Anda di halaman 1dari 20

SAYEMBARA PENULISAN KARYA ILMIAH KEBAHASAAN DAN KESASTRAAN NASIONAL

MENCARI TITIK BALIK PANTUN


SEBAGAI STIMULAN INTELEKTUAL SEPANJANG
MASA
OLEH : AMINUDIN, S.S.

GURU BAHASA INDONESIA


SMKN 1 BLITAR
MENCARI TITIK BALIK PANTUN

SEBAGAI STIMULAN INTELEKTUAL SEPANJANG MASA

Titik Tolak Pemikiran


Kekayaan intelektual berupa karya sastra lama, seperti: mantra, pantun
dengan berbagai variannya (karmina, talibun dan seloka), cerita rakyat, syair,
dongeng dll, seakan telah menjadi artefak sejarah sastra masa lalu yang pernah
ada tanpa dibarengi pengembangan lebih lanjut yang signifikan. Akibatnya,
bicara tentang pantun di zaman gadget memberi kesan membahas sesuatu
yang usang, selain pantun masuk dalam genre puisi lama juga menjadi bagian
dari kebudayaan tradisional. Bius game online dan sosial media telah
menghilangkan kreativitas generasi sekarang dalam mengembangkan kekayaan
literasi berbasis lokal dan tradisional tersebut. Padahal dari khazanah kekayaan
budaya literasi masa lalu telah menorehkan kitab-kitab sejarah yang menjadi
sumber buku-buku sejarah masa kini, seperti: Babad, Hikayat, Geguritan
(macapat, kakawin dan kidung), dan lain-lain. Tidak hanya menjadi sumber
sejarah, sastra lama juga menjadi sumber pendidikan moral, keagamaan, sosial
kemasyarakat serta nilai-nilai filosofis abadi yang masih cukup relevan dengan
kondisi masyarakat kekinian. Kejayaan Nusantara di masa lalu, seperti:
Majapahit, Sriwijaya, Singasari, sampai Mataram tidak pernah lepas dari budaya
literasi masa lalu yang cukup mengakar pada para pemangku kerajaan serta
pujangga masa lalu seperti para Mpu dan para Resi.
Kehadiran teknologi informasi berupa gadget dengan berbagai
pengembangan istilahnya (telepon seluler, tablet, android, dan notebook) telah
mengakar di seluruh lapisan masyarakat. Kehadirannya tidak mungkin dapat
dicegah. Ketika seluruh informasi dunia sudah berpindah pada telapak tangan,
maka dibutuhkan kekuatan untuk membangun budaya literasi yang mampu
bersaing untuk bersama-sama menawarkan pengaruh. Kehadiran gadget
melahirkan kekayaan literasi dari berbagai belahan dunia, baik itu yang bersifat
kekinian, temporer dan masif. Tawar menawar literasi melalui dunia maya tidak
lagi diukur dari segi kualitas, tetapi cenderung karena intensitas kehadirannya.
Ketika hasil karya literasi demikian kuat diekspos secara terus-menerus, maka
dia akan memiliki kemampuan tawar-menawar yang kuat untuk dikonsumsi
oleh para netizen.
Pemikiran tersebut hanyalah analog pemikiran penulis, terkait posisi
pantun bersanding dengan fenomena kekinian. Lebih jauh penulis tidak akan
membahas tentang gadget dengan segala terminologi di dalamnya. Penulis
hanya akan melihat perspektif pantun sebagai karya intelektual yang pernah
dibesarkan di negeri ini dan akan tetap menjadi besar apabila ditawarkan
secara terus-menerus. Sebuah hasil literasi pada hakikatnya akan menjadi
mandeg ketika tidak ditawarkan secara terus-menerus serta dikembangkan
secara kreatif. Diperlukan kekuatan besar untuk membangun minat para
generasi masa kini untuk melirik kembali kekayaan intelektual masa lalu,
khususnya budaya literasi pantun.
Ada dua penekanan yang akan dibahas pada tulisan ini. Pertama, tulisan
ini membahas perspektif pantun dari sudut pandang intelektualitas, maksudnya
melihat pantun dari sudut pandang keberfungsiannya bagi generasi muda di
lingkungan pendidikan dalam peningkatan kecerdasan berbahasa. Akan tetapi
tulisan ini juga tidak melupakan pantun sebagai karya anak bangsa pada masa
lalu, sehingga juga akan merunut lebih mendalam tentang pantun pada masa
lalu hingga sekarang. Dengan merunut kehadiran pantun sebagai buah
intelektual pada masa lalu, penulis berharap bisa menjadi titik balik bagi
generasi sekarang untuk lebih mencintai pantun atau berkreasi dengan pantun
untuk menemukan kebermaknaan hidup. Kedua, kita juga akan mencoba untuk
menemukan titik balik atau pantulan pantun sebagai sebuah karya sastra lama
bagi pengembangkan intelektual anak bangsa. Pada pembahasan ini pantun
diumpamakan sebagai bola yang kita pantulkan ke tanah, kemudian kita ukur
tingginya pantulan atau tekanan pantulan itu sehingga kita mampu mengukur
