RESUME
D. Pengantar Pembicaraan
Pembicaraan tentang sastra lisan ini bukanlah sesuatu yang baru. Hal ini sudah lama ada,
walaupun istilah yang berbeda. Buku-buku lama tentang sastra di Indonesia menyebutnya dengan
beberapa istilah, seperti sastra lama ( Sutan Takdir Alisjahbana, Zuher Usman, Simorangkir
Simanjuntak ) ataupun sastra tradisional dan sastra klasik ( Winatedt, Liauw Yock Fang ). Ada juga yang
menyebut sastra rakyat (Ismail Husein). Sastra lama ataupun sastra tradisional ini dipertentangkan
dengan sastra baru atau sastra modern.
Pembicaraan-pembicaraan itu membuktikan bahwa sastra lisan itu ada, ada wujudnya (exist), ada
‘pengwujudnya’ ( bearer, senimannya), dan ada masyarakatnya, yaitu masyarakat pemilik dan
penikmatnyadan khalayaknya (audiences).
Sastra lama itu dikatakan beredar secara lisan di tengah masyarakatnya, bahkan kadang disebut
sebagai sastra’masyarakat buta huruf’/’masyarakatnya, tradisional’. Bentuk sastra lisan sudah
tertentu (pantun, syair, seloka, gurindam, bidal, prosa liris; yang berbentuk prosa disebut hikayat) dan
ungkapannya sama (disebut klise). Bahkan dalam hal pantun, bila seseorang menyebutkan
sampiranny, yang lain sudah mengetahui isinya, atau paling tudak dapat membayangkan isinya,
seperti bila diucapkan sampiran,
Pulang pandan jauh ditengah
Di balik pulau Angsa Dua
Masyarakat sudah tahu isinya:
Hancur badan dikandung tanah
Budi baik terkadang juga (Amir,2010).
Begitu juga bentuk ungkapan rambut mayang mengurai, kening keliran taji, bulu mata semut
beriring, pandangan bak bulan sayup, mata bak bintang timur, dan seterusnya, kerap, bahkan hampir
selalu digunakan para penampil sastra lisan ini dan para penutur adat. Itulah sebabnya sastra lama
dikatakan menggunakan ungkapan klise, tidak ada ciptaan baru. Tentang bentuk-bentuk berulang
dalam sastra lama ini, sutan takdir (1968:5) mengatakan bahwa sastra lama lahir dari masyarakat lama
yang tidak mementingkan, bahkan tidak mau ada perubahan. Mereka menginginkan masyarakat yang
statis. Dengan keadaan yang demikian, sastra lama itu dikatakan bersifat statis pula.
Winstedt dan Liauw Yock Fang hanya menguraikan sastra tradisional atau sastra lama. Kedua
penulis ini melanjutan pembicaraan, bahkan’berlama-lama’ dengan cerita dari naskah, yaitu
peninggalan dalam bentuk tulisan tangan/filologi. Sastra lisan tidak mendapat perhatian.
Pada dekade 70-an dan 80-an, pusat pembinaan dan pengembangan bahasa mempunyai sebuah
proyek, yaitu Proyek Inventarisasi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, kemudian Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah. Dari proyek itu telah terbit banyak buku sastra lisan
dan berbagai topik linguistik bahasa daerah di Indonesia. Khusus tentang sastra lisan, tampaknya
meliputi berbagai topik yang datanya didapat secara lisan, termasuk transkripsi cerita lisan yang
diceritakan seorang nenek, cerita humor, transkripsi mentera, dan permainan anak-anak.
Salah satu sastra lisan tersebut adalah sastra lisan Minangkabau. Dari berbagai penelitian lapangan
mengenai sastra lisan minangkabau, terdapat berbagai tradisi lisan dalam kebudayaan Minangkabau
yang dihidupi oleh masyarakatnya. Masyarakatnya pun dengan sadar membedakan tiap jenis/genre
tradisi lisan, ciri-ciri tiap genre itu, tempat untuk mempertunjukkannya, tujuan dan fungsi
pertunjukkannya (untuk memeriahkan kenduri, untuk perayaan peringatan hari besar agama, untuk
pengobatan), siapa yang hadir, bahkan hubungan penampil dengan khalayaknya, meskipun mereka
tidak perlu menjelaskan ataupun merumuskan semua itu.
Artinya, meskipun masyarakat itu tudak merumuskan jenis tradisi lisan beserta ciri dan fungsinya,
tetapi dalam kehidupan mereka, mereka meletakkan tiap jenis itu pada proporsi yang mereka setujui
bersama. Pengetahuan itu mereka peroleh secara lisan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Mereka
sosialisasi dengan pengetahuan dan nilai itu. Selanjutnya pengetahuan dan nilai itu terinternalisasi
pada diri mereka sebagai anggota masyarakat.