta
memeriksa bagaimana standar-standar kebenaran dan kesalahan dikembangkan. Agama dan
filsafat menyediakan fondasi untuk diskusi-diskusi moral dan pertimbangan-pertimbangan etis
tentang bagaimana restorasi n ilai-nilai kebajikan berlangsung di lingkungan sekolah.
Pendidikan kewargaan (civic education) memberikan kesempatan bagi keterlibatan aktif
dalam proses-proses demokratis yang berlangsung di sekolah dan komunitas. Basis
pengetahuannya mencakup prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi yang dapat digunakan oleh
siswa untuk memeriksa hak-hak sipil dan tanggung jawab mereka serta untuk berpartisipasi
dalam komunitas lokal demi kebajikan bersama. Watak sipil, karakteristik warga negara yang
baik dalam sistem demokrasi diamati dan ditekankan baik dalam pembelajaran di kelas maupun
dalam aktivitas ekstrakurikuler.

126
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Pengembangan karakter adalah suatu pendekatan holistik yang menghubungkan dimensi


moral pendidikan dengan ranah sosial dan sipil dari kehidupan siswa. Sikap dan nilai dasar dari
masyarakat diidentifikasi dan diteguhkan di sekolah dan komunitas. Pendidikan bersifat sarat
nilai, karena masyarakat menentukan apa-apa yang akan dan tidak akan diteladani. Moral
ditangkap (caught) bukan diajarkan (taught) dan kehidupan di ruang kelas jumbuh dengan
makna moral yang membentuk karakter siswa dan perkembangan moral (Ryan, 1996:75).
Dalam pendidikan karakter, komunitas sekolah mengidentifikasi nilai-nilai inti sekolah
dan pekerjaan untuk mendidik dan meneguhkan nilai-nilai bersama dalam kehidupan siswa.
Konsensus mesti dicapai untuk mengembangkan visi bersama tentang sifat-sifat karakter yang
harus dipelihara. Sifat-sifat karakter ini harus merembesi lingkungan belajar siswa, baik dalam
kelas, jalan masuk, gimnasium, kafetaria, lapangan olah raga, dan tempat-tempat lainnya. Sifat-
sifat karakter merupakan bagian dari tatanan komunitas secara keseluruhan dan stakeholders
menyusun model dari perilaku yang diharapkan.
Pendidikan karakter harus bersifat multi level dan multi channel karena tidak mungkin
hanya dilaksanakan oleh sekolah. Pembentukan karakter perlu keteladanan, perilaku nyata
dalam seting kehidupan otentik dan tidak bisa dibangun secara instan. Oleh karena itu
pendidikan karakter harus menjadi sebuah gerakan moral yang bersifat holistik, melibatkan
berbagai pihak dan jalur, dan berlangsung dalam seting kehidupan alamiah. Namun yang harus
dihindari jangan sampai tersesat menjadi gerakan dan ajang politik yang pada akhirnya hanya
akan membentuk perilaku-perilaku formalistik-pragmatis yang berorientasi kepada azas manfaat
sesaat, yang justru akan semakin merusak karakter dan martabat bangsa (Kartadinata, 2012:xii).

3. SIMPULAN
Penggalian pengetahuan dan kearifan lokal dalam tradisi lisan Nusantara perlu dilakukan
secara komprehensif dan holistik guna menunjang pengembangan pendidikan karakter bangsa di
sekolah, keluarga, dan masyarakat. Pengetahuan lokal untuk menggambarkan tradition-based-
literacy, artistic, scientific works, performances, inventions, scientific discoveries, designs,
marks, names and symbols, undisclosed information and all other tradition based innovations
and creation yang berasal dari kegiatan intelektual dalam bidang industri, keilmuan, sastra

127
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

ataupun seni. Di pihak lain, kearifan lokal mencakup dimensi pengetahuan lokal, nilai lokal,
keterampilan lokal, sumber daya lokal, mekanisme pengambilan keputusan lokal, dan dimensi
solidaritas kelompok lokal.
Pengetahuan dan kearifan lokal dari berbagai etnik (baca: masyarakat tradisional) yang
ada di Nusantara tidak ada yang bertentangan dengan nilai-nilai moral utama yang bersifat
universal (meskipun ada yang berbeda), bahkan memperkaya nilai-nilai moral tersebut.
Pendidikan karakter bangsa sebaiknya mengangkat pengetahuan dan kearifan lokal Nusantara
daripada meng-impor nilai-nilai moral dari bangsa lain (bangsa Amerika dan Eropa), yang
terkadang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Sebagai contoh, bangsa Indonesia
memiliki konsep ‗musyawarah untuk mufakat‘ dalam berdemokrasi, sedangkan USA
memilikikonsep voting (separuh tambah satu) sebagai pemenang. Demikian juga dengan
kebebasan individual yang dinjunjung tinggi di USA, tidak berlaku di Indonesia.

Daftar Pustaka
Avonina, Sthefanny. 2006. ―Apa yang Dimaksud dengan Pengetahuan Tradisional?‖,
Konvergensi, Edisi IX, Oktober 2006.
Brunvand, Jan Harold. 1968.The Study of American Folklore – An Introduction. New York:
W.W. Norton & Co. Inc.
Buwono X, Sri Sultan Hamengku. 2008. ―Sekapur Sirih‖, dalam Kearifan Lingkungan dalam
Perspektif Budaya Jawa. (Anshory Ch dan Sudarsono, 2008). Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta:
Grafiti
Danandjaja, James. 1998. ―Pendekatan Folklor dalam Penelitian Bahan-bahan Tradisi
Lisan‖,Metodologi Kajian Sasrtra Lisan. Jakarta Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan
Asosiasi Tradisi Lisan.
Departemen Sosial Republik Indonesia. 2006. ‖Memberdayakan Kearifan Lokal bagi Komunitas
Adat Terpencil‖, (http//wwwdepsos.go.id).
Dirjen Dikdasmen. 2003.Buku Pedoman Umum Pendidikan Budi Pekerti. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Dundes, Alan. 1965. The Study of Folklore. New York: Prentice Hall Inc.
Endraswara, 2008. ―Pemilihan Bahan Pelajaran Kearifan Lokal Jawa‖, dalam Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Daerah dalam Kerangka Budaya (Penyunting Mulyana). Yogyakarta:
Tiara Wacana, hlm. 189-203.
Geertz, Clifford. 2003. Pengetahuan Lokal. Yogyakarta: Penerbit Rumah Merapi
128
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Geriya, I Wayan. 2004. ―Revitalisasi Kearifan Lokal Bali‖, Bali Pos, 28 Agustus. 2004.
Hadi, A.C. Sungkana. 2006. ―Melestarikan Kearifan masyarakat Tradisional (Indigenous
Knowledge)‖, dalam Buletin Perpustakaan dan Informasi. Bogor, Juni.
Hardiyoko dan Panggih Saryoto. 2005. ―Kearifan Lokal dan Stop Pangan Desa‖, dalam Pangan,
Kearifan Lokal & Keanekaragaman Hayati. (Penyunting Francis Wahono). Yogyakarta:
Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Idrus, Istiyani. 2008. ―Kearifan Lokal dan Pendidikan Nonformal‖, Artikel edisi 22 September.
Ife, Jun. 2002. Community Development, Creating Community Alternatif Vition Analysis and
Practise. Australia: Longmann.
Kartadinata, Sunaryo. 2013. ―Pengantar Rektor UPI‖, dalamEducating for Character (Mendidik
untuk Membentuk Karakter) Thomas Lickona (Penerjemah Juma Abdu Wamaungo).
Bandung: Bumi Aksara.
Latif, Yudi. 2009. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan.
Jakarta: Buku Kompas.
Lickona, Thomas. 2012.Character Matters (Persoalan Karakter). (Penerjemah Juma Abdu
Wamaungo dan Jean Antunes Rudolf Zien). Bandung: Bumi Aksara.
Lickona, Thomas. 2013.Educating for Character (Mendidik untuk Membentuk
Karakter).(Penerjemah Juma Abdu Wamaungo). Bandung: Bumi Aksara.
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa.
Bogor: Indonesia Heritage Foundation.
Megawangi, Ratna, 2007. Semua Berakar pada Karakter: ―Isu-isu Permasalahan Bangsa‖,
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Mitzhell, Bruce, B. Setiawan, Dwita Hadi Rahma. 2003. Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press.
Mundardjito. 1986. ―Hakikat Local Genius dan Hakikat data Arkeologi‖, dalam Kepribadian
Budaya Bangsa (Local Genius). (Penyunting: Ayatrohaedi). Jakarta: Pustaka Jaya.
Munfangati, Tim dkk. 2004. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora
Jawa Tengah. Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Permana, R. Cecep Eka .2010. Kearifan Lokal Masyarakat Baduy dalam Mitigasi Bencana.
Jakarta: Wedatama Sidya Sastra.
Pudentia (Ed.). 1998. Metodologi Kajian Sasrtra Lisan. Jakarta Yayasan Obor Indonesia dan
Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
Rifai, Mien Ahmad. 2007.Manusia Madura. Yogyakarta: Pilar Media.
Ryan, K. 1996. ―Character Education in the United States‖. Journal For A Just and Caring
Education, No. 2 (January 1996), pp. 84.
Rosidi, Ayip. 2011. Kearifan Lokal dalam Perspektif Budaya Sunda. Bandung: Kiblat.
Saryono, Djoko. 2007. ―Budaya Mataraman: Mencari Definisi dan Karakteristik‖, dalam
Pemetaan Kebudayaan di Provinsi Jawa Timur (Penyunting Ayu Sutarto dan Setya
Yuwana Sudikan). Jember: Biro Mental Spiritual Pemerintah Provinsi Jawa Timur
bekerja sama dengan Kompyawisda Jatim, hlm. 23-51.
Sedyawati, Edi. 1986. ―Local Genius dalam Kesenian Indonesia‖, dalam Kepribadian Budaya
Bangsa (Local Genius). (Penyunting: Ayatrohaedi). Jakarta: Pustaka Jaya.

129
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Sudjijono. 2007. ―Poetika Naratif: Teori Prosa Naratif Berdasarkan Studi Konvensi Kesastraan
Cerita Rakyat Daerah di Indonesia‖, dalam Jurnal Bahasa dan Seni, Th. 35, No. 1,
Februari 2007, hlm. 28-40.
Susan, Novri. 2012. Negara Gagal Mengelola Konflik: Demokrasi dan Tata Kelola Konflik di
Indonesia. Yogyakarta: Kopi Pesona Sambisari bekerjasama dengan Pustaka Pelajar
Sutarto. 2004. Menguak Pergumulan antara Seni, Politik, Islam, dan Indonesia. Jember:
Kompyawisda Jatim bekerjasama dengan Pemprov Jatim.
Sutarto, Ayu. 2010. Kearifan Lokal Jawa (Pesan-pesan Mulia dari Leluhur). Surabaya: Bidang
PNFI – Nilai Budaya, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur.
Tol, Roger dan Pudentia. 1995. ―Tradisi Lisan Nusantara: Oral Traditions from the Indonesian
Archipelago. A Three-Directional Approach‖, dalam Warta ATL (edisi pertama) I-
01Maret 1995, hlm.12-16.
Triono, Lambang. 2003. Keluar dari Kemelut Maluku: Refleksi Pengalaman Praktis Bekerja
untuk Kedamaian Maluku. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wahono, Francis; AB. Widyanta; Titus O. Kusumayati (Ed.). 2004. Pangan, Kearifan Lokal &
Keanekaragaman Hayati: Pertaruhan Bangsa yang Terlupakan. Yogyakarta: Cindelaras
Pustaka Rakyat Cerdas.
Wiyata, A. Latif. 2008. ―Manusia Madura: Pandangan Hidup, Perilaku, dan Etos Kerja‖, dalam
Pemetaan Kebudayaan di Provinsi Jawa Timur (Penyunting Ayu Sutarto dan Setya
Yuwana Sudikan). Jember: Biro Mental Spiritual Pemerintah Provinsi Jawa Timur
bekerja sama dengan Kompyawisda Jatim, hlm. 1-21.

130
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

ANALISIS STRUKTUR NARATIF DAN NILAI BUDAYA


TERHADAP LEGENDA BANTERANG SURATI SEBAGAI ASAL-USUL KABUPATEN
BANYUWANGI

Ika Febriani
Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Trunojoyo Madura

Abstrak
Legenda Banterang Surati merupakan salah satu tradisi lisan asal-usul Kota Banyuwangi.
Legenda sebagai cerita rakyat penting merupakan kekayaan daerah yang perlu terus
dilestarikan. Berdasar hal tersebut, dilakukan penganalisisan teori struktur naratif ala
Maranda terhadap Legenda Banterang Surati dengan konsep terem dan fungsi. Aplikasi
kedua konsep tersebut membuktikan bahwa kebaikan mengalahkan keburukan.
Penganalisisan Legenda Banterang Surati dengan teori nilai budaya membuktikan bahwa
terkandung nilai religius, nilai kepahlawanan dan keberanian, nilai moral, dan nilai
berkorban dalam Legenda Banterang Surati. Keempat nilai tersebut saling terkait dan
identik satu sama lain.
Kata-kata kunci: Legenda Banterang Surati, struktur naratif, teori nilai, tradisi lisan

Abstract
Legend Banterang Surati is one of the oral folklore of the origin of Banyuwangi. Legend
as an important folklore is a region's wealth that needs to be continuously preserved.
Based on this, conducted the analysis of Maranda's narrative structure theory against the
Legend of Banterang Surati with the concept of terem and function. The second
application of the concept proves that goodness overcomes evil. Analyzing the Legend of
Banterang Surati with culture value theory proves that contained religious values, heroic
values and courage, moral values, and sacrificial value in Legend Banterang Surati. The
four values are interrelated and identical to each other.
Keywords: Banterang Surati legend, narrative structure, value theory, oral folklore.

A. PENDAHULUAN

131
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Cerita rakyat lahir di dalam masyarakat berbentuk cerita lisan yang dituturkan
antarindividu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Cerita rakyat
yang berasal dari masyarakat pada umumnya berisi peristiwa-peristiwa yang terjadi di
daerah itu sendiri. Cerita ini biasanya berbentuk legenda, cerita kepahlawanan, keunikan,
asal mula sesuatu yang penting seperti ciri khas suatu daerah.
Corak ragam budaya yang ada di seluruh Indonesia menggambarkan kekayaan
budaya bangsa yang dapat menjadi modal dan landasan untuk pengembangan budaya
bangsa seluruhnya, yang hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh bangsa Indonesia
(Supratno, 2010:1). Pernyataan tersebut berarti bahwa kebudayaan daerah merupakan
kekayaan budaya bangsa.
Dalam makalah ini disajikan penganalisisan menggunakan teori struktur naratif
Maranda terhadap Legenda Banterang Surati. Selain itu, dianalisis nilai yang terkandung
dalam legenda tersebut sebagai asal-usul Kota Banyuwangi yang merupakan kekayaan
budaya daerah yang perlu dilestarikan agar tidak punah dimakan zaman.
Peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di suatu daerah biasanya dikenang dan
diabadikan sebagai cerita anonim. Hal tersebut berkaitan dengan kemunculan atau
kelahiran suatu yang sangat penting bagi masyarakat tersebut.
Danandjaja (1994:22) memasukkan legenda dalam cerita rakyat yang merupakan
bagian atau bentuk folklor lisan yang bentuknya memang murni lisan sehingga disebut
sastra lisan. Penelitian sastra lisan di Indonesia perlu mendapat perhatian khusus
mengingat hidupnya berdampingan dengan sastra tulis, malahan ada keterpaduan dan
keterjalinan (Pradotokusumo, 2005:85). Pernyataan tersebut sejalan dengan kajian sastra
lisan dalam makalah ini yang bertujuan untuk mengungkap kebudayaan daerah,
khususnya legenda, yang ada di Kabupaten Banyuwangi.
Legenda Banterang Surati adalah legenda asal-usul Kota Banyuwangi. Legenda
tersebut merupakan salah satu tradisi lisan Banyuwangi. Berdasarkan keterangan
informan Legenda Banterang Surati sama dengan Legenda Sritanjung. Perbedaan
keduanya hanya pada versi unsur dalam Legenda Sritanjung pada unsur pewayangan.

132
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Dalam makalah ini dianalisis teori struktur naratif ala Maranda terhadap Legenda
Banterang Surati sebagai asal-usul Banyuwangi. Selain itu, nilai budaya dan nilai moral
dalam Legenda Banterang Surati di Kabupaten Banyuwangi.