seberapa besar keberfungsian pantun disandingkan dengan dunia kekinian
yang semakin praktis dan cepat. Dampak lebih lebih besarnya, pantun juga bisa
ditempatkan sebagai impuls pendidikan karakter dan stimulan peningkatan
kecerdasan di lingkup pendidikan.
Titik Pangkal Pantun
Kalau Timur Tengah menjadi asal usul lahirnya syair, maka Melayu
menjadi induk semangnya pantun. Kalau di Timur Tengah masa jahiliyah,
intelektualitas seseorang diukur dari kemampuannya bersyair, demikian pula
intelektualitas rakyat Melayu diukur berdasarkan kemampuannya dalam
berpantun. Pantun telah diakui secara internasional sebagai kekhasan khazanah
sastra rakyat Melayu. Sebelum pantun dikenalkan secara tertulis oleh Haji
Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau melalui antologi pantunnya, sebenarnya pantun
sudah dikenal luas oleh rakyat Melayu sebagai bagian dari kebiasaan dalam
bercengkerama, permainan anak-anak, upacara adat pernikahan, juga
nyanyian-nyanyian rakyat. Bahkan dalam berbagai cerita hikayat pun terselip
bait-bait pantun, berupa syair-syair lagu, sindiran, kejenakaan serta sanjungan.
Kehadiran pantun secara tertulis memang hampir bersamaan dengan
hadirnya gurindam dua belasnya Raja Ali Haji yakni berkisar antara tahun 1840-
an. Bahkan dalam catatan sejarah, antara Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau
dengan Raja Ali Haji terjalin persahabatan yang cukup kental, serta keduanya
memiliki minat yang sama kuat terhadap sastra Melayu lama. Pantun yang
ditulis oleh Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau bertajuk Perhimpunan Pantun-
pantun Melayu. Ini menjadi karya pantun dalam bentuk tulis pertama yang
ditemukan dalam tulisan arab pegon. Akan tetapi, pantun secara lisan
sesungguhnya jauh lebih dulu hadir pada masyarakat Melayu, bahkan bisa
dikatakan hadirnya seiring dengan lahirnya bahasa Melayu itu sendiri.
Tidak seperti halnya puisi-puisi baru yang diciptakan dengan duduk
bermenung berlama-lama, pantun hadir lebih spontan dan dinamis. Hadirnya
bait-bait pantun yang bersifat spontan inilah sempat terjadi perebutan hak
paten kekayaan lagu daerah Maluku Rasa Sayange dengan Malaysia. Justru hal
ini pula yang mengisyaratkan tentang keberadaan pantun yang sudah melekat
pada rakyat Melayu. Sementara rakyat Melayu secara teritorial penyebarannya
cukup luas, yang ditandai dengan bahasa penutur Austronesia. Sebaran bahasa
ini meliputi Pulau Fromosa, Kepulauan Nusantara, Philipina, Pesisir Selatan
Srilanka dan Pulau Madagaskar. Bahkan, penelitian lebih mendalam yang
dilakukan oleh Stephen Oppenheimer bahwasanya Bahasa Austronesia menjadi
salah satu asal usul Bahasa Dunia. Maka, menjadi sangat wajar kalau kemudian
pantun ini memiliki varian yang cukup banyak dan sulit untuk dikatakan sebagai
milik wilayah tertentu.
Dilihat dari asal usulnya, sebagai kebutuhan komunikasi, pantun ibarat
sebuah kebutuhan bahasa primer untuk menghadirkan suasana akrab dalam
pergaulan antar sesama. Dari sinilah, meski tidak ada catatan waktu khusus
tentang hadirnya pantun, tetapi pantun diakui sebagai genre puisi lama yang
mampu bertahan dalam rentang waktu yang cukup panjang. Bahkan, sampai
saat ini pun pantun masih tetap dipakai untuk beberapa kebutuhan upacara
adat di daerah tertentu, seperti Minangkabau, Betawi dan Riau khususnya
untuk upacara pertunangan dan pernikahan. Dalam beberapa acara,
penceramah atau pembawa acara sering pula memanfaatkan pantun sebagai
penghidup suasana serta memancing perhatian audiens.
Meskipun pantun lebih cenderung dipandang sebagai budaya Melayu,
sesungguhnya pantun juga bisa dianggap sebagai kebudayaan Indonesia
secara menyeluruh. Hal ini terbukti dengan varian pantun yang menyebar ke
berbagai wilayah Nusantara. Kata pantun memang diambil dari bahasa
Minangkabau, yakni patuntun. Akan tetapi, pantun secara sporadis juga
berkembang di daerah-daerah lain dengan istilah-istilah yang berbeda pula,
seperti di Jawa disebut parikan, di Sunda paparikan, di Aceh dan Ambon
disebut panton, di Aceh rejong, di Batak ende-ende, dll.
Dari fakta tersebut menjadi bukti bahwa berpantun menjadi pengikat
kebudayaan yang cukup kuat antar suku bangsa di Indonesia. Dengan
mencermati sebaran pantun yang hampir memenuhi sebagian suku-suku di
