Anda di halaman 1dari 17

PERSPEKTIF TEORI FOLKLOR

Disusun oleh:
I Kadek Agus Andita
Anisa Ohoirenan
Izzatul Umma Liembun
Kata Pengantar

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat, bimbingan serta pertolongan-Nya sehingga makalah Perspektif Teori Folklor ini
dapat diselesaikan. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas sebagai salah satu syarat
ketuntasan dalam mata kuliah Folklor dan Tradisi Lisan. Diharapkan dengan adanya makalah
ini dapat meningkatkan penguasaan materi kami dalam kelompok juga pembaca makalah.
Akhirnya, dengan menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, kepada para
pembaca, kami selalu mengharapkan sumbangan saran yang membangun untuk
penyempurnaan makalah ini.

September 2021

Penulis
BAB 1
Pendahuluan

Latar Belakang
Negara Indonesia memiliki keanekaragaman budaya dan kekayaan bahasa yang sangat
banyak, dengan kekhasan yang berbeda satu sama lain, dan ketika keanekaragaman dan
kekayaan itu menyatu menjadi satu bangsa, maka yang muncul adalah sebuah keindahan.
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki keragaman budaya, ras, suku bangsa,
kepercayaan, agama, dan bahasa. Terdapat sekitar 13.667 pulau besar dan kecil, 400 suku
bangsa, dan ratusan bahasa lokal.
Keragaman budaya bisa diamati dari bentuk-bentuk kebudayaan khasnya seperti adat istiadat,
rumat adat, upacara adat, tarian daerah, dan alat musik daerah. Keragaman budaya Indonesia
merupakan potensi bagi pengembangan budaya nasional yang memiliki keunikan sekaligus
menyiratkan kekhasan masing-masing budaya di setiap daerah. Adanya keragaman jenis suku
bangsa membuat Indonesia juga memiliki banyak sekali kebudayaan lokal, salah satunya
adalah folklor.
Kata folklor merupakan pengindonesiaan dari kata Inggris folklore. Folklor terdiri atas dua
kata besar, yaitu folk dan lore. Folk memiliki arti sekelompok orang yang mempunyai ciri-
ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga bisa dibedakan dari kelompok lainnya.
Ciri-ciri pengenal tersebut dapat berupa warna kulit, rambut, mata pencarian, bahasa, agama.
Folk juga bisa diartikan sebagai kolektif masyarakat. Sementara lore memiliki arti tradisi
yang dimiliki oleh folk. Tradisi tersebut diwariskan secara turun menurun, paling tidak dua
generasi.
Kebudayaan folklor tersebut bisa berbeda-beda versinya, bisa berbentuk lisan, perbuatan,
maupun alat-alat pembantu pengingat. Folklor merupakan salah bidang kajian dalam Ilmu
Antropologi. Folklor meliputi legenda, musik, sejarah lisan, pepatah, lelucon, takhayul,
dongeng, dan kebiasaan yang menjadi tradisi dalam suatu budaya, subkultur, atau kelompok.
Folklore, yang pertama kali dikemukakan oleh sejarawan Inggris William Thoms dalam
sebuah surat yang diterbitkan oleh London Journal pada tahun 1846.
Berdasarkan pendapat Jan Harold Brunvand, seorang ahli folklor Amerika Serikat, folklor
dibagi ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan,
dan bukan lisan.
Adapun fungsi folklor, yaitu sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-
angan suatu kolektif; sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga
kebudayaan; sebagai alat pendidik anak; dan sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-
norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
BAB 2
Pembahasan

Folklor berasal dari kata folk dan lore. Folk diartikan sebagai ‘rakyat’, bangsa atau kelompok
orang yang memiliki ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan, sedangkan lore adalah adat
serta khasanah pengetahuan yang diwariskan turun temurun lewat tutur kata, contoh atau
perbuatan.

Menurut Danandjaja (2007:3)


Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-
temurun diantara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik
untuk lisan maupunncintoh yang disertai gerakan isyarat atau alat pembantu pengingat.
Intinya hanya yang berbentuk lisan dan contoh disertai gerak isyarat diwariskan secara turun-
temurun. Menurut Danandjaja (1983), bahwa bagian budaya yang disebut folklor itu dapat
berupa bahasa rakyat, ungkapan tradisional, teka-teki (pertanyaan tradisional), sajak dan puisi
rakyat, cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng (lelucon dan anekdot),
nyanyian rakyat, teater rakyat, permainan rakyat, kepercayaan, seni rupa rakyat, musik rakyat
dan gerak isyarat.

Allan Dundes (2007:54)


Folklor merupakan cermin atau bayangan yang menginformasikan budaya dan sejarah suatu
kelompok dan sebagai penanda identitas sosial sebuah kelompok. Dengan demikian kita
dapat mengetahui peradaban, sejarah dan identitas sosial sebuah kelompok sosial atau
masyarakat masa lalu atau nenek moyang masyarakat tertentu dari folklor yang kita dapatkan
sekarang. Folklor merupakan sebuah refleksi berbagai kondisi dan nilai-nilai budaya.
Artinya, folklor menginformasikan kondisi atau keadaan dan nilai-nilai budaya sebuah
kelompok masyarakat masa lalu. Folklor sebagai disiplin ilmu yang mandiri dapat dikaji atau
sebagai objek kajian berbagai disiplin ilmu, diantaranya ilmu sastra dan ilmu budaya.
Prinsipnya sebuah objek boleh diteliti oleh beberapa orang agar tidak sama masalahnya.
Yang membedakan masalah penelitian ialah tujuan penelitian dan yang membedakan tujuan
penelitian adalah kepentingan. Kemudian yang membedakan kepentingan adalah keilmuan.