B. PEMBAHASAN
1. Analisis Struktur Naratif ala Maranda terhadap Legenda Banterang Surati
Teori struktur naratif dipelopori oleh Elli Kongas Maranda dan Pierre Maranda,
dan Vladimir Propp. Elli Kongas Maranda dan Pierre Maranda menemukan model
penganalisisan struktur sastra lisan dengan menggunakan satuan unsur yang bernama
terem dan fungsi (Sudikan, 2001:25). Pernyataan tersebut berarti bahwa penganalisisan
dengan teori Maranda terhadap Legenda Banterang Surati digolongkan berdasarkan
terem dan fungsinya. Dalam penggolongan tersebut terdapat tindak yang termasuk
kebaikan dan keburukan yang terdapat dalam Legenda Banterang Surati.
Lebih lanjut Sudikan menyatakan bahwa fungsi dan terem berbeda. Perbedaan
tersebut adalah semua terem dapat dikategorikan sebagai peran tunggal dan peran ganda,
sedangkan fungsi adalah peran yang dipegang oleh terem. Pernyataan tersebut berarti
bahwa kedua bagian struktur naratif ala Maranda itu menunjukkan pertentangan. Selain
itu, ada saling memengaruhi antara keduanya, khususnya fungsi. Dalam penganalisisan
dengan teori struktur naratif Maranda ini dipergunakan istilah terem dan fungsi. Terem
ialah simbol yang dilengkapi dengan konteks kemasyarakatan dan kesejarahan. Terem
dapat juga berupa dramatis personae, pelaku magis, gejala alam, dan lain-lain segala
subjek yang dapat berbuat atau melakukan peranan. Fungsi adalah peranan yang
dipegang oleh terem.
Pemakaian tanda : dan :: menunjukkan hubungan sebab akibat.
Untuk terem digunakan tanda a, b, c, d, e, f, dst.
Untuk fungsi digunakan tanda x, y, dan z.
Sedangkan rumus yang digunakan ialah: (a)x : (b)y :: (b)x : (y)a-1
Terem (a) adalah terem pertama yang menyatakan unsur dinamik.
Terem (b) adalah terem kedua.

133
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Tanda x adalah fungsi yang memberi kekhasan pada terem (a).


Tanda y adalah fungsi yang bertentangan dengan tanda x yang memberi kekhasan
kepada terem (b) dalam pemunculannya yang pertama.
Tanda a-1 merupakan tanda perubahan terem menjadi tanda fungsi. Ini terjadi
karena rumus tersebut tidak linier.

Struktur Cerita LEGENDA BANYUWANGI: Banterang-Surati

Alur Cerita:
(1) Raden Banterang suka berburu di hutan
(2) Raden Banterang bertemu seorang wanita cantik di hutan yang merupakan anak Raja
Klungkung yang selamat dari serangan Raja Blambangan bernama Surati.Raden
Banterang pulang kemudian menikahi puteri Raja Klungkung itu.
(3) Dewi Surati itu diperlakukan dengan baik sebagai permaisuri oleh Raden Banterang
tanpa memedulikannya sebagai keturunan musuh.
(4) Ketika Raden Banterang berburu, ada orang mengaku pendeta (yang ternyata kakak
kandung Surati bernama Rupaksa) menemui Surati menyuruhnya membunuh Raden
Banterang untuk membalas dendam musuh kerajaan.
(5) Surati patuh dan setia kepada Raden Banterang sehingga menolak perintah kakaknya
untuk membunuh suaminya.
(6) Rupaksa menemui Raden Banterang dan mengatakan bahwa istrinya selingkuh
dibuktikan dengan adanya udheng di bawah ranjang. Oleh karena fitnahan itu Raden
Banterang hendak membunuh Surati.
(7) Surati ingin membuktikan kesetiaannya kepada Raden Banterang. Sebelum Surati
dibunuh, Ia berpesan bahwa jika pascapembunuhan air berbau harum berarti Surati benar
dan jika air berbau busuk, berarti Surati bersalah.
(8) Setelah membunuh Surati, harum semerbak air kemudian Raden Banterang berteriak:
―Banyuwangi...Banyuwangi...‖

134
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Watak pelaku dalam Legenda Banterang Surati di Kabupaten Banyuwangi:


1. Raden Banterang: laki-laki, berwatak baik, ceroboh
2. Dewi Surati: perempuan, berwatak baik, setia, patuh dan taat kepada suami.
3. Rupaksa: laki-laki, berwatak buruk, jahat, pemfitnah.

Terem dalam Legenda Banterang Surati di Kabupaten Banyuwangi sebagai berikut.

a = Kerajaan Blambangan
a1 = Raden Banterang
a2 = Surati
a3 = Rupaksa
b = Tuhan Yang Maha Esa
c = penduduk Kerajaan Blambangan
c1 = penduduk

Fungsi dalam Legenda Banterang Surati di Kabupaten Banyuwangi sebagai berikut.

x = keburukan
x1 = menyuruh membunuh
x2 = memfitnah selingkuh
x3 = membunuh
y = kebaikan
y1 = menikah
y2 = memperlakukan baik
y3 = patuh
z = keadilan
z1 = menghukum
z2 = membalas
N = Legenda Banyuwangi: Banterang-Surati

135
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Alur cerita dapat digambarkan:


N = (a1)y1 :: (a2)y2 (a3)x1 : (a2)y3: (a3)x2 :: (a1)x3 :: (b)z1: (b)z2:: (c1)z1
Keterangan:
Raden Banterang sesungguhnya berwatak baik. Walaupun dia tahu bahwa
Surati adalah putri musuh kerajaan yaitu putri Raja Klungkung, dia tetap
menikahi dan hidup berumah tangga dengan baik dengan Surati. Karena Raden
Banterang kemudian mendapat fitnahan Rupaksa, dengan tidak dipikirkan baik-
baik fitnahan itulah kecerobohannya menghancurkannya. Raden Banterang
membunuh Surati seketika. Akan tetapi sebelum dibunuh, Surati berpesan untuk
membuktikan kesetiaannya kepada suaminya. Ternyata, fakta membuktikan
bahwa Surati tidak bersalah. Semerbak bau air setelah Dewi Surati dibunuh Raden
Banterang. Ini merupakan bukti kebaikan Dewi Surati. Dengan penyesalan yang
luar biasa, Raden Banterang bingung lalu melarikan diri dari kerajaan.
Dilihat dari segi tokohnya, alur cerita dalam Legenda Banterang Surati di Kabupaten
Banyuwangi sebagai berikut.
N = (a1) :: (a2) : (a3) : (a2) : (a3) :: (a1) :: (b) :: (b) :: (c1)
Dilihat dari segi fungsinya, alur cerita dalam Legenda Banterang Surati di Kabupaten
Banyuwangi sebagai berikut.
N = (y1) : (y2) :: (x1) : (y3) :: (x2): (x3) : (z1) (x2) (z1)
Kesimpulan:
Fungsi kebaikan dan keadilan lebih besar daripada fungsi keburukan:
(a1)y1 :: (a2)y2 : (a2)y3(b)z1: (b)z2:: (c1)z1 > (a3)x1 (a3)x2 :: (a1)x

2. Analisis Nilai Budaya dalam Legenda Banterang Surati


a). Konsep Nilai Moral
Teori nilai moral Soren A. Kierkegaard untuk mengungkapkan nilai moral yang ada
dalam masyarakat, yakni nilai estetis, etis, dan nilai religius. Nilai tersebut didasarkan pada
eksistensi manusia sebagai makhluk yang berkesadaran terhadap nilai baik dan buruk

136
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

(Ahmadi, 2006). Pernyataan tersebut berarti dalam nilai moral terkandung pemilahan, mana
yang termasuk nilai yang baik dan mana yang termasuk nilai yang buruk.
b). Konsep Nilai Budaya
Salah satu bagian adat yang paling tinggi dan paling abstrak adalah nilai budaya
(Koentjaraningrat dalam Supratno (2010: 52). Sistem nilai budaya merupakan konsep-konsep
mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat mengenai apa yang
mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidupnya sehingga dapat berfungsi
sebagai suatu pedoman yang dapat memberikan arah orientasi kepada kehidupan para warga
masyarakat.
Supratno menjelaskan bahwa konsep nilai budaya meliputi 1) nilai pendidikan, 2) nilai
religius, 3) nilai kepemimpinan, 4) nilai kepahlawanan, 5) nilai keberanian, 6) nilai
kesederhanaan, 7) nilai gotong royong, 8) nilai moral, dan 9) nilai berkorban untuk orang lain
(2010: 370).Dalam pembahasan ini, dideskripsikan empat nilai dari kesembilan konsep nilai
tersebut.
Keempat nilai yang dideskripsikan adalah konsep nilai religius, nilai kepahlawanan, nilai
moral, dan nilai berkorban. Konsep religius bersifat keagamaan yang bersangkut paut dengan
religi. Konsep kepahlawanan dapat berarti orang yang menonjol karena keberanian dan
pengorbanannya dalam membela kebenaran, pejuang yang gagah berani. Konsep
kepahlawanan juga berarti keberanian berarti keadaan atau sifat-sifat berani, konsep
keberanian berasal dari konsep berani, yang berarti mempunyai hati yang mantap dan rasa
percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan serta menegakkan kebenaran dan
keadilan. Konsep moral dapat berarti suatu ajaran tentang baik buruk yang diterima umum
mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, susila. Konsep berkorban dapat
berarti menjadi kurban, menderita, menyatakan kebaktian atau kesetiaan (Supratno, 2010:370-
397). Keempat konsep nilai tersebut terdapat dalam Legenda Banterang Surati.
a. Nilai Religius
Nilai religius dapat berarti bersifat religi, bersifat keagamaan yang bersangkut paut
dengan Tuhan. Nilai religius dalam makalah ini yaitu nilai yang ada kaitannya dengan
keagamaan yang terdapat dalam Legenda Banterang Surati. Memang, ada hidup setelah

137
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

mati tetapi yang diinginkan tentu bukan mati karena dibunuh orang, apalagi suaminya sendiri.
Hal tersebut sebagaimana terdapat dalam penggalan Legenda Banterang Surati berikut.
Buktinya di bawah ranjang ada udheng dan keris di bawah pelaminan ada.
Ternyata ―Betul, ada!‖ kata Raja Banterang. Oh, ndak pakek bicara sudah,
diseret sreet...dibunuh.. tapi dia ngomong Surati itu: ―Ya, saya ndak salah,
tapi kalok kamu mau membunuh, bunuh saja saya tapi nantik akan
menyesal kamu. Kemudian kan semerbak aroma harum. Itu Surati benar,
kalok ini busuk, theng...Sret... Lha dia bingung terus (LBS, 51-56).

Berdasarkan penggalan cerita di atas, diketahui bahwa kematian Dewi Surati karena
dibunuh suaminya berkaitan dengan nilai religius. Nilai yang bersifat religi. Nilai tersebut
termasuk membahas tentang adanya kematian setelah manusia hidup di dunia. Akan tetapi,
kematian dalam Legenda Banterang Surati ini disebabkan tangan suami Dewi Surati sendiri.
b. Nilai Kepahlawanan
Konsep kepahlawanan dapat berarti orang yang menonjol karena keberanian dan
pengorbanannya dalam membela kebenaran. Kepahlawanan dapat juga disematkan pada
pejuang yang gagah berani. Nilai kepahlawanan dalam makalah ini adalah sesuatu yang baik
dan benar yang dimiliki oleh seseorang tokoh yang menonjol karena keberaniannya dan
pengorbanannya dalam membela kebenaran yang terdapat dalam Legenda Banterang Surati
sebagaimana dalam penggalan cerita berikut.
―Ya, saya ndak salah, tapi kalok kamu mau membunuh, bunuh saja saya
tapi nantik akan menyesal kamu. Kemudian kan semerbak aroma harum. Itu
Surati benar, kalok ini busuk, theng...Sret...Lha dia bingung terus.
Banyuwangi...Banyuwangi...Banyuwangi... bingung dia.‖ (LBS, 53-57)

Berdasarkan penggalan cerita di atas, terdapat nilai kepahlawanan tokoh Dewi Surati. Dia
berani mati dan membuktikan kebenarannya kepada suaminya yang telah difitnah Rupaksa.
Nilai kepahlawanan ini juga identik dengan konsep nilai keberanianyang berarti keadaan atau
sifat-sifat berani, konsep keberanian berasal dari konsep berani, yang berarti mempunyai hati
yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan serta
menegakkan kebenaran dan keadilan.

138
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Keberanian dapat juga berarti berani untuk melaksanakan kehendak, niat, dan tekadnya.
Keberanian menjalankan tugas dan kewajiban, keberanian untuk mencapai cita-cita dan tujuan
hidup, dan keberanian untuk mempertahankan dan mengembangkan keyakinan, pandangan,
dan filsafat hidup, dan keberanian untuk menegakkan kebenaran. Nilai keberanian dalam
Legenda Banterang Surati ini juga tampak pada saat Dewi Surati menolak perintah kakaknya
untuk membunuh suaminya yang musuh kerajaan Klungkung itu sebagaimana penggalan
cerita berikut.
―Cuma yang saya sayangkan kok kamu ini kawin dengan musuh, musuh
kerajaanmu, yang membunuhbapakmu itu dia. Yang bawa pedang
kerasnya dia. Balas dendam, bunuh dia!‖ perintah kakaknya. Kemudian
Surati menjawab ―Lhawong itu suami saya.‖ Rupeksa mengatakan ―Lha
kalok kamu ndak mbunuh nantik ya ada urusan!‖ Sreet..(LBS, 39-43).
Berdasarkan penggalan cerita tersebut terbukti bahwa Dewi Surati berani menolak
perintah kakaknya. Bahkan, dia berani mati dibunuh suaminya. Keberanian Dewi Surati untuk
mempertaruhkan hidup dan matinya di hadapan suaminya dapat terlihat dalam penggalan
cerita.Surati tidak berlari, tetapi justru menawarkan diri agar dibunuh karena memang benar
dia tidak bersalah.
c. Nilai Moral
Teori nilai moral Soren A. Kierkegaard untuk mengungkapkan nilai moral yang ada
dalam masyarakat, yakni nilai estetis, etis, dan nilai religius. Nilai religius telah dijabarkan
pada bagian sebelumnya. Konsep moral juga dapat berarti suatu ajaran tentang baik buruk
yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, susila.
Konsep moral dalam bagian ini sejalan dengan konsep nilai moral dalam makalah ini adalah
ajaran yang baik dan benar yang dimiliki tokoh Dewi Surati dalam Legenda Banterang Surati
yaitu perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, atau susila.
Ditanyak kemudian. Wanita cantik di hutan. Terus ditanyak kamu ini
siapa? Akhirnya, dia, saya ini anaknya Raja Klungkung yang selamat dari
serangan Blambangan. Maka yang menyerang ya dia. Oh, jadi kamu ini
anaknya Raja Klungkung yang kalah itu ya. Dibawa pulang, dikawin. Dia
ndak perduli masa lalunya, yang penting saya sekarang dikawin sama
Banterang. Diperlakukan dengan baik dijadikan sebagai permaisuri. Ya

139
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

sudah, gitu. Banterang ya yang sudah kalah ya sudah kalah sudah. Ini
anaknya (LBS, 27-33).

Berdasarkan penggalan cerita di atas, terdapat nilai moral bahwa Raden Banterang
menikahi Surati dengan tidak melihat masa lalu yang suram bahwa Surati itu putrinya musuh
kerajaan. Surati juga diperlakukan dengan baik oleh Banterang sebelum dia mendapat
fitnahan Rupaksa.

d. Nilai Berkorban
Konsep berkorban dapat berarti menjadi korban, menderita, menyatakan
kebaktian atau kesetiaan. Nilai berkorban untuk orang lain artinya mau menjadi korban,
mau menderita untuk orang lain karena rasa baktinya atau kesetiaannya. Hal tersebut
terdapat dalacerita Banterang Surati yaitu sifat mau berkorbannya Dewi Surati terhadap
suaminya. Dia mau menjadi korban fitnahan. Dia mau dibunuh suaminya. Surati mau
mengorbankan dirinya sebagai korban pembunuhan suaminya sendiri.

C. SIMPULAN
Penganalisisan teori struktur naratif ala Maranda terhadap Legenda Banterang Surati
digunakan konsep terem dan fungsi. Aplikasi kedua konsep tersebut membuktikan bahwa
kebaikan mengalahkan keburukan.
Penganalisisan Legenda Banterang Surati dengan teori nilai moral dan nilai budaya
membuktikan bahwa terdapat dalam Legenda Banterang Surati. Kedua nilai tersebut
saling terkait dan ada pula yang identik satu sama lain. Tidak semua nilai baik yeng
terkandung dalam nilai moral maupun nilai budaya terdapat dalam Legenda Banterang
Surati.

Daftar Pustaka
Ahmadi, Anas. 2006. Pesona Dunia Cerita Rakyat di Pulau Raas: Kajian Genre, Struktur,
Arketipal, Fungsi, Nilai Moral, Pengaruh, dan Sikap-Niatan Pencerita. Tesis.
Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

140
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, Dan Lain-lain. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.

Pradotokusumo, Partini. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia.

Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya: Citra Wacana.

Supratno, Haris. 2010. Sosiologi Seni: Wayang Sasak Lakon Dewi Rengganis dalam Konteks
Perubahan Masyarakat di Lombok. Surabaya: Unesa University Press.