Indonesia, maka pantun bukanlah bagian dari kekayaan sastra daerah. Akan
tetapi, pantun sudah menjadi kekayaan sastra Indonesia. Bahkan pantun
semestinya sudah menjadi jati diri bangsa yang bisa kita banggakan di kancah
pergaulan bahasa-bahasa di dunia.
Mencari Titik Temu
Dalam kebutuhan referensi pantun bagi pelajar, pantun selalu
disandingkan dengan kamus peribahasa dan kamus ungkapan. Hal ini karena
memang dalam pantun terkandung pula permainan peribahasa dan ungkapan-
ungkapan. Contoh:
Janganlah suka Dik, makan mentimun
Mentimun itu, banyak getahnya
Janganlah suka Dik, duduk melamun
Melamun itu, banyak susahnya
(Syair lagu “Pak Ketipak Ketipung” yang dinyanyikan dalam film “Sang
Pemimpi” )
Pada bagian isi kebanyakan pantun Melayu lama/asli merupakan peribahasa,
yakni berupa kelompok kata yang memiliki susunan kata tetap serta
mengandung aturan dasar dalam berperilaku yang baik atau aforisme. Aforisme
dalam pantun inilah yang menjadi titik kekuatan pantun bisa bertahan lama,
yang kemudian dibukukan dalam bentuk kamus sebagai sarana nasihat-
menasihati. Indahnya permainan kata dan permainan rima pantun menjadikan
nasihat menjadi mudah melekat bagi para pendengarnya.
Banyak sekali kitab pantun atau kamus pantun yang disusun oleh
peminat pantun. Kamus-kamus pantun ini menjadi sangat unik kalau kita
mencermati dengan jeli. Misalkan saja buku pantun yang disusun oleh M.
Miftah Fauzi, S.Pd dengan judul Kamus Lengkap Pantun Indonesia . Keberadaan
kamus pantun tersebut bukanlah menjadi satu-satunya. Bila kita kaji tujuan
penyusunan pantun M. Miftah Fauzi, S.Pd dengan Haji Ibrahim Datuk Kaya
Muda Riau tentulah sangat berbeda. M. Miftah Fauzi, S,Pd dalam bukunya
hanya bertindak sebagai penyusun alias pengumpul pantun-pantun yang
bertebaran secara lisan sebanyak yang beliau temukan. Akan tetapi, Haji
Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau adalah pengarang pantun serta pemilik sah
pantun-pantunnya karena beliau menjadi orang pertama terhadap hasil
karyanya. Hal ini yang menjadikan pembeda terhadap perkembangan pantun-
pantun sebelumnya yang cenderung bersifat anonim.
Peng-kamus-an pantun sebagaimana yang dilakukan M. Miftah Fauzi,
S.Pd memberi kesan pantun itu sebuah karya sastra masif dan baku. Peng-
kamus-an pantun juga menjadikan pantun berfungsi sebagaimana sekumpulan
kata-kata yang tidak bisa dibedah lagi untuk dinilai estetika dan imajinasinya.
Akibat lebih jauh, pantun hanya menjadi milik masa lalu yang sudah tidak bisa
dikembangkan sebagaimana puisi-puisi baru dengan masalah-masalah kekinian.
Padahal kebakuan pantun hanya terletak pada persajakan, metrum, gatra dan
baris. Akhirnya, keberadaan kamus pantun hanya dijadikan bahan referensi
sebagaimana fungsi ensiklopedia, maksudnya para pelajar hanya
memanfaatkan pantun di dalamnya sebagaimana mencari kata-kata dalam
kamus. Siswa tidak lagi memiliki hak mengkreasikan pantun selayaknya karya
sastra lainnya yang terus menerus mengalami perubahan dan perkembangan.
Pada akhirnya, para pelajar hanya menjadi plagiator pantun untuk keperluan
tugasnya dengan bersumberkan kamus pantun.
Seperti yang sudah diketahui secara umum, estetika baku pantun
terletak pada rima, gatra dan metrum serta pembagian baris tiap baitnya. Rima
pantun yang a b a b menjadi stereotip tersendiri, yang membedakannya
dengan syair serta puisi-puisi baru lainnya. Demikian pula empat baris dalam
tiap baitnya adalah kekhasan pantun yang lainnya, yakni dua baris pertama
disebut sampiran, dua baris terakhir disebut isi. Sampiran secara umum disebut
sebagai pijakan rima tanpa ada kaitan makna atau tujuan penciptaan pantun itu
sendiri. Sampiran bisa mengungkapkan apapun sesuka pengarang dalam
mengembangkan imajinasinya. Dengan demikian, sampiran seakan-akan
menjadi tidak penting untuk dicermati apalagi diambil maknanya karena yang
dipentingkan dalam sampiran hanyalah permainan rimanya.
Akan tetapi, tidaklah demikian kalau kita mencermati hasil karya Haji
Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau. Misalnya karya beliau yang berjudul Kampung
Cina Terbakar seperti berikut:
Kampung Cina dimakan api
Terangnya sampai ke Tanjungpinang
Cinta Merana di dalam hati
Kepada tuan juga terkenang.

