Anda di halaman 1dari 28

PEMBELAJARAN SASTRA

MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia
Dosen : Neneng Sri Wulan, M.Pd.

Kelompok 8
Deni Ardian (1101416)
Reni Febriyenti (1104189)
Trisna Setiyaningsih (1104287)
Arini Rahmawati (1106358)
Kelas 1E

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


KAMPUS SERANG
2011

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Makalah ini berjudul “PEMBELAJARAN SASTRA” yang membahas tentang pembelajaran
sastra. Makalah ini berisikan tentang tujuan pembelajaran sastra, cara mengembangkan potensi
pribadi melalui sastra, realitas kehidupan sastra pada masyarakat Indonesia saat ini, dan lain
sebagainya.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan jauh
dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dan mendidik untuk perbaikan selanjutnya. Walaupun demikian penulis tetap berharap makalah
ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya. Terima kasih.

Serang, Desember 2011


Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 1
D. Manfaat 2
E. Metode 2
BAB II LANDASAN TEORI 3
A. Pengertian Sastra 3
B. Sejarah Singkat Sastra Indonesia 3
C. Jenis-jenis karya sastra di Indonesia 6
BAB III PEMBAHASAN 8
A. Pentingnya Pembelajaran Sastra 8
B. Tujuan Pembelajaran Sastra 9
C. Realitas Sastra Indonesia dalam Masyarakat Indonesia Kini 10
D. Pengajaran Sastra 12
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 15
B. Saran 15
DAFTAR PUSTAKA 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belakangan ini sastra dianggap kurang penting dan kurang berperan dalam masyarakat
Indonesia hari ini. Hal ini terjadi karena masyarakat kita saat ini sedang mengarah ke
masyarakat industri sehingga konsep-konsep yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan
kebutuhan fisik dianggap lebih penting dan mendesak untuk digapai. Ulasan ini diharapkan
dapat menggugah kembali kesadaran kita untuk menempatkan pengajaran sastra Indonesia
pada tempat yang layak dan sejajar dengan mata ajar lainnya.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini,ialah sebagai berikut:
1. Bagaimana pentingnya pembelajaran sastra
2. Bagaimana realitas Sastra Indonesia dalam masyarakat Indonesia pada masa kini
3. Bagaimana pengajaran sastra di lingkup sekolah
C. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai ialah:
1. Mengetahui apa itu sastra
2. Mengetahui bagaimana realitas sastra indonesia dalam masyarakat Indonesia pada masa kini
3. Mengetahui bagaimana pembelajaran sastra di lingkungan sekolah