CERMIN BUDAYA MASYARAKAT MADURA


DALAM KUMPULAN CERPEN “BLATER” KARYA MAHWI AIR TAWAR

Oleh
Ira Fatmawati
irafatmawati@yahoo.com
Universitas Trunojoyo Madura

Abstrak: Orang Madura akan merasa malo atau terhina jika harga dirinya dilecehkan
oleh (atau sebagai akibat dari) perbuatan orang lain. Pelecehan harga diri ini sama
artinya dengan pelecehan terhadap kapasitas diri mereka. Padahal kapasitas diri
seseorang secara sosial tidak dapat dipisahkan dengan peran dan statusnya (social role
and status) dalam struktur dan sistem sosial yang berlaku. Kumpulan cerpen ―Blater‖
karya Mahwi Air Tawar memiliki tema cerita yang sama, yaitu tentang pentingnya harga
diri. Tokoh utama yang diangkat dalam cerita ini yaitu ―Madrusin‖ seorang Blater,
Ksatria lokal Madura yang memiliki karakter sama yaitu tokoh antagonis yang disegani
semua masyarakat. Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis dalam penelitian ini
yaitu sosiologi sastra, dengan metode kualitatif deskriptif. Hasil penelitian ini yaitu
1)Sistem Tunangan, 2) Taruhan dalam Pertandingan, 3) Kebiasaan Merantau, 4)
Mengutamakan Harga Diri, 5) Dendam yang Berkelanjutan, 6) Percaya terhadap Mistis,
7) Gemar Berpesta, 8) Religius.

Kata Kunci: Cemin, budaya Madura, Cerpen ―Blater‖

LATAR BELAKANG

Masyarakat Madura selama ini terkenal dengan budayanya yang keras, hal tersebut dapat
dilihat dari pepatah leluhur mereka yaitu ―lebih baik putih mata daripada putih tulang‖. Pepatah
141
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

tersebut bermakna bahwa harga diri itu lebih utama daripada segalanya. Kerasnya budaya
masyarakat Madura tidak lepas dari posisi geografis yang ada pada letak daerah yang mereka
diami. Apabila dilihat dari posisi letak posisi geografis mulai dari barat (kab. Bangkalan) hingga
ke timur (Kab. Sumenep) maka tingkat kesuburan tanah tampak berbeda, semakin ke timur
semakin subur.

Adanya perbedaan bentuk struktur tanah di Madura juga menunjukkan adanya perbedaan
etika dan budaya pada masing-masing kabupaten. Semakin ke timur budaya Madura akan
semakin tinggi tingkat kebudayaannya. Puusat kebudayaan di Pulau Madura terletak pada Kab.
Summenep, dareah paling timur di Pulau Madura.

Pada masyarakat dan kebudayaan manapun pasti dikenal apa yang disebut sebagai harga
diri, baik dalam konsep individual maupun kelompok, tidak terkecuali dalam masyarakat dan
kebudayaan Madura. Tulisan ini mencoba memahami dan membahas konsep harga diri dalam
masyarakat dan kebudayaan Madura dengan cara antara lain melihat hubungan relasionalnya
dengan beberapa peristiwa sosial budaya yang secara empirik terjadi dalam kehidupan sehari-
hari orang Madura.

Orang Madura akan merasa malo atau terhina jika harga dirinya dilecehkan oleh (atau
sebagai akibat dari) perbuatan orang lain. Pelecehan harga diri ini sama artinya dengan pelecehan
terhadap kapasitas diri mereka. Padahal kapasitas diri seseorang secara sosial tidak dapat
dipisahkan dengan peran dan statusnya (social role and status) dalam struktur dan sistem sosial
yang berlaku. Peran dan status sosial ini dalam prakteknya tidak cukup hanya disadari oleh
individu yang bersangkutan melainkan harus mendapat pengakuan dari orang atau lingkungan
sosialnya. Bahkan pada setiap bentuk relasi sosial antara orang yang satu dengan yang lainnya
harus saling menghargai peran dan status sosial masing-masing. Tapi ada kalanya hal ini tidak
dipatuhi. Bagi orang Madura tindakan tidak menghargai dan tidak mengakui atau mengingkari
peran dan status sosial sama artinya dengan memperlakukan dirinya sebagai orang tada‘ ajhina
(tidak bermakna secara sosial dan budaya) yang pada gilirannya menimbulkan perasaan malo.

142
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Dalam bahasa Madura selain kata malo juga terdapat kata todus. Dalam bahasa Indonesia
kedua kata ini selalu diterjemahkan sebagai malu. Tapi, dalam konteks kehidupan sosial budaya
Madura, antara malo dan todus mempunyai pengertian yang sangat berbeda. Malo bukanlah
suatu bentuk lain dari ungkapan perasaan todus. Pada dasarnya todus lebih merupakan suatu
ungkapan keengganan (tidak ada kemauan) melakukan sesuatu karena adanya berbagai kendala
yang bersifat sosial-budaya. Misalnya, menurut adat kebiasaan yang berlaku di Madura seorang
menantu ketika sedang berbicara dengan mertuanya tidak boleh menatap wajahnya secara
langsung. Semua menantu akan merasa todus jika berbicara kepada mertuanya dengan cara
seperti itu. Jika hal itu dilakukan maka secara sosial menantu tersebut kemudian akan disebut
sebagai orang ta‘ tao atoran atau janggal (tidak mengerti etika kesopanan) sehingga
menimbulkan perasaan todus (tidak tahu malu).

Dengan demikian, biasanya todus muncul dari dalam diri seseorang sebagai akibat dari
tindakan dirinya sendiri yang menyimpang dari aturan-aturan normatif. Sebaliknya, malo muncul
lebih sebagai akibat dari perlakuan orang lain yang mengingkari atau tidak mengakui kapasitas
dirinya sehingga yang bersangkutan merasa menjadi tada‘ ajhina. Orang Madura yang
diperlakukan seperti itu sama artinya dengan dilecehkan harga dirinya kemudian mereka akan
selalu melakukan tindakan perlawanan sebagai upaya untuk memulihkan harga diri yang
dilecehkan itu. Kadangkala tindakan perlawanan atau resistensi tersebut cenderung sangat keras
(dalam bentuk ekstrimnya adalah pembunuhan) tergantung pada berat ringannya pelecehan harga
diri yang dialami. Suatu ungkapan yang berbunyi ango‘an poteya tolang etembhang poteya mata
(lebih baik mati daripada harus menanggung perasaan malo) menunjukkan indikasi tentang hal
itu.

Kumpulan cerpen ―Blater‖ karya Mahwi Air Tawar memiliki tema cerita yang sama,
yaitu tentang pentingnya harga diri. Tokoh utama yang diangkat dalam cerita ini yaitu
―Madrusin‖ seorang Blater, Ksatria lokal Madura yang memiliki karakter sama yaitu tokoh
antagonis yang disegani semua masyarakat.

143
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis dalam penelitian ini yaitu sosiologi
sastra, dengan metode kualitatif deskripstif. Mengingat pentingnya pengembangan budaya
terutama budaya lokal di Indonesia, maka penelitian ini perlu untuk dilakukan sebagai salah satu
bentuk pengembangan budaya lokal daerah Madura.

KAJIAN PUSTAKA
PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA
Pengantar Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki
paradigma dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang telah
digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosiologi
sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat,
dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai
dalam masyarakat tersebut (Soemanto, 1993; Levin, 1973:56). Sebagai suatu bidang teori, maka
sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam menangani objek
sasarannya.
Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus
dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas
sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca
yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya)
secara mudak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams,
1981:178). Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan orang sejak sebelum Masehi,
dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra merupakan suatu bidang ilmu yang tergolong
masih cukup muda (Damono, 1977:3) berkaitan dengan kemantapan dan kemapanan teori ini
dalam mengembangkan alat-alat analisis sastra yang relatif masih lahil dibandingkan dengan
teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra.
Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil
terakhir daripada perkembangan ilmu pengetahuan. Sosiologi lahir pada saat-saat terakhir
perkembangan ilmu pengetahuan, oleh karena sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajuan
yang telah dicapai ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya Camte berkata bahwa sosiologi
dibentuk berdasarkan pengamatan dan tidak pada spekulasi-spekulasi perihal keadaan
144
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

masyarakat dan hasil- hasil observasi tersebut harus disusun secara sistematis dan motodologis
(Suekanto, 1982: 4).
Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada suatu kurun
waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu. Pengarang
mengubah karyanya selaku seorang warga masyarakat pula (Luxenburg, Bal, dan Willem G. W.
terjemahan Dick Hartoko. 1084: 23 ).
Faktor – faktor di luar teks, gejala kontek sastra, teks itu tidak ditinjau. Penelitian ini
menfokuskan pada kedudukan pengarang dalam masyarakat, pembaca, penerbitan dan
seterusnya. Faktor-faktor konteks ini dipelajari oleh sosiologi sastra empiris yang tidak
dipelajari, yang tidak menggunakan pendekatan ilmu sastra.
Hal-hal yang bersangkutan dengan sastra diberi aturan dengan jelas, tetapi diteliti dengan
metode-metode dari ilmu sosiologi. Tentu saja ilmu sastra dapat mempergunakan hasil sosiologi
sastra, khususnya bila ingin meniti persepsi para pembaca. Hubungan antara (aspek-aspek ) teks
sastra dan susunan masyarakat sejauh mana system masyarakat serta jaringan sosial dan
karyanya, melainkan juga menilai pandangan pengarang.
Pendekatan sosiologi sastra jelas merupakan hubungan antara satra dan
masyarakat, literature is an exspreesion of society, artinya sastra adalah ungkapan perasaan
masyarakat. Maksudnya masyarakat mau tidak mau harus mencerminkan dan mengespresikan
hidup ( Wellek and Werren, 1990: 110 ).

SASTRA SEBAGAI CERMIN MASYARAKAT


Sastra sebagai cermin masyarakat membahas sejauh mana sastra dianggap sebagai
mencerminkan keadaan masyarakatnya. Kata ―cermin‖ di sini dapat menimbulkan gambaran
yang kabur, dan oleh karenanya sering disalahartikan dan disalahgunakan. Dalam hubungan ini,
terutama harus mendapatkan perhatian adalah.
1) Sastra mungkin dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ia ditulis, sebab banyak
ciri masyarakat yang ditampilkan dalam karya sastra itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia
ditulis.

145
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

2) Sifat ―lain dari yang lain‖ seorang sastrawan sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan
fakta-fakta sosial dalam karyanya.
3) Genre sastra sering merupakan sifat sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial
seluruh masyarakat.
4) Sastra yang berusaha menampilkan keadaan masyarakat yang secermat-cermatnya mungkin saja
tidak bisa dipercaya atau diterima sebagai cermin masyarakat. Demikian juga sebaliknya, karya
sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan masyarakat secara
teliti barangkali masih dapat dipercaya sebagai bahan untuk mengetahui keadaan masyarakat.
Pandangan sosial sastrawan harus diperhatikan apabila sastra akan dinilai sebagai cermin
masyarakat (Damono, 1979:4).

FUNGSI SOSIAL SASTRA


Pendekatan sosiologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ―sampai berapa
jauh nilai sastra berkaita dengan nilai sosial?‖, dan ―Sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi
nilai sosial?‖, ada tiga hal yang harus diperhatikan.
1) Sudut pandang yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi.
2) Sudut pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka.
3) Sudut pandang kompromistis. (Damono, 1978).
Secara epitesmologis dapat dikatakan tidak mungkin untuk membangun suatu sosiologi
sastra secara general yang meliputi pendekatan yang dikemukakan itu. Dalam penelitian
kumpulan cerpen ―Blater‖ karya Mahwi Air Tawar, konsep sosiologi sastra sendiri menggunakan
pendekatan sastra sebagai cermin masyarakat. Hal ini dkan digunakan untuk menjelaskan sejauh
mana pengarang dapat mewakili dan menggambarkan seluruh masyarakat dalam karyanya.

SASTRA DAN MASYARAKAT


Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi
pengaruh terhadapa masyarakat (Semi, 1990: 73). Sastra dapat dikatakan sebagai cerminan
masyarakat, tetapi tidak berarti masyarakat seluruhnya tergambarkan dalam sastra, yang didapat
di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan

146
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial, seperti lingkungan bangsawan,
penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya.
Sastra sebagai cerminan kehidupan masyarakat, sebenarnya erat kaitannya dengan
kedudukan pengarang sebagai anggota masyarakat. Sehingga secara langsung atau tidak
langsung daya khayalnya dipengaruhi oleh pengalaman manusiawinya dalam lingkungan hidup.
Pengarang hidup dan berelasi dengan orang lain di dalam komunitas masyarakatnya, maka
tidaklah heran apabila terjadi interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakat.
Lebih lanjut dikatakan bahwa hubungan antara sastra dan masyarakat dapat diteliti
dengan cara:

1. Faktor – faktor di luar teks, gejala kontek sastra, teks itu tidak ditinjau. Penelitian ini
menfokuskan pada kedudukan pengarang dalam masyarakat, pembaca, penerbitan dan
seterusnya. Faktor-faktor konteks ini dipelajari oleh sosiologi sastra empiris yang tidak
dipelajari, yang tidak menggunakan pendekatan ilmu sastra.
2. Hal-hal yang bersangkutan dengan sastra diberi aturan dengan jelas, tetapi diteliti dengan
metode-metode dari ilmu sosiologi. Tentu saja ilmu sastra dapat mempergunakan hasil
sosiologi sastra, khususnya bila ingin meniti persepsi para pembaca.
3. Hubungan antara (aspek-aspek ) teks sastra dan susunan masyarakat sejauh mana system
masyarakat serta jaringan sosial dan karyanya, melainkan juga menilai pandangan
pengarang.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian deskriptif kualitatif berusaha menggambarkan suatu gejala sosial. Dengan kata
lain penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada
saat studi. Metode kualitatif ini memberikan informasi yang lengkap sehingga bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan serta lebih banyak dapat diterapkan pada berbagai masalah.
Metode penyelidikan deskriptif bertujuan untuk memecahkan masalah yang ada pada masa
sekarang. Metode ini menuturkan, menganalisa, dan mengklasifikasi ; menyelidiki dengan teknik
survey, interview, angket, observasi, atau dengan teknik test ; studi kasus, studi komperatif, studi
waktu dan gerak, analisa kuantitatif, studi kooperatif atau operasional. Bisa disimpulkan bahwa

147
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

metode deskriptif ini ialah metode yang menuturkan dan menafsirkan data yang ada, misalnya
tentang situasi yang dialami, satu hubungan, kegiatan, pandangan, sikap yang menampak, atau
tentang satu proses yang sedang berlangsung, pengaruh yang sedang bekerja, kelainan yang
sedang muncul, kecenderungan yang menampak, pertentangan yang meruncing, dan sebagainya.
Tujuan utama penelitian kualitatif adalah untuk memahami (to understand) fenomena
atau gejala sosial dengan lebih menitik beratkan pada gambaran yang lengkap tentang fenomena
yang dikaji daripada memerincinya menjadi variabel-variabel yang saling terkait. Harapannya
ialah diperoleh pemahaman yang mendalam tentang fenomena untuk selanjutnya dihasilkan
sebuah teori. Karena tujuannya berbeda dengan penelitian kuantitatif, maka prosedur perolehan
data dan jenis penelitian kualitatif juga berbeda (Rahardjo, 2010).
Seorang peneliti kualitatif yang menerapkan sudut pandang ini berusaha
menginterpretasikan kejadian dan peristiwa sosial sesuai dengan sudut pandang dari objek
penelitiannya. Dalam penelitian kualitatif, peneliti itu sendiri bertindak sebagai instrumen
penelitiannya; yang mana sebagai instrumen penelitian peneliti harus memiliki bekal teoridan
wawasan yang luas, sehingga mampu bertanya, menganalisis, memotret danmengkonstruksi
situasi sosial yang diteliti menjadi lebih jelas dan bermakna (Sugiono:2008).

PEMBAHASAN
Sastra Sebagai Cermin Budaya Masyarakat Madura
1) Sistem Tunangan
Masyarakat Madura selalu menjunjung tinggi batas hubungan antara laki-laki dan
perempuan. Untuk menghindari hal-hal yangtidak diinginkan pada anak-anaknya, maka orang
tua sudah terbiasamenjodohkan anaknya pada usia yang sangat diini. Hal tersebut tampak pada
kutipan cerpen berikut
―Madrusin terkenang pada masa kanak-kanaknya bersama gadis yangtelah menjadi
tunangannyasemenjak ia berusia sepuluh tahun‖ (Blater, 3:2017).