Terangnya sampai ke Tanjungpinang


Belanda melihat dari pabean
Kepada tuan juga terkenang
Tidak tuan belas kasihan.

 Belanda melihat dari pabean


Orang kapal tengah berangkut
Tidakkah tuan belas kasihan
Apa kala abang nin takut.

 Dibawa masuk ke dalam gudang


Gudang kompeni beratap bata
Jikalau tidak tentu kuadang
Berani juga main senjata

 Gudang Kompeni beratap bata


Isi perkakas meriam pedati
Berani juga main senjata
Asalkan puas di dalam hati.

 Isi perkakas meriam pedati


Tanjung Pinang tanah kompeni
Asalkan puas di dalam hati
Abang terkenang selama ini

Sampiran dalam pantun karya Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau tidak
hanya bersifat spontan, tetapi ada jalinan cerita yang mengandung makna.
Pantun tidak lagi hanya dapat dicermati oleh pembaca/pendengar pada bagian
baris tiga dan empat saja, tetapi ada kekuatan imajinasi pada bagian sampiran
yang saling terjalin. Seandainya sampiran pantun Kampung Cina Dimakan Api
dirakit, maka menjadi akan membentuk puisi seperti berikut:
Kampung Cina dimakan api
terangnya sampai ke Tanjungpinang
Belanda melihat dari Pabean
Orang kapal tengah berangkut
dibawa masuk ke dalam gudang
gudang kompeni beratap bata
isi perkakas meriam pedati
Tanjung Pinang tanah kompeni.
Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau tidak sekedar memberi petuah
kepada pembaca melalui baris tiga dan empat. Akan tetapi, beliau
menyembunyikan ungkapan pikiran dan perasaan melalui baris sampiran
pantun. Apabila kita sandingkan dengan puisi WS Rendra, sesungguhnya ada
protes sosial pada pantun itu. Tentunya disesuaikan dengan situasi dan kondisi
pada zamannya. Akan tetapi, beliau lebih halus cara pengungkapannya, yakni
dengan bahasa yang bersifat naratif. Beliau hendak menyampaikan tentang
konfrontasi antara Cina dan Kompeni. Bahkan, beliau menegaskan tentang
keberadaan Tanjung Pinang sebagai wilayah kekuasaan kompeni. Lantas
kompeni memanfaatkan masyarakat pribumi untuk menjarah kampung Cina,
yang kemudian hasil jarahannya dimasukkan ke gudang kompeni. Inilah yang
kemudian kita sebut dengan politik adu domba, karena Tanjung Pinang dikenal
sebagai kampung Cina dan Melayu.
Hasil karya Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau banyak berkonsentrasi
tentang Tanjung Pinang sebagai tanah jajahan. Kampung Cina Terbakar
hanyalah salah satu karya beliau yang berpijak pada gambaran realitas
masyarakat Tanjung Pinang. Karya-karya lainnya seperti : Pekan di Tanjung
Pinang, Kubu Belanda, Penduduk Tanjung Pinang dll. menjadi gambaran sosok
beliau yang tidak sekedar menjadikan pantun sebagai alat berpetuah,
bercengkerama, berteka-teki serta bersenda gurau, tetapi beliau mampu
menyampaikan pantun sebagai torehan kata-kata cerdas untuk memperlihatkan
fakta sosial yang lebih bermakna. Hasil karya Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda
Riau ini juga menjadi pijakan para sejarahwan menulis sejarah Tanjung Pinang
di masa penjajahan. Kalaupun boleh membuat genre puisi baru, maka pantun-
pantun karya beliau merupakan perkawinan antara pantun dengan puisi.
Untuk membuat pantun seperti itu tentunya dibutuhkan kecerdasan
dalam memilih dan memilah kata. Tentunya hasil karya pantun sebagaimana
milik Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau menjadi cermin kecerdasan
pemiliknya dalam berbahasa. Kemampuan beliau dalam mengkreasikan pantun
seharusnya menjadi titik balik peningkatan kecerdasan bagi generasi muda
melalui bangku-bangku sekolahan. Pantun tidak hanya berhenti sebagai
artefak, tetapi bisa diformulasikan sebagai media pembelajaran bahasa yang
cerdas. Hal ini juga menjadi bukti akan keberfungsian pantun sebagaimana
yang dibanggakan pada masa lalu, yakni kepandaian seseorang dalam
berpantun menjadi cermin kecerdasan seseorang.
Hadirnya puisi Aku karya Chairil Anwar seakan menjadi batas matinya
puisi-puisi lama. Ini pula yang menjadikan kesalahan berpikir pada generasi-
generasi berikutnya, bahwa pantun dan puisi-puisi lama lainnya sudah tidak
bisa disandingkan dengan puisi-puisi baru sebagai bentuk olah pikir dan olah
rasa. Kreativitas berpantun masih berlangsung, yakni sebatas penugasan di
bangku kelas, tetapi tidak tersedia media untuk mengembangkan pantun
sebagai buah kreativitas dalam bersastra. Pantun yang memiliki estetika terikat
justru hanya berfungsi sebagai bumbu pembicaraan, tetapi tidak mampu
bersanding dengan puisi-puisi modern sebagai buah intelektualitas dalam
bersastra. Akibat lebih jauh, pantun tidak pernah dimiliki oleh individu sebagai
hak paten dalam berkarya sastra, tetapi pantun menjadi milik publik tanpa
menampilkan nama penulis aslinya.
Bermain bahasa dalam bentuk terikat tidaklah sederhana. Apalagi
permainan kata ini disertai ide, paparan fakta, atau ungkapan perasaan
tertentu. Hal ini dibutuhkan kecerdasan yang lebih agar ide dapat dikawinkan
dengan ikatan aturan yang ketat. Puisi modern hanya bermain pada ide dan
pilihan kata tanpa pertimbangan rima, suku kata atau baris. Sehingga estetika
puisi modern hanya diukur dari kekuatan ide dan imaji kata-katanya yang
berupa pe-majas-an, diksi, serta ungkapannya. Jika saja kita ukur dengan teori
matematis, puisi modern bernilai lebih rendah dibanding dengan pantun karena
puisi modern titik ordinatnya lebih rendah dengan pantun. Semua komponen
puisi modern ada pada pantun, tetapi tidak semua komponen pantun ada pada
puisi modern. Pantun lebih akrab dengan masyarakat berbagai kelas intelektual,
puisi hanya dimiliki oleh golongan intelektual tertentu, yang notabene mereka