Valdimir Propp (1997:3)


Folklor sebagai sebuah disiplin ilmu tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip hidup dan
kehidupan sekelompok orang. Maksudnya apa yang sekelompok orang pikirkan dan ciptakan
pada masa silam, terus-menerus dipertahankan oleh generasi berikutnya, itulah folklor.
Folklor juga tidak terlepas dari prinsip, kepercayaan, cara pandang atau falsafah, kepentingan
dan cita-cita sekelompok orang. Folklor adalah hasil penciptaan yang sangat alami namun
diatur oleh kaidah-kaidah (aturan) yang hanya dipahami oleh para ahlinya, seperti pada
folklor lisan. Menurut Propp (1997:14), folklor adalah permulaan sastra atau sederhananya,
folklor terlebih dahulu ada sebelum sastra. Terutama folklor lisan seperti mitos, legenda dan
dongeng. Propp berpendapat bahwa folklor seperti seni pada umumnya tidak sekedar
memiliki keindahan tetapi juga mempunyai pesan-pesan yang ingin disampaikan dari
pencipta kepada pendengar atau pemiliknya. Untuk menemukan pesan-pesan tersebut, harus
memakai ilmunya yaitu ilmu folklor. Begitu pula pada folklor lisan khususnya, folklor
setengah lisan dan folklor bukan lisan pada umumnya. Propp juga membedakan folklor
dengan karya sastra. Folklor memounyai tata bentuk kata dan struktur khusus yang tidak
dimiliki karya sastra. Selain itu folklor memiliki unsur-unsur khusus seperti paralelisme,
pengulangan, dan lainnya selain bahasa-bahasa puitis seperti simile, metafora dan epipet yang
berbeda dengan yang biasa ada dalam karya sastra.

Levi Strauss (putra, 2001:92)


Folklor adalah media untuk menyampaikan pesan. Pesan-pesan yang disampaikan dalam
folklor yakni pesan-pesan sebuah kelompok masyarakat sama silam kepada generasi
sekarang. Perbedaannya adalah karya sastra menyampaikan pesan seorang pengarang,
sedangkan folklor menyampaikan pesan sekelompok orang. Hal tersebut karena karya sastra
milik individual sedangkan folklor milik komunal atau kelompok sosial. Dengan demikian,
dalam folklor tidak tercantum nama penciptanya melainkan nama kelompok pemiliknya.

Danandjaja (2007:3-4) memberikan batasan folklor


1. Penyebaran dan pewarisan folklor dilakukan secara lisan turun-temurun dari mulut ke
mulut. Zaman sekarang sudah banyak dilakukan secara tertulis dan rekam untuk
menjaga agar folklor tetap bertahan dan tidak mudah berubah.
2. Folklor bersifat tradisional, disebarkan dalam bentuk relatif tetap dalam waktu yang
cukup lama, minimal dua generasi.
3. Folklor ada dalam versi yang berbeda-beda atau terdiri atas berbagai varian. Hal ini
terjadi karena penyebarannya dari mulut ke mulut dalam situasi dan kondisi yang
berbeda-beda.
4. Folklor bersifat anonime. Folklor tidak diketahui penciptanya secara individual karena
folklor memiliki komunal atau masyarakat dan kalau jelas tercantum penciptanya, itu
bukan lagi folklor.
5. Folklor memiliki bentuk berumus atau berpola yang tetap pada folklor lisan seperti
cerita, terdapat rumus-rumus atau pola yang tetap.

Perspektif folklor dalam kehidupan masyarakat


Perkembangan folklor dalam kehidupan masyarakat, merupakan perwujudan dari usaha dan
cara-cara kelompok tersebut dalam memahami serta menjelaskan realitas lingkungannya,
yang disesuaikan dengan situasi alam pikiran masyarakat di suatu zaman tertentu. Alam
pikiran masyarakat yang dipandang sebagai lahan paling subur bagi berkembangnya
pemikiran seperti itu, menurut Peursen (1976), adalah alam pikiran mistis. Alam pikiran
mistis sangat menjiwai (mendasari) tradisi lisan masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu
sampai sekarang. Menurut Iskandar, dkk (2004) trandisi lisan melukiskan kondisi fakta
mental tradisi masyarakat yang mendukungnya, simbol identitas bersama masyarakatnya
sehingga menjadi simbol solidaritas dari masyarakatnya, dan menjadi alat legitimasi bagi
keberadaan suatu kolektif, baik sebuah marga, masyarakat maupun suku bangsa. Cara
masyarakat menjelaskan atau memahami realitas seperti di atas, bukan merupakan suatu
kesengajaan untuk mengacaukan fakta dengan khayalan, tetapi memang merupakan suatu
cara dalam menangkap realitas sesuai dengan alam pikiran mereka. Oleh karena itu, tradisi
lisan dalam suatu masyarakat bisa beragam bentuknya, tegantung masyarakat yang
mendukungnya.

