Anda di halaman 1dari 301

DISERTASI

Halaman Judul

MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM


PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN
PERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM

(Studi tentang Implementasi kebijakan Peraturan Presiden Nomor 15


Tahun 2018 Tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan
Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum)

Disusun Oleh:

Ronal Chandra
157030100012004

PROGRAM DOKTOR ILMU ADMINISTRASI


MINAT ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2022
LEMBAR PENGESAHAN

MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM


PERCEPATAN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN
PERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM

(Studi tentang Implementasi kebijakan Peraturan Presiden Nomor 15


Tahun 2018 Tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan
Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum)

DIAJUKAN UNTUK SEMINAR HASIL DISERTASI

Oleh:
Ronal Chandra
NIM. 157030100012004

Promotor

Prof. Dr. SUMARTONO, M. S

Ko Promotor 1 Ko Promotor 2

Dr. ENDAH S, M. Si Dr. K. MULUK, M.Si

ii
IDENTITAS TIM PENGUJI SIDANG KOMISI DISERTASI

Judul Disertasi : MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN


PROGRAM PERCEPATAN PENGENDALIAN
PENCEMARAN DAN PERUSAKAN DAERAH
ALIRAN SUNGAI CITARUM (Studi tentang
Implementasi kebijakan Peraturan Presiden
Nomor 15 Tahun 2018 Tentang Percepatan
Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan
Daerah Aliran Sungai Citarum)

Nama Mahasiswa : Ronal Chandra


NIM : 157030100012004
Program Studi : Doktor Ilmu Administrasi
Minat : Administrasi Publik

Komisi Promotor

Promotor : Prof. Dr. SUMARTONO, M. S


Ko Promotor 1 : Dr. ENDAH S, M. Si
Ko Promotor 2 : Dr. K. MULUK, M. Si

Tim Dosen Penguji

Penguji 1 : _____________________________
Penguji 2 : _____________________________
Penguji 3 : _____________________________

Penguji Tamu

Penguji Tamu 1 : _____________________________


Penguji Tamu 2 : _____________________________
Penguji Tamu 3 : _____________________________

Tanggal Ujian : _____________________________


SK Penguji :

iii
PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang


pengetahuan saya, di dalam naskah DISERTASI dengan judul:

MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PERCEPATAN


PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN PERUSAKAN DAERAH ALIRAN
SUNGAI CITARUM
(Studi tentang Implementasi kebijakan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun
2018 Tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah
Aliran Sungai Citarum)

Tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk
memperoleh gelar akademik di suatu perguruan tinggi, dan tidak terdapat karya
atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang
secara tertulis dikutip dalam naskah ini serta disebutkan dalam sumber kutipan
dan daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam naskah disertasi ini dapat dibuktikan terdapat
unsur-unsur jiplakan, saya bersedia disertasi ini digugurkan dan gelar akademik
yang telah saya peroleh (DOKTOR) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU nomor 20 Tahun 2003, Pasal
25 ayat 2 dan pasal 70).

Malang, Desember 2022


Yang Menyatakan,

Ronal Chandra
NIM: 157030100012004

iv
RINGKASAN

Ronal Chandra, NIM: 157030100012004, Program Doktor Ilmu


Administrasi Universitas Brawijaya, 2022. Model Implementasi Kebijakan
Program Percepatan Pengendalian Pencemaran Dan Perusakan Daerah Aliran
Sungai Citarum (Studi tentang Implementasi kebijakan Peraturan Presiden
Nomor 15 Tahun 2018 Tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan
Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum). Promotor: Sumartono, Ko-Promotor:
Endah dan Muluk.

Kebijakan di Indonesia sesungguhnya menghadapi permasalahan baik di


tingkat Pemerintah Pusat (Kemenko Maritim, Kemenko PMK, Kementerian
Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri); tingkat Pemerintah Provinsi Jawa Barat;
serta kebijakan kesehatan di tingkat Pemerintah Kabupaten/Kota yang dilalui
aliran sungai Citarum. Pola hubungan ini menentukan pola interaksi (pattern of
interactions) seluruh pemangku kepentingan terkait kebijakan Citarum. Penelitian
ini menggunakan pendekatan Grindle (1980), karena kebijakan (content of policy)
dan lingkungan implementasi (context of implementation) merupakan dua hal
yang memengaruhi outcome implementasi. Tujuan dari penelitian ini adalah
menganalisis, mendeskripsikan, serta menemukan model implementasi program
pengendalian pencemaran dan kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum dengan
pendekatan Grindle (1980).
Penelitian terdahulu yang mendukung penelitian ini adalah penelitian
yang dilakukan oleh Jung et al. (2021); Koch I, Reeves A. (2021); Tri N, Hau D,
Duyen N, (2021); Dutta, et al., (2021); Wiryanto W, (2020); Idris, H. (2017);
Rasyid and Alfina. (2017; serta Raharja, S.J. (2015). Terkait dengan
implementasi kebijakan publik, Grindle (1980) memperkenalkan model
implementasi sebagai proses politik dan administrasi, model tersebut
menggambarkan proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh beragam
aktor dimana keluaran akhirnya ditentukan oleh baik materi program yang telah
dicapai maupun melalui interaksi para pembuat keputusan dalam konteks politik
administratif. Proses politik dapat terlihat melalui proses pengambilan keputusan
yang melibatkan berbagai aktor kebijakan sedangkan proses administrasi terlihat
melalui proses umum mengenai aksi administratif yang dapat diteliti pada tingkat
program tertentu. Keterbaruan pada penelitian ini yaitu menggunakan
pendekatan kualitatif dengan fokus dari penelitian terdiri atas Content of Policy,
Context of Implementation, Output dan Outcome dari implementasi kebijakan ,
serta Model implementasi Kebijakan, karena belum ada penelitian terdahulu
yang menggunakan pendekatan kualitatif dengan fokus seperti pada penelitian
ini.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif dengan fokus dari penelitian terdiri atas Content of Policy, Context of
Implementation, Output dan Outcome dari implementasi kebijakan , serta Model
implementasi Kebijakan. Penelitian ini dilaksanakan di Pemerintah Provinsi Jawa
Barat dan seluruh Kabupaten serta Kota yang juga merupakan Daerah Aliran
Sungai Citarum dengan melakukan pengumpulan data pada masyarakat di
sepanjang Sungai Citarum, khususnya masyarakat yang menerima fasilitas
BPJS Kesehatan di sepanjang Sungai Citarum. Informan dalam penelitian ini
dipilih dengan teknik pengambilan sampel yaitu, purposive sampling, yaitu
informan yang memahami mengenai kondisi Sungai Citarum, mulai dari

v
kebijakan yang diimplementasikan, pengendalian pencemaran, dan perusakan
daerah tersebut. Teknik pengumpulan data dilakukan observasi, wawancara
mendalam, serta dokumentasi serta dilakukan analisis.
DAS Citarum secara fisik terbagi menjadi 3 bagian, yaitu bagian Hulu,
Tengah dan Hilir dengan panjang sungai masing-masing sekitar 100 km. Citarum
Hulu sampai dengan inlet waduk Saguling dengan luas 1.771 km2. Bagian
Tengah yaitu inlet dari waduk Saguling sampai outlet Waduk Jatiluhur dengan
luas 4.242 km2 dan bagian Hilir yaitu dari waduk Jatiluhur sampai muara seluas
527 km2 dengan panjang 125 km. Dalam mengatasi permasalahan yang ada,
sudah banyak tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam mengatasi
pencemaran di Sungai Citarum. Sungai sepanjang 269 kilometer yang melintasi
13 kabupaten dan kota di Jawa Barat ini dinobatkan sebagai satu dari sepuluh
wilayah terkotor di dunia. Predikat yang disandang Citarum berdasar laporan dari
Green Cross Switzerland dan Blacksmith Institute pada 2013. Berbagai kebijakan
yang dilakukan diantaranya program citarum bergetar, investasi pengelolaan
sumber daya air terpadu citarum, citarum bestari, dan citarum harum.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Secara umum telaah tentang
Model Implementasi Kebijakan Program Pengendalian Pencemaran Dan
Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum berdasarkan perspektif Grindle masih
terdapat beberapa kendala dalam pelaksanaannya, (2) Dilihat dari lingkungan
implementasi dengan adanya kekuatan dan kepentingan akan mempertahankan
status yang ada di tempat penelitian, maka beberapa hal yang masih
menyisakan permasalahan misalkan belum jelasnya kewenangan dalam
melaksanakan program perlu mendapatkan perhatian serius, agar untuk
fenomena serupa tidak terulang. Permasalahan DAS Citarum sudah menjadi
permasalahan sampah yang sangat serius secara lokal dan nasional. Keluarnya
perpres nomer 15 tahun 2018 menunjukkan keseriusan pemerintah dalam
menuntaskan permasalahan pencemaran kawasan DAS Citarum. Para
pelaksana kebijakan sangat berkomitmen terhadap pencegahan, pengendalian,
dan pemulihan DAS Citarum agar menjadi bersih, indah, bebas sampah dan
polusi.
Implementasi kebijakan program pengendalian pencemaran dan
kerusakan daerah aliran Sungai Citarum belum terdapat struktur organisasi
pelaksana, sehingga perlu dilengkapi bagian tersebut. Selain itu, dana
pendukung yang disediakan belum cukup sehingga faktor pembiayaan perlu
diperhatikan dan mendapat dukungan.

Kata Kunci: Aliran Sungai Citarum; Implementasi Kebijakan; Pengendalian


Pencemaran

vi
SUMMARY

Ronal Chandra, NIM: 157030100012004, Doctoral Program in


Administrative Sciences, University of Brawijaya, 2022. Policy Implementation
Model for the Acceleration of Control of Pollution and Destruction of the Citarum
River Basin (Study on Policy Implementation of Presidential Regulation Number
15 of 2018 Concerning the Acceleration of Pollution Control and Damage to the
Citarum River Basin). Promoter: Sumartono, Co-Promoters: Endah and Muluk.

The policy in Indonesia faces problems at the central government level


(Coordinating Ministry for Maritime Affairs, Coordinating Ministry for PMK,
Ministry of Health, Ministry of Home Affairs); West Java Provincial Government
level; as well as health policies at the district/city government level through which
the Citarum river flows. This relationship pattern determines the pattern of
interactions (pattern of interactions) of all stakeholders related to Citarum policies.
This study uses Grindle's (1980) approach because policy (the content of policy)
and implementation environment (context of implementation) are two things that
influence the success of implementation. The purpose of this study was to
analyze, describe, and find a model for implementing pollution and damage
control program policies for the Citarum River Basin using the Grindle approach
(1980).
Previous research that supports this research is research conducted by
Jung et al. (2021); Koch I, Reeves A. (2021); Tri N, Hau D, Duyen N, (2021);
Dutta, et al., (2021); Wiryanto W, (2020); Idris, H. (2017); Rashid and Alfina.
(2017; and Raharja, S.J. (2015). Related to the implementation of public policy,
Grindle (1980) introduces the implementation model as a political and
administrative process, this model describes the decision-making process carried
out by various actors where the final output is determined by both the program
material used has been achieved as well as through the interaction of decision-
makers in the context of administrative politics. The political process can be seen
through the decision-making process involving various policy actors while the
administrative process is seen through the general process regarding
administrative actions that can be examined at a specific program level.
The type of research used in this study is a qualitative the focus of the
research consists of the Content of Policy, Context of Implementation, Output,
and Outcome of policy implementation, as well as the Model of Policy
implementation. This research was carried out in the Provincial Government of
West Java and all Regencies and Cities which are also in the Citarum River
Basin by collecting data on communities along the Citarum River, especially
people who receive BPJS Health facilities along the Citarum River. Informants in
this study were selected using a sampling technique, namely, purposive sampling,
namely informants who understand the condition of the Citarum River, starting
from implemented policies, pollution control, and destruction of the area. Data
collection techniques were carried out through library research, observation, in-
depth interviews, as well as documentation and analysis.
The Citarum Watershed is physically divided into 3 parts, namely the
Upper, Middle, and Lower parts with a length of about 100 km each. Upper
Citarum to the inlet of the Saguling reservoir with an area of 1,771 km2. The
Central part is the inlet from the Saguling Reservoir to the outlet of the Jatiluhur
Reservoir with an area of 4,242 km2 and the Downstream part is from the

vii
Jatiluhur Reservoir to the estuary with an area of 527 km2 with a length of 125
km. In overcoming existing problems, the government has taken many actions to
overcome pollution in the Citarum River. This 269-kilometer-long river that
crosses 13 regencies and cities in West Java has been named one of the ten
dirtiest areas in the world. The title that Citarum bears is based on a report from
Green Cross Switzerland and the Blacksmith Institute in 2013. Various policies
carried out include the vibrating citarum program, investment in integrated
Citarum water resources management, Citarum Bestari, and Citarum Wangi.
The results of this study indicate that: (1) In general, the study of the
Health Insurance Policy Implementation Model and the Citarum Watershed
Pollution and Damage Control Program Policy based on the Grindle perspective
still has several obstacles in its implementation, (2) Judging from the
implementation environment, there are strengths and interests will maintain the
existing status at the research site, then some things that still leave problems, for
example, the unclear authority in implementing the program needs serious
attention, so that similar phenomena do not recur. The Citarum watershed
problem has become a very serious waste problem locally and nationally. The
issuance of Perpres number 15 of 2018 shows the government's seriousness in
solving the problem of pollution in the Citarum watershed area. Policy
implementers are highly committed to preventing, controlling, and restoring the
Citarum watershed so that it becomes clean, beautiful, and free of waste and
pollution.
The implementation of the health insurance policy and pollution and
damage control program policies for the Citarum River Basin do not yet have an
implementing organizational structure, so this section needs to be completed. In
addition, the supporting funds provided are not sufficient so financing factors
need to be considered and supported.

Keywords: Citarum River Flow, Policy Implementation, Pollution Control

viii
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan karunia-Nya sehingga disertasi dengan judul “Model
Implementasi Kebijakan Program Percepatan Pengendalian Pencemaran Dan
Perusakan Daerah Aliran Sungai Citarum (Studi tentang Implementasi kebijakan
Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 Tentang Percepatan Pengendalian
Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum)” ini dapat
terselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan Program Doktor Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya.
Penelitian ini mengambil studi tentang Daerah Aliran Sungai Citarum
Jawa Barat yang telah diklaim sebagai sungai terkotor di dunia. Padahal,
keberadaan Sungai Citarum memegang peran sangat strategis terhadap
kehidupan warga Jawa Barat dan DKI Jakarta. Sebagai sungai terkotor di dunia,
Citarum telah menimbulkan dampak yang luar biasa bagi jutaan orang yang
tinggal dan menggantungkan hidup di sepanjang aliran sungai. Berbagai macam
penyakit mengintai warga akibat aliran sungai tersebut. Salah satunya adalah
penyakit gatal-gatal yang dialami warga di enam Kecamatan di Kabupaten
Sukabumi. Hal utama yang harus dilakukan saat ini adalah melakukan
pendekatan hukum kepada para pengambil keputusan di masing-masing level
pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat di bantaran sungai. Hasil
penelitian ini diharapkan mampu memberikan model implementasi kebijakan
kebijakan program pengendalian pencemaran dan kerusakan Daerah Aliran
Sungai Citarum.
Penulis menyadari adanya berbagai kekurangan dan keterbatasan dalam
penulisan disertasi ini, namun penulis tetap berharap banyak kiranya disertasi ini
dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi baik bagi studi/ilmu pengetahuan
maupun secara praktis dalam implementasi kebijakan, serta bagi para pembaca
semuanya.

Malang, Desember 2022


Ronal Chandra

ix
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ...................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................ii
IDENTITAS TIM PENGUJI SIDANG KOMISI DISERTASI ...................................iii
PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................................................ iv
RINGKASAN ........................................................................................................... v
SUMMARY ............................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ..............................................................................................ix
DAFTAR ISI .............................................................................................................x
DAFTAR TABEL ................................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................xvi

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah Penelitian ...................................................................... 23
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 27
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 28
1.4.1. Manfaat Akademik ................................................................................ 28
1.4.2. Manfaat Praktis ..................................................................................... 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 30


2.1. Penelitian Terdahulu ................................................................................... 30
2.1.1 Penelitian Redhi Fathan Affandi (2020) ................................................ 30
2.1.2 Gusti Ketut Purnaya dan I Made Trisna Semara (2018) .......................32
2.1.3 Rikky Mulyawan et al., (2022) ............................................................... 33
2.1.4 Feny Irfany Muhammad dan Yaya M Abdul Aziz (2020) ..................... 35
2.1.5 Harmiati et al (2018) .............................................................................. 38
2.1.6 Rizki Hidayatulloh et al (2018) ...............................................................39
2.1.7 C. Yudi Lastiantoro & S. Andy Cahyono (2016) ....................................40
2.1.8 Raharja, S.J. (2015) ...............................................................................42
2.1.9 Juniarti (2020) ........................................................................................ 45
2.1.10 Yoan dan Lilin (2015) .......................................................................... 46
2.1.11 Karouw, Daud dan Grace .................................................................... 47
2.1.12 Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air (2013) ......... 49
2.1.13 Iwan Mulyawan (2014) ........................................................................ 53

x
2.1.14 Jupir (2013) ..........................................................................................55
2.2. Administrasi Publik dan Kebijakan Publik ...................................................66
2.2.1 Tempat Kebijakan Dalam Administrasi Publik ...................................... 67
2.2.2. Pengertian Administrasi Publik .............................................................68
2.2.3. Perspektif Administrasi Publik .............................................................. 70
2.3. Kebijakan Publik ..........................................................................................74
2.3.1 Pengorganisasian .................................................................................. 76
2.3.2 Pembiayaan ........................................................................................... 77
2.3.3 Kontrol ....................................................................................................77
2.3.4 Kepegawaian ......................................................................................... 78
2.3.5 Prosedur .................................................................................................78
2.3.6 Fungsi manajerial .................................................................................. 79
2.3.7. Teori Kebijakan Publik ..........................................................................80
2.3.8. Model Kebijakan Publik ........................................................................ 82
2.3.9. Tahapan Kebijakan Publik ....................................................................85
2.4. Implementasi Kebijakan ..............................................................................87
2.4.1. Teori Implementasi Kebijakan Publik ................................................... 90
2.4.2. Model Implementasi Kebijakan ............................................................ 99
2.4.2.1. Model Implementasi Kebijakan Van Metter dan Van Horn ........ 100
2.4.2.2. Model Implementasi Kebijakan Mazmanian dan Sabatier ......... 101
2.4.2.3. Model Implementasi Kebijakan George C. Edward III ................102
2.4.2.4. Model Implementasi Kebijakan Christopher Hood ..................... 103
2.4.2.5. Model Implementasi Kebijakan Brian W. Hogwood ................... 103
2.4.2.6. Model Implementasi Kebijakan Thomas B. Smith ......................104
2.4.2.7. Model Implementasi Kebijakan Grindle ...................................... 106
2.4.2.8 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan ..... 119
2.4.2.9 Variabel yang Memengaruhi Implementasi Kebijakan ................ 121
2.5. Kerangka Pikir ...........................................................................................123

BAB III METODE PENELITIAN .........................................................................125


3.1. Jenis Penelitian ......................................................................................... 125
3.2. Fokus Penelitian ........................................................................................125
3.3. Lokasi Penelitian ....................................................................................... 126
3.4. Informan .................................................................................................... 127
3.5. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................129
3.5.1 Studi Dokumentasi ...............................................................................129

xi
3.5.2. Observasi ............................................................................................130
3.5.3. Wawancara ......................................................................................... 130
3.6. Keabsahan Data ....................................................................................... 131
3.6.1. Uji Credibility (Validitas Internal) ........................................................ 131
3.6.2. Uji Transferability (Validitas Eksternal) .............................................. 134
3.6.3. Uji Dependability (Reliabilitas) ............................................................134
3.6.4. Uji Confirmability (Objektivitas) .......................................................... 136
3.7. Analisis Data ............................................................................................. 137