Dalam cerpen yang berjudul ―Bulan Selaksa Celurit‖ mengisahkan putusnya hubungan
pertungan antara Madrusin dengan si kembang Desa, Asnain.
2) Taruhan dalam Pertandingan

148
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Masyarakat Madura memiliki tingkat kebersamaan yang tinggi, tampak dari rumah
mereka yang dibangun secara berkoloni. Untuk menunjukkan kebersamaan tersebut mereka
biasanya datang beramai-ramai untuk mendatangi perlombaan dalam pesta-pesta rakyat yang
ada. Salah satu bentuk kebersamaan mereka yaitu adanya taruhan dalam setiap pertandingan.
Pada saattaruhan, barang yang dijadikan sebagai taruhannya bisa uang, barang, atau bahkan
orang. Sedangkan dalam kumpulan Cerpen ― Blater‖ tersebut terdapat taruhan pada saat
pertandingan kerapan Sapi. Tampak pada kutipan berikut ―Kenapa dengan asnain?‖ tanya
Madrusin, ―Taruhannya‖ tukas Gani.Tegas‖ (Blater, 7: 2017)
Madrusin bertanding dalam acara kerapan sapi dengan Gani, dalam pertandingan itu
mereka menjadikan Asnain sebagai taruhannya.
3) Kebiasaan Merantau
Masyarakat Madura memiliki kebiasaan merantau. Hal tersebut karena keadaan geografis
yang tandus, mereka kebanyakan merantau ke tempat yang jauh lebih subur. Tampak pada
kutipan berikut.
― Ya, jumira, anak sulung Madrusin yang sudah lama meniinggalkan kampung halaman,
kini datang dengan kamera terkalung di lehernya dan tas kecil terjinjing di tangan kanannya.‖
(Blater, 11: 2017)

4) Mengutamakan Harga Diri


Harga diri adalah hal yang utama dalam hidup bermasyarakat pada masyarakat Madura.
Hal tersebut tampak diulang-ulang dalam setiap cerita dengan judul yang berbeda, namun satu
yang tidak ada perubahan, yaitu menjunjung tinggi harga diri. Hal tersebut tampak pada kutipan
berikut.
―Harga diri tak bisa dijual beli. Mesti dijunjung tinggi!‖ gumamnya. (Blater, 33:2017)
Orang Madura rela mempertaruhkan nyawanya daripada harus menanggung malu atau
harga dirinya dihancurkan oleh orang lain. Tampak pada kutipan berikut.
― Lebih baik mati berkalang tanah daripada menanggung hinaan orang. Harga diri harus
dijunjung tinggi.‖

5) Dendam yang Berkelanjutan

149
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Dendam adalah salah satu yang menjadi pemicu konflik dalam masyarakat di Madura. Hal
yang uniik dalam konflik tersebut yaitu adanya permasalahan yang terus dibawa sampai pada
anak cucunya. Hal tersebut tampak pada kutipan berikut.
―Akhiri semua ini, Lubanjir Menatap anaknya yang berdiri kaku di halaman- ia tahu di
mata su anak berkobar dendam.‖ (Blater, 26: 2017)
Pada kutipan berikut menggambarkan adanya dendam karena adanya pembatalan
pertunangan antara Madrusin dengan Sati. Apalagi Madrusin adalah seorang Blater yang terkenal
membuat onar di kampung.
―Hanya darahlah yang akan membuat bapakmu sadar, sati‖, kata madrusin. (Blater,
37:2017)

6) Percaya terhadap Mistis


Pulau Madura terkenal dengan tananya yang tandus, berbatu, dan berkapur. Ladang yang
ada hanya menggantungkan perairan dari air hujan. Apabila hujan lama tidak turun, maka
ladang-ladang tersebut dibiarkan liar ditumbuhi ilalang. Agar dapat keluar dari permasalahan
tersebut maka masyarakat mendatangi seorang ahli nujum agar mendatangkan huujan. Tampak
pada kutipan berikut.
―Mereka memintaku mendatangi seorang pawang yang tak lain adalah adikku sendiri.
....inilah saatya hujan harus didatangkan!‖ (Blater, 39:207)
7) Gemar Berpesta
Masyarakat Madura gemar melakukan pesta rakyat, baik untukkeperluan pribadi maupun
untuk memperingati hari-hari yang bersejarah. Tampak pada kutipan berikut.
―Sebagaimana kebiasaan masyarakat Madura, pada akhir musim kemarau, sehabis panen
tembakau (dengan hasil memuaskan tentunya), para petani selalu mengadakan pesta desa.‖

8) Religius
Tingkat religius masyarakat Madura tergolong tinggi, tempat ngaji dan sekolah-
sekolah diniyah lebih digemari masyarakat daripada sekolah umum. Tampak pada
kutipan berikut.

150
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

―Di rumah panggung itulah dulu aku belajar mengaji dan juga cara memainkan
ojung.‖(Blater, 41:2017)

―Bapakku selalu bangun saat sepertiga malam terakhir. Persis, ia juga melakukan
hal yang sama sebagaimana yang ibu lakukan sekarang.‖ (Blater, 23:2017)

Madrusin adalah seorang ksatria lokal yang terkenal selalu membuat onar di kampung,
tetapi bukan berarti dia mengindahkan perintah agama, sholat misalnya. Madrusin selalu
melaksanakan sholat wajib bahkan dia juga rajin sholat malam (sunnah).

PENUTUP

1) Novel ―Blater‖ karya Mahwi air Tawar merupakan cermin dari budaya
masyarakat Madura. Mulai dari latar tempat, tokoh dan juga karakternya
mendeskripsikan budaya pada masyarakat Madura. Budaya Masyarakat Madura yang
tercover dalam novel tersebut yaitu, 1) Sistem Tunangan, 2) Taruhan dalam
Pertandingan, 3) Kebiasaan Merantau, 4) Mengutamakan Harga Diri, 5) Dendam yang
Berkelanjutan, 6) Percaya terhadap Mistis, 7) Gemar Berpesta, 8) Percaya terhadap
Mistis.
Masyarakat Madura boleh berbangga dengan budayanya yang hingga kini masih kental
dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Salah satunya adalah Mahwi Air Tawar, pemuda
madura, penulis kumpulan cerpen ―Blater‖ yang kini berkiprah dalam bidang sastra yang banyak
di cerminkan dalam bentuk karya sastra.

DAFTAR RUJUKAN

Anonim. 2012. Pendekatan Sosiologi Sastra. http://bocahsastra.blogspot.com. Diambil pada 16


Maret 2012.

Faruk . 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

151
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press).

Kualitatif. http://mudjiarahardjo.com/artikel/215.html?task=view.

Margono, Drs. (2004). Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta : PT Rineke

Rahardjo, M. 2010. Jenis dan Metode Penelitian

Sugiyono, (2008). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: AlfaBeta.

Sugono, Qodratillah dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Edisi Keempat).
Jakarta: Gramedia.

152
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

PAGELARAN WAYANG KULIT SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN TRADISI


BUDAYA MASYARAKAT INDONESIA
Eko Hardinanto
Universitas Negeri Surabaya

Abstract

Indonesia has many cultural traditions. One of them is performance of wayang kulit.
Wayang kulit is a kind of performing arts which has deeply rooted in the life of Javanese
society. As a mean of traditional communication media, wayang show has two sides which
appeared in community: the spiritual side which deals with morality and ethics, and also the
profane one which contains more entertainment. Along with the rapid dynamics of society,
the immediately changed values and norms demanded wayang kulit show to adapt itself
with the contemporary condition. One of a solution to reach the conformity between the
two is message commodification. Commodification in wayang performances was done by a
dalang as a main message producer, who has responsibilities in regulating the messages in
wayang‘s symbolic universe which has changed into a cultural commodification, and also
maintained his former role as a communicator who transmits the spiritual values in the
performance. The logical consequence of commodifications i.e. the decision of
compromizing, maintaining or changing values which occured inside the puppet
performance, including the performance by Dalang. The historic wayang kulit proved that a
peaceful, cross-cultural and religious diplomacy took place through the medium of art since
the early stages of deployment of Islam in Java. This traditional art is a legacy for current
and future younger generations, not only because of the aesthetical aspect, but also as a
cross-cultural diplomacy strategy and philosophy that must be acknowledged, understood,
and practiced. In accordance with the meaning of the word, ‗wayang‘ (reflection) reflects a
successful diplomacy of the past that can potentially be applied in the present, hoping
harmonic relationships can emerge from cultural diversity in the midst of rapid
globalization. We should preserve it as well as possible and publish it in international level.
Keywords : perfomance, preserving, wayang kulit

PENDAHULUAN

153
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Indonesia merupakan sebuah Negara yang kaya sekali akan tradisi dan kebudayaannya.
Sebagian tradisi sudah banyak yang dikenal luas bahkan sampai ke taraf internasional, tetapi
sebagian lagi sudah mulai luntur atau bahkan telah dilupakan sama sekali. Lunturnya tradisi dan
kebudayaan ini merupakan salah satu dari dampak arus globalisasi dan moderenisasi yang tengah
berlangsung pada saat ini, selain itu rasa kurang peduli akan kebudayaan dan tradisi asli
Indonesia ini mempercepat hilanngnya berbagai aset milik bangsa ini. Salah satu tradisi
Indonesia yang keberadaannya lambat laun mulai terlupakan. adalah pagelaran wayang
kulit. Wayang sendiri berasal dari kata Ma Hyang yang berarti menuju kepada yang esa. Wayang
kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga berperan sebagai narator dialog dari tokoh-tokoh
wayang itu sendiri. Biasanya kesenian ini dipentaskan dengan diiringi oleh music gamelan yang
dimainkan oleh sekelompok nayaga dengan tembang yang dilantunkan oleh para pesinden.

PEMBAHASAN

Pagelaran wayang kulit

Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang berkembang khususnya di daerah
Jawa. Cerita yang diangkat untuk melakonkan wayang kulit biasanya berasal dari kisah
Ramayana dan Mahabrata yang telah banyak diketahui masyarakat dan telah melegenda.
Pagelaran wayang kulit biasanya dilangsungkan semalam suntuk dan dengan jalan cerita yang
panjang untuk menghibur penontonnya. Selain sebagai sarana hiburan, pertunjukan atau
pagelaran wayang kulit juga digunakan sebagai sarana dakwah, pendidikan, dan juga
pemahaman filsafat. Selain itu, wayang kulit juga merupakan salah satu bagian penting dari
upacara-upacara adat seperti upacara bersih desa, ngruwat dan lain-lain. Untuk mementaskan
pertunjukan wayang kulit secara lengkap dibutuhkan kurang lebih sebanyak delapan belas orang
pendukung. Satu orang sebagai dalang, dua orang sebagai waranggana, dan lima belas orang
sebagai penabuh gamelan merangkap wiraswara. Dalam setiap pementasan wayang kulit, dalang
memainkannya dibalik layar yang terbuat kain putih yang disorot lampu listrik atau lampu
minyak sehingga para penonton yang berada disisi balik layar dapat tetap melihat pertunjukan.

Pengetahuan budaya sangat diperlukan untuk dapat memahami alur cerita wayang kulit, apalagi
di zaman modern seperti sekarang. pasalnya setiap penonton harus memiliki pengetahuan yang
cukup mengenai tokoh-tokoh pewayangan. Biasanya, cerita yang ditampilkan diambil dari
naskah Mahabharata dan Ramayana. Namun ada juga dalang yang memainkan lakon gubahan
seperti mengambil beberapa cerita dari kisah Panji. Saat ini wayang kulit sudah banyak dikenal
dunia internasional sebagai karya seni yang berasal dari Indonesia. Tetapi pada prakteknya saat
ini wayang kulit sudah jarang diminati oleh masyarakat khususnya kalangan anak muda.

Pagelaran wayang kulit sebagai tradisi


154
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Pagelaran wayang kulit sebagai tradisi masyarakat Jawa telah berlangsung sejak budaya Hindu
masuk di Indonesia. Tradisi dapat diartikan sebagai sesuatu yang dilakukan secara berulang dan
menjadi suatu kebiasaan. Wayang kulit dapat disebut sebagai tradisi karena wayang kulit
merupakan sebuah seni yang pada eranya dahulu merupakan sebuah kesenian dan hiburan yang
wajib diadakan pada saat acara pesta perkawinan atau khitanan oleh masyarakat jawa. Setiap
acara pesta, sang empunya acara akan rela merogoh kantongnya demi dapat mendatangkan satu
grup wayang kulit beserta perangkatnya, padahal untuk menyewa atau menampilkan pertunjukan
wayang kulit ini dibutuhkan biaya yang tidak murah. Tetapi hal ini tidak menjadi masalah dan
hambatan mengingat dulu masyarakat jawa menganggap pertunjukan wayang kulit sebagai suatu
prestige dan juga sebagai sesuatu yang wajib ditampilkan di acara pesta pernikahan atau khtanan
bagi anak mereka untuk menjadi hiburan bagi para tamu undangan. Tapi itu dulu, saat ini acara
pesta hajatan lebih banyak diisi dengan pertunjukan organ tunggal dan mendatangkan penyanyi
dangdut. Hal ini disebabkan oleh pola pikir masyarakat Indonesia pada zaman modern ini yang
ingin serba praktis. Kebutuhan yekonomi yang cukup tinggi pada saat ini juga menjadi bahan
pertimbangan mereka untuk menampilkan pertunjukan wayang. Untuk menyewa dan
menampilkan rombongan wayang, tuan rumah acara harus menyediakan tempat yang luas dan
juga mengeluarkan jumlah uang yang lebih banyak karena anggota grup wayang yang mencapai
belasan bahkan puluhan orang.

Faktor melunturnya tradisi pagelaran wayang kulit

Beberapa faktor yang menyebabkan kesenian wayang kulit saat ini sudah jarang diminati, antara
lain adalah:

Moderenisasi

Arus moderenisasi saat ini membuat mobilitas masyarakat Indonesia menjadi tinggi dan berpikir
serba praktis. Pada umumnya pagelaran wayang kulit diadakan semalam suntuk minimal tujuh
jam. Jika dibandingkan dengan tuntutan aktifitas masyarakat pada era modern ini, menonton
pagelaran wayang selama tujuh jam merupakan sesuatu yang melelahkan dan dianggap sebagai
sesuatu yang sangat menyita waktu. Saat ini orang akan lebih menghargai waktu luang mereka
untuk beristirahat karena sebagian besar waktu mereka dipergunakan untuk bekerja dan
beraktifitas. Berbeda dengan zaman dulu saat masyarakat Indonesia masih banyak bermata
pencaharian sebagi petani atau wiraswasta. Saat mereka telat untuk berladang atau saat mereka
malas untuk berdagang tidak ada yang mengawasi dan menuntut untuk mengerjakan pekerjaan
tersebut. Beda dengan keadaan sekarang, saat ini sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di
suatu lembaga, instansi ataupun perusahaan yang mengharuskan mereka bekerja sesuai dengan
kontrak yang telah disepakati, jika hal ini tidak dipenuhi mereka bisa saja kehilangan pekerjaan
dan tidak bisa menghidupi keluarganya.

155
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Faktor Ekonomi

Globalisasi yang tengah terjadi saat ini menciptakan iklim industri maju dan membuat orientasi
berpikir orang-orang menjadi konsumtif dan matrealis. Semua dilakukan demi mendapatkan
uang. Hal ini juga dialami oleh para dalang yang merupakan penggerak utama dari pagelaran
wayang. Saat ini frekuensi permintaan pertunjukan wayang merosot sangat rendah dan membuat
para dalang dan pekerja seni rombongan wayang menjadi sangat resah akan masa depan mereka.
Dulu saat pertunjukan wayang kulit masih banyak diminati para dalang bekerja tidak hanya
semata karena bayaran dan uang yang akan mereka terima, melainkan dengan membawa misi
kebudayaan dan juga pesan moral yang ingin disampaikan. Tetapi dengan keadaan
perekonomian yang sulit saat ini membuat uang menjadi tujuan utama yang dicari saat mereka
melaksanakan pertunjukan. Faktor ini merupakan salah satu faktor pendorong terbesar atas
merosotnya minat masyarakat untuk bergelut di bidang pewayangan, khususnya sebagai dalang.
Saat ini regenerasi dalang sulit sekali untuk ditemui, anak muda zaman sekarang lebih senang
belajar bermain piano, biola, ballet atau kesenian lainnya yang dianggap lebih modern dan
menjanjikan prospek bagi ekonomi mereka kedepannya.

Perubahan Budaya

Saat ini pergeseran budaya tengah terjadi pada bangsa Indonesia. Kebudayaan dan tradisi bukan
lagi dianggap sebagai sesuatu yang utama untuk dipikirkan dan dianggap sebagai sesuatu yang
kurang penting. Padahal kebudayaan dan tradisi merupakan salah satu faktor terbentuknya
identitas suatu bangsa. Selain hal tersebut wawasan tentang nusantara yang dimiliki oleh
penduduk Indonesia masih sangat minim, sehingga banyak yang tidak mengetahui bahwa
sebenarnya kebudayaan dan tradisi merupakan harta bangsa yang tercipta ratusan bahkan ribuan
tahun yang lalu dan perlu dilestarikan serta dijaga keberadaannya agar tetap diakui. Jika semua
orang sadar akan pentingnya tradisi dan kebudayaan, lunturnya pertunjukan wayang dan juga
seni tradisi Indonesia yang lainnya tidak perlu terjadi.

Pengaruh dari kebudayaan luar negeri

Perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini membuat pertukaran informasi dari berbagai
belahan bumi mudah sekali terjadi. Kebudayaan barat yang dianggap sebagai kebudayaan
modern saat ini juga sudah banyak masuk ke indonesia. Pengaruh budaya asing ini tidak
semuanya baik, tidak sedikit yang melanggar norma-norma kebudayaan dan tradisi yang
berkembang di Indonesia. Sayangnya, banyak masyarakat Indonesia khususnya kalangan muda
yag menganggap kebudayaan barat ini sebagai sesuatu yang lebih unggul jika dibandingkan
dengan kebudayaan tradisional Indonesia. Anak muda pada saat ini lebih suka menonton film
dari luar negeri di bioskop dari pada harus menonton pertunjukan tradisional asal indonnesia

156
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

seperti pertunjukan wayang kulit yang dianggap sebagai sesuatu yang kuno dan ketinggalan
zaman.

