Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Folklor adalah tradisi lisan dari suatu masyarakat yang tersebar atau
diwariskan secara turun temurun, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
folklore adalah adat istiadat tradisional dan cerita rakyat yang diwariskan secara
turun temurun, tetapi tidak dibukukan. Cerita rakyat atau dalam pengertian besar
folklore yang dijelaskan William R. Bascom (dalam Danandjaja, 1984) dibagi
dalam 3 golongan besar yaitu; mitos, legenda, dan dongeng. Sejak dahulu hingga
saat ini cerita rakyat yang ada dan berkembang di masyarakat adalah cerita yang
secara turun temurun dari generasi sebelumnya, maka tidak menutup
kemungkinan apabila suatu kejadian ataupun kisah yang dialami pada saat ini,
diceritakan kembali secara berulang-ulang telah menjadi bagian yang tak bisa
terpisah dari sekelompok masyarakat sehingga menjadi cerita rakyat di masa
mendatang. Di setiap daerah, negara atau kebudayaan sekalipun memiliki suatu
cerita rakyat yang tersendiri dan masing-masing berbeda.

B. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini kami membatasi permasalahan, yang bertujuan agar


pengkajiannya lebih terarah dan tepat sasaran. Adapun rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian Sastra Nusantara?
2. Prinsip Sastra Nusantara?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Sastra Nusantara.

2. Untuk mengetahui apa saja prinsip Sastra Nusantara.

1
D. Metode Pemecahan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang ada, maka dalam pemecahan masalah kami


menitikberatkan kepada studi kepustakaan dengan mencari buku sumber yang
relevan dengan pembahasan masalah. Selain itu, kami juga mencari data yang
menunjang dari media komunikasi elektronik yakni internet. Kemudian kami
mengolah data dengan cara memilih data yang sesuai dan mendekati kebenaran.

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode
pemecahan masalah, dan sistematika penulisan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PEMAPARAN

Terdiri dari pengertian sintaksis serta wilayah kajian sintaksis yakni struktur
internal kalimat yang dibahas dalam sintaksis, meliputi frasa, klausa, dan kalimat
itu sendiri.

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

Terdiri dari kesimpulan dan saran.

2
BAB II

PEMBAHASAN

1.Pengertian Sastra Nusantara

Les Insolindes, Insulinde, barangkali adalah istilah lain dari Nusantara yang
menunjukkan kepada suatu kawasan yang terdiri dari berbagai pulau. Pengertian
sempitnya, barangkali identik dengan wilayah yang sekarang menjadi wilayah
negara Republik Indonesia dan budaya Melayu sehingga mencakup Malaysia
Barat & Timur serta Brunei. Mungkin termasuk juga Filipina Selatan dan
Muangthai Selatan serta Timor Leste.

Sedangkan dalam dunia sastra, saya kira istilah ini menunjukkan kepada
karya-karya seni yang menggunakan berbagai bahasa di berbagai pulau dan
daerah di wilayah Republik Indonesia sebagai sarana utama pengungkapan diri,
pengungkapan rasa dan karsa. Jika pemahaman begini benar maka konsekwensi
nalarnya, bahwa yang disebut sastra Nusantara, tidaklah sebatas karya-karya
sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Sastra berbahasa Indonesia hanyalah
menjadi salah satu saja dari sastra Nusantara atau sastra Indonesia.

Jika kita sepakat dengan pengertian Nusantara seperti ini maka kita akan
memasukkan karya-karya besar seperti I La Galigo dari Tanah Bugis, Sansana
Bandar, Sansana Kayau Pulang dari Tanah Dayak, pantun-pantun, gurindam dan
seloka Melayu, karya-karya yang ditulis oleh warga dari etnik Tionghoa atau Indo
sebagai bagian dari sastra Nusantara dan bukan hanya membatasinya pada karya-
karya yang ditulis dalam bahasa Indonesia “Modern” yang secara usia sangat
pendek usianya dibandingkan dengan karya-karya tersebut dan yang kita sangat
kurang indahkan. Sedangkan sastra Indonesia jauh lebih tua usianya daripada
sastra berbahasa Indonesia. Membatasi cakupan sastra Nusantara pada yang
berbahasa Indonesia “modern” lebih memperlihatkan kepongahan, kekenesan dan
kecupetan atau sektarisme pandangan. Barangkali. Terdapat masalah jika dilihat
secara ontologi sebagai sisa atau varian dari pandangan hegemonik “modernitas”
dan yang disebut “besar” dan “puncak” sebagaimana yang dirumuskan dalam
UUD ’45 dahulu.