memiliki intensitas cukup tinggi dalam berkecimbung di dunia sastra.
Menemukan Titik Tumpu
Dengan mencermati berbagai fakta tersebut, tulisan ini mencoba
mengajak para insan pendidik, para generasi terdidik atau bahkan pencermat
sastra untuk kembali bersama-sama mengangkat khazanah sastra yang sudah
terabaikan tersebut untuk dikaji lebih dalam. Kajian yang dimaksud adalah
menyusun formulasi yang tepat bagi generasi mendatang untuk mau dan
mampu mengembangkan pantun sebagai bentuk kreativitas intelektual. Pantun
tidak lagi dimandegkan sebagai bagian dari sejarah khazanah sastra lama,
tetapi tetap eksis sebagai bagian budaya berkomunikasi pada masyarakat
modern. Seperti halnya kebanggaan bangsa ini memperebutkan kembali hak
paten lagu Rasa Sayange dari negara tetangga.
Lembaga pendidikan menjadi motor utama pengembangan ilmu
pengetahuan. Kurikulum menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari lembaga
pendidikan. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia menjadi salah satu mesin
pengembang utama kebahasaan dan kesusastraan Indonesia. Dia hadir dari
sejak pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi. Kehadirannya
adalah wajib dan niscaya akan tetap dihadirkan selama bangsa ini berdiri tegak
di antara bangsa-bangsa lain. Bahkan, bahasa Indonesia pada saat ini menjadi
bagian yang cukup penting sebagai sarana komunikasi negara-negara Asia
Tenggara sejak diterapkannya Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) tahun 2015
yang lalu. Akan tetapi, pertanyaannya adalah sudahkan bahasa Indonesia
cukup mewarnai generasi sekarang, khususnya generasi dalam lingkup lokal,
dari segala aspek yang dimilikinya? Aspek di sini maksudnya tidak sekedar
unsur linguistiknya, tetapi meliputi kesusastraannya.
Dengan melihat posisi bahasa Indonesia yang cukup strategis, maka
sudah selayaknya bahasa Indonesia tidak ditempatkan sebagai alat komunikasi
semata, melainkan harus menjadi alat pengembangan kesusastraan Indonesia.
Salah satu khazanah sastra yang kaya akan nilai-nilai sosial kemasyarakatan
salah satunya adalah pantun. Mengapa bukan gurindam, syair ataupun mantra?
Gurindam sejak dicetuskan oleh Raja Ali Haji tidak mengalami perkembangan
yang signifikan, meski sesungguhnya sarat akan nilai-nilai moral. Syair
bukanlah asli milik budaya Melayu. Sedangkan mantra pada hakikatnya
diciptakan bukan untuk tujuan seni berbahasa, melainkan untuk tujuan magis.
Meski mantra dicoba untuk dikembangkan ulang melalui puisi mantranya
Sutardji Calzoum Bachri, tetapi hanya tercatat sebagai bagian dari puisi
kontemporer. Sedangkan pantun dianggap sudah menjadi bagian yang melekat
pada kebudayaan Melayu, yang notabene menjadi bagian yang cukup dominan
mewarnai bahasa Indonesia. Bahkan, ada klaim sejarah yang menyatakan asal-
usul bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Riau kepulauan, yakni yang
menjadi tempat ditemukannya teks tertulis pantun. Hal ini menjadi indikasi
kedekatan pantun dengan bahasa Indonesia. Akan tetapi, tidak menutup
kemungkinan pantun sesungguhnya sudah hadir sejak masa Sriwijaya (abad
ke-7) karena bahasa Melayu menjadi bagian dari lingua franca antar suku
bangsa dan antar pulau sebagai bahasa pengantar perdagangan dan hubungan
diplomasi. Hal inilah yang menjadi alasan utama disepakatinya bahasa Melayu
sebagai bahasa Indonesia, yang kemudian diikrarkan pada tanggal 28 Oktober
1928.
Begitu dekatnya Pantun dengan bahasa Melayu, juga begitu dekatnya
bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia, maka sudah selayaknya kalau Pantun
juga dekat dengan bahasa Indonesia. Kedekatan pantun dengan bahasa
Indonesia, sudah semestinya pula dia menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi yang indah. Dengan
mempertahankan pantun sebagai bagian kekayaan bahasa Indonesia, maka
bahasa Indonesia tidak akan kehilangan steriotipenya sekaligus pembeda
dengan bahasa-bahasa di dunia. Pantun selayaknya dikembangkan tidak
berbatas sebagai pengetahuan belaka, tetapi wajib dikuasai oleh generasi ini
sebagai pengembangan seni berbahasa.
Mungkin kita yang pernah mengenyam pendidikan masa orde baru tahun
1980-an hingga 1990-an masih ingat pantun-pantun berikut:
Di sini kosong di sana kosong
Tak ada batang tembakau
Bukan saya berkata bohong
Ada katak memikul kerbau
atau
Pohon manggis di tepi rawa
Tempat orang mengadu banteng
Nenek menangis sambil tertawa
Melihat kakek bermain kelereng
Pantun-pantun tersebut menjadi pengenalan awal terhadap materi pantun
untuk generasi 80-an dan 90-an yang duduk di kelas empat sekolah dasar.
Pantun-pantun tersebut sangat melekat pada generasi tersebut bahkan masih
diingat sampai sekarang. Akan tetapi, hadirnya pantun-pantun tersebut tidak
mampu melahirkan kreativitas pantun-pantun baru. Secara teori kita memahami
aturan-aturan penulisan pantun, tetapi tidak begitu ada motivasi terhadap siswa
untuk menulis pantun lebih lanjut. Hal ini karena tidak adanya tujuan yang jelas
mengapa pantun harus ditulis.
Demikian halnya ketika masuk ke jenjang SMP, pantun hanya dikenalkan
sebagai khazanah sastra masa lalu dengan berbagai variannya, tanpa ada
tindak lanjut untuk berkreativitas. Bahkan pada tingkat SMA pun pantun diulang
kembali maternya tanpa ada penambahan penekanan materi. Hingga lebih
lanjut pada waktu Ujian Nasional soal-soal yang bersifat pantun hanya sebatas
menguji pengetahuan, seperti berikut:
- Pisang emas bawa berlayar
Masak sebiji di dalam peti
...
...
