Sumber 1:
Buku Ajar Mata Kuliah Folklor ( 2018) Deepublish, Yogyakarta oleh Lira Hayu
Afdetis Mana, Mpd & Samsiarni, S.S. M. Hum.
Istilah Folklor berasal dari kata Inggris folklore yang merupakan gabungan dari dua
kata yakni folk dan loer. Folk adalah kolektif sedangkan lore artinya tradisi yang
dimiliki oleh folk.
Menurut Alanda Dundes (Ahli Folklor Amerika), folk adalah sekelompok orang yang
memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan
dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri pengenal itu antara lain: warna kulit, rambut,
mata percaharian, bahasa, taraf pendidikan, dan agama yang sama. Namun, lebih
penting mereka memiliki satu tradisi, yakni kebudayaan yang telah mereka warisi
secara turun-temurun, sedikitnya dua generasi. (Danandjaya, dalam Buku Ajar Mata
Kuliah Folklor, 2018).
Folklor menurut Danandjaya, adalah sebagai kebudayaan suatu kolektif yang tersebar
dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara
tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang
disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic device).
Istilah Folklor pertama kali berkembang setelah William John Thoms, seorang ahli
kebudayaan antic dari Inggirs yang mengumumkan artikelnya dalam majalah
Athenaeum No. 982 tanggal 22 Agustus 1846, dengan mempergunakan nama samara
Ambrose Mertin Danandjaya.
Thoms menciptakan istilah folklore tersebut untuk sopan santun Inggris, takhayul,
balada, dan tentang masa lampu. Sejak saat itulah foklor menjadi bagian baru dalam
kebudayaan. Kajian folklore difokuskan kepada masalah kepercayaan rakyat, adat
kebiasaan, pengetahuan rakyat, bahasa rakyat (dialek), kesusastraan rakya, nyanyiaan
dan musik rakyat, tarian dan drama rakyat, kesenian rakyat serta pakaian rakyat.
Sumber 2:
Bentuk-bentuk Folklor
1. Folklor estorik, artinya sesuatu yang memiliki sifat yang hanya dapat dimengerti oleh
sebagian orang saja. Misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan kekuataan gaib.
2. Folklor Eksoterik, adalah sesuatu yang dapat dimengerti oleh umum tidak terbatas oleh
kolektif tertentu, misalnya cerita rakyat.
3. Folklor populer, artinya folklore yang sederhana tetapi banyak diminati orang, mudah
dihafal dan melekat di hati, tetapi biasanya berusia pendek.
4. Folklor serius atau sakral, makna dan fungsinya bertahan lama (Warsito, 2019)
Menurut Bruvand dalam Warsito (2019), membagi bentuk folklore menjadi tiga
kelompok yakni folklore lisan (verbal folklore), folklore sebagian lisan (partly verbal),
folklore bukan lisan (non verbal folklore).
a. Bentuk-bentuk Folklor lisan:
1. Bahasa Rakyat seperti logat, julukan, gelar, bahasa rahasia, dsb.
2. Ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah.
3. Pernyataan tradisional seperti teka-teki.
4. Cerita prosa rakyat.
5. Puisi rakyatseperti pantun, syair, bidal, pameo.
6. Nyanyian rakyat.
b. Bentuk-bentuk folklore sebagian lisan:
1. Kepercayaan dan takhayul
2. Permainan dan hiburan rakyat
3. Teater rakyat seperti wayang orang jawa, ludruk, lenong.
4. Tari rakyat
5. Adat kebiasaan seperti khitan, gotong royong.
6. 6. Upacara-upacara keagamaan
7. Pesta rakyat, seperti selamatan, upacara hari besar.
c. Folklor bukan lisan terbagi menjadi dua kelompok yakni, metarial dan bukan
material.
Folklor bukan lisan kelompok material terdiri dari arsitektur rakyat (bentuk rumah
adat. bentuk lumbung pagi, dsb), kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan
tubuh adat, makanan, minuman rakyat dan obat-obatan.
Sedangkan folklore bukan lisan kelompok bukan material terdiri dari gerak isyarat
tradisional, bunyi isyarat untuk kemunikasi rakyat seperti kentongan tanda bahaya
atau musik rakyat.
Tradisi Lisan
Tradisi lisan adalah pesan yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya
atau secara temurun. Disampaikan melalui tutur (ucapan), pidato, nyanyian/lagu,
pantun, cerita rakyat, nasihat, dan balada. Jan Vansina mendefinisikan tradisi lisan
sebagai kesaksian yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi.
https://simdapokbud.banjarkab.go.id/tradisi-lisan