Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH FOKLOR

PADA KEBUDAYAAN DI SULAWESI TENGGARA

Tugas Indivindu

Disusun untuk memenuhi ujian tengah semester mata kuliah Folklor

Disusun oleh : Iman Akbar Sobari

NIM: G2H123006

Program Studi Magister Kajian Budaya

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Halu Oleo

2023
Bab 1

Pendahuluan

Folklor dikenal masyarakat umum sebagai cerita rakyat yang melekat dalam
kehidupan masyarakat di sebuah daerah dengan masing-masing karakteristik
berbeda. Di dalamnya terdapat nilai-nilai penting yang biasa dijadikan sebagai ajaran
atau pedoman masyarakat menjalani kehidupan. Dalam proses tumbuh dan
berkembangnya itu folklor melewati proses yang sangat panjang. Artinya folklor
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya di suatu tempat atau daerah.
Secara dinamis menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan masyarakatnya di
sebuah tempat atau daerah yang dihuninya. Tapi perlu digaris bawahi disini folklor
tidak seluruhnya bersifat baku atau tidak baku. Ada yang mengalami perubahan dan
ada juga yang tidak mengalami perubahan.

Itu menunjukan bahwa folklor merupakan salah satu hasil budaya yang memiliki
karakteristik tersendiri dibandingkan dengan lainnya produk budaya lainnya. Serta
terbentuk secara konsensius dan alamaiah dalam kehidupan masyarakat yang
menempati sebuah tempat atau wilayah. Dengan dasar kesamaan etnis, keyakianan,
sosial, politik, dan hukum pada sebuah tempat yang tumbuh dan berkembang
mengikuti zaman. Walaupun tidak dapat dipungkiri folklor dapat juga mengalami
pergeseran-pergesersan bentuk atau makna. Hal itu tergantung masyarakatnya
sendiri sebagai pelaku folklore.

Meski masyarakat tidak mengetahui teori-teori atau konsepsi keilmuan mengenai


folklor namun masyarakat sangat paham dalam melaksanakan atau mewujudkan
folklor di daerahnya masing-masing. Sebab masyarakat tersebut merupakan pelaku
folklornya. Istilah-istilah atau penyebutannya terkait bentuk-bentuk folklor tentu akan
berbeda dengan yang dijelasnkan dalam buku-atau jurnal-jurnal. Namun mereka
(masyarakat lokal) sangat paham esensi dan isi folklor yang ada di daerahnya
masing-masing.

Walau zaman terus melaju dengan berbagai ancaman budaya dari luar untuk
mempengaruhi eksistensinya. Namun folklor akan tetap memiliki tempatnya sendiri
dalam etnis atau suku di berbagai wilayah. Terutama bagi masyarakat yang memiliki
kesadaran dan kepedulian terhadap budayanya untuk dijaga dan dipertahankan.
Termasuk folklor yang ada pada masyarakat etinis di Sulawesi Tenggara. Sebab bagi
masyarakat, folklor di daerahnya bukan semata-mata sebagai identitas saja. Lebih
dari itu folklor menjadi pedoman yang memiliki nilai penting dalam strukur sosial,
budaya, maupun keyakinan .Jadi sulit untuk memisahkan folklor dengan kehidupan
masyarakat. Apalagi untuk menghapus atau menghilangkannya.

Mereka memiliki cara sendiri untuk terus merawat dan mempertahankan folklor di
daerahnya masing-masing. Meski segala tantangan di era modern akan terus
mengancam keberadaan folklor itu sendiri. Justru sebaliknya pada era modern ini
dengan segala kecanggihan teknologi, tidak sedikit masyarakat yang sudah mampu
untuk menyesuaikan dan memanfaatkannya untuk keberlangsungan folklor itu
sendiri. Yaitu dengan memanfaatkan teknologi gadget ntuk mendokumentasikannya
atau sebagai media untuk mengembangkan pengetahuan mengenai folklor.

Itu menunjukan bahwa folklor dapat pula menyesuaikan dengan kondisi atau
keadaan jaman. Fenoman itu menjadi sebuah keniscayaan bahawa folklor akan
terus ada dan hadir di tengah kehidupan masyarakat. Sebagai suatu nilai yang tidak
dapat diukur dengan nilai mata uang. Sebab nilai didalamnya mengandung
keluhuran pikiran dan budi pekerti. Nilai itu sebagai harga diri suatu masyarakat di
suatu tempat seperti di Sulawesi Tenggara.

Pemaparan di atas hanya sebatas gambaran pemahaman dari masyarakat yang


pemahamannya berdasarkan pada bahasa dan budaya sebagai masyarakat itu
sendiri. Bila disederhanakan lagi sebatas melihat dari kaca mata masyarakat awam
yang bukan ahli secara akademis (folklor). Karena realitanya dialami dan dipahami
masyarakat secara langsung merupakan manfaat-manfaat dari folklor itu sendiri.
Bukan teori-teori yang tebal dijabarkan para ahli di dalam maupun luar negeri. Perlu
digaris bawahi ini sekedar refleksi untuk melihat secara langsung potret folklor dari
sudut pandang pemahaman masyarakatnya yang hidup dan berdampingan dengan
segala tradisinya.

Sedangkan para akademisi atau para ahli yang ada dalam koridor keilmuan folklor
tentu akan memaparkannya dengan bahasa-bahasa formal atau bahasa-bahasa
akademisi. Hal ini penting juga sebagai bentuk ilmiah untuk dijadikan kajian-kajian
atau penelitian dalam ranah akademisi. Semuanya memiliki nilai untuk dijaga dan
terus dikembangan demi keberlangsung folklor.

Ada banyak ahli memberikan penjelasan, telaah, atau kajian terkait folklor yang dari
masa ke masa masih tetap dijadikan rujukan bagi dunia akademisi. Hal itu
menandakan folklor masih sesuai dengan kondisi zaman. Meskipun tidak dipungkiri
sudah mengalami pergeseran atau perubahan sesuai sifatnya budaya yang dinamis.
Dundes menjelaskan (dalam Danandjaja, 1986) folk adalah sekumpulan manusia
dengan ciri-ciri fisik, budaya serta sosial yang sama sehingga dapat kenali dari
kelompok yang lain. Ciri-ciri pengenalan fisik yang disebutkan dapat berupa bahasa,
mata pencaharian, warna kulit, bahasa atau logat, dan kepercayaan.

Sedangkan Jan Harold Brunvand (dalam buku Folklor Indonesia, 1986)


menjelaskan bahwa ada tiga kelompok besar filklor berdasarkan tipenya yaitu :

(1) Folklore lisan (verbal folklore)


Misal: bahasa rakyat, title kebangsawanan, julukan, pangkat tradisional, title
kebangsawanan, pribahasa, ungkapan tradisional, pepatah, dongeng, mite,
anekdot, legenda, pantun, syair
(2) Folklor sebagian lisan ( partly verbal folklore)
Misal : kepercayaan rakyat, permainan tradisional, teater rakyat,tari rakyat,adat
istiadat, upacara, pesta rakyat dan lain-lain
(3) Folklor bukan lisan (non verbal folklore)
Misal: gerak isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat,
dan musik rakyat. Atau masing-masing dengan istilah menifacts, sociofact , dan
artifact

Beberapa penjelasan di atas merupakan gambaran bahwa bentuk-bentuk folklor di


Indonesia masih banyak dijumpai atau disaksikan dalam kehidupan masyarakat di
suatu daerah. Salah satunya folklor yang ada di wilayah Sulawesi tenggara.
Tepatnya di beberapa wilayah tempat etnis atau suku aseli yang menempati wilayah
Sulawesi Tenggara.

Semuanya merupakan etnis atau suku aseli yang menempati wilayah Sulawesi
Tenggara. Suku-suku tersebut memiliki karakteristik tersendiri antara satu dan
lainnya sebagai suku aseli di Sulawesi Tenggara. Adapun kemiripan itu sebagai bukti
bahwa antara satu dan lainnya memiliki kedekatan georafis dan kedekatan secara
gentik. Jadi wajar bila ada kemiripan.

Adapun persoalannya yaitu terkait eksistensi dan dinamikanya terkait folklor yang
dewasa ini tentu sudah mengalami perubahan atau pergeseran. Bahkan tidak
menutup kemungkinan sulit ditemuikan. Perubahan atau pergesaran itu dapat
ditinjau dari penggunanya atau dari wujud dan bentuknya. Serta diperlukan kajian
atau pengamatan terhadap keberadaanya, peran, dan fungsinya. Maka dari
beberapa persoalan itu penulis berusaha untuk mengkaji dan menganalisis secara
garis besarnya peranan dan eksistensi folklor yang ada pada etnis-etnis atau suku-
suku tersebut.
Bab 2

Foklor di Sultra dan Ragam Bentuk

2.1 Tolaki

a. Sastra Lisan

Sastra lisan merupakan bagian dalam satu kerangka folklor lisan. Sebab
jenis-jenis sastra lisan seperti seperti cerita rakyat, dongeng, legend
ungkapan tradisional, mantra, puisi lama merupakan bagian dari folklore itu
sendiri. Dalam masyarakat suku Tolaki terdapat beberapa jenis sastra lisan.

Menurut Aris Badara, Sri Suryana Dinar ( Sastra Lisan Harta Karun Orang
Tolaki, 2020 : 18) Secara umum ragam sastra suku Tolaki terdiri atas dua
jenis, yaitu sastra yang berbentuk prosa dan ragam sastra yang berbentuk
puisi. Seni sastra yang berbentuk prosa (naratif), dalam masyarakat suku
Tolaki sebagai berikut.

(a) O nango (dongeng).


Orang Tolaki memaknainya sebagai suatu cerita yang menggambarkan
asal mula kejadian unsur alam dan menggambarkan sifat dan tingkah
laku binatang yang baik dan buruk. Sifat-sifat ini sering dicontohkan oleh
manusia, misalnya dongeng kolopua ronga o hada (kura-kura dan kera).

b) Tula-tula (kisah),
merupakan cerita yang menggambarkan liku-liku kehidupan tokoh
masyarakat, misalnya kisah Oheo dan Onggabo.

c) Kukua (silsilah),
merupakan cerita yang menggambarkan suatu kerajaa ata nama-nama
raja. Misalnya, cerita Langgai Saranani.

d) Pe’oliwi (pesan-pesan),
merupakan cerita yang berisi mengenai ajara moral nasihat, dan petuah
dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Misalnya, iamo iehe
mondoiehe ine suere ndoono (jangan suka berbuat semena-mena kepada
orang lain), iamo uteroraroramba (hendaknya jangan engkau merampas
milik orang lain), piarai raimu, pombeotooriamino ariamu (pelihara sikap
dan tindakanmu pertanda engkau berasal dari bangsa yang beradab).

