Sampiran dalam pantun karya Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau tidak
hanya bersifat spontan, tetapi ada jalinan cerita yang mengandung makna.
Pantun tidak lagi hanya dapat dicermati oleh pembaca/pendengar pada bagian
baris tiga dan empat saja, tetapi ada kekuatan imajinasi pada bagian sampiran
yang saling terjalin. Seandainya sampiran pantun Kampung Cina Dimakan Api
dirakit, maka menjadi akan membentuk puisi seperti berikut:
Kampung Cina dimakan api
terangnya sampai ke Tanjungpinang
Belanda melihat dari Pabean
Orang kapal tengah berangkut
dibawa masuk ke dalam gudang
gudang kompeni beratap bata
isi perkakas meriam pedati
Tanjung Pinang tanah kompeni.
Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau tidak sekedar memberi petuah
kepada pembaca melalui baris tiga dan empat. Akan tetapi, beliau
menyembunyikan ungkapan pikiran dan perasaan melalui baris sampiran
pantun. Apabila kita sandingkan dengan puisi WS Rendra, sesungguhnya ada
protes sosial pada pantun itu. Tentunya disesuaikan dengan situasi dan kondisi
pada zamannya. Akan tetapi, beliau lebih halus cara pengungkapannya, yakni
dengan bahasa yang bersifat naratif. Beliau hendak menyampaikan tentang
konfrontasi antara Cina dan Kompeni. Bahkan, beliau menegaskan tentang
keberadaan Tanjung Pinang sebagai wilayah kekuasaan kompeni. Lantas
kompeni memanfaatkan masyarakat pribumi untuk menjarah kampung Cina,
yang kemudian hasil jarahannya dimasukkan ke gudang kompeni. Inilah yang
kemudian kita sebut dengan politik adu domba, karena Tanjung Pinang dikenal
sebagai kampung Cina dan Melayu.
Hasil karya Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau banyak berkonsentrasi
tentang Tanjung Pinang sebagai tanah jajahan. Kampung Cina Terbakar
hanyalah salah satu karya beliau yang berpijak pada gambaran realitas
masyarakat Tanjung Pinang. Karya-karya lainnya seperti : Pekan di Tanjung
Pinang, Kubu Belanda, Penduduk Tanjung Pinang dll. menjadi gambaran sosok
beliau yang tidak sekedar menjadikan pantun sebagai alat berpetuah,
bercengkerama, berteka-teki serta bersenda gurau, tetapi beliau mampu
menyampaikan pantun sebagai torehan kata-kata cerdas untuk memperlihatkan
fakta sosial yang lebih bermakna. Hasil karya Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda
Riau ini juga menjadi pijakan para sejarahwan menulis sejarah Tanjung Pinang
di masa penjajahan. Kalaupun boleh membuat genre puisi baru, maka pantun-
pantun karya beliau merupakan perkawinan antara pantun dengan puisi.
Untuk membuat pantun seperti itu tentunya dibutuhkan kecerdasan
dalam memilih dan memilah kata. Tentunya hasil karya pantun sebagaimana
milik Haji Ibrahim Datuk Kaya Muda Riau menjadi cermin kecerdasan
pemiliknya dalam berbahasa. Kemampuan beliau dalam mengkreasikan pantun
seharusnya menjadi titik balik peningkatan kecerdasan bagi generasi muda
melalui bangku-bangku sekolahan. Pantun tidak hanya berhenti sebagai
artefak, tetapi bisa diformulasikan sebagai media pembelajaran bahasa yang
cerdas. Hal ini juga menjadi bukti akan keberfungsian pantun sebagaimana
yang dibanggakan pada masa lalu, yakni kepandaian seseorang dalam
berpantun menjadi cermin kecerdasan seseorang.
Hadirnya puisi Aku karya Chairil Anwar seakan menjadi batas matinya
puisi-puisi lama. Ini pula yang menjadikan kesalahan berpikir pada generasi-
generasi berikutnya, bahwa pantun dan puisi-puisi lama lainnya sudah tidak
bisa disandingkan dengan puisi-puisi baru sebagai bentuk olah pikir dan olah
rasa. Kreativitas berpantun masih berlangsung, yakni sebatas penugasan di
bangku kelas, tetapi tidak tersedia media untuk mengembangkan pantun
sebagai buah kreativitas dalam bersastra. Pantun yang memiliki estetika terikat
justru hanya berfungsi sebagai bumbu pembicaraan, tetapi tidak mampu
bersanding dengan puisi-puisi modern sebagai buah intelektualitas dalam
bersastra. Akibat lebih jauh, pantun tidak pernah dimiliki oleh individu sebagai
hak paten dalam berkarya sastra, tetapi pantun menjadi milik publik tanpa
menampilkan nama penulis aslinya.
