Anda di halaman 1dari 5

KESENIAN TRADISIONAL GAYO; DIDONG

Nidia Rahma, 1406613265

Didong Kesenian Tradisional Gayo merupakan buku karangan Drs. M. J. Melalatoa


yang disusun tahun 1981. Buku ini membahas secara lengkap kesenian Gayo pada umumnya,
khususnya kesenian didong, mulai dari sejarah, bentuk, fungsi dan tokoh-tokoh kesenian
tersebut. M. J. Melalatoa juga memberikan sedikit gambaran mengenai daerah Aceh terutama
Gayo. Pada akhir buku ini juga terdapat lampiran beberapa puisi-puisi baik yang sudah
diterjemahkan maupun belum.

Kesenian Didong berkembang di Kabupaten Aceh Tengah yang dikenal sebagai


wilayah kediaman orang Orang Gayo Lut dan Orang Gayo Deret. Bahasa yang digunakan
dalam puisi-puisi pada kesenian ini adalah bahasa Gayo yang yang sudah cukup banyak
bercampur dengan unsur kata bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dianggap lebih manis,
puistis dan komunikatif, serta banyak kata-kata dalam bahasa Gayo yang memiliki arti sama
dengan bahasa Indonesia.

Pada masa lalu masyarakat Gayo mengenal suatu kesatuan sosial terkecil yang disebut
sara ine yang dalam konsep umum dikenal dengan istilah keluarga inti, yang kemudian
bergabung dalam kelompok sosial atau kelompok kerabat yang disebut sara dapur atau
keluarga luas. Kelompok tersebut biasanya mendiami sebuah rumah besar terdiri atas
beberapa bagian atau “ruang”. Di antara anggota kerabat yang serumah ini terdapat anggota
yang masih remaja dan memiliki tempat berkumpul disebut serami.

Kelompok remaja dalam satu serami di satu rumah besar merupakan kumpulan dari
para remaja dari beberapa rumah namun masih dalam satu klen ‘clan’ yang dalam istilah
setempat disebut belah. Mereka melakukan kegiatan gotong royong untuk belahnya, menjaga
keamanan para gadis belahnya, melakukan kegiatan kesenian seperti didong mewakili
belahnya dan lain-lain. Didong merupakan gabungan dari seni sastra, seni vokal atau suara,
dan seni tari yang bersifat dipertandingkan. Ada pula kesenian guru-didong yang kadang
disebut juga pegawe yang menonjolkan unsur tarian dan menembangkan pantun-pantun
dengan lagu tertentu. Kesenian ini mungkin merupakan bentuk awal dari kesenian didong.

Ciri khas seni vokal Gayo yang terdapat dalam kesenian didong adalah jangin dan
denang. Jangin cenderung dibawakan oleh seseorang yang tengah menelusuri perasaan
harunya, atau menumpahkan rasa sedihnya, dalam suasana kesendirian, dalam keadaan
kesepian. Sementara itu, Denang hampir sama pengertiannya dengan “dendang”, ada
gugahan perasaan yang bersifat menyenangkan, dapat pula menjurus ke arah keharuan di
akhirnya. Dalam kesenian didong atau saer lagu-lagunya serba baru, sehingga menuntut para
senimannya harus kreatif dalam penciptaan lagu.

Ada pendapat bahwa kata didong mendekati pengertian kata “dendang” dalam bahasa
Indonesia. Arti “dendang” adalah nyanyian sambil bekerja atau untuk menghibur hati atau
bersama-sama dengan bunyi-bunyian. Dalam bahasa Gayo juga dikenal kata denang atau
donang yang artinya mirip dengan arti kata “dendang” (Melalatoa, 1971: 3-4). Sementara itu,
dalam legenda Gajah Putih, dikatakan untuk membangkitkan seekor gajah dari
pembaringannya yang enggan bangun dilakukan dengan cara berdendang yaitu dengan
didong. Sejak saat itulah didong menjadi sebuah kesenian, yang menjadi sarana untuk
menyampaikan perasaan, pikiran, keinginan, dari seseorang kepada orang atau pihak lain.

Pada kesenian ini ada gejala penyesuaian terhadap perkembangan yang terjadi pada
masyarakat atau lingkungannya pada umumnya, yang tampak pada bentuk isi dan fungsinya.
Pada masa lalu didong ditandai oleh apa yang disebut bentuk didong berwajib, yang
mengharuskan tampil dengan “tema wajib”. Pada saat itu pertandingan didong berlangsung
dengan nyanyian berteka-teki. Mereka secara bergantian memberi dan menjawab soal antara
dua group selama semalam suntuk. Benar atau tidaknya dinilai oleh tim juri yang terdiri dari
ahli-ahli adat, orang-orang tua, seniman berpengalaman, dan lain-lain.