Adapun seni sastra berbentuk puisi yang berkembang di


lingkungan sosial orang-orang Tolaki, meliputi tujuh bentuk :

a).Taenango (epos kepahlawanan), merupakan syair yang


didendangkan yang melukiskan kisah kepahlawanan. Misalnya,
kisah Tebaununggu (kisah peristiwa penyebaran agama Islam dari
Aceh ke Indonesia Timur) dan kisah I Sara (kisah perang total
di darat, di laut, dan di udara dalam usaha memberantas segala
kejahatan yang melanda orang-orang Tolaki).

b)Huhu merupakan syair yang didendangkan yang bersifat hiburan


untuk menidurkan anak. Misalnya, peturu ule-ulenggu, mbarai
masusa, lia masukaraa/ torondo masusa taehe sanaa/pehawaaku
ombu au pokomondotuikona/au poko ari-ario koona tihono ananggu
deela bulelenggu/ hulelenggu mohewu bara taakadu/ keeno laanggi
pokawasa tuara/ teora masagena hende ine walinggu/ keno ine
banggonanggu /aku sukuru rongga tarimakasi.

c) O anggo merupakan syair yang didendangkan yang menggambarkan


rasa kagum terhadap seorang pemimpin. O anggo terdiri atas
beberapa jenis, setiap jenisnya disesuaikan dengan suasana,
tempat, dan hanya boleh dinyanyikan pada waktu-waktu tertentu.
Jenis O anggo yang dikenal dalam masyarakat Tolaki meliputi;
anggo meteia (syair penjaga), anggo mosawa-sawa (syair menghibur),
anggo mondau (syair berladang), anggo mombeperiri (syair kasihan-
mengasihani), dan anggo ndula-tula (syair silsilah).

d) Kinoho atau lolama, merupakan pantun yang sering disampaikan


dalam berbagai kesempatan. Kinoho ini menggambarkan pujian,
cemoohan, dan sindiran yang ditujukan kepada seseorang lawan
jenis, baik di kalangan muda-mudi maupun di kalangan orang-
orang tua. Kinoho atau lolama terdiri atas empat jenis: kinoho
mbesadalo (kinoho anak muda), kinoho agama, kinoho sara (adat),
dan kinoho singgu (menyinggung atau menyindir).

e).O doa (mantra) merupakan ucapan yang diucapkan oleh


orang-orang Tolaki yang memiliki kemampuan magis. O doa
menggambarkan pujian, pujaan, harapan, dan permintaan
kepada makhluk halus, dewa-dewa, baik sebagai ungkapan rasa
syukur maupun tolak bala. O doa (mantra) terdiri atas beberapa
jenis: mantra mesosombakai, mantra o manu, mantra ni’isi, mantra
o pali, mantra nabi baka, dan mantra oloti.

f.Singguru (teka-teki) merupakan kalimat yang diucapkan dan


disampaikan dengan menguji kecerdasan seseorang dalam bentuk
pertanyaan tebakan. Singguru (teka-teki) sering pula diartikan
sebagai permainan kata-kata yang biasa disampaikan di pagi hari
atau sore hari pada saat panen padi berlangsung. Singguru (teka-
teki) dilakukan secara bersama-sama, saling membalas satu
dengan yang lainnya.

g)Bitara ndolea (perumpamaan) merupakan kata-kata yang


bersifat ungkapan dan sifatnya berpola. Biasanya disampaikan
dalam berbagai upacara yang sifatnya sakral. Bitara ndolea
(perumpamaan) biasanya mengandung makna tertentu dan
berisi mengenai falsafah sosial kemasyarakatan (Rusland, 2011;
Yasmud, 2011).

b. Ritual Mosehe

Pada masyarakat Tolaki, mosehe merupakan upacara adat yang


dilaksanakan dan bertujuan untuk menyucikan diri atau penolak bala. Mosehe
dapat dilakukan jika masyarakat biasanya banyak mengalami bencana atau
musibah yang menimpa. misalnya gagal panen, banjir, kekeringan, wabah
penyakit atau terjadi perselisihan yang besar. Kepercayaan seperti itulah
yang tertanam, mengakar, dan menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan
berperilaku masyarakatnya. Ritual mosehe biasanya menggunakan bahasa
tutur yang terikat. Bahasa tutur terikat dalam upacara adat mosehe ini berupa
ucapan-ucapan yang telah disepakati oleh orang-orang tua atau dukun.
Mantra-mantra itulah yang menjadikan mosehe sebagai sastra lisan orang
Tolaki yang lahir dari kebiasaan orang-orang tua suku Tolaki. Pembacaan
mantra pada ritual mosehe ini terdapat hampir di setiap tahap pelaksanaan
sehingga ritual adat ini kental dengan bahasa daerah Tolaki. Dalam bahasa
Tolaki atau Mekongga, mosehe berasal dari dua suku kata yaitu, mo berarti
‘melakukan sesuatu’ dan sehe berarti ‘suci’. Jadi, mosehe berarti melakukan
sesuatu untuk menyucikan atau membersihkan. Mosehe merupakan ritual
yang dianggap sacral oleh orang Tolaki. Melalui ritual tersebut, orang Tolaki
melalui mbusehe berupaya menjalin komunikasi, memohon agar SangBuku
ini tidak diperjualbelikan.

Pencipta melindungi mereka dari segala bala atau bencana, baik yang
berkaitan dengan persoalan sosial maupun yang berkaitan dengan
perkebunan/pertanian (Arifin, 2008). Adapun mosehe menurut Tarimana
(1989: 236) adalah upacara yang dilakukan oleh orang Tolaki untuk
menyucikan diri karena adanya pelanggaran adat. Selain itu, juga
dimaksudkan untuk memohon perlindungan dari Sang Pencipta. Sampai saat
ini, ritual mosehe masih tetap dilestarikan oleh orang Tolaki sebagai ritual
untuk penyucian diri atau untuk menghindari malapetaka atau musibah. Ritual
tersebut biasa dilakukan jika di tengah-tengah masyarakat banyak jika terjadi
bencana atau musibah yang menimpa..

c. Mantra

Mantra dapat didefinisikan sebagai puisi magis yang kadang-kadang


digunakan untuk mencapai tujuan. Kata ‘mantra’ berasal dari bahasa
Sanskerta yang berarti ‘jampi’ ‘pesona’, atau ‘doa’. Pada kajian folklor, istilah
tersebut dapat dipadankan dengan puisi lisan yang merupakan bagian dari
sastra lisan. Mantra memiliki survival yang cukup tinggi karena sampai saat
ini terjadi banyak perubahan tata nilai masyarakat dan perkembangan iptek,
mantra masih masih menunjukkan eksistensinya di tengah-tengah
masyarakat (Mastrawijaya, 1993: 16).
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ditemukan istilah ‘mantra’
dengan pengertian “susunan kata yang berunsur puisi (seperti rima dan
irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh
dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain”.
Mantra sebagai salah satu sastra lisan di Indonesia dengan berbagai
ragamnya tetap bertahan dipergunakan masyarakat sebagai aktivitas ritual
kemasyarakatan. Mantra bagi masyarakat Tolaki sampai saat ini diyakini
mengandung kekuatan magis. Mantra dianggap sakral dalam setiap upacara
atau ritual-ritual baik adat, budaya, dan keagamaan. Dalam tradisi mantra
orang Tolaki, pemantra melakukan ritual mantra sesuai dengan waktu dan
jenis mantranya. Terdapat kepercayaan bahwa berfungsi tidaknya mantra
tergantung pada waktu dan tempat karena setiap mantra memiliki kekhasan
dari segi bahasa. Sebuah mantra bila diucapakan pada sembarang tempat
bukan pada tujuannya maka akan menghilangkan kemagisannya.

d. Kalosara
Secara harfiah, kalo adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara
mengikat yang melingkar, dan pertemuan atau kegiatan Bersama dengan
pelaku membentuk lingkaran. Sebagai benda lingkaran, kalo dibuat dari
rotan, dan ada juga yang terbuat dari bahan lainnya, seperti emas, besi,
perak, benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan sebagainya
(Tarimana, 1993).
Kalosara terdiri atas 3 bagian, yaitu: (1) kalo, berupa lilitan tiga rotan yang
melingkar, (2) kain putih sebagai mengalas, dan (3) siwoleuwa, yaitu
anyaman dari daun palem berbentuk persegi empat (Misran Safar,
wawancara 17 Juni 2016). Ketiga wadah ini jika berdiri sendiri tidak memiliki
arti dan fungsi adat, kecuali ketiganya menyatu dalam suatu tatanan dengan
struktur sebagai wadah pengalas paling bawah berupa simoleuwa, kemudian
dilapisi di atasnya dengan kain putih, dan di atas kedua wadah ini diletakkan
kalo.

Berdasarkan bahan pembuatan dan pemanfatannya, maka kalo banyak


jenisnya, tetapi dalam tulisan ini hanya membahas kalosara yaitu kalo yang
digunakan sebagai alat upacara perkawinan adat, upacara pelantikan raja,
upacara penyambutan tamu penting, upacara perdamaian atas suatu
sengketa, alat bagi sejumlah tokoh untuk menyampaikan sesuatu
saran/pendapat kepada pejabat, alat untuk menyampaikan undangan pesta
keluarga. Kalosara ini dalam pemanfaatannya dilengkapi dengan wadah
anyaman dari tangkai daun pelem, dan kain putih sebagai alas.
2.2 Buton

a.Tradisi Posuo

Iffa Afia Amin Kitabi dalam “Ritual Pasuo Adat Kesultanan Buton Ditinjau Dari
Hukum Islam” (2015) Ritual posuo menurut istilah bahasa Indonesia disebut
pingitan yang dilaksanakan 4 sampai 8 hari dimana peserta pasuo diasingkan
dan dijauhkan dari keluarga dan masyarakat sekitar serta dunia luar dan
diajarkan tentang hal-hal yang berhubungan dengan kepribadian wanita dan
keterampilan rumah tangga dibawah panduan beberapa tokoh adat
perempuan yang disebut bhisa.

Posuo menurut bahasa berasal dari kata po dan suo, po merupakan sebuah
awalan yang mengandung makna sebagai pembentuk kata kerja yang
menyatakan berada dalam suatu keadaan atau singkatnya disebut “ber”,
sedangkan suo artinya ruang belakang.

Menurut adat, posuo adalah istilah untuk menunjukan suatu prosesi upacara
peralihan status individu (wanita); dari status gadis remaja (kabuabua) ke
status gadis dewasa (kalambe) Atau disebut juga aposuoakoe. Dalam
penelitiannya Engku menyatakan bahwa pengertian posuo adalah suatu
upacara adat istiadat tradisional yang dilaksanakan oleh orang tua kepada
anak gadisnya yang sudah memesuki alam dewasa untuk mendapatkan
gemblengan fisik dan mentalnya, sehingga matang dalam kehidupan
berumah tangga.

Selain itu, Alifudin menjelaskan bahwa posuo adalah salah satu sekarang.
Dalam pengertian yang lebih lazim pada masyarakat Indonesia, Posuo
bermakna “pingitan” yaitu suatu tradisi yang diwarisi turun temurun dimana
seorang anak gadis yang telah melalui proses ritual ini hampir seluruh
kebebasannya telah dibatasi yang dikenal dengan istilah.kalambe.

Tinjauan historis ritual posuo merupakan sebuah tradisi turun temurun yang
telah dan masih berlangsung hingga sekarang, dimana dalam tradisi
masyarakat Buton sendiri dikenal dengan tiga jenis posuo yaitu posuo Wolio
yaitu ritual pingitan berdasarkan adat asli Wolio yang sudah belangsung sejak
zaman nenek moyang orang Wolio.
Posuo Johoro yaitu pingitan berdasarkan tradisi Johor-Melayu mengingat
secara historis kerajaan Buton (sebelum menjadi Kesultanan) didirikan oleh
imigran dari Johor-Melayu yang dikenal dengan mia patamiana, dan posuo
Arabu yang pertama kali diperkenalkan oleh Kinepulu Bula (Syekh Haji La
Ode Abdul Ganiyu) yang merupakan seorang ulama besar dimasa Sultan La
Ode Muhammad Idrus Qaimuddin Al-Butuny, Sultan Buton kedua puluh dua.

Syekh Haji La Ode Abdul Ghaniyu juga dikenal di Mesir dan Magribi (Tunisia)
sebagai Mufti Zawawi. Beliau melakukan modifikasi tata cara posuo dengan
menghilankan unsur-unsur yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam dari
posuo Wolio.

b.Tradisi Haroa

Menurut Mahruddin dalam “Tradisi Haroa Masyarakat Islam Buton Sebagai


Media Resolusi Konflik Dalam Menciptakan Perdamaian Umat Sekaligus
Media Integrasi Antara Suku Bangsa” menjelaskan bahwa Haroa adalah ritual
perayaan hari besar Islam. Pelaksanaannya dilaksanakan di rumah-rumah
warga yang diikuti semua anggota rumah dan tetangga yang diundang baik
yang berbeda suku maupun agama.

