Anda di halaman 1dari 5

Konsepsi Literasi Lokal dalam Praktik Budaya Massenrempulu

Literasi yang mulanya banyak membicarakan aksara, kini menyusuri makna yang lebih luas,
hingga diturunkan sebagai istilah (awalan kata) yang merepresentasikan melek pada banyak
hal. Namun sebagai istilah dan praktik yang bermula dari kemelekaksaraan, maka tradisi
membaca sebagai kemampuan dasar menjadi keniscayaan atau tertanam sebagai kapital
budaya. Dari sini, literasi sebenarnya tak lepas dari praktik membaca teks (multimoda) yang
dikontekstualisasikan pada situasi atau aspek tertentu. Literasi yang menjadi praktik dalam
kehidupan sehari-hari selanjutnya mengindikasikan tumbuhnya budaya literasi yang
kontekstual.

Dalam tulisan kali ini, literasi yang akan dibahas ialah literasi lokal terkait kebudayaan
Massenrempulu. Literasi budaya ini prinsipnya juga mendekatkan praktik literasi dengan
konteks atau lokalitas, dalam hal ini kebudayaan Massenrempulu. Mengacu pada
penyelenggara Camp Budaya HPMM Komisariat UIN Alauddin Makassar, saya
menggarisbawahi tujuan dari sesi ini ialah perlunya pengetahuan tentang kebudayaan
Massenrempulu. Tetapi jika berbicara literasi kebudayaan, maka dapat diartikan memahami
budaya Massenrempulu, menelusuri dan memilah informasi terkait kebudayaan
massenrempulu, menganalisisnya, dalam mengaktualisasikan dalam praktik budaya.

Berangkat dari pemaknaan literasi di atas, pertama-tama tentunya kita harus menyinggung
ketersediaan literatur kebudayaan Massenrempulu untuk dibaca oleh masyarakat lokal.
Sebab memfasilitasi tumbuhnya literasi budaya, mustilah ditopang dengan referensi yang
cukup. Hingga saat ini, rupanya masih terbatas sumber pengetahuan tentang kebudayaan
lokal yang dieksplisitkan dalam bentuk buku, jurnal maupun dalam jaringan (digital).

Berbicara tentang budaya, sebenarnya hal ini melekat dalam laku seseorang. Karenanya
pengetahuan akan budaya tertentu dapat muncul sebagai laku atau tradisi. Dalam praktik
budaya itu justru terkandung pengetahuan lokal itu sendiri. Budaya yang menubuh dan
berlaku kolektif pada suatu masyarakat penting untuk dilestarikan ke dalam teks. Dengan
begitu, ia akan menjadi rujukan tekstual untuk generasi berikutnya. Dan tugas
mengartikulasikan pengetahuan lokal itu membutuhkan kerja literasi dari siapa saja,
terutama kaum terpelajar.

Dalam program gerakan literasi pada pendidikan formal, kemampuan untuk memahami
pentingnya kebudayaan ini dikategorikan sebagai bagian dari kecakapan literasi dasar.
Merujuk pada 6 literasi dasar dalam Gerakan Literasi Sekolah, literasi budaya merupakan
kemampuan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai
identitas bangsa. Tentu saja identitas bangsa kita berangkat dari keragaman yang
mengisyaratkan apresiasi dan pelestarian budaya daerah masing-masing. Termasuk dalam
hal ini, memahami budaya Massenrempulu sebagai bagian dari kebudayaan nasional.