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN PERMASALAHAN PENELITIAN .............141


4.1. Gambaran Umum Sungai Citarum sebagai Tujuan Kebijakan ................ 141
4.1.1. Demografi Daerah Aliran Sungai Citarum ..........................................141
4.1.2. Kebijakan untuk Mengatasi Pencemaran .......................................... 144
4.1.2.1. Program Citarum Bergetar .......................................................... 144
4.1.2.2. Investasi Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu Citarum ........145
4.1.2.3. Citarum Bestari ............................................................................147
4.1.2.4 Citarum Harum ............................................................................. 147
4.1.3. Program Aksi dan Proyek yang di Desain dan di Danau Daerah Aliran
Sungai (DAS) Citarum .................................................................................. 149
4.1.3.1. Pencemaran Lingkungan di DAS Citarum ..................................149
4.1.3.2. Hasil Pengujian Pencemaran Merkuri pada Air Sungai Citarum 151
4.1.3.3. Dampak Pencemaran Air Sungai Citarum ..................................157
4.1.3.4. Sistem Pelayanan Kesehatan bagi Masyarakat Sepanjang DAS
Citarum ..................................................................................................... 159
4.1.3.5. Pelaksanaan Program Citarum Harum Berdasarkan Sektor ..... 160
4.1.3.6. Pendekatan Revolusi Mental pada Program Citarum Harum .... 162
4.1.3.7. Pendekatan Relokasi Penduduk yang Tinggal di Sepanjang DAS
Citarum ..................................................................................................... 164
4.1.3.8. Pendekatan Rencana Tata Ruang sebagai bagian Program
Citarum ..................................................................................................... 164
Harum ....................................................................................................... 165
4.1.3.9. Pembangunan WC Umum sebagai Solusi sebagai Pengganti
Kamar ....................................................................................................... 165
Mandi di Sepanjang Aliran Sungai Citarum ............................................. 165
4.1.3.10 Pengelolaan Limbah Bangkai dan Kotoran Hewan di DAS
Citarum ..................................................................................................... 167

xii
4.1.3.11. Pemurnian Air Waduk Sebagai bagian dari Program Citarum
Harum ....................................................................................................... 169
4.1.3.12. Pengangkatan Sedimentasi sebagai bagian dari Program
Citarum ..................................................................................................... 169
Harum ....................................................................................................... 170

BAB V HASIL PENELITIAN .............................................................................. 171


5.1. Implementasi Kebijakan ............................................................................171
5.1.1. Content of Policy .................................................................................171
5.1.1.1 Kepentingan yang Mempengaruhi ............................................... 171
5.1.1.2 Tipe Manfaat yang Diperoleh .......................................................173
5.1.1.3 Derajat Perubahan yang Diinginkan ............................................ 178
5.1.1.4 Letak Pengambilan Keputusan ................................................... 184
5.1.1.5 Pelaksana Program ......................................................................185
5.1.1.6 Sumber-Sumber Daya yang Digunakan ...................................... 186
5.2. Context Implementation ............................................................................ 189
5.2.1. Kekuasaan, Kepentingan dan Strategi Aktor yang Terlibat ...............189
5.2.2. Karakteristik Lembaga dan Rezim yang Berkuasa ............................191
5.2.3. Tingkat Kepatuhan dan Adanya Respon Dari Pelaksana ................. 192
5.3. Outcomes .................................................................................................. 195
5.3.1. Penetapan Indikator Kinerja Program Citarum Harum Juara ............ 195
5.3.2. Rekapitulasi Kebutuhan Pendanaan ..................................................205
5.3.3. Hasil Yang Diharapkan dari Pelaksanaan Program .......................... 205
5.4. Model Empirik Penelitian .......................................................................... 206

BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ..................................................209


6.1. Content of Policy ....................................................................................... 209
6.1.1. Kepentingan yang Mempengaruhi ..................................................... 210
6.1.2. Tipe Manfaat yang Diperoleh ............................................................. 211
6.1.3. Derajat Perubahan yang Diinginkan .................................................. 212
6.1.4. Letak Pengambilan Keputusan .......................................................... 214
6.1.5. Pelaksana Program ............................................................................ 215
6.1.6. Sumber-Sumber Daya yang Digunakan ............................................ 217
6.2. Context Implementation ............................................................................ 219
6.2.1. Kekuasaan, Kepentingan dan Strategi Aktor yang Terlibat ...............219
6.2.2. Karakteristik Lembaga dan Rezim yang Berkuasa ............................221
6.2.3. Tingkat Kepatuhan dan Adanya Respon Dari Pelaksana ................. 222

xiii
6.3. Outcomes .................................................................................................. 223
6.3.1. Penetapan Indikator Kinerja Program Citarum Harum Juara ............ 223
6.3.2. Rekapitulasi Kebutuhan Pendanaan Program Citarum Harum Juara224
6.3.3. Hasil Yang Diharapkan dari Pelaksanaan Program Citarum Harum
Juara ............................................................................................................. 225
6.4. Model Kebijakan ........................................................................................225
6.4.1 Penanganan Program Citarum Harum Juara oleh Satuan Tugas
Citarum ..........................................................................................................226
6.4.2 Penataan Zonasi Tata Ruang ............................................................. 227
6.4.3 Rencana Aksi Program Citarum Harum Juara ....................................228
6.5. Recommended Model Kebijakan ..............................................................229

BAB VII KESIMPULAN ..................................................................................... 241


7.1. Kesimpulan ................................................................................................241
7.2 Saran ......................................................................................................... 243

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 245


LAMPIRAN.................................................................................................................... 245

xiv
DAFTAR TABEL

No. Judul Tabel Halaman

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu .......................................................................56


Tabel 2.2 Proses Kebijakan ............................................................................98
Tabel 4.1 Merkuri pada Ikan di Sungai Citarum ...........................................151
Tabel 4.2 Hasil Pengujian pada Sungai ....................................................... 155
Tabel 4.3 5 Diagnosa Terbesar Rawat Jalan dan Rawat Inap di Jawa Barat
Tahun 2017-2018 ......................................................................... 158
Tabel 5.1 Outcome Edukasi dalam Renaksi PPK DAS Citarum ................. 205
Tabel 5.2 Quality Statement dan Indikator Setiap Program ........................ 206
Tabel 6.1 Matrik Hasil Penelitian, Pembahasan, Propoisi Minor, dan
Proposisi Mayor Penelitian .......................................................... 232

xv
DAFTAR GAMBAR

No. Judul Gambar Halaman

Gambar 1.1 Gambaran Umum Sungai Citarum .............................................10


Gambar 1.2 Permasalahan Umum Sungai Citarum ...................................... 11
Gambar 1.3 Pendangkalan dan Sampah di DAS Citarum .............................13
Gambar 1.4 Pencemaran Tinja dan Limbah Industri di DAS Citarum ........... 13
Gambar 1.5 Lokasi yang Ditengarai Terjadi Pencemaran Limbah ................15
Gambar 1.6 Lokasi Pengambilan Sampel Sedimen Logam di Danau
Saguling ...................................................................................... 16
Gambar 2.1 Proses Kebijakan Publik David Easton ......................................83
Gambar 2.2 Model Analisis Kebijakan Dunn ..................................................84
Gambar 2.3 Model Interaktif Implementasi Kebijakan Grindle ...................... 94
Gambar 2.4 Model Pendekatan Van Metter Dan Van Horn ........................ 101
Gambar 2.5 Implementasi Kebijakan Menurut Mazmanian dan Sabatier ... 102
Gambar 2.6 Model Implementasi Kebijakan Menurut George C.
Edward III ..................................................................................103
Gambar 2.7 Model Implementasi Kebijakan Menurut Hogwood-Gunn ....... 104
Gambar 2.8 Model Implementasi Kebijakan Menurut Thomas B. Smith .....105
Gambar 2.9 Model Implementasi Kebijakan Menurut Grindle .....................116
Gambar 2.10. Kerangka Penelitian .............................................................. 123
Gambar 3.1 Keabsahan Data dalam Penelitian Kualitatif ............................137
Gambar 3.2 Uji Kredibilitas Data dalam Penelitian Kualitatif ....................... 137
Gambar 4.1 Hasil TIM SURVEY KODAM .................................................... 149
Gambar 4.2 Buang Air Besar di Sungai Citarum ......................................... 150
Gambar 4.3 Buang Kotoran ternak di Sungai Citarum ................................ 150
Gambar 4.4 Buang Limbah Medis di Sungai Citarum ..................................151
Gambar 4.5 Laporan Hasil Pengujian Pencemaran .................................... 152
Gambar 4.6 Laporan Hasil Pengujian .......................................................... 153
Gambar 4.7 Laporan Hasil Pengujian .......................................................... 154
Gambar 4.8 Sistem Rujukan Kesehatan dari Desa sampai Tingkat
Nasional .................................................................................... 160
Gambar 4.9 Peta Sektor Sungai Citarum .....................................................161
Gambar 4.10 Program Revolusi Mental Tahun 2018 .................................. 163
Gambar 4.11 Kependudukan di Sekitar Sungai Citarum .............................164
Gambar 4.12 Rancangan Hunian .................................................................165
Gambar 4.13 Pembangunan Mengatasi Kotoran Manusia ..........................167
Gambar 4.14 Hasil Pengolahan Limbah ...................................................... 168
Gambar 4.15 Penanaman Pohon Viriter ...................................................... 169
Gambar 4.16 Pengangkatan Sedimentasi ................................................... 170
Gambar 5.1. Visualisasi In-Degree dari Kebijakan DAS Citarum ................195
Gambar 5.2. Visualisasi Out-Degree dari Kebijakan DAS Citarum ............. 196
Gambar 5.3 Skema Rencana Aksi PPK DAS Citarum ................................ 203
Gambar 5.4 Skema Strategi Penanganan DAS Citarum .............................203
Gambar 5.5 Indikasi Kebutuhan Pendanaan ............................................... 205
Gambar 5.6. Model existing implementasi Kebijakan Pengendalian
Pencemaran Dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum. .............. 207
Gambar 6.1 Ultimate Goal dan Target Pertahun ......................................... 226

xvi
Gambar 6.2. Recomended Model implementasi Kebijakan Pengendalian
Pencemaran Dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum. .............. 230
Gambar 6.3 Struktur Organisasi Sesuai Perpres 15/2018 .......................... 231

xvii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Penggunaan istilah kebijakan sering dipertukarkan dengan istilah lain

seperti tujuan (goals) program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan,

standar, proposal, dan grand design (Wahab, 2008). Sementara Islamy (2009)

menjelaskan bahwa kebijakan harus dibedakan dengan kebijaksanaan. Policy

diterjemahkan dengan kebijakan yang berbeda artinya dengan wisdom yang

artinya kebijaksanaan. Pengertian kebijaksanaan memerlukan pertimbangan

lebih jauh lagi, sedangkan kebijakan mencakup aturan-aturan yang ada di

dalamnya. Oleh karena itu, T.B. Smith melihat kebijakan yang telah dibuat

harus diimplementasikan dan hasilnya sedapat mungkin sesuai dengan apa

yang diharapkan oleh pembuat kebijakan (Elmore et al., 1980). Ketika

divisualisasikan, maka akan terlihat bahwa suatu kebijakan memiliki tujuan

yang jelas sebagai wujud orientasi nilai kebijakan. Tujuan implementasi

kebijakan diformulasi ke dalam program aksi dan proyek tertentu yang

dirancang dan dibiayai. Program dilaksanakan sesuai dengan rencana.

Implementasi kebijakan atau program secara garis besar dipengaruhi isi

kebijakan dan konteks implementasi.

Studi tentang implementasi kebijakan, awal pertama digagas Douglas

R. Bunker di depan forum The American Association for the Advancement of

Science tahun 1970 (Akib & Tarigan, 2008). Menurut pakar administrasi

publik, Edward III (1984), Eugene Bardach mengakui bahwa forum itulah

untuk pertama kalinya disajikan secara konseptual mengenai proses

1
2

implementasi kebijakan sebagai suatu fenomena sosial politik atau yang

lazim disebut political game (Parsons, 1995) sekaligus sebagai era pertama

dari studi implementasi kebijakan (Birkland, 2001). Konsep implementasi

semakin marak dibicarakan seiring dengan banyaknya pakar yang

memberikan kontribusi pemikiran tentang implementasi kebijakan sebagai

salah satu tahap dari proses kebijakan.

Menurut pandangan Ripley et al (1986); Birkland (2001); Heineman et

al (2001), implementasi kebijakan dianggap sebagai wujud utama dan tahap

yang sangat menentukan dalam proses kebijakan. Pandangan senada

dikuatkan dengan pernyataan Edwards III (1984) bahwa tanpa implementasi

yang efektif keputusan pembuat kebijakan tidak akan berhasil dilaksanakan.

Implementasi kebijakan merupakan suatu aktivitas yang terlihat setelah

dikeluarkan pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya

mengelola input untuk menghasilkan output atau outcomes bagi masyarakat.

Sementara Grindle (2017) menjelaskan, implementasi merupakan

proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program

tertentu. Proses implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran

telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap dan

disalurkan untuk mencapai sasaran. Jika pemahaman ini diarahkan pada

lokus dan fokus (perubahan), maka implementasi kebijakan ini sejalan

dengan pandangan Van Meter dan Van Horn bahwa implementasi kebijakan

merupakan tindakan yang dilakukan oleh (organisasi) pemerintah dan swasta

baik secara individu maupun secara kelompok yang dimaksudkan untuk

mencapai tujuan (Parsons, 1995). Hal inilah, mengapa dikatakan

implementasi kebijakan menghubungkan antara tujuan kebijakan dan


3

realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah. Tugas implementasi menurut

Van Meter dan van Horn (Grindle, 2017), adalah membangun jaringan yang

memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas

instansi pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan.

Implementasi kebijakan diperlukan karena berbagai alasan atau

perspektif. Berdasarkan perspektif masalah kebijakan, Edwards III (1984)

memandang implementasi kebijakan diperlukan karena adanya masalah

kebijakan yang perlu diatasi dan dipecahkan. Edwards III memperkenalkan

pendekatan masalah implementasi dengan mempertanyakan faktor-faktor

apa yang mendukung dan menghambat keberhasilan implementasi kebijakan.

Berdasarkan pertanyaan retoris tersebut dirumuskan empat faktor sebagai

sumber masalah sekaligus prakondisi bagi keberhasilan proses implementasi,

yakni (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3) sikap birokrasi atau pelaksana,

dan (4) struktur organisasi termasuk tata aliran kerja birokrasi. Empat faktor

tersebut merupakan kriteria yang perlu ada dalam implementasi suatu

kebijakan.

Keseluruhan implementasi kebijakan sendiri, harus dievaluasi dengan

cara mengukur luaran program berdasarkan tujuan kebijakan. Luaran

program dilihat melalui dampaknya terhadap sasaran yang dituju baik individu

dan kelompok maupun masyarakat, berupa adanya perubahan dan

diterimanya perubahan oleh kelompok sasaran. Alasan lain yang mendasari

perlunya implementasi kebijakan menurut Grindle (1980) dan Quade (1989)

adalah harapan agar konfigurasi dan sinergi dari hubungan tiga variabel (1)

kebijakan, (2) organisasi, dan (3) lingkungan kebijakan dapat yang

menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Harapan itu perlu


4

diwujudkan agar melalui pemilihan kebijakan yang tepat masyarakat dapat

berpartisipasi dalam memberikan kontribusi yang optimal untuk mencapai

tujuan yang ditetapkan.

Selanjutnya, ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih perlu

diwadahi oleh organisasi pelaksana, karena di dalam organisasi terdapat

kewenangan dan berbagai jenis sumber daya yang mendukung pelaksanaan

kebijakan atau program. Sedangkan penciptaan situasi dan kondisi

lingkungan kebijakan diperlukan agar dapat memberikan pengaruh,

meskipun pengaruhnya sering kali bersifat positif atau negatif. Oleh karena

itu, diasumsikan bahwa jika lingkungan berpandangan positif terhadap suatu

kebijakan maka akan menghasilkan dukungan positif sehingga lingkungan

berpengaruh terhadap kesuksesan implementasi kebijakan. Sebaliknya, jika

lingkungan berpandangan negatif maka akan terjadi benturan sikap sehingga

proses implementasi terancam akan gagal. Lebih daripada ketiga aspek

tersebut perlu pula dipertahankan kepatuhan kelompok sasaran kebijakan

sebagai hasil langsung dari implementasi kebijakan yang menentukan

efeknya terhadap masyarakat. Secara praktis, implementasi kebijakan

diperlukan untuk melihat kesesuaian dan relevansi model deskriptif yang

dibuat. Menurut perspektif ini implementasi kebijakan diperlukan untuk

mengetahui keefektifan dan relevansi kerangka kerja yang ada sebagai

pedoman dalam pelaksanaannya.

Berdasarkan paparan di atas, terlihat bagaimana para pakar dan

pemerhati kebijakan mengemukakan urgensi implementasi kebijakan, sesuai

dengan sudut pandang dan latar belakang pemikirannya. Namun, apapun

perspektif dan latar belakang pemikirannya disepakati bahwa implementasi


5

kebijakan merupakan salah satu dari dua sisi mata uang yang menggelinding.

Pemahaman ini mengilhami Bonoma (1984) ketika memperkenalkan Model

Korelasi antara Rumusan Strategi dan Implementasi Strategi (Salusu, 2003).

Alasan yang dikemukakan tersebut menjadi acuan dalam menentukan

bagaimana cara mengimplementasikan kebijakan atau program dan

sekaligus dalam menetapkan kriteria pengukuran keberhasilannya. Termasuk

dalam memandang implementasi kebijakan pada pelayanan publik.

Perspektif pelayanan publik dimulai dari pendekatan administrasi klasik

(Old Public Administration - OPA). Konsep OPA memiliki tujuan melaksanakan

kebijakan (politik) dan memberikan pelayanan, di mana dalam pelaksanaannya

ini dilakukan dengan netral, profesional, dan mengarah kepada tujuan yang telah

ditetapkan. Terdapat dua kunci dalam memandang pendekatan administrasi

klasik ini. Pertama, terdapat perbedaan yang jelas dalam menggunakan sudut

pandang politik melalui implementasi kebijakan (policy) dengan administrasi.

Kedua, adanya perhatian terhadap struktur dan strategi pengelolaan hak

organisasi publik yang diberikan kepada manajernya (pemimpin), agar setiap

tugas dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Sayangnya, implementasi OPA

lebih menekankan pada kepentingan politik dan memberi porsi kecil pada peran

masyarakat. Bahkan keterlibatan masyarakat menjadi sangat terbatas. Hal ini

menyebabkan ruang gerak partisipasi masyarakat menjadi sangat sempit, yang

pada gilirannya pelayanan kepada masyarakat sangat tidak memuaskan.

Kemudian, munculah perspektif New Public Management (NPM).