Mereka duduk mengumpul di satu ruangan, dan di tengahnya ada nampan


yang berisikan kue-kue seperti onde-onde, cucur (cucuru), bolu, baruasa (kue
beras), ngkaowi-owi (ubi goreng), dan sanggara (pisang goreng).Semua kue
tersebut mengelilingi piring yang berisikan nasi dan di atasnya ada telur
goreng. Usai pembacaan doa, acara selanjutnya adalah makan-makan. Saya
teringat antropolog Victor Turner yang mengatakan bahwa makna ritual
adalah memperkokoh jaringan sosial di antara seluruh anggota masyarakat.
Silaturahmi dengan tetangga, serta kian akrab dengan semua keluarga. 559
Dalam setahun, haroa bisa dilaksanakan selama beberapa kali, sesuai
dengan hari besar yang dirayakan. Misalkan : Pekandeana anana maelu,
yaitu haroa yang diadakan setiap tanggal 10 Muharram. Tanggal 10
Muharram dirayakan oleh para sufi dengan tersedu-sedu. Pada hari ini, cucu
Rasulullah, Hussein bin Ali, dibantai bersama seluruh keluarga dan
pengikutnya.
Makanya, di kalangan penganut ahlul bayt atau syiah, tanggal 10 Muharram
senantiasa dirayakan agar menjadi pelajaran bagi generasi penerus. Ketika
Hussein wafat, maka putranya Imam Ali Zainal Abidin (atau dalam sejarah
dikenal sebagai Imam Sajjad karena saking seringnya bersujud) menjadi
yatim. Dalam bahasa Buton, yatim disebut maelu. Demi memberi kekuatan
bagi Imam Ali Zainal Abdiin agar tegar dalam meneruskan amanah Rasululah
untuk menegakkan agama Islam, orang-orang Buton mengadakan haroa
pekandeana anana maelu (makan-makannya anak yatim).

Pelaksanaannya adalah dengan cara memanggil dua orang anak yatim


berusia 4 sampai 7 tahun (sesuai umur Imam Ali). Kemudian dari kalangan
keluarga yang melakukan upacara, secara bergiliran ikut menyuapi dua anak
tersebut. Sesudahnya, mereka diberi uang sekedarnya. Tradisi ini merupakan
tradisi sufistik yang kuat dimasyarakat Buton yang sudah dilaksanakan sejak
ratusan tahun silam.

c.Tari Mangaru

La Ode Fajrul Islam Sabti Tari dalam “ Nilai Sosial Festival Benteng Keraton
Buton Dalam Tinjauan Sosiologi” (2018) Mangaru menggambarkan
keberanian laki-laki pada zaman dahulu dalam medan peperangan, yaitu
bercerita tentang dua orang laki-laki yang sedang dalam medan peperangan.
Para penari memperagakan gerakan-gerakan yang memperlihatkan
bagaimana kedua laki-laki yang saling beradu kekuatan dengan
menggunakan sebilah keris yang dipegang. Tari Mangaru diiringi oleh alat
musik tradisional Sulawesi Tenggara yaitu kansi-kansi, Mbololo (gong) dan
dua buah gendang yang terbuat dari kulit binatang. Musik yang mengiringi
tarian ini bertempo cepat sesuai dengan semangat para penarinya. Alat
musik tradisional ini dimainkan empat orang yang memang mahir dalam
memainkannya. Irama musik pengiring tari ini berbeda dengan musik
pengiring tari yang lain walaupaun alat yang digunakan sama.
Tari Mangaru biasanya dipertunjukan dalam berbagai upacara dan acara-
acara yang melibatkan banyak orang. Bagi masyarakat menyelenggarakan
pesta panen setelah menuai padi menjadi suatu budaya yang
berkesinambungan dan pada acara khitanan. Tarian ini menjadi ajang
berkumpul semua orang kampung. Namun sayang, tarian ini sudah jarang
bahkan sudah tidak pernah dipentaskan lagi. Saat ini tari Mangaru
dipertunjukan pada saat penyambutan tamu. Tari Mangaru pada saat ini
banyak mengalami perubahan dan kreasi, namun tetap mempertahankan
gerakan dasar perang sebagai ajang hiburan dan penyemangat.

d.Sarung Buton

Secara umum motif flora sarung tenun Buton terdiri dari motif yang
terinspirasi pada organ daun seperti bhancana kaluku, organ bunga seperti
kambana wola, kambampuu, kambana sampalu, kambana tangkurera,
kambana bontu, kambana kabaabawa,jampaka biru, kambana butu,
kambana ngkaopaopa. Organ buah dan biji seperti dalima, dalima mabingko,
kahawa, manggopa, ontimu djawa, tombo, rapo-rapo, makolona, palola dan
kuna-kuna. Selain itu motif sarung juga terinspirasi dari pohon secara
keseluruhan seperti dalima sapuua, bulamalaka, cirikaeadan tumbuhan
secara umum sepertilumuna uwe (ganggang hijau) dan lumuna dempa

Sarung tenun dengan motif Bhancana kaluku terinspirasi dari daun muda
pohon kelapa (Cocos nucifera) yang biasanya dijadikan janur oleh
masyarakat Buton. Pohon kelapa tumbuh subur di pulau Buton. Masyarakat
Buton biasanya memanfaatkan seluruh bagian pohon kelapa mulai dari akar
sampai daun. Para penenun menjadikan daun janur kelapa sebagai sumber
inspirasi untuk membuat motif sarung tenun bhancana kaluku.Kombinasi
warna pada motif ini adalah kuning, hijau dan putih.

Motif bula malaka merupakan salah satu motif yang diambil dari tanaman
jambu biji (Psidium guajava) dalam bahasa wolio disebut dengan bulamalaka.
Motif ini didominasi oleh perpaduan warna merah, merah jambu, coklat,hitam
dan hijau.Warna merah dan merah muda menandakan degradasi warna
daging buah,coklat menunjukkan warna kulit pohon, hitama dalah warna
ranting dan hijau berasal dari warna daun.

Adapula motif tombo terinspirasi dari buah pohon jambu air (Eugenia aquea)
yang terdiri dari warna merah, merah jambu dan putih. Demikian pula halnya
motif rapo-rapo yang terilhami dari buah pohon (sejenis jambu) dengan
perpaduan warna hitam, merah, merah muda dan putih. Motif yang juga
terinspirasi dari buah adalah motif manggopa atau jambu bol (Syzigium
malaccense). Motif ini didominasi oleh warna putih, merah, merah jambu dan
coklat.Juga dijumpai motif manggopa mangura dengan warna merah diganti
dengan warna merah jambu. Warna pada manggopa mangura ini
menggambarkan warna buah manggopa yang masih muda.
Sarung bermotif dalima terinspirasi dari tanaman delima (Punica granatumL).
Motif ini dibedakan menjadi dhalimasapuua (pohondelima), dhalima mangura
(buah delima muda) dan dhalima mabongko ( buahdelima
busuk ).Motifdalima sapuua dicirikan dengan perpaduan warna putih
kemerahan dan hijau daun delima. Motif dalima mangura adalah corak warna
buah delima muda yang terdiri dari tiga warna utama yaitu warna merah,
merah muda dan putih. Sedangkan motif dalima mabongko berbeda dengan
motif dalima lainnya karena perpaduan warna di samping warna merah,
merah muda dan putih juga ditambah dengan warna coklat yang mencirikan
warna busuk.

Motif kahawa merupakan motif perpaduan antara putih, hitam dan coklat.
Warna ini terinspirasi dari warna kopi (dalam bahasa wolio disebut kahawa)
dengan biji kopi yang hitam kecoklatan sedangkan warna putih menunjukkan
warna bunga kopi. Sarung dengan motif ciri kaea terinspirasi dari pohon
sirsak (dalam bahasa wolio disebut cirikaea).Perpaduan warna motif sarung
ini adalah hijau, kuning, putih dan hitam. Warna hijau yang menandakan
warna daun dan kulit buah sirsak,warna kuning sebagai warna bunga, warna
putih adalah warna daging buah sirsak sementara warna hitam menandakan
warna biji buah.

Adapula motif kuna-kuna dengan warna hijau,putih, hitam dan kuning. Warna
motif initerinspirasi dari warna kacang hijau( Vigna radiata ). Karena kacang
hijau memiliki biji kecil-kecil maka sarung dengan motif ini selalu dibuat
dengan kotak-kotak kecil.

Sarung dengan motif kambampuu terinspirasi dari tanaman melati (Jasminum


sambac ). Bunga melati umumnya digunakan oleh masyarakat Buton dalam
upacara mandi kembang (dalam bahasa wolio disebut uweyikadu) bagi calon
pengantin perempuan. Motif sarung ini di dominasi oleh warna putih dan
hijau. Warna putih adalah warna bunga melati sedangkan warna hijau
menunjukkan warna daun.

Adapula motif kambana wola yang terilhami warna bunga dari tanaman kayu
Bitti (dalam bahasa wolio dikenal dengan wola). Kayu wola adalah tipe kayu
keras yang umumnya digunakan oleh masyarakat Buton dalam membuat
rumah adat khas Buton.Warnasarung ini didominasi oleh putih dan ungu
yangmerupakan warna bunga dari pohonwola.
2.3 Muna

a.Khabanti

Menurut Samsul dalam “Tradisi Lisan Kabhanti Modero Pada Masyarakat


Muna Di Sulawesi Tenggara” (2012) Salah satu kesenian (seni musik) yang
ada dalam masyarakat Muna adalah kabhanti. Menurut Mokui, dilihat dari
penggunaannya, kabhanti itu dapat dibagi atas empat macam, yaitu sebagai
berikut.

(1) Kabhanti kantola adalah kabhanti yang digunakan pada waktu bermain
kantola. Kantola adalah sejenis permainan tradisional, di mana para pemain
berdiri berhadapan antara pemain pria dan wanita. Mereka berbalas pantun
dengan irama lagu ruuruunte atau ruuruuntete. Irama ruuruunte ini
menggunakan maksimal lima nada. Acara kantola biasanya dilaksanakan
pada malam hari di musim kemarau setelah selesai panen ubi kayu. Adapun
bentuk syair kabhanti seperti ini, sepintas lalu dapat kita katakan prosa liris,
yakni prosa yang mementingkan irama. Akan tetapi, bila kita teliti dengan
benar sebagian dapat digolongkan bentuk pantun yang disebut talibun, yakni
pantun yang lebih dari empat baris tetapi genap jumlahnya.

(2) Kabhanti watulea adalah kabhanti yang menggunakan irama watulea.


Kabhanti macam ini biasanya dinyanyikan pada waktu menebas hutan atau
berkebun. Sambil bekerja, mereka menyanyi bersama-sama atau sendirian.
Kadang-kadang, mereka melantunkan kabhanti tersebut agar tidak kesepian
di tempat kesunyian. Syair kabhanti watulea sebenarnya hanya terdiri atas
dua baris. Tiap baris terdiri atas tiga kata atau dua kata bila kata itu agak
panjang.

(3) Kabhanti gambusu adalah pantun yang dinyanyikan dengan diiringi


olehirama gambus. Biasanya menggunakan gambus kuno, yaitu gambus
yang bentuknya sederhana, tidak seperti gambus yang kita lihat pada layar
televisi.
Kadang-kadang, instrumen yang digunakan bukan hanya gambus, tetapi
dilengkapi dengan biola, kecapi, serta botol kosong yang ditabu atau dipukul
dengan sendok atau paku. Walaupun bukan hanya gambus yang digunakan
pada waktu bermain, tetapi pantun yang dinyanyikan disebut kabhanti
gambusu (pantun gambus). Kabhanti gambusu biasanya disajikan pada
acara pesta kampung misalnya pernikahan, khitanan, dan jenis kegiatan
lainnya yang ada dalam masyarakat Muna.