Perspektif dalam penelitian folklor


A. Perspektif Humanistik dan Holistik
Humanistik adalah salah satu pendekatan atau aliran dari psikologi yang menekankan
kehendak bebas, pertumbuhan pribadi, kegembiraan, kemampuan untuk pulih kembali setelah
mengalami ketidakbahagiaan, serta keberhasilan dalam merealisasikan potensi manusia. teori
humanistik dipandang sebagai alternatif kekuatan ketiga dari kedua kekuatan teori yang
sepanjang sejarah selalu menjadi teori yang dominan yaitu psikoanalisis dan behavioristik.
Teori ini dinamakan humanistik karena memfokuskan diri secara khusus pada tingkah laku
manusia. Menurut Yusuf Syamsu (2007, 141) teori humanistik dapat diartikan sebagai
orientasi bersifat teoritis yang menekankan kepada keunikan kualitas manusia khususnya
berhubungan dengan free will atau kehendak bebas dan potensi untuk mengembangkan diri.
Para ahli humanistik tidak mempunyai keyakinan bahwa manusia bisa mempelajari sesuatu
dengan melakukan penelitian terhadap binatang. Para ahli teori teori humanistik meyakini
beberapa hal yaitu Manusia memang mempunyai dorongan bawaan untuk mengembangkan
diri. Manusia mempunyai kebebasan untuk merancang dan mengembangkan tingkah lakunya,
dan bukan merupakan pion yang diatur sepenuhnya oleh lingkungannya. Manusia merupakan
makhluk rasional yang sadar dan tidak dikuasai oleh ketidaksadaran, kebutuhan irasional dan
konflik.
Menurut Abraham Maslow, adanya rasa takut pada diri masing – masing individu sekaligus
juga adanya dorongan untuk menjadi lebih maju dan memaksimalkan potensinya, percaya
diri menghadapi dunia luar dan juga bisa menerima dirinya sendiri.
Tingkat pertama (Kebutuhan Fisiologis)
Kebutuhan paling dasar yaitu kebutuhan yang harus dipenuhi pertama kali dan paling
mendesak karena berkaitan langsung dengan pemeliharaan biologis manusia dan juga
kelangsungan hidupnya. Antara lain kebutuhan akan makanan, air, tidur, tempat untuk
tinggal, seksual, dan bebas dari rasa sakit.
Tingkat kedua
Kebutuhan tingkat berikut akan muncul apabila kebutuhan tingkat pertama telah terpenuhi.
Kebutuhan akan adaya keselamatan, keamanan, dan bebas dari ancaman bahaya atau resiko
kerugian berupa jaminan keselamatan dari lingkungannya.
Tingkat ketiga
Kebutuhan untuk mencintai dan memiliki seseorang yang cakupannya untuk membina
keintiman atau kedekatan dengan orang lain, persahabatan, dan adanya dukungan. Kebutuhan
ini akan mendorong individu untuk menjalin hubungan secara afektif dan emosional dengan
individu lainnya, baik lawan jenis ataupun sesama jenis, dalam lingkungan keluarga maupun
di dalam masyarakat.
Tingkat keempat
Kebutuhan yang berkaitan dengan harga diri, berupa kebutuhan untuk mendapatkan rasa
hormat dan penghargaan dari diri sendiri dan juga dari orang lain. Seseorang perlu
mengetahui bahwa dirinya berharga dan dapat mengatasi berbagai tantangan yang ada dalam
kehidupannya.
Tingkat tertinggi
Berupa aktualisasi diri yaitu individu yang telah mencapai pemenuhan semua kebutuhan dan
telah mengembangkan potensi dirinya secara keseluruhan, adanya kebutuhan akan
kecantikan, kebenaran dan keadilan sesuai dengan keinginan dan potensi yang dia miliki.
Individu yang sudah mencapai tahap aktualisasi diri berarti telah menjadi manusia seutuhnya
dan mampu memenuhi kebutuhan – kebutuhan yang bagi orang lain tidak pernah terlihat.
B. Perspektif Etnopuitika
Etnopuitika merupakan perpaduan disiplin ilmu linguistik, sastra lisan folklor, dan antroplogi.
Kemenonjolan peran masing-masing disiplin ilmu tersebut sangat tergantung pada latar
belakang kemampuan utama pengguna ilmu etnoputika. Misalnya, apabila pengguna
memiliki latar belakang akademis linguistik, kajian etnopuitika menitikberatkan sudut
pandang utama dari bidang linguistik.
Menurut A Effendi Kadarisman 2001:7-11, ada beberapa ciri etnopuitika, yang pertama
etnopuitika berfokus pada verbal art performance. Etnopuitika dapat dipandang sebagai
“puitika-pentas” yang merupakan titik temu dari berbagai disiplin, seperti linguistik,
antropologi, sastra lisan dan folklor. Kedua etnopuitika berusaha mempelajari makna pentas
sastra serta implikasinya dengan memahami terlebih dahulu pengetahuan lokal. Artinya