Perspektif NPM memandang bahwa perspektif OPA kurang efektif dalam

memecahkan masalah dan memberikan pelayanan publik, termasuk dalam

membangun masyarakat. Prinsip dasar perspektif NPM adalah menjalankan


6

administrasi negara sebagaimana menggerakkan sektor bisnis (run government

like a business atau market as solution to the ills in public sector). Strategi ini

perlu dijalankan agar birokrasi model lama–yang lamban, kaku dan birokratis,

harus siap menjawab tantangan era globalisasi. Model pemikiran semacam NPM

ini juga dikembangkan David Osborne dan Ted Gaebler (1997) dalam

konsep ”Reinventing government”. Osbone dan Gaebler menyarankan agar

menanamkan semangat wirausaha ke dalam sistem administrasi negara.

Dalam pandangan New Public Management (NPM), negara dilihat

sebagai perusahaan jasa modern yang kadang-kadang bersaing dengan pihak

swasta, tapi di lain pihak dalam bidang-bidang tertentu memonopoli layanan jasa,

namun tetap dengan kewajiban memberikan layanan dan kualitas yang maksimal.

Segala hal yang tidak bermanfaat bagi masyarakat dianggap sebagai

pemborosan, warga pun tidak dilihat sebagai abdi lagi, tetapi sebagai pelanggan

layanan publik yang karena pajak yang dibayarkan memiliki hak atas layanan

dalam jumlah tertentu dan kualitas tertentu pula. Prinsip NPM berbunyi, “dekat

dengan warga, memiliki mentalitas melayani, dan luwes serta inovatif dalam

memberikan layanan jasa kepada warga”. Oleh karena itu, birokrasi publik harus

lebih menggunakan cara ”steering” (mengarahkan) daripada ”rowing”

(mengayuh). Dengan cara ini, pemerintah tidak langsung bekerja memberikan

pelayanan publik, melainkan sedapat mungkin menyerahkan ke masyarakat.

Peran negara lebih sebagai fasilitator atau supervisor penyelenggaraan urusan

publik. Model birokrasi yang hierarkis-formalistis menjadi tidak lagi relevan untuk

menjawab problem publik di era globalisasi dan era disruptif.

Selanjutnya, terjadi pergeseran perspektif menjadi New Public Service

(NPS). NPS adalah salah satu cara pandang baru dalam administrasi negara.
7

Perspektif NPS bertujuan untuk meng”counter” perspektif New Public

Management yang selama ini, menjadi arus utama (mainstream) dengan prinsip

“run government like a businesss” atau “market as solution to the ills in public

sector”. Menurut perspektif NPS, menjalankan administrasi pemerintahan

tidaklah sama dengan organisasi bisnis. Administrasi negara harus digerakkan

sebagaimana menggerakkan pemerintahan yang demokratis. Misi organisasi

publik tidak sekedar memuaskan pengguna jasa, tapi juga menyediakan

pelayanan barang dan jasa sebagai pemenuhan hak dan kewajiban publik.

Denhardt & Denhardt (2015) dalam bukunya yang berjudul “New Public

Service: Serving, not Steering” menjelaskan perspektif New Public Service (NPS).

NPS merupakan perspektif yang dimunulkan oleh Denhardt & Denhardt (2015)

untuk merespons New Public Management yang berprinsip "run government like

a businesss" atau "market as solution to the ills in public sector". Menurut

Denhardt & Denhardt bahwa pemerintah seharusnya melakukan pelayanan

publik dengan bentuk NPS dalam penerapannya tidak dilakukan seperti sebuah

perusahaan tetapi pelayanan dilakukan secara demokratis, adil, merata, tidak

diskriminasi, jujur dan akuntabel. Hal ini karena NPS mengutamakan

kepentingan publik yang merupakan landasan utama dalam proses

penyelenggaraan pemerintahan sebagai bentuk perwujudan nilai-nilai demokrasi.

Dengan didasarkan pada nilai-nilai demokrasi ini akan memberikan energi bagi

birokrat/pegawai pemerintah dalam melayani masyarakat secara lebih adil,

merata, jujur, dan bertanggung jawab.

Dengan demikian pegawai pemerintah harus senantiasa merekonstruksi

jejaring yang kuat dengan masyarakat sebagai penerima layanan. pegawai

pemerintah sebagai pelayan masyarakat harus dapat mengubah pandangan


8

umum bahwa sistem pelayanan yang dilakukan oleh pegawai pemerintah yang

awalnya suka memberikan perintah dan mengajari masyarakat menjadi perilaku

pelayan publik yang mau mendengarkan keinginan dan kebutuhan masyarakat,

terlebih lagi pegawai/aparatur pelayanan harus dapat mengarahkan bahkan

memaksakan masyarakat untuk dapat memberikan tanggapan sebagai masukan

yang menjadi kepentingan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan yang

diharapkan. Hal ini disebabkan karena perspektif dan konsep NPS dilandaskan

pada nilai dan teori demokrasi yang menganggap bahwa tugas pemerintah

adalah untuk mensejahterahkan rakyat dan mempertanggungjawabkan

kinerjanya kepada rakyat pula, artinya bahwa para pemerintah harus merespons

kebutuhan dan keinginan warga negaranya (citizens).

Pelayanan publik sendiri merupakan bentuk pelayanan dasar dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Pelayanan publik sebagai indikator penting

dalam penilaian kinerja pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Penyelenggaraan pemerintahan dikatakan baik jika pelayanan publik yang

dilakukan berorientasi pada kepentingan masyarakat. Pelayanan yang baik dan

berkualitas memberikan implikasi kepuasan kepada masyarakat, karena

masyarakat secara langsung menilai terhadap kinerja pelayanan yang diberikan.

Indikator kepuasan masyarakat itulah yang menjadi tolok ukur keberhasilan

penyelenggaraan pemerintahan.

Memandang pelayanan publik dari sisi pembangunan, maka menurut

salah satu poin Program Nawa Cita—yaitu Meningkatkan Kualitas Hidup

Manusia dan Masyarakat Indonesia, pembangunan sumber daya manusia

meliputi seluruh siklus hidup manusia sejak janin dalam kandungan sampai lanjut

usia yang pada hakikatnya adalah membangun manusia sebagai sumber daya
9

pembangunan yang produktif dan berdaya saing, serta sebagai insan dan

anggota masyarakat yang dapat hidup secara rukun, damai, gotong royong,

patuh pada hukum, dan aktif dalam bermasyarakat. Dengan memperhatikan

keberagaman masyarakat Indonesia, dilihat dari latar belakang sosial ekonomi,

budaya, dan geografi, pembangunan manusia dilakukan secara kohesif dan

inklusif sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh komponen

masyarakat, tanpa membedakan latar belakang mereka. Oleh karena itu

kebijakan dan program pembangunan nasional yang dilaksanakan harus

dimaknai sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara

berkeadilan, sebagaimana diamanatkan UUD 1945.

Pembangunan nasional Indonesia sendiri, mengacu pada Pancasila

sebagai dasar, tujuan, dan pedomannya. Pancasila dipandang sebagai amanat

dalam membangun sektor-sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, dan

kesehatan jiwa masyarakat Indonesia. Kartasasmita (1996) melanjutkan,

Pembangunan Nasional merupakan cerminan kehendak terus-menerus

meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan

merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan

negara yang maju dan demokratis. Gagasan tersebut sejalan dengan Faludi dan

Van der Valk (1994) yang mengemukakan tentang perlunya perencanaan

sebagai seperangkat gagasan yang saling terkait dan tahan lama yang salah

satunya mengatur tentang strategi pembangunan yang tepat dan pedoman

tentang cara-cara keduanya untuk ditangani.

Penelitian ini mengambil studi tentang Daerah Aliran Sungai Citarum

Jawa Barat yang telah diklaim sebagai sungai terkotor di dunia (Kompas, 2017).

Padahal, keberadaan Sungai Citarum memegang peran sangat strategis


10

terhadap kehidupan warga Jawa Barat dan DKI Jakarta (Kompas, 2018b). Tidak

hanya untuk memenuhi kebutuhan air minum, sungai terpanjang di Jawa Barat

ini menjadi lumbung padi nasional, seperti Karawang, Purwakarta, Subang,

hingga Indramayu. Air Citarum juga jadi sumber pasokan utama produksi listrik

interkoneksi Jawa-Bali. Namun kini, DAS Citarum telah diklaim menjadi sungai

terkotor sedunia.

Gambar 1.1 Gambaran Umum Sungai Citarum

Sumber: Kapolda Jabar, 2017

Permasalahan umum yang dihadapi Sungai Citarum sangatlah akut—tak

heran jika sungai ini dinyatakan sebagai sungai terkotor sedunia. Di bagian hulu

dimulai dari Situ Cisanti. Kabupaten Bandung lanjut ke Kabupaten Karawang,

permasalahan umum yang paling utama adalah pembukaan lahan hutan untuk

pertanian, terdapatnya limbah peternakan dan limbah rumah tangga, serta yang

paling memprihatinkan adalah limbah buangan industri. Di bagian tengah aliran

sungai, terapat masalah sedimentasi, kegiatan perikanan di waduk yang melebihi


11

kapasitas dan telah terjadinya pencemaran yang sangat parah. Bagian tengah ini

dilewati 3 Kabupaten dan 3 Waduk yang meliputi: Badung, Kabupaten Cianjur,

Kabupaten Purwakarta, Waduk Cirata, Waduk Saguling dan Waduk Jatiluhur.

Gambar 1.2 Permasalahan Umum Sungai Citarum


Sumber: Polda Jabar, 2017

Sementara di bagian hilir, yang dilewati paling banyak, yaitu Kabupaten

Sumedang, Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi dan berakhir di

Muara Gembong Kabupaten Bekasi. Masalah di hilir sungai tak kalah beragam,

mulai dari limbah industri, limbah rumah tangga, sedimentasi, konflik air, sampai

pada perusakan ekosistem mangrove. Masalah di hilir sungai tak kalah beragam,

mulai dari limbah industri, rumah tangga, sedimentasi, konflik air, sampai pada

perusakan ekosistem mangrove (Kompas, 2017). Padahal, air Citarum tiap hari
12

dipakai untuk kebutuhan air minum warga DKI Jakarta, pertanian, perikanan, dan

pembangkit listrik.

Gambar 1.1. dan gambar 1.2 menunjukkan sepanjang Daerah Aliran

Sungai (DAS) Citarum telah rusak. Dari hulu sungai Citarum di mulai dari Situ

Cisanti dipenuhi sampah plastik dan eceng gondok. Tidak jauh dari Situ Cisanti,

hulu Citarum juga merasakan bumerang menjadi rumah bagi ribuan ternak sapi

perah. Di Kecamatan Pangalengan, misalnya, sebagian besar peternak

membuang kotoran sapi ke Sungai Cisangkuy dan Citarum. Dengan jumlah sapi

mencapai 8.000 ekor, sekitar 200 ton kotoran sapi berpotensi dibuang ke sungai

setiap hari. Hal ini disebabkan karena minim pengawasan berkelanjutan, upaya

rehabilitasi kerap sporadis dan kurang perencanaan (Kompas, 2018a). Padahal

Citarum merupakan andalan air bersih bagi warga Jakarta dan sumber air bagi

produksi listrik Jawa-Bali. Belum lagi, Sungai Citarum juga menjadi sumber air

untuk pembangkit listrik di tiga waduk, yakni Jatiluhur, Cirata, dan Saguling.

Ketiganya pemasok air PLTA Jatiluhur 187 MW, Saguling 1.400 MW & Cirata

1.008 MW. Selain itu, pemanfaatan Sungai Citarum untuk irigasi dengan

mengairi sekitar 420.000 hektar lahan pertanian. Lahan itu ada di Karawang,

Subang, dan Bekasi.


13

Gambar 1.3 Pendangkalan dan Sampah di DAS Citarum


Sumber: Kodam Siliwangi, 2018

Gambar 1.4 Pencemaran Tinja dan Limbah Industri di DAS Citarum


Sumber: Kodam Siliwangi, 2018
14

Dengan luas wilayah DAS Citarum: 1.132.334 hektar dengan jumlah

penduduk: 18.56 juta jiwa (Kompas, 2018b) hingga tahun 2017. ada 2.700

industri sedang dan besar di sepanjang DAS Citarum. Terdapat sekitar 1.500

industri dengan potensi jumlah limbah yang dibuang mencapai 2.800 ton per hari.

Baru 47 persen pabrik yang mengelola limbah, sisanya lainnya membuang

limbah langsung ke sungai. Limbah yang dibuang mengandung polutan logam

berat, seperti kadmium (Cd). tembaga [Cu]. nikel [Ni] timbal [Pb] dan arsenik [As].

Penelitian yang dilakukan oleh Singh et al. (2016) mengungkapkan data

penelitian yang menunjukkan efek pestisida organoklorin (OCP) menjadi sangat

besar dan menghancurkan. Hal ini senada dengan penelitian dari Cárdenas-

González et al. (2013), Byard et al. (2014), Pavlikova et al. (2015), Strong et al.

(2015), Wong et al. (2015) yang mengungkap data tentang dampak DDT bagi

tubuh manusia. Shaw et al. (2000), Dorner and Plagemann (2002), Wong et al.

(2005), juga menyajikan data tentang residu pestisida dan DDT yang disinyalir

terdapat pada air susu ibu (ASI) dari wanita Indonesia. OCP, yang tidak terurai

secara hayati tetap ada di mana-mana di lingkungan dan merupakan polutan

utama. OCP telah dipelajari untuk efek toksiknya pada anggota hampir semua

filum. Dampak ini menunjukkan banyak efek pada sistem fisiologis utama tubuh

termasuk sistem saraf, peredaran darah dan sistem reproduksi. Studi saat ini

menunjukkan bahwa OCP, pada beberapa periode pertumbuhan kritis, dapat

menyebabkan gangguan kesehatan yang parah. Kesimpulannya, paparan OCP

harus dikurangi sehingga meminimalkan bahaya lingkungan dan kesehatan

manusia terkait.

Gambar 1.4. menunjukkan peta lokasi yang ditengarai terjadi pencemaran

limbah tersebut terjadi pada kawasan industri Majalaya mengacu hasil kajian
15

(Suhendra & Kardena, 2013). Kajian ini mengungkap fakta adanya potensi

pencemaran kloroanilin pada Sungai Citarum akibat pewarnaan kain tekstil.

Kloroanilin masuk "daftar hitam" di beberapa negara karena dapat

membahayakan kesehatan manusia sebab diduga dapat menyebabkan kanker

paru-paru dan kandung kemih, gangguan syaraf dan mengganggu transportasi

darah (Firdayati, 2001).

Gambar 1.5 Lokasi yang Ditengarai Terjadi Pencemaran Limbah


Sumber: PSDA, 2005

Kloroanilin merupakan senyawa polutan yang termasuk “daftar hitam’ di

beberapa negara karena bersifat toksik dan membahayakan kesehatan manusia,

di antaranya berpotensi menyebabkan kanker paru-paru & kandung kemih,


16

gangguan syaraf, gangguan transfer oksigen pada darah, serta dapat merusak

embrio, hati dan ginjal. Sementara itu air Sungai Citarum Hulu digunakan

sebagian penduduk di tepi sungai untuk keperluan domestik (MCK), dan air

Sungai Citarum Hulu yang sudah mengalir ke waduk Saguling merupakan salah

satu sumber penyediaan air baku untuk PDAM Kota Bandung.

Gambar 1.6 Lokasi Pengambilan Sampel Sedimen Logam di Danau


Saguling

Sumber: (Wardhani et al., 2017)

(Wardhani et al., 2017) menemukan fakta bahwa sedimen Danau

Saguling telah tercemar oleh logam berat, dan mereka memang menimbulkan

risiko ekologis. Informasi tentang konsentrasi logam total dalam sedimen tidak
17

cukup untuk menilai perilaku logam di lingkungan, namun spesiasi logam sangat

menentukan perilaku dan toksisitas logam di lingkungan sehingga lebih efektif

dalam memperkirakan dampak lingkungan dari endapan yang terkontaminasi.

Dari pengambilan sampel dan pengujian terhadap kandungan logam dalam

sedimen, maka penelitian yang dilakukan (Wardhani et al., 2017) menyimpulkan

kontaminasi logam dalam sedimen diakibatkan oleh limbah kota dan industri, dan

limpasan pertanian yang banyak disumbangkan Sungai Citarum.

Kajian Riani et al. (2014) juga menyimpulkan pencemaran logam berat

dapat menciptakan efek negatif pada organisme hidup, sebagai efek teratogenik,

yang berakibat pada kelainan reproduksi yang menyebabkan embrio, mortalitas,

dan sebagainya yang tidak semestinya. Embrio yang tidak semestinya ini dapat

terjadi pada chironomidae Bendungan Saguling, yang dianggap sebagai hasil

berat polusi logam di bendungan. Sementara penelitian Salim (2005) juga

menunjukkan tentang kualitas air dan beban polutan yang besar dari berbagai

kegiatan manusia seperti pertanian, peternakan sapi dan industri tekstil yang

dibebankan pada DAS Citarum. Untuk menghentikan kondisi DAS Citarum yang

memburuk, upaya mitigasi terpadu harus dilakukan, dengan mempertimbangkan

mekanisme pencemaran biofisik dan kondisi sosial ekonomi setempat.

Sebagai sungai terkotor di dunia, Citarum telah menimbulkan dampak

yang luar biasa bagi jutaan orang yang tinggal dan menggantungkan hidup di

sepanjang aliran sungai. Berbagai macam penyakit mengintai warga akibat aliran

sungai tersebut. Salah satunya adalah penyakit gatal-gatal yang dialami warga di

enam Kecamatan di Kabupaten Sukabumi. Dari data yang dihimpun, hampir

sebagian besar masyarakat terdampak penyakit dari aliran sungai merupakan

rakyat miskin yang menggunakan layanan kesehatan BPJS.


18

Kerja sama antar berbagai pihak perlu dilakukan dalam konteks

pelayanan kesehatan bagi masyarakat di sekitar DAS Citarum. Masyarakat

disinyalir akan terkena dampak dari pencemaran sungai. Sungai Citarum yang

tercemar diperkirakan dapat memicu kolera, disentri, tifus, dan penyakit kulit,

gangguan ginjal, dan kanker. Akibat yang ditimbulkan pencemaran itu dari cacat

sampai meninggal dunia. Karena itu, pemerintah harus memerhatikan kondisi

DAS Citarum yang makin memprihatinkan tersebut. Jika tidak, penyakit

mematikan akan menyerang warga yang bermukim di sekitar sungai tersebut.

Hal utama yang harus dilakukan saat ini adalah melakukan pendekatan

hukum kepada para pengambil keputusan di masing-masing level pemerintahan

dan pemberdayaan masyarakat di bantaran sungai. Perlu dilakukan penelusuran

lebih lanjut mengenai implementasi kebijakan yang ada khususnya yang

mengatur tentang permasalahan sungai Citarum dan penanggulangannya.

Pengalaman implementasi di Negara Berpenghasilan Rendah dan

Menengah (NPRM) menunjukkan bahwa kebijakan yang pernah diadopsi, tidak

selalu diterapkan seperti yang diharapkan dan tidak selalu mencapai hasil yang

diharapkan, Calista (1994). Proses menerjemahkan kebijakan menjadi hasil,

praktik, atau program tertentu telah lama diakui oleh pembuat kebijakan,

pemerintah, praktisi, dan peneliti sebagai hal yang penuh dengan kesulitan, yang

berdampak pada hasil yang diinginkan atau menyebabkan kegagalan.

Pemangku kepentingan utama di NPRM semakin khawatir dengan kegagalan

kebijakan, melebarnya kesenjangan antara niat dan implementasi kebijakan dan

mengapa tantangan ini sulit untuk diperbaiki atau dicegah (Spratt, 2009).