Pergeseran Fungsi

Dengan seiring kurang diminatinya pagelaran wayang kulit saat ini fungsi dari wayang kulit
sendiri sedikit berubah. Dahulu wayang digunakan sebagai media untuk melakoknkan sebuah
tokoh dalam pertunjukkan, tetapi sekarang wayang kulit lebih banyak banyak dilihat sebagai
sebuah benda seni bukan lagi sebagai satu kesatuan seni yang dimainkan oleh banyak orang
dengan diiringi perangkat gamelan. Di masyarakat modern wayang kulit saat ini sudah banyak
dijadikan sebagai penghias dinding rumah mereka sebagai symbol dari kebudayaan dan tradisi
yang pernah berkembang.

Upaya pelestarian

Dengan faktor-faktor pendukung melunturnya seni tradisi pagelaran wayang yang telah diuraikan
di atas ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk pelestarian seni tradisi ini, upaya tersebut
antara lain adalah sebagai berikut:

Pengetahuan Wawasan Nusantara

Jika seseorang telah mengerti dan memahami tentang wawasan nusantara, maka dia akan
mengerti akan pentingnya kebudayaan dan segala sesuatu yang dimiliki oleh bangsanya.
Seseorang yang memiliki wawasan nusantara akan peka terhadap pelestarian alam dan budaya
negrinya. Maka dari itu pemahaman tentang wawasan nusantara ini dirasa sangat penting agar
seni budaya dan tradisi Indonesia tetap terjaga.

Sosialisasi di lembaga pendidikan

Pengenalan dan sosilaisasi disekolah tidak harus dengan memasukkan kurikulum khusus tentang
pewayangan Indonesia, tetapi pengetahuan tentang kesenian wayang ini dapat dimasukkan saat
mata pelajaran kesenian. Guru dapat memperkenalkan seni wayang ini tidak hanya dengan
metode teoritis, untuk lebih menarik lebih baik digunakan alat peraga dengan menggunakan
wayang kulit untuk memperkenalkan dan mendeskripsikannya agar informasi yang disampaikan
saat pelajaran lebih menarik. Selain itu cara lain yang dapat membuat siswa lebih antusias adalah
dengan mengajak mereka ke museum wayang yang menyimpan berbagai informasi dan sejarah
tentang kesenian wayang. Belajar diluar kelas biasanya membuat sisawa lebih antusias dan tidak
bosan dalam menyerap ilmu yang diberikan.

Mengadakan perlombaan pewayangan

157
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Dengan diadakannya lomba akan ada banyak orang yang merasa tertantang dan ingin mencoba
menaklukan perlombaan tersebut. perlombaan pewayangan akan menarik lebih banyak peminat
dalam mempelajari wayang dan akan membantu pelestarian dari pertunjukan wayang kulit itu
sendiri. Dengan banyaknya perlombaan yang digelar juga menandakan bahwa kesenian wayang
kulit ini masih eksis dan di akui setidaknya oleh bangsa Indonesia sendiri.

SIMPULAN

Mulai dilupakannya wayang saat ini karena saat ini wayang dianggap sebagai sesuatu
yang kuno. Maka dari itu untuk menarik minat khususnya kalangan muda yang akan meneruskan
kesenian ini dibutuhkan pengemasan dan inovasi secara modern. Pengemasan modern ini dapat
dengan cara pengurangan durasi pertunjukkan yang biasanya dilaksanakan pada malam hari dan
selama semalam suntuk. Untuk menarik minat anak muda mungkin durasi yang disajikan harus
lebih diperpendek tetapi tetap dengan tidak mengurangi esensi dari tema cerita pertunjukan
wayang itu sendiri. Selain itu cerita yang diangkat bisa lebih beragam dan juga dibawakan
dengan gaya yang lebih masa kini. Cerita Ramayana dan Mahabrata saat ini sudah tidak mampu
menarik minat orang-orang untuk menonton pertunjukan wayang karena sebagian besar orang
sudah tahu tentang jalan cerita pewayangan dengan tema cerita ini. Pertunjukan wayang juga
dapat diselipkan pada pentas-pentas seni modern disekolah, sebagai media pengenalan saja
terlebih dahulu, jika kalangan muda sudah mulai tertarik baru dapat dikembangkan pengenalan
lebih mendalam tentang pertunjukkan wayang kulit dan fungsinya di masyarakat. Dengan hal-hal
seperti ini diharapkan pagelaran wayang kulit khususnya di daerah jawa tidk lagi dianggap
sebagai sesuatu yang kuno dan ketinggalan zaman. Pagelaran seni tradisi wayang kulit adalah
milik bangsa Indonesia dan harus dijaga dan dilestarikan bersama pula agar keberadaannya
masih dapat dinikmati oleh anak cucu kita kelak. Kesadaran seperti ini harus dimiliki seluruh
masyarakat Indonesia agar identitas bangsa kita tetap terjaga dan diakui dunia internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia. Ilmu Gosip, dongeng dan lain-lain. Jakarta: Grafiti
Press.
Djajasoebrata, A. 1999. Shadow Theatre in Java: The Puppets, Performance & Repertoire,
Amsterdam: The Pepin Press.
Guritno, H. & Pandam. 1989. Lordly Shades: Wayang Purwa Indonesia,
Jakarta: PT. Jayakarta Agung Ofset.
Hardjowirogo, R. 1953. Sedjarah Wajang Purwa, Jakarta: Balai Pustaka.
Herusaoto, Budiono.1983. Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta. PT Hanindita.
Hutomo, suripan sadi. 1991. Mutiara yang terlupakan. Pengantar Studi Sastra Lisan.
Surabaya:HISKI.
Holt, C. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia, Bandung: Penerbit Artline.
158
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Mulyono, Sri. 1992. Wayang dan Filsafat Nusantara. Jakarta. CV. Haji Masagung.
Solichin. 2010. Wayang Plays. Jakarta. Sinergi Persadatama Foundation
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL


PADA PEMBELAJARAN TEMBANG MACAPAT MADURA
DENGAN BERBANTUKAN MEDIA GAMELAN
Studi Kasus pada Pembelajaran Sastra di Universitas Trunojoyo Madura

Ahmad Jami’ul Amil


Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Universitas Trunojoyo Madura
Abstrak
Penelitian studi kasus ini bertujuan untuk: (1) Mendeskripsikan proses pembelajaran
Sastra tembang macapat Madura dengan menggunakan penerapan pendekatan kontekstual
berbantukan media gamelan; (2) Mendeskripsikan temuan dan tindak lanjutnya dalam
pembelajaran Sastra tembang macapat Madura yang berbantukan media gamelan. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Semptember 2017. Pendekatan penelitian ini adalah penelitian studi
kasus. Subjek penelitian adalah mahasiswa yang menempuh matakuliah Sastra di Program Studi
Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Trunojoyo Madura. Data berupa RPH (Rancangan
Pertemuan Harian), dokumen laras balungan slendro, foto, dokumen tembang macapat Madura,
catatan lapangan, catatan hasil wawancara. Teknik pengumpulan data melalui observasi,
wawancara, dan dokumen. Uji validitas data menggunakan triangulasi sumber data dan metode.
Teknik analisis data dengan teknik analisis kritis dan teknik deskriptif kualitatif. Prosedur
penelitian meliputi persiapan, survei awal, pelaksanaan, pengamatan, dan pelaporan.
Tembang macapat Madura cengkok pelafalannya sangat berbeda dengan cengkok yang
ada dalam tembang macapat Jawa, gaya senggakan bahasa sangat mempengaruhi pengucapan
dan cengkok dalam tembang macapat Madura. Yang bisa dianalisis adalah pelafalannya karena
menggunakan tokang tegghes dengan fungsi menjelaskan dengan gaya yang bebas dengan
menggunakan bahasa Madura ini tidak bisa disamakan dengan Macapat Jawa. Tokang tegghes
menangkap pembacaan tembang berbahasa Jawa, kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa
Madura dalam durasi waktu yang seimbang dengan lamanya pembacaan tembang. Proses
penerjemahan secara lisan, ini membutuhkan satu sistem kemampuan tersendiri. Tokang tegghes
memiliki skemata atau konseptual kalimat siap pakai. Dengan kalimat-kalimat siap pakai inilah
tokang tegghes menyusun tegghesannya dengan prosa yang jelas dan indah. Yang perlu diteliti
kembali secara mendalam adalah penamaan cengkok dan notasi dalam tembang yang belum
digali dalam tembang macapat Madura. Dalam praktik pembelajarannya perpaduan antara
tembang macapat Madura dipadukan dengan didahuli tembang ataupun ditenga-tengah tembang
159
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

dan diakhri dengan gamelan Madura (saronen, kendhang, kempul, gong, peking, kethuk-
kempyang, jidho‘r/terbang perpduan konsep ―daul‖). Pembelajaran sastra Macapat
membutuhkan ketelitian dalam pencapaian pitch tinggi nada antara suara tokang teghes dengan
balungan gamelan.
Kata kunci: Pendekatan Kontekstual, Pembelajaran Sastra Macapat Madura, Gamelan
PENDAHULUAN

Kajian bahasa, sastra, budaya dan media (language, literatrure, cultural studies and
media) sering disebut sebagai wilayah kajian multi-disiplin. Kajian tersebut merupakan sebuah
fenomena pascamodern dalam dunia akademis tentang mengaburnya batas-batas antar-disiplin
ilmu. Sebenarnya konsep ini hanyalah merupakan istilah untuk melegitimasi metode dan teori-
teori dalam kajian yang bersangkutan.Kajian ini lebih melihat berbagai persoalan media dari
perspektif budaya. Tetapi yang sering luput dalam perbincangan tentang lintas-disiplin dalam
ilmu-ilmu sosial dan humaniora bahwa gagasan lintas-disiplin dalam kajian budaya dan media
itu sendiri masih juga melibatkan gagasan tentang perlintasan antara teori dengan tindakan.
Inilah persoalan pokok yang di anggap mampu membedakan antara kajian budaya dan media
dengan displin lainnya.
Perkembanga sasta Indonesia mengalami perkembangan dan kemajuan begitu cepat,
keadaan itu menuntut pendidikan harus mampu memfasilitasi perkembangan tersebut, sehingga
perkembangan manusia atas keterbatasan sumber dan media pembelajaran untuk mengajarkan
bahasa tidak menjadi hambatan. Lewat media dan sumber pendidikan yang ditunjang kreatifitas
manusia, bahasa dan kebudayaan yang dijadikan dasar kemajuan manusia tidak luntur. Salah satu
solusi untuk memecahkan permasalahan tersebut adalah diperlukannya kretifitas dan pengujian
media pembelajaran. Dimulai dari penggunaan media pembelajaran serta penerapan pendekatan
yang tepat. Penerapan pendekatan pembelajaran sastra untuk mendukung kedudukan dan
keefektifan penggunaan media, sehingga peran pendekatan pemebelajaran sangat penting.
Karena peran keduanya saling simultan dengan kondisi perkembangan peserta didik, sehingga
tidak serta merta hanya ditinjau dalam penerapan media pembelajaran semata.
Dalam tradisi Macapat Madura kedudukan tembang Macapat memiliki pemeranan yang
berbeda bila dibandingkan dengan macapat Jawa, naskah utama berbahasa Jawa yang memiliki
aturan-aturan dibacakan oleh pembaca macapat Jawa dan menjelaskan isi secara jelas dengan
menggunakan bahasa Madura. Jika dilihat dari keilmuan tembang macapat jika itu ditembangkan
dengan bahasa Madura makan tidak memiliki aturan seperti yang ada pada tembang macapat
yaitu guru lagu, guru wilangan, dan guru gatra .Kedudukan tokang tegghesdidalam
menerjemahkan macapat yang sebelumnya dibacakan penembang macapat Jawa dijelaskan
tokang tegghesdengan kebebasan sesuai dengan gaya tembang tokang tegghes dengan
menggunakan bahasa Madura. Dalam praktiknaya macapat madura tidak memakai aturan-aturan
yang ada didalam tembang macapat Jawa dalam segi penulisan dengan menggunakan bahasa
Madura maupun praktik tembangannya karena memiliki gaya tersendiri. Dalam macapat Madura

160
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

dengan tembang bahasa Jawa, tokang tegghes memiliki peran signifikan. Tokang tegghes tidak
sekadar menerjemahkan bahasa Jawa ke dalam bahasa Madura, tetapi juga memiliki tugas untuk
menguraikan atau menjelaskan kode-kode bahasa Jawa. Tokang tegghes melakukan tegghesan
atau penerjemahan sekaligus penjelasan dengan prosa yang indah.

METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian ini adalah penelitian studi kasus. Subjek penelitian adalah
mahasiswa yang menempuh matakuliah sastra Program Studi Pendidikan bahasa Indonesia
Universitas Trunojoyo Madura. Data berupa RPH (Rancangan Pertemuan Harian), dokumen
tembang macapat Madura, gamelan Madura (saronen, kendhang, kempul, gong, peking, kethuk-
kempyang, jidho‘r/terbang perpduan konsep ―daul‖). Pitch tangga nada antara suara tokang
teghes dengan balungan gamelan. laras balungan slendro, foto, catatan lapangan, catatan hasil
wawancara. Teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumen. Uji
validitas data menggunakan triangulasi sumber data dan metode. Teknik analisis data dengan
teknik analisis kritis dan teknik deskriptif kualitatif. Prosedur penelitian meliputi persiapan,
survei awal, pelaksanaan, pengamatan, dan pelaporan.

PEMBAHASAN
Proses pembelajaran Sastra Macapat Madura diketahui dari hasil pengamatan dan
penilaian penilaian kinerja mahasiswa selama mengikuti pembelajaran Macapat berbantukan
media gamelan. Proses pembelajaran setelah dilakukan tindakan ternyata sudah sesuai dengan
landasan kualitas proses yang dibuat yaitu, ada lima jenis variabel yang menentukan
keberhasilan belajar mahasiswa yaitu sebagai berikut: a) melibatkan mahasiswa secara aktif, b)
Menarik minat dan perhatian mahasiswa, c) membangkitkan motivasi mahasiswa, c) Peragaan
dalam pembelajaran Sastra Macapat dengan media gamelan.

A. Macapat Madura
Tembang macapat Madura dalam praktiknya karena disesuaikan dengan kondisi
sosiokultural dan bahasa macapat yang sedianya berjumlah sebelas (11) yang kesemuanyan
berbahasa Jawa berbeda dengan nama macapat yang ada di Madura. Asmaradana dalam istilah
tembang Jawa dialih-istilahkan dalam bahasa Madura menjadi kasmaran; sinom disebut sènom;
kinanti disebut selangèt; pangkur disebut pangkor; dhandhanggula disebut artatè, dan lainnya.
Dalam hal guru atau huruf vokal akhir pada tiap larik tembang Madura memiliki ketentuan yang
sama dengan tembang Jawa. Guru wilangan dan jumlah suku kata pada tiap larik tembang
Madura tetap mengikuti ketentuan dalam tembang Jawa. Cuma dalam praktik penembangannya
saja tidak mengikuti aturan-atauran tersebut karena tokang tegghes menembangkannya dengan
bahasa Madura dengan gaya kebebasannya.

B. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Macapat dengan Media Gamelan


161
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Setelah dilakukan penelitian dan pengamatan menegenai gamelan serta laras dalam
gemalen maka dapat dikatakan bahwa, dalam pembelajaran gamelan hanya diambil beberapa
instrumen saja diantaranya saron, dan kendang, saronen padahal dalam pembelajaran gamelan
terdapat instrunen lengkap. Kemudian sepertinya peran gamelan instrmen asli tidak sepenuhnya
dapat diperankan oleh pembelajaran macapat dan gamelan, temuan ini sesuai dengan opini yang
disampaikan Aris Setiawan dalam kolom opini Jawa Pos terbitan Minggu 28 Juli 2013, bahwa
gamelan bukanlah sebuah kebenaran tunggal sebab mereka menganggap bahwa ukuran nada
gamelan sama pitch serta interval nada dianggap sama, padahal disetiap tempat dan daerah
ukuran nada gamelan berbeda-beda, pemahamn inililah yang perlu disampaikan. Dapat
disimpulkan dari hasil penelitian pembelajaran Macapat dengan media gamelan hanya
didasarkan pada pengenalan semata tentang gamelan, nama-nama gamelan dan lagu-lagu
nasional dan daerah. kemudian untruk menunjang penelitian peneliti melakukan gamelan dengan
rekaman gamelan dan pembelajaran bahasa sehingga dapat menunjang penelitian.