Kalimat yang tepat untuk melengkapi pantung tersebut adalah ...
A. Mahal emas dapat dibayar C. Utang emas dapat dibayar
Utang budi pikir sendiri Utang budi dibawa mati
B. Jika berutang harus dibayar D. Barang pecah harus dibayar
Utang budi tiada pasti Utang budi dibawa mati
(UASBN Sekolah Dasar Paket 1 Tahun Pelajaran 2008/2009 )
Soal tersebut sesungguhnya hanya bersifat menghafal terhadap pantun-pantun
yang sudah ada pada buku paket. Bahkan, pantun tersebut sudah sangat akrab
dengan telinga kebanyakan orang. Kalaupun siswa lupa terhadap teori pantun
maka mereka terbantu ingatannya terhadap pantun-pantun yang sudah ada
pada buku pegangan. Dari hal inilah pantun kehilangan daya tawar-
menawarnya untuk dikreasikan lebih lanjut.
Lain halnya soal Ujian Nasional untuk tingkat SMP sudah tampak mulai
mengajak siswa untuk berkreasi seperti berikut:
Makan nasi lauknya ikan
Tambah sedikit sambal terasi
Belajar jangan selalu lupakan
Agar menjadi pelajar berprestasi
Balasan pantun yang tepat atas pantun tersebut adalah ...
A. Daun anggrek melekat di tembok C. Daun layu segera disiram
Bunganya semarak sedap dilihat Sebagai penyegar pandangan
mata
Ujian Nasional tak kan mabok Ujian Nasional akan kita jalani
Kalau kamu belajar giat Mari kita giat belajar di
rumah
B. Betapa indah Kintamani D. Bunga anggrek sedap dilihat
Pantai Sanur terang benderang Untuk hiasan jangan dipetik
Belajar tiap hari aku jalani Selalu belajar dengan giat
Untuk mencapai prestasi gemilang Jangan lupa iringi doa
(Soal UN 2005/2006 C1 – P1)
Meskipun soal tersebut sudah ada tujuan untuk berkreasi, tetapi sifatnya masih
cenderung mekanis. Titik uji soal tersebut hanya pada kepekaan siswa terhadap
aturan persajakannya saja. Kalaupun ada jebakan jawaban antara A dan B,
sesungguhnya pembuat soal memberi pilihan yang terang benderang karena
jawaban A sangat menyimpang dari tema pantun. Dengan demikian, kalau
diukur sesungguhnya pantun memiliki bobot soal yang sangat ringan untuk
dikerjakan. Bolehlah kita katakan soal-soal yang terkait dengan pantun dalam
Ujian Nasional hanya sebagai bonus nilai Ujian Nasional bahasa Indonesia.
Lain halnya soal untuk tingkat SMA yang memiliki indikator berbeda,
seperti berikut:
Asam kandis asam gelugur
Kedua asam riang-riang
Menangis mayat di pintu kubur
Teringat badan tidak sembahyang
Maksud pantun tersebut adalah ...
A. Menyesali dosa setelah meninggal dunia.
B. Dosa manusia akan diperhitungkan setelah mati.
C. Orang yang sudah meninggal akan membawa dosa.
D. Ada kehidupan setelah terjadi kematian.
E. Manusia akan mengalami siksa kubur.
(UN Bahasa Indonesia SMA 2012/2013)
Indikator yang dikehendaki pada soal ini adalah kemampuan siswa dalam
menafsirkan isi pantun. Targetnya sekali lagi bukan kreativitas siswa dalam
menyusun pantun, melainkan pada pemahaman siswa dalam membedah
metafora yang dimainkan dalam pantun.
Soal-soal sebagaimana contoh-contoh tersebut tentunya tidak bisa kita
jadikan indikator peningkatan kreativitas generasi sekarang dalam berpantun.
Bahkan, keberadaan pantun dalam soal Ujian Nasional seakan sekedar
menggugurkan kewajiban terhadap amanah kurikulum. Pembelajaran pantun di
jenjang Sekolah Dasar hingga sekolah menengah masihlah sepi kreativitas
karena target utamanya masih untuk menyelesaikan Ujian Nasional.
Apapun keberadaan materi pantun di kurikulum sekolah dasar hingga
menengah pada masa sebelum diterapkannya kurikulum 2013 sesungguhnya
masih bisa menjadi harapan pada perkembangan pantun berikutnya. Banyak
lulusan mungkin abai terhadap keberadaan pantun, tetapi satu dua lulusan
pastilah masih melekatkan pantun di benaknya hingga kemudian mau dan
mampu berkreasi di berbagai kesempatan yang dimilikinya.
Pantun tidaklah sekedar bermain kata-kata dan berindah-indah kata,
melainkan ada ruh pendidikan karakter di dalamnya. Pendidikan karakter di sini
bisa dirasa dari banyaknya pemilahan jenis-jenis pantun berdasarkan isinya.
Pemilahan pantun yang sering dijadikan acuan di buku-buku sekolah yakni
buah pikiran dari Tuan Ch. A. van Ophuysen. Beliau membagi pantun atas tiga
bagian besar, yakni pantun anak-anak, pantun orang muda, dan pantun orang
tua. Pemilahan pantun tersebut sesungguhnya tidak mewakili keseluruhan
pantun yang bertebaran. Secara garis besar bisa kita pahami, pantun anak-
anak memang diperuntukkan untuk anak-anak. Isinya hanya seputar ungkapan
suka cita atau duka cita sehingga berkesan untuk bermain-main saja. Misalkan:
Dibawa itik pulang petang,
dapat di rumput bilang-bilang.
Melihat ibu sudah datang,
hati cemas menjadi hilang.
Lain halnya pantun orang muda. Pantun ini berisi tentang dunia anak muda
dengan segala persoalannya. Tebaran jenis pantun orang muda paling banyak
macamnya. Pada jenis pantun ini didominasi pantun berkasih-kasihan atau
tentang kedukaan dalam percintaan karena berputus cinta. Juga di dalam
pantun orang muda berisi tentang kejenakaan, persahabatan serta ungkapan-
ungkapan perasaan orang muda. Adapun salah satu contoh pantun orang muda
seperti berikut:
Dendang satu dendang dua,
pecah periuk perendangan.
Entahkan makan, entah tiada,
asalkan duduk berpandangan.
Sedangkan pantun orang tua memiliki kecenderungan berisi nasihat, sindiran,
serta pelajaran yang diperuntukkan bagi para anak muda. Pantun orang tua
juga berisi tentang ajaran agama serta peraturan adat yang harus dipatuhi.
Dari pantun jenis inilah pendidikan karakter dapat dibangun karena nasehat
melalui pantun lebih mudah melekat pada benak. Contoh pantun orang tua
seperti berikut:
Riang-riang terbang ke kolam,