sekelompok budaya atau komunitas penutur bahasa memiliki ciri-ciri lokal yang khas, yang
tidak terdapat pada kelompok budaya atau komunitas penutur lainnya. Ketiga, ciri khas
budaya lokal harus dikenal secara baik oleh peneliti agar dapat memberikan deskripsi yang
memadai adequate description terhadap penelitiannya di bidang etnopuitika. Keempat,
pemahaman pengetahuan lokal merupakan prasyarat yang tidak dapat ditinggalkan oleh
peneliti di bidang etnopuitika. Kelima, warna lokal merupakan faktor sangat penting dan
menentukan dalam studi etnopuitika. Keenam, pentas menjadi bagian utama dari objek studi
etnopuitika.
Sapir whorf menyatakan bahwa setiap bahasa, sebagai alat ekspresi budaya dan sastra,
memiliki kekhasan masing- masing.
C. Perspektif Naturalistik
Penelitian kebudayaan Naturalistik lebih banyak ke arah penelitian lapangan dan penafsiran
sebuah fenomena. Dimana data yang akan dihasilkan adalah data kualitatif dalam bentuk
deskripsi objek yang diteliti. Naturalistik berarti mempelajari fenomena yang eksis karena
didefinisikan sebagai riil. Misal, definisi situasi, makna yang dikonstruksi secara sosial, atau
diitrepetasi atas kejadian atau lembaga sosial. Posisi peneliti naturalistik dalam melakukan
penelitianya berada dalam posisi sebagai orang asing (stranger). Asumsi seperti ini tidak
berati seorang peneliti hanya sekedar penonton yang tidak boleh mengganggu pihak yang
diamati melainkan si peneliti dapat membaur dengan pihak yang diamati namun dengan tanpa
memihak.
Peneliti naturalistik tidak banyak beropini tapi melakukan penelitianya secara natural. Yang
perlu dilakukan peneliti naturalistik dalam penelitianya ialah sengan cara melakukan
wawancara, pemetaan lokasi, dan analisis artefak, serta merekan apa yang terjadi pada
realitas budaya. Naturalistik lebih mampu melukis fenomena budaya secara alamiah (sebagai
mana adanya / baik fenomena yang teramati ataupun yang sulit teramati.
D. Perspektif Pragmatik
pragmatisme merupakan ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan.
Kriteria kebenarannya yaitu “faedah” /“manfaat”. Suatu teori /hipotesis dianggap oleh
pragmatisme benar jika membawa suatu hasil. Maksudnya yaitu suatu teori adalah benar jika
teori itu bisa diterapkan. Pragmatisme itu sendiri mulai dirintis di Amerika oleh Charles S.
Peirce (1839-1942), lalu dikembangkan oleh William James (1842-1910) serta John Dewey
(1859-1952). Adapun contoh dari persfektif pragmatis yaitu Teori Persepsi Antarpribadi.
Berbagai prinsip pragmatika (umumnya) secara langsung lebih banyak berasal dari teori
sistem umum. (general system theory), campuran , mutidisipliner,dari asumsi, konsep dan
prinsip-prinsip.
Mesarovic dan Wymore,menganggap bahwa teori sistem merupakan “teori formal”.
Churchman lebih mengartikannya sebagai “pendekatan sistem”. Prespektif Pragmatis
menyajikan alternatif paradigm yang sifatnya berbeda jika dibandingkan dengan ketiga
prespektif yang lain. Prespektif ini sama sekali tidak mencerminkan aliran utama dalam
perilaku dari teori maupun pengkajian yang terdapat di dalam masyarakat ilmiah komunikasi
manusia, dalam prosedurnya, implikasi prespektif meliputi :
1. Ekternalisasi
Perhatian komunikasi berpusat pada perilaku, sehingga ungkapan klise yang ada
hubungannya dengan komunikasi, mulai menerima makna yang baru.
2. Probabilitas stokatis
Yaitu analisis data penelitian dalam ilmu-ilmu sosial yang mempergunakan tatistika
inferensial serta seringkali desain-desain ekperimental.
3. Analisis kualitatif
Pedoman analisis kualitatif diarahkan agar dapat menyamakan analisis kualitatif dengan
setting serta metode lapangan. Dalam penelitian fenomena social biasanya memakai analisis
kualitatif ini yang gunanya untuk penelitan berbagai masalah sosial. Bagian ini
menggambarkan (secara garis besar) beberapa masalah kualitatif yang sifatnya penting.
Analisis kualitatif di dalam sistem komunikasi (secara jelas) adalah metodologi penelitian
yang utama yang ditekankan dalam rangka prespektif pragmatis. Analisis kualitatif meliputi
pengelompokan semua tindak komunikasi yang dilaksanakan oleh perilaku komunikatif

4. Konfleksitas konsep waktu


Prespektif pragmatis dalam kerangkanya, waktu menjadi lebih kompleks serta menjadi
bagian intergral di dalam komunikasi manusia. Prespektif ini, lebih mengandalkan konsep
waktu.
Komplektualisasi waktu (prespektif pragmatis) merupakan sebagai konsep yang mempunyai
kompleksifitas yang lebih besar. Berkenaan dengan waktu yang konstan secara fisik.
Contohnya saja , 1 menit = 6- detik . Di dalam perspektif pragmatis komunikasi manusia,
waktu lebih cepat berjalan serta lambat. Ketika kita berbicara dengan seorang teman dekat,
maka waktu terasa begitu pendek dan cepat . Sedangkan ketika berbincang dengan seorang
teman yang membosankan maka waktu yang dirasakan yaitu begitu lama.
5. Komunikasi interpersonal massa
Dalam Komunikasi manusia , prespektif pragmatis bertindak sebagai kerangka guna
mempersatukan berbagai pendekatan komunikasi yang berlainan.
E. Perspektif Fenomologi
Fenomenologi lebih mengedepankan rasionalisme dan realitas budaya yang ada yang sejalan
dengan penelitian etnografi yang menitikberatkan pandangan warga setempat. Realitas
dipandang lebih penting dan dominan dibanding teori-teori semata. Memahami budaya lewat
pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Tindakan sosial manusia subjektif karena
fenomenologi menganggap bahwa kesadaran manusia dan makna subjektif sebagai fokus
untuk memahami tindakan sosial.
Pemahaman kebudayaan dapat dilihat sebagai fenomena baru yang kelak akan berkembang
ke arah tumbuhnya tafsir kebudayaan baru. Dua Paham Metode Fenomenologi Phillipson
(Walsh, 1972:135-137) Pertama, fenomenologi yang berusaha untuk menjelaskan ketika
suatu fenomena tersusun à ini berarti masih fenomenologi murni, alamiah, maka peneliti akan
mengkaji tentang persepsi subjek budaya terhadap apa yang dialaminya. Kedua,
fenomenologi yang berusaha memahami fenomena sebagai objek kesadaran à subjek telah
melakukan interaksi, maka perlu peneliti perlu mengkaji kesadaran makna dan fungsi
fenomena tersebut.
Ada tiga golongan penelitian kebudayaan secara fenomenologis yaitu,
1. Kebudayaan ditafsirkan sebagai model-model untuk mengklasifikasikan lingkungan atau
situasi sosial yang dihadapi.
2. Kebudayaan dimaknai sebagai rule atau aturan-aturan.
3. Kebudayaan sebagai alat atau sarana yang dipakai untuk menafsirkan berbagai macam
gejala yang ditemui.
Teori folklor
1.Teori Strukturalisme
Strukturalisme Levi Strauss sangat berkaitan erat dengan masalah antropologi budaya yang
digunakan untuk memahami dan menjelaskan fenomena-fenomena dalam kebudayaan. Pada
analisis structural, struktur dibedakan menjadi dua macam yaitu struktur lahir atau struktur
luar (surface structure) dan struktur batin atau struktur dalam (deep structure). Struktur luar
adalah relasi-relasi antarunsur yang dapat dibuat atau bangun berdasarkan ciri empiris dari
relasi-relasi tersebut, sedang struktur dalam adalah susunan tertentu yang dibangun
berdasarkan atas struktur luar yang telah berhasil dibuat serta dipelajari. Struktur dalam ini
dapat disusun dengan menganalisis dan membandingkan berbagai struktur luar yang berhasil
diketemukan atau dibangun. Struktur dalam inilah yang digunakan sebagai model untuk
memahami fenomena yang diteliti karena melalui struktur inilah peneliti kemudian dapat
memahami fenomena kebudayaan yang dipelajari. Struktur luar misalnya saja mitos, system
kekerabatan, kostum, tata cara memasak dan sebagainya. Berbeda dengan struktur Dalam
yang merupakan struktur dari struktur permukaan. Struktur permukaan mungkin dapat
disadari, tetapi struktur dalam berada dalam tataran tidak disadari.
Dengan mengkaji mitos, Levi Strauss, dengan menggunakan paradigma structural dapat
mengungkapkan logika yang ada di balik mitos-mitos yang nampak dari structural luar
tersebut. Logika dasar tersebut fenomena budaya merupakan wujud dari nalar tersebut.
Menurutnya mitos adalah naratif sendiri, khususnya yang berkaitan dengan aspek-aspek
kebudayaan tertentu. Pada dasarnya mitos merupakan pesan pesan kultural terhadap anggota
masyarakat. strukturalisme Levi Strauss tidak lain adalah dongeng. Mitos dalam konteks,
Levi Strauss sebagaimana dinyatakan dalam bukunya yang terkenal Structural Antropology,
struktur bukanlah representasi atau substitusi realitas. Struktur dengan demikian adalah
realitas empiris itu sendiri, yang di tampilkan sebagai organisasis logis, yang disebut sebgaia
isi.
Menurut Levi Strauss sebuah mitos selalu terkait dengan masa lalu. Nilai intrinsic dalam
mitos yang ditaksir terjadi pada waktu tertentu juga membentuk sebuah struktur yang
permanen. Struktur ini terkait dengan masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Mitos menghubungkan urutan kejadian yang kepentingannya terletak pada kejadian-kejadian
itu sendiri dan detail yang menyertainya. Dengan demikian, mitos selalu terbuka untuk
digunakan ulang dan khususnya menyadarkan diri pada terjemahan.
Strukturalisme Claude Levi Strauss :
A.Structure of Language
Structure of language adalah struktur bahasa yang digunakan dalam penyampaian cerita
dalam suatu kebuadayaan. Struktur bahasa juga bisa identitas masyarakat pada suatu periode
tertentu. Suatu bahasa pada hakikatnya adalah sebagai suatu system perlambangan yang
disusun secara sewenang/arbiter. Jika ditinjau sebagai suatu system bunyi, unit-unit
konstituen bahasa ialah fonem-fonemnya, yakni kelompok signifikan yang memuat unsur-
unsur bunyi. Menurut Levi Strauss, budaya pada hakikatnya adalah suatu system simbolik
atau konfigurasi system perlambangan. Lebih lanjut, untuk memahami sesuatu perangkat
lambang budaya tertentu, orang harus lebih dulu melihatnya dalam kaitan dengan system
keseluruhan tempat system perlambangan itu menjadi bagian. Akan tetapi ketika Levi
Strauss berbicara tentang fenomena kultural sebagai sesuatu yang bersifat simbolik, dia tidak
memasalahkan referen atau arti lambang secara empiric.
B.Structural Atas Mitos
Claude Levi Strauss mengembangkan analisis mitos dengan memanfaatkan model-model
linguistic. Menurutnya, ada kesamaan antara mitos dengan bahasa persamaannya, yakni
pertama, bahasa adalah sarana komunikasi untuk menyampaikan pesan dari satu individu ke
individu yang lain, atau kelompok satu ke kelompok yang lain. Mitos sendiri juga
disampaikan melalui bahasa dan lewat proses penceritaan, pesan-pesan yang ada di dalamnya
dapat disampaikan. Kedua, seperti halnya bahasa, mitos mengandung aspek langue dan
parole, sinkronis dan diaktronis, sintagmatik dan juga paradigma bersama
Aspek langue inilah yang memungkinkan berlangsungnya komunikasi simbolik antar
manusia karena langue dimiliki bersama. Dari sebuah mitos diperoleh dari mitem-mitem dan
sekaligus merefleksikan bagaimana mitem-mitem tersebut tersusun menjadi satu kesatuan
yang utuh. Menurut Levi Srauss, mite harus berlangsung seperti analisis mengenai bahasa.
Unsur-unsur mite, seperti unsur-unsur bahasa, dalam dirinya sendiri tidaklah mengandung
arti. Arti itu barulah muncul bila unsur-unsur tadi bergabung membentuk suatu struktur.
Mite mengandung semacam amanat yang dikodekan, dan tugas penganalisa ialah
menemukan dan mengurai kode itu serta menyingkapkan amanatnya. Mite memiliki muatan
naratif. Akan tetapi hal itu bukanlah makna utama, karena mite menembus hingga melampaui
global, variasi mite yang tampak nyata itu di pandang sebagai transformasi logis dari
seperangkat hubungan structural yang bertahan lama. Penemuan inti struktur yang mendasar
inilah yang menjadi perhatian pokok Levi Strauss dalam menganalisis mite.
C.Structure of Kinship
Levi Strauss menggolongkan beberapa antara hubungan kekerabatan, salah satu yang dikaji
adalah hubungan anak kepada orang tuanya. Biasanya digunakan sebagai jargon, lihatlah
perubahan yang terjadi antata perempuan dengan suatu kelompok. Pada tahun 1950 Claude
Levi Strauss terinspirasi dari sekolah yang dibentuknya yaitu “Alliance Theorists” bisa
mengubah antropologi di Inggris yang lebih dominan, berdasarkan sudut pandang yang utama
dan persatuan makna yang kedua dari reproducing the liniage. Sebelumnya Levi Strauss
menganalisis dari hubungan harus lebih menarik dari sekedar antropologisnya, pada dasarnya
hubungan kekerabatan merupakan kajian humanis dan harus menjadi penggerak suatu
ketertarikan manusia.
Titik singgung lain adalah sama seperti bahasa, kekerabatan pun merupakan suatu system
komunikasi, karena informasi atau pesan-pesan disampaikan oleh satu indiviu kepada
individu lain.
Kekerabatan adalah system komunikasi, karena klien-klien atau famili-famili atau grup-grup
sosial lain tukar menukar wanita-wanita mereka. Sebagaimana bahasa merupakan
pertukaran, komunikasi, dialog, demikian pun kekerabatan. Dan karena bahasa serta
kekerabatan boleh dianggap sebagai dua fenomena yang dapat disetarafkan, maka kedua-
duanya dapat diselidiki menurut metode yang sama. Boleh ditambah lagi bahwa seperti
halnya dalam bahasa system kekerabatan pun dikuasai oleh aturan-aturan yang tidak
disadari.
2.Teori Difusi
Difusi adalah persebaran kebudayaan yang disebabkan adanya migrasi manusia. Perpindahan
dari satu tempat ke tempat lain, akan menularkan budaya tertentu. Apalagi kalau perpindahan
manusia itu secara kelompok dan atau besar-besaran, jelas akan menimbulkan difusi budaya
yang luar biasa. Setiap ada persebaran kebudayaan, disitulah terjadi penggabungan dua
kebudayaan atau lebih.
Dua unsur difusi 1. Persebaran manusia 2. Persebaran unsur-unsur kebudayaan
Persebaran manusia 1. Ilmu paleoantropologi telah memperkirakan bahwa makhluk manusia
terjadi disuatu daerah tertentu dimuka bumi (sabana tropical Afrika tim) dan sekarang
manduduki seluruh muka bumi. 2. Hal itu terjadi hanya karena adanya migrasi-migrasi yang
disertai adaptasi fisik dan sosial budaya. Macam-macam migrasi: migrasi yang lambat tapi
otomatis migrasi yang cepat tapi mendadak
Persebaran unsur-unsur kebudayaan
1. Proses difusi (diffusion) proses persebaran kelompok-kelompok manusia dimuka bumi
yang diikuti proses persebaran unsur-unsur kebudayaan ke seluruh penjuru dunia.
2. Bentuk-bentuk difusi Persebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu kebudayaan dari satu
tempat ke tempat lain yang dibawa oleh kelompok-kelompok manusia yang bermigrasi.
persebaran unsur-unsur kebudayaan berdasarkan pertemuanpertemuan antara individu dalam
suatu kelompok manusia dengan individu kelompok tetangga.
3. Pertemuan berlangsung dengan berbagai cara antara lain: Hubungan dimana bentuk dari
masing-masing kebudayaan hampir tak berubah (hubungan symbolik) Hubungan disebabkan
karena perdagangan tetapi dengan akibat yang jauh daripada hubungan symbolic.
Teori difusi Rivers Rivers anggota Cambridge Torres Sraits Expedition (1899) meneliti
hubungan antar kebudayaan suku bangsa disekitar Selat Torres (Irian Selatan) dan Australia
Utara. Rivers mengembangkan metode wawancara baru sehingga ia berhasil mengumpulkan
banyak bahan mengenai sistem kemasyarakatan suku bangsa yang tinggal di sekitar daerah
selat Torres.
Teori difusi Elliot Smith dan Perry Heliolithic theory dalam sejarah kebudayaan dunia pada
zaman purbakala pernah terjadi peristiwa difusi yang besar berpangkal dimesir yang bergerak
ketimur dan meliputi jarak yang jauh unsur penting dari kebudayaan Mesir kuno tampak pada
bangunan batu besar (megalith) dan unsur keagamaan yang berpusat pada penyembahan
matahari (helios).
Difusi Inggris: Beranggapan manusia tidak cenderung menciptakan hal-hal baru dan
cenderung suka meminjam saja penemuan-penemuan dari kebudayaan orang lain daripada
mencipta unsur budaya yang baru.
Difusi Jerman-Austria: Ciri-ciri khas dari kebudayaan yang tertua di dunia dapat
direkontruksi dengan mempelajari unsur-unsur kebudayaan yang masih dipertahankan oleh
kelompk=ok-kelompok yang menurut penilaian etnologis adalah kelompok yang paling tua
yaitu yang cara hidupnya masih primitif
Difusi Amerika: Ciri-ciri budaya yang khas yang terdapat pada dalam suatu (culture area)
“wilayah kebudayaan” yang bersumber dari pusat kebudayaan (culture center). Yang bersifat
pusat geografi. Dirumuskan melalui prinsip “age area”.
3.Teori Fungsionalisme
Teori ini dikembangkan oleh Bronislaw Malinowski (1884-1942) yang selama Perang Dunia
II mengisolir diri bersama penduduk asli pulau Trobrian untuk mempelajari cara hidup
mereka dengan jalan melakukan observasi berperanserta (participant observation). Ia
mengajukan teori fungsionalisme, yang berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan
merupakan bagian-bagian yang berguna bagi masyarakat di mana unsur-unsur tersebut
terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsional atas kebudayaan menekankan bahwa setiap
pola tingkah-laku, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan
suatu masyarakat, memerankan fungsi dasar di dalam kebudayaan yang bersangkutan. Fungsi
dasar kebudayaan adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau
beberapa kebutuahan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan skunder.
Contoh : Makanan, Reproduksi, Merasa enak badan, Kemanan, Kesantaian, Gerak dan
Pertumbuhan.
Kebutuhan Skunder: Kebutuhan untuk kerjasama dalam pengumpulan makanan atau
produksi; muncul organisasi sosial/politik.
Fungsionalisme Struktural; Bebrbagai aspek perilaku sosial bukanlah berkembang untuk
memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial
masyarakat. Struktur sosial dari suatu masyarakat adalah seluruh jaringan dan hubungan-
hubungan sosial yang ada. Munculah sistem kekerabatan dalam suatu kebudayaan.
Permasalahan yang terjadi di aliran ini adalah sulitnya menentukan atau menjelaskan apakah
satu kebiasan tertentu pada nyatanya berfungsi dalam arti membantu pemeliharaan sistem
sosial masyarakat.
4.Teori Postmodernisme
Istilah postmodern secara harfiah berarti “setelah modern”. Istilah “modern”, yang berarti
zaman baru, berasal dari bahasa Latin modernus, yang telah digunakan sejak abad ke-5 M
untuk menunjuk batas antara era kekuasaan agama Kristen dan era Paganisme Romawi
(Smart, 1990). Istilah ini kemudian berkembang menjadi beberapa istilah turunan yang
kesemuanya menunjuk pada suatu kurun sejarah setelah era Abad Pertengahan. Beberapa
istilah tersebut adalah modernitas, modernisasi dan modernisme. Dalam penggunaannya,
seringkali terjadi tumpang tindih dan simplifikasi pengertian di antara berbagai istilah ini.
Modernisasi ditandai oleh pemutusan hubungan secara tegas terhadap nilai-nilai tradisional;
berkembangnya sistem ekonomi kapitalisme progresif; rasionalisasi administratif; serta
diferensiasi sosial dan budaya (Featherstone, 1988). Kembali merujuk Berman, realitas
modern yang dicapai melalui proses modernisasi ini memiliki beberapa komponen utama,
yakni industrialisasi, urbanisasi, konsep negara-bangsa (nation-state), struktur birokrasi,
pertumbuhan penduduk yang tinggi, sistem komunikasi dan kekuasaan baru, serta pasar
kapitalisme dunia (Turner, 1990).
Postmodernisme awalnya memang merupakan reaksi terhadap modernisme. Postmodernisme
merujuk pada bentuk-bentuk kebudayaan, intelektual, dan seni yang telah kehilangan hirarki
atau prinsip kesatuan serta disarati kompleksitas ekstrim, kontradiksi, ambiguitas, perbedaan,
dan kesalingtautan sehingga sulit dibedakan dengan parodi.
Pada tahun 1917 Rudolf Pannwitz menggunakan istilah postmodern untuk menjelaskan
sebuah kebudayaan yang berorientasi filsafat. Gagasan Pannwitz tentang postmodernisme
datang dari analisis Nietzsche tentang modernitas dan sejarahnya yang berakhir pada
dekadensi dan nihilisme (Turner, 1990).
Merujuk Pauline M. Rosenau (1992), kemunculan teori-teori sosial postmodern ini telah
mendorong lahirnya kesadaran kritis dan reflektif terhadap paradigma modernisme yang
dianggap banyak melahirkan patologi modernitas. Setidaknya terdapat enam patologi
modernitas yang digugat oleh para pemikir postmodern.
Pertama, lantaran pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi
subjekobjek, spiritual-material, manusia-dunia, dan lain-lain, paham modernisme telah
melakukan tindakan objektivasi alam secara berlebihan dan eksploitasi alam secara semena-
mena. Kedua, pandangan modern yang cenderung objektivistik dan instrumentalis-
positivistik akhirnya jatuh pada pembendaan (reifikasi) manusia dan masyarakat. Sebagai
akibatnya modernisme yang dahulu emansipatif kini justru bersifat dehuman. Ketiga,
dominasi ilmu-ilmu empiris-positivistik terhadap nilai moral dan religi menyebabkan
meningkatnya tindak kriminalitas, kekerasan fisik maupun kesadaran keterasingan dan
pelbagai bentuk depresi mental.
Keempat, merebaknya pandangan materialisme, yakni prinsip hidup yang memandang materi
dan segala strategi muasannya sebagai satu-satunya tujuan. Kelima, berkembangnya
militerisme karena moral dan agama tidak lagi memiliki kekuatan disiplin dan regulasi.
Keenam, bangkitnya kembali tribalisme, semangat rasisme dan diskriminasi, yang merupakan
konsekuensi logis hukum survival of the fittest ala Charles Darwin (Sugiharto, 1996).
BAB 3
Penutup

Kesimpulan
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut folklor adalah bagian kebudayaan yang tersebar,
diadatkan turun temurun dalam bentuk perbuatan di antara kolektif macam apa saja, secara
tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai
dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat, mencakup suatu bidang yang cukup luas.
Perkembangan folklor dalam kehidupan masyarakat, merupakan perwujudan dari usaha dan
cara-cara kelompok tersebut dalam memahami serta menjelaskan realitas lingkungannya,
yang disesuaikan dengan situasi alam pikiran masyarakat di suatu zaman tertentu.
Ada beberapa teori folklor yaitu, Strukturalisme Levi Strauss sangat berkaitan erat dengan
masalah antropologi budaya yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan fenomena-
fenomena dalam kebudayaan. Pada analisis structural, struktur dibedakan menjadi dua
macam yaitu struktur lahir atau struktur luar (surface structure) dan struktur batin atau
struktur dalam (deep structure). Difusi adalah persebaran kebudayaan yang disebabkan
adanya migrasi manusia. Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, akan menularkan
budaya tertentu. Teori fungsionalisme, yang berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan
merupakan bagian-bagian yang berguna bagi masyarakat di mana unsur-unsur tersebut
terdapat. Teori postmodernisme, Postmodernisme merujuk pada bentuk-bentuk kebudayaan,
intelektual, dan seni yang telah kehilangan hirarki atau prinsip kesatuan serta disarati
kompleksitas ekstrim, kontradiksi, ambiguitas, perbedaan, dan kesalingtautan sehingga sulit
dibedakan dengan parodi.

Saran
Folklor perlu dilestarikan karena dengan folklor, masyarakat dapat mengetahui dan
memahami budaya yang ada. Oleh sebab itu, hal folklor dikatakan sebagai kearifan lokal.
perlunya pembudayaan folklor dalam rangka menjaga budaya, khususnya budaya kebangsaan
dengan kultur kearifan lokalnya. Selain itu, di era globalisasi folklor diharapkan akan mampu
menjadikan pendidikan yang moderat, sehingga tidak terpengaruh arus negatif dari
perkembangan globalisasi yang semakin pesat.
Daftar Pustaka

Jauhari Heri. Folklor, Bahan Kajian Ilmu Budaya, Sastra dan Sejarah
Endoswara. Metode Penelitian Folklor

Anda mungkin juga menyukai