C. Pendektan Kontekstual dalam Pembelajaran Macapat Madura


Macapat merupakan karya seni tradisi lisan yang menceritakan perjalanan kehidupan manusia
dari mulai lahir (gambuh), remaja (Maskumambang), dewasa (Mijil), hingga pocung/ pocong (meninggal
dunia). Untuk menunjang jalannya strategi pembelajaran peneliti menggunakan pendekatan
penelitian kontekstual, karena dari hasil studi teoritik sangat cocok untuk menerapkan dan
memainkan peran dalam pembelajaran yang menuntut mahasiswa menemukan, memprtaktekkan
serta mengalami langsung dalam pembelajaran dengan menggunakan gamelan dalam
mpembelajaran Macapat.
Penerapan pendekatan kontekstual berbantukan media gamelan mengalami kualitas
proses pembelajaran macapat dengan baik, ditandai adanya (perhatian, keaktifan, motivasi, dan
keberanian). Penelitian ini juga menunjukkan bahwa dengan penerapan pendekatan kontekstual
menunjukkan bahwa kualitas proses (kinerja mahasiswa) maupun kepahaman mereka tentang
bahasa Indonesia telah mencapai perkembangan yang baik. Selanjutnya, dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran macapat Madura dengan penerapan pendekatan kontekstual berbantukan
media Gamelan, ditemukan adanya proses pembelajaran yamg interaktif, serta dapat
meningkatkan motivasi dalam belajar macapat, dan semangat memahami Macapat berbantukan
musik Gamelan.
Sesuai yang diungkapkan Sungkowo (2005: 12), pendekatan kontekstual membuat belajar
lebih bermakna mahasiswa akan terjun dan mengalami langsung pembelajaran yang
sesungguhnya. Dimana terdapat pembelajaran efektif, yakni konstruktivisme (Construktivisme),
bertanya (Questioning), menemukan (Inquiri), komunitas belajar (Learning Comunity),
pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment). Penerapan
pendekatan kontekstual dalam pembelajaran tembang macapat dengan media Gamelan dapat
dialami oleh mahasiswa yang menempuh matakuliah Sastra secara langsung.

162
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

D. Keterlaksanaan Pembelajaran Macapat dengan Media Gamelan


Pelaksanaan pembelajaran Macapat dengan menggunakan gamelan Jawa Timur
diantaranya kendhang, gong, pelog, saronen, kethuk dan kempyang. Kemudian nada yang
digunakan adalah pelog dengan lagu nasional serta konsep colongan dalam gamelan dan lagu
pajer lengghu Madura. Pada proses pembelajaran bagian-bagian pembelajaran macapat Madura,
tokang tegghes tidak melakukan interpretasi yang terlalu jauh. Interpretasi sebatas kata yang
terkandung dalam larik serat macapat yang ditembangkan. sebelum Tokang teghes didahului
oleh seorang artate‘ (yang menembangkan macapat) kemudian tokang teghes mengartikan sesuai
dengan tembnag atau tema tembang yang ditembangkan biasanya isi serat macapat itu
menyangkut persoalan Tuhan, tokang tegghes diharapkan tidak menambahi atau mengurangi
penjelasan yang dapat menyebabkan makna menjadi ambigu. Hasil dari pembelajaran macapat
Madura berupa dokumentasi macapat Madura, dokumentasi tersebut berupa modul dan CD
(tembang macapat). Modul tersebut bisa dimanfaatkan sebagai sumber bahan ajar sastra macapat
Madura.

SIMPULAN
Pembelajaran Macapat dengan menggunakan gamelan Jawa Timur diantaranya
kendhang, gong, pelog, saronen, kethuk dan kempyang. Kemudian nada yang digunakan adalah
pelog dengan lagu nasional serta konsep colongan dalam gamelan dan konsep interpretasi lagu
tradisional pajer lengghu. Pembelajaran Macapat Madura dengan menggunakan gamelan
Madura yang terdiri dari (saronen, kendhang, kempul, gong, peking, kethuk-kempyang,
jidho‘r/terbang perpduan konsep ―daul‖). Perpaduan Pitch tangga nada antara tokang teghes
dengan balungan gamelan. Pada proses pembelajaran Kedudukan artate dan tokang tegghes
didalam menerjemahkan macapat yang sebelumnya dibacakan penembang macapat Jawa
dijelaskan tokang tegghes dengan kebebasan sesuai dengan gaya tembang tokang tegghes dengan
menggunakan bahasa Madura. Dalam praktiknaya macapat madura tidak memakai aturan-aturan
yang ada didalam tembang macapat Jawa dalam segi penulisan dengan menggunakan bahasa
Madura maupun praktik tembangannya karena memiliki gaya tersendiri. Dalam macapat Madura
dengan tembang bahasa Jawa, tokang tegghes memiliki peran signifikan.

DAFTAR PUSTAKA

Aqib, Zainal. 2012. Model-model, dan Strategi Pembelajaran Kontekstual (inovatif). Bandung:
Yrama Widya.
Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: Remaja Rosda Karya.
Ranggawarsito, R. Ng. 1957. Mardawalagu. Surakarta: Sadu Budi.

163
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Sungkowo. 2003. Pendekatan Kontekstual Contextual Teaching and Learning (CTL). Jakarta:
Diknas.
Supanggah, Rahayu. 2009. Bothekan Karawitan II: Garap. Surakarta: Program Pascasarjana
bekerjasama dengan ISI Press.
Suparno, T Slamet. Beberapa Pendekatan Sosiologis dalam penelitian Karawitan. Dalam Jurnal
Imaji Tahun 2006. Vol. 4. No.2.
Saputro, Karsono H. 2010. Sekar Macapat. Wedatama Widya sastra: Jakarta.
Waridi. 2007. Hasil Simposium Karawitanologi. Surakarta: ISI Press Institut Seni Indonesia
Surakarta.

164
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

REVITALISASI TRADISI LISAN NKABYEU DI DESA TUTUKEMBONG


KECAMATAN NIRUNMAS KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT

Amatien Jean Neini Luturmas


(amatienjeanneini@yahoo.com)
Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia-Daerah
Universitas Negeri Surabaya

Abstract
Nkabyeu is a song that tells about the advice, adat and praise good for God, ancestors
and parents. Nkabyeu was created and in some ways Nkabyeu worshiped God with Dobol dance.
The archipelagic community in the Yamdena islands generally and particularly in Tutukembong
village, Nirunmas sub-district, West Southeast Maluku district, the Nkabyeu text has a structure
on poetry in general. The structure or element of poetry consists of choice of words and wording,
sounds, images and figurative language.
Based on the form Nkabyeu consists of several types are Nkabyeu history (ngri),
Nkabyeu Adat (adith), and Nkabyeu Puja-puji (God, Ancestors and Parents). Nkabyeu carried
away in a song that has kias songs and later will be interpreted by the listener. Nkabyeu delivered
with full appreciation and directly will not make anyone who is listening to it. Nkabyeu dinyeet
in Yamdena language that has a function as a person's content.
Nkabyeu can be sung with or without musical accompaniment like guitar, drums or the like. This
song is usually sung by some men and women who are really fluent in chanting it. Called fluent
because not all can sing this song. Nkabyeu is a legacy since the first, the poem has been created
long ago and was created suddenly when an event occurred.

Kata kunci : Tradisi Lisan, Revitalisasi, Nkabyeu, Maluku Tenggara Barat

Pendahuluan
Sastra dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak dapat dilepaspisahkan. Sastra merupakan
aktivitas manusia yang diwujudkan dalam media tertentu dan memiliki ciri estetika yang tertentu
pula. Kebudayaan adalah seluruh aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, sejarah,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan lain (Ratna dalam
Latupapua 2012:1). Dengan demikian, sastra merupakan suatu kebudayaan yang sekaligus
merupakan mimesis atau mencerminkan kebudayaan itu sendiri, dengan kata lain teks sastra
memiliki kemampuan untuk mempresentasikan kebudayaan manusia. Oleh sebab itu, sastra
menjadi salah satu jalan untuk memelajari kebudayaan. Membaca dan membicarakan sastra
berarti pula membaca dan membicarakan kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Sastra terbagi
atas sastra tulis dan sastra lisan (Teeuw, 2003:33). Secara esensial, perbedaan antar keduanya
terletak pada media pengucapan yang sekaligus menentukan proses transformasinya dalam
masyarakat. Sastra lisan adalah bentuk kesusastraan yang paling awal dipraktikkan dalam
165
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

peradaban manusia. Sastra lisan menggunakan tuturan atau bahasa verbal sebagai media
pengucapannya dengan demikian, komunikasi yang terjadiantara pencipta atau pelaku sastra
lisan dan khalayak penikmat merupakan komunikasi yang bersifat langsung.
Di Indonesia pada masa kini, kedua bentuk sastra tersebut masih hidup berdampingan
dalam keterpaduan satu sama lain. Salah satu sumber informasi kebudayaan daerah yang sangat
penting adalah sastra lisan yang masih mengakar di masyarakat. Sastra lisan tersebut merupakan
arsip kebudayaan yang menyimpan berbagai data dan informasi kebudayaan daerah, karena di
dalamnya terdapat berbagai ilmu pengetahuan, ajaran-ajaran, adat istiadat yang banyak
mengandung nilai-nilai luhur masyarakat pendukungnya.
Sastra lisan dalam tataran kebudayaan di Maluku dapat diidentifikasi melalui
keberlangsungannya dalam ritual adat yang dilaksanakan oleh negeri-negeri adat seperti; panas
pela, dan panas gandong, pamoi, cuci negeri dan sebagainya. Hampir semua jenis tradisi lisan
selalu terintegrasi dalam ritual adat orang Maluku: nyanyian rakyat, ungkapan tradisional, puisi
rakyat dan bahasa rakyat (Latupapua, dkk 2012 : 3-4).
Salah satu jenis sastra lisan yang menarik untuk dibicarakan adalah Nkabyeu atau nyanyian
rakyat Maluku Tenggara Barat.Nkabyeu merupakan aset kebudayaan yang harus dipelihara,
dilestarikan dan dikembangkan.Usaha pembinaan dan pengembangan kebudayaan daerah tidak
dapat dilepaskan dari upaya penggalian sumber-sumber kebudayaan daerah. Dalam rangka
memberikan corak dan karakteristik kepribadian daerah sebagai gambaran yang berlangsung dan
terseleksi secara turun-temurun mesti dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menjalankan
otonomisasi daerah.
Nkabyeu merupakan jenis nyanyian rakyat yang bercerita tentang sejarah, adat dan pujian kepada
Tuhan, Leluhur dan Orang tua. Nyanyian rakyat (folksong) adalah salah satu genre atau bentuk
folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu-lagu yang beredar secara lisan diantara anggota
kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian (Danandjaja, 2002 :
141).
Nkabyeu sebagai bentuk sastra lisan di Maluku Tenggara Barat dinyanyikan dengan melodi
atau nada tertentu dengan atau tanpa iringan alat musik.
Pada umumnya, Nkabyeu merupakann nyanyian naratif. Sifat naratif itu ditunjukkan oleh
adanya aspek penceritaan atau penuturan tentang suatu peristiwa yang berkaitan langsung
dengan individu atau kolektif pemilik kebudayaan itu.
Sastra lisan adalah warisan leluhur yang mengandung nilai-nilai sosial, budaya, falsafah,
religius, etnis moral, tata krama di sepanjang kehidupan kita.Sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern, berdampak pula pada bergesernya tata nilai dan struktur
budaya dalam masyarakat. Hal ini perlu disadari oleh warga negara bahwa sastra lisan yang
tersebar di berbagai daerah semakin terdesak oleh perkembangan zaman. Akibatnya sastra lisan
yang merupakan warisan leluhur terabaikan begitu saja. Di samping itu, penyebarannya bersifat
lisan tanpa dokumen tertulis dan penutur setia semakin berkurang menjadikan Nkabyeu terancam
punah. Apabila ancaman tersebut tidak segera diatasi maka Nkabyeu lambat laun akan punah
sama sekali.
Nkabyeu sering digunakan dalam kehidupan masyarakat Maluku Tenggara Barat
terkhususnya desa Tutukembong yang banyak mengandung nilai kebudayaan, norma-norma
sosial dan nilai moral yang berguna untuk memperkokoh nilai-nilai dan norma yang berlaku
dalam masyarakat yang banyak digunakan oleh orang tua dalam mendidik anak, mengungkapkan
166
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

peristiwa atau sejarah tertentu dan juga digunakan oleh masyarakat untuk menyatakan puja-puji
kepada Tuhan dan lain sebagainya. Keberadaan Nkabyeu tidak jauh keberadaannya dengan sastra
lisan lain yang terancam punah. Masyarakat Tutukembong khususnya generasi muda yang
merupakan generasi penerus tidak lagi menguasai dan memahami Nkabyeu. Hal ini disebabkan
berbagai faktor kemajuan zaman yang serba canggih dan lebih memiliki ketertarikan kepada
lagu-lagu modern yang saat ini berkembang sehingga Nkabyeu dianggap kuno. Penguasaan
Nkabyeu dalam kelompok masyarakat pemilik penerus tidak lagi mengetahuinya hanya terbatas
pada golongan tua, yakni orang tua berusia diatas 40 tahun. Golongan ini biasanya menduduki
posisi terpenting dalam ritual adat, sebagai pemimpin adat.
Hal lain yang juga terkait dengan itu adalah semakin berkurangnya jumlah penutur bahasa-
bahasa daerah di berbagai wilayah Maluku Tenggara Barat yang berbanding lurus dengan
eksistensi Nkabyeu tersebut. Padahal, penguasaan bahasa lokal menjadi prasyarat utama untuk
menghidupkan kembali Nkabyeu. Dengan demikian, faktor tidak menguasai bahasa daerah dapat
dianggap sebagai sebuah kendala utama generasi muda untuk menjadi agen dalam pewarisan
sastra lisan Nkabyeu.
Kendala dalam proses pewarisan Nkabyeu turut ditentukan oleh perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi global yang menyita hampir seluruh perhatian, ruang dan waktu
masyarakat yang juga telah berkembang ke arah modernitas sehingga kepedulian terhadap
tradisi, termasuk sastra (lisan) tidak lagi menjadi hal yang dipandang penting dan esensial untuk
ditumbuhkembangkan. Hal itu secara sporadis membentuk suatu kecenderungan hilangnya akar-
akar budaya yang mengandung nilai-nilai positif sebagai akibat dari krisis identitas diri dan rasa
memiliki (sense of belonging) padahal, kesadaran akan hakikat tradisi lisan sebagai kekayaan
budaya yang mengokohkan hubungan budaya suatu kelompok masyarakat dan menumbuhkan
kepedulian dan tindak penyelamatan terhadap daya hidup yang mulai surut. Fokus utama dari
hal-hal tersebut adalah mempertahankan kehidupan sastra lisan dari kepunahan akibat dinamika
sosial budaya masyarakat modern.
Dalam kaitan dengan itu, Nkabyeu sebagai sastra lisan di negeri Tutukembong, Kecamatan
Nirunmas, Kabupaten Maluku Tenggara Barat saat ini turut berada dalam suatu dialektika antara
kepunahan dan upaya pewarisan dalam masyarakat pemiliknya. Oleh karenanya, langkah-
langkah untuk memulai proses pewarisan dapat segera dilakukan untuk mencegah kepunahan
sastra lisan tersebut. Kepunahan sastra lisan tersebut secara langsung berarti pula kepunahan
warisan nilai-nilai budaya di Maluku Tenggara Barat khususnya desa Tutukembong. Upaya
pewarisan adalah sebuah prosedur kerja yang terstruktur, dimulai dari proses penciptaan atau
perancangan Nkabyeu yang sebelumnya belum ada dan dokumentasi, kemudian mengarah
kepada pengembalian seperti semula dan lain-lain.
Nkabyeu terbagi atas beberapa jenis dan akan dijadikan sebagai bahan kajian dalam
penelitian ini dan seluruhnya dapat dinyanyikan di antaranya; Nkabyeu yang mengisahkan
tentang sejarah (ngri), Nkabyeuadat (adith), Nkabyeu yang bersifat puja-puji baik kepada Tuhan,
tanah leluhur, dan orang tua.
Peneliti sebagai generasi muda dan merupakan anak daerah pewaris budaya yang merasa
bertanggung jawab untuk melestarikannya disamping itu mengingat sampai saat ini Nkabyeu
masih digunakan oleh masyarakat pendukungnya, sehingga penelitian ini dianggap penting untuk
dilaksanakan.