(4) Kabhanti modero adalah tari daerah yang hampir sama dengan tari lulo
(tari
daerah Sulawesi Tenggara). Para pemainnya terdiri atas dua kelompok, yaitu
laki-laki dan perempuan. Tiap kelompok terdiri atas minimal tiga orang dan
maksimalnya tidak terbatas. Mereka saling bergandengan tangan da
membentuk lingkaran sambil melantunkan kabhanti seirama dengan langkah
kaki dan ayunan tangan yang digerakkan ke depan dan ke belakang dalam
tarian. Berbeda dengan kabhanti gambusu, kabhanti modero tidak
menggunakan instrumen musik, tetapi suara yang dinadakan. Oleh karena
itu,
di samping kabhanti modero, masyarakat Muna juga mempunyai kesenian-
kesenian yang lain seperti yang telah diuraikan di atas.

b. Pesta Kampua

Menurut Samsul dalam “Tradisi Lisan Kabhanti Modero Pada Masyarakat


Muna Di Sulawesi Tenggara” (2012) Pesta kampua adalah acara yang
diadakan tidak lama setelah seorang anak dilahirkan biasanya berusia 7 hari,
40 hari, atau 44 hari (Supriyanto, dkk,2009:166). Rambut yang digunting
dimulai dari bagian atas kepala (ubun-ubun) sampai pada bagian pelipis
sebanyak lebih kurang sepuluh utas rambut. Pengguntingan rambut tersebut
dilakukan oleh seorang pejabat agama. Untuk golongan kaomu dan walaka,
orang yang dipanggil untuk menggunting rambut adalah lakina agama,
seorang imam atau khatib, sedangkan golongan maradhika dan wesembali
memanggil seorang modhi bhalano

c. Pesta Katoba

Menurut Samsul dalam “Tradisi Lisan Kabhanti Modero Pada Masyarakat


Muna Di Sulawesi Tenggara” (2012) Pesta katoba adalah pesta pengislaman
pada anak-anak yang berusia kira-kira sebelas tahun atau mencapai umur
kedewasaan. Pada masa yang lalu, para anak laki-laki dan perempuan dari
golongan kaomu dan walaka itu dipikul di atas bahu oleh beberapa anggota
keluarganya dan diantar kepada pejabat agama untuk diislamkan (ditoba).
Berbeda dengan golongan kaomu dan walaka, golongan wesembali dan
maradhika, anak-anaknya harus berjalan menuju ke tempat pejabat agama
untuk ditoba. Pejabat agama mereka adalah seorang modhi bhalano. Akan
tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, tradisi seperti itu sudah mulai
ditinggalkan sekarang. Dalam keluarga kaomu, walaka, maradhika maupun
wesembali, ketika melakukan pengislaman, mereka hanya memanggil salah
seorang pegawai sara (imam, khatib, atau modji) jika acara katoba
dilaksanakan dalam bentuk yang sederhana. Namun, jika acaranya diadakan
dalam bentuk besar atau ramai, maka seluruh pegawai sara dan tokoh
masyarakat harus dipanggil. Ketika mereka dipanggil, maka yang berhak
untuk melakukan katoba atau pengislaman adalah imam sebagai tingkatan
atau level tertinggi dalam pegawai sara.

d. Pesta Karia

Menurut Samsul dalam “Tradisi Lisan Kabhanti Modero Pada Masyarakat


Muna Di Sulawesi Tenggara” (2012) Pesta Karia ini hanya dilakukan untuk
anak-anak perempuan menjelang umur dewasa, yaitu umur lima belas atau
enam belas tahun. Akan tetapi, pesta karia ini biasanya diselenggarakan
menjelang atau sebelum pernikahan. pandangan orang Muna, pelaksanaan
pesta karia merupakan pengukuhan bagi mereka dalam agama Islam.
Dengan demikian, untuk anak perempuan diadakan dua pesta, yaitu pesta
katoba dan pesta karia. Kadang-kadang, pesta ini diselenggarakan untuk
beberapa orang gadis. Para gadis yang akan dikariakan, dikurung (dipingit)
dalam kamar yang gelap selama empat hari empat malam (dahulu 44 hari)
dan tidak diperkenankan keluar. Apabila ini terjadi (si gadis melanggar dan
keluar), maka hal itu merupakan pertanda sial bagi dia sendiri dan
keturunannya. Ketika dipingit, mereka tidak mendapat minuman, sedangkan
makanan yang diberikan adalah setengah telur dan segenggam nasi setiap
hari.

e. Pesta Katisa

Menurut Samsul dalam “Tradisi Lisan Kabhanti Modero Pada Masyarakat


Muna Di Sulawesi Tenggara” (2012) Pesta katisa tidak dihadiri oleh seluruh
penduduk. Hanya orang-orangtertentu yang diundang. Pesta ini dibuat oleh
seseorang yang ingin menanam. Oleh karena itu, dia meminta pertolongan
keluarga, teman, dan kenalannya. Kadang-kadang, dia mengundang sampai
seratus orang. Sebenarnya, pesta ini baru diadakan setelah selesai
menanam. Para undangan pergi ke rumah pemilik tanah bersama-sama
untuk menikmati hidangan makanan. Acara tersebut diselenggarakan oleh
pemilik tanah dengan tujuan agar para roh dapat mendukung usahanya
sehingga memperoleh panen yang baik. Jika pesta ini tidak diadakan, maka
pemilik tanah akan memperoleh panen yang gagal seperti tongkol-tongkol
jagung yang hanya berbiji sebelah

f.Pesta Tunuhu

Menurut Samsul dalam “Tradisi Lisan Kabhanti Modero Pada Masyarakat


Muna Di Sulawesi Tenggara” (2012) Acara tunuha dilakukan pada waktu
malam ketika masyarakat (terutama petani) melakukan panen ubi kayu pada
siang harinya. Dalam acara tunuha tersebut, laki-laki dan perempuan
membagi pekerjaan. Laki-laki menggali tanah untuk menyimpan parutan ubi
kayu yang sudah dibungkus dalam daun pisang atau lumbung bambu dengan
kedalaman sekitar 1 meter. Sementara, pekerjaan perempuan mulai dari
memarut sampai dengan membungkus parutan ubi yang sudah dicampurkan
dengan kelapa dan gula. Setelah itu, parutan ubi kayu yang ditutup itu
dibakar

h.Pesta Katumbu

Menurut Samsul dalam “Tradisi Lisan Kabhanti Modero Pada Masyarakat


Muna Di Sulawesi Tenggara” (2012) Pesta katumbu merupakan pesta makan
yang diselenggarakan untuk mereka yang membantu seseorang yang
melakukan panen. Pesta makan seperti ini biasanya telah dijanjikan pada
waktu menanam. Ketika menanam, pemilik tanah mengajukan permintaan
untuk mendapatkan panen yang baik kepada para roh. Permohonan tersebut
diiringi dengan janji bahwa apabila panen berhasil, maka pemilik tanah
tersebut akan mengadakan pesta makan. Dalam pesta makan tersebut,
pemilik tanah akan memanggil orang-orang yang membantu waktu panen
(biasanya mereka ini adalah orang-orang yang juga membantu menanam).
Selain itu, pemilik tanah juga berjanji bahwa sebagian dari hasil panennya
akan diberikan kepada tokoh-tokoh desa. Pesta katumbu dan pesta katisa
sering diadakan dua kali setahun, yaitu pada waktu menanam dan panen
pada musim barat dan musim timur.
i.Pesta Kabhongkasi

Dalam buku “Adat Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Tenggara “


(1978/1979) menjelaskan bahwa Kabhongkasi adalah upacara pembacaan
doa selamatan yang· dilakukan 40 hari sesudah perkawinan Dewasa ini
dilakukan 4 hari sesudah perkawinan sebagai simbol waktu 40 hari.
Kabhongkasi artinya pembukaan, maksudnya ic~r~e!11uan resmi sebagai
suami-isteri. Dalam upacara itu suami-isteri dimandikan secara bersama di
bawah sebuah tudung. Niat mereka adalah agar suami-isteri dapat hidup
rukun bagaikan air/sungai yang mengalir dari satu sumber (udik) dan
mengalir satu arah (hilir).

2.4 Moronene

a.Tarian Lumense

Menurut Hasaruddin dan Muhammad Ikbal dalam Tari Lumense : Makna


Simbolik Masyarakat Kabaena (Jurnal Pendidikan Sejarah Vol.VIII, No.1, Mei
2022) menjelaskan bahwa Tari Lumense dilakukan dalam ritual pe-olia, yaitu
ritual penyembahan kepada roh halus yang disebut kowonuano
(penguasa/pemilik negeri) dengan menyajikan berbagai aneka jenis
makanan.

Ritual ini dimaksudakan agar kowonuano berkenan mengusir segala macam


bencana. Penutup dari ritual tersebut adalah penebasan pohon pisang.
Tarian ini juga sering ditampilkan pada masa kekuasaan Kesultanan Buton.
Seiring dengan perkembangan, fungsi tari Lumense pun mulai bergeser. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa tari Lumense bercerita tentang kondisi
sosial masyarakat Kabaena saat ini. Corak produksi masyarakat Kabaena
adalah bercocok tanam atau bertani, masyarakat masih melakukan pola
tradisional yaitu membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian.

Sementara parang yang dibawa oleh para pria menggambarkan para pria
yang berprofesi sebagai petani. Simbol pohon pisang dalam tarian ini
bermakna bencana yang bisa dicegah Oleh karena itu klimaks dari tarian ini
adalah menebang pohon pisang. Artinya, setelah pohon pisang tumbang
bencana bisa dicegah.Kekinian tari Lumense sudah tidak lagi menjadi ritual
pengusiran roh. Akan tetapi, tari Lumense masih dianggap memiliki nilai
spiritual. Masyarakat setempat menganggap tari lumense adalah tari
“penyembuh”.

Tari Lumense merupakan salah satu tradisi masyarakat Tokotu'a atau


Kabaena, Kabupaten Bombana dalam menyambut tamu pada pesta-pesta
rakyat. Tarian ini dilakukan oleh kelompok perempuan yang berjumlah 12
orang, 6 orang berperan sebagai laki-laki dan 6 lainnya berperan sebagai
permepuan. Para penari menggunakan busana adat Tokotu'a atau Kabaena.
Untuk para penari yang berperan sebagai perempuan memakai rok berwarna
merah maron dan atasan baju hitam. Baju ini disebut dengan taincombo
dengan bagian bawah baju mirip ikan duyung. Untuk penari yang berperan
sebagai laki-laki memakai taincombo yang dipadukan dengan selendang
merah. Kelompok laki-laki memakai korobi (sarung parang dari kayu) yang
disandang di pinggang sebelah kiri.

b.Bahasa Moronene

Dalam Struktur Bahasa Moronene (1991:1) menjelaskan bahwa Nama


"Moronene" dalam kaitan dengan bahasa Moronene diturunkan dan nama
suku bangsa yang dahulunya terhimpun dalam satu wadah kerajaan yaitu
kerajaan Moronene. Secara etimologis istilah moronene berasal dan dua
kata, yaitu moro 'sejenis, serupa'; nene 'nama tumbuhan resam' batangnya
dapat dibuat pengikat pagar, atap, dan lain-lain (Gleichenia linearis CLARKE).

Pengertian "moronene" sekarang ialah nama suku bangsa yang mendiami


sebagian wilayah kabupaten Buton dalam tiga wilayah kecamatan, yaitu
kecamatan Rumbia, kecamatan Poleang, dan kecamatan Kobaena.*) Di
samping itu, di kecamatan Wundulako (kabupaten Kolaka) ditemukan pula
suku Moronene yang dahulunya berasal dari kecarnatan Poleang.

Mereka berada di sana akibat kekacauan yang melanda daerah itu beberapa
waktu yang lalu. Jadi, "moronene' adalah nama suku bangsa dan nama
bahasa yang terdapat dalam wilayah Propinsi Sulawesi Tenggara pada
ketiga kecamatan tersebut di atas. Jumlah penutur bahasa Moronene
dewasa ini diperkirakan.± 60.000 orang (Pattiasina, 1978:5). Bahasa
Moronene yang dipakai path tiga kecamatan itu pada dasarnya sama. Kalau
pun terdapat perbedaan kecil dan segi fonetis atau segi semantis, hal itu
merupakan varian bahasa pads wilayah bahasa tertentu (Ayatrohaedi, 1979 :
3).