Bermain bahasa dalam bentuk terikat tidaklah sederhana. Apalagi
permainan kata ini disertai ide, paparan fakta, atau ungkapan perasaan
tertentu. Hal ini dibutuhkan kecerdasan yang lebih agar ide dapat dikawinkan
dengan ikatan aturan yang ketat. Puisi modern hanya bermain pada ide dan
pilihan kata tanpa pertimbangan rima, suku kata atau baris. Sehingga estetika
puisi modern hanya diukur dari kekuatan ide dan imaji kata-katanya yang
berupa pe-majas-an, diksi, serta ungkapannya. Jika saja kita ukur dengan teori
matematis, puisi modern bernilai lebih rendah dibanding dengan pantun karena
puisi modern titik ordinatnya lebih rendah dengan pantun. Semua komponen
puisi modern ada pada pantun, tetapi tidak semua komponen pantun ada pada
puisi modern. Pantun lebih akrab dengan masyarakat berbagai kelas intelektual,
puisi hanya dimiliki oleh golongan intelektual tertentu, yang notabene mereka
memiliki intensitas cukup tinggi dalam berkecimbung di dunia sastra.
Menemukan Titik Tumpu
Dengan mencermati berbagai fakta tersebut, tulisan ini mencoba
mengajak para insan pendidik, para generasi terdidik atau bahkan pencermat
sastra untuk kembali bersama-sama mengangkat khazanah sastra yang sudah
terabaikan tersebut untuk dikaji lebih dalam. Kajian yang dimaksud adalah
menyusun formulasi yang tepat bagi generasi mendatang untuk mau dan
mampu mengembangkan pantun sebagai bentuk kreativitas intelektual. Pantun
tidak lagi dimandegkan sebagai bagian dari sejarah khazanah sastra lama,
tetapi tetap eksis sebagai bagian budaya berkomunikasi pada masyarakat
modern. Seperti halnya kebanggaan bangsa ini memperebutkan kembali hak
paten lagu Rasa Sayange dari negara tetangga.
Lembaga pendidikan menjadi motor utama pengembangan ilmu
pengetahuan. Kurikulum menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari lembaga
pendidikan. Mata Pelajaran Bahasa Indonesia menjadi salah satu mesin
pengembang utama kebahasaan dan kesusastraan Indonesia. Dia hadir dari
sejak pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi. Kehadirannya
adalah wajib dan niscaya akan tetap dihadirkan selama bangsa ini berdiri tegak
di antara bangsa-bangsa lain. Bahkan, bahasa Indonesia pada saat ini menjadi
bagian yang cukup penting sebagai sarana komunikasi negara-negara Asia
Tenggara sejak diterapkannya Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) tahun 2015
yang lalu. Akan tetapi, pertanyaannya adalah sudahkan bahasa Indonesia
cukup mewarnai generasi sekarang, khususnya generasi dalam lingkup lokal,
dari segala aspek yang dimilikinya? Aspek di sini maksudnya tidak sekedar
unsur linguistiknya, tetapi meliputi kesusastraannya.
Dengan melihat posisi bahasa Indonesia yang cukup strategis, maka
sudah selayaknya bahasa Indonesia tidak ditempatkan sebagai alat komunikasi
semata, melainkan harus menjadi alat pengembangan kesusastraan Indonesia.
Salah satu khazanah sastra yang kaya akan nilai-nilai sosial kemasyarakatan
salah satunya adalah pantun. Mengapa bukan gurindam, syair ataupun mantra?
Gurindam sejak dicetuskan oleh Raja Ali Haji tidak mengalami perkembangan
yang signifikan, meski sesungguhnya sarat akan nilai-nilai moral. Syair
bukanlah asli milik budaya Melayu. Sedangkan mantra pada hakikatnya
diciptakan bukan untuk tujuan seni berbahasa, melainkan untuk tujuan magis.