167
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Pembahasan
2.1 Folklor Lisan dan Tradisi Lisan
Istilah folklor adalah pengindonesiaan kata bahasa Inggris folklore.Kata tersebut
merupakan gabungan dari folk, yang artinya sama dengan kata kolektif (collectivity) artinya,
Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan,
sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Sedangkan lore adalah tradisi dari
folk itu, yaitu sebagian kebudayaannya yang diwariskan turun-temurun secara lisan atau melalui
suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic device)
(Danandjaja, 2002:2). Folklor biasanya mempunyai bentuk yang berpola sebagaimana dalam
cerita rakyat atau permainan rakyat pada umumnya.
Folklor pada umumnya mempunyai kegunaan atau fungsi dalam kehidupan bersama suatu
kolektif misalnya cerita rakyat sebagai alat pendidik, hiburan, protes sosial dan proyeksi suatu
keinginan yang terpendam.Sebagai bentuk kebudayaan milik bersama (kolektif), folklor bersifat
pralogis yaitu memiliki logika umum. Folklor mengungkapkan secara sadar atau tidak sadar
bagaimana suatu kolektif masyarakat berpikir, bertindak, berperilaku dan memanifestasikan
berbagai sikap mental, pola pikir, tata nilai dan mengabdikan hal-hal yang dirasa penting oleh
folk kolektif pendukungnya. Misalnya bagaimana norma-norma hidup dan perilaku serta
manifestasi pola pikir dan batiniah masyarakat melalui pepatah, pantun dan peribahasa.
Demikian juga bagaimana norma-norma hidup dan perilaku serta manifestasi pola pikir dan
batiniah masyarakat Jawa melalui permainan rakyat (dolanan, tembang), bahasa rakyat (parikan,
tembung, senja, sengkalan, dsb), puisi rakyat, ragam seni pertunjukan, lelucon bahkan
manifestasi dalam fisik kebudayaan seperti batik, wayang, tarian, dan sebagainya.
Lebih lanjut, Bascom (dalam Dananjaja, 2002 : 19) mengemukakan bahwa ada empat fungsi
utama folklor, yaitu : (a) sebagai sebuah sistem proyeksi, yakni alat pencermin angan-angan
suatu kolektif, (b) sebagai alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan, (c) sebagai alat
pendidikan anak dan (d) sebagai alat pengawas atau kontrol agar norma-norma masyarakat
dipatuhi oleh anggota kolektifnya.
Secara umum teori folklor berkaitan dengan tujuh unsur kebudayaan universal yaitu ekonomi
(sistem pencaharian hidup), teknologi (sistem peralatan dan perlengkapan hidup), sistem
kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan religi.Berdasarkan tujuh unsur
kebudayaan universal tersebut maka folklor dapat digolongkan menjadi tiga kelompok besar
yaitu folklor lisan, folklor sebagian lisan dan folklor bukan lisan. Folklor lisan adalah folklor
yang bentuknya murni lisan, meliputi bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan
tradisional, puisi rakyat, prosa rakyat, dan nyanyian rakyat. Dalam kaitan dengan konsep
tersebut, Nkabyeu dapat dikelompokkan dalam kategori folklor lisan atau folklor murni lisan.
Folklor sebagian lisan merupakan campuran dari unsur lisan dan unsur bukan lisan.Bentuk-
bentuk yang termasuk dalam folklor sebagian lisan misalnya; kepercayaan rakyat, permainan
rakyat, teater rakyat, tarian rakyat, adat istiadat, upacara pesta rakyat, dan lain-lain.
Sementara itu, folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara
pembuatannya diajarkan secara lisan. Bentuk-bentuk yang termasuk dalam folklor bukan lisan
meliputi material, berupa arsitektur, kerajinan tangan, pakaian dan perhiasan, makanan dan
minuman, obat-obatan tradisional dan lain-lain juga meliputi bukan materialantara lain berupa
gerak isyarat tradisional (Danandjaja, 2002 :21-22).

168
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Sementara itu, tradisi lisan menurut Pudentia (2008:3) diartikan sebagai ―segala wacana
yang diucapkan meliputi yang lisan dan yang beraksara‖ atau dapat dikatakan juga sebagai
―sistem wacana yang bukan aksara‖. Dari konsep dan pengertian tradisi lisan itu, dapat ditarik
kesimpulan bahwa tradisi lisan merupakan semua wacana lisan, termasuk teks tulisan yang
dilisankan atau dibacakan/dipentaskan. Dengan kata lain, tradisi lisan dan sistem bahasa lisan
tidak dapat diabaikan peranannya dalam tradisi tulisan tersebut. Meskipun teks tertulis secara
substansial tidak termasuk dalam tradisi lisan, akan tetapi telah memasuki ranah pertunjukkan
atau pelisanan, ia dapat digolongkan sebagai tradisi lisan.
Lebih lanjut, Pudentia menjelaskan bahwa bagi komunitas tradisi lisan, substansi tertinggi
yang diharapkannya adalah tradisi tersebut hadir nyata di hadapannya; dapat dilihat,
didengarkan, dirasakan, dinikmati dan lain sebagainya yang melibatkan dirinya, baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam ruang dan waktu yang sama dengan penutur atau
pemainnya. Tak ada batas, tak ada jeda, tak ada perbedaan antara waktu penciptaan dan waktu
penikmatan atau saat ketika peneliti atau audience menyaksikan atau terlibat dalam pementasan
atau penghadiran tradisi lisan bersangkutan. Tidak ada pemisah waktu, situasi, dan tempat antara
pengalaman estetika performer (s) atau penyaji tradisi lisan dengan audience (s) atau
penontonnya (Pudentia, 2008:378-379)
Ciri-ciri pengenal folklor telah banyak dikemukakan oleh para ahli seperti Brunvand dan
Carvalho-Neto, ciri-ciri pengenal yang dikemukakan mereka kemudian dirumuskan oleh
Danandjaja (2002 : 3-5 ) yaitu: (a) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara
lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang
disertai dengan gerak, isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi
berikutnya;
(b) Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk
standar. Disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua
generasi); (c) Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang bebeda. Hal ini
diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui
cetakan atau rekaman, folklor dengan mudah dapat mengalami perubahan. Walaupun demikian
perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap
bertahan; (d).Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi;
(e).Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola;(f). Folklor mempunyai kegunaan
(function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif.Cerita rakyat, misalnya mempunyai kegunaan
sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam;
(g). Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika
umum; (h)Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu
diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota
kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya; (i). Folklor pada umumnya bersifat polos dan
lugu sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila
mengingat bahwa banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur
manifestasinya.

2.2 Hakikat Nyanyian Rakyat


2.2.1.Pengertian Nyanyian Rakyat

169
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Menurut Jan Harold Brunvand, nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau bentuk folklor
yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan diantara anggota kolektif tertentu,
berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian. Nyanyian rakyat berbeda dari bentuk-
bentuk folklor lainnya, karena nyanyian rakyat berasal dari bermacam-macam sumber dan timbul
dalam berbagai macam media. Seringkali juga nyanyian rakyat ini kemudian dipinjam oleh
pengguah nyanyian profesional untuk diolah lebih lanjut menjadi nyanyian pop atau klasik
(seriosa). Walaupun demikian, identitas folklornya masih dapat kita kenali karena masih ada
varian folklornya yang berbeda dalam peredaran lisan (oral transmission) (Dananjaja, 2002 :
141).

2.2.2 Jenis-Jenis Nyanyian Rakyat


Menurut Jan Harold Brunvand, nyanyian rakyat digolongkan menjadi tiga bagian
(Danandjaja, 2002:146-152) yaitu:
1. Nyanyian rakyat yang berfungsi (functional song)
Nyanyian rakyat yang berfungsi adalah nyanyian yang memiliki peranan kata-kata dan
lagu yang sama penting. Dikatakan berfungsi karena baik lirik maupun lagunya cocok
dengan aktivitas khusus kehidupan manusia.
Jenis nyanyian rakyat ini, terbagi dalam beberapa kategori:
a. Nyanyian kelonan (lullaby), yaitu nyanyian yang mempunyai lagu dan irama yang
halus tenang, berulang-ulang, ditambah dengan kata-kata kasih sayang, sehingga
dapat membangkitkan rasa santai, sejahtera, dan rasa ‗kantuk‘ bagi anak yang
mendengarnya.
b. Nyanyian kerja (working song), yaitu nyanyian yang mempunyai irama dan kata-
kata yang bersifat menggugah semangat, sehingga dapat menimbulkan rasa gairah
untuk bekerja.
c. Nyanyian permainan (play song), yaitu nyanyian yang mempunyai irama gembira
disertai kata-kata lucu dan selalu dikaitkan dengan permainan bermain (play) dan
permainan bertanding (game).
2. Nyanyian rakyat yang bersifat liris (lyrical folksong)
Nyanyian rakyat yang bersifat liris, yaitu nyanyian rakyat yang teksnya bersifat liris;
merupakan pencetusan rasa haru pengarangnya yang anonim itu, tanpa menceritakan
kisah yang bersambung (conherent).

Jenis nyanyian rakyat ini dibagi menjadi beberapa kategori:


a. Nyanyian rakyat liris yang sesungguhnya (true folk lyric), yaitu nyanyian yang
lirik-liriknya mengungkapkan perasaan tanpa menceritakan suatu kisah yang
bersambung.
b. Nyanyian rakyat yang bukan sesungguhnya, yaitu nyanyian rakyat yang liriknya
menceritakan kisah yang bersambung (conherent) .
Nyanyian rakyat yang bukan sesungguhnya terbagi atas:
1. Nyanyian rakyat yang bersifat kerohanian dan keagamaan (spiritual and other
traditional religious songs), yakni nyanyian rakyat yang liriknya adalah
mengenai cerita-cerita yang ada dalam Kitab Injil, kitab suci lainnya, legenda-
legenda keagamaan, atau pelajaran-pelajaran keagamaan.
170
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

2. Nyanyian rakyat memberi nasihat untuk berbuat baik (homiletic songs).


3. Nyanyian rakyat mengenai pacaran dan pernikahan (folksongs of courtship and
marriage).
4. Nyanyian rakyat bagi bayi dan kanak-kanak (nursery and children songs).
5. Nyanyian rakyat bertimbun banyak (cumulative songs), yakni nyanyian yang
liriknya dapat bertimbun banyak, seperti halnya dengan dongeng bertimbun
banyak (cumulative tales).
6. Nyanyian jenaka (humorous songs), yaitu nyanyian yang isi liriknya lucu.
Nyanyian jenaka ini dibagi menjadi tiga kategori :
a. Nyanyian dialek, yaitu nyanyian jenaka yang kata-katanya menirukan cara orang
asing atau orang Indonesia dari daerah lain berbicara dalam bahasa Indonesia,
atau bahasa daerah lain yang lucu kedengarannya.
b. Nyanyian yang bukan-bukan, yaitu nyanyian jenaka yang isi liriknya tidak masuk
akal.
c. Nyanyian parodi, yaitu nyanyian jenaka yang bersifat mengajukan suatu nyanyian
yang liriknya bersifat serius, dengan maksud untuk mengejek.
7. Nyanyian daerah dan orang-orang yang mempunyai mata pencaharian tertentu
(regional and accupational folksong), yaitu nyanyian-nyanyian rakyat yang
beredar diantara para nelayan, penggembala sapi, tukang kayu, petani dan
sebagainya.
3. Nyanyian rakyat yang bersifat kisah (narrative folksong)
Nyanyian rakyat yang bersifat kisah, yaitu nyanyian yang menceritakan suatu
kisah tertentu. Nyanyian-nyanyian rakyat yang termasuk dalam kategori ini
adalah balada (ballads) dan epos (epic).

3.Nkabyeu : Tradisi lisan di desa Tutukembong Kecamatan Nirunmas, Kabupaten Maluku


Tenggara Barat
Menurut salah satu tokoh adat Bapak Hengki Luturmas Nkabyeu merupakan nyanyian
yang mengisahkan tentang nasehat, adat dan pujian baik kepada Tuhan, leluhur maupun orang
tua. Nkabyeu diciptakan dan ditampilkan secara tunggal atau dalam kelompok serta ada beberapa
Nkabyeu puja-puji kepada Tuhan ditampilkan dengan tarian Dobol. Sebagai kebudayaan
masyarakat lokal di kepulauan Yamdena umumnya dan khususnya di desa Tutukembong
kecamatan Nirunmas, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, teks Nkabyeu mempunyai strukutur
sebagaimana puisi pada umumnya. Struktur atau elemen puisi terdiri dari pilihan katadan
susunan kata, bunyi, imajidan bahasa kiasan.
Berdasarkan bentuknya Nkabyeu terdiri atas beberapa jenis Nkabyeu sejarah (ngri), Nkabyeu
Adat (adith), dan Nkabyeu Puja-puji (Tuhan, Leluhur dan Orang tua). Nkabyeu disampaikan
dalam lantunan lagu yang mempunyai kata-kata kias dan nantinya akan dimaknai oleh
pendengar. Nkabyeu disampaikan dengan penuh penghayatan dan secara tidak langsung akan
membuat haru siapa saja yang mendengarnya.Nkabyeu dinyanyikan dalam bahasa Yamdena
yang memunyai fungsi sebagai penyampaian isi hati seseorang.

171
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Nkabyeu dapat dinyanyikan dengan atau tanpa musik pengiring seperti gitar, tifa atau sejenisnya.
Nyanyian ini biasanya dinyanyikan oleh beberapa pria dan wanita yang benar-benar fasih dalam
melantunkannya. Disebut fasih karena tidak semua dapat melantunkan nyanyian ini. Nkabyeu
merupakan warisan sejak dahulu, syairnya sudah tercipta sejak dulu dan diciptakan mendadak
saat suatu peristiwa terjadi.
Lord (dalam Latupapua, 2008:2) menjelaskan bahwa penampil, atau penyair sastra lisan
tidak menghafalkan teks puisinya secara tertulis atau melalui naskah. Umumnya para penyair
tradisional bercerita dengan menciptakan kembali secara spontan dan bebas, meskipun tidak
seluruhnya dengan memakai sejumlah unsur bahasa (kata, kata majemuk, frasa) yang tersedia
baginya disebut oleh Lord dengan istilah stock-in-trade, yakni kalimat-kalimat atau frasa siap
pakai. Unsur-unsur yang dipakai memperlihatkan bentuk yang identik atau variasi sesuai dengan
tuntutan tata bahasa, matra dan irama puisi yang dipakai.Oleh karenanya, dalam setiap
artikulasinya tidak ada bentuk penciptaan seratus persen, tetapi pencerita menggunakan sejumlah
formula siap pakai dengan berbagai kemungkinan variasi menurut tata bahasa, dengan
konsekuensi perubahan atau variasi itu terdistribusi dalam bentuk-bentuk berbeda setiap
penampilan atau pertunjukkan itu dipertunjukkan kembali. Disamping itu formula juga memiliki
sifat umum yang dikenal dengan baik oleh semua pencerita dari mengenal dan menguasai
formula itu.

Tradisi Lisan Nkabyeu


a. Nkabyeu Sejarah (ngri)
Bahasa Yamdena Bahasa Indonesia
Arkilo ko o ning bnue sori Arkilo adalah kampung halamanku
Konim ngafele nsor sar yamdrene Keindahanmu termasyur dimana-mana
Ngaram Arkilo yak to kumlufe Nama Arkilo takkan kulupa
Bolo ka kumin nus walyete Biar berada di tanah orang
O Arkilo ko mweluk lilitan Nama Arkilo sebagai kenangan
O mamswaluk ngaram luryain Sejak dulu namamu di hatiku
O o o Arkilo O o o Arkilo
O o o Arkilo O o o Arkilo
yak to kumlufe nim ngafele Takkan ku lupa keindahanmu

b. Nkabyeu Adat (Adith)


Bahasa Yamdena Bahasa Indonesia
Kanak Nirunmasar o o o nir mbamban Para Leluhur Nirunmas punya
ye melawas ndre ndre ndre ndre la perjanjian adat ditinggalkan kepada
Nir andaun lan ngri masar generasi
Yadith ura ndrue Gigi gajah, lorang dan emas menjadi
ikatan adat.
Kanak Nirunmasar o o o nir mbamban
ye melawas ndre ndre ndre ndre la Para Leluhur Nirunmas punya
Nir andaun lan ngri masar perjanjian adat ditinggalkan kepada
Yadith ura ndrue generasi
172
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Myama tak Ratu ma nkamis kit nin Gigi gajah, lorang dan emas menjadi
kateman ikatan adat.
Anasar Yamdrene dalim ndre ndre Mintalah Tuhan mengasihani kami
ndre ndre la untuk melestarikannya.

c. Nkabyeu Puja-puji kepada Tuhan


Bahasa Yamdena Bahasa Indonesia
1 1
Ratu ni ngamone silai kesotlike Kebaikan Tuhan untuk kita semua
berkit monuk ninkateman tyaur Mari saudara-saudara kita berkumpul
bungaro bersama untuk memuji Tuhan
O kesning kesar O kamayelo
*Myama tdangin Ratu ningamone ye *Mari kita bersuka karena kebaikan
Batdar bat arkilwar nin kateman Tuhan
Nin kateman olele semua perempuan di kampung Arkilo
2
Tdangin Ratu ni ngamone kesotlike
2
anasar yamdrene dalim tyaur bungaro Puji Tuhan karena kebaikan-Nya di
o kesning kesar o kamayelo dalam dunia ini
3
Myama dalmindrar fenlese kesotlike Mari saudara-saudara kita berkumpul
tatafibar Ratu ngaran tyaur bungaro bersama untuk memuji Tuhan
3
o kesning kesar o kamayelo Mari kita menyatu hati untuk
4
Ntabu nof ini luryain kesotlike mengabarkan nama Tuhan
Tila terik snyapit ain tyaur bungaro Mari saudara-saudara kita berkumpul
O kesning kesar o kamayelo bersama untuk memuji Tuhan
4
Sejak dulu, kini dan selama-lamanya
hingga Tuhan kembali
Mari saudara-saudara kita berkumpul
bersama untuk memuji Tuhan.

d. Nkabyeu puja-puji kepada Leluhur


Bahasa Yamdena Bahasa Indonesia

Frai silai ongir medase Para leluhur dan tua-tua adat


Molan bungar ma to nablai Bagaikan pagar untuk melindungi
taman bunga
Nin silayar nin makenar
Sehingga tidak pernah layu
Molan bungar ma to nablai

e. Nkabyeu Puja-puji kepada orang tua


Bahasa Yamdena Bahasa Indonesia

173
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Lele lele yo yaku lele kondre la Pengharapanku hanya kepadamu mama


Lele lele yo yaku lele kondre se Pengharapanku hanya kepadamu papa
Ma kulele enang amang kondre se Pengharapanku hanya kepadamu
Ma kulele enang amang kondre la Segalanya ku serahkan padamu

2.3 Fungsi Nyanyian Rakyat


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengemukakan fungsi adalah kegunaan suatu
hal, daya guna, jabatan (pekerjaan) yang dilakukan, kerja suatu bagian tubuh (KBBI,2007:322).
Menurut Bruvand (dalam Danandjaja 2002 : 152-153) nyanyian rakyat memiliki fungsi :
a. Sarana rekreatif, yaitu untuk merenggut kita dari kebosanan hidup sehari- hari walaupun
untuk sementara waktu, atau menghibur diri dari kesukaran hidup, sehingga dapat pula
semacam pelipur lara, atau untuk melepaskan diri dari segala ketegangan perasaan,
sehingga dapat memperoleh kedamaian jiwa.
b. Pembangkit semangat.
c. Protes sosial, yaitu proses mengenai ketidakadilan dalam masyarakat atau negara bahkan
dunia.
d. Pemelihara sejarah setempat.