Implementasi yang efektif dari kebijakan yang kuat sangat penting untuk

mengatasi kendala sistem yang ada. Implementasi yang buruk dari kebijakan
19

nasional dan rencana/pedoman strategis yang dipikirkan dengan hati-hati di

negara-negara NPRM telah dikaitkan dengan sejumlah faktor termasuk

keterampilan kepemimpinan yang terbatas, kolaborasi/keterlibatan yang buruk

dari aktor atau pemangku kepentingan yang tepat (Swanson et al., 2012)

Tantangan Implementasi Kebijakan oleh Erasmus et al. (2014)

menyimpulkan bahwa masih sedikit penelitian tentang implementasi kebijakan

yang ada hubungannya dengan kesehatan, mereka menemukan penelitian yang

tersedia terfragmentasi, dengan kedalaman dan keragaman yang terbatas,

menunjukkan berbagai elemen sistem kesehatan yang memberikan saran

berbeda untuk meningkatkan implementasi kebijakan. Para penulis menyarankan

perlunya konsolidasi badan kerja yang ada, lebih banyak menggambarkan

kerangka dan konsep teoretis untuk memperdalam analisis tentang keprihatinan

dan pertanyaan yang mempengaruhi implementasi kebijakan.

Beland dan Ridde (2016) menyatakan bahwa salah satu alasan

kegagalan implementasi kebijakan adalah kurangnya ide bersama di antara

aktor-aktor kunci seperti profesional dan birokrat tingkat bawah yang ditugaskan

untuk mengemban tanggung jawab implementasi kebijakan. Irani et al. (2015)

menggunakan lima sub-bagian untuk mengklarifikasi proses dan aspek terkait

lainnya yang melibatkan implementasi kebijakan. Ini termasuk; kelembagaan,

hubungan dan dinamika kekuasaan; kapasitas; pembiayaan; perencanaan

strategis dan analisis hambatan kebijakan serta pemantauan dan akuntabilitas.

Implementasi kebijakan, bagaimanapun didefinisikan, telah terbukti

kompleks, melibatkan serangkaian kegiatan, sumber daya, dan operasi yang

dilakukan oleh berbagai aktor menuju pencapaian tujuan dan sasaran yang

ditetapkan dalam kebijakan yang berwenang (Nakamura & Smallwood, 1980).


20

Ada beberapa alat analisis kebijakan yang telah digunakan untuk menjelaskan

konsep implementasi kebijakan. Beberapa di antaranya berkaitan dengan

kebijakan itu sendiri, dalam hal konten, aktor, konteks dan proses seperti segitiga

kebijakan (Walt & Gilson L, 1994). Lainnya telah dikembangkan dari pendekatan

sains implementasi oleh Nilsen P. (2015). Pendekatan top-down dan bottom-up,

dan kerangka kerja sistem adaptif kompleks telah digunakan untuk menjelaskan

implementasi.

Hal ini memerlukan keterampilan khusus untuk menyatukan semua

elemen yang berbeda dan yang memerlukan, memahami masalah kebijakan,

konteks, dan pemangku kepentingan; mengantisipasi potensi hambatan;

kesempatan; dan membangun serta mempertahankan komitmen, kapasitas, dan

sumber daya dari waktu ke waktu (Task Order 1., 2010). Memang, di dunia nyata,

implementasi kebijakan memiliki banyak sisi. Oleh karena itu, pengembangan

strategi implementasi harus melibatkan kelompok pemangku kepentingan seperti

pemerintah, organisasi pelaksana, individu dan pekerja garis depan, komunitas

dan rumah tangga serta aktor lain yang membentuk kebijakan (Peters et al.,

2009). Para pemangku kepentingan ini memiliki tingkat kekuatan yang berbeda

dan sangat mempengaruhi implementasi kebijakan dalam berbagai peran dan

fungsi yang mereka lakukan selama implementasi (Gilson et al., 2014).

Meskipun bukan teori implementasi secara langsung, perlu ditekankan

bahwa cara kebijakan dirumuskan juga dapat berdampak pada implementasi.

Misalnya, ahli teori top-down menyajikan implementasi sebagai proses linier di

mana kebijakan yang dikembangkan oleh pembuat kebijakan hanya meresap ke

dalam sistem oleh pejabat publik dan administrator mengikuti instruksi kebijakan

Sabatier (1993) dan Gilson et al. (2006). Sementara teori bottom-up


21

menghadirkan implementasi sebagai proses interaksi dan negosiasi yang

mungkin berlangsung dari waktu ke waktu di antara para aktor kebijakan (Barrett

et al., 1991). Namun, kedua pendekatan tersebut memiliki keterbatasan dalam

praktiknya. Terlepas dari pendekatannya, strategi implementasi yang diadopsi

harus mengakui banyak faktor lain yang membentuk tindakan kebijakan,

khususnya dalam kompleksitas yang melekat pada sistem kesehatan dan

implementasi itu sendiri. Nilsen (2015) menunjukkan bahwa kerangka determinan

bersifat integratif dan mengakui bahwa implementasi adalah fenomena

multidimensi dengan pengaruh interaksi ganda (Gilson et al., 2014). Ini adalah

aspek yang sangat penting ketika membongkar kegagalan implementasi karena

sistem kesehatan diketahui memiliki komponen yang berbeda, hubungan yang

terjalin erat dan interaksi yang menentukan perilaku sistem (Sturmberg & Martin

CM, 2013). Kompleksitas sistem kesehatan selanjutnya tertanam dalam struktur

organisasi mereka, konteks dan interaksi terkait di tingkat interpersonal (atau

mikro), organisasi (atau meso) dan nasional (atau makro) (Pope et al., 2013).

Sumber daya dilaporkan menjadi kendala di semua tingkatan, dialami

oleh pelaksana, pekerja garis depan, pemimpin dan manajer, dan pengguna

layanan. Kurangnya sumber daya adalah salah satu faktor yang mendasari

mempengaruhi semua faktor lainnya. Hal ini selalu berkontribusi terhadap

kesenjangan implementasi karena mereka memiliki potensi untuk mengubah

layanan, proses kebijakan, dan cara para aktor menghadapi implementasi dan

program. Dalam semua kasus implementasi kebijakan, kurangnya sumber daya

organisasi dan pribadi menciptakan tekanan yang penyedia layanan harus

mengadopsi perilaku mengatasi untuk mengelola tuntutan tinggi dan tekanan

waktu.
22

Selanjutnya Indonesia yang masih dapat dikategorikan Negara

Berpenghasilan Rendah dan Menengah (NPRM) masih banyak fenomena

serupa yang terkait dengan implementasi kebijakan publik. Kondisi ini dapat

dihubungkan dengan kebijakan yang ada hubungannya dengan pengelolaan

DAS Citarum. Sungai Citarum sebagai sungai terkotor di dunia, telah

menimbulkan dampak yang luar biasa bagi jutaan orang yang tinggal dan

menggantungkan hidup di sepanjang aliran sungai. Dari sisi Pemeritah program

penanganan masalah DAS Citarum sudah dilakukan sejak puluhan tahun lalu.

Banyak sekali program aksi yang dibuat namun tidak juga bisa menyelesaikan

masalah masalah yang terjadi. Yang terbaru untuk mangatasi masalah

pencemaran yang trus terjadi serta mengantisipasi dampak jangka Panjang yang

ditimbulkan, Pemerintah dalam hal ini Pusat mengeluarkan Perpres Nomor 15

Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan

Daerah Aliran Sungai Citarum yang melibatkan banyak sekali stakes holder

dengan harapan masalah yang terjadi disepanjang aliran sungai citarum bisa

segera terselesaikan. Namun demikian pada implementasinya Perpres Nomor 15

Tahun 2018 ini menemukan banyak sekali kendala–kendala yang ditemukan

dilapangan.

Perpres Nomor 15 Tahun 2018 bisa dikatakan merupakan payung hukum

yang paling tinggi yang pernah dibuat atau dikeluarkan dalam penanganan

masalah sungai citarum. Selama ini penangan permasalahan implementasi

kebijakan yang terjadi sering kali bersifat parsial atau sektoral dalam bentuk

peraturan daerah tingkat Pemerintah Kabupaten, Provinsi maupun level

Kementrian. Sehingga penyelesaian masalah sungai citarum diharapkan bisa

selesai dengan hadirnya Perpres Nomor 15 Tahun 2018 ini karena tidak lagi
23

hanya melibatkan unsur unsur sectoral tapi juga melibatkan pusat dalam hal ini

Presiden sebagai pengambilan keputusan tertinggi serta diharapkan memberikan

kemudahan dalam pengalokasian anggaran.

Menyadari kondisi demikian itu peneliti mencoba dengan Model

Implementasi kebijakan Grindle menelaah isi kebijakan (Content Policy) pada

masalah Pelaksana Program (Program Implementor) untuk bisa mendapatkan

temuan dari masalah implementasi Perpres Nomor 15 Tahun 2018 ini. Selain hal

tersebut, peneliti juga menggunakan Content Policy dari Model Grindle untuk

mendapatkan temuan dari implementasi peraturan presiden tersebut. Adapun

masalah yang ditemukan pada saat awal penulis memulai telaah tentang

Implementasi kebijakan pada Perpres Nomor 15 Tahun 2018 ini tidak melibatkan

peran Pemerintah Kabupaten dan Kota yang dilewati aliran sungai citarum.

Dipihak lain juga ditemukan adanya masalah terkait dengan sumberdaya dana,

tidak jauh dengan apa yang disinyalir oleh (Task Order 1., 2010).

Pada bagian yang lain peneliti juga menemukan bahwa pada Perpres

Nomor 15 Tahun 2018 pelaksana program utama dilapangan dilakukan oleh

Satgas yang berdasarkan peraturan ini di tujukan pada Gubernur Jawa Barat

sebagai Komandan Satgas serta Para Wakil Komandan Satgas di emban oleh

TNI dalam hal ini dilakukan oleh Kodam Siliwangi yang juga dibantu oleh Polri

diwakili oleh Polda Jabar serta Kejaksaan tinggi Jawa Barat. Namun peneliti

menemukan bahwa dalam struktur Kementrian Lembaga yang terlibat terkait

penanganan masalah sungai citarum ini tidak melibatkan Kementrian Pertahanan

sebagai Induk dari TNI atau dalam hal ini Kodam Siliwangi, sehingga

menimbulkan masalah koordinasi dan komunikasi pada tingkat pusat dan satgas.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian


24

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang sudah di uraikan di atas,

pengumpulan data awalan terkait isu Content Policy (isu kebijakan) utamanya

pada Permasalahan Pelaksana Program (Program Implementor), jika dianalisis

lebih jauh maka akan berdampak pada isu content policy berikutnya yaitu terkait

ketersediaan sumberdaya (Resources Commited). Hal ini terlihat dari Hasil

pemeriksaan BPK yang menyimpulkan bahwa pengelolaan dan pengendalian

pencemaran DAS Citarum TA 2018 semester I tahun 2018 belum sepenuhnya

efektif karena masih ditemukan permasalahan antara lain:

Pertama, Kegiatan pengendalian pencemaran air di DAS Citarum belum

memiliki perencanaan terpadu yang melibatkan semua pemangku kepentingan

dan terintegrasi dengan dokumen perencanaan jangka menengah dan tahunan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, diketahui bahwa Program Citarum Harum

ditetapkan setelah APBN dan APBD tahun 2018 telah ditetapkan, sehingga

belum ada kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah yang membuat

perencanaan dan mengalokasikan anggaran untuk Program Citarum Harum

dalam dokumen perencanaan dan penganggarannya.

Kedua, Peran antar sektor dalam pengelolaan DAS Citarum belum

terkoordinasi secara optimal. Program pengendalian pencemaran DAS Citarum

merupakan program multi sektoral, yang melibatkan banyak pihak pada institusi

pusat maupun daerah. Untuk memudahkan koordinasi dibentuklah Satgas

Citarum Harum melalui Perpres Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan

Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum.

Namun demikian, Satgas Citarum Harum belum dapat melaksanakan tugasnya

secara optimal karena belum didukung dengan sumber daya yang memadai.

Akibatnya, pengendalian DAS Citarum melalui operasi pencegahan,


25

penanggulangan pencemaran dan kerusakan, serta pemulihan DAS Citarum

secara sinergis dan berkelanjutan belum dapat terlaksana secara optimal. Kedua

permasalahan utama pada Content Policy yaitu Pelaksana Program dan

Ketersediaan Sumberdaya menjadi rumusan penelitian yang akan peneliti

dalami lebih lanjut pada bab-bab berikutnya.

Selain dua permasalahan diatas, DAS Citarum diklaim menjadi sungai

terkotor di dunia serta sudah memberikan dampak Kesehatan yang buruk bagi

masyarakat yang hidup disepanjang aliran sungai. Hal ini diperburuk dengan

permasalahan yang paling utama seperti pembukaan lahan hutan untuk

pertanian, terdapatnya limbah peternakan dan limbah rumah tangga, serta yang

paling memprihatinkan adalah limbah buangan industri. Tidak hanya sampai

disitu, permasalahan juga berlanjut mengenai aliran sungai yang terdapat

masalah sedimentasi, ada pula kegiatan perikanan di waduk yang melebihi

kapasitas dan telah terjadi pencemaran yang sangat parah. Hal ini diperparah

dengan DAS Citarum yang tidak tertangani dengan baik selama puluhan tahun.

Padahal, keberadaan Sungai Citarum memegang peran sangat strategis

terhadap kehidupan warga Jawa Barat dan DKI Jakarta. DAS Citarum diklaim

menjadi sungai terkotor di dunia.

Dampak dari pencemaran menunjukkan bahwa efek pestisida organiklorin

(OCP) menjadi sangat besar, menghancurkan dan membahayakan lingkungan

serta kesehatan masyarakat di sekitar DAS. Dengan ditetapkannya Sungai

Citarum sebagai sungai terkotor di dunia, Citarum menimbulkan dampak yang

berbahaya bagi jutaan orang yang tinggal dan menggantungkan hidup di

sepanjang aliran sungai. Berbagai macam penyakit mengintai warga. Kondisi di

lapangan saat ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak ingin dan tidak
26

menyetujui program penanganan yang bersifat relokasi karena masyarakat

sudah berada di DAS selama puluhan tahun. Masyarakat berharap pemerintah

dapat menangani masalah Citarum dan memberikan fasilitas kesehatan bagi

masyarakat di sepanjang DAS Citarum.

Penanganan masalah Citarum selalu dilakukan secara parsial atau

sektoral sehingga tidak terintegrasi dan holistik. Padahal, masalah Citarum sedari

dulu hingga saat ini semakin bertambah kompleks. Permasalahan seperti banjir,

longsor, sampai dengan pencemaran lingkungan seperti yang sudah diuraikan

sebelumnya. Penanganan yang ada sejak dahulu hingga sekarang masih sama,

bersifat setoral dan dipayungi dengan peraturan daerah atau peraturan setingkat

menteri. Oleh karena itu, terdapat theoretical problem mengenai implementasi

kebijakan di DAS Citarum. Terdapat pendekatan penanganan masalah

pencemaran dan perusakan DAS Citarum yang sejak dahulu hingga sekarang

tidak mengalami perubahan. Perpres No. 15 Tahun 2018 tentang Percepatan

Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum lahir

secara nasional dengan melibatkan berbagai sektor, baik di daerah, pusat dan

kementerian lembaga, serta militer untuk menangani isu DAS Citarum secara

terintegrasi. Adanya perpres tersebut menimbulkan pertanyaan tentang

bagaimana implementasi dari perpres tersebut di DAS Citarum. Oleh karena itu,

penelitian ini mengkaji mengenai model implementasi kebijakan dan program

percepatan pengendalian pencemaran dan perusakan sungai Citarum dengan

pendekatan Grindle.

Penelitian ini menggunakan pendekatan Grindle (1980), karena kebijakan

(content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation)

merupakan dua hal yang memengaruhi keberhasilan implementasi. Variabel


27

tersebut mencakup: sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target

group termuat dalam isi kebijakan, jenis manfaat yang diterima oleh target group,

sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan, apakah letak

sebuah program sudah tepat, apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan

implementornya dengan rinci, dan apakah sebuah program didukung oleh

sumber daya yang memadai.

Keunikan dari model Grindle terletak pada pemahamannya yang

komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan

implementor, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin terjadi di

antara para aktor implementasi, serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi

yang diperlukan.

Berdasarkan latar belakang permasalahan, pertanyaan penelitian dari

disertasi yang berjudul “Model Implementasi Kebijakan Program Percepatan

Pengendalian Pencemaran Dan Perusakan Daerah Aliran Sungai Citarum”,

dengan pertanyaan sebagai berikut:

(a).Bagaimana Konten Implementasi Kebijakan pengendalian pencemaran dan

kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum ?

(b).Bagaimana Konteks Implementasi Kebijakan pengendalian pencemaran dan

kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum ?

(c). Bagaimana Outcome Implementasi Kebijakan pengendalian pencemaran dan

kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum ?

(d).Bagaimana Model Implementasi Kebijakan pengendalian pencemaran dan

kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum ?

1.3 Tujuan Penelitian


28

Sejalan dengan pokok permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah sebagai berikut:

(a).Mendeskripsikan dan menganalisis Konten Implementasi Kebijakan

pengendalian pencemaran dan kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum.

(b).Mendeskripsikan dan menganalisis Konteks Implementasi Kebijakan

pengendalian pencemaran dan kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum.

(c). Mendeskripsikan dan menganalisis Outcome Implementasi Kebijakan

pengendalian pencemaran dan kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum.

(d).Mendeskripsikan dan menganalisis Model Implementasi Kebijakan

pengendalian pencemaran dan kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Akademik

Penelitian ini mengacu pada permasalahan-permasalahan teori

(theoretical problems) dapat memberikan kontribusi berupa pendekatan

baru dalam implementasi kebijakan model integrasi kebijakan program

pengendalian pencemaran dan kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum

dengan pendekatan Grindle (1980).

1.4.2. Manfaat Praktis

Penelitian ini mengacu pada permasalahan-permasalahan empiris

(empirical problems) diharapkan dapat memberikan alternatif masukan

dan saran bagi integrasi kewenangan antar lembaga pemerintah dalam

mewujudkan Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan

Daerah Aliran Sungai baik pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi


29

Jawa Barat maupun Pemerintah Kabupaten/Kota yang dilalui aliran

sungai Citarum.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Pada penelitian terdahulu terkait dengan fokus penelitian pada

implementasi kebijakan pelayanan kesehatan berbasis Single Identity Number,

dapat dikatakan cukup langka. Fokus-fokus yang disajikan pada penelitian

terdahulu cenderung tidak memiliki topik spesifik yang berhubungan langsung

dengan topik disertasi ini. Penelitian tentang Kebijakan Kesehatan dan BPJS

Kesehatan ini fokus pada bagaimana sistem pelayanan dan implementasi pada

tingkatan organizational level. Penelitian tentang KTP Elektronik memiliki

kecenderungan fokus terhadap implementasi kepemilikan KTP Elektronik pada

kasus-kasus tertentu. Di bawah ini, disajikan tabel penelitian terdahulu yang

dianggap relevan dengan disertasi ini disertai perbedaannya.