D. Manfaat
Fungsi kemanfaatan dari makalah ini ialah:
1. Sebagai bahan referensi untuk bahan pembelajaran bagi masyarakat
2. Untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat terhadap sastra
3. Memberikan pilihan metode baru bagi pengajar dalam menyampaikan materi.
E. Metode
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode kajian pustaka, yaitu dengan
mempelajari dan mengumpulkan data dan informasi baik dari buku maupun dari internet.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Sastra
Banyak sekali para ahli yang mendefinisikan pengertian mengenai sastra, Mursal
Ensten mendefinisikan “Sastra atau Kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan
imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai
medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).”
(1978:9). Di sisi lain Semi mengungkapkan “Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan
seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupan menggunakan bahasa sebagai
mediumnya.” (1988:8). Panuti Sudjiman mendefinisikan “Sastra sebagai karya lisan atau
tulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinilan, keartistikan, keindahan
dalam bagian isi, dan ungkapannya.” (1986:68). Plato dan Aristoteles mempunyai definisi
tersendiri mengenai sastra, menurut Plato “Sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari
kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan
sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh
dari dunia ide.” Sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan
filsafat.” diungkapkan oleh Aristoteles. Menurut Engleton sendiri (1988:4), sastra yang
disebutnya adalah “Karya tulisan yang halus” (belle letters) adalah karya yang mencatatkan
bentuk bahasa harian dalam berbagai cara dengan bahasa yang dipadatkan, didalamkan,
dibelitkan, dipanjang tipiskan dan diterbitkan, dijadikan ganjil”
Dari beberapa definisi di atas, maka dapat didefinisikansastra merupakan suatu bentuk
karya seni baik berupa lisan maupun tulisan yang berisi nilai-nilai dan unsur tertentu lainnya
yang bersifat imaginatif.
B. Sejarah Singkat Sastra Indonesia
Awal Periode Sastra
Bentuk-bentuk karya sastra yang kita lihat dan kita kenal dimulai dari periode Pujangga Baru yang
banyak dipengaruhi oleh sastra Eropa. Pengaruh itu sangat terasa terutama pada karya-karya Chairil
Anwar yang dianggap kontroversial pada waktu itu.
Kenyataan tersebut makin diperkuat akan pendek jarak waktu antara angkatan satu dengan angkatan
berikutnya. Misalnya ada Angkatan 1966 setelah Angkatan 1945. Sangat pendek, hanya berjarak 11
tahun. Perkembangan sepesat ini hanya terjadi apabila sastrawan-sastrawan Indonesia terpengaruh
oleh perkembangan sastra dunia.
Dengan demikian, pengertian sastra Indonesia adalah bentuk pengungkapan gagasan, pikiran, dan
pengucapan sastra orang Indonesia, menggunakan bahasa Indonesia, baik sastra itu dipengaruhi oleh
sastra asing atau tidak.
Perkembangan Sastra Indonesia
Sejarah perkembangan sastra Indonesia dimulai pada abad ke-20 yang diawali oleh kehadiran karya-
karya dari pengarang Balai Pustaka. Adapun karya-karya yang lahir sebelum periode tersebut
digolongkan ke dalam sastra Melayu. Perkembangan sastra Indonesia secara garis besar terbagi dalam
angkatan-angkatan berikut.
1. Angkatan Balai Pustaka (tahun 1920-an)
Pada tahun 1908, kolonial Belanda mendirikan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie de
Volkslectur) yang bertugas menyediakan bahan-bahan bacaan bagi rakyat Indonesia. Pada
tahun 1917, nama komisi tersebut berubah menjadi /Balai Pustaka/. Dengan berdirinya
penerbitan tersebut telah mendorong para penulis Indonesia untuk berkarya.
Nama-nama pengarang dan karyanya pada periode awal ini adalah sebagai berikut.
 Merari Siregar dengan karya Azab dan Sengsara
 Marah Rusli dengan karya Siti Nurbaya
 Abdul Musi dengan karya Salah Asuhan
 Sutan Takdir Alisyahbana Tak Putus Dirundung Malang, dan lain-lain
Tema ceritapada periode ini berkisar pada peristiwa sosial, kehidupanadat-istiadat,
kehidupan beragama, dan peristiwa kehidupan masyarakat.Karya waktu itu cenderung
berbentuk roman.
2. Angkatan Pujangga Baru (1933-1942)
Angkatan ini dipelopori oleh empat serangkai. Yaitu Sutan TakdirAlisyahbana, Armijn
Pane, Sanusi Pane, dan Amir Hamzah.Karya sastra yang muncul sebagian besar berbentuk
sajak, cerpen, novel, roman, dan drama. Karya padaangkatan ini antara lain sebagai
berikut.
 Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana
 Belenggu karya Armijn Pane
 Katak Hendak Jadi Lembu karya Nur Sura Iskandar, dan lain-lain
3. Angkatan 45
Ciri khas karyasastra angkatan 45 lebih bebas, namun ditekankan pada isinya. Kalimat-
kalimatnya pendek dan tidak menggunakan bahasa yang klise.Isinya pun bersifat realisme.
Pengarang-pengarang yang terkenal pada masa ini antara lain Idrus,Chairil Anwar,
Rosihan Anwar, Usmar Ismail, dan lain-lain. Karya yang muncul antara lain Atheis, Dari
Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, danlain-lain.
4. Angkatan 66
Angkatan 66 diperkenalkan oleh HB Jassin dalam bukunya yang berjudulAngkatan 66.
Angkatan ini muncul berbarengan dengan adanya kekacauanpolitikakibat
adanyapemberontakan G-30S/PKI.
Karya-karya yang diterbitkan antara lain sebagai berikut.
 Pagar Kawat Berduri karya Toha Mochtar
 Tirani karya Taufik Ismail
 Hati yang Damai karya N.H. Dini
 Malam Jahanam karya Motinggo Boesje, dan lain-lain.
5. Karya Sastra Kontemporer
Karya sastra kontemporer berawal padatahun 1970-an. Pada waktu itu situasi politik sudah
mereda. Situasisosial dan ekonomi mulai menunjukkan perbaikan sehingga
berpengaruhbesar terhadap perkembangan sektor-sektor kebudayaan.
Kebebasan berekspresi mulai tumbuh dan berkembang sehingga melahirkan berbagai
gerakanpembaruan dalam bidang sastra
Gerakan pembaruan dalam bidang sastra ini terutama ditandai oleh munculnya puisi-puisi
Sutardji Calzoum Bachri yang mengutamakan bunyi daripada kekuatan maknakata.
Sampai saat ini, sastra Indonesia semakin berkembang denganlahirnya pengarang-
pengarang muda dan karyanya.
Sumber : http://www.anneahira.com/pengertian-sastra-indonesia.htm
C. Jenis-jenis karya sastra di Indonesia
Karya sastra di Indonesia berdasarkan bentuknya dibagi menjadi dua macam yaitu prosa dan
puisi. Lalu prosa dan puisi ini dibagi lagi menjadi dua kategori yaitu prosa dan puisi lama dan
modern.
Ciri-ciri sastra lama:
1. Bersifat statis
2. Tema ceritanya istana sentris
3. Nama pengarang tidak disebutkan atau disebut juga anonim
4. Menggunakan bahasa melayu kuno yang penuh dengan pepatah serta ungkapan yang
panjang-panjang dan klise
5. Banyak yang berisi hal-hal yang fantastis
(Diana Leroy, 2003:45)
Contoh sastra lama: fabel, sage, syair, gurindam, dll.
Dalam sastra modern karya sastra tersebut telah dipengaruhi oleh karya sastra asing sehingga
sudah tidak asli lagi. Dan dalam karya sastra modern pengarang sudah dikenal oleh
masyarakat luas, bahasanya sudah tidak klise dan bersifat dinamis, temanya pun bersifat
rasional dan bersifat modern/tidak kedaerahan.
Contoh sastra modern: novel, biografi, cerpen, drama, dll.
BAB III
PEMBAHASAN
Pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di berbagai jenjang pendidikan sering diaggap kurang
penting oleh para guru, apalagi pada guru yang pengetahuan dan apresiasi sastranya rendah. Hal ini
menyebabkan mata pelajaran yang idealnya menarik dan besar sekali manfaatnya bagi para siswa ini