2.4 Revitalisasi dan Pelestarian Nkabyeu


Pelestarian berarti tetap seperti keadaan semula, tidak berubah, bertahan kekal atau
pelestarian dapat juga berarti: (1) proses, cara, perbuatan melestarikan; (2) perlindungan dari
kemusnahan dan kerusakan, pengawetan, konservasi; (3) pengelolaan sumber daya alam yang
menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan menjamin kesinambungan persediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Pelestarian
tradisi lisan Nkabyeu merupakan salah satu kerja perlindungan dari kemusnahan dan kerusakan
atau bahkan hilangnya suatu tradisi dari komunitas penuturnya. Dengan kata lain, tradisi ini
masih berfungsi sebagai warisan nenek moyang dan kearifan lokal daerah setempat maka upaya
yang paling tepat adalah revitalisasi, jika tradisi itu tidak terus dikembangkan dikhawatirkan
hilang atau tidak dikenali lagi oleh generasi muda pada masyarakat adat, khususnya remaja
dengan dasar keyakinan bahwa setelah dilakukan upaya revitalisasi tradisi itu dapat tumbuh terus
menerus dan dikembangkan, bila tradisi lisan tersebut masih digunakan oleh komunitas adatnya
maka tindakan yang perlu dilakukan hanyalah dilakukan upaya pemberdayaan dan penguatan
eksistensi tradisi lisan tersebut agar tetap terpelihara kelestariannya.
Tradisi lisan tersebut, perlu dilestarikan dan dihadirkan kembali agar tradisi ini masuk kembali
ke masa kini (transformasi) dengan membawa nilai-nilai tradisi. Kemudian, pelestarian tersebut
diapresiasi dengan tetap mempertahankan keasliannya oleh masyarakat adat, untuk tetap
menjaga nilai-nilai lokal yang dapat menunjukkan kekhasan etnik yang unik dan penting tetap
terjaga. Bila perlu tradisi ini dijadikan contoh untuk dihadirkan kembali di luar komunitas etnik
tersebut, sehingga ketika kebudayaan dan tradisi lokal daerah lain memiliki nilai dan daya saing
yang tinggi sebagai kekayaan budaya nusantara, mengapa tradisi lisan di Maluku terkhususnya
desa Tutukembong Maluku Tenggara barat tidak ? Upaya revitalisasi tradisi lisan Nkabyeu,
174
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

dengan harapan agar masa yang akan datang tradisi lisan ini tetap terjaga, walaupun mengalami
perubahan sesuai dengan perubahan dan kebutuhan komunitas adat dengan mempertimbangkan
efektifitas dan kemanfaatan dari tradisi lisan tersebut. Upaya yang dapat dilakukan adalah
pemeliharaan dan penguatan untuk memperkenalkan atau menghidupkan tradisi lisan, ada
beberapa upaya revitalisasi yang telah dikemukakan agar remaja lebih dekat dengan budaya
kultur yang mencerminkan bahwa remaja sebagai pewaris budaya merasa dekat dengan kultur
tersebut. Model revitalisasi, merupakan upaya untuk memudahkan pelaksanaan langkah-
langkah konkret dalam menjawab seluruh persoalan tradisi lisan pada Nkabyeu, yang semakin
jauh dari remaja sebagai pewaris tradisi adat ke generasi berikutnya. Sehingga kekhawatiran
tokoh adat, lembaga adat, pelaku adat, pemerintah, dan peneliti/ penulis dapat melaksanakan
tugas dan fungsinya masing-masing, Hal yang dilakukan oleh Pemerintahan Desa adalah
membuka diri sebagai tempat belajar bagi generasi muda, dibuat dokumen dalam bentuk buku
untuk semua jenis tradisi lisan, menumbuh kembangkan rasa cinta budaya dan negeri lewat
sehari berbahasa daerah (Yamdena) mengingat Nkabyeu dapat dipahami melalui media bahasa,
membuka sanggar untuk generasi muda berlatih, di lingkungan formal diajarkan Nyanyian
dalam bahasa daerah pada mata pelajaran Muatan Lokal.

Simpulan
Berdasarkan pemaparan yang telah dikemukakan maka diperoleh beberapa simpulan sebagai
temuan penelitian ini.
Pertama, Nkabyeu adalah sastra lisan berupa nyanyian rakyat yang masih hidup dan
digunakan dalam berbagai ritual adat maupun aktivitas sosial budaya lainnya dalam masyarakat
di desa Tutukembong, Kecamatan Nirunmas, Kabupaten Maluku Tenggara Barat.Nkabyeu
dituturkan dalam bahasa-bahasa Lokal (bahasa Yamdena). Jenis-jenis Nkabyeu yang ada di desa
Tutukembong, Kecamatan Nirunmas, Kabupaten Maluku Tenggara Barat meliputi Nkabyeu
Sejarah (ngri), Nkabyeu Adat (Adith), Nkabyeu Puja-puji (Kepada Tuhan, Leluhur dan Orang
Tua).
Kedua, dalam melantunkan Nkabyeu pencerita atau penyanyi menggunakan tifa. Ada pula
beberapa yang hanya dilantunkan tanpa menggunakan musik.
Ketiga, dalam melantunkan Nkabyeu juga digunakan beberapa tarian daerah diantaranya:
tarian Dobol, Tsabak dan Cakalele. Isi dari keseluruhan Nkabyeu juga terdapat pengulangan-
pengulangan kata, frase dan kategori fatik yang memiliki fungsi masing-masing juga memiliki
peranan yang sangat penting dalam penyampaian maksud dan tujuan dari Nkabyeu bagi
pendengarnya.
Berdasarkan semuanya itu, maka ditemukan 2 fungsi utama yaitu fungsi intrateks dan fungsi
ekstrateks.Fungsi intrateks yaitu fungsi yang terkandung dalam teks Nkabyeu dan fungsi
ekstrateks yaitu fungsi yang secara tidak langsung berguna juga bagi para pendengarnya.

Daftar Rujukan
Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia: Ilmu gossip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2007. Edisi Ketiga. Departemen Pendidikan Nasional.Jakarta :
Balai Pustaka.

175
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Latupapua, Falantino Eryk dkk.2012.Kapata, Sastra Lisan di Maluku Tengah.Balai Pengkajian


Nilai Budaya Provinsi Maluku dan Maluku Utara, Ambon.
Teeuw, A. 2003.Sastra dan Ilmu Sastera: (cet. ke-3). Jakarta: Pustaka Jaya.

Lampiran
Nyanyian Sejarah Hengki Luturmas, 58 Lelaki
Nkabyeu Ngri Tokoh adat, Petani
Tutukembong, Maluku Tenggara Barat

Arkilo ko o ning bnue sori


Konim ngafele nsor sar yamdrene
Ngaram Arkilo yak to kumlufe
Bolo ka kumin nus walyete
O Arkilo ko mweluk lilitan
O mamswaluk ngaram luryain
O o o Arkilo
O o o Arkilo
yak to kumlufe nim ngafele

Nyanyian ini sering didengarkan sejak masih kecil. Nyanyian ini berarti Arkilo adalah
kampung halamanku Keindahanmu termasyur dimana-mana nama Arkilo takkan dilupakan biar
berada di tanah orang. Nama Arkilo sebagai kenangan sejak dulu, nama Arkilo Takkan dilupakan
keindahannya. Nyanyian ini merupakan sejarah bagi kampung Arkilo dan anak cucunya. Dalam
nyanyian ini terdapat pengulangan kata, frasa, maupun kategori fatik, yaitu diantaranya :
Pengulangan fatik [o] yang telah menjadi kebiasaan dalam dialek. Pengulangan fatik [o] pada
Nkabyeu ini difungsikan untuk memberikan varian dan keunikan tersendiri sehingga terdengar
indah. Berdasarkan isi teks dari Nkabyeu ini yang lebih dominan bercerita tentang Arkilo, maka
dapat disimpulkan bahwa Nkabyeu dapat berfungsi sebagai pemelihara kampung Arkilo dengan
media pencerita, lewat nyanyian-nyanyian yang ada bagi generasi penerus untuk tetap mengingat
dan memelihara sejarah kampung Arkilo.

Amatien Jean Neini Luturmas, 23 Maluku Tenggara Barat,


Perempuan
Jl. Ketintang No 30.
Surabaya, Jawa Timur

Nyanyian Adat Hengki Luturmas, 58 Lelaki


Nkabyeu Adith Tokoh adat, Petani
Tutukembong, Maluku Tenggara Barat
176
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Kanak Nirunmasar o o o
nir mbamban ye melawas ndre ndre ndre ndre la
Nir andaun lan ngri masar
Yadith ura ndrue
Kanak Nirunmasar o o o
nir mbamban ye melawas ndre ndre ndre ndre la
Nir andaun lan ngri masar
Yadith ura ndrue
Myama tak Ratu ma nkamis kit nin kateman
Anasar Yamdrene dalim ndre ndre ndre ndre la

Nyanyian ini sering didengarkan dan diiringi dengan pukulan tifa dalam daerah setempat
dikenal dengan tarian dobol. Nyanyian ini berarti para Leluhur Nirunmas punya perjanjian adat
yang ditinggalkan kepada generasi berupa gigi gajah, lorang dan emas menjadi ikatan adat. Para
Leluhur Nirunmas punya perjanjian adat ditinggalkan kepada generasi Gigi gajah, lorang dan
emas menjadi ikatan adat. Mintalah Tuhan mengasihani kami untuk melestarikannya. Ekspresi
formulaik yang terdapat dalam nyanyian ini berupa pengulangan kata, frasa, maupun kategori
fatik, yaitu diantaranya : Pengulangan kata dan frase pada beberapa baris menjadi kata pertama
pada baris berikutnya. Pengulangan fatik [o] yang telah menjadi kebiasaan dalam dialek.
Pengulangan fatik [o] pada Nkabyeu ini difungsikan untuk memberikan varian dan keunikan
tersendiri sehingga terdengar indah.
Nkabyeu ini menceritakan perjanjian para leluhur yang mempunyai perjanjian kepada
generasi. Pesan yang disampaikan dalam Nkabyeu ini agar ikatan adat terus dilestarikan. Sebagai
alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi oleh angota
kolektifnya Nkabyeu ini juga berfungsi dalam masyarakatnya untuk selalu membudayakan
Timlornar (musyawarah adat) sebagai pengatur norma dalam masyarakat.

Amatien Jean Neini Luturmas, 23 Maluku Tenggara Barat,


Perempuan
Jl. Ketintang No 30.
Surabaya, Jawa Timur

Nyanyian Puja-puji Kepada Tuhan Hengki Luturmas, 58 Lelaki


Nkabyeu ber Ratu Tokoh adat, Petani
Tutukembong, Maluku Tenggara Barat
1
Ratu ni ngamone silai kesotlike
berkit monuk ninkateman tyaur bungaro
O kesning kesar O kamayelo
*Myama tdangin Ratu ningamone ye
Batdar bat arkilwar nin kateman
177
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Nin kateman olele


2
Tdangin Ratu ni ngamone kesotlike
anasar yamdrene dalim tyaur bungaro
o kesning kesar o kamayelo
3
Myama dalmindrar fenlese kesotlike
tatafibar Ratu ngaran tyaur bungaro
o kesning kesar o kamayelo
4
Ntabu nof ini luryain kesotlike
Tila terik snyapit ain tyaur bungaro
O kesning kesar o kamayelo

Nyanyian ini sering didengarkan dan diiringi dengan pukulan tifa dalam daerah setempat
dikenal dengan tarian dobol. Nyanyian ini berarti Kebaikan Tuhan untuk kita semua Mari
saudara-saudara kita berkumpul bersama untuk memuji Tuhan Mari kita bersuka karena
kebaikan Tuhan semua perempuan di kampung Arkilo Puji Tuhan karena kebaikan-Nya di dalam
dunia ini. Mari saudara-saudara kita berkumpul bersama untuk memuji Tuhan Mari kita menyatu
hati untuk mengabarkan nama Tuhan Mari saudara-saudara kita berkumpul bersama untuk
memuji Tuhan Sejak dulu, kini dan selama-lamanya hingga Tuhan kembali Mari saudara-saudara
kita berkumpul bersama untuk memuji Tuhan. Dalam Nkabyeu ini terdapat ekspresi formulaik
yang turut menunjang pola formula yang telah tercipta. Ekspresi formulaik yang terdapat di
dalamnya berupa pengulangan kata, frasa, maupun fatik[o] , yaitu diantaranya: Pengulangan kata
dan frase pada beberapa baris menjadi kata pertama pada baris berikutnya. Pengulangan fatik [o]
yang telah menjadi kebiasaan dalam dialek. Pengulangan fatik [o] pada Nkabyeu ini difungsikan
untuk memberikan varian dan keunikan tersendiri dengan sentuhan budaya setempat, sehingga
terdengar indah dan bernuansa kebudayaan. Kata dan frase yang diulang-ulang pada Nkabyeu
puja-puji kepada Tuhan berarti Tuhan sangat baik. Nkabyeu ini menceritakan kebaikan Tuhan.
pesan yang disampaikan dalam Nkabyeu ini agar kebaikan Tuhan dimasyurkan di dunia ini kini
dan selamanya.
Amatien Jean Neini Luturmas, 23 Maluku Tenggara Barat,
Perempuan
Jl. Ketintang No 30.
Surabaya, Jawa Timur

Nyanyian Puja-puji Kepada Leluhur Fredrik Batlajery, 58 Lelaki


Nkabyeu Tbeu Frai silai Tokoh adat, Petani
Tutukembong, Maluku Tenggara Barat

Frai silai ongir medase


Molan bungar ma to nablai
Nin silayar nin makenar
Molan bungar ma to nablai
178
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin
ISBN 978-602-60218-1-6

Nyanyian ini sering didengarkan dan diiringi dengan pukulan tifa. Nyanyian ini berarti
Para leluhur dan tua-tua adat bagaikan pagar untuk melindungi taman bunga sehingga tidak
pernah layu. Pengulangan kata dan frase pada beberapa baris menjadi kata pertama pada baris
berikutnya, Nkabyeu ini menceritakan kebanggaan kepada leluhur karena leluhur sebagai pagar
untuk melindungi bunga (anak-cucu/generasi penerus).

Amatien Jean Neini Luturmas, 23 Maluku Tenggara Barat,


Perempuan
Jl. Ketintang No 30.
Surabaya, Jawa Timur

Nyanyian Puja-puji Kepada Orang tua Daud Filimditty, 64 Lelaki


Nkabyeu Tbeu ber enang amang Tokoh adat, Petani
Tutukembong, Maluku Tenggara Barat

Lele lele yo yaku lele kondre la


Lele lele yo yaku lele kondre se
Ma kulele enang amang kondre se
Ma kulele enang amang kondre la
Nyanyian ini sering didengarkan dan diiringi dengan pukulan tifa. Nyanyian ini berarti
Pengharapanku hanya kepadamu mama pengharapanku hanya kepadamu papa Pengharapanku
hanya kepadamu, segalanya ku serahkan padamu. Sebagai alat pendidik anak-anak. Pada teks
Nkabyeu puja-puji kepada orang tua yang mengisahkan nasihat kepada anak-anak (generasi
muda) untuk berharap kepada orang tua juga yang telah merawat dan membesarkannya.

Amatien Jean Neini Luturmas, 23 Maluku Tenggara Barat,


Perempuan
Jl. Ketintang No 30.
Surabaya, Jawa Timur

179
SEMINAR NASIONAL KESUSASTRAAN
Kearifan Nusantara: Perspektif Interdisiplin, Multidisiplin, dan Transdisiplin

Anda mungkin juga menyukai