2.1.1 Penelitian Redhi Fathan Affandi (2020)

Penelitian yang berjudul “Implementasi Kebijakan Pengelolan Sumber

Daya Air Daerah Aliran Sungai Cikembulan Kabupaten Pangandaran”

didasarkan pada Kondisi aliran sungai di Kabupaten Pangandaran saat ini perlu

mendapatkan perhatian serius dari pengelola sumber daya air, diantaranya

banyaknya jaringan irigasi yang rusak, baik pada bangunan bendung, maupun

pada bangunan-bangunan pelengkap seperti: bangunan bagi, bangunan

pelimpah, bangunan talang, gorong-gorong dan saluran. Masalah-masalah lain

yang diharapi yaitu adanya pendangkalan sungai yang diakibatkan oleh

pelumpuran, erosi, dan penebangan pohon sepanjang sungai, terjadi penurunan

kondisi sumberdaya air dalam bentuk kerusakan daerah tangkapan dan

pencemaran air sehingga terjadi kekeringan dimusim kemarau dan kebanjiran


31

dimusim hujan, serta masih adanya perilaku sebagian masyarakat yang

melakukan penebangan pohon sepanjang sungai dan rantingnya tidak diambil,

yang menyebabkan saluran sungai tersumbat, salah satunya yaitu pada daerah

aliran sungai Cikembulan. Penelitian bertujuan untuk menganalisis tentang

implementasi kebijakan pengelolaan sumber daya air Daerah Aliran Sungai

Cikebulan Kabupaten Pangandaran. Kebijakan pengelolaan sumber daya air

tersebut menjadi tanggungjawab Bidang Sumber Daya Air pada Dinas Pekerjaan

Umum, Tata Ruang, Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman masih

kurang efektif.

Adapun hasil penelitian ini adalah bahwa s Seumber daya yang ada pada

Dinas Pekerjaan Umum, Tata Ruang, Perumahan Rakyat dan Kawasan

Permukinan Kabupaten Pangandaran, berdasarkan penelitian ini cukup terbatas,

baik dari sisi sumber daya manusia, dalam hal ini pegawai, ketersediaan

anggaran dalam pengelolaan sumber daya air daerah aliran sungai Cikembulan

khususnya, dan sarana prasarana penunjang lainnya, sehingga dalam

melaksanakan tugas dan tanggungjawab dalam implementasi kebijakan tentang

pengelolaan sumber daya air daerah aliran sungai Cikembulan menjadi kurang

efektif.

Selain itu Faktor yang dapat mempengaruhi implementasi kebijakan

pengelolaan sumber daya air daerah aliran sungai Cikembulan dalam penelitian

ini yaitu struktur birokrasi. Dinas Pekerjaan Umum, Tata Ruang, Perumahan

Rakyat dan Kawasan Permukinan Kabupaten Pangandaran merupakan

penanggungjawab terhadap pencapaian tujuan kebijakan, hal tersebut

sebagaimana diatur dalam Peraturan Bupati Pangandaran Nomor 44 Tahun

2016 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi Susunan Organisasi serta Tata Kerja
32

Perangkat Daerah di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Pangandaran, Rincian

Tugas Pokok Dinas Pekerjaan Umum, Tata Ruang, Perumahan Rakyat dan

Kawasan Permukiman Kabupaten Pangandaran.

Sementara faktor disposisi atau sikap pelaksana, dalam hal ini para

pegawai di Dinas Pekerjaan Umum, Tata Ruang, Perumahan Rakyat dan

Kawasan Permukinan Kabupaten Pangandaran, telah dapat melaksanakan

tugas dan tanggungjawabnya dengan cukup baik, dengan berbagai keterbatasan

sumber daya yang memiliki kemampuan dan keahlian dan kompetensi di bidang

pengairan. Namun demikian para pegawai tetap melaksanakan tugas dan

tanggungjawab melalui program-program yang dilaksanakan setiap tahun dalam

melaksanakan kebijakan pengelolaan sumber daya air yang ada di Kabupaten

Pangandaran, termasuk dareah aliran sungai Cikembulan

2.1.2 Gusti Ketut Purnaya dan I Made Trisna Semara (2018)

Penelitian yang berjudul “Implementasi Kebijakan Pemerintah Terhadap

Penataan Sungai Badung Dalam Upaya Pengembangan Pariwisata Di Kota

Denpasar” didasarkan pada kenyataan bahwa Kota Denpasar dengan

kebijakannya yakni membangun pariwisata berwawasan Budaya dengan

berlandaskan Tri Hita Karana. Tri Hita Karana mempunyai pengertian tiga

penyebab keharmonisan yakni keharmonisan hubungan antara manusia dengan

Tuhan yang disebut dengan Parahyangan, hubungan antara manusia dengan

alam lingkungan yang disebut dengan Palemahan dan hubungan antara manusia

dengan manusia yang disebut dengan Powongan. Dalam menjaga

keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam lingkungan salah satu

upaya yang dilakukan adalah adanya konservasi. Dengan adanya konservasi ini,

tentunya sungai sebagai salah satu lingkungan yang dimiliki oleh Kabupaten
33

Denpasar diperlukan adanya suatu strategi baru agar sungai tersebut menjadi

lestari. Salah satunya tidak hanya dengan menata tetapi mencoba untuk

mengajak atau membujuk masyarakat untuk mengembangkannya menjadi daya

tarik dalam membangun pariwisata kota. Dari pemaparan yang ada, tujuan dari

pembuatan penelitian ini adalah untuk mengetahui implementasi kebijakan

pemerintah Kota Denpasar tentang penataan sungai Badung dalam upaya

pengembangan pariwisata di Kota Denpasar.

Temuan dari penelitian ini adalah bahwa kebijakan pemerintah dalam

penataan sungai sudah sangat baik, hal ini terlihat dari implementasi kebijakan

pemerintah dengan melakukan penataan pada beberapa kawasana sungai

Badung. Namun kebijakan pemerintah belum berjalan optimal dalam

pengendalian pencemaran air di sungai Badung. Untuk itu diperlukan badan

khusus dalam menangani pencemaran tersebut. Program penataan seharusnya

terlebih dahulu berorientasi pada perubahan pola hidup masyarakat sekitar

sungai. Selain itu diperlukan juga adanya dukungan dari Pemerintah provinsi,

dan kabupaten/kota dengan menjalin kerjasama yang baik dalam penanganan

masalah penataan sungai Badung. Untuk pembiayaan penataan sungai jangan

hanya bergantung pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran

Pendapatan Belanja Daerah tetapi juga mengajak pihak swasta atau dunia

usaha dan masyarakat untuk terlibat didalamnya.

2.1.3 Rikky Mulyawan et al., (2022)

Penelitian yang berjudul “Kajian Peran Stakeholder Pada Implementasi

Kebijakan Pengelolaan DAS Terpadu, Studi Kasus DAS Krueng Aceh”

didasarkan pada kondisi DAS Krueng Aceh yang semakin menurun ditengah

banyaknya kegiatan instansi Pemerintah terkait dan telah tersedianya landasan


34

kegiatan berupa PP, Qanun serta keberadaan Tim Koordinasi yakni TKPDAS-T ,

maka perlu dilakukan kajian tentang pengelolaan DAS oleh stakeholders terkait

berdasarkan kondisi biofisik DAS dengan tujuan; (1). Menganalisis kondisi

biofisik DAS Krueng Aceh, (2) Menganalisis stakeholders yang terlibat dalam

pengelolaan DAS Krueng Aceh, dan (3). Menganalisis implementasi kebijakan

pengelolaan DAS.

Kajian ini bertujuan untuk menganalisis PP, Qanun, stakeholders

pengelola DAS Krueng Aceh dan implementasi kebijakan berdasarkan

perubahan kondisi biofisik DAS. Analisis yang digunakan kajian ini adalah

analisis perubahan kondisi biofisik DAS, analisis stakeholders, serta analisis

implementasi kebijakan.

Temuan dari penelitian ini adalah bahwa Hasil pengamatan perubahan

tutupan lahan pada DAS Krueng Aceh dalam 10 tahun terakhir menunjukkan

bahwa setiap tahun terjadi perubahan akibat dari perambahan dan alih fungsi

penggunaan lahan, perubahan yang sangat signifikan terjadi pada tahun 2020

yaitu pengurangan luas pada hutan lahan kering sekunder, lahan pertanian

kering, sawah, tambak dan penambahan luas pada tanah terbuka dan

pemukiman. Perubahan ini berdampak terhadap peningkatan debit air sungai

dan perluasan wilayah terjadinya banjir. Berdasarkan PP No.37 Tahun 2012 dan

Qanun No 7 Tahun 2018, beberapa hal pokok yang menjadi dasar kegiatan

pengelolan DAS adalah ; peningkatan daya dukung DAS, pengelolaan sumber

daya air, penataan ruang, dan pemanfaatan sumber daya alam. Bila dilihat dari

hasil analisis kondisi biofisik DAS Krueng Aceh beberapa hal pokok yang menjadi

dasar kegiatan pengelolan DAS dalam PP dan Qanun belum berjalan maksimal,
35

Terdapat 20 stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan DAS Krueng

Aceh, stakeholders pemerintah umumnya masuk dalam kategori key player yang

mempunyai kepentingan yang tinggi sekaligus mempunyai sumber daya untuk

melaksanakan kegiatan, yang termasuk dalam golongan ini diantaranya : BPDAS

HL, BWS Sumatera 1, Bappeda, DLHK, Dinas Pengairan, Dinas PUPR, Forum

DAS, dan KPH. Sementara stakeholders diluar pemerintah masuk dalam

berbagai kategori lain yakni Subject, Crowd dan Context Setter. TKPDAS-T

sebagai lembaga yang berwenang dalam memimpin pengelolaan DAS secara

terpadu belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. TKPDAS-T baru

merumuskan kebijakan operasional dan strategi pengelolaan DAS, belum

melaksanakan kewenangan lainnya.

2.1.4 Feny Irfany Muhammad dan Yaya M Abdul Aziz (2020)

Penelitian yang berjudul “Implementasi Kebijakan Dalam Mitigasi

Bencana Banjir Di Desa Dayeuhkolot” didasarkan pada Dayeuhkolot merupakan

salah satu pusat kegiatan dan memiliki peranan penting bagi kabupaten

Bandung. Banjir merupakan bencana yang dianggap lumrah terjadi di

Dayeuhkolot karena seringnya terjadi banjir pada daerah tersebut. Hal tersebut

tentu saja menyebabkan kerugian yang besar, diantaranya membuat aktivitas

masyarakat terganggu, kerusakan bangunan, munculnya wabah penyakit,

terhambatnya kegiatan ekonomi, dan terganggunya konektivitas antara kota

Bandung dengan wilayah Bandung Selatan. Banjir disebabkan perkembangan

metropolitan cekungan Bandung sangat pesat. Perkembangan tersebut terlihat

dari semakin memadatnya bangunan dan meningkatkan area kedap air,

pembuangan berbagai jenis limbah ke sungai yang mengakibatkan sedimentasi

yang besar di sungai Citarum dan eksploitasi air tanah sehingga terjadi
36

penurunan muka tanah dari tahun ke tahun. Hadirnya Peraturan Daerah

Kabupaten Bandung Nomor 02 Tahun 2013 sebagai upaya dalam

penanggulangan bencana diharapkan mampu menjadi solusi dalam pemecahan

masalah banjir di kabupaten Bandung. Namun demikian sejak Perda tersebut

dilahirkan 6 Tahun lalu, bencana banjir masih kerap terjadi hingga kini. Hal

mendasar dalam menyoroti permasalahan dalam Mitigasi bencana banjir desa

dayeuhkolot membutuhkan perhatian banyak pihak sebab permasalahan banjir

Desa Dayeuhkolot merupakan Pertanggung jawaban publik, oleh sebab itu

komunikasi merupakan bagian penghubung antara masyarakat dengan

pemangku kebijakan. Sehingga permasalahan yang ada akan dapat

menghasilkan suatu implementasi yang baik. Birokrasi dapat memberikan

jaminan lebih besar untuk tercapainya kebijakan dalam penyelesaian masalah

mitigasi bencana banjir di desa Dayeuhkolot. Pemberian izin bagi pembangunan

yang akan memberikan dampak pada masyarakat luas seharusnya melalui

proses dengar pendapat publik. Tak hanya dari pemerintah dan pihak terkait,

dibutuhkan sumber daya yang berkopenten agar kesadaran masyarakat untuk

memelihara lingkungan dapat terminimalisir, dampak dari bencana banjir di desa

Dayeuhkol. Pada akhirnya dengan keasadaran dari semua pihak, upaya Mitigasi

bencana banjir di desa Dayeuhkolot diharapkan dapat teratasi. Dari

permasalahan di atas, peneliti tertarik mengambil judul penelitian mengenai

Implementasi Kebijakan dalam Mitigasi Bencana Banjir di desa Dayeuhkolot

Kabupaten Bandung. Adapun fokus pada penelitian ini ialah di desa Dayeuhkolot

kecamatan Dayeuhkolot kabupaten Bandung Jawa Barat. Penelitian yang

peneliti lakukan pasti memiliki tujuan tertentu. Berdasarkan latar belakang dan

rumusan masalah yang telah penulis uraikan diatas, maka tujuan diadakannya
37

penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana implementasi kebijakan

Mitigasi Bencana Banjir di desa Dayeuhkolot kecamatan Dayeuhkolot kabupaten

Bandung diterapkan.

Temuan dari penelitian ini bahwa Berdasarkan hasil pembahasan di atas

maka dapat disimpulkan bahwa Implementasi Kebijakan Dalam Mitigasi Bencana

Banjir oleh BPBD Desa Dayeuhkolot Kabupaten Bandung belum berjalan dengan

maksimal, masih terdapat permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam

pelaksanaan tersebut. Hal ini ditandai dengan Pencegahan Bencana Banjir,

Penanganan Darurat Bencana Banjir, Rehabilitasi dan Rekontruksi bencana

banjir masih banyak ditemukan permasalahan. Pada aspek pencegahan

bencana banjir tersebut masih ditemui permasalahan- permasalahan seperti

pelaksanaan pembuatan peta rawan bencana khususnya bencana banjir,

pelaksanaan pemantauan rutin yang belum tampak oleh masyarakat serta

pelatihan kesigapan belum dirasakan masyarakat sehingga pencegahan dan

penanganan bencana belum dirasakan seutuhnya oleh masyarakat. Perlunya

penerapan metode sosialisasi yang lebih praktis sehingga masyarakat lebih

mudah memahami. Pada aspek penanganan darurat bencana banjir terlihat

belum berjalan maksimal di sebabkan karna kurangnya personil / anggota BPBD

yang ada yang belum terlalu turun membantu masyarakat saat terjadi bencana

banjir, peralatan yang belum memadai seperti tenda yang masih kurang perahu

karet banyak yang rusak, sarana dan prasarana sewaktu terjadinya banjir belum

sepenuhnya ada. Pada aspek rehabilitasi dan rekontruksi bencana banjir terlihat

belum berjalan maksimal buktinya seperti koordinasi yang dijalankan antara

pemerintah dan masyarakat belum berjalan dengan baik dan optimal guna

menentukan titik rawan bencana, masih banyak bangunan- bangunan yang lama
38

belum dilakukan perehapan seperti tanggul dan gorong-gorong, pelaksanaan

rekostruksi dan rehabilitasi belum merata. Jadi, Implementasi Kebijakan Mitigasi

Bencana Banjir oleh BPBD Desa Dayeuhkolot Kabupaten Bandung masih belum

optimal bahkan hampir sama sekali tidak dirasakan oleh masyarakat.

2.1.5 Harmiati et al (2018)

Penelitian yang berjudul “Implementasi Good Enviromental Governance

dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Das) Bengkulu” didasarkan pada

prinsip good governance tidak hanya pemerintah tetapi juga citizen, masyarakat

terutama sektor usaha/swasta, dan organisasi masyarakat(Gunilla Ölund

Wingqvist, Olof Drakenberg, Daniel Slunge, Martin Sjöstedt, 2012). Hal ini karena

perubahan perspektif pembangunan dengan peninjauan ulang peran pemerintah

dalam pembangunan, yang semula bertindak sebagai regulator dan pelaku pasar,

menjadi bagaimana menciptakan iklim yang kondusif dan melakukan investigasi

prasarana yang mendukung dunia usaha. Sudah barang tentu, ini bisa dilakukan

apabila masyarakat dan sektor swasta sendiri sudah semakin mampu/ berdaya,

justru sekarang adalah usaha. Adapun tujuan penelitian ini adalah Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui upaya dan kolaborasi antara pihak pemerintah,

swasta, dan masyarakat Kabupaten Bengkulu Tengah dalam pengelolaan

Daerah Aliran Sungai Bengkulu, sehingga terwujudnya tata kelolah lingkungan

yang baik (good enviromental governance).

Temuan dari penelitian ini adalah bahwa Pengelolaan DAS Terpadu pada

dasarnya merupakan bentuk pengelolaan yang bersifat partisipatif dari berbagai

pihak-pihak yang berkepentingan dalam memanfaatkan dan konservasi

sumberdaya alam pada tingkat DAS. Pengelolaan partisipatif ini

mempersyaratkan adanya rasa saling mempercayai, keterbukaan, rasa tanggung


39

jawab, dan mempunyai rasa ketergantungan (interdependency) di antara sesama

stakeholder. Hal ini mengindikasi- kan bahwa partisipasi masyarakat sangat

menentukan keberhasilan pengelolaan DAS dalam tataran implementasi.

Partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam pengelolaan daerah aliran

sungai, karena tanpa adanya partisipasi dari masyarakat tidaklah mungkin

terwujud daeah aliran sungai yang baik. Dalam sistem partisipasi pengelolaan

DAS, masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab melaku- kan

pengelolaan terhadap sumberdaya yang dimiliki, dimana masyarakat sendiri

yang mendefinisikan kebutuhannya, tujuan dan aspirasinya, serta membuat

keputusan demi kesejahteraan mereka. Selain itu mengenai tata kelolah

lingkungan di DAS Bengkulu bahwa : (1) Partisipasi masih rendah baik partisipasi

pihak swasta, masyarakat atau LSM setempat karena rendahnya transparansi

mengenai pengelolaan DAS Bengkulu. (2) aturan hukum mengenai pengelolaan

DAS Bengkulu belum jelas sehingga mengakibat- kan kurang terarahnya

pengelolaan DAS Bengkulu. (3) Transparansi pengelolaan DAS Bengkulu belum

sesuai dengan harapan publik. Karena selama ini informasi mengenai DAS

Bengkulu belum dapat diakses publik. (4) Kolaborasi pemerintah, swasta dan

masyarakat tidak terjalin dengan baik sehingga redahnya partisipasi stakeholder

Bengkulu.dalam mengelolah DAS.

2.1.6 Rizki Hidayatulloh et al (2018)

Penelitian yang berjudul “Peran Badan Penanggulangan Bencana Daerah

Kabupaten Jember dalam Pembentukan Rencana Kontijensi Daerah Aliran

Sungai (DAS) Tanggul” didasarkan pada kondisi Kabupaten Jember merupakan

salah satu daerah yang termasuk rawan bencana. Berbagai ancaman seperti

banjir, gempa bumi, tsunami, kekeringan, tanah longsor, angin puting beliung
40

dan lain-lain. Kabupaten Jember memiliki ancaman bencana bersumber dari

geologis yaitu erupsi Gunung Raung di sebelah timur dan erupsi Gunung

Lemongan dari sebelah barat. Ancaman gempa bumi dan tsunami berada di

wilayah selatan Kabupaten Jember. Ancaman biologis adalah adanya potensi

hama tanaman dikarenakan di wilayah Jember termasuk memiliki perkebunan

yang subur dengan tanaman holtikultura dan tanaman keras pohon-pohon

lindung. Untuk itu penulis membahas mengenai tahap pra bencana yaitu

pencegahan dan kesiapsiagaan untuk memastikan upaya yang cepat dan tepat

dalam menghadapi kejadian bencana dalam hal ini adalah pembentukan

dokumen rencana kontijensi.

