Anda di halaman 1dari 3

Tugas Individu Sastra Lisan

Nama : Titha Ermaliana


Nim : 2210723039

RESUME
D. Pengantar Pembicaraan
Pembicaraan tentang sastra lisan ini bukanlah sesuatu yang baru. Hal ini sudah lama ada,
walaupun istilah yang berbeda. Buku-buku lama tentang sastra di Indonesia menyebutnya dengan
beberapa istilah, seperti sastra lama ( Sutan Takdir Alisjahbana, Zuher Usman, Simorangkir
Simanjuntak ) ataupun sastra tradisional dan sastra klasik ( Winatedt, Liauw Yock Fang ). Ada juga yang
menyebut sastra rakyat (Ismail Husein). Sastra lama ataupun sastra tradisional ini dipertentangkan
dengan sastra baru atau sastra modern.
Pembicaraan-pembicaraan itu membuktikan bahwa sastra lisan itu ada, ada wujudnya (exist), ada
‘pengwujudnya’ ( bearer, senimannya), dan ada masyarakatnya, yaitu masyarakat pemilik dan
penikmatnyadan khalayaknya (audiences).
Sastra lama itu dikatakan beredar secara lisan di tengah masyarakatnya, bahkan kadang disebut
sebagai sastra’masyarakat buta huruf’/’masyarakatnya, tradisional’. Bentuk sastra lisan sudah
tertentu (pantun, syair, seloka, gurindam, bidal, prosa liris; yang berbentuk prosa disebut hikayat) dan
ungkapannya sama (disebut klise). Bahkan dalam hal pantun, bila seseorang menyebutkan
sampiranny, yang lain sudah mengetahui isinya, atau paling tudak dapat membayangkan isinya,
seperti bila diucapkan sampiran,
Pulang pandan jauh ditengah
Di balik pulau Angsa Dua
Masyarakat sudah tahu isinya:
Hancur badan dikandung tanah
Budi baik terkadang juga (Amir,2010).
Begitu juga bentuk ungkapan rambut mayang mengurai, kening keliran taji, bulu mata semut
beriring, pandangan bak bulan sayup, mata bak bintang timur, dan seterusnya, kerap, bahkan hampir
selalu digunakan para penampil sastra lisan ini dan para penutur adat. Itulah sebabnya sastra lama
dikatakan menggunakan ungkapan klise, tidak ada ciptaan baru. Tentang bentuk-bentuk berulang
dalam sastra lama ini, sutan takdir (1968:5) mengatakan bahwa sastra lama lahir dari masyarakat lama
yang tidak mementingkan, bahkan tidak mau ada perubahan. Mereka menginginkan masyarakat yang
statis. Dengan keadaan yang demikian, sastra lama itu dikatakan bersifat statis pula.
Winstedt dan Liauw Yock Fang hanya menguraikan sastra tradisional atau sastra lama. Kedua
penulis ini melanjutan pembicaraan, bahkan’berlama-lama’ dengan cerita dari naskah, yaitu
peninggalan dalam bentuk tulisan tangan/filologi. Sastra lisan tidak mendapat perhatian.
Pada dekade 70-an dan 80-an, pusat pembinaan dan pengembangan bahasa mempunyai sebuah
proyek, yaitu Proyek Inventarisasi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, kemudian Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Dari proyek itu telah terbit banyak buku sastra lisan
dan berbagai topik linguistik bahasa daerah di Indonesia. Khusus tentang sastra lisan, tampaknya
meliputi berbagai topik yang datanya didapat secara lisan, termasuk transkripsi cerita lisan yang
diceritakan seorang nenek, cerita humor, transkripsi mentera, dan permainan anak-anak.
Salah satu sastra lisan tersebut adalah sastra lisan Minangkabau. Dari berbagai penelitian lapangan
mengenai sastra lisan minangkabau, terdapat berbagai tradisi lisan dalam kebudayaan Minangkabau
yang dihidupi oleh masyarakatnya. Masyarakatnya pun dengan sadar membedakan tiap jenis/genre
tradisi lisan, ciri-ciri tiap genre itu, tempat untuk mempertunjukkannya, tujuan dan fungsi
pertunjukkannya (untuk memeriahkan kenduri, untuk perayaan peringatan hari besar agama, untuk
pengobatan), siapa yang hadir, bahkan hubungan penampil dengan khalayaknya, meskipun mereka
tidak perlu menjelaskan ataupun merumuskan semua itu.
Artinya, meskipun masyarakat itu tudak merumuskan jenis tradisi lisan beserta ciri dan fungsinya,
tetapi dalam kehidupan mereka, mereka meletakkan tiap jenis itu pada proporsi yang mereka setujui
bersama. Pengetahuan itu mereka peroleh secara lisan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Mereka
sosialisasi dengan pengetahuan dan nilai itu. Selanjutnya pengetahuan dan nilai itu terinternalisasi
pada diri mereka sebagai anggota masyarakat.