tetak bentangur depan kota.
Laksana siang menanti malam,
demikian umur sekalian kita.
Sungguh, dengan melihat berbagai pantun yang bertebaran, terkesan
akan kekayaan pantun sebagai sarana komunikasi yang indah. Dia dapat
memasuki situasi bagaimanapun untuk dapat digunakan sebagai penghias
komunikasi, seperti bersenda gurau, berkasih-kasihan, perdagangan, berteka-
teki, nasihat-menasihati, dll. Dia juga dapat memasuki kondisi apapun untuk
menyampaikan perasaan, baik itu dalam situasi suka dan duka. Berpantun juga
bisa digunakan dalam situasi formal maupun santai.
Kalau kita cermati, sesungguhnya pantun belum mendapat perhatian
yang lebih sebagai bagian dari kurikulum. Pantun dalam kurikulum mata
pelajaran Bahasa Indonesia ibarat asesoris dalam berpakaian. Dia hanya
sebagai pelengkap saja di antara serak-serak materi yang berjubel jumlahnya.
Bahkan terkadang dilupakan atau disampaikan sekilas lalu karena dianggap
mudah saja.
Pantun sebagai bagian materi bahasa Indonesia pernah dimunculkan
secara mendalam pada kurikulum 2013 untuk tingkat Sekolah Menengah Atas,
baik itu SMA maupun SMK. Silabus pada kurikulum ini pantun dikupas dari
struktur dasarnya, editing, penyusunan hingga konversi teks. Kreativitas siswa
dalam berpantun benar-benar kelihatan karena materi diberi porsi jam
pembelajaran yang cukup panjang. Pantun pada kurikulum ini tidak seperti
halnya pada kurikulum sebelumnya yang hanya dikenalkan struktur serta
pemahaman isi. Itu pun disajikan secara sekilas, berdampingan dengan puisi
lama genre lain seperti gurindam.
Sangat disayangkan, usia kurikulum tersebut hanya seumur jagung
karena perpindahan kebijakan sebagai dampak dari pergantian presiden.
Kurikulum 2013 lama dibenahi sedemikian rupa dengan penambahan serta
pengurangan beberapa materi. Mata pelajaran Bahasa Indonesia tidak bisa
terhindar dari dampak perubahan kurikulum ini. Salah satu dampak yang cukup
signifikan yakni dihilangkannya materi pantun. Penghilangan materi pantun
pada kurikulum berarti telah menghilangkan harapan akan pengembangan
budaya bangsa yang sarat dengan makna tersebut.
Secara teori, pantun pelajaran yang mudah. Teori pantun hanya bicara
soal struktur, yakni hanya menghafal permainan rima, permainan suku katanya,
serta permainan sampiran beserta penetapan isinya. Secara praktis, pantun
sesungguhnya tidaklah sederhana. Sebagaimana sudah disampaikan di awal,
kemampuan seseorang dalam berpantun menjadi cermin kecerdasan
seseorang. Artinya, untuk dapat menyusun pantun dengan aturan yang
mengikat, serta mempertimbangkan kekuatan sampiran dan isi bukanlah
persoalan yang mudah. Belum lagi, pada kegatan-kegiatan perlombaan pantun
atau bahkan pergaulan sehari-hari di wilayah tertentu, penyampaian pantun
harus spontan sehingga dibutuhkan kecepatan dan kecermatan dalam berpikir.
Ketika seseorang menyusun pantun, sesungguhnya ada olahraga otak
yang tidak kita sadari. Berpantun bisa mengaktivasi otak kanan dan kiri
seseorang. Otak kanan kita ketahui sebagai otak kreatif yang memiliki
kemampuan menstimulasi sebagian besar kecerdasan emosional seseorang. Hal
ini karena otak kanan memiliki pengaruh 80% lebih pada kehidupan seseorang
dibandingkan dengan otak kiri. Akan tetapi, bukan berarti otak kiri tidak
memiliki fungsi. Otak kiri tetap memiliki peranan besar sebagai stimulan
kecerdasan logika matematis yang sering disebut dengan Intelligence Iuotient
(IQ). Berpantun adalah keterampilan untuk aktiviasi otak kanan sekaligus otak
kiri. Mengapa bisa begitu?
Berpantun merupakan salah satu kegiatan menciptakan karya seni dalam
konteks bahasa. Berpantun juga merupakan kegiatan kreatif untuk menciptakan
karya seni dari hasil imajinasi, bahkan intuisi. Otak kanan memiliki peranan
yang cukup signifikan ketika seseorang menciptakan karya seni, berimajinasi
serta berkreativitas. Sebagaimana halnya menulis puisi pada umumnya,
berpantun merupakan kegiatan merangkai kata-kata terpilih dengan
mempertimbangkan keindahan yang dapat mewakili maksud tertentu. Proses
menemukan dan merangkai kata dengan menyesuaikan ide inilah bagian
stimulan bagi otak kanan. Demikian pula halnya ketika membangun sampiran
dalam pantun, yang diperlukan adalah mengawinkan imajinasi kita dengan
kata-kata yang tepat. Proses berimajinasi ini juga stimulan bagi otak untuk
mengaktivasi otak kanan karena fungsi imajinasi mengorek kembali memori
bawah sadar kita.
Berpantun juga salah satu kegiatan untuk tertib terhadap aturan dalam
merangkai imajinasi. Artinya ada unsur matematis yang harus dipenuhi dalam
penyusunan pantun, yakni berupa ketetapan permainan rima dan jumlah suku
kata. Berpikir secara matematis itu dominasi otak kiri. Dari sinilah otak kiri
mengambil peranannya. Berpantun tanpa kita sadari merupakan salah satu
kegiatan aktivasi otak kiri.
Benarlah kata orang Melayu kebanyakan, seseorang yang pandai
berpantun menjadi cermin kualitas intelektualitasnya. Hal ini karena bermain
pantun merupakan proses mengawinkan imajinasi, logika dan matematika.
Bahkan untuk jenis-jenis pantun tertentu berpantun juga melibatkan emosi, bila
isi pantun terkait dengan ungkapan perasaan. Seperti petikan pantun berikut:
Pohonlah salam bercabang dua
Pohonlah padi banyak anaknya
Kirimkan salam pada mertua
Kalaulah jadi sama anaknya
Aturan tertibnya dalam berpantun tidak bisa dikalahkan dengan luapan emosi.
Proses ini menjadi sulit dalam berpantun karena seseorang harus
mengendalikan emosi dengan tetap menggunakan logika matematika dalam
merangkai kata-kata.