2.1.7 C. Yudi Lastiantoro & S. Andy Cahyono (2016)

Penelitian yang berjudul “Analisis Peran Para Pihak Dalam Pengelolaan

Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo Hulu” didasarkan pada Bengawan Solo

Hulu merupakan salah satu DAS yang kritis di Pulau Jawa. Berbagai pihak

mencoba mengatasi permasalahan pengelolaan sumber daya dalam DAS,

sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dari masing-masing institusi/ lembaga

baik pemerintah daerah kabupaten melalui satuan kerja perangkat daerah

(SKPD) maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) peduli lingkungan.

Banyaknya institusi dan pihak yang terlibat dalam pengelolaan DAS Bengawan

Solo Hulu seringkali menimbulkan permasalahan berkaitan dengan koordinasi

perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasinya. Diperlukan pemahaman siapa

yang dipengaruhi pengambil keputusan, siapa yang memengaruhi dan

berkepentingan pada pengambilan keputusan dalam suatu DAS. Berdasarkan

uraian tersebut di atas, tujuan penelitian ini adalah menganalisis peran para

pihak dalam pengelolaan DAS Bengawan Solo Hulu, sehingga dapat diambil
41

kebijakan yang lebih tepat dalam memberikan gambaran nyata di lapangan siapa

yang berperan penting dan berpengaruh dalam pengelolaan DAS Bengawan

Solo Hulu. Adapun tujuan penelitian ini adalah menganalisis peran para pihak

dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo bagian hulu.

Penelitian ini dilakukan di DAS Bengawan Solo Hulu yang terletak di Kabupaten

Wonogiri dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif dan analisis

stakeholder.

Temuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. KeyPlayers.

Parapihak yang terkait sebagai Key Player adalah Dinas Pertanian,

Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten,

Dinas Pekerjaan Umum bidang Pengairan dan LSM pemerhati lingkungan.

Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Mairi, et al. (2010) yang

menunjukkan bahwa di era otonomi daerah peran Dinas Kehutanan Kabupaten

semakin berperan dalam pengelolaan DAS.

2. ContextSetters.

Para pihak yang terkait sebagai Context Settersadalah Dinas Pengairan,

Energi dan Sumber Daya 208 Manusia Kabupaten. Instansi ini berpengaruh

dalam mengubah kebijakan dan keadaan DAS Bengawan Solo Hulu, dengan

memberikan ijin tambang galian C ke pihak ketiga. Sehingga kegiatan yang

dilakukan kadang ada konflik kepentingan dengan upaya pelestarian DAS.

3. Subjects.

Para pihak yang terkait sebagai Subjects adalah Perkumpulan Petani

Pemakai Air (P3A) Kondisi saat ini menunjukkan bahwa P3A belum mampu

sepenuhnya mengelola jaringan irigasi yang menjadi kewenangannya. Hal ini


42

disebabkan masih terbatasnya kemampuan sumber daya manusia, kemampuan

pembiayaan dan kelemba- gaannya (Balitbang Kimpraswil, 2004) Kelompok Tani,

Kelompok Tani Hutan Rakyat, dan Kelompok Konservasi Tanah Air. Institusi ini

tumbuh berkembang bersama masyarakat sehingga lembaga-lembaga ini yang

akan langsung merasakan akibat dari kegiatan pengelolaan DAS khususnya

berkaitan dengan produktivitas lahan dan ketersediaan air.

4. Crowd.

Para pihak yang terkait sebagai Crowd adalah Badan Pemberdayaan

Masyarakat, Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan, para petani yang belum

menerapkan usahatani berbasis konservasi tanah dan air dalam mengelola

lahannya. Institusi-institusi ini berpandangan bahwa pengelolaan DAS belum

menjadi tujuan utama dalam mendukung pengembangan kegiatannya sehingga

pengelolaan DAS kurang diperhatikan. Badan Penelitian dan Pengem- bangan

Daerah (Balitbangda) kabupaten sampai saat ini juga belum fokus meneliti terkait

pengelolaan DAS. Kondisi ini dikarenakan kurangnya peneliti yang berlatar

belakang pengelolaan DAS.

2.1.8 Raharja, S.J. (2015)

Penelitian yang berjudul Synergy in the Watershed Management: Case

Study on Citarum Watershed – Indonesia. International Journal of Humanities

and Social Science Invention berlatar belakang bahwa karena masing-masing

pihak berhak untuk menggunakan atau memanfaatkannya, sesuai dengan tujuan

tertentu masing-masing. Ahmadjayadi (2001) menyatakan bahwa kompleksitas

tersebut diperparah oleh perbedaan sistem pengelolaan DAS di Indonesia yang

menekankan pada satu aspek, seperti (1) konservasi (2) fasilitas drainase sungai

atau (3) dalam pengelolaan perspektif otonomi daerah. Kompleksitas tersebut


43

juga dikemukakan oleh Kodoatie dan Sjarif (2005) bahwa dalam pengelolaan

DAS terdapat banyak lembaga dan organisasi dengan kepentingan dan fungsi

yang berbeda-beda. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Pengumpulan

data dilakukan melalui pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer

dikumpulkan melalui wawancara dan diskusi kelompok terfokus. Pengumpulan

data sekunder dilakukan melalui tinjauan literatur dan berbagi data yang berasal

dari majalah, laporan, media berita dan lain-lain

Hasil penelitian ini bahwa belum ada masterplan pengembangan dan

pengelolaan terpadu yang konsisten dan dapat dijadikan acuan bagi instansi

atau organisasi yang mengelola DAS Citarum. Instansi yang mengelola DAS

tersebar di berbagai instansi, seperti Kementerian Pekerjaan Umum,

Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian ESDM, Pemerintah Provinsi,

Kementerian Kehutanan dan Kabupaten Bandung. Tugas, fungsi, dan

wewenangnya berbeda.

Secara parsial, hasil pengelolaan seringkali tumpang tindih satu sama lain,

yang cenderung memboroskan dan saling membatalkan keluaran. Asdak (2003)

menyatakan bahwa untuk pengelolaan DAS yang efektif, khususnya dalam

fungsi perencanaan, jelas ada kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing

organisasi. . Efektivitas diukur dari keterpaduan antara hulu hingga hilir, daya

dukung kelembagaan lokal dan partisipasi pemangku kepentingan. Temuan

Badan Pengelola Sungai Citarum tidak menunjukkan bahwa instansi yang

berwenang tidak saling memahami. Pemahaman yang tidak lengkap tentang

masalah yang diangkat (a) rencana pengelolaan lowongan, karena tidak semua

kewalahan dalam perencanaan setiap lembaga/ organisasi (b) perencanaan

tumpang tindih antar instansi/organisasi yang mengelola Sungai Citarum (c)


44

konflik organisasi terjadi ketika rencana dualisme objek yang sama bertentangan

atau memiliki prioritas yang berbeda. Hal ini menimbulkan tidak efektifnya fungsi

perencanaan karena belum tercapainya rencana pengelolaan DAS secara

keseluruhan secara optimal. Tumpang tindih menyebabkan perencanaan tidak

efisien karena hal yang sama dilakukan oleh dua instansi atau organisasi yang

berbeda. Konflik antar organisasi menimbulkan benturan perencanaan satu

sama lain.

Kapasitas kelembagaan lokal dan partisipasi pemangku kepentingan

dalam proses perencanaan pengelolaan DAS Citarum juga tidak menunjukkan

keterlibatan penuh waktu. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang

menunjukkan (a) partisipasi tidak rutin (b) partisipasi tidak terorganisir dengan

baik, hanya dibuat secara kebetulan (c) kurangnya keterlibatan dalam persiapan

proses perencanaan (d) menerima masukan dan saran dalam proses

perencanaannya cenderung tidak terakomodir dengan baik.

Selanjutnya penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Pengelolaan DAS

Citarum masih dilakukan sebagian secara sektoral. Setiap organisasi mengelola

secara parsial menurut perspektif masing-masing hubungan antar organisasi

yang belum terbangun secara maksimal. Hal ini mengakibatkan belum

menunjukkan sinergi positif, sebaliknya menghasilkan sinergi negatif. Sinergi

negatif terlihat di mana upaya organisasi tumpang tindih dengan upaya

organisasi lain. Hal ini menimbulkan konflik pengelolaan sumber daya dan limbah.

Upaya yang diperlukan untuk mengintegrasikan pengelolaan DAS Citarum dalam

satu organisasi yang terpadu, solid dan kompak, tanpa kehilangan otonomi dari

masing-masing organisasi pengelolaan yang ada. Diperlukan perubahan pola


45

pikir agar DAS Citarum menjadi milik bersama, dikelola bersama dan untuk

bersama.

2.1.9 Juniarti (2020)

Penelitian yang berjudul Upaya Peningkatan Kondisi Lingkungan Di

Daerah Aliran Sungai Citarum berlatar belakang bahwa permasalahan daerah

hulu berasal dari hilangnya sumber resapan air karena penggundulan hutan dan

alih fungsi hutan lindung menjadi lahan perkebunan seperti kopi. Permasalahan

berikutnya adalah limbah ternak yang langsung dibuang ke aliran sungai

sehingga menimbulkan polusi yang mengkontaminasi air sungai tersebut karena

masing-masing pihak berhak untuk menggunakan atau memanfaatkannya,

sesuai dengan tujuan tertentu masing-masing. Juniarti (2020) menyatakan

bahwa hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya peningkatan

kesadaran masyarakat tentang lahan kritis, konservasi air, pengelolaan sampah,

sanitasi lingkungan dan mitigasi bencana. Untuk mempertahankan kondisi ini

maka perlu dilakukan kegiatan yang berkesinambungan untuk dapat terus

meningkatkan motivasi dan kesadaran masyarakat untuk melakukan kelima hal

tersebut sehingga tujuan Citraum Harum dapat tercapai.

Soetrisno (2002) dengan judul Beban Pencemaran Limbah Perikanan

Budidaya Dan Yutrofikasi Di Perairan Waduk Pada Das Citarum melakukan

penelitian dengan latar belakang di waduk-waduk yang ada di badan air

sungai Citarum khususnya waduk Saguling, Cirata dan Juanda; perikanan

budidaya dengan keramba jaring apung (KJA) berkembang sangat pesat;

sehingga diduga telah melebihi daya dukung badan air waduk dan limbahnya

telah mengancam keberlanjutan perikanan budidaya tersebut. Jika "blooming"

ini terus berlanjut karena sumber pencemar tidak mampu dihentikan


46

maka badan air waduk akan didominasi oleh “blue green algae” seperti

microcystis sp dan dimasa datang satu demi satu ke tiga waduk. yang ada di

DAS Citarum akan berubah menjadi “comberan raksasa” yang di saat ada

sinar matahari perairan menjadi hijau pekat berlendir menjijikan, dan disaat mulai

gelap disana sini timbul gelembung-gelembung gas.

2.1.10 Yoan dan Lilin (2015)

Penelitian yang berjudul “Evaluasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di

Daerah Aliran Sungai (DAS) Juwana pada Kawasan Gunung Muria Kabupaten

Pati” Permasalahan dampak pelaksanaan RHL menjadi lebih rumit karena

RHL bersifat jangka panjang akan sangat penting untuk menjaga

konsistensi pengambil kebijakan RHL dan penerapan kebijakan RHL

tersebut dan Dinas Kehutanan dan perkebunan Kabupaten Pati sebagai

penanggungjawab kegiatan RHL sampai saat ini belum menetapkan kriteria

untuk melakukan evaluasi keberhasilan RHL lebih detail. Dampak program RHL

tidak hanya ditujukan untuk perbaikan lingkungan tetapi diharapkan berpangaruh

positif pada kondisi sosial ekonomi masyarakat sehingga dalam evaluasi capaian

program RHL diperlukan ukuran lain yang mampu mengukur kompleksitas

program RHL. Berdasarkan kondisi tersebut terdapat beberapa pertanyaan

yang akhirnya mendasari penelitian ini, yaitu (1) Model evaluasi seperti apa dan

variabel apa saja yang tepat untuk mengukur capaian program Rehabilitasi

Hutan dan Lahan (RHL) pada Kawasan Gunung Muria? (2) Bagaimanakah posisi

dan kondisi kelembagaan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten

Pati sebagai penanggungjawab dan pelaksana program RHL? Penelitian ini

bertujuan mengembangkan model evaluasi program RHL pada DAS Juwana

Kawasan Gunung Muria khususnya Desa Klakahkasihan, Plukaran, Bageng,


47

Sitiluhur Kecamatan Gembong Kabupaten Pati serta mengetahui posisi

lembaga Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati sebagai lembaga

pemerintah yang bertanggungjawab dalam program RHL.

Model evaluasi dengan menggunakan multikriteria dan variabel

dengan pendekatan collaboretive management dan pengelolaan DAS

terpadu sangat tepat untuk mengevaluasi keberhasilan RHL pada DAS

Juwana Kawasan Gunung Muria dengan hasil evaluasi tercapai 65,8%, yang

berarti menurut standart P.03 / Menhut II / 2013 bahwa program RHL berhasil (≥

60 %) terdiri dari rincian sebagai berikut : (1) Peningkatan Partisipasi & Sosial

Ekonomi masyarakat (34%) , (2) Pengelolaan berbasis ekologi & perlindungan

Sumber Daya (29%), (3) Implementasi

Kebijakan RHL (23%), (4) Prasayarat Pelaksanaan Program RHL

Berkelanjutan (10%) dan (5) Sistem Produksi hutan lestari (4%). Jika

pencapaian keberhasilan RHL masih belum maksimal (65,8%) adalah

disebabkan pada spekturm kendali kegiatan masih ada pada pemerintah ( share

authority lemah), pemerintah berada pada jenis stakeholder promoter (high

interest dan high power) sedang masyarakat pelaksana RHL termasuk pada jenis

stakeholder defender (hight interset dan low power). Posisi organisasi Dinas

Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pati sebagai pelaksana RHL di DAS

Juwana Kawasan Gunung Muria Kabupaten Pati ada pada posisi “pertumbuhan

dan membangun” (grow and build).

2.1.11 Karouw, Daud dan Grace

Penelitian yang berjudul “Implementasi Kebijakan Pengelolaan Daerah

Aliran Sungai Tondano Di Provinsi Sulawesi Utara” didasarkan pada Kerusakan

DAS Tondano yang terjadi pada saat ini adalah karena intervensi manusia yang
48

semakin masif melakukan kerusakan terhadap lingkungan hidup, antara lain

illegal logging dan alih fungsi lahan, okupasi lahan (pemukiman/banyaknya

bangunan-bangunan yang berdiri di sekitar wilayah DAS, pertanian, peternakan,

sarana dan prasarana pariwisata, industri) yang menyebabkan terjadinya

pencemaran serta erosi lahan yang berdampak pada sedimentasi/pendangkalan

DAS, perikanan keramba jaring apung yang menyebabkan eutrofikasi (peledakan

tumbuhan akuatik) yang kesemuanya itu tidak memperhatikan daya dukung dan

daya tampung lingkungan hidup, sehingga mengganggu kemampuan dan fungsi

dari lingkungan hidup itu sendiri. Padahal telah ada peraturan terkait tentang

pengelolaan DAS yaitu Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran

Sungai yang kemudian dijabarkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi

Utara No. 1 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano.

Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano

menjelaskan bagaimana Pengelolaan DAS yang seharusnya dilakukan oleh

pihak-pihak terkait baik pemerintah (provinsi maupun kabupaten/kota),

masyarakat serta stakeholder dalam menjaga dan memelihara DAS yang ada.

Penelitian ini Bertujuan untuk mengetahui bagaimana Implementasi Peraturan

Pemerintah No. 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di

Sungai Karang Mumus Kota Samarinda. Pada saat penelitian dilakukan,

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai di Sungai Karang Mumus Kota Samarinda

belum ditindaklanjuti dengan peraturan daerah tentang pengelolaan DAS.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai implementasi kebijakan

pengelolaan DAS Tondano di Provinsi Sulawesi Utara yang dilakukan lewat


49

wawancara terhadap para pihak (stakeholders), maka temuan peneliti sebagai

berikut:

1. Dari aspek organisasi, kelembagaam pengelolaan daerah aliran sungai

Tondano sangat kuat didukung oleh peraturan-peraturan sebagai payung hukum

yang kuat untuk pengelolaan DAS Tondano, seperti UU No. 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012 tentang

Pengelolaan DAS yang selanjutnya dijabarkan oleh Perda Provinsi Sulawesi

Utara No. 1 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano.

Selain itu, pengelolaan DAS Tondano melibatkan banyak pihak (multidisiplin,

multisektor) yang berada di wilayah DAS Tondano. Tugas pokok dan fungsi

setiap instansi utama dalam pengelolaan DAS berkaitan erat dengan kegiatan

menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan DAS Tondano.

2. Dari aspek interpretasi akan kebijakan tentang Pengelolaan DAS

Tondano, dapat disimpulkan, implementor serta stakeholder mampu menguasai

dan mengetahui tugas dan fungsinya dalam pengelolaan DAS Tondano.

3. Dari aspek Aplikasi atau pelaksanaan kebijakan pengelolaan DAS

Tondano berdasarkan peraturan-peraturan yang ada, terlihat banyak rencana

berupa program/kegiatan yang ada disetiap instansi terkait, kesemuanya untuk

menjadikan DAS Tondano bermanfaat dan terjaga kelestariannya. Namun dalam

pelaksanaannya kegiatan-kegiatan tersebut belum dilaksanakan secara

menyeluruh oleh pemerintah daerah baik di provinsi maupun kabupaten/kota.

Kendala yang dihadapi adalah masih kurangnya komitmen dan peran pemangku

kepentingan dalam mengimplementasikan pengelolaan DAS berdasarkan

peraturan-peraturan yang ada.

2.1.12 Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air (2013)


50

Penelitian yang berjudul “Kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

(Das) Terpadu” didasarkan pada perencanaan pengelolaan DAS lebih banyak

dengan pendekatan pada faktor fisik dan bersifat sektoral. Namun sejak sepuluh

tahun yang lalu telah dimulai dengan pendekatan holistik, yaitu dengan Rencana

Pengelolaan DAS Terpadu, antara lain dimulai di 12 DAS prioritas (Brantas, Solo,

Jratunseluna, Serayu, Citanduy, Cimanuk, Citarum, Ciliwung, Asahan,

Batanghari, Billa Walanae, dan Sadang). Namun urutan prioritas tersebut dikaji

ulang, dengan pertimbangan seperti : (1) urutan DAS prioritas perlu disesuaikan

dengan pertimbangan teknik yang lebih maju dan pertimbangan kebijakan yang

berkembang pada saat ini; (2) pengelolaan DAS juga memerlukan asas legalitas

yang kuat dan mengikat bagi instansi terkait dalam berkoordinasi dan

merencanakan kebijakan pengelolaan DAS; dan (3) perubahan arah

pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi.

Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan

konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya

hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya

degradasi DAS yang mengakibatkan buruk seperti yang dikemukakan di atas.

Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu,

diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan

berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit

pengelolaan. Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun

kekeringan, penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang

meliputi DAS mulai dari daerah hulu sampai hilir.

Tujuan dari kajian ini adalah untuk memberikan alternatif model kebijakan

pengelolaan DAS terpadu dalam bentuk kerangka kerja yang dapat


51

diimplementasikan dalam jangka waktu tertentu, baik yang bersifat umum untuk

seluruh DAS maupun yang bersifat khusus atas dasar kelompok kriteria

kekritisannya. Adapun sasaran kajian ini adalah untuk: (1) menganalisa DAS

yang dalam kondisi kritis agar dapat dijadikan model pengelolaannya secara

terpadu; (2) melakukan kaji ulang terhadap kebijakan pengelolaan DAS antara

lain dalam pengendalian bencana banjir dan kekeringan; dan (3) menyusun

kerangka kerja (frame work) untuk perumusan model kebijakan.