E. Jenis-Jenis Tradisi Lisan


Kegiatan yang hidup secara lisan dalam masyarakat tidak hanya sastra dan seni, tetapi juga
pertuturan adat, mantera, lagu permainan anak-anak, bahkan lagu-lagu pujian bagi orang yang baru
meninggal, ataupun dendang untuk menangkap harimau atau binatang buas atau binatang berbisa
lain (dalam tradisi Minangkabau, disebut ilau), disamping kegiatan yang paling umum, yaitu
percakapan antaranggota masyarakat.
Dalam upacara adat minangkabau, pertuturan adat yang terdiri dari pidato adat dan pasambahan
masih hidup di tengah masyarakat Minangkabau. Pidato adat disampaikan pada upacara
pengangkatan pangulu (pengukuhan penghulu, pemimpin tradisional). Pasambahan (perundingan)
dituturkan ketika ada rundingan antara satu pihak dengan pihak lain, seperti meminang, manjapuik
marapulai (menjemput mempelai laki-laki untuk dibawa ke rumah mempelai perempuan), manjapuik
maik( menjemput mayat laki-laki yang meninggal di rumah isterinya untuk dimakamkan di pandam
pekuburan matrilinealnya). Satu wilayah dengan wilayah lain terdapat sedikit perbedaan, tetapi hanya
pada tataran teknis pelaksanaan, dan varian. Sedangkan hakikat dan formula (dengan definisi formula
yang ditawarkan Lord, 1976:3) sama.
Selain pertuturan adat, mantera pun masih produktif dalam masyarakat Minangkabau, baik
mantera untuk kebaikan maupun mantera untuk kejahatan. Banyak anggota masyarakat yang masih
percaya dan memanfaatkan mantera untuk berbagai tujuan. Sebagaimana genre tradisional lain, teks
seperti formula mantera kadang diplesetkan oleh anak-anak muda dan diperlakukan sebagai lelucon,
misalnya:
Limau puruik di ateh meja
Kok indak inyo manuruik awak mengaja
( jeruk purut di atas meja )
( jika dia tidak mengikut, saya mengejar)
Kiasan manuruik alua jo patuik (mengikuti alur dan patut) diplesetkan menjadi mengecek manuruik
alua jo patuik dialua (berbicara menurut alur dan patut, berpikir mana yang patut ditipu).
Sementara itu, lagu permainan anak-anak sudah kurang produktif, bahkan permainan tradisional
anak-anak dari waktu ke waktu makin berkurang. Anak-anak mulai terbiasa dengan permainan
modern, alat permainan yang diperjual belikan di pasar, bahkan kemudian anak-anak lebih tertarik
kepada permainan elektronik semisal gamewatch, play station, dan lain-lain. Dengan keadaan
demikian, anak-anak tidak lagi bermain dengan alat-alat permainan, tetapi memainkan peralatan
elektronik. Mereka tudak lagi membuat permainan, tetapi hanya memainkan, menggunakan dan
membeli. Akibatnya lagu atau kelisanan yang mengiringi permainan itu pun hilang. Keadaan seperti
ini amat jelas terjadi pada masyarakat urban. Namun demikian, dikampung-kampung masih ada
permainan anak-anak tradisional walaupun sudah diselingi bahkan bersaiang dengan permainan
modern.
Satu hal pula, pendidikan sekolah membawakan olahraga modern kepda anak-anak didik. Mata
pelajaran olahraga mengajarkan olahraga modern, tidak ada ruang untuk memperkenalkan
permainan anak negeri.
Melihat keadaan ini, kita patut menyampaikan apresiasi terhadap beberapa institusi yang masih
memperkenalkan permainan tradisional, seperti museum, Balai Pelestarian Seni dan Nilai tradisional
(BPSNT), dan taman budaya (yang secara periodik dalam kesempatan pekan budaya daerah masih
menyajikan permainan anak-anak negeri). Beberapa museum masih menyediakan mata acara festival
permainan anak-anak, walaupun tidak membuat permainan, tetapi hanya memainkan dan memakai.
Ada juga badan swasta yang menyelenggarakan festival permainan tradisional anak-anak yang patut
kita sampaikan penghargaan.
Begitu juga sastra lisan, masih hidup di tangah masyarakat. Tidak saja dalam masyarakat
tradisional, dalam masyarakat urban pun sastra lisan – kesenian tradisional – masih dipertunjukan.
Artinya, sastra lisan masih berwujud.

F. Keberlanjutan dan Kepunahan Sastra Lisan


Dari berbagai genre sastra lisan itu terlihat fenomena ada yang hidup marak, ada yang memudar,
ada yang hampir punah, bahkan ada yang sudah punah ( Amir dkk, 2007:2 ). Genre yang terus hidup
itu tampak mempunyai salah satu atau gabungan unsur didalamnya, yaitu adanya ruang untuk
berimprovisasi dengan kekinian masyarakatnya dan/atau membawakan pesan Islam ( Amir,2010:113-
115 ). Dengan menggunakan istilah filologi, ada tradisi terbuka pada genre itu. Jika tidak demikian,
genre itu akan punah.
Keterbukaan itu dapat dilihat dari beberapa sisi, misalnya dari sisi instrumennya. Saluang
dendang atau bagurau yang semula hanya saluang untuk mengiringi tukang dendang sekarang diiringi
dengan rebana dan tamborin. Dari sisi irama pendengarannya, seperti salawat dulang yang biasanya
didendangkan dengan irama tradisional, sekarang didendangkan dengan irama lagu-lagu yang sedang
populer ditengah masyarakat. Dari sisi teksnya, salawat dulang sekarang memasukkan teks lagu lagu
yang tengah populer. Dalam hal unsur Islam, dalam teksnya terdapat ajaran Islam ataupun pesan
agama Islam secara eksplisit.
Demikianlah, dengan memanfaatkan ‘ruang keterbukaan’ itu, maka dalam kesenian Minangkabau
terdapat saluang dangdut dan saluang remix. Ada pula dendang tradisional yang dikemas dengan
musik modern, seperti beberapa lagu yang dibawakan oleh Tiar Ramon. Dengan beberapa kondisi
improvisasi itu, sastra lisan diteruskan dan dibawakan kepada masyarakat sampai saat ini. Sebaliknya,
kesenian yang tidak mempunyai ruang keterbukaan ini, perlahan mati lalu musnah karena tidak ada
ruang untuk menyesuaikan diri dengan kekinian masyarakatnya. Tampaknya pertolongan dari
seniman modern pun sangat besar perannya dalam meregenerasikan sastra lisan.

Anda mungkin juga menyukai