Mengenai konteks budaya Massenrempulu, maka literasi budaya dimaknai pada


pemahaman nilai budaya/identitas daerah yang nantinya menentukan praktik budayanya.
Maka literasi budaya ini adalah sesuatu yang lokal dan pemaknaan literasinya tidak otonom
atau hanya berakhir sebatas pemahaman, dan hanya bisa diperoleh melalui jalur formal
formalistis. Idealnya, praktik literasi budaya ini adalah sebentuk kemampuan nilai budaya
sebagai spirit berkreativitas dan memajukan kebudayaan secara kontekstual. Sebab praktik
literasi tersebut menunjukkan jati diri suatu daerah dan bangsa kita, sekaligus menampilkan
kepada dunia bahwa literasi tidak bisa dipandang sebatas literasi yang otonom,
sebagaimana survey literasi yang selama ini dirilis oleh Programme for International Student
Assessment dan Programme International Reading Literacy Study. Bahkan oleh Sofie
Dewayani dan Pratiwi Retnanidgdyah dalam Suara dari Marjin: Literasi Sebagai Praktik
Sosial mengatakan pengabaian pada literasi lokal justru akan menjadi penjajahan baru oleh
literasi dan mereduksi literasi seolah akan searah dengan bangsa maju nan ‘modern’. Justru
katanya, literasi bertumbuh sejalan dengan praktik budaya kita, dan jika merujuk pada
produk literasi, sesungguhnya Kitab La Galigo merupakan salah satu representasi bagaimana
literasi lokal mengakar kuat dalam budaya.

Literasi Budaya Untuk Mengenal Massenrempulu

Pada sesi diskusi bersama mahasiswa HPMM UIN AM, saya mengantar literasi budaya dari
upaya menggali secara eksplisit referensi budaya Massenrempulu yang sudah tersedia di
berbagai medium. Itu yang pertama, mendapatkan pemahaman/pengetahuan yang
tersuguh kepada kita melalui ‘teks’. Berikutnya, literasi budaya melampaui penelusuran
literer dengan pembacaan langsung pada praktik budaya, lalu menelisiknya secara kritis
untuk disarikan sebagai suatu nilai atau kapital budaya. Yang kedua, literasi budaya sebagai
praktik atau proses aktualisasi nilai-nilai kebudayaan itu sendiri setelah bersusah-payah
mengenali “budaya” Massenrempulu.

Di era otonomi daerah yang kini terus mencari identitas dan narasi kebudayaannya, tentu
akan lebih menggeliat bila literasi budaya ini berkonstribusi memoles wajah bumi
Massenrempulu. Kesadaran akan hal itu sewajarnya terisi dalam sektor pembangunan,
pendidikan, sosial, ekonomi dan politik. Sementara bagi pelajar-mahasiswa Massenrempulu,
kesadaran yang berangkat dari literasi lokal ini menguatkan jati diri yang khas nan luhur,
bukannya rasa etnosentrisme manakala bergaul di ruang yang multikultural seperti
Makassar. Bayangan tentang manusia Massenrempulu akan ‘diuji’ saat mereka mulai
berinteraksi dengan daerah lain. Di sini, tidak hanya Salak, Bawang, Buttu Kabobong, Dangke
yang terbayang dalam imajinasi orang yang mendengar nama Enrekang, melainkan juga
dalam sikap yang ‘dilembagakan’ seperti “tobana” dan praktik budaya yang kosmopolitan
dan terbuka yang mungkin selama ini terpendam. Akhirnya, kita akan menerangkan bahwa
dibalik potensi alam yang harmonis dan kuliner yang melambangkan kreativitas,
sesungguhnya terkandung imajinasi lokal praktik sosial-budaya Massenrempulu.

Boleh jadi, justru kita menangkap istilah ‘dangke’ yang selama ini (berdasarkan informasi
yang kita terima mengenai asal-usul dangke) adalah nama yang kita berikan untuk
menyebut susu yang difermentasikan itu, tersirat sebuah makna yang melihat bagaimana
manusia Massenrempulu di zaman kolonialisme telah menemukan teknik pembekuan yang
diperoleh dari pengetahuan lokal, dari wawasan ‘agroliterasi’ yang indiegenous. Bahkan jika
mau dimaknai agak ironi, sekalipun saat itu pemberi dangke menyadari adanya penjajahan
(tanpa bermaksud menggenaralisir orang Belanda, termasuk oknum yang kita dengarkan
ceritanya), ternyata ia masih menunjukkan sikap yang “mabassa” (suka memberi). Apakah
ilustrasi ini juga merupakan kekhasan yang sama saat kita sering menyaksikan orang
Massenrempulu senang berbagi dan membawakan oleh-oleh khas kepada kerabat yang
dikunjungi, teman dan tetangga di daerah rantau. Yang pasti, kita pun bisa memaknai
seperti itu. Demikian saat kita menganggap ungkapan terima kasih (yang konon memang
dalam Bugis tak memiliki bahasa lokalnya) yang kita salurkan dalam sebuah laku seperti
“mabassa” atau mengembalikan ‘mangkuk’ seseorang dengan mengisi sesuatu setelah
mendapatkan kebaikan dari seseorang. Itulah terima kasih dalam laku. Dan saat seorang
Belanda menerima kebaikan orang Enrekang yang memberi ‘dangke’ itu, ia tak punya
praktik budaya yang sama dengan kita dan tak serta merta berhenti mengangkat senjatanya
pada saat itu. Lalu karena saat itu tak ada “literasi” (untuk merujuk pada keaksaraan yakni
kosakata) maka dank u well (terima kasih) yang diucapkan itu kita serap dan konsensuskan
sebagai nama makanan. Peristiwa itu sekaligus memonumenkan ucapan “terima kasih” ke
dalam sebuah makanan. Setelah itu, memberi makanan kepada siapa saja, terutama dangke
itu sudah menyiratkan terima kasih, walau tak harus berucap kata itu.

Tapi sekali lagi, seperti yang semula kita bahas, bahwa literasi lokal adalah literasi yang
mengakar dalam praktik budaya lokal. Cuplikan cerita dari asal-usul nama dangke itu justru
menyiratkan bagaimana orang Barat yang datang dengan kultur literasinya tidak linear
dengan cita-cita yang luhur. Gugatan ini sekaligus menandakan literasi yang otonom,
meminjam istilah Sofie dan Pratiwi bukanlah “properti modernitas”, malah justru literasi
bentuk jajahan baru bila kita tak mejemput literasi lokal kita naik ke permukaan. Itu artinya
literasi budaya tidak sepenuhnya manifestasi dari tekstual. Dan dangke justru mengandung
ingatan kolektif dan praktik budaya Massenrempulu.

Dalam upaya memaknai budaya Massenrempulu, cerita dangke di atas mungkin sedikit
berbeda dengan apa yang tergambar dalam ungkapan tana rigalla tana riabusunggi.
Sepenggal kalimat yang diterakan oleh HPMM sebagai ‘identitas’. Menurut beberapa
sumber, ungkapan ini merupakan suatu apresiasi dan penghormatan dari raja Bugis untuk
bumi Massenrempulu. Di pertemuan Camp Budaya, para kader HPMM mengartikannya
tanah yang dikeramatkan/disucikan dan tanah yang diangungkan. Mereka memahami
bahwa bahasa itu bukanlah bahasa yang familiar mereka gunakan sehari-hari, ataupun
pernah dengarkan di rekan-rekannya yang berbahasa Bugis. Dan berangkat dari defenisi
yang mereka sampaikan, saya lantas mengajak untuk melakukan pembacaan atas teks
tersebut secara kontekstual.

Dari apa yang saya terangkan, saya berfokus pada upaya melihat ungkapan itu sebagai
sebuah spirit yang bertautan dengan nilai-nilai agama, budaya, lingkungan hidup. Ibaratnya
“tanah air”, maknanya tidak lagi merujuk pada material tanah dan air. Dari kata benda
menjadi kata yang mengimplisitkan spirit untuk menjaga tanah yang disucikan dan
diagungkan yaitu Bumi Massenrempulu. Saat orang hendak berangkat ke tanah suci
Mekkah, tujuannya ialah untuk bersuci dan mengagungkan pencipta. Menuju ke sana butuh
persiapan atau proses internalisasi dalam pribadi Muslim. Demikianlah halnya saat kita
mulai menjejaki bumi Massenrempulu dalam ikhtiar yang sejalan dengan fitrah manusia
yang ingin kembali tanpa noda dan dosa. Nilai yang terkandung dalam tana rigalla tana
riabusunggi seakan mempertemukan prinsip agama (Islam) dan ekoliterasi dalam bingkai
budaya. Karenanya, ia dapat dijadikan sebagai spirit merawat alam Masserempulu dari
berbagai tindakan instrumental yang mengeropos kesuburannya dan harmoninya. Tanah
yang lestari dan jernih dari segala zat yang menggersangkan kehidupan ditentukan oleh nilai
yang tertanam pada manusianya. Maka implikasi dari tana rigalla tana riabusunggi bagai
kompas sekaligus cermin bagi para penghuninya.

Menanti HPMM Terjun Mengeksplorasi Literasi Lokal

Seperti kata Talcott Parsons, dalam memahami masyarakat terdapat tiga sistem yang saling
terkait sistem budaya, sistem sosial dan sistem kepribadian. Hal ini pun tidak bisa terpisah
untuk memahami masyarakat Massenrempulu, tak ayal bila HPMM UIN mulai
membicarakan ranah sosial, budaya dan kepribadian yang khas darinya. Jauh sebelum
melakukan internalisasi nilai-nilai kebudayaan dalam tubuh HPMM beserta kadernya, ia
harus mampu mengamati tiga sistem itu, mengintegrasikannya dan menyikapi dalam
persentuhannya dengan narasi Islam. Sebab tak dapat dipungkiri, sebagai mahasiswa HPMM
dan UIN Alauddin, mereka tak bisa menyampingkan basis Islam dalam melekat pada
lembaga tersebut. Justru harus pula ruang percakapan tentang pengaruh HPMM melalui
alumninya dalam konteks budaya (Islam) ‘modern’ di Massenrempulu. Sebagai organisasi
daerah yang dianggap paling awal di Nusantara, HPMM tentunya punya ‘tawaran’ dan nilai
yang telah mengakar, termasuk dalam karakter yang melekat pada setiap komisariat.

Bagi HPMM UIN Alauddin, spirit yang berangkat dari dua kutub yang searah ini adalah
modal ideologis yang justru menjawab tantangan, apakah kader HPMM UIN telah tiba pada
praktik integrasi antara ilmu Islam dengan Ilmu umum, antara budaya Islam dan Budaya
lokal Massenrempulu. Tak masalah bila ia mulai mengintip apakah terjalin persenyawaan
antara Islam dan budaya di Massenrempulu, bagaimakah intelektual Islam Massenrempulu
berkorespondesi dengan adat yang sama sekali indigeneous? Adakah semacam sinskritis
dalam warisan budaya Agama di Masserempulu?

Tentu saja ia pun tak bisa menutup diri dari pengamatan soal peristiwa sejarah di mana
perjuangan Daulah Islam yang dibawa oleh Kahar Muzakkar di Enrekang. Tentang
pengaruhnya pada budaya lokal yang dimasuki pada kala itu. Percakapan itu juga
menentukan apakah “budaya Islam” yang eksis saat ini ialah suatu transisi. Termasuk
bagaimana memahami Forum Adat Amar Ma’ruf Nahi Mungkar ditinjau dalam relasinya
antara adat agama . Hal ini menarik untuk ditelusuri dalam suatu perbincangan yang boleh
kita katakan sebagai peristiwa literasi.

Peristiwa literasi pada Camp Budaya oleh HPMM UIN yang merupakan komponen dari
praktik literasi budaya itu sendiri, tentunya diharapkan punya keberlanjutan. Sebab ternyata
di sela diskusi, masih ada di antara mereka yang belum mengenal ritual atau tradisi dari tiga
wilayah yang selama ini kita sebut Enrekang, Duri, Maiwa. Misalnya, Maccera Manurung
atau ritual yang ada di wilayahnya. Ini semua penting diketahui oleh kader HPMM untuk
mengenali budaya Massenrempulu. Paling tidak, cara kerja literasi budaya ini bisa dimulai
dari saling mendukung dan belajar memahami kultur setiap wilayah, misalnya pengunaan
bahasa masing-masing dalam berinteraksi. Orang duri bisa memahami orang Maiwa ketika
berbicara, sebaliknya orang Enrekang tahu arti dari bahasa duri sehingga ia tidak harus
berbahasa duri dan sebaliknya. Karena dengan praktik yang egaliter dan saling memupuk
kepercayaan diri mengekspresikan bahasa masing-masing inilah sebenarnya contoh
konrkret dari literasi budaya.

Anda mungkin juga menyukai