Meski mantra dicoba untuk dikembangkan ulang melalui puisi mantranya
Sutardji Calzoum Bachri, tetapi hanya tercatat sebagai bagian dari puisi
kontemporer. Sedangkan pantun dianggap sudah menjadi bagian yang melekat
pada kebudayaan Melayu, yang notabene menjadi bagian yang cukup dominan
mewarnai bahasa Indonesia. Bahkan, ada klaim sejarah yang menyatakan asal-
usul bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Riau kepulauan, yakni yang
menjadi tempat ditemukannya teks tertulis pantun. Hal ini menjadi indikasi
kedekatan pantun dengan bahasa Indonesia. Akan tetapi, tidak menutup
kemungkinan pantun sesungguhnya sudah hadir sejak masa Sriwijaya (abad
ke-7) karena bahasa Melayu menjadi bagian dari lingua franca antar suku
bangsa dan antar pulau sebagai bahasa pengantar perdagangan dan hubungan
diplomasi. Hal inilah yang menjadi alasan utama disepakatinya bahasa Melayu
sebagai bahasa Indonesia, yang kemudian diikrarkan pada tanggal 28 Oktober
1928.
Begitu dekatnya Pantun dengan bahasa Melayu, juga begitu dekatnya
bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia, maka sudah selayaknya kalau Pantun
juga dekat dengan bahasa Indonesia. Kedekatan pantun dengan bahasa
Indonesia, sudah semestinya pula dia menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi yang indah. Dengan
mempertahankan pantun sebagai bagian kekayaan bahasa Indonesia, maka
bahasa Indonesia tidak akan kehilangan steriotipenya sekaligus pembeda
dengan bahasa-bahasa di dunia. Pantun selayaknya dikembangkan tidak
berbatas sebagai pengetahuan belaka, tetapi wajib dikuasai oleh generasi ini
sebagai pengembangan seni berbahasa.
Mungkin kita yang pernah mengenyam pendidikan masa orde baru tahun
1980-an hingga 1990-an masih ingat pantun-pantun berikut:
Di sini kosong di sana kosong
Tak ada batang tembakau
Bukan saya berkata bohong
Ada katak memikul kerbau
atau
Pohon manggis di tepi rawa
Tempat orang mengadu banteng
Nenek menangis sambil tertawa
Melihat kakek bermain kelereng
Pantun-pantun tersebut menjadi pengenalan awal terhadap materi pantun
untuk generasi 80-an dan 90-an yang duduk di kelas empat sekolah dasar.
Pantun-pantun tersebut sangat melekat pada generasi tersebut bahkan masih
diingat sampai sekarang. Akan tetapi, hadirnya pantun-pantun tersebut tidak
mampu melahirkan kreativitas pantun-pantun baru. Secara teori kita memahami
aturan-aturan penulisan pantun, tetapi tidak begitu ada motivasi terhadap siswa
untuk menulis pantun lebih lanjut. Hal ini karena tidak adanya tujuan yang jelas
mengapa pantun harus ditulis.
Demikian halnya ketika masuk ke jenjang SMP, pantun hanya dikenalkan
sebagai khazanah sastra masa lalu dengan berbagai variannya, tanpa ada
tindak lanjut untuk berkreativitas. Bahkan pada tingkat SMA pun pantun diulang
kembali maternya tanpa ada penambahan penekanan materi. Hingga lebih
lanjut pada waktu Ujian Nasional soal-soal yang bersifat pantun hanya sebatas
menguji pengetahuan, seperti berikut:
- Pisang emas bawa berlayar
Masak sebiji di dalam peti
...
...
Kalimat yang tepat untuk melengkapi pantung tersebut adalah ...
A. Mahal emas dapat dibayar C. Utang emas dapat dibayar
Utang budi pikir sendiri Utang budi dibawa mati
B. Jika berutang harus dibayar D. Barang pecah harus dibayar
Utang budi tiada pasti Utang budi dibawa mati
(UASBN Sekolah Dasar Paket 1 Tahun Pelajaran 2008/2009 )
Soal tersebut sesungguhnya hanya bersifat menghafal terhadap pantun-pantun
yang sudah ada pada buku paket. Bahkan, pantun tersebut sudah sangat akrab
dengan telinga kebanyakan orang. Kalaupun siswa lupa terhadap teori pantun
maka mereka terbantu ingatannya terhadap pantun-pantun yang sudah ada
pada buku pegangan. Dari hal inilah pantun kehilangan daya tawar-
menawarnya untuk dikreasikan lebih lanjut.