Dalam "Peta Bahasa-Bahasa di Indonesia", di Propinsi Sulawesi Tenggara


tercatat 29 bahasa daerah (Lembaga Bahasa Nasional, 1972: 50-51). Dua
diantaranya berlokasi di wilayah suku Moronene, yaitu bahasa Moronene
dan bahasa Kabaena. Namun, di dalam penjelasan informan dikemukakan
bahwa sesungguhnya bahasa suku Moronene hanyalah satu jenis saja,
tetapi secara lokal dapat saja bahasa tersebut diberi nama menurut narna
daerah tempat pemakainya berada. Pada umumnya orang beranggapan
bahwa suatu bahasa amat erat hubungannya dengan keadaan alam, (suku)
bangsa, dan keadaan politik di daerah-daerah yang bersangkutan
(Ayatrohaedi, 1979:5).

c.Ritual Adat Mo’ooli

Asep Sunandar, La Ode Dirman, dan Nurtikawati Dalam “ Tuturan Ritual


Mo’ooli Pada Pembukaan Lahan Baru Perladangan Masyarakat Moronene
Desa Hukaea-Laeya Kecamatan Lantari Jaya Kabupaten Bombana “ (2018).
Menjelaskan bahwa Ritual adat Mo’ooli adalah pembukaan kawasan lahan
baru pada saat masa bercocok tanam. Upacara adat Mo’ooli dilakukan pada
tempat yang bersejarah (Puji Hastuti,2015: 21). Ritual Mo’ooli merupakan
ritual penebusan atas kawasan tersebut kepada penghuni kawasan yang
disebut “ntiwonua” (pemilik negeri kawasan) yang biasanya bersemayam
dipohon beringin (pu’ununu) atau dihutan keramat (inalahi popalia).

Tujuannya untuk meminta izin kepada pemilik wilayah itu (roh halus) agar
kiranya mereka bersedia pindah ke kawasan lain dan tidak mengganggu
para petani yang akan pembuka perladangan di kawasan, sebelum
melakukan perambahan melakukan ritual mo’ooli tersebut akan dilakukan
upacara adat yang menyungguhkan sesajian berupa pe’oli yang berisi antara
lain sirih,pinang, gulungan rokok sarung,dan pakaian yang diletakan diatas
sebuah wadah kemudian pada acara ini tompuroo akan membacakan
mantra.

Tuturan ritual mo’ooli saat ini dilakukan dengan tujuan memohon izin dari
sangia/ntiwonua ketika warga ada yang membuka hutan sebagai lahan baru
yang erat kaitannya dengan sistem kepercayaan sebagai media ekspresi
terhadap sang maha kuasa Ritual adat Mo’ooli diselenggarakan oleh para
tetua tobu sebagai pembawa adat dan memimpin jalannya ritual. Warga tobu
yang lain disyaratkan hadir dan mengikuti jalannya ritual sebagai peserta.
Tugas mereka diantaranya, selain turut memanjatkan doa berupa
permohonan izin melalui tuturan yang dilantunkan oleh pemimpin ritual
adalah juga memperhati-kan tanda-tanda alam yang diyakini sebagai isyarat
direstui atau tidaknya permohonan izin mereka.

d.Ungkapan Tradisional Suku Moronene

Dalam buku “ Ungkapan Dalam Perkawinan Adat Suku Moronene ” (2008:


21-22) Rambe (1993:21) menjelaskan mengenai perkawinan Moronene.
Dalam perkawinan suku Moronene dikenal beberapa istilah, yaitu: mesinca,
medu/u, mesalako, mesampora, merapi, mesalaica, dan mesamotu'a.

1. Mesinca berarti berpisah dan menyendiri, yaitu memisahkan diri dari


rumah orang tua dan membangun rumah sendiri (rumah tangga baru).
2. Medulu berarti berkumpul, yaitu bersatu menjadi suami-istri.Mesalako
berarti berjalan bersama, yaitu ternan berjalan pada waktu ke luar rumah.
Sebelum perkawinan dua orang remaja (muda"mudi) dilarang berjalan
bersama-sama.
3. Mesampora yang berarti bertunangan. Sampora menurut arti yang
sebenarnya adalah tunangan.
4. Merapi berarti berkeluarga. Rapi artinya keluarga batih atau keluarga inti,
yaitu keluarga yang terdiri atas suami, istri, dan anak-anak yang belum
kawin.
5. Mesalalaica berarti bersatu dalarn satu rumah. Serumah yaitu tinggal
bersama-sama dalam satu rumah untuk saling menolong dan saling
melayani dengan kasih sayang {mekalolaro) sebagai suami istri.
6. Mesamotu'a yang berarti bersatu atau bersama-sama satu orang tua,
yaitu menyatukan orang tua kedua belah pihak beserta sanak famili
menjadi satu keluarga luas

e.Tradisi Mahuletako Alo

Anwar , Amal Arfan, dan Erman Syarif dalam “Tradisi Adat Kawi’a
Masyarakat Suku Moronene Di Kecamatan Tradisi Poleang Utara Kabupaten
Bombana “ Tahap pascaperkawinan disebut Mohuletako Alo. Mohuletako Alo
artinya mengantar kedua pengantin ke rumah orang tua pengantin laki-laki
setelah acara pernikahan berlangsung dengan waktu yang sudah disepakati
sebelumnya oleh kedua keluarga. Tradisi ini dilakukan dua atau empat hari
pasca perkawinan yang diistilahkan dengan Oleo Ongkunda (hari pendek)
waktunya sekitar dua hari setelah perkawinan dan Oleo Mentaa (hari
Panjang) waktunya sekitar empat hari setelah pernikahan tergantung dari
kesepakatan kedua belah pihak. Biasanya tradisi ini dilaksanakan karena
pihak orang tua laki-laki juga ingin mengadakan acara di tempat tinggal
mereka

2.5 Mekongga

a. Tuturan Tolea

Menurut Sultan, Tadjuddin Maknun, Ikhwan M. Said dalam “ Tuturan Tolea


Dalam Ritual Pesta Adat Mosehe Wonua Suku Tolaki Mekongga di
Kabupaten Kolaka : Tinjauan Semiotika “ ( Jurnal Budaya UNHAS Vol.6 No.2,
Desember 2018) menjelaskan Tuturan Tolea dalam tradisi mosehe wanua
masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara yakni tuturan pembuka,
tuturan inti dan tuturan penutup. Makna tuturan Tolea disetiap tahapan
tuturan yaitu Masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara menjadikan
tuturan yang diungkapkan Tolea pada awal atau tuturan pembukanya
merupakan sebuah simbol. Menurut Peirce dalam trikotominya,
mengungkapkan bahwa simbol merupakan konvensi atau kesepakatan
bersama yang berlaku dalam komunitas atau masyarakat tertentu dengan
meyakini kebenaran atas apa yang telah disepakati. Pada tuturan pembuka
yang diungkapkan Tolea dalam ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di
Mekongga Sulawesi Tenggara adalah tanda yang merupakan simbol
penghormatan dalam ritual tersebut.

Tuturan pembuka merupakan teks yang dituturkan oleh Tolea atau juru bicara
yang dalam tuturannya mengandung tentang permohonan izin kepada pihak-
pihak yang diagungkan dalam membuka atau memulai kegiatan ritual MW
pada masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara. Pada bagian ini,
Tolea yang menjadi juru bicara adat masyarakat setempat dalam ritual
Mosehe Wanua mengungkapkan tuturan yang dinyatakan dalam prosesi
tradisi masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara sebagai berikut:
Tabea inggomiu pak Bupati ulu sala, mandarono olipu wonua i Kolaka,la
pinoko owosenggu pinoko lalo inggu ronga wakili, tabea inggomiu wakele
bupati, la ladumisioro tinamuako teeni pamarenda Owose

Pada tuturan diatas dimaksudkan sebagai penghormatan dan penghargaan


bagi Pak Bupati dan wakil Bupati sebagai ulu sala ‘kepala pemimpin’ di
wilayah Mekongga Kabupaten Kolaka. Pada data (T1) menggunakan kata
tabea ‘yang terhormat’ merupakan kata pembuka atau kata yang selalu
dipakai untuk mengawali sebuah percakapan atau tuturan.

Tuturan pembuka atau pondorambuu pada ritual Mosehe Wonua ini


memperlihatkan tuturan yang terstruktur atau beruntutan dalam setiap
kalimatnya. Setiap kalimat yang disajikan dalam tuturan pembuka oleh tolea
(pembicara) tersebut mengandung bahasa sopan yang menggunakan
intonasi yang halus yaitu penekanan kata tabea ‘yang terhormat’ salah
satunya terlihat pada contoh kalimat: Tabea inggomiu Pak Bupati ulu sala
‘yang terhormat Bapak Bupati sebagai kepala pemimpin’.

Konteks pada dialog pertama pada saat menuturkan tuturan pembuka (Tolea
berinteraksi dengan Raja Mekongga, Bapak Bupati, dan Wakil Bupati beserta
sanak saudara, mereka saling berhadapan dan benda kalo sara digenggam
oleh tolea sebagai wujud mediasi penghubung dialog antara raja atau Bapak
Bupati dengan Tolea). Kemudian, Raja Mekongga bersama yang lainnya
menyambut sambutan tolea sebagai tanda penerimaan permintaan izin
dalam melanjutkan ritual tersebut.

Pada bagian tuturan inti merupakan bagian inti dari ritual mosehe wanua
yang merupakan lanjutan dari tuturan pembuka. Pada tuturan inti juru bicara
adat (tolea) mengawali pembicaraannya bermaksud untuk menyampaikan
sepatah kata kepada Raja Mekongga, Bapak Bupati, dan wakil Bupati serta
sanak saudara yang diagungkan untuk melanjutkan ritual dari mosehe wonua
sebagai wujud penghormatan dan permohonan izin atau restu baik untuk
melanjutkan ritual yang dianggap inti pada dialog ini untuk diperdengarkan
oleh seluruh masyarakat Tolaki. Setiap kata yang dituturkan oleh tolea dalam
kegiatan adat atau penyucian suatu wilayah atau dikenal sebagai Mosehe
Wonua ini tidak pernah mengalami perubahan tuturan seperti yang tergambar

pada tuturan dibawah ini:


Dialog 2

Iye inggomiu pak bupati ulu sala mandarano olipu petumbuno wonua
tusatongano olipu,lamenggokooro meita mendo tooro nde pekulaso
mendongano olipu wonuai i kolaka, l mendongano toono dadio i wonuai
kolaka, laa tudu inggomiu sara owose,sara pamarenda, sara mbe paramisi,
membo kulaloi lako keinggomiu keno lando osala pewali niru ku toono
sdadio,inggomiu odisi pamarenda,inggo mohu nggo mondiso,osala, tewali,
niruku toono dadio.ki inggo to meruhu aki mo rongo rongo meteo olu pohu
pondisomiu,

Makna yang ingin disampaikan pada tuturan inti diatas, berisi tentang aturan
atau petunjuk adat yang bertujuan agar masyarakat mematuhi atau
menghormati adat mosehe wonua.

Ritual Mosehe Wonua ini bermula dari aturan Raja yang berkuasa Kerajaan
Mekongga terdahulu dan masih dilaksanakan oleh masyarakat sekarang.
Kegiatan adat ini diselenggarakan 5 tahun sekali sebagai kebiasan oleh
masyakarat Mekongga dengan maksud meminta atau memohon
perlindungan atau keselamatan dari bencana alam.

Penggalan tuturan Tolea yang menjadi bagian tuturan inti yang diungkapkan
dalam ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi
Tenggara, menjadi sebuah pegangan atau pedoman yang menjadi landasan
atau dasar dalam menjalankan tradisi atau ritual Mosehe Wanua masyarakat
Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara. Semua tuturan yang diungkapkan
Tolea pada penggalan bagian inti ini menjadi suatu yang dianggap sakral dari
segi histori dan idiologi masyarakat setempat.