disajikan hanya sekedar memenuhi tuntutan kurikulum dan cenderung kurang mendapat tempat di hati
siswa. Bila kita kaji secara mendalam, tujuan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah
dimaksudkan untuk menumbuhkan keterampilan, rasa cinta, dan penghargaan para siswa terhadap bahasa
dan sastra Indonesia sebagai bagian dari budaya warisan leluhur. Dengan demikian, tugas guru bahasa
dan sastra Indonesia tidak hanya memberi pengetahuan saja, tetapi juga keterampilan dan menanamkan
rasa cinta, baik melalui kegiatan di dalam kelas ataupun di luar kelas.
A. Pentingnya pembelajaran sastra
Dosen Universitas Singapura, Dr. Azhar Ibrahim Alwee mengatakan, pembelajaran
sastra sangat penting dalam pembangunan karena akan mendorong masyarakat bisa bersikap
lebih kritis. Pembelajaran sastra akan mengacu kepada kesadaran sosial yang kritis, sehingga
pembangunan akan menjadi terarah, kata Azhar, saat menjadi pembicara dalam seminar
internasional, di Palembang.
Seminar internasional bahasa, sastra dan budaya digelar di Palembang, 1-2 Juni 2010
dilaksanakan Forkibastra Balai Bahasa Sumsel. Menurut Azhar, makna dari sastra dapat
mengarahkan kepada pemberdayaan yang bukan saja membuat orang menjadi tegas, tetapi
juga mampu untuk menghadapi tantangan di masa mendatang. Identitas manusia harus tegas
dan bebas dari ketergantungan, dan itu bisa didapat dalam pelajaran sastra, ujarnya.
Dia menegaskan bahwa sastra merupakan dokumen kebudayaan yang tidak boleh
dianggap bersaingan dengan politik sekarang ini. Kebersamaan dalam globalisasi
mengundang gagasan multibudaya, dengan menempatkan identitas politik kelompok masing-
masing sebagai hak kemanusiaan, kata dia lagi. Karena itu, pihaknya mengusulkan kurikulum
multibudaya yang dapat diterapkan dalam pembelajaran sastra. Kesemuanya itu, tidak lain
bertujuan untuk menjadikan pemberdayaan identitas budaya lokal yang ampuh, ujar Azhar.
Dia juga berpendapat, umumnya pembelajaran sastra memerlukan nafas baru, sehingga perlu
melakukan pendekatan dalam pengajaran.
B. Tujuan Pembelajaran Sastra
Tujuan umum pembelajaran sastra merupakan bagian dari tujuan penyelenggaraan
pendidikan nasional yaitu mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Tujuan pembelajaran sastra di sekolah terkait pada tiga tujuan khusus di bawah ini.
1. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan
emosional dan sosial
2. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi
pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa
3. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual
manusia Indonesia.
Pengajaran sastra membawa siswa pada ranah produktif dan apresiatif. Sastra adalah
sistem tanda karya seni yang bermediakan bahasa. Pencipataan karya sastra merupakan
keterampilan dan kecerdasan intelektual dan imajinatif. Karya sastra hadir untuk dibaca dan
dinikmati, dimanfaatkan untuk mengembangkan wawasan kehidupan.
Pembelajaran sastra menurut panduan penerapan KTSP perlu menekankan pada
kenyataan bahwa sastra merupakan seni yang dapat diproduksi dan diapresiasi sehingga
pembelajaran hendaknya bersifat produktif-apresiatif. Konsekuensinya, pengembangan materi
pembelajaran, teknik, tujuan, dan arah pembelajaran harus menekankan pada kegiatan
apresiati.
Pengembangan kegiatan pembelajaran apresiatif merupakan usaha untuk membentuk
pribadi imajinatif yaitu pribadi yang selalu menunjukkan hasil belajarnya melalui aktivitas
mengeksplorasi ide-ide baru, menciptakan tata artistik baru, mewujudkan produk baru,
membangun susunan baru, memecahkan masalah dengan cara-cara baru, dan merefleksikan
kegiatan apresiasi dalam bentuk karya-karya yang unik.
Potensi individu seperti itu menurut para ahli pendidikan akan berkembang jika
mendapat dukungan kultur lingkungan yang menghargai percobaan, melakukan langkah-
langkah spekulatif, fokus pada pengembangan ide-ide baru, bahkan melakukan hal yang tidak
dapat dilakukan orang sebelumnya. Semua potensi dikembangkan melalui pengulangan yang
variatif sehingga terbentuk mutu keterampilan yang terasah.
C. Realitas Sastra Indonesia dalam Masyarakat Indonesia Kini
Sastra dianggap kurang penting dan kurang berperan dalam masyarakat Indonesia hari
ini. Hal ini terjadi karena masyarakat kita saat ini sedang mengarah ke masyarakat industri
sehingga konsep-konsep yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik
dianggap lebih penting dan mendesak untuk digapai. Sedikitnya perhatian anggota masyarakat
terhadap kegiatan kesastraan dan kebudayaan pada umumnya merupakan salah satu indikasi
adanya kecenderungan tersebut. Kegiatan kesastraan dan kebudayaan dianggap hanya
memberi manfaat nonmaterial, batiniah, sehingga dianggap kurang mendesak dan masih dapat
ditunda.
Kondisi di atas juga terjadi dalam dunia pendidikan. Perhatian para murid dan pengelola
sekolah terhadap mata pelajaran yang berkaitan dengan sains, teknologi, dan kebutuhan fisik
jauh lebih besar bila dibandingkan dengan mata pelajaran kemanusiaan. Ketiadaan
laboratorium bahasa, sanggar seni, buku bacaan kesastraan, dan berbagai fasilitas lain yang
diperlukan dalam pengajaran merupakan bukti konkret adanya ketidakperhatian tersebut.
Bila kita menganggap pendidikan merupakan upaya lain untuk memanusiakan manusia,
perhatian terhadap semua materi ajar di sekolah haruslah seimbang. Seorang guru dapat
melakukan hal-hal seperti dibawah ini untuk mewujudkan pembelajaran sastra di sekolah
sehingga mata pelajaran ini menjadi menarik dan mendapat tempat di hati siswa.
Langkah awal yang perlu dilakukan adalah meyakinkan siswa bahwa pengajaran sastra
tidak hanya menawarkan hiburan sesaat, tetapi juga akan memberi berbagai manfaat lain bagi
siswa. Penikmatan yang apresiatif terhadap puisi, prosa fiksi, drama dalam berbagai genre
akan membuktikan kemanfaatan tersebut pada siswa.
Selanjutnya, guru pun harus berusaha mengubah teknik pembelajaran sastra di sekolah.
Selama ini pengajaran sastra dan juga bahasa Indonesia lebih diarahkan pada aspek sejarah
dan pengetahuan sehingga siswa dipacu untuk menghafal, bukan untuk mengahayati karya
yang diajarkan.
Kegiatan apresiasi sastra tidak hanya diajarkan dalam bentuk pembacaan karya sastra
oleh siswa. Kegiatan ini dapat juga diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan dengan
berbagai teknik pembelajaran. Kegiatan deklamasi, lomba penulisan puisi, musikalisasi puisi,
dramatisasi puisi, mendongeng, pembuatan sinopsis, bermain peran, penulisan kritik dan esei,
dan berbagai kegiatan lain dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan apresiasi sastra pada
siswa. Berbagai kegiatan tersebut akan menumbuhkan penghayatan, pencintaan, dan
penghargaan yang relatif baik pada para siswa terhadap mata pelajaran bahasa dan sastra
Indonesia.
Hal lain yang juga perlu dipikirkan saat ini adalah pemanfaatan dan pengadaan buku/
bacaan kesastraan di sekolah. Pemerintah, di satu sisi, telah berusaha melengkapi buku bacaan
untuk para siswa melalui Proyek Pengadaan Buku Bacaan. Meskipun bahan yang dikirimkan
ke sekolah belum memadai, guru seharusnya dapat memanfaatkan sarana yang ada itu untuk
memancing kreativitas membaca dan mencipta pada siswa. Di samping itu, guru dan pihak
sekolah harus juga berusaha membeli bacaan lain, seperti surat kabar, kumpulan puisi, dan
berbagai media lain yang harganya relatif murah.