Adapun temuan dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu bentuk

pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit

pengelolaan, dengan daerah bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan

biofisik melalui daur hidrologi. Oleh karena itu perubahan penggunaan

lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam

bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan transport sedimen serta bahan-

bahan terlarut di dalamnya. Dengan demikian pengelolaan DAS

merupakan aktifitas yang berdimensi biofisik (seperti, pengendalian erosi,

pencegahan dan penanggulangan lahan-lahan kritis, dan pengelolaan

pertanian konservatif); berdimensi kelembagaan (seperti, insentif dan

peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi); dan

berdimensi sosial yang lebih diarahkan pada kondisi sosial budaya

setempat, sehingga dalam perencanaan model pengembangan DAS

terpadu harus mempertimbangkan aktifitas/teknologi pengelolaan DAS

sebagai satuan unit perencanaan pembangunan yang berkelanjutan.

2. Operasionalisasi konsep DAS terpadu sebagai satuan unit perencanaan

dalam pembangunan selama ini masih terbatas pada upaya rehabilitasi


52

dan konservasi tanah dan air, sedangkan organisasi masih bersifat

ad.hoc, dan kelembagaan yang utuh tentang pengelolaan DAS belum

terpola. Agar pengelolaan DAS dapat dilakukan secara optimal, maka

perlu dilibatkan seluruh pemangku kepentingan dan direncanakan secara

terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan

DAS sebagai suatu unit pengelolaan.

3. Berdasarkan hasil analisa data diatas, perencanaan DAS tidak dapat

dilakukan melalui pendekatan sektoral saja, melainkan perlu adanya

keterkaitan antar sektor yang mewakili masing-masing sub DAS, dari sub-

DAS hulu hingga ke hilir yang menjadi fokus perhatian dengan berpegang

pada prinsip ‘one river one management’. Keterkaitan antar sektor

meliputi perencanaan APBN, perencanaan sektor/program/proyek hingga

pada tingkat koordinasi semua instansi atau lembaga terkait dalam

pengelolaan DAS. Sungai sebagai bagian dari wilayah DAS merupakan

sumberdaya yang mengalir (flowing resources), dimana pemanfaatan di

daerah hulu akan mengurangi manfaat di hilirnya. Sebaliknya perbaikan

di daerah hulu manfaatnya akan diterima di hilirnya. Berdasarkan hal

tersebut diperlukan suatu perencanaan terpadu dalam pengelolaan DAS

dengan melibatkan semua sektor terkait, seluruh stakeholder dan daerah

yang ada dalam lingkup wilayah DAS dari hulu hingga ke hilir.

4. Pendekatan dalam perencanaan DAS dapat pula dilakukan melalui

pendekatan input- proses-output. Semua input di sub-DAS hulu akan

diproses pada sub-DAS tersebut menjadi output. Output dari sub-DAS

hulu menjadi input bagi sub-DAS tengah, dan melalui proses yang ada

menjadi output dari sub-DAS ini. Selanjutnya output ini menjadi input bagi
53

sub-DAS hilir. Proses yang ada pada sub-DAS hilir menghasilkan output

terakhir dari DAS. Pada masa ke depan nanti bukan hal yang tidak

mungkin jika output dari sub-DAS hilir menjadi input bagi sub-DAS di

hulunya. Hal ini dapat terwujud melalui mekanisme subsidi hilir-hulu

dengan penerapan ‘user pays principle’ maupun ‘polluter pays principle’.

2.1.13 Iwan Mulyawan (2014)

Penelitian yang berjudul “Perencanaan Pengelolaan Daerah Aliran

Sungai Di Kabupaten Kuningan” didasarkan pada Daerah Aliran Sungai (DAS)

merupakan ruang di mana sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air,

berada dan tersimpan serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan

sumberdaya alam tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai

wilayah, DAS juga dipandang sebagai ekosistem dari daur air, sehingga DAS

didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan

dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung,

menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke

laut secara alami. Batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut

sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan

[Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004].

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012, DAS adalah suatu

wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-

anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air

yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di

darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah

pengairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

Tujuan secara lebih rincinya diuraikan sebagai berikut :


54

a. memberikan batasan yang jelas tentang DAS pada wilayah administratif

Kabupaten Kuningan secara terkomputerisasi melaui analisis Sistem

Informasi Geografis;

b. menghasilkan gambaran karkterisi DAS menurut tingkat kerawanan banjir,

kekritisan lahan, kerentanan gerakan tanah, sehingga dapat menjadi

masukan untuk penyusunan Kebijakan Rencana Program (KRP) yang

membutuhkan lokasi sasaran kegiatan; dan

c. memberikan masukan terkait upaya- upaya perencanaan pengelolaan DAS

yang terpadu meliputi proses perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian

KRP.

Temuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Wilayah administratif Kabupaten Kuningan terbagi menjadi 14 DAS dengan

DAS Cisanggarung memiliki luasan paling besar mencakup 63,98% wilayah

kabupaten (76.398 hektar), sedangkan luasan DAS terkecil yang adalah DAS

Kenari yang hanya mencakup 0,02% dari luas wilayah kabupaten (sekitar 22

hektar);

b. Berdasarkan hasil analisis, persentasi tingkat kerawanan banjir tinggi DAS

terdapat pada DAS Kalijaga sebesar 24,85% dari luas DAS, DAS dengan

persentasi kekritisan lahan paling tinggi adalah DAS Cijolang (32,63%) dari

luas DAS yang bersangkutan, serta DAS dengan persentasi paling tinggi

kerentanan gerakan tanah adalah DAS Cijolang (42,3% dari luas DAS

Cijolang); dan

c. Perencanaan Pengelolaan DAS di Kuningan dilaksanakan melalui

optimalisasi hubungan timbal balik antar sumberdaya alam terutama vegetasi,

tanah dan air dengan sumberdaya manusia di DAS dan segala aktivitasnya
55

untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan

pembangunan dan kelestarian ekosistem.

2.1.14 Jupir (2013)

Penelitian ini membahas mengenai implementasi kebijakan yang

menganalisis tentang ketersediaan sumberdaya. Penelitian yang berjudul

Implementasi Kebijakan Parawisata berbasis Kearifan Lokal di Kabupaten

Manggarai Barat berlatar belakang bahwa Pergeseran episentrum kekuasaan

pasca reformasi tahun 1998 dari sentralistik ke desentralisasi memberi harapan

baru kepada setiap daerah untuk membangun daerah dengan segala potensi

yang dimiliki. Desentralisasi memberi legitimasi kepada setiap daerah untuk

memproduksi atau menghasilkan berbagai kebijakan yang sesuai dengan

kebutuhan daerah, termasuk di bidang pariwisata.

Jupri (2013) menyatakan bahwa hasil penelitian yang telah dilakukan

menunjukkan bahwa ketersediaan sumber daya pendukung implementasi belum

dialokasikan dengan jelas, komunikasi dan koordinasi belum berjalan optimal,

kondisi eksternal (sosial, ekonomi, dan politik) menghambat implementasi

kebijakan Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di Kabupaten Manggarai Barat

secara efektif dan optimal. Implikasinya adalah aktivitas pariwisata berbasis

kearifan lokal belum berkontribusi secara optimal bagi pemerintah, swasta dan

masyarakat dari sisi ekonomi.

Sedangkan penelitian yang membahas mengenai implementasi kebijakan

menganalisis tentang perbaikan struktur organisasi, pernah diteliti oleh

Agindawati (2019) yang menunjukkan bahwa implementor ke depan seharusnya

dapat mengambil peran lebih strategis, untuk memberikan solusi rekomendasi

bagi implementasi kebijakan yang lebih baik, sebagai pengawal pembangunan.


56

Keberhasilan implementasi kebijakan juga dapat ditentukan oleh tingkat

informasi yang diperoleh dari para aktor yang terlibat dan ditentukan oleh

banyaknya dukungan yang harus dimiliki agar kebijakan dapat dilaksanakan dan

pembagian dari potensi-potensi yang ada seperti diferensiasi wewenang dalam

struktur organisasi.

Namun, belum ditemukan penelitian yang membahas mengenai

implementasi kebijakan yang menganalisis tentang isu program implementor,

sehingga dalam penelitian ini, ingin mengetahui mengenai implementasi

kebijakan dengan lebih rinci.

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
Hasil penelitian ini
1 Redhi Fathan Affandi Disertasi ini
menunjukan bahwa
(2020) menggunakan
sumberdaya manusia
metode campuran.
Implementasi Kebijakan
belum mampu
Pengelolan Sumber Tujuan dari disertasi
mengelola adanya
Daya Air Daerah Aliran ini adalah untuk
sumberdaya alam di
Sungai Cikembulan menganalisis upaya
Daerah Aliran Sungai
Kabupaten peningkatan kondisi
Cikembulan sehingga
Pangandaran lingkungan di daerah
implementasi kebijakan
aliran sungai citarum.
tentang pengelolaan
sumberdaya alam (air) Perbedaannya
di Daerah Aliran Sungai terletak pada output
Cikembulan kurang dari kajian ini adalah
efektif. Selain factor pada model integrasi
sumberdaya manusia kebijakan program
yang belum dapat pengendalian
mengelola sumberdaya pencemaran dan
57

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
alam (air) dengan baik, kerusakan DAS
terdapat permasalahan Citarum
struktur birokrasi
sehingga fungsi dari
bitokrasi kurang
terlaksana dalam
mengelola sumberdaya
alam (air) Daerah Aliran
Sungan Cikembulan
Hasil penelitian ini
2 I Gusti Ketut Purnaya Disertasi ini
menunjukan bahwa
dan I Made Trisna menggunakan
kebijakan pemerintah
Semara (2018) metode campuran.
dalam penataan sungai
Implementasi Kebijakan Tujuan dari disertasi
telah berjalan dengan
Pemerintah Terhadap ini adalah untuk
baik, namun belum
Penataan Sungai menganalisis upaya
berjalan optimal
Badung Dalam Upaya peningkatan kondisi
dikarenakan pada
Pengembangan lingkungan di daerah
bagian pengendalian
Pariwisata Di Kota aliran sungai citarum.
pencemaran karena
Denpasar
focus kebijakan Perbedaannya
berdasarkan pada terletak pada output
pentaaan sungai, dari kajian ini adalah
sehingga timbul pada model integrasi
permasalahan adanya kebijakan program
kasus pencemaran pengendalian
sungai. Melalui temuan pencemaran dan
dalam penelitian ini, kerusakan DAS
maka diperlukan Citarum
kolaborasi dalam
pengelolaan Daerah
Aliran Sungai di Kota
58

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
Denpasar
Penelitian ini
3 Riski Mulyawan et al. Disertasi ini
dilatarbelakangi
(2022) menggunakan
penurunan kondisi
metode campuran.
Kajian Peran
Daerah Aliran Sungai
Stakeholder Pada Tujuan dari disertasi
Krueng dimana
Implementasi Kebijakan ini adalah untuk
ditemukan beberapa
Pengelolaan DAS menganalisis upaya
hasil bahwa terjadi
Terpadu, Studi Kasus peningkatan kondisi
perubahan Daerah
DAS Krueng Aceh lingkungan di daerah
Aliran Sungai Akibat
aliran sungai citarum.
alih fungsi lahan sekitar
sungai. Implementasi Perbedaannya
kebijakan pengelolaan terletak pada output
Daerah Aliran Sungai dari kajian ini adalah
dalam peraturan pada model integrasi
pemerintah dan Qanun kebijakan program
(peraturan daerah local) pengendalian
belum berjalan optimal pencemaran dan
dikarenakan kurangnya kerusakan DAS
pemahaman tupoksi Citarum
stakeholder kunci
dalam mengelola
daerah Aliran Sungai
Krueng Aceh
Hasil penelitian ini
4 Feny Irfan Muhammad Disertasi ini
menunjuukan bahwa
dan Yahya M Abdul menggunakan
terdapat permasalahan
Aziz (2020) metode campuran.
ekonomi, social, dan
Implementasi Kebijakan Tujuan dari disertasi
structural akibat adanya
Dalam Mitigasi ini adalah untuk
banjir di Sungai
Bencana Banjir Di Desa menganalisis upaya
Dayeuhkolot sehingga
peningkatan kondisi
59

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
Dayeuhkolot terjadinya penurunan lingkungan di daerah
fungsi Sungai aliran sungai citarum.
Dayeuhkolot. Kebijakan
Perbedaannya
penanggulangan
terletak pada output
fenomena Sungai
dari kajian ini adalah
dayeuhkolot tersebut
pada model integrasi
diantisapis melalui
kebijakan program
Peraturan Daerah
pengendalian
Kabupaten Bandung
pencemaran dan
Nomor 02 Tahun 2013,
kerusakan DAS
dimana kebijakan
Citarum
tersebut belum
terlaksana secara
optimal dikarenakan
kurangnya kolaborasi
dan komunikasi dari
public dan stakeholder
sebagai upaya
mencegah banjir di
sepanjang Sungai
Dayeuhkolot.
Hasil penelitian ini
5 Harmiati et al. (2018) Disertasi ini
menunjukan bahwa
menggunakan
Implementasi Good
pengelolaan Daerah
metode campuran.
Enviromental
ALiran Sungai terpadu
Governance dalam Tujuan dari disertasi
merupakan
Pengelolaan Daerah ini adalah untuk
pelaksanaan yang
Aliran Sungai (Das) menganalisis upaya
sifatnya partisipatif
Bengkulu peningkatan kondisi
antara stakeholder
lingkungan di daerah
dalam pemerintahan
aliran sungai citarum.
dan masyarakat.
60

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
Perbedaannya
terletak pada output
dari kajian ini adalah
pada model integrasi
kebijakan program
pengendalian
pencemaran dan
kerusakan DAS
Citarum

Hasil penelitian ini


6 Riski Hidayatulloh et al. Disertasi ini
menunjukan kebijakan
(2018) menggunakan
penanggulangan
metode campuran.
Peran Badan
bencana di Daerah
Penanggulangan Tujuan dari disertasi
Aliran Sungai
Bencana Daerah ini adalah untuk
Kabupaten Jember
Kabupaten Jember menganalisis upaya
dilaksanakan dengan
dalam Pembentukan peningkatan kondisi
melakukan pemetaan
Rencana Kontijensi lingkungan di daerah
sumber bencana dan
Daerah Aliran Sungai aliran sungai citarum.
pembentukan dokumen
(DAS) Tanggul
rencana secara Perbedaannya
kontinjensi terletak pada output
dari kajian ini adalah
pada model integrasi
kebijakan program
pengendalian
pencemaran dan
kerusakan DAS
Citarum

Hasil penelitian ini


7 Yusi Lastiartoro dan S Disertasi ini
menjelaskan bahwa
Andy Cahyono (2016) menggunakan
pengelolaan
61

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
Analisis Peran Para sumberdaya Daerah metode campuran.
Pihak Dalam Aliran Sungai
Tujuan dari disertasi
Pengelolaan Daerah membutuhkan
ini adalah untuk
Aliran Sungai kolabroasi institusional
menganalisis upaya
Bengawan Solo Hulu dalam pemerintahan,
peningkatan kondisi
sehingga dapat
lingkungan di daerah
menjelaskan rantai
aliran sungai citarum.
komando dalam
Perbedaannya
pelaksanaan kebijakan
terletak pada output
pengelolaan
dari kajian ini adalah
sumberdaya Daerah
pada model integrasi
ALiran Sungai
kebijakan program
Bengawan Solo Hulu
pengendalian
pencemaran dan
kerusakan DAS
Citarum

Hasil penelitian ini


8 Yoan dan Lilin (2015) Disertasi ini
menjelaskan bahwa
menggunakan
Evaluasi Rehabilitasi
kebijakan Rehabilitasi
metode campuran.
Hutan dan Lahan (RHL)
Hutan dan Lahan
di Daerah Aliran Sungai Tujuan dari disertasi
Daerah Aliran Sungai
(DAS) Juwana pada ini adalah untuk
Juwana telah berhasil
Kawasan Gunung menganalisis upaya
dengan melaksanakan
Muria Kabupaten Pati peningkatan kondisi
pemetaan pengelolaan
lingkungan di daerah
dan perlibatan
aliran sungai citarum.
masyarakat telah
terlaksana berdasarkan Perbedaannya
kebijakan yang berlaku. terletak pada output
Namun terjadi dari kajian ini adalah
permasalahan dimana pada model integrasi
62

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
lemahnaya keterlibatan kebijakan program
kendali pemerintahan pengendalian
pencemaran dan
kerusakan DAS
Citarum

Hasil penelitian ini


9 Karouw, Daud, dan Disertasi ini
menunjukan bahwa
Grace menggunakan
pengelolaan dan
metode campuran.
Implementasi Kebijakan
pelaksanaan kebijakan
Pengelolaan Daerah Tujuan dari disertasi
peraturan pengelolaan
Aliran Sungai Tondano ini adalah untuk
Daerah Aliran Sungai
Di Provinsi Sulawesi menganalisis upaya
Tondano terlaksana
Utara peningkatan kondisi
dengan daik dengan
lingkungan di daerah
didukung elemen
aliran sungai citarum.
organisasi dan
konstitusional yang Perbedaannya
kuat; stakeholder atau terletak pada output
sumberdaya manusia dari kajian ini adalah
yang mengetahui pada model integrasi
tupoksi dengan baik; kebijakan program
dan implementasi pengendalian
kebijakan yang berjalan pencemaran dan
dengan baik melalui kerusakan DAS
program kerja dan Citarum
kegiatan yang
terencana
Hasil penelitian ini
10 Direktorat Kehutanan Disertasi ini
menjelaskan kajian
dan Konservasi menggunakan
ilmiah tentang model
Sumberdaya Air (2013) metode campuran.
alternatif dalam
Kajian Model Tujuan dari disertasi
kebijakan pengelolaan
63

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
Pengelolaan Daerah Daerah Aliran Sungai ini adalah untuk
Aliran Sungai (Das) terpadu sebagai bentuk menganalisis upaya
Terpadu pengembangan wilayah peningkatan kondisi
aliran sungai lingkungan di daerah
berkelanjutan, wilayah aliran sungai citarum.
rehabilitasi dan
Perbedaannya
konservasi sumberdaya
terletak pada output
alam, pembentukan
dari kajian ini adalah
elemen kelembagaan
pada model integrasi
yang relevan, dan
kebijakan program
pendekatan dalam
pengendalian
perencanaan serta
pencemaran dan
penyusunan program
kerusakan DAS
Daerah Aliran Sungai
Citarum

Hasil penelitian ini


11 Iwan Mulyana (2014) Disertasi ini
menjelaskan bahwa
menggunakan
Perencanaan
pemetaan wilayah
metode campuran.
Pengelolaan Daerah
Daerah Aliran Sungai
Aliran Sungai Di Tujuan dari disertasi
dapat dipetakan secara
Kabupaten Kuningan ini adalah untuk
administratif dan
menganalisis upaya
geografis untuk
peningkatan kondisi
keperluan pemetaan
lingkungan di daerah
wilayah pengelolaan
aliran sungai citarum.
dan mitigasi bencana
Perbedaannya
terletak pada output
dari kajian ini adalah
pada model integrasi
kebijakan program
pengendalian
pencemaran dan
64

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
kerusakan DAS
Citarum

Fokus pada kajian ini


12 Raharja, S.J. (2015) Disertasi ini
adalah sinergi pada
menggunakan
Synergy in the
tataran organisasi
metode campuran.
Watershed
dalam manajemen
Management: Case Tujuan dari disertasi
pengelolaan Daerah
Study on Citarum ini adalah untuk
Aliran Sungai Citarum
Watershed – Indonesia. menganalisis upaya
dengan menggunakan
International Journal of peningkatan kondisi
metode kualitatif. Hasil
Humanities and Social lingkungan di daerah
yang didapatkan adalah
Science Invention, Vol. aliran sungai citarum.
pengelolaan Daerah
4, Issue. 3, Maret : 19-
Aliran Sungai Citarum Perbedaannya
23
belum maksimal dan terletak pada output
efektif karena beberapa dari kajian ini adalah
hal: (1) Tidak ada pada model integrasi
Master Plan acuan kebijakan program
Pengelolaan. (2) pengendalian
Masalah Area pencemaran dan
Pengelolaan. (3) Tidak kerusakan DAS
ada integrasi antara Visi Citarum
dan Misi. (4) Konflik
Kepentingan.