Pada tuturan inti yang diungkapkan Tolea dalam ritual Mosehe Wanua
masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara ini merupakan tanda
yang menjadi simbol yang dalam tuturan tersebut menyiratkan makna yang
sangat diyakini oleh masyarakat setempat. Tuturan yang diungkapkan Tolea
dalam ritual ini telah diketahui secara saksama oleh masyarakat, namun
masyarakat setempat tidak mengetahui makna yang terkandung dari tanda
yang terkandung dalam tuturan tersebut. Keyakinan masyarakat sudah
membentuk sebuah konvensi atau kesepakatan yang telah diyakini Bersama
sebagai sebuah kebenaran yang mutlak.
Tuturan penutup Bentuk tuturan yang diungkapkan oleh Tolea dalam ritual
Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara
merupakan penggalan tuturan yang dikategorikan sebagai tuturan penutup.
Tuturan penutup merupakan tuturan akhir dari tuturan yang diungkapkan
Tolea pada ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi
Tenggara Pada tuturan penutup, Tolea menuturkan permohonan izin kepada
raja, dewan adat, bupati, dan wakil bupati dengan bahasa yang halus yang
dilalamnya menyiratkan makna yang dalam tuturannya dipahami oleh semua
pihak yang terlibat dalam prosesi ritual Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di
Mekongga Sulawesi Tenggara. Ungkapan permohonan izin dalam tuturan
penutup dapat kita lihat pada teks dibawah ini:

Tabea inggomiu odisi pamarenda, owosepak bupati, wakili bupati tabea


inggomiu bokeo anakia owose wonua i mekongga, monguni tarimakasi lako
hano miu.Iyye inggomiu mbera anakia owose se nusantara,iyye inggomiu
mbera mokole ronga susunano bokeo anakia i mekongga. Iyye inggomiu
inalolo ina luwako la la panggano ronga perehu rehu ano, I podedai ariya ku
to masima ke ito mongoni paramisi, inedisi pamarenda la ito pohu uno tini
sono tewali niru kundo to onggoto moko lako pasipole ohawo la otuando tola
mende konggo mende perimbu, ni inono pasipole topoko lakoito. Iyye
inggomiu ina lolo ina luwuako la la mendo otoro, la la tekonggo mbera toka
ikeni kula mekodunggo iko miu, ilako keeto pasipole.

Tolea diakhir yang merupakan tuturan penutup, bagian tuturan Tolea yang
menjadi bagian tuturan akhir atau penutup yang diungkapkan dalam ritual
Mosehe Wanua masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara
merupakan bentuk pemujaan terhadap leluhur yang menciptakan dan
menghadirkan tradisi yang masih hidup hingga kini, selain itu tuturan Tolea
tersebut merupakan bentuk penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap
raja dan petinggi pemerintahan yang hadir dalam ritual Mosehe Wanua
masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara. Dalam tuturan akhirnya,
tolea mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada semua pijhak yang hadir dalam tradisi Mosehe Wanua ini
pada masyarakat Tolaki di Mekongga Sulawesi Tenggara.
Bab 3

Analisis Folklor Berdasarkan Pendapat

3.1 Analisis Folklor Tolaki

a. Sastra Lisan

Menurut Aris Badara, Sri Suryana Dinar (Sastra Lisan Harta Karun Orang Tolaki,
2020: 18) Secara umum ragam sastra suku Tolaki terdiri atas dua jenis, yaitu sastra
yang berbentuk prosa dan ragam sastra yang berbentuk puisi.

Mengacu pada ragamnya secara umum (Prosa dan Puisi ) sastra lisan yang terdapat
pada masyarakat suku Tolaki menunjukan bahwa eksistensi dan fungsinya masih
melekat hingga kini dalam kehidupan masyarakat Tolaki. Walaupun budaya luar
terus menerus menggerus budaya lokal. Tapi itu tidak mempengaruhinya keberadaa
atau fungsinya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan kedhidupan
masyarakatnya.

Bila dilihat dari bentuknya sastra lisan ini masuk ke dalam kerangka besar folklor
yang merupakan salah satu produk kebudayaan yang sudah ada sejak lama. Sastra
lisan tersebut dalam perwujudanya ada yang tergolong ke dalam folklor bentuk lisan
dan ada yang tergolong dalam folklor sebagian lisan. Batasanya tampak pada
medianya pelaksanaanya. Sebab dalam pelaksanaanya ada yang menggunakan
musik sebagai pengiring pertunjukan sastra lisan itu ditampilkan. Serta ada pula
yang ditampilkan tanpa menggunakan music pengiring.

Sedangkan jenis atau ragamnya yang dijabarkan diatas sesuai dengan fungsi dan
perannya sastra lisan itu sendiri. Baik yang berupa puisi maupun yang berupa prosa.
Kedua merupakan media yang digunakan tidak sebatas sebagai fungsi rekreatif
(bersifat hiburan) melainkan sebagai media yang dijadikan sebagai petunjuk atau
pengatur dalam kehidupan sosial masyarakat Tolaki. Semuanya tidak terlepas dari
adat atau budaya yang menjadi consensus masyarakat Tolaki.

b. Ritual Mosehe

Pada masyarakat Tolaki, mosehe merupakan upacara adat yang dilaksanakan dan
bertujuan untuk menyucikan diri atau penolak bala. Mosehe dapat dilakukan jika
masyarakat biasanya banyak mengalami bencana atau musibah yang menimpa.
Misalnya gagal panen, banjir, kekeringan, wabah penyakit atau terjadi perselisihan
yang besar. Kepercayaan seperti itulah yang tertanam, mengakar, dan menjadi
kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku masyarakatnya.

Ritual Mosese ini merupakan salah satu kepercayaan masyarakat Tolaki yang
tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyaratnya. Sebagai masyarakat
agraris yang kaya ragam budaya, ritual mosese masih menjadi bagian nilai luhur
yang dijaga dan dipertahankan sebagain masyarakat Tolaki. Terutama masyarakat
Tolaki yang berada di daerah atau pedesaan yang masih memiliki lahan pertanian.

Ritual Mosese ini diyakini sebagai usaha untuk mensucikan diri agar terhindar dari
segala bencana. Baik bencana yang menimpa pada diri manusia, maupun bencana
yang menimpa pada partaniannya. Ritual ini biasa dilakukan bilamana terjadi banyak
bencana. Misalnya terjadi hama wereng, hama tikus, atau berbagai penyakit yang
melanda masyarakat. Maka Ritual Mosese biasanya dilakukan.

Dilihat dari perwujudannya Ritual Mosese dapat dikategorikan sebagai folklore


bentuk lisan karena seutuhnya dalam implementasinya menggunakan bahasa lisan.
Dalam ritual ini doa-doa atau mantra-mantra akan dirapalkan untuk menyampaikan
maksud tujuan dan keinginannya terhadap Tuhan. Dalam ritual ini tentu dimpin para
tetua adat atau oang tua yang paham dan mengerti mengenai cara-cara
menjalankan ritual Mosese.

Dalam pelaksanaanya terdapat nilai-nilai sosial dan religius yang dapat diambil
hikmahnya sebagai pelajaran hidup. Itulah yang menjadi esensi dalam ritual adat ini.
Sehinggga masyarakat lebih menghargai lingkungan alam serta menghargai dan
menghormati dalam kehidupan sosialnya. Agar tercipta hubungan harmonis
hubungan dengan alam, hubungan dengan manusianya, dan hubungan dengan
Tuhan.

c. Mantra

Mantra dapat didefinisikan sebagai puisi magis yang kadang-kadang digunakan


untuk mencapai tujuan. Kata ‘mantra’ berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti
‘jampi’ ‘pesona’, atau ‘doa’. Pada kajian folklor, istilah tersebut dapat dipadankan
dengan puisi lisan yang merupakan bagian dari sastra lisan.
Mantra ini merupakan doa-doa atau bacaan yang suutuhnya dalam bentuk lisan.
Itulah sebabnya mantra ini tergolong dalam folklor bentuk lisan. Pada setiap daerah
memiliki sebutan atau nama yang berbeda-beda. Serta memiliki ragam mantra
sesuai fungsi atau tujuan yang diyakininya.

Misalnya saja ada mantra dalam menyembuhkan penyakit, mantra untuk pengasihan
dalam hubungan asmara, mantra dalam acara ritual-ritual adat, dan mantra-mantra
lainya. Semua memiliki tujuan dengan cara berbeda-beda dalam mewujudkannya.

Masyarakat percaya akan kekuatan mantra yang dibacakan sebagai sarana untuk
mencari jalan solusi atas persoalan-persoalan yang dihadapi. Baik itu dilaksanakan
secara individu maupun dilakukan secara bersama-sama dengan keelompok
masyarakat yang hidup disuatu tempat sesuai kebutuhannya masing-masing.

d. Kalosara
Secara harfiah, kalo adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara
mengikat yang melingkar, dan pertemuan atau kegiatan Bersama dengan pelaku
membentuk lingkaran. Sebagai benda lingkaran, kalo dibuat dari rotan, dan ada juga
yang terbuat dari bahan lainnya, seperti emas, besi, perak, benang, kain putih, akar,
daun pandan, bambu dan sebagainya (Tarimana, 1993).

Kalosara ini memiliki nilai sangat penting dalam kehidupan masyarakat Tolaki.
Sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan yang di dalamnya terdapat nilai moral,
nilai sosial, nilai hukum, nilai politik , dan nilai-nilai lainnya yang berhubungan dengan
tata kehidupan masyarakat Tolaki. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi dari
Kalosara yang merupakan produk budaya masyarakat Tolaki. Tapi perlu
digarisbawahi Kalosara sendiri merupakan benda yang dijadikan simbolas dari nilai-
nilai yang dijaga dan dijunjung itu.

Maka Kalosara yang terbuat dari dari rotan (pada umumnya) atau yang terbuat dari
benda-benda logam dan benda lainnya seperti yang telah dijelaskan di atas dapat
dikategorikan dalam folklore dalam bentuk bukan lisan, Sebab Kalosara secara fisik
merupakan benda hasil kerajinan tangan yang dijadikan media dalam berbagai ritual
adat atau upacara sosial yang ada di masyarakat setempat.
3.2 Analisis Folklor Buton

a.Tradisi Posuo

Iffa Afia Amin Kitabi dalam “Ritual Pasuo Adat Kesultanan Buton Ditinjau Dari Hukum
Islam” (2015) Ritual posuo menurut istilah bahasa Indonesia disebut pingitanyang di
laksanakan 4 sampai 8 hari dimana peserta pasuo diasingkan dan dijauhkan dari
keluarga dan masyarakat sekitar serta dunia luar dan diajarkan tentang hal-hal yang
berhubungan dengan kepribadian wanita dan keterampilan rumah tangga dibawah
panduan beberapa tokoh adat perempuan yang disebut bhisa.

Dilihat dari bentuk dan perwujudannya, tradisi Posua ini masuk dalam kategori folklor
bentuk sebagian lisan. Sebab dalam perwujudannya tidak hanya bahasa lisan
sebagai medianya. Namun harus melalui tahap-tahap yang harus dilalui. Serta
media-media lain yang berupa benda atau tindakan yang harus diadakan. Itu
menunjukan bahwa ritual Pasuso ini termasuk folklore dalam bentuk setengah lisan.

b.Tradisi Haroa

Menurut Mahruddin dalam “Tradisi Haroa Masyarakat Islam Buton Sebagai Media
Resolusi Konflik Dalam Menciptakan Perdamaian Umat Sekaligus Media Integrasi
Antara Suku Bangsa” menjelaskan bahwa Haroa adalah ritual perayaan hari besar
Islam. Pelaksanaannya dilaksanakan di rumah-rumah warga yang diikuti semua
anggota rumah dan tetangga yang diundang baik yang berbeda suku maupun
agama.