3
Nusantara dan Indonesia adalah dua istilah berbeda makna jika dilihat dari
periodisasi sejarah. Nusantara ada jauh sebelum Indonesia lahir. Sedangkan
Indonesia dilihat dari segi politik menunjuk kepada wilayah Republik Indonesia.
Wilayah Republik Indonesia ini, jika kita mau jujur dan realis, juga terdiri dari
berbagai pulau dengan budaya masing-masing. Dengan sastra masing-masing
pula. Kalau kita mengakui yang disebut Indonesia itu adalah wilayah Republik
Indonesia maka sastra yang hidup dan terdapat di berbagai daerah dan pulau,
termasuk sastra Indonesia juga, tidak hanya sebatas sastra berbahasa Indonesia.
Tidak ada dominasi suku dan budaya besar atau kecil — yang bertentangan
dengan prinsip bhinneka tunggal ika yang secara singkat disebut Indonesia dengan
nilai republiken sebagai perekat. Saya khawatir bahwa di sekolah-sekolah dan di
publik justru pandangan sempit inilah yang dominan dan diajarkan. Pandangan
menyempitkan yang disebut sastra Indonesia begini sama sekali tidak
representatif. Kita fasih menyebut Indoneisia, republik, bhinneka tunggal ika tapi
apakah maknanya belum dihayati benar. Pendekatan dan pemahaman salah
tentang prinsip-prinsip ini , apalagi hanya sebatas barang hapalan, akan menjalar
dan berdampak negatif ke berbagai bidang, terutama pendidikan dan pengajaran.
Dari segi ini, saya melihat karya Prof. Teeuw yang dijadikan pegangan dalam
pengajaran sastra Indonesia menjadi sangat timpang. Sastra lokal sama sekali
diabaikan. Padahal di segi lain, dalam kurikulum sekolah-sekolah, terdapat yang
disebut “muatan lokal”. Barangkali pelaksanaan kurikulum ini ada tautannnya
dengan penyediaan bahan lokal, kebijakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
lokal, dan tidak kurang pentingnya, mungkin pada soal cara ajar-mengajar sastra
di sekolah. Tidak kurang pentingnya adalah tulisan-tulisan apresiasi terhadap
karya-karya sastra di surat kabar, radio dan televisi. Tapi di atas segalanya,
barangkali yang perlu disepakati dahulu apakah yang disebut sastra Indonesia itu.
Apakah hanya sebatas yang disebut karya-karya yang ditulis dalam bahasa
Indonesia ataukah juga yang dituangkan dalam bahasa-bahasa lokal. Apakah
sastra yang berbahasa Sunda dan Jawa yang sekarang cukup berkembang, baik
melalui majalah, koran dan radio bisa dihitung sebagai sastra Indonesia atau
tidak? Apakah sastra lisan seperti misalnya sansana kayau yang masih hidup di
Tanah Dayak bisa dimasukkan sebagai bagian dari sastra Indonesia atau tidak?

4
Apakah soal sastra lokal ada disentuh-sentuh oleh Prof. Teeuw? Mengapa kita
harus menggunakan karya Teeuw sebagai pegangan dan bukan karya yang kita
susun sendiri dan lebih mewakili Indonesia dan bersifat republiken? Sekedar
pertanyaan.
Saya sendiri memandang bahwa semua sastra, baik yang ditulis dalam bahasa
Indonesia atau pun bahasa daerah, termasuk yang ditulis oleh orang-orang
Indonesia di negeri orang, seniscayanya tergolong sastra Indonesia dan sastra
Nusantara. Demikian juga sastra cyber — sebagai suatu perkembangan baru di
dunia sastra kita. Tentu saja perkembangan dan keadaan ini, akan membuat
pekerjaan pengamat sastra Indonesia akan makin tidak sederhana jika mereka
berniat bekerja cermat saat berbicara tentang sastra Indonesia dalam pengertian
saya di atas. Tapi dengan kecermatan demikian agar ketika berbicara tentang
Indonesia, agar benar bahwa Indonesia itu terlukiskan secara representatif,
mendorong kita untuk lebih mengenal diri sendiri, tanah air sendiri di samping
mengenal sastra dari bagian-bagian dunia lain sebagai pembanding sesuai prinsip
bhinneka tunggal ika dari skala global.

2. Prinsip Sastra Nusantara

Sastra Nusantara, termasuk sastra Indonesia, pada prinsipnya adalah


kebhinnekaan, ika dalam kemanusiaan. Kebhinnekaan, tidak berati pengurungan
diri di bawah langit satu dua pulau atau kampung kecil ketika dunia menjadi
sebuah kampung kecil dunia dan sejarah pun menunjukkan bahwa sastra
berkembang tidak karena kecupetan tapi karena keterbukaan. Saya bahkan
berhipotesa bahwa pada dasarnya nilai yang didukung oleh sastra itu bersifat
universal yang dituang dengan warna-warna lokal. Karena pada galibnya
kebudayaan etnik, nasional dan dunia, saya lihat tak ubah sebuah bénang dinding
(patch works). Etnik dan bangsa hanyalah perbatasan semu bagi kemanusiaan
yang dilahirkan oleh kondisi sejarah tertentu sehingga kita perlu
mengindahkannya guna mengejawantahkan kemanusiaan itu sendiri sesuai
perkembangan dan proses.

Saya membayangkan bahwa dengan menerapkan sastra Indonesia sebagai


sebuah konsep luas yang mengakui adanya perkembangan sastra di berbagai pulau

5
dan daerah sebagai dasar, maka sastra negeri kita akan makin marak dan kian
berwarna. Kian mengakar dan tidak terkucil. Sastra menjadi suatu keperluan
masyarakat seperti halnya sansana kayau di Tanah Dayak merupakan ungkapan
diri masyarakat, mulai dari penangkap ikan, penakik karet, pendulang emas,
sampai kepada pemotong rotan di hutan-hutan dan jumpa orang sekampung.
Sansana kayau sebagai salah satu bentuk sastra sama sekali tidak terasing dari
kehidupan,tidak menjadi milik hanya segelintir kelompok masyarakat yang sering
sibuk dan asyik dengan diri sendiri serta menilai lebih diri mereka dari yang lain.
Dunia seakan berputar di sekitar diri mereka. Karena itu saya masih melihat
bahwa sastra Nusantara (les insulindes), termasuk sastra Indonesia, pada dasarnya
adalah sastra kepulauan. Membatasi sastra Indonesia hanya pada yang berbahasa
Indonesia, barangkali menyangkal ciri Indonesia itu sendiri dan menyederhanakan
apa yang dinamakan Indonesia. Saya selalu merasa terilhami dan batin saya
diperkaya, saban membaca puisi-puisi lokal dari daerah dan pulau manapun di
Nusantara, termasuk pulau-pulau dan daerah-daerah di tanah air. Universal dalam
nilai, berwarna-warni dalam bentuk penuangan. Barangkali penyelenggara negara,
cq bagian kebudayaannya, perlu mempertimbangkan penerapan politik
kebudayaan yang memang republiken dan berkeindonesiaan, demikian juga para
sastrawan-seniman sebagai aktor-aktris kebudayaan, kiranya perlu menjawab
apakah sastra-seni Indonesia itu sesungguhnya? Saya lebih menekankan
pengembangan kebudayaan dari bawah. Seperti yang dikatakan oleh penyair
Tiongkok Kuno, “raja satu dan yang lain turun silih berganti, tapi rakyat tetap
rakyat, tak bergonta-gonti”. Berangkat dari pandangan inilah saya menghargai
prakarsa-prakarsa seperti Ode Kampung, Tour de Java Sastra Makkasar, dan
kegiatan-kegiatan sejenis.
Perjalanan Kembali, Musim Dingin 2008

6
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Didalam masyarakat Indonesia, setiap daerah, kelompok, etnis
suku bangsa, golongan, agama, masing-masing telah mengembangkan
folklornya sendiri-sendiri sehingga Indonesia terdapat aneka ragam
floklor. Floklor adalah kebudayaan manusia (kolektif) yang diwariskan
secara turun-temurun, baik dalam bahasa lisan maupun isyarat.

B. Saran
Kami menyadari, dalam pembuatan makalah ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sebagai penyusun berharap agar
ada kritik dan saran dari semua pihak terutama dosen. Jika ada
kesalahan, itu datangnya dari kami sendiri, dan jika ada kebenaran, itu
datangnya dari Allah swt.

Anda mungkin juga menyukai