Kendala lain yang tampaknya juga perlu dicarikan pemecahannya adalah sistem
evaluasi pengajaran sastra dan bahasa yang cenderung ke aspek kognitif/pengetahuan. Selama
ini, ulangan semester dan ebtanas memang lebih terfokus pada evalusi pengetahuan para
siswa. Kalau mau guru dapat melakukan evaluasi yang mengarah ke penumbuhan
keterampilan dan apresiasi masih dapat dilaksanakan di berbagai kesempatan lain di luar
evaluasi di atas. Evaluasi keterampilan dan apresiasi siswa ini dapat saja dilakukan melalui
penugasan di rumah, kegiatan ekstrakurikuler, dan berbagai kegiatan lain. Sekarang tinggal
lagi mau atau tidakkah guru bahasa/guru kelas memanfaatkan kesempatan itu untuk evaluasi
yang tidak hanya mengagungkan aspek hafalan pada siswa.
Terakhir, guru bahasa dan pihak sekolah tampaknya juga perlu mengaktifkan kembali
sanggar-sanggar siswa di sekolah. Kegiatan sanggar di luar jam belajar secara langsung pasti
akan berpengaruh terhadap penumbuhan keterampilan, kecintaan, penghayatan, dan
penghargaan yang positif terhadap sastra dan bahasa Indonesia pada siswa. Bagaimanapun
kita tetap bersepakat bahwa penumbuhan kreativitas, penyaluran bakat/minat, dan pembinaan
moral siswa tidak hanya dilaksanakan pada saat-saat belajar secara formal di dalam kelas,
tetapi juga melalui kegiatan ekstrakurikuler di luar jam belajar.
D. Pengajaran Sastra
Pengajaran sastra di SMP maupun SMA bukan berupa program pengetahuan budaya.
Sastra Indonesia hanya semata-mata menumpang pada pengajaran bahasa Indonesia dan
diberikan hanya selama 2-3 jam per minggu.
Pengajaran sastra di sini lebih banyak kegiatannya untuk mempelajari ragam bahasa, di
sisi-sisi ragam bahasa lainnya. Hal ini terlihat bahwa pembobotan beban materinya hanya
seperenam dari seluruh materi bidang studi/mata pelajaran Bahasa Indonesia, dengan nama
pokok bahasan Apresiasi Bahasa dan Sastra Indonesia. Dengan pemberian nama ini sudah
terlihat terjadinya penyempitan kedudukan sastra.
Dalam pembelajaran sastra usakan siswa diminta untuk mencoba membuat pantun
sendiri dengan kreatifitas mereka masing-masing dengan mengambil tema dari Pendidikan
Moral, yaitu pantun didaktis yang berisi ajakan-ajakan atau pesan-pesan moral. Hal serupa
juga bisa diterapkan untuk pelajaran drama, dimana guru Bahasa Indonesia bekerjasama
dengan guru sejarah. Siswa bisa diberi instruksi tentang aspek-aspek teknis dari drama dan
kemudian diminta untuk membuat pertunjukan drama dengan mengambil tema dari pelajaran
sejarah yang sedang diberikan pada saat itu, mungkin misalnya mengadegankan
kepahlawanan Diponegoro saat ditangkap Jendral De Kock sebagai bentuk ekspresi dari
tragedi. Dalam kegiatan seperti ini kelas akan ditangani oleh dua guru sekaligus.
Pembelajaran dengan pola pengajaran tim (team teaching) berdasar tema bukan rumpun dan
bersifat sementara.
Dengan pola seperti ini siswa akan mendapat dua nilai sekaligus dalam satu kegiatan
pembelajaran, yaitu mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dan mata pelajaran yang
dipadukan materinya, dalam dua contoh di atas disebutkan mata pelajaran Sejarah dan
Pendidikan Moral, dan ini tidak menutup kerjasama dengan yang lainnya. Mengingat begitu
banyaknya Kompetensi Dasar yang harus dicapai oleh siswa dalam satu tahun pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia.
Diharapkan bahwa dengan cara ini, efesiensi waktu pembelajaran juga bisa diperoleh
dengan kegiatan ini. Beban siswa terhadap standart kompetensi yang disusun dalam silabus
masing-masing guru mata pelajaran bisa terpenuhi dengan tidak terlalu banyak pengulangan.
Mengadakan kegiatan yang melibatkan siswa secara aktif ini akan meningkatkan kompetensi
siswa dalam sastra tanpa harus menambah rasa kebosanan mereka dan sekaligus membuat
pengajaran bahasa dan sastra Indonesia menjadi lebih menarik dan meningkatkan daya kreasi
siswa.
Sastra tak bisa dan tak perlu diajarkan. Yang bisa dilakukan oleh seorang guru sastra
dalam mengajar adalah mengajak anak didiknya untuk melihat kemanfaatan sastra.
Memposisikan sastra sedemikian rupa pada tempatnya yang tepat sehingga jelas kaitannya,
relevansinya dengan kehidupan dan proses pembelajaran. Dengan lain kata, seorang guru
sastra berdiri di depan kelas di hadapan murid-muridnya, bagaikan seorang pembela di dalam
sebuah peristiwa pengadilan, untuk membuktikan, untuk menunjukkan, bahwa sastra adalah
ilmu.
Mengajarkan sastra tidak boleh dimulai dengan sastra itu sendiri, tetapi siapa yang akan
mempelajarinya. Lingkungan, latar belakang dan kebutuhan mereka yang hendak diberikan
pelajaran sastra, tidak boleh kalah penting dari suara karya-karya itu. Tidak seperti pelajaran
sejarah, sastra bukanlah masa lalu, karenanya harus mulai dari aksi-aksi yang nyata.
Kerucut sistim pembelajaran yang mengajak guru memulai pelajaran sastra seperti
pelajaran sejarah sastra, sehingga harus mulai dengan menghapal apa itu pantun, gurindam,
soneta dan seloka, perlu dibalik total. Pelajaran sastra harus hidup, dimulai dengan apa yang
nyata di sekitar dalam lingkungan mereka yang diajar.
Sebuah sajak, novel, lakon, cerpen, esei dan sebagainya hanya alat untuk
menyampaikan/mengekspresikan gagasan dari penulisnya/pengarangnya. Di balik cerita, di
dalam kata-kata ada rembukan dan kesaksian. Itulah yang harus ditontonkan kepada mereka
yang belajar sastra. Membaca karya sastra seperti menggali tambang mengeruk, memburu
makna-makna yang bersembunyi di balik kata-kata.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembelajaran sastra sangatlah penting terlebih pada jenjang Pendidikan Sekolah Dasar, karena
di dalam pembelajaran sastra tersebut terdapat beberapa aspek humaniora yang dapat mengasah
kepekaan sosial, ketajaman watak, serta dengan mempelajari sastra, seseorang dapat belajar
bagaimana caranya mengharagai karya-karya orang lain, karena pada dasarnya sastra dapat membantu
seseorang lebih memahami kehidupan dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan
B. Saran
Pembelajaran sastra dianggap tidaklah penting, karena pada jenjang pendidikan umumnya lebih
mengedepankan serta mementingkan pembelajaran yang ilmiah dan bertehnologi. Padahal dengan
adanya pembelajaran sastra dapat turut berperan dalam pembentukan kepribadian, watak, dan sikap
yang tentunya akan lebih baik jika diterapkan sejak dini dalam tahapan jenjang Pendidikan Sekolah
Dasar pada umumnya. Seharusnya Sastra dapat dioptimalkan pembelajarannya sehingga dapat
diapresiasikan dengan baik
DAFTAR PUSTAKA
Leroy, Diana. 2003. Soal-Soal dan Pembahasan UAN (Ujian Akhir Nasional) Bahasa Indonesia SMP
(Edisi Kedua). Jakarta:Erlangga.
Wijaya, Putu. 2011. Pengajaran Sastra. http://sastra-indonesia.com/2011/03/pengajaran-sastra/. Diakses
pada tanggal 20/12/2011 10:03
Wibisono, B Kunto. 2010. Pembelajaran Sastra Dorong Sikap Kritis.
http://www.antaranews.com/berita/206353/pembelajaran-sastra-dorong-sikap-kritis. Diakses pada
tanggal 31/12/2011 7:47
Arif, Mohammad. 2008. Pembelajaran Sasta Secara Integratif. http://re-
searchengines.com/mohamad0708.html. Diakses pada tanggal 20/12/2011 9:53
Hamid, Mukhlis A. Pengajaran Sastra Indonesia Di Sekolah.
http://gemasastrin.wordpress.com/2007/04/20/pengajaran-sastra-indonesia-di-sekolah/. Diakses pada
tanggal 31/12/2011 7:42
Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah. http://gurupembaharu.com/home/?p=9911. Diakses pada
tanggal 31/12/2011 8:03
Makalah Sejarah Sastra Angkatan 70-an

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
limpahan rahmat-Nya lah kami bisa menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Sejarah
Sastra Angkatan 70”.
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “ Sejarah Sastra” yang diampuh oleh
Dra. Sesilia Seli, M.Pd. Kami mengucapkan terima kasih telah diberikan kesempatan untuk bisa
menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun agar kedepannya makalah yang kami buat lebih baik dari yang sebelumnya.
Tim penyusun berharap dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua,
dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai sejarah sastra angkatan 70.

Pontianak, Oktober 2013

Tim Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Lahirnya Angkatan 70
B. Pengarang dan karya-karya Sastranya
C. Ciri-ciri Karya Sastra Pada Angkatan 70
D. Peristiwa Penting yang Terjadi Pada Angkatan 70-an
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan
sastra suatu bangsa. Misalnya, sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra Jawa, dan sejarah sastra
Inggris, dengan pengertian dasar itu, dapat dilihat bahwa objek sejarah sastra adalah segala
peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa.
Dalam sejarah sastra Indonesia periodisasi dibagi sebagai berikut : angkatan balai pustaka,
angkatan pujangga baru, angkatan ’45, angkatan 50-an, angkatan 60-an, angkatan kontemporer
(70-an sampai sekarang). Dalam makalah ini kami akan membahas tentang angkatan 70-an. Di
dalam angkatan70-an mulai bergesernya sikap berpikir dan bertindak dalam menghasilkan
wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru baik dibidang puisi, prosa
maupun drama.

B. Masalah
1. Bagaimana sejarah lahirnya angkatan 70?
2. Apa saja ciri-ciri dari karya sastra pada angkatan 70?
3. Siapa saja pengarang pada angkatan 70?

C. Tujuan

Setiap aktivitas kegiatan yang dilakukan pasti memiliki tujuan, demikan pula dengan diskusi
kelompok yang kami lakukan. Adapun tujuan kelompok diskusi kelompok yang kami rumuskan
sebagai berikut :
1. Melalui diskusi kelompok kami berupaya untuk merealisasikan tri darma perguruan tinggi,
khususnya darma kedua yaitu penelitian.
2. Melalui diskusi ini kami dari kelompok lima menghargai perbedaan pendapat, bahkan antar
peserta diskusi.
3. Melalui diskusi kelompok ini kami berupaya ingin menerapkan kemampuan analisis kami secara
operasional yaitu sebagaimana yang diamanahkan oleh materi inquairi atau kualitas itu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Lahirnya Angkatan 70
Munculnya periode 70-an karena adanya pergeseran sikap berpikir dan bertindak dalam
menghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru baik di bidang
puisi, prosa maupun drama. Pergeseran ini mulai kelihatan setelah gagalnya kudeta G 30 S/PKI.
Abdul Hadi W.M. dan damai Toda menamai sastra Indonesia modern pada tahun 1970-an
dengan sastra periode 70-an. Korrie Layuan Rampan cenderung menamai Sastra Indonesia
sesudah angkatan ‘45 dengan nama angkatan ‘80. Perbedaan esensial antara kedua versi tersebut
hanyalah pemberian nama saja, karena keduanya memiliki persamaan, yaitu:
a. Keduanya tidak mengakui adanya angkatan ‘66 yang dicetuskan oleh HB. Jassin.
b. Keduanya meyakini adanya pergeseran wawasan estetik sesudah angkatan ’45.
c. Keduanya memiliki persamaan pandangan tentang tokoh-tokoh pembaruan Sastra Indonesia
Modern sesudah angkatan ’45.
Dalam periode 70-an pengarang berusaha melakukan eksperimen untuk mencoba batas-batas
beberapa kemungkinan bentuk, baik prosa, puisi, maupun drama semakin tidak jelas. Misalnya,
prosa dalam bentuk cerpen, pengarang sudah berani membuat cerpen dengan panjang 1-2
kalimat saja sehingga terlihat seperti bentuk sajak. Dalam bidang drama mereka mulia menulis
dan mempertunjukkan drama yang absurd atau tidak masuk akal. Sedangkan dalam bidang puisi
mulai ada puisi kontemporer atau puisi selindro.
Periode 70-an telah memperlihatkan pembaharuan dalam berbagai bidang, antara lain : wawasan
estetik, pandangan, sikap hidup, dan orientasi budaya. Para sastrawan tidak mengabaikan sesuatu
yang bersifat tradisional bahkan berusahan untuk menjadikannya sebagai titik tolak dalam
menghasilkan karya sastra modern.
Konsepsi improvisasi dalam karya sastra dipahami oleh Putu Wijaya. Ia mengatakan bahwa
sebuah novel hanyalah cerita pendek yang disambung, sehingga yang muncul di dalam
penulisan suatu karya sastra adalah faktor ketiba-tibaan. Sebuah novel, drama, atau cerita pendek
ditulis dengan tiba-tiba karena pada saat menulis berbagai ide yang datang dimasukkan ke dalam
ide pokok. Unsur tiba-tiba seperti ini yang disebut dengan uncur improvisasi.
Perkembangan sastra Indonesia periode 70-an maju pesat, karena banyak penerbitan yang
muncul dan bebas menampilkan hasil karyanya dalam berbagai bentuk. Sutardji menampilkan
corak baru dalam kesusastraan Indonesia di bidang puisi. Alasan tersebut menyebabkaan Sutardji
dianggap salah satu tokoh periode 70-an dalam sastra Indonesia. Pada tahun 1979 Sutardji
menerima hadiah sastra dari ASEAN.
Sutardji Calzoum Bachri dalam puisinya cenderung membebaskan kata dalam membangkitkan
kembali wawasan estetik mantra, yakni wawasan estetik yang sangat menekankan pada magic
kata-kata, serta melahirkannya dalam wujud improvisasi. Hal itu nyata bila diperhatikan sikap
puisinya berjudul Kredo Puisi yang ditulis di Bandung tanggal 30 Maret 1973 dan dimuat di
majalah Horison bulan Desember 1974.
Angkatan 40 istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dami N. Toda dalam kertas kerjanya
“Peta-Peta Perpuisian Indonesia 1970-an Dalam Sketsa” yang diajukan dalam diskusi sastra
memperingati ulang tahun ke-5 Majalah Tifa Sastra di Fakultas Sastra UI (25 Mei 1977). Kertas
kerja ini kemudian dimuat dalam Majalah Budaya Jaya (September 1977) dan dalam Satyagraha
Hoerip (ed) Semua Masalah Sastra (1982).
Menurut Dami, angkatan 70 dimulai dengan novel-novel Iwan Simatupang, yang jelas punya
wawasan estetika novel tersendiri; lalu teaternya Rendra serta puisinya “Khotbah” dan “Nyayian
Angsa”, juga semakin nyata dalam wawasan estetika perpuisian Sutarji Calzoum Bachri, dan
cerpen-cerpen dari Danarto, seperti “Godlob”, “Rintik”, dan sebagainya.

B. Pengarang dan karya-karya sastranya


Sastrawan tahun 1970-an atau angkatan 70-an. Berdasarkan karya-karya yang dihasilkannya
dapat dibagi menjadi 3 kelompok, antara lain:

1. Kelompok pertama yaitu mereka yang termasuk angkatan 66 atau yang telah berkarya
pada tahun 1960-an, telah mulai makin matanng pada tahun 1970-an, yang termasuk
sastrawan dari kelompok ini anntara lain:

1) Abdul Hadi W.M


Karangannya :
a. Laut belum pasang ( kumpulan sajak, 1971)
b. Cermin (kumpulan sajak, a975)
c. Potret panjang seorang pengunjung pantai sanur (1975)
d. Meditasi (kumpulan sajak 1975)
2) Supardi Djoko Damono
Karangannnya:
a. Dukamu abadi (kumpulan sajak 1969)
b. Mata pisau (kumpulan sajak 1974)
c. Akuarium (kumpulan sajak 1974)
d. Sosiologi, sastra (1978)
e. Novel Indonesia Sebelum Perang (1979
3) Goenawan Muhamad
Karangannya:
a. Lautan bernyanyi (drama, 1967)
b. Bila Malam Bertambah Malam (Novel, 1971)
c. Dadaku Adalah Perisaiku (kumpulan sajak 1974)
d. Anu (drama, 1975)
e. Aduh(drama, 1975)
f. Pabrik (novel, 1976)
g. Dag Dig Dug ( 1977)
h. Stasiun ( novel, 1977)
i. Ms (novel, 1977)
j. Tak Cukup Sedih ( novel, 1977)
4) Umar Kagam
Karangannya:
a. Seribu kunang dan kunang di mahatta (kumpulan cerpen, 1972)
b. Sri Sumarak dan Buluk ( kumpulan Cerpen, 1975)
c. Totok dan Toni (cerita anak-anak, 1975)
d. Seni, tradisi, masyarakat( kumpulan esei, 1981)
5) Leon Agusta
Karangannya:
a. Catatan Putih (kumpulan sajak, 1975)
b. Di bawah bayang-bayang sang kekasih (novel, 1978)
c. Hukla (kumpulan sajak,1979)
6) Gerson Poyk
Karangannya:
a. Hari-hari pertama (novel,1968)
b. Sang Guru (novel, 1971)
c. Jerat (Kumpulan cerpen, 1975)
d. Mutiara di tengah sawah( kumpulan cerpen, 1984)
e. Nostalgia Nusa Tenggara (kumpulan cerpen, 1976)
f. Cumbulan Sabana (novel, 1979)

2. Kelompok kedua karya-karyanya baru muncul tahun 1970-an, yang termasuk golongan
sastrawan golongan ini yaitu:

1) Korrie Layun Rampan


a. Matahan pinsan dan ubun-ubun (kumpulan sajak, 1974)
b. Upacara (novel, 1978)
c. Kekasih (kumpulan cerpen,1981)
2) Entha Ainun Nadjib
Karangannya:
a. “M” Frustasi (kumpulan sajak, 1976)
b. Nyanyian gelandangan (kumpulan sajak, 1981)
3) Hamid Jabbar
Karangannya:
a. Paco-paco (kumpulan sajak, 1974)
b. Dua Warna (kumpulan sajak Bersama Upita Agustina, 1975)
4) Toen Herarti
Karangannya
a. Sajak-sajak 33 (kumpulan sajak, 1973)
5) Putu Arya Tirtawirya
Karangannya:
a. Pasir putih pasir laut (kumpulan cerpen, 1973)
b. Nama saya ari ( novel, 1976)
c. Malam pengantin (kumpulan cerpen, 1974)
d. Pan balang tamak (cerita anak-anak, 1972)
6) Linus Suryadi
Karangannya:
a. Langit kelabu (kumpulan sajak, 1976)
b. Perang troya (cerita anak-anak, 1977)
7) Arswendo Atmowiloto
Karangannya:
a. Penantang tuhan (drama, 1972)
b. Bayang-bayang bauri ( drama, 1972)
c. Surat dengan sampul putih (kumpulan cerpen, 1978)

3. Kelompok ketiga, mereka yang menghasilkan karya-karya dengan kecenderungan


melakukan bentuk-bentuk ekspenmentasi, yang termasuk dalam dalam golongan ini yaitu
:

1) Artin C. Noer
Karangannya:
a. Sumur tanpa dasar 9drama, 1971)
b. Selamat pagi jajang (kumpulan sajak, 1976)
2) Putu Wijaya
Karangannya:
a. Bila malam bertambah malam (novel, 1971)
b. Dadaku adalah perisaiku (kumpulan sajak, 1974)
c. Tak cukup sedih (novel, 1977)
3) Kuntowijoyo
Karangannya:
a. Tidak ada waktu untuk nyonya Fatma, berada dan cartas ( drama, 1972)
b. Isyarat (kumpulan sajak, 1976)
c. Pasar (novel, 1972)
4) Budi darma
Karangannya:
a. Orang-orang bloongminton (kumpulan, cerpen, 1980)
b. Olenka (novel, 1983)
5) Ibrahim Sattah
Karangannya:
a. Daudandit (kumpulan sajak, 1975)
b. Ibrahim (kumpulan sajak, 1980)
6) Adri Darmadji Woko
Karangannya;
a. Boneka mainan ( kumpulan sajak, 1985)
7) Darmanto Jatman
Karangannya:
a. Bangsal 9kumpulan sajak, 1975
8) Yudhistira Ardi Noegraha
Karangannya:
a. Arjuna mencari cinta (novel, 1977)
b. Penjarakan aku dalam hatimu (kumpulan cerpen 1979)
Salah satu karya sastra angkatan 70-an, sebagai berikut :
Mata pisau
( Supardi Djoko Damono)
Mata pisau itu tak berkejap menatapmu
Kau yang baru saja mengasahnya
Ia tajam untuk mengiris apel yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam.
Ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.

C. Ciri-ciri karya sastra pada angkatan 70-an


Penuh semangat eksperimentasi dalam berekspresi, merekam kehidupan masyarakat yang penuh
keberagaman pemikiran dan penghayatan modernitas. Muncul para pembaharu sastra Indonesia
dengan karya-karyanya yang unik dan segar seperti Sutarji Calzoum Bachri dan Yudhistira Ardi
Noegraha dalam puisi, Iwan Simatupang dan Danarto dalam prosa fiksi, Arifin C. Noer dan Putu
Wijaya dalam teater.
1. Puisi
a) Struktur Fisik
a. Puisi bergaya bahasa mantra menggunakan sarana kepuitisan berupa ulangan kata, frasa, atau
kalimat.
b. Gaya bahasa paralelisme dikombinasikan dengan gaya hiperbola untuk memperoleh efek yang
sebesar-besarnya, serta menonjolkan tipografi.
c. Puisi konkret sebagai eksperimen.
d. Banyak menggunakan kata-kata daerah untuk memberikan kesan ekspresif.
e. Banyak menggunakan permainan bunyi.
f. Gaya penulisan yang prosaik.
g. Menggunakan kata yang sebelumnya tabu.

b) Struktur Temantik
a. Protes terhadap kepincangan masyarakat pada awal industrialisasi.
b. Kesadaran bahwa aspek manusia merupakan subjek dan bukan objek pembangunan.
c. Banyak mengungkapkan kehidupan batin religius dan cenderung mistis.
d. Cerita dan pelukisnya bersifat alegoris atau parable.
e. Perjuangan hak-hak asasi manusia, kebebasan, persamaan, pemerataan, dan terhindar dari
pencemaran teknologi modern.
f. Kritik sosial terhadap si kuat yang bertindak sewenang-wenang terhadap mereka yang lemah,
dan kritik tentang penyelewengan.

Prosa dan Drama


a) Struktur Fisik
a. Melepaskan ciri konvensional, menggunakan pola sastra “asurd” dalam tema, alur, tokoh,
maupun latar;
b. menampakkan ciri latar kedaerahan“warna lokal”.
b) Struktur Tematik
1) sosial: politik, kemiskinan, dan lain-lain
2) kejiwaan
3) metafisik.

D. Peristiwa Penting yang Terjadi Pada Angkatan 70-an


Pada periode ini tercatat beberapa periswa penting, antara lain seperti beriku ini.
1. Pada tahun 1970 H.B Jassin diadili. Majalah yang dipimpinnya dituduh memuat cerita pendek
yang menghina agama islam
2. Tahun 1973 penyair Sutarji Calzoum Bachri mngumumkan kredo puisiny. Masih pada tahun ini
muncul itilah “aliran” Rawangan dari M.S. Hutagalung.
3. Pada bulan September tahun 1974 diselenggarakan “Pengadilan” DI Bandung. Masih pada bulan
September diselenggarkan “Jawaban Atas Pengadilan Puisi” yang dilangsungkan di Jakarta.
4. Pada tahun 1975 diselenggarakan Diskusi Besar Cerita Pendek Indonesia, diadakan di Bandung.
5. Tahun 1977 munculistilah Angkatan 70, dilontarkan oleh Damin N. Toda.
6. Tahun 1980 novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karangan Pramoedya Ananta Toer
dilarang oleh Pemerintah. Demikian pula untuk novel-novel lainnya (1985, 1987, 1988)
7. Pada bulan Agustus tahun 1982 diadakan seminar Peranan Sastra dalam Perubahan Masyarakat,
diselenggarakan di Jakarta.
8. Pada tahun 1898 muncul masalah “sastra kontekstual” serta jadi topik diskusi.
Berikut ini penjelasan tentang peristiwa di atas.
1. Pengadilan atas Cerpen “Langit Makin Mendung”
Majalah Sastra yang dipimpin oleh H.B Jassin pada salah satu nomor penerbitannya (1968)
memuat sebuah cerita pendek ( bersambung) karya Kipanjikusmin ( nama samaran). Edisi itu
dilarang beredar dan disita oleh kejaksaan Tinggi Sumatra Utara di Medan. Isi cerita pendek itu
di tuduh mnghina Nabi Muhammad serta agama Islam. Maka, muncul reaksi dar berbagai pihak.
Kipanjikusmin menyatakan mencabut cerita pendek tu (Oktober 1968), sementara H.B. Jassin,
selaku penanggung jawab telah menyatakan permintaan maafnya H.B. Jassin di adili ( 1969,
1970) oleh Pengadilan Negeri di Jakarta. Ia dijatuhi hukuman percobaan.
2. Kredo Pusi Sutarji Cazoum Bachr
Kredo puisi itu merupakan konsep dan sikap Sutarji Calzoum Bachri. Di muat pertama kali
dalam majalah Horison ( Desember 1974). Isi selengkapnya adalah seperti berikut.
Kredo Puisi
Kata-kata bukanah alat mengantarkan pengertian. Dia bukanlah seperti pipa yang menyalurkan
air. Kata-kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk
duduk. Kalau diumpaakan dengan pisau, ia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk
memotong atau menikam.
Dalam kesehari-hariannya, kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan
pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian
Kata-kata haruslah bebas dari penjajahan pengertian, dari beban ide. Kta-kata harus bebas
menentukan dirinya sendiri. Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang
membelenggu mereka seperti kamu dan penjajahan-penjajahan seperti moral kata yang
dibebankan masyarakat pada kata-kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta
penjajahan gramatika.
Bila kata-kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa
menciptakan dirinya sendiri, dan menentukan kemauannya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa
timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian tiba-tiba
karena kebebasannya bisa menyung sang terhadap fungsinya. Maka timbulah hal-hal yang tak
terduga sebelumnya, yang kreatif.
Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah
menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari-nari di atas kertas, mabuk dan
menelanjang dirinya sendiri, mondar-mandir berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya
yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya denga bebas, menyatakan dirinya sendiri
dengan yang lain ntuk memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya
dengan bebas, saling bertentanan sendirisatu sama lainnya karena mereka bebas berbuat
semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak
dan beronak terhadap pengertian yang ingn dibebankan kepada dirinya.
Sebagai penyair saya hanya menjaga, sepanjang tidak mengganggu kebebasannya, agar
kehadirannya yan bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa mendapat aksentuasi
yang maksimal.
Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang beraati mengembalikan katakata
pada mulanya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menuls puisi bagi saya
adalah mngembalikan kata pada mantera.
30 Maret 1973
Itulah kredo puisi Sutarji. Pada akhirnya ia menyatakan “kredo saya jangan ditanggapi
bahwasaya menerapkan secara mutlak”.
3. Aliran Rawamangun
Sebutan aliran Rawamangun pertama kali diperkenalkan oleh M.S Hutagalung dalam
karangannya di harian Kompas (1973) yang berjudul “Kritik Sastra Aliran Rawamangun”.
Menurut Hutagalung, aliran ini adalah prinsip-prinsip yang pada dasarnya dianut oleh kami
berempat, yakni: M. Saleh Saad, Lukman Ali, S.Effendi dan saya (Hutagalung), itupun bila saya
dapat menangkap dengan baik diskusi-diskusi yang sering kami adakan.
Selanjutnya Hutagalung menulis, “pusat perhatian peneliti sastra itu sendiri.pengarang latar
belakang sosial, dan sebagainya juga penting untuk memahami sastra, tetapi janganlah sekali-
kali menggeser tempat karya itu sendiri. Dlam istilahasing anggapan yang disebut ergosentris.
Dengan pendekatan yang lebih mentereng, aliran ini disebut aliran strukturisme.
Para penyusun aliran ini tanpa disadarinya punya prinsip-prinsip yang bersamaan dengan aliran
strukturalisme dalam bidang-bidang linguistik, folklore, dan lain-ain. Jadi sebenarna kurang tepat
bila orang menyebut kritik mereka kritik analisis atau kritik akademis, sebab analisis bagi aliran
ini hanyalah semacam alat untuk memahami lebih jauh struktur cipta sastra itu.
Yang dimaksud dengan struktur adalah organisasi menyeluruh dari cipta itu yang bahu-mebahu
membangun imaji yang dapat menimbulkan kesan pada penikmat sastra. Sejak
semulapendukung aliran ini yakin bahwa keseluruhan itu dibangun oleh unsur-unsur yang saling
membantu dengan eratnya. Jika pada dasarnya kia harus melihat unsur tersebut fungsional
dalam tugasnya membangun keseluruhan.
Itulah tentang aliran Rawamangun. Istilah aliran Rawamangun ini merupakan salah satu aliran
dalam kritik sastra Indonesia.
4. Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir
Pengadilan puis Indonesi merupakan acara kegiatan sastra yang diadakan di Bandung
padatanggal 8 September 1978. Acara ini berlangsung seperti bermain peran. Puisi Indonesia
mutakhir diadili sebagai “terdakwa”. Hakim ketua Sanento Yuliman, Hakim anggota Daramanto
Jt., Jaksa Slamet Kirnanto, Pembela Taufik Ismail, dan saksi adalah sejumlah pengarang
Indonesia.
Puisi Indonesia mutakhir diadili karena dianggap telah melakukan beragai pelanggaran, antara
lain bersikap ahli inovasi serta peanduan nilai. Berdasarkan hal tersebut, jaksa memajukan
tuntutan kepada terdakwa Puisi Indonesia mutakhir sebagai berikut.
1) agar para kritisi sastra Indonesia egera dipensiunkan dari jabatan mereka sebagai kritikus.
2) Agar para editor majalah sastra dipensiunkan.
3) Penyair-penyair mapan harus berenti menulis.
4) Penyair-penyair epigon harus dikarantinakan karena dianggap membahayakan bagi
perkembangan puisi.
5) Agar penyair-penyair reinkarnasi dilarang menulis.
6) Agar majalah Horison dan Budaya Jaya diabut surat izin terbitnya.
7) Kepada masyarakat, dialrang membaca majalah Horison.
Itulah tuntutan Jaksa terhadap terdakw selanjutnya dihadirkan saksi-saksi, antara lain Sutarji
Calzoum Bachri, Saini K.M., Rustandi Kartakusumah. Saksi Saini K.M., menyatakan antara lain
bahwa pengadilan ini tidak sah, karea puisi Indonesia masih di bawa umur.
Setelah semua saksi mengemukakan kesaksiannya, maka tampillah Pembela, Taufik Ismail. Ia
menyatakan pembelaan sebagai berikut.
1) menolak tuntutan pertama ( mempensiunkan kritikus) dengan alasan karena mereka ini tidak
diangkat leh suatu embaga pemerintah. Tuntutan ini lemah karena itu tidak dapat diterima.
2) Tuntutan yang menyatakan bahwa editor harus diberhentikan juga ditolak, karena kurang
beralasan dan lemah.
3) Tuntutan agar penyair mapan dilarang menulis, tidak masuk akal dan mengekang hah-hak asasi
manusia. Tuntutan ini pun lemah.
4) Tentang epigon-epigon yang dilarang menulis, juga tak dapat dibenarkan sebab merek ini pada
suatu masa bisa menemukan diri sendiri. Tuntutan ini kurang kuat.
5) Tuntutan mengenai penyair reinkarnasi agar diasingkan atau dilarang menulis, jug mlawan
biologi manusia. Padaha mereka ini adalah pelangi-pelangi puisi Indonesia. Tuntutan ini tdak
bisa diterima.
6) Agar majalah Hrison dan budaya Jaya dicabut surat izin terbitny, juga tak dapat diterima.
7) Melarang masyarakat untuk membaca majalah Horison juga tak dapat dibenarkan.
Demikian isi singkat pembelaan Taufik Ismail terhadap terdakwa Puisi Indnesia Mutakhir.
Akhirnya Hakim Sanento Yuliman dan DarmantoYt. Memutuskan ketujuh tuntutan
dinyatakanditolak, dan
1) Para kritikus boleh kembali sebab sebentar lagi akan diadakan sekolah pendidikan kritikus.
2) Para editor majalah sastra terus melanjutkan pekerjaannya.
3) Para penyair epigon dan mapan terus menulis
4) Majalah sastra Horion tetap terbit, tetapi berubah nama menjadi Horison Baru.
Atas keputusan hakim di atas, jaksa penuntut merasa tidak puas dan menyatakan naik banding
pada pengadilan puisi yang akan datang.
Begitulah pengadilan puisi itu berlangsung setelah peristiwa ini, di Jakarta diadakan acara
jawaban atas pengadilan puisi, yaitu tanggal 21 September 1974, di fakultas Sastra UI Pembicara
di dalam acara ini antara lain H.B Jassin, M.S. Hutagalung, Goenawan Mohamad, dan Sapardi
Djoko Damono. Dalam hal ini, kita perlu memandang “ pengadilan” itu sebagai sebuah
pertemuan diskusi yang serius di antara para pengarang atau penyair.

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Munculnya angkatan 70-an karena adanya pergeseran sikap berpikir dan bertindak dalam
menghasilkan wawasan estetik dalam menghasilkan karya sastra bercorak baru, baik di bidang
puisi, prosa, dan drama. Pergeseran ini mulai kelihatan setelah gagalnya kudeta G30 S/PKI.
Dalam periode 70-an pengarang berusaha melakukan eksperimen untuk mencoba batas-batas
berupa kemungkinan bentuk baik prosa, drama tidak semakin jelas. Pengarang karya sastra
angkatan 70-an juga berasal dari 60-an.
B. Saran
1. Kepada mahasiswa yang memprogamkan mata kuliah sejarah sastra bisa mengetahui tentang
sejarah sastra .
2. Kepada ibu pembina pada mata kuliah sejarah sastra agar dapat memberikan koreksi mengenai
penyusunan makalah ini.
3. Kepada semua pembaca agar dapat memberikan perbandingan dan pemahaman dari sumber-
sumber yang berbeda tentang debat.

DAFTAR PUSTAKA

http://danririsbastind.wordpress.com/2010/03/10/sastra-ringkasan-ciri-ciri-karya-sastra-tiap-
angkatan/
http://arsyadindradi.blogspot.com/2008/12/penyair-angkatan-70.html
http://jikaku337.wordpress.com/category/mata-pisau/
http://pupudhcvirgo.blogspot.com/2010/10/sejarah-sastra-angkatan-70an.html

Anda mungkin juga menyukai