Tradisi ini sangat kental dengan nilai-nilai agama Islam. Dalam pelaksanaannya
bahasa lisan yang berisi doa-doa ini menjadi bagian penting dan diyakini sebagai
pembawa kebaiakan bagi yang melaksanakannya. Dalam perwujudannya tentu tidak
hanya sebatas membacakan doa-doa tapi sudah kebiasaan orang yang
melaksanakan tradisi ini akan menyediakan makanan bagi para tamunya. Serta
yang biasa dilakukan yaitu menyalakan dupa pada setiap dimulainya acara ini.
Maka dari pelaksanaan atau perwujudannya itu Haroa termasuk dalam folklore
bentuk setengah lisan. Sebab pelaksanaanya tidak sebatas hanya menggunakan
bahasa lisan.
c.Tari Mangaru

La Ode Fajrul Islam Sabti Tari dalam “ Nilai Sosial Festival Benteng Keraton Buton
Dalam Tinjauan Sosiologi” (2018) Mangaru menggambarkan keberanian laki-laki
pada zaman dahulu dalam medan peperangan, yaitu bercerita tentang dua orang
laki-laki yang sedang dalam medan peperangan.

Tari Manguru ini merupakan bagian fari foklor yang sudah melekat dalam kehidupan
masyarakat etnis Buton. Tarian Manguru ini tidak sebatas sebagai media hiburan
saja namun sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan moral yang syarat
dengan nilai historis etnis Buton. Bila dilihat dari pertunjukan atau perwujudannya
tarian Mangaru ini masuk dalam kategori folklore bentuk setengah lisan.

d.Sarung Buton

Secara umum motif flora sarung tenun Buton terdiri dari motif yang terinspirasi pada
organ daun seperti bhancana kaluku, organ bunga seperti kambana
wola,kambampuu, kambana sampalu, kambana tangkurera, kambana bontu,
kambana kabaabawa,jampaka biru, kambana butu, kambana ngkaopaopa. Organ
buah dan biji seperti dalima, dalima mabingko, kahawa, manggopa, ontimu djawa,
tombo, rapo-rapo, makolona, palola dan kuna-kuna.

Kain sarung ini sangat khas bukan hanya di daerah etnis Buton. Tapi juga terkenal
atau familiar di daerah-daerah lain di Sulawesi Tenggara. Kain Buton ini dalam
produksinya dilakukan secara tradisional. Namun kini ada sebagian yang
memproduksinya dengan cara yang modern. Mengenai corak atau motifnya memiliki
makna tersendiri bagi etnis Buton.

Dalam penyebarannya tentu dilakukan tidak hanya menggunakan bahasa lisan saja
dan disampaikan dari generasi sat uke generasi berikutnya. Dengan disertai praktik
atau tindakan dalam menenun sarung. Jadi itu menunjukan bahwa sarung Buton ini
tergolong sebagai folklore bentuk setengah lisan.
3.3 Analisis Folklor Muna

a.Khabanti

Menurut Samsul dalam “Tradisi Lisan Kabhanti Modero Pada Masyarakat Muna Di
Sulawesi Tenggara” (2012) Salah satu kesenian (seni musik) yang ada dalam
masyarakat Muna adalah kabhanti.

Khabanti ini merupakan sebuah karya sastra yang akrab bagi masyarakat etnis
Muna. Serta akrab bagi masyarakat etnis Buton. Sebab secara geografis kedua etnis
ini saling berdekatan. Wajar bila ada kesamaan terkait budaya dan keseniannya.
Termasuk khabanti ini yang merupakan salah satu produku kebudayaan di dua
tempat ini.

Khabanti bagi masyarakat Muna bukan sekedar untuk hiburan saja. Namun juga
memiliki nilai luhur yang terus dijaga dan dilestarikan sebagai pendidikan, ajaran,
atau nasihat tentang nilai-nilai kehidupan. Dalam pelaksanaanya tentu akan sangat
meriah dan disaksikan khalayak ramai. Pada prosenya biasanya diiringi musik untuk
membangun suasana gembiran atau suasana haru dalam perasanan audensi dan
para pelakunya. Menjadikan suasana akan terasa hidup dan mengesankan.

Dari proses pelaksanaanya dapat dinilai bahwa khabanti tergolong sebagai folklor
dalam bentuk setengah lisan. Karena dalam perwujudannya tidak sebatas
menggunakan media lisan saja melainkan juga menggunaka alat-alat musik sebagai
pelengkap dari pertunjukan orang yang menampilkannya.

b.Pesta Kampua

Menurut Samsul dalam “Tradisi Lisan Kabhanti Modero Pada Masyarakat Muna Di
Sulawesi Tenggara” (2012) Pesta kampua adalah acara yang diadakan tidak lama
setelah seorang anak dilahirkan biasanya berusia 7 hari, 40 hari, atau 44 hari
(Supriyanto, dkk,2009:166).

Pada setiap daerah tentu memiliki nama dan penyebutan berbeda dalam upacara
atau tradisi merayakan kelahiran seorang anak. Dalam etnis Muna menyebut tradisi
menyamput seorang anak yang baru lahir disebut pesta Kampua. Sebagai
perwujudan rasa sykur dan kegembiraan atas kelahiran seorang bayi. Dalam
pelaksanaanya tentu terdapat proses makan bersama yang dihadiri para tamu dan
sanak saudara. Tapi yang paling penting dalam acara tersebut yaitu doa-doa sebagai
bentuk keyakianan masyarakat pada Tuhan untuk mendapatkan keselamatan,
kesehatan, kebahagian terhadap pelaksana pesta Kampua. Terutama harapan pada
keselamatan dan hal-hal baik pada bayi yang dilahirkan.

Melihat perwujudannya itu pesta Kampua ini termasuk folklore dalam bentuk
setengah lisan sebab dalam prosesnya terdapat ritual-ritual dan seremonial lain yang
ditampilkan dalam acara pesta Kampua.

c.Pesta Katoba

Menurut Samsul dalam “Tradisi Lisan Kabhanti Modero Pada Masyarakat Muna Di
Sulawesi Tenggara” (2012) Pesta katoba adalah pesta pengislaman pada anak-anak
yang berusia kira-kira sebelas tahun atau mencapai umur kedewasaan.

Pesta Katoba ini dalam prosesnya melewati beberapa tahap yang harus dilakukan.
Pesta katoba ini juga syarat dengan nilai keyakinan atau kepercayaan yang masih
kental bagi masyarakat Muna. Sebab itulah dalam tradisi Katoba ini terdapat doa-doa
yang dibacakan. Serta terdapan seremonial yang harus dilakukan oleh pelaksana
tradisi ini. Pesta Katoba ini termasuk dalam folklore bentuk setengah lisan. Dengan
penyebaran atau pewarisannya dari mulut ke mulut. Artinya hanya menggunakan
bahasa lisan.

d.Pesta Karia

Menurut Samsul dalam “Tradisi Lisan Kabhanti Modero Pada Masyarakat Muna Di
Sulawesi Tenggara” (2012) Pesta Karia ini hanya dilakukan untuk anak-anak
perempuan menjelang umur dewasa, yaitu umur lima belas atau enam belas tahun.

Bila pesta Katoba dilakukan untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Sedangkan
tradisi Katoba ini dilakukan khusus untuk anak perempuan yang sudah mulai
dewasa. Namun terkadang tradisi ini dilakukan saat seorang anak perempuan akan
menikah.

Dalam prosesnya tentu sama halnya seperti tradisi-tradisi lain yang tidak bisa untuk
melewati nilai-nilai agamis. Dengan disertai doa-doa yang dipercayai akan
memberikan kebaikan kepada para pelaku atau orang yang melakukan tradisi Karia.
Dari pelaksanaanya tradisi Kari aini termasuk dalam folklor sebagian lisan.
e.Pesta Katisa

Menurut Samsul dalam “Tradisi Lisan Kabhanti Modero Pada Masyarakat Muna Di
Sulawesi Tenggara” (2012) Pesta katisa tidak dihadiri oleh seluruh penduduk. Hanya
orang-oran gtertentu yang diundang. Pesta ini dibuat oleh seseorang yang ingin
menanam.

Dalam prosesnya tentu sama halnya seperti tradisi-tradisi lain yang tidak bisa untuk
melewati nilai-nilai agamis. Dengan disertai doa-doa yang dipercayai akan
memberikan kebaikan dan keberkahan kepada para pelaku atau orang yang
melakukan tradisi Katisa. Dari pelaksanaanya tradisi Katisa ini termasuk dalam
folklor sebagian lisan.

f.Pesta Tunuhu

Menurut Samsul dalam “Tradisi Lisan Kabhanti Modero Pada Masyarakat Muna Di
Sulawesi Tenggara” (2012) Acara tunuha dilakukan pada waktu malam ketika
masyarakat (terutama petani) melakukan panen ubi kayu pada siang harinya.

Tradisi ini masih erat hubungannya dengan tradisi Katisa. Tradisi Tunuhu atau
disebut pesta Kunuhu ini merupakan syukuran setelah melakukan panen. Dalam
tradisi ini ini juga tidak lepas dari pembacaan doa-doa sebagai ungkapan syukur dan
ungkapan permohonan keingingaan atau harapan-harapan dari orang yang
merayakannya. Melihat proses dan bentuknya pesta Tanuhu ini merupakan folklore
bentuk setengah lisan.

h.Pesta Katumbu

Menurut Samsul dalam “Tradisi Lisan Kabhanti Modero Pada Masyarakat Muna Di
Sulawesi Tenggara” (2012) Pesta katumbu merupakan pesta makan yang
diselenggarakan untuk mereka yang membantu seseorang yang melakukan panen.
Tradisini

Tradisi ini masih erat hubungannya dengan tradisi Tunuhu. Tradisi Katumbu ini
merupakan syukuran setelah melakukan panen dan sebagai ungkapan terimakasih
kepada orang yang telah membantu panen. Dalam tradisi ini ini juga tidak lepas dari
pembacaan doa-doa sebagai ungkapan syukur dari orang yang merayakannya.
Melihat proses dan bentuknya pesta Katumbu ini merupakan folklor bentuk setengah
lisan.
i.Pesta Kabhongkasi

Dalam buku “Adat Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Tenggara “ (1978/1979)


menjelaskan bahwa Kabhongkasi adalah upacara pembacaan doa selamatan yang·
dilakukan 40 hari sesudah perkawinan Dewasa ini dilakukan 4 hari sesudah
perkawinan sebagai simbol waktu 40 hari.

Kabhongkasi merupakan tradisi yang dilakukan pasca acara perkawinan. Bila tradisi-
tradisi di atas telah dipaparkan tradisi pada tahap-tahap proses sebelum pernikahan.
Yaitu Ketika masih anak-anak atau belum melakukan proses perkawinan.
Sedangkan Kabhongkasi dilakukan setelah perkawinan. Ini dilakukan sebagai bentuk
syukuran dan doa keselamatan agar mendapatkan kebaikan dalam membangun
rumah tangga. Tradisi ini masuk folklore bentuk setengah lisan.

3.4 Analisis Foklor Moronene

a.Tari Limense

Menurut Hasaruddin dan Muhammad Ikbal dalam Tari Lumense : Makna Simbolik
Masyarakat Kabaena (Jurnal Pendidikan Sejarah Vol.VIII, No.1, Mei 2022)
menjelaskan bahwa Tari Lumense dilakukan dalam ritual pe-olia, yaitu ritual
penyembahan kepada roh halus yang disebut kowonuano (penguasa/pemilik negeri)
dengan menyajikan berbagai aneka jenis makanan.

Dahulu Tari Lumense hanya ditampilkan dalam upacara ritual adat yang sangat
sakral sekali. Tari ini bertujuan untuk menolak bala atau menangkal penyakit dan
bencana. Dalam pelaksanaanya para penari akan diirinya musik dari awal hingga
akhir. Pada bagian penutup penari akan menebas pohon pisang yang dijadikan
syarat dalam tari lumense ini.

Tapi Tari Lumense kini mengalami perubaha mengenai tujuan atau fungsinya. Bila
dahulu sebagaii sarana atau media dalam ritual adat. Kini fungsinya hanya sebatas
hiburan (rekreatif). Di luar itu tari Lumense dalam perwujudannya tidak mengalami
perubahan. Seperti terdapat iringan musik, adanya pohon pisang sebagai properti,
atau adanya prosesi menebas pohon pisang masih ada.