Titik Balik Pantun


Seandainya kita menemukan pencetus pertama sastra pantun, maka dia
seorang maestro yang cerdas. Hal ini karena pada pantun dapat kita temukan
berbagai dimensi kekayaan intelektual. Pantun secara etimologis serta
terminologinya memang harus diakui sebagai milik rakyat Melayu sebagai
cermin intelektualitas masyarakat pada zamannya, yang sudah berlangsung
sejak ratusan tahun silam. Kedudukan pantun yang cukup signifikan sebagai
bagian dari kebutuhan komunikasi sekunder pada bahasa Indonsia, maka
pantun bukanlah karya sastra yang hanya berhenti pada naskah-naskah kuno,
yang hanya untuk direproduksi tanpa diperlukan pengembangan lebih lanjut.
Dengan demikian, keberadaan pantun lebih lanjut masih harus ditempatkan
sebagai khazanah dalam berbahasa dan bersastra dalam ruang pendidikan,
komunikasi, serta kebudayaan sepanjang masa.
Pantun sebagaimana kedudukan dasarnya yang bergerak pada ranah
intelektual, maka keberadaannya sangat dibutuhkan untuk peningkatan
kecerdasan bagi anak bangsa. Dengan demikian, pada lingkup pendidikan,
pantun selayaknya ditempatkan sebagai materi yang signifikan karena dia
berada pada tiga ranah sekaligus, yakni ranah emosional atau sikap,
pengetahuan, serta ketrampilan. Tentunya pengertian tiga ranah dalam
berpantun ini lebih luas cakupannya dibandingkan dilihat dari sudut pandang
assessment dalam proses pembelajaran di kelas. Pantun lebih banyak bersifat
tuntunan, maka membacanya akan membangun emosional serta sikap positif.
Pantun juga merupakan sekumpulan informasi yang dapat ditorehkan dalam
sampirannya, maka dengan membaca pantun secara tidak langsung telah
mengendapkan pengetahuan di alam bawah sadarnya. Berpantun merupakan
kegiatan dalam berolah pikir dan berolah rasa, akan tetapi juga dipenuhi
dengan aturan baku yang tidak bisa dilanggar. Maka, proses olah pikir dan olah
rasa ini secara tidak sadar akan membangun sikap kreatif sebagai dampak dari
aktivasi otak kanan dan kiri seseorang. Sebagaimana yang sudah kita ketahui
keseimbangan fungsi masing-masing belahan otak maka akan memaksimalkan
kecerdasan seseorang. Imbasnya akan pula berdampak pada kreativitas di
bidang-bidang yang lain.***

Anda mungkin juga menyukai