Didong berwajib mulai mengalami perubahan dengan datangnya bala tentara Jepang.
Kesenian ini menjadi lesu; para seniman (ceh) didong seolah tidak sempat lagi berteka-teki
soal adat. Meskipun ada, puisi-puisi atau syair-syairnya lebih bernada protes, membangkitkan
rasa nasionalisme untuk mengenyahkan Jepang. Setelah proklamasi kemerdekaan didong
menjadi sarana ampuh untuk pembangunan fisik, dalam rangka mencari dana untuk
pembangunan gedung sekolah, madrasah, masjid, jembatan, dan macam-macam keperluan
masyarakat.

Kesenian didong sempat dilarang saat pergolakan peristiwa DI/TII di Aceh tahun
1950 sehingga mereka mulai bermain saer yang sifat penampilannya hampir sama dengan
didong. Perbedaannya hanya dalam unsur gerak atau tariannya yang dalam saer sangat
terbatas, selain itu isi dari saer bersifat keagamaan, yang tema-temanya diambil dari quran
dan Hadits Nabi. Setelah keadaan keamanan mulai membaik didong pun kembali lagi dan
saer kembali menjadi redup.
Sesudah tahun 1960, kesenian didong menjadi marak di acara-acara perkawinan
masyarakat gayo dan mulai menggunakan pengeras suara. Saat kebiasaan mengundang
didong dalam rangka perkawinan menghilang atau lengang, pemerintah mulai mengadakan
pertandingan didong dalam rangka mencari dana, atau merayakan hari-hari besar nasional
seperti 17 Agustus. Seiring perkembangan teknologi, para seniman mulai merekam suara-
suaranya yang merdu ke dalam pita-pita kaset.

Pada masa kekuasaan Belanda di Gayo, setiap group mewakili satu klen “belah”,
yang pada saat itu tidak ada nama khusus untuk setiap group. Dalam permainan didong harus
ada dua kelompok pemain, yang masing-masing kelompok terdiri atas sejumlah orang yang
terdapat organisasi dengan pimpinan dan anggotanya. Selain itu, ada tempat bermain, alat-
alat, penonton, serta aturan-aturan tertentu. Kadang-kadang dilengkapi pula dengan adanya
juri dan dukun (guru). Satu group didong biasanya beranggotakan sekitar 40 orang, tetapi
yang turun untuk bermain hanya sekitar 25-30 orang.

Anggota yang bertindak sebagai pemain dapat diklasifikasikan menjadi; peserta yang
bertugas mengiringi ritme dan nyanyian (penunung atau penepok atau penyur) dan penyair
yang merangkap sebagai komponis dan biduan, yang dinamakan Ceh. Ceh kul atau ceh utama
dibantu oleh apit. Seorang Ceh harus mampu menciptakan puluhan lagu bahkan melebihi
seratus buah lagu, dan dituntut menciptakan pusi-puisi beratus-ratus bait yang hanya untuk
satu malam pertandingan saja.

Dua tokoh seniman Didong yang gigih penuh dedikasi dan dikenal oleh masyarakat
Gayo, pertama Abd. Rauf dan bekas group Umang, Kabinet Baru, Kabinet Asli, Kabinet
Mude dan Timang Rasa yang sudah menggeluti kesenian ini selama 34 tahun. Kedua adalah
Ceh Lakiki alias Mohammad Basir atau dikenal juga dengan nama Ceh Muhammad, yang
merupakan seorang veteran didong dan tokoh legendaris kesenian ini.

Kemudian tema dan isi dari puisi didong dapat dikategorikan berdasarkan periode-
periode yang telah berjalan. Periode awal tema-tema yang umum adalah di sekitar
permasalahan adat atau aturan-aturan adat, perkawinan, mendirikan rumah, kehitanan dan
lain-lain. Kemudian pada masa setelah kemerdekaan puisi-puisi didong ditandai dengan
semangat nasionalisme, misalnya puisi “Ya, Merdeka” dari Ceh Lakiki. Pada masa itu orang
mulai berpikir tentang hidup yang lebih baik.
Pada generasi berikutnya tampak semakin menjauh dari adat serta nilai-nilai adat itu
sendiri. Mereka mulai bergelut dengan dunia mereka sendiri, alam remaja, alam romantik.
Puisi-puisi mereka berkisar sekitar “bunga” rasa kasmaran, sekitar cinta, yang tampak dalam
puisi-puisi Sjeh Midin (1972: 3-9). Puisi-puisi mereka juga mulai dituliskan dan kemudian di
hafal sampai waktunya untuk ditembangkan di tengah arena, maka sifat spontanitasnya
semakin berkurang. Salah satu contoh puisi didong yang menggambarkan kehidupan seniman
didong yang berjudul “Nasip ni Seni” yang berarti “Dunia Seni” puisi group Kabinet Mude.
Berikut sedikit kutipan puisi tersebut;