13 Juniarti (2020) Disertasi ini


Hasil penelitian yang
menggunakan
Upaya Peningkatan
telah dilakukan
metode campuran.
Kondisi Lingkungan Di
menunjukkan adanya
Daerah Aliran Sungai Tujuan dari disertasi
peningkatan kesadaran
Citarum. Kumawula: ini adalah untuk
masyarakat tentang
Jurnal Pengabdian menganalisis upaya
lahan kritis, konservasi
Kepada Masyarakat, peningkatan kondisi
air, pengelolaan
65

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
3(2), 256-271. sampah, sanitasi lingkungan di daerah
lingkungan dan mitigasi aliran sungai citarum.
bencana.
Perbedaannya
terletak pada output
dari kajian ini adalah
pada model integrasi
kebijakan program
pengendalian
pencemaran dan
kerusakan DAS
Citarum

Hasil penelitian yang


14 Jupri (2013) Disertasi ini
telah dilakukan
menggunakan
menunjukkan bahwa
metode campuran.
ketersediaan sumber
Tujuan dari disertasi
daya pendukung
ini adalah untuk
implementasi belum
menganalisis upaya
dialokasikan dengan
peningkatan kondisi
jelas, komunikasi dan
lingkungan di daerah
koordinasi belum
aliran sungai citarum.
berjalan optimal, kondisi
eksternal (sosial, Perbedaannya
ekonomi, dan politik) terletak pada output
menghambat dari kajian ini adalah
implementasi kebijakan pada model integrasi
Pariwisata Berbasis kebijakan program
Kearifan Lokal di pengendalian
Kabupaten Manggarai pencemaran dan
Barat secara efektif dan kerusakan DAS
optimal. Implikasinya Citarum
adalah aktivitas
66

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
pariwisata berbasis
kearifan lokal belum
berkontribusi secara
optimal bagi
pemerintah, swasta dan
masyarakat dari sisi
ekonomi.

Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2022

2.2. Administrasi Publik dan Kebijakan Publik

Meskipun mungkin untuk memahami studi kebijakan sebagai studi

akademis yang terpisah, sangat penting untuk mencoba mencapai

ketidakterikatan untuk memiliki pandangan yang jelas tentang apa yang sedang

terjadi dan juga untuk mencapai alasan utama dan makna yang lebih dalam serta

pemahaman tentang kebijakan. subjek yang terikat untuk menjadi perhatian

tentang proses kebijakan dan dampaknya dalam mempromosikan penyampaian

layanan yang efektif dan efisien. Benang merah kebijakan, bagaimanapun, dapat

dilihat untuk memasukkan beberapa kepentingan penting dalam isi kegiatan

pemerintah, hasil dan asumsi bahwa pemerintah dalam tingkat tertentu bersifat

instrumental dan bertujuan.

Sebagian besar kegiatan atau program pemerintah dibiayai oleh pajak yang

dibayarkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa pembayar

pajak (masyarakat) mengharapkan lembaga pemerintah untuk bertindak dengan

sangat hati-hati ketika program dan kebijakan baru sedang digulirkan. Sebagian
67

besar masyarakat memiliki kekuatan itu untuk memobilisasi penolakan terhadap

kebijakan atau rencana yang ingin diajukan pemerintah jika tidak dikonsultasikan

dengan baik atau jika mereka (publik) merasa bahwa kebijakan yang disarankan

tidak akan bermanfaat bagi seluruh penduduk. Hal ini membuat sangat penting

bagi pejabat publik untuk peka terhadap isu-isu analisis kebijakan, karena akan

membantu mereka dalam memberikan masukan yang bermakna dan terstruktur

ketika mempertimbangkan pilihan kebijakan.

Jumlah penulis setuju bahwa selalu penting bahwa kebijakan harus fleksibel dan

tidak statis. Itu harus selalu berhubungan dengan isu-isu terkini di masyarakat.

Itu harus terus disesuaikan agar sesuai dengan dampak variabel lingkungan dan

faktor yang mempengaruhi. Tempat kebijakan dalam administrasi publik sangat

penting dalam arti bahwa ia menguraikan pentingnya karakteristik generik publk

2.2.1 Tempat Kebijakan Dalam Administrasi Publik

Kebijakan publik dibuat oleh legislator dan merupakan keluaran dari proses

politik. Lembaga publik bertanggung jawab atas implementasi kebijakan, dengan

maksud untuk sampai pada situasi yang divisualisasikan oleh pembuat undang-

undang. Oleh karena itu, kebijakan yang diputuskan oleh pembuat undang-

undang merupakan masukan bagi proses administrasi publik yang menyeluruh

(Hanekom, 1987:9). Analisis proses administrasi publik mengungkapkan bahwa

itu terdiri dari teori administrasi publik dan kegiatan atau fungsi administrasi

umum. Harus ditekankan bahwa pembuatan kebijakan tidak tunduk pada salah

satu fungsi. Sebaliknya, kebijakan dan pembuatan kebijakan adalah yang

pertama di antara kelompok yang setara. Kebijakan sebenarnya adalah

penghubung antara proses politik dan administrasi dan merupakan fungsi yang

memungkinkan dari proses administrasi, tanpa kebijakan mengenai situasi


68

tertentu, tidak ada yang akan atau dapat dilakukan. Karena terkait dengan

proses politik dan administrasi, jelas bahwa berbagai jenis kebijakan publik dapat

dibedakan.

2.2.2. Pengertian Administrasi Publik

Administrasi publik adalah sub-divisi dari konsep administrasi yang lebih

luas. Administrasi berarti ‘untuk melayani’, ‘untuk menjaga orang’, atau ‘untuk

mengelola urusan’. Dalam pengertian ini, administrasi berarti manajemen urusan

organisasi. Ketika kita menambahkan publik ke administrasi, itu berarti

administrasi pemerintahan; itu adalah pengelolaan urusan dan kegiatan

pemerintah. Dimock dan Dimock mendefinisikan administrasi publik sebagai

'pencapaian tujuan yang ditentukan secara politis'. Namun, menurut mereka:

Lebih daripada teknik atau bahkan pelaksanaan program yang tertib,

administrasi publik juga berkaitan dengan kebijakan ... Administrasi publik ...

harus cukup praktis untuk menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan

masyarakat, tetapi juga harus eksploratif dan inovatif dalam pencariannya untuk

metode yang lebih baik berdasarkan pemahaman yang lebih luas tentang apa

yang terlibat dalam kegiatan kelompok yang efektif. (Dimock dan Dimock, 1969)

Woodrow Wilson, mendefinisikan administrasi publik sebagai ‘pelaksanaan

hukum publik yang terperinci dan sistematis. Setiap penerapan hukum umum

tertentu merupakan tindakan administrasi '(Wilson 1953: 65-75). Dengan

administrasi publik yang dimaksud, dalam penggunaan umum, adalah kegiatan

cabang eksekutif pemerintah nasional, negara bagian, dan lokal (Simon,

Smithburg, dan Thompson 1950: 7). Menurut L.D. Putih 'sistem administrasi

publik adalah gabungan dari semua hukum, peraturan, praktik, hubungan, kode,

dan bea cukai yang berlaku kapan saja di yurisdiksi mana pun untuk pemenuhan
69

atau pelaksanaan kebijakan publik' (White 1955:2).

Administrasi publik adalah pengambilan keputusan, merencanakan

pekerjaan yang harus dilakukan, merumuskan tujuan dan sasaran, bekerja

dengan badan legislatif dan organisasi warga untuk mendapatkan dukungan

publik dan dana untuk program pemerintah. Bagi Corson dan Harris, "ini adalah

bagian tindakan pemerintah, sarana yang dengannya tujuan dan sasaran

pemerintah direalisasikan" (Corson dan Harris 1967: i). Administrasi publik

menurut Pfiffner dan Presthus (1953: 3) terutama berkaitan dengan sarana untuk

mengimplementasikan nilai-nilai politik ... mereka mendefinisikan administrasi

publik sebagai ‘koordinasi upaya individu dan kelompok untuk melaksanakan

kebijakan publik. Ini terutama sibuk dengan pekerjaan rutin pemerintah.

Felix A. Nigro berpendapat bahwa tidak mungkin ada definisi administrasi

publik yang kental. Namun demikian, dapat disajikan dalam bentuk ringkasan

singkat yang akan membentuk definisi tersebut. Menurutnya, administrasi publik:

1. adalah upaya kelompok koperasi dalam suasana publik;

2. mencakup ketiga cabang - eksekutif, legislatif, dan yudisial dan

keterkaitan mereka;

3. memiliki peran penting dalam perumusan kebijakan publik dan dengan

demikian menjadi bagian dari proses politik;

4. berbeda secara signifikan dari administrasi swasta; dan

5. terkait erat dengan berbagai kelompok dan membagi dalam

memberikan layanan kepada masyarakat. (Nigro 1965, 1971: 21)

Terlepas dari meluasnya administrasi publik dalam kehidupan kita sehari-

hari, hampir tidak ada definisi yang disepakati bersama tentang hal itu. Faktanya,

disiplin masih mencari definisi yang menyenangkan. Sebagai contoh, bahkan


70

dalam pertemuan terakhir di Minnowbrook (2008) atau yang dikenal sebagai

Konferensi Minnowbrook Ketiga, upaya telah dilakukan oleh para sarjana untuk

mendefinisikan administrasi publik dalam konteks abad kedua puluh satu.

Definisi yang muncul dari Minnowbrook Conference III (2008), menjamin

perhatian khusus di sini, karena mencerminkan sifat yang berkembang dari

disiplin terutama unsur-unsur, yang telah lama dihindari oleh para sarjana dalam

disiplin.

Administrasi publik didefinisikan sebagai 'proses yang melekat secara

sosial dari hubungan kolektif, dialog, dan tindakan untuk mempromosikan

pertumbuhan manusia untuk semua'. Tersirat dalam definisi adalah pengakuan

tatanan global dan multikultural yang muncul, di mana administrasi publik

seharusnya bekerja.

Atas dasar definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa administrasi publik adalah

instrumen untuk menerjemahkan keputusan politik menjadi kenyataan, itu adalah

bagian dari tindakan pemerintah, sarana yang dengannya maksud dan tujuan

pemerintah diwujudkan.

Proses administrasi publik terdiri dari tindakan yang terlibat dalam

mempengaruhi maksud atau keinginan pemerintah. Dengan demikian, ini

merupakan bagian 'bisnis' pemerintah yang terus aktif, yang berkaitan dengan

pelaksanaan hukum, sebagaimana dibuat oleh badan legislatif dan ditafsirkan

oleh pengadilan, melalui proses organisasi dan manajemen.

2.2.3. Perspektif Administrasi Publik

Pemahaman tentang ilmu administrasi publik kian berkembang seiring dengan

perkembangan zaman. Munculnya berbagai teori tentang ilmu administrasi

adalah sebuah pertanda nyata bahwa ilmu administrasi akan terus berkembang
71

dan mengalami dinamikanya. Hal ini pulalah yang membuat ilmu administrasi

menjadi perhatian penting untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik.

Ilmu administrasi publik mengalami perkembangan perspektif secara dinamis

sebagi berikut : Old Public Administration (OPA), New Publlic Administration

(NPA), New Public Management (NPM), New Public Services (NPS), Public

Governance (PG)

a. Old Public Administration

Pada awalnya “Publik” dalam Old Public Administration memiliki asosiasi

pada government, locusnya cenderung merujuk pada lembaga pemerintahan.

Diawali dari timbulnya perspektif dikotomi administrasi dan politik, tahun 1900

hingga tahun 1926. Dalam perspektif tersebut terjadi pemisahan antara politik

dengan administrasi. Tokoh–tokoh yang berpengaruh perspektif dikotomi

administrasi dan politik pada waktu itu adalah Frank J. Goodnow, Leonard D.

White. Mereka mengungkapkan bahwa politik harus memusatkan perhatiannya

pada kebijakan atau ekspresi dari kehendak rakyat, sedangkan administrasi.

Perspektif yang pertama memberikan afirmasi bahwa fokus administrasi

negara yaitu birokrasi pemerintahan. Sistem keadministrasian secara

keseluruhan adalah bagian dari tugas negara. Dalam perspektif pertama ini pula

kita menemukan kegiatan politik tidak bisa disamakan dengan administrasi.

b. New Public Administration

Pada periode ini, prinsip administrasi mempunyai prinsip bahwa

administrasi publik dapat diterapkan di mana saja walaupun memiliki perbedaan

budaya, visi, lingkungan dll. Tokoh yang memiliki kontribusi dalam perspektif ini

adalah Willoughby, Urwick & Gulick. Prinsip administrasi yang terkenal

dikemukakan oleh Urwick dan Gulwick yaitu teori POSDCORB (Planning,


72

Organizing, Staffing, Directing, reporting, Budgeting). Urwick dan Gulwick

beranggapan bahwa prinsip sangat penting bagi administrasi sebagai suatu ilmu.

Pada perspektif ini, focus memegang peranan penting daripada locus (Pasolong,

2010, 28). POSDCORB kemudian direvisi dengan PAFHRIER (Policy, Analysis,

Financial, Human Resources, Information and External Relation) yang

dikemukakan oleh G.D. Garson dan E.S. Overman (T. Keban, 2008:35).

Prinsip administrasi sebagai fokus dipandang dapat berlaku secara

universal pada setiap bentuk organisasi dan setiap lingkungan sosial budaya

(Pasolong, 2010, 28-29). Interpretasi yang didapat dari perspektif kedua yaitu

sebuah prinsip administrasi dipakai secara umum tanpa memandang latar

belakang suatu daerah atau negara dimanapun. Dalam teori ini segala sesuatu

yang telah dibentuk dengan berbagai kriteria dipandang bisa dipakai dimana saja.

Hal ini terus berkembang dan mempunyai banyak kelemahan, mengingat faktor

suatu daerah dengan orang yang ada didalamnya sangat mempengaruhi adanya

suatu kebijakan.

c. New Public Management

Pada perspektif ini administrasi publik (negara) telah berkembang menjadi

ilmu administrasi. Ditandai dengan ketidaksenangan bahwa ilmu administrasi

dianggap sebagai ilmu kelas dua setelah ilmu politik (T. Keban, 2008:32). Pada

fase ini, fokus lebih mendapat perhatian, tetapi locus tidak sama sekali. Usaha

pengembangan ilmu administrasi dipengaruhi oleh fakultas administrasi

perusahaan (School of Business administration).

Perspektif ini kemudian ditunjang dengan keberadaan jurnal Administrative

Science Quarterly[1] sebagai sarana untuk menyuarakan pendapat tentang

konsepsi yang berkembang di perspektif ini (Pasolong, 2010 : 30). Dengan


73

adanya pandangan bahwa ilmu administrasi negara merupakan ilmu yang

berada di bawah ilmu politik membuat perkembangan ilmu administarsi semakin

terdesak. Desakan atas ketidaksetujuan para ahli ilmu administrasi berusaha

menemukan identitasnya, dengan harapan ilmu administrasi bisa berdiri sendiri

dan bukan ilmu kelas dua dari ilmu politik seperti yang telah diungkapkan

sebelumnya.

d. New Public Services

Administrasi publik mulai merambah pada teori organisasi, ilmu kebijakan

(policy science) dan ekonomi politik. Pada periode ini, public affairmulai

bermunculan (Pasolong, 2010 : 30). Fokus dari administrasi pada perspektif ini

adalah teori organisasi, sedangkan lokusnya masalah kepentingan publik (T.

Keban, 2008:33). Pada perspektif ini dapat diinterpretasikan bahwa publicness

dalam administrasi publik mulai diperhatikan. Dalam perspektif ini ilmu,

administrasi publik (negara) mula menemukan jati dirinya. Adanya teori bahwa

administrasi negara merupakan ilmu kebijakan menjadikan ilmu administrasi

publik (negara) menjadi lebih dinamis. Administrasi negara tidak lagi hanya

berbicara tatanan birokrasi, tetapi lebih kepada pelayanan publik melalui

kebijakan. Serta mulai melibatkan teori ekonomi untuk mewujudkan kebijakan

publik (policy science).

e. Public Governance

Menurut Dwiyanto ada tiga ciri administrasi publik sebagai public

governance:

1.Kelembagaan: multi stakeholder (melibatkan negara, swasta, dan

masyarakat).
74

2.Penggunaan kekuasaan: demokratis (sebagai konsekuensi adanya multi

stakeholder).

3.Proses: dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan.

Dalam mewujudkan administrasi publik sebagai public governace salah

satu yang harus diperhatikan adalah kelembagaan. Kelembagaan melibatkan

tiga aktor yakni, negara, swasta dan masyarakat. Kerjasama antar lembaga ini

bisa menjadi kekuatan untuk mengambil formulasi kebijakan. Saling keterkaitan

antara ketiga sektor ini diindikasikan dengan pembagian peran. Peran swasta

dalam hal ini sangat penting, mengingat negara tidak bisa seluruhnya

melaksanakan suatu kebijakan. Hal-hal tertentu bisa diserahkan pemerintah

kepada swasta, dalam hal ini swasta yang dimaksud adalah LSM, Perusahaan,

dll. Keberadaan masyarakat juga menjadi penting untuk menggolkan kebijakan

tersebut.

Dari dinamika perspektif administrasi yang telah dipaparkan, dapat ditarik

dinyatakan bahwa perkembangan perspektif akan terus berlanjut karena

kebutuhan dan aspek yang semakin kompleks. Penyempurnaan perspektif akan

selalu dilakukan agar lebih representatif dan relevan terhadap perkembangan

zaman. Setiap kegagalan dalam implementasi konsep perspektif akan

ditindaklanjuti dengan evaluasi dan kritik untuk memperbaiki perspektif. Selain itu,

perspektif juga disesuaikan dengan ekologi masyarakat untuk dapat mewujudkan

administrasi publik yang ideal dalam memberikan kontribusi pelayanan pada

publik. Cakupan administrasi publik yang begitu luas, yang di dalamnya termasuk

kebijakan publik. Oleh karena itu kebijakan publik dapat mengadopsi perspektif

administrasi publik dan memanfaatkan perannya dalam kebijakan publik.

2.3. Kebijakan Publik


75

Kebijakan merupakan suatu rangkaian konsep dan asas menjadi suatu

garis pelaksanaan dalam suatu pekerjaan, kepemimpinan ataupun cara

bertindak. Kebijakan harus selalu ada dalam kehidupan bernegara. Kebijakan ini

sangat berpengaruh terhadap kehidupan warga negara, jika dalam suatu negara

tidak memiliki kebijakan, