Anda di halaman 1dari 7

LOKALITAS DALAM SASTRA 

INDONESIA
Posted on 19 April 2007. Filed under: Makalah |
Pengantar
Sastra lokal pada awalnya lebih banyak daripada sastra Melayu. Dalam sejarahhya ia
mengalami semacam tekanan. Selain itu, dominasi bahasa Melayu dan bahasa Indonesia,
juga kehadiran Balai Pustaka, serta teks-teks strukturalis yang mendomlnasi pelajaran
sastra di sekolah ikut membuat sastra lokal kurang terekspresikan. “Ketika kita kurang
mengenal persoalan etnik, sastra sebetulnya dapat menjadi pintu masuk,” demikian
Maman S. Mahayana, kritikus sastra Indonesia dari Universitas Indonesia pada serial
ke-10 diskusi sastra yang diselenggarakan oleh Bale Sastra Kecapi bekerja sama dengan
Bentara Budaya Jakarta dan harian Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Senin 16/4.
Diskusi bertajuk “Lokalitas dalam Sastra” ini juga menghadirkan penyair Sutardji
Calzoum Bachri dan Andy Fuller, peneliti sastra Indonesia. Radhar Panca Dahana
bertindak sebagai moderator. Berikut ini saya sampaikan makalah lengkap dari Maman
S. Mahayana.
LOKALITAS DALAM SASTRA INDONESIA
Lokalitas (locality) sebagai konsep umum berkaitan dengan tempat atau wilayah
tertentu yang terbatas atau dibatasi oleh wilayah lain. Lokalitas mengasumsikan adanya
sejumlah garis pembatas yang bersifat permanen, tegas, dan mutlak yang mengelilingi
satu wilayah atau ruang tertentu. Dalam konsep politik, terutama yang berkaitan
dengan kekuasaan dan penguasaan wilayah, lokalitas dengan sejumlah garis pembatas
yang dimilikinya itu diandaikan pula seperti berhadapan dengan kepungan garis
pembatas lain sebagai simbol atau representasi kekuasaan lain dalam posisi yang bisa
bersifat arbitrer atau bisa juga dalam posisi yang saling mengancam.
Dalam konteks budaya, lokalitas bergerak dinamis, licin, dan lentur, meski kerap
lokalitas budaya diandaikan tidak dapat dilepaskan dari komunitas kultural yang
mendiaminya, termasuk di dalamnya persoalan etnisitas. Secara metaforis, ia
merupakan sebuah wilayah yang masyarakatnya secara mandiri dan arbitrer bertindak
sebagai pelaku dan pendukung kebudayaan tertentu. Atau komunitas itu mengklaim
sebagai warga yang mendiami wilayah tertentu, merasa sebagai pemilik—pendukung
kebudayaan tertentu, dan bergerak dalam sebuah komunitas dengan sejumlah
sentimen, emosi, harapan, dan pandangan hidup yang direpresentasikan melalui
kesamaan bahasa dan perilaku dalam tata kehidupan sehari-hari.
Ada garis imajinatif yang seolah-olah menjadi penanda untuk pembatas-relatif—
berdasarkan garis keturunan, genealogi, atau lingkaran kehidupan sosio-kultural. Oleh
karena itu, lokalitas budaya, lantaran sifatnya yang dinamis, licin, dan lentur, dapat
ditarik ke belakang yang menyentuh tradisi dan kearifan masyarakat dalam menyikapi
masa lalu, ke depan yang mengungkapkan harapan-harapan ideal yang hendak dicapai
sebagai tujuan, ke sekitarnya dalam konteks kekinian, berkaitan dengan kondisi dan
berbagai fenomena yang sedang terjadi dalam masyarakat, atau bahkan ke segala arah
yang menerabas lokalitas budaya yang lain.
Dalam hal itulah, lokalitas budaya tidak bisa direduksi dengan melakukan pembatasan
melalui garis geografi atau politik. Bagaimanapun, lokalitas budaya tidak akan pernah
sejalan dengan lokalitas dalam pengertian politik pemerintahan yang melihatnya
sebagai persoalan kedaerahan dengan batas kewilayahan yang diasumsikan bersifat
permanen, tegas, dan mutlak. Maka dalam pengertian politik itu, lokalitas budaya
dimaknai sebagai budaya lokal yang lalu diperlakukan sebagai budaya daerah.
Dari sanalah dimulainya problem kebudayaan (Indonesia) yang bergulir dengan
lahirnya usaha membuat dikotomi kebudayaan lokal (etnik) dan kebudayaan nasional.
Kebudayaan lokal yang dibenturkan dengan kebudayaan nasional berakibat terjadinya
marjinalisasi sejumlah kebudayaan etnik yang lantaran berbagai faktor, secara sepihak
ditempatkan sebagai bukan termasuk kebudayaan nasional. Dalam hal ini, ada
hegemoni dan penafikan terhadap dinamika kebudayaan lokal yang secara salah kaprah
dicap sebagai kebudayaan daerah. Dengan demikian, dikotomi pusat—daerah
mengisyaratkan bahwa pusat mengatasi daerah. Tak ada kesejajaran di sana. Relasinya
hegemonik, sebab yang ada adalah kecenderungan budaya yang satu melakukan
hegemoni
terhadap yang lain, dan hubungannya berlaku secara vertikal, tidak horisontal.
Pandangan dikotomis semacam itu cenderung diskriminatif karena menempatkan yang
satu (pusat) seolah-olah lebih penting daripada yang lainnya (daerah).
Sastra sesungguhnya merupakan produk budaya. la lahir dari kegelisahan kultural
seorang pengarang. Secara sosiologis, pengarang adalah anggota masyarakat, makhluk
sosial yang sangat dipengaruhi lingkungan sosial budaya masyarakatnya. Maka, ketika
ia memutuskan hendak mengungkapkan kegelisahannya sebagai tanggapan evaluatif
atas segala problem yang terjadi dalam komunitas budayanya, representasinya
terakumulasi dalam teks sastra. Dengan demikian, teks sastra sebenarnya dapat
digunakan menjadi semacam pintu masuk untuk memahami kebudayaan sebuah
komunitas.
Lokalitas dalam sastra bukanlah sekadar ruang (space), tocos, tempat (place) atau
wilayah geografi yang dibatasi atau berbatasan dengan wilayah lain yang secara fisikal
dapat diukur, tetapi mesti dimaknai dalam ranah budaya. Secara struktural, lokalitas
dalam sastra kerap dimaknai sebagai wilayah, tempat, kondisi, atau situasi dalam teks
yang menggambarkan para pelaku memainkan perannya. Lokalitas seperti mengalami
pereduksian menjadi sekadar latar (setting) dalam teks yang mewartakan tempat,
situasi, suasana, atau gambaran tentang masyarakat budaya.
Lokalitas dalam sastra (teks) mestinya diperiakukan bukan sekadar latar an sich,
melainkan sebuah wilayah kultural yang membawa pembacanya pada medan tafsir
tentang situasi sosio-kultural yang mendekam di belakang teks. Di sana lokalitas bukan
abstraksi tentang ruang atau wilayah dalam teks yang beku, melainkan ruang kultural
yang menyimpan sebuah potret sosial, bahkan juga ideologi yang direpresentasikan
melalui interaksi tokoh-tokohnya dan dinamika kultural yang mengungkapkan dan
menyimpan nilai-nilai tentang manusia dalam kehidupan berkebudayaan. Lokalitas –
menyitir pandangan Melani Budianta— adalah “proses pembumian yang tidak pernah
berhenti bergeser, berpindah, dan berubah.” Jika demikian, lokalitas dalam sastra, dapat
dikatakan sebagai proses pemaknaan atas teks yang tersurat atau tersirat. Di sinilah
imajinasi pembaca sangat menentukan proses pemaknaannya. Maka, tidak
terhindarkan, makna teks jadinya akan terus menggelinding, membengkak, dan
memancarkan banyak hal yang dapat dicantelkan dengan realitas masa lalu, masa kini,
atau masa depan yang mungkin bakal terjadi.
Begitulah, lokalitas dalam sastra semestinya dimaknai sebagai ruang kultural yang
dinamis dan tak pernah berhenti pada makna tertentu ketika ia melekat pada teks. Teks
sastra pada gilirannya menjelma medan tafsir yang bermuara pada ruang imajinasi
pembaca. Bukankah sastra dalam proses pemaknaan pembaca adalah teks yang akan
terus menggelindingkan hiruk-pikuk penafsiran. Oleh karena itu, pemahaman lokalitas
dalam (teks) sastra sebagai ruang budaya akan menempatkan makna teks ke dalam
wilayah medan tafsir yang lebih luas lantaran bisa ditarik, dipadankan, dan dicantelkan
dengan realitas kehidupan. Makna teks pada akhirnya tidak berhenti pada makna
tekstual, tetapi terus berkeliaran mengembangkan maknanya secara kontekstual.
Dalam banyak pandangan pengamat sastra Indonesia, kesusastraan Indonesia yang
sejatinya merupakan bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan yang melahirkannya,
seolah-olah wujud begitu saja, tanpa proses, tanpa pergulatan budaya pengarangnya.
Sepertinya, sastra Indonesia dibawa para malaikat dari langit dan kemudian jatuh
seketika di ruang pembaca. Seolah-olah lagi, sastra Indonesia datang dari tiada menjadi
ada, dari situasi kosong, tanpa apa pun, tiba-tiba lahir dan mengada. Akibatnya, sastra
Indonesia dimaknai tanpa ada usaha untuk memahami berbagai masalah sosio-kultural
yang melatarbelakanginya dan penyelusupan ideologi yang melatardepaninya. Oleh
karena itu, sastra Indonesia seperti telah tercerabut dari akar budaya dan problem
ideologi, ketika ia diposisikan sebagai teks an sich.
Pencerabutan sastra Indonesia dari akar budayanya itu terjadi juga ketika tiba-tiba ada
pemisahan yang tegas antara sastra Indonesia lama dan sastra Indonesia modern.
Demikian juga hubungan sastra daerah5 dan sastra Indonesia seolah-olah sudah
menjadi produk budaya yang berada dalam dua kutub yang berjauhan. Keduanya
seperti berjalan sendiri-sendiri dan seolah-olah tidak saling mengenal, tidak saling
mempengaruhi.
Secara temporal, lokalitas dalam sastra sesungguhnya dihadirkan oleh momen dan
peristiwa tertentu. Muhammad Yamin, misalnya, dalam dua puisi awalnya, menyebut
Sumatera—Andalas mula-mula sebagai tanah Melayu yang bahasanya digunakan
sebagai lingua franca penduduk Nusantara. Sumatera ditempatkan sebagai titik
berangkat tradisi yang melahirkannya. “Di mana Sumatera, di situ bangsa/Di mana
perca, di sana bahasa// (“Bahasa, Bangsa”). Dalam puisi Tanah Air”, Sumatera lebih
tegas lagi dikatakan sebagai Tanah Air: “Itulah tanah, tanah airku/Sumatera namanya
tumpah darahku//
Sumatera sebagai lokalitas budaya, bag! Yamin tidak berhenti pada tanah Melayu. Juga
kemudian disadari bukan sekadar tempat kelahiran: tumpah darahku. Dalam konteks
itu, Tanah Air yang pada awalnya dimaknai sebagai kultur leluhur, dan tanah kelahiran.
Datuk Meringgih tampil dalam dua kutub yang saling berlawanan: tradisionalisme—
patriotisme. la menjadi sosok tokoh penindas, curang-licik, serakah, dan brengsek yang
menunjukkan segalam sisi negatif bagi kemanusiaan. Sementara itu, sistem pajak
(belasting) yang dapat dimaknai sebagai penghancuran otoritas ninik-mamak,
pencemaran kultur leluhur, dan pencaplokan tanah kelahiran, adalah alat tegitimasi
tindakan patriotisme sang Datuk Meringgih. Maka, tersirat ia tampil sebagai pahlawan.
Kedua, lokalitas Jakarta (Batavia) dengan Samsulbahri dan modernismenya, juga musuh
ideologis yang harus diperangi. Jakarta dengan Stovia-nya, memang menawarkan sisi
positif modemisme melalui dunia pendidikan. Tetapi di sisi yang lain, Jakarta sebagai
pusat kekuasaan kolonial, memproduksi politik kolonial yang diskriminatif,
menciptakan pengkhianatan pada tanah leluhur.
Bahwa Datuk Meringgih dan Samsulbahri pada akhimya tewas, itulah bentuk kompromi
yang menggiring pembaca melakukan introspeksi. Pembelaan dengan memberi
kemenangan pada tradisionalisme Datuk Meringgih, sama buruknya dengan pembelaan
pada Samsulbahri yang tercerabut dari akar budaya leluhur, jadi pengkhianat, lalu
datang ke tanah kelahiran justru untuk membunuhi sanak-saudaranya sendiri. Bahwa
kematian Samsuhbahri diusung sebagai pahlawan, itu juga bentuk kompromi dengan
syarat dan aturan main yang ditetapkan Balai Pustaka.
Lokalitas dalam Salah Asuhan pada dasamya juga merepresentasikan perang kjeologi
yang semacam itu. Minangkabau—Jakarta, Rafiah—Hanafi— Corrie adalah simbolisasi
dua kutub ideologi. Minangkabau—Raftah adalah dunia adat yang dalam hal-hal
tertentu bermakna negatif. la hidup dengan segala kesederhaan, keterbelakangan, dan
kebodohannya, meski pada akhirnya tampil sebagai korban dan sekaligus juga
pemenang. Batavia—Corrie adalah modernisme yang dalam beberapa hal, justru
berdampak negatif ketika gaya hidup modem (Barat) menjadi ukuran. Maka, Batavia
tempat yang subur bagi pemuasan gaya hidup modern Corrie, tetapi tidak untuk Hanafi.
Keadaannya lebih buruk lagi bagi Hanafi. la membuang kultur leluhur dan hidup di kota
yang dijalaninya setengah hati. Hanafi tertolak di tanah kelahirannya dan mati sebagai
pecundang.
Sejak Balai Pustaka berdiri dan memainkan peranannya sebagai agen ideologi kolonial,
lokalitas Minangkabau yang pada awalnya diposisikan dalam tarik-menarik
tradisionalisme dan modernisme, seperti sengaja diperluas menjadi stereotipe tentang
Timur yang kemudian dibenturkan dengan stereotipe Barat. Lokalitas dalam sastra
yang terbit pada zaman itu lalu ditandai dengan ciri-ciri umum yang memperlihatkan
potret etnik yang eksotik, tradisional, komunal, dan karikaturis.10 Ciri umum itu tentu
saja berlainan dengan stereotipe Barat yang lumrah, modern, individual, kompleks, dan
berperadaban dan berkebudayaan tinggi dengan berbagai teknologinya.
Perdebatan Timur—Barat yang terjadi pada dasawarsa tahun 1930-an yang kemudian
diberi label oleh Achdiat Karta Mihardja sebagai Polemik Kebudayaan, sesungguhnya
lebih merupakan tafsir atas lokalitas kultur etnik yang diperlakukan sebagai
representasi dunia Timur berhadapan dengan globalitas dan semangat rasional Barat.
Lokalitas dalam sastra terbitan Balai Pustaka ketika itu memperlihatkan marjinalisasi
dan inferioritas dunia Timur dalam berhadapan dengan superioritas dunia Barat. Tentu
saja tafsir ini tidak berlaku ketika kita mencermati karya-karya yang berada di luar jalur
Balai Pustaka. Kesusastraan di luar Balai Pustaka ini pula yang seolah-olah sengaja
dibiarkan tanpa suara, dituding sebagai “bacaan liar” dan dicemooh sebagai roman
picisan. Di dalam novel-novel yang terbit di luar Balai Pustaka, kita akan banyak
menjumpai tokoh-tokoh Belanda yang pemabuk, keluar—masuk rumah bordil, bahkan
juga potret dunia pernyaian yang terjadi ketika itu.
Pada zaman Jepang (1942—1945), konsep lokalitas bisa ditarik—ulur sesuai tuntutan
ideologi pemerintah pendudukan Jepang. Lokalitas Jawa dengan ikon Borobudur,
misalnya, bisa ditempatkan sebagai milik Indonesia, cermin kemajuan peradaban Asia
Tenggara, menjadi kebanggaan bangsa Asia, awal kebangkitan kembali bangsa-bangsa
di Asia—Afrika (Mesir). Dengan demikian, Sakura, Angkor Wat, Tembok Besar Cina atau
piramida Mesir, sengaja digunakan sebagai pintu masuk untuk menumbuhkan rasa
percaya diri bangsa Asia dan kebangkitan bangsa-bangsa Asia dan Afrika dalam
menentang kolonialisme. Lokalitas digunakan sebagai alat menggugah sentimen ras
sesama bangsa Asia. Jika pada zaman sebelumnya dunia Timur digambarkan sebagai
stereotipe tradisional, terbelakang, tidak berbudaya, irasional, dan mirip barang
rongsokan, maka pada zaman Jepang, stereotipe itu dibongkar dan dicitrakan
sebaliknya.
Lokalitas dalam sastra pada akhirnya tidak dapat dipatok sebatas makna tekstual. Teks
sekadar bertugas memberi isyarat pada pembaca akan adanya simpul-simpul makna
yang mendekam dan bersembunyi di luar teks. Ketika makna itu diterjemahkan
pembaca, seketika itu pula simpul-simpul tadi memberi sinyal lain yang memungkinkan
saklar imajinasi pembaca bergentayangan memasuki medan tafsir dan mengungkap
kekayaan dan kompleksitas sosio-budaya yang melingkari, membentuk, mempengaruhi,
dan menciptakan visi budaya dalam diri sastrawan bersangkutan. Dengan demikian,
lokalitas dalam sastra, lebih merupakan ruang imajinatif pembaca yang berangkatnya
bersumber pada teks, pada makna tekstual.
Perhatikan teks berikut ini:
Aston kelihatan kaget. la melangkah menerobos kesibukan … Orang-orang
mengikutinya…. Sebuah komidi puterdengan ributnya memanggil anak-anak kampung
dengan lagu-lagu dangdut. Seorang pedagang kain dengan aksen orang awak sibuk
berteriak-teriak mengatasi suara mesin parutan kelapa, menarik perhatian ibu-ibu yang
mondar-mandir mencari bumbu dapur. Sebuah truk kecil yang biasa mengangkut es,
ribut mengklakson untuk mencari parkiran menggeser tukang-tukang becak yang tak
mau minggir kalau tidak dicolek secara pribadi oleh kenek. Dari arah yang lain, masuk
mobil penjual jamu dengan badut kate. Jalan yang menampung dua arus kendaraan …
itu agak kalang kabut, sebagaimana biasanya. Sepasang suami-istri muda dengan tenang
mendorong kereta bayi, anaknya yang baru berusia beberapa bulan menggeliat-geliat.
Di pinggang bapak muda itu ada walkman. Di atas atap dua buah rumah, teriihat
beberapa anak mengayun-ayunkan burung merpati, memangil merpati yang baru saja
diterbangkan. Dan sebuah kapal terbang melintas dekat sekali, tapi tak ada yang
mengacuhkan. (Putu Wijaya, Pol, Jakarta: Grafiti, 1987, him. 10—11).
Bagaimana kita menyimpulkan persoalan lokalitas dalam teks di atas? Bukankah ketika
kita mengikuti deretan kalimat dalam teks itu, tanpa sadar, saklar imajinasi kita
menyala seketika dan kemudian bergentayangan mencari cantelannya pada makna di
luar teks? Tidak dapat lain, pintu masuknya memang teks. Dan yang menghidupkan teks
itu memperoleh lokalitasnya, tidak lain, karena pembaca juga mempunyai persediaan
referensi tentang lokalitas berdasarkan pemahaman dan pengalamannya sendiri.
Bukankah teks itu hidup lataran imajinasi pembaca menghidupinya.
Perhatikan juga puisi Sutardji Calzoum Bachri berikut ini:
LUKA ha ha
Bagaimana kita menemukan lokalitas dalam puisi itu ketika sinyal dan simpul-simpul
maknanya tidak kita temukan atau seola-olah tidak ada di sana. Kembali, persoalan
lokalitas dalam sastra tidak berhenti pada teks. Dalam hal ini, salah satu tugas utama
pembaca adalah menelusuri, melacak dan mencari makna di luar teks. Pencarian dan
pelacakan itu memang pada akhirnya bermuara pada latar belakang sosio-kultural yang
melingkari diri pengarang. Cantelan teks dengan konteks menjadi niscaya ketika kita
hendak menguak kekayaan maknanya. Lokalitas menjadi ruang sosio-kultural yang
harus diterjemahkan berdasarkan pemahaman tiga kode: kode bahasa, kode sastra,
kode budaya.
Ketika kita mencoba menerjemahkan makna puisi itu secara tekstual, seketika itu pula
kegagalan membayangi kita dalam usaha mengungkapkan kekayaan makna yang
mendekam di belakang teks. Meskipun begitu, ketika kita menemukan makna yang
berada di belakang teks, problem lokalitas tetaplah mesti ditempatkan dalam medan
tafsir yang terus menggelindingkan maknanya sampai entah ke mana. Sutardji Calzoum
Bachri secara kultural menyerap dan merevitalisasi mantra, pantun, gurindam, dan
tradisi sosial—budaya Melayu. Tetapi ketika ia berada di level sastra Indonesia,
lokalitas Melayu serta-merta berhadapan dengan lokalitas budaya lain dan diizinkan
menerobos wilayah dalam wacana keindonesiaan. Tetapi, ketika Melayu ditempatkan
dalam wilayah regional, lokalitas Melayu seketika bisa menerabas lokalitas budaya yang
lain hingga melewati batas politik wilayah negara Asia Tenggara. Lokalitas dalam sastra
menjadi begitu lentur, fleksibel, licin, dinamis, dan tidak menyediakan sebuah tempat
pemberhentian terakhir. Dalam ruang imajinasi pembaca, memang tersedia terminal.
Tetapi ia bukan sebagai tempat pemberhentian terakhir, tetapi sebagai titik
pemberangkatan berikutnya menuju makna teks yang tidak pernah berhenti
menggelinding, dan oleh karena itu juga tidak pernah selesai dirumuskan.
Lokalitas dalam konteks global pada akhirnya juga dapat diperlakukan begitu licin,
lentur, dinamis yang dalam bahasa Melani Budianta, tidak pernah berhenti bergeser,
berpindah, dan berubah. Dengan demikian, dikotomi lokalitas— globalitas adalah
konsepsi yang secara spasial bersifat relatif lantaran tidak dapat dirumuskan sebagai
konsepsi yang sudah selesai. la berada dalam ruang dinamis yang secara terus-menerus
dapat diperluas atau dipersempit, bergantung pada keluasan wawasan pembaca dan
kecerdasannya memainkan ruang imajinasi ketika ia memasuki dan berada dalam
medan tafsir.
Salah satu problem besar pemahaman sastra Indonesia —sebagaimana yang tampak
dalam pengajaran sastra Indonesia di sekolah dan berdasarkan pengamatan sejumlah
besar skripsi atau tesis di berbagai institusi sastra—adalah kemalasan mencari dan
menemukan cantelan teks dengan konteks sosio-budaya. Padahal, sastra Indonesia
menyajikan begitu banyak problem itu. Belum lagi jika dikaitkan dengan perubahan
politik sekarang yang memberi ruang pemerintah daerah mengurus dan
mengembangkan dirinya (otonomi daerah). Oleh karena itu, keyakinan bahwa teks
sudah menyediakan segalanya dan pemaknaannya cukup sampai pada makna tekstual,
mesti dimaknai sebagai salah satu halte yang memungkinkan pembaca melanjutkan
perjalanannya sampai entah ke mana.
Demikianlah, lokalitas dalam sastra tidak lain adalah isyarat dan simpul makna teks
yang mempunyai kualitas untuk menghidupkan saklar imajinasi pembaca memasuki
medan tafsir yang tidak pernah selesai. Tanpa kualitas itu, lokalitas dalam sastra akan
terjerembab pada ketersesatan, sebuah tempat pemberhentian terakhir. Dalam ruang
imajinasi pembaca, memang tersedia terminal. Tetapi ia bukan sebagai tempat
pemberhentian terakhir, tetapi sebagai titik pemberangkatan berikutnya menuju makna
teks yang tidak pernah berhenti menggelinding, dan oleh karena itu juga tidak pernah
selesai dirumuskan.
Lokalitas dalam konteks global pada akhirnya juga dapat diperlakukan begitu licin,
lentur, dinamis yang dalam bahasa Melani Budianta, tidak pernah berhenti bergeser,
berpindah, dan berubah. Dengan demikian, dikotomi lokalitas— globalitas adalah
konsepsi yang secara spasial bersifat relatif lantaran tidak dapat dirumuskan sebagai
konsepsi yang sudah selesai. la berada dalam ruang dinamis yang secara terus-menerus
dapat diperluas atau dipersempit, bergantung pada keluasan wawasan pembaca dan
kecerdasannya memainkan ruang imajinasi ketika ia memasuki dan berada dalam
medan tafsir.
Salah satu problem besar pemahaman sastra Indonesia —sebagaimana yang tampak
dalam pengajaran sastra Indonesia di sekolah dan berdasarkan pengamatan sejumlah
besar skripsi atau tesis di berbagai institusi sastra—adalah kemalasan mencari dan
menemukan cantelan teks dengan konteks sosio-budaya. Padahal, sastra Indonesia
menyajikan begitu banyak problem itu. Belum lagi jika dikaitkan dengan perubahan
politik sekarang yang memberi ruang pemerintah daerah mengurus dan
mengembangkan dirinya (otonomi daerah). Oleh karena itu, keyakinan bahwa teks
sudah menyediakan segalanya dan pemaknaannya cukup sampai pada makna tekstual,
mesti dimaknai sebagai salah satu halte yang memungkinkan pembaca melanjutkan
perjalanannya sampai entah ke mana.
Demikianlah, lokalitas dalam sastra tidak lain adalah isyarat dan simpul makna teks
yang mempunyai kualitas untuk menghidupkan saklar imajinasi pembaca memasuki
medan tafsir yang tidak pernah selesai. Tanpa kualitas itu, lokalitas dalam sastra akan
terjerembab pada ketersesatan.***
Sumber: https://johnherf.wordpress.com/2007/04/19/lokalitas-dalam-sastra-
indonesia/

Anda mungkin juga menyukai