Dari ciri-ciri yang melekat pada tari Lumense, tarian ini masuk kategori folklor dalam
bentuk sebagian lisan. Dalam pewarisannya atau penyebarannya itu melalui mulut
ke mulut tidak melalui bahasa tulis. Sedangkan dalam perwujudannya sepenuhnya
menggunakan gerakan tubuh dan alunan musik. Ini menandakan bahwa Tarian
Lumense merupakan folklor dalam bentuk Sebagian lisan.

b.Bahasa Moronene

Dalam Struktur Bahasa Moronene (1991:1) menjelaskan bahwa Nama "Moronene"


dalam kaitan dengan bahasa Moronene diturunkan dan nama suku bangsa yang
dahulunya terhimpun dalam satu wadah kerajaan yaitu kerajaan Moronene.

Dalam bahasa Moronene ini terdapat sifat kolektif atau milik bersama. Artinya
bahasa Moronene merupakan salah satu identitas dari suku Moronene. Sebagai
media dalam menjalankan interaksi sosial. Keberadaan atau eksistensinya masih
tetap bertahan hingga kini sebagai bahasa aseli suku Moronene. Dengan
penyebaran atau pewarisannya melalui mulut ke mulut menggunakan bahasa lisan.
Serta dalam perwujudannya hanya menggunakan lisan. Itu menunjukan bahasa ini
merupakan folklor dalam bentuk lisan.

c.Ritual Adat Mo’ooli

Asep Sunandar, La Ode Dirman, dan Nurtikawati Dalam “ Tuturan Ritual Mo’ooli
Pada Pembukaan Lahan Baru Perladangan Masyarakat Moronene Desa Hukaea-
Laeya Kecamatan Lantari Jaya Kabupaten Bombana “ (2018). Menjelaskan bahwa
Ritual adat Mo’ooli adalah pembukaan kawasan lahan baru pada saat masa
bercocok tanam.

Ritual Mo’ooli ini dilakukan masyarakat Moronene biasanya di kebun atau di hutan
sebagai bentuk keyakinan atau kepercayaan untuk menolak bala.atau bencana.Bila
megacu pada penjelasan yang dipaparkan di atas. Ritual Mo’ooli ini merupakan
folklor dalam bentuk lisan. Dalam perwujudannya ritual Mo’ooli ini menggunakan
lisan sebagai media utama untuk menjalankan prosesnya. Dengan dipandu orang
yang dianggap memahami cara atau doa-doa dalam proses ritual Mo’ooli ini.
d.Ungkapan Tradisional Suku Moronene

Dalam buku “ Ungkapan Dalam Perkawinan Adat Suku Moronene ” (2008: 21-22)
Rambe (1993:21) menjelaskan mengenai perkawinan Moronene. Dalam perkawinan
suku Moronene dikenal beberapa istilah, yaitu: mesinca, medu/u, mesalako,
mesampora, merapi, mesalaica, dan mesamotu'a.

Ungkapan tradisional ini dilakukan dalam upacara perkawinan. Dalam pelaksanaan


atau perwujudannya ungkapan-ungkapan tersebut dilakukan secara sistematis.
Sebab itu menunjukan tahapan-tahapan dalam proses perkawinan masyarakat suku
Moronene. Dalam perwujudannya ungkapan ini menggunakan bahasa lisan sebagai
media utamanya.Hal itu menunjukan ungkapan tradisional suku Moronene ini
merupakan folklore dalam bentuk lisan.

Dalam penyebaran atau pewarisannya ungkapan tradisioanal suku Moronene ini


dilakukan dari mulut ke mulut sebagai usaha dalam memlestarikan dan
mempertahankan ungkapan tradisional suku Moronene. Ungkapan-ungkapan ini
tidak berupa bahasa tulis jadi dilakukan hanya melalui bahasa lisan.Kini ungkapan-
ungkapan itu masih terdengar dalam proses perkawinan suku Moronene.

e.Tradisi Mohuletako Alo

Anwar , Amal Arfan, dan Erman Syarif dalam “Tradisi Adat Kawi’a Masyarakat Suku
Moronene Di Kecamatan Tradisi Poleang Utara Kabupaten Bombana “ Tahap
pascaperkawinan disebut Mohuletako Alo. Mohuletako Alo artinya mengantar kedua
pengantin ke rumah orang tua pengantin laki-laki setelah acara pernikahan
berlangsung dengan waktu yang sudah disepakati sebelumnya oleh kedua keluarga.

Tradisi ini dilakukan setelah perayaan perkawinan selesai. Dilakukan atas dasar
kesepakatan antara kedua keluarga. Terutamanya kesepakatan dari mempelai
pengantin. Dalam perwujudaanya tentu tidak lepas dari keyakinan untuk
memanjatkan doa-doa serta terdapat acara makan bersama. Disini tentu tidak hanya
dilakukan hanya menggunakan lisan sebagai medianya Terdapat tahap-tahap dan
syarat-syarat yang biasa dilakukan dalam tradisi Mahuletako Alo. Tentunya didasari
kesepakatan dari kedua keluarga. Maka melihat dari bentuk dan perwujudannya
tradisi Mahuletako Alo ini merupakan folklor dalam bentuk setengah lisan. Sebab
seperti yang sudah dijelaskan di atas dalam perwujudaanya tidak sebatas hanya
menggunakan bahasa lisan.
3.5 Analilis Folklor Mekongga

a. Tuturan Tolea

Menurut Sultan, Tadjuddin Maknun, Ikhwan M. Said dalam “ Tuturan Tolea Dalam
Ritual Pesta Adat Mosehe Wonua Suku Tolaki Mekongga di Kabupaten Kolaka :
Tinjauan Semiotika “ ( Jurnal Budaya UNHAS Vol.6 No.2, Desember 2018)
menjelaskan Tuturan Tolea dalam tradisi mosehe wanua masyarakat Tolaki di
Mekongga Sulawesi Tenggara yakni tuturan pembuka, tuturan inti dan tuturan
penutup.

Bila mengacu pada isi dari Tuturan Tolea ini ada beberapa ciri yang menunjukan
bahwa Tuturan Tolea merupakan Folklor dalam bentuk lisan. Diantara ciri yang
melekat pada Tuturan Tolea sebagai berikut :

Pertama, Tuturan Tolea penyebaran atau pewarisannya melalui bahasa lisan. Artinya
disampaikan dari mulut ke mulut dalam pewarisannya. Disampaikan dari satu
generasi ke generasi berikutnya.

Kedua, Tuturan Tolea bersifat tradisional artinya disebarkan dalam bentuk relatif
tetap atau standar. Serta menggunakan bahasa yang sudah lama digunakan dan
tidak menggunakan bahasa kekinian yang merupakan produk budaya popular.

Ketiga, Tuturan Tolea bersifat kolektif dan milik bersama dalam kehidupan etnis
Tolaki.

Keempat, Tuturan Tolea dalam perwujudannya menggunakan seutuhnya bahasa


lisan dan tidak disertai tarian, music, atau dramatisai. Maka dalam ciri yang satu ini
membuktikan bahawa Tuturan Tolea ini merupakan folklore dalam bentuk lisan.
Bab 4

Penutup

4.1 Kesimpulan

Dari pemaparan di atas tentang ragam bentuk folklor dari lima etnis, yaitu dari etnis
Tolaki, Buton, Muna, Moronene, dan Mekongga. Terdapat kesamaan satu nilai yang
tidak pernah dipisahkan dalam setiap acara atau ritualnya. Nilai yang selalu ada
dalam berbagai acara atau kegitan adalah nilai religius atau kepercayaan yang
melekat pada etnis tersebut.

Kedua dari beberapa etis tersebut ada yang memiliki kesamaan bentuk folklornya,
seperti misalnya folklor di etnis Buton dan etnis Muna memiliki kesamaan. Hal itu
disebabkan kedua daerah etnis ini secara geografis memiliki kedekatan. Bukan
hanya itu etnis Buton dan etnis Muna memiliki kedekatan secara emosial. Karena
adanya akulturasi budaya dari kedua etnis tersebut.

Selain dua etnis Buton dan etnis Muna yang memiliki kesamaan mengenai beberapa
folklore, etnis Tolaki dan etnis Menkongga juga memiliki kesamaana. Sebab kedua
etnis ini memang berada dalam wilayah yang sama. Bahkan bila disusur secara
genetik dan sejarah etnis Tolaki dan etnis Mekongga beralah dari kelompok etnis
yang sama. Wajar bila secara umum menyebut kedua etnis ini sebagai etnis Tolaki.
Kedua etnis ini juga memiliki kesamaan folklore yang terus tumbuh dan berkembang
hingga kini. Salah satu kesamaanya yaitu folklore dalam bentuk lisan yang berupa
dongeng, cerita rakyat, atau puisi.

4.2 Saran

Dalam kemajuan zaman yang disertai arus kuat globalisasi diberbagai bidang dan
budaya popular semakin menjamur di berbagai daerah. Menyebabkan ancaman bagi
keberadaan atau keberlangsungan folklor yang sudah ada sejak lama. Sebab tidak
bisa dipungkiri paradigma generasi saat ini menilai produk popular atau kotemporer
sebagai budaya yang lebih baik dibandikan produk budaya lokal yang sudah sejak
lama itu ada.

Sehingga untuk mempertahankan dan menjaga eksistensinya, berbagai pihak perlu


adanya konservasi budaya (folklore). Tentunya untuk mewujudkannya diperlukan
kejasama dari berbagai pihak atau elemen masyarakat. Baik itu dari pihak
pemerintah sebagai pemangku kebijakan yang diharapkan dapat melindungi hak-hak
dan keberadaan folklor itu sendiri. Serta dari pihak-pihak pemerhati dan pelaku
folklore itu sendiri untuk terus menanamkan dan mengajarkan kepada generasi
muda mengenai folklor-folklor yang ada di daerah masing-masing. Bagi pihak
akademis tentunya sudah semestinya terus melakukan pengkajian atau penelitian
untuk selanjutnya dipublikasi sebagai media pengetahuan atau pembelajaran bagi
peserta didiknya.

4.3 Rekomendasi

Sebagai bentuk konkrit dalam menjaga eksistensi folklor yang merupakan produk
kebudayaan lokal sudah semestinya ilmu dan pengetahuan dimasukan dalam
kurikulum di tingkat sekolah berdasarkan daerahnya masing-masing. Agar para
pelajar dapat mengenal dan memiliki rasa kepedulian terhadap budayanya sendiri.
Sehingga folklore dengan sendirinya akan tetap eksis dan berkembang di tengah
kehidupan masyarakat yang terus disuguhi budaya popular.
Daftar Pustaka

Badara, Aris dan Dinar, Sri Suryana.2020.Sastra Lisan (Mosehe, Moanggo, Kinoho
dan Nyanyian Rakyat) : ‘Harta Karun’ Orang Tolaki. Kendari : Universitas Halu Oleo
Press

https://digilibadmin.unismuh.ac.id/upload/4858-Full_Text.pdf

https://proceedings.ums.ac.id/index.php/snpbs/article/view/475/469

https://lontar.ui.ac.id/detail?id=20304110&lokasi=loka

https://ejournal.lppmunidayan.ac.id/index.php/sejarah/article/view/
761/602

Muntalib, Abdul, Johane F.Pattiasina, Adanan Usmar, dan Rambe. 1991.


Struktur Bahasa Moronene. Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.

Lakembo, Berthyn, Zet Meusu, A Mulku Zahari, La Ode Ibu, dan Hasanudin.
1978. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Tenggara.Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

http://journal.fib.uho.ac.id/index.php/lisani/article/view/852/675

Asri.2008. Ungkapan Dalam Perkawinan Adat Suku Moronene. Jakarta : Pusat


Bahasa Departemen Pendidikan Nasional

http://eprints.unm.ac.id/13232/1/ARTIKEL%20ANWAR.pdf

Anda mungkin juga menyukai