Ku jangin se urum lagu

Ini sebuku ku jalin peri

Nge lagu si layang urum sembilu

Ton mungadu gere paham kami Ari iyo sawah ku terang

Tepok si runcang luis ni jejari

Mutuang lauh ku dagu Ringite simen ibilang

Mempas ke atu itelah bumi Paling ara pecengang ku sone kami

Ari iyo ku terang suntuk berlagu

Paling ara demu sara mangkok kupi Cerak pemarin

Berijin ke lepas kata

Tenegee wa ipergunen Buge iperhatin

Munaos pembangunan nge jep sagi Jangin ni jema seni

Baik i kite atau i lueren Nasipmu seni

Dele nge sumbangen ari jema seni

Puisi ini menggambarkan perjalanan kehidupan kesenian didong yang telah melewati
berbagai periode. Mereka telah mengisi malam demi malam, arena demi aren adengan segala
suka dukanya. Banyak yang sudah mereka lakukan dan sumbangkan, tetapi mereka tetap
mencintai kesenian ini. Puisi ini selain menggambarkna suka duka seniman didong, intinya
merupakan keritik kepada berbagai pihak termasuk kepada pemerintah. Mereka merasa tidak
diperhatikan padahal keringat mereka terkuras.

“Kini ku tembang dengan lagu, ini tangisan dalam kata, hati tersayat sembilu, tak tahu
mengadu pada siapa”
“Hanya tenaga yang terkuras, di semua pelosok menunjang pembangunan, di kota atau
di desa, penuh buah tangan sang seniman”

Bait puisi tersebut menggabarkan jerih payah para seniman selama ini. mereka sudah
menyumbang banyak dana untuk pembangunan negeri tapi tidak mendapat apresiasi dan
kesejahteraan dari pemerintah. Mereka duduk semalam suntuk dengan hanya berselimut
sarung, dan bertarung di atas alas yang lusuh. Hidangan yang disediakan hanya apa adanya
dan uang yang dihasilkan tidak seberapa.

Namun setelah melontarkan kritik pedas tersebut, mereka juga minta maaf atas
kritikan yang mungkin keterlaluan. “Harapan terakhir, maahkan kami atas semua, semoga da
hati, buat tembang ini, Ya duniaku seni”. Meminta maaf dalam kesenian didong merupakan
ciri yang khas, dengan demikian jiwa mereka akan tenang kembali.

Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa kesenian didong mengikuti


perkembangan yang terjadi dalam lingkungan masyarakatnya sendiri. Betapapun
masyarakatnya berubah dan nilai-nilainya bergeser, didong tetap setia mennyertainya
meskipun kadang-kadang dalam suasana keprihatianan. Fungsi didong tidak hanya sebagai
hiburan, tetapi juga sebagai alat untuk memelihara nilai dan norma adat, penyalur rasa
ketegangan sosial, bentuk kritik sosial, penerangan atau sumber informasi dan ilmu
pengetahuan, serta sumber mencari dana.

Didong merupakan salah satu kesenian yang menggabungkan berbagai bentuk


kesenian mulai dari musik, sastra, vokal atau suara, maupun tari. Kesenian tersebut harus
terus dilestarikan karena memiliki kekayaan budaya yang tersimpan di dalamnya dan sebagai
wujud kreatifitas masyarakat. Kesenian ini harus lebih dikenalkan lagi, bahwa kesenian yang
berasal dari Aceh tidak hanya Saman, tetapi juga ada kesenian Didong. Kesenian ini
mengandung nilai-nilai adat yang sangat kuat dan juga dapat dilihat sebagai bagian dari
sejarah karena setiap puisi yang diciptakan menggambarkan keadaan masyarakat pada saat
itu.

Daftar pustaka:

Melalatoa, M. J. 1981. Didong Kesenian Tradisionla Gayo. Jakarta: Proyek Media


Kebudayaan Jakarta Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan

Anda mungkin juga menyukai