Lain halnya soal Ujian Nasional untuk tingkat SMP sudah tampak mulai
mengajak siswa untuk berkreasi seperti berikut:
Makan nasi lauknya ikan
Tambah sedikit sambal terasi
Belajar jangan selalu lupakan
Agar menjadi pelajar berprestasi
Balasan pantun yang tepat atas pantun tersebut adalah ...
A. Daun anggrek melekat di tembok C. Daun layu segera disiram
Bunganya semarak sedap dilihat Sebagai penyegar pandangan
mata
Ujian Nasional tak kan mabok Ujian Nasional akan kita jalani
Kalau kamu belajar giat Mari kita giat belajar di
rumah
B. Betapa indah Kintamani D. Bunga anggrek sedap dilihat
Pantai Sanur terang benderang Untuk hiasan jangan dipetik
Belajar tiap hari aku jalani Selalu belajar dengan giat
Untuk mencapai prestasi gemilang Jangan lupa iringi doa
(Soal UN 2005/2006 C1 – P1)
Meskipun soal tersebut sudah ada tujuan untuk berkreasi, tetapi sifatnya masih
cenderung mekanis. Titik uji soal tersebut hanya pada kepekaan siswa terhadap
aturan persajakannya saja. Kalaupun ada jebakan jawaban antara A dan B,
sesungguhnya pembuat soal memberi pilihan yang terang benderang karena
jawaban A sangat menyimpang dari tema pantun. Dengan demikian, kalau
diukur sesungguhnya pantun memiliki bobot soal yang sangat ringan untuk
dikerjakan. Bolehlah kita katakan soal-soal yang terkait dengan pantun dalam
Ujian Nasional hanya sebagai bonus nilai Ujian Nasional bahasa Indonesia.
Lain halnya soal untuk tingkat SMA yang memiliki indikator berbeda,
seperti berikut:
Asam kandis asam gelugur
Kedua asam riang-riang
Menangis mayat di pintu kubur
Teringat badan tidak sembahyang
Maksud pantun tersebut adalah ...
A. Menyesali dosa setelah meninggal dunia.
B. Dosa manusia akan diperhitungkan setelah mati.
C. Orang yang sudah meninggal akan membawa dosa.
D. Ada kehidupan setelah terjadi kematian.
E. Manusia akan mengalami siksa kubur.
(UN Bahasa Indonesia SMA 2012/2013)
Indikator yang dikehendaki pada soal ini adalah kemampuan siswa dalam
menafsirkan isi pantun. Targetnya sekali lagi bukan kreativitas siswa dalam
menyusun pantun, melainkan pada pemahaman siswa dalam membedah
metafora yang dimainkan dalam pantun.
Soal-soal sebagaimana contoh-contoh tersebut tentunya tidak bisa kita
jadikan indikator peningkatan kreativitas generasi sekarang dalam berpantun.
Bahkan, keberadaan pantun dalam soal Ujian Nasional seakan sekedar
menggugurkan kewajiban terhadap amanah kurikulum. Pembelajaran pantun di
jenjang Sekolah Dasar hingga sekolah menengah masihlah sepi kreativitas
karena target utamanya masih untuk menyelesaikan Ujian Nasional.
Apapun keberadaan materi pantun di kurikulum sekolah dasar hingga
menengah pada masa sebelum diterapkannya kurikulum 2013 sesungguhnya
masih bisa menjadi harapan pada perkembangan pantun berikutnya. Banyak
lulusan mungkin abai terhadap keberadaan pantun, tetapi satu dua lulusan
pastilah masih melekatkan pantun di benaknya hingga kemudian mau dan
mampu berkreasi di berbagai kesempatan yang dimilikinya.
Pantun tidaklah sekedar bermain kata-kata dan berindah-indah kata,
melainkan ada ruh pendidikan karakter di dalamnya. Pendidikan karakter di sini
bisa dirasa dari banyaknya pemilahan jenis-jenis pantun berdasarkan isinya.
Pemilahan pantun yang sering dijadikan acuan di buku-buku sekolah yakni
buah pikiran dari Tuan Ch. A. van Ophuysen. Beliau membagi pantun atas tiga
bagian besar, yakni pantun anak-anak, pantun orang muda, dan pantun orang
tua. Pemilahan pantun tersebut sesungguhnya tidak mewakili keseluruhan
pantun yang bertebaran. Secara garis besar bisa kita pahami, pantun anak-
anak memang diperuntukkan untuk anak-anak. Isinya hanya seputar ungkapan
suka cita atau duka cita sehingga berkesan untuk bermain-main saja. Misalkan:
Dibawa itik pulang petang,
dapat di rumput bilang-bilang.
Melihat ibu sudah datang,
hati cemas menjadi hilang.
Lain halnya pantun orang muda. Pantun ini berisi tentang dunia anak muda
dengan segala persoalannya. Tebaran jenis pantun orang muda paling banyak
macamnya. Pada jenis pantun ini didominasi pantun berkasih-kasihan atau
tentang kedukaan dalam percintaan karena berputus cinta. Juga di dalam
pantun orang muda berisi tentang kejenakaan, persahabatan serta ungkapan-
ungkapan perasaan orang muda. Adapun salah satu contoh pantun orang muda
seperti berikut:
Dendang satu dendang dua,
pecah periuk perendangan.
Entahkan makan, entah tiada,
asalkan duduk berpandangan.
Sedangkan pantun orang tua memiliki kecenderungan berisi nasihat, sindiran,
serta pelajaran yang diperuntukkan bagi para anak muda. Pantun orang tua
juga berisi tentang ajaran agama serta peraturan adat yang harus dipatuhi.
Dari pantun jenis inilah pendidikan karakter dapat dibangun karena nasehat
melalui pantun lebih mudah melekat pada benak. Contoh pantun orang tua
seperti berikut:
Riang-riang terbang ke kolam,
tetak bentangur depan kota.
Laksana siang menanti malam,
demikian umur sekalian kita.
Sungguh, dengan melihat berbagai pantun yang bertebaran, terkesan
akan kekayaan pantun sebagai sarana komunikasi yang indah. Dia dapat
memasuki situasi bagaimanapun untuk dapat digunakan sebagai penghias
komunikasi, seperti bersenda gurau, berkasih-kasihan, perdagangan, berteka-
teki, nasihat-menasihati, dll. Dia juga dapat memasuki kondisi apapun untuk
menyampaikan perasaan, baik itu dalam situasi suka dan duka. Berpantun juga
bisa digunakan dalam situasi formal maupun santai.
Kalau kita cermati, sesungguhnya pantun belum mendapat perhatian
yang lebih sebagai bagian dari kurikulum. Pantun dalam kurikulum mata
pelajaran Bahasa Indonesia ibarat asesoris dalam berpakaian. Dia hanya
sebagai pelengkap saja di antara serak-serak materi yang berjubel jumlahnya.
Bahkan terkadang dilupakan atau disampaikan sekilas lalu karena dianggap
mudah saja.
Pantun sebagai bagian materi bahasa Indonesia pernah dimunculkan
secara mendalam pada kurikulum 2013 untuk tingkat Sekolah Menengah Atas,
baik itu SMA maupun SMK. Silabus pada kurikulum ini pantun dikupas dari
struktur dasarnya, editing, penyusunan hingga konversi teks. Kreativitas siswa
dalam berpantun benar-benar kelihatan karena materi diberi porsi jam
pembelajaran yang cukup panjang. Pantun pada kurikulum ini tidak seperti
halnya pada kurikulum sebelumnya yang hanya dikenalkan struktur serta
pemahaman isi. Itu pun disajikan secara sekilas, berdampingan dengan puisi
lama genre lain seperti gurindam.
Sangat disayangkan, usia kurikulum tersebut hanya seumur jagung
karena perpindahan kebijakan sebagai dampak dari pergantian presiden.
Kurikulum 2013 lama dibenahi sedemikian rupa dengan penambahan serta
pengurangan beberapa materi. Mata pelajaran Bahasa Indonesia tidak bisa
terhindar dari dampak perubahan kurikulum ini. Salah satu dampak yang cukup
signifikan yakni dihilangkannya materi pantun. Penghilangan materi pantun
pada kurikulum berarti telah menghilangkan harapan akan pengembangan
budaya bangsa yang sarat dengan makna tersebut.
Secara teori, pantun pelajaran yang mudah. Teori pantun hanya bicara
soal struktur, yakni hanya menghafal permainan rima, permainan suku katanya,
serta permainan sampiran beserta penetapan isinya. Secara praktis, pantun
sesungguhnya tidaklah sederhana. Sebagaimana sudah disampaikan di awal,
kemampuan seseorang dalam berpantun menjadi cermin kecerdasan
seseorang. Artinya, untuk dapat menyusun pantun dengan aturan yang
mengikat, serta mempertimbangkan kekuatan sampiran dan isi bukanlah
persoalan yang mudah. Belum lagi, pada kegatan-kegiatan perlombaan pantun
atau bahkan pergaulan sehari-hari di wilayah tertentu, penyampaian pantun
harus spontan sehingga dibutuhkan kecepatan dan kecermatan dalam berpikir.
Ketika seseorang menyusun pantun, sesungguhnya ada olahraga otak
yang tidak kita sadari. Berpantun bisa mengaktivasi otak kanan dan kiri
seseorang. Otak kanan kita ketahui sebagai otak kreatif yang memiliki
kemampuan menstimulasi sebagian besar kecerdasan emosional seseorang. Hal
ini karena otak kanan memiliki pengaruh 80% lebih pada kehidupan seseorang
dibandingkan dengan otak kiri. Akan tetapi, bukan berarti otak kiri tidak
memiliki fungsi. Otak kiri tetap memiliki peranan besar sebagai stimulan
kecerdasan logika matematis yang sering disebut dengan Intelligence Iuotient
(IQ). Berpantun adalah keterampilan untuk aktiviasi otak kanan sekaligus otak
kiri. Mengapa bisa begitu?
Berpantun merupakan salah satu kegiatan menciptakan karya seni dalam
konteks bahasa. Berpantun juga merupakan kegiatan kreatif untuk menciptakan
karya seni dari hasil imajinasi, bahkan intuisi. Otak kanan memiliki peranan
yang cukup signifikan ketika seseorang menciptakan karya seni, berimajinasi
serta berkreativitas. Sebagaimana halnya menulis puisi pada umumnya,
berpantun merupakan kegiatan merangkai kata-kata terpilih dengan
mempertimbangkan keindahan yang dapat mewakili maksud tertentu. Proses
menemukan dan merangkai kata dengan menyesuaikan ide inilah bagian
stimulan bagi otak kanan. Demikian pula halnya ketika membangun sampiran
dalam pantun, yang diperlukan adalah mengawinkan imajinasi kita dengan
kata-kata yang tepat. Proses berimajinasi ini juga stimulan bagi otak untuk
mengaktivasi otak kanan karena fungsi imajinasi mengorek kembali memori
bawah sadar kita.
Berpantun juga salah satu kegiatan untuk tertib terhadap aturan dalam
merangkai imajinasi. Artinya ada unsur matematis yang harus dipenuhi dalam
penyusunan pantun, yakni berupa ketetapan permainan rima dan jumlah suku
kata. Berpikir secara matematis itu dominasi otak kiri. Dari sinilah otak kiri
mengambil peranannya. Berpantun tanpa kita sadari merupakan salah satu
kegiatan aktivasi otak kiri.
Benarlah kata orang Melayu kebanyakan, seseorang yang pandai
berpantun menjadi cermin kualitas intelektualitasnya. Hal ini karena bermain
pantun merupakan proses mengawinkan imajinasi, logika dan matematika.
Bahkan untuk jenis-jenis pantun tertentu berpantun juga melibatkan emosi, bila
isi pantun terkait dengan ungkapan perasaan. Seperti petikan pantun berikut:
Pohonlah salam bercabang dua
Pohonlah padi banyak anaknya
Kirimkan salam pada mertua
Kalaulah jadi sama anaknya
Aturan tertibnya dalam berpantun tidak bisa dikalahkan dengan luapan emosi.
Proses ini menjadi sulit dalam berpantun karena seseorang harus
mengendalikan emosi dengan tetap menggunakan logika matematika dalam
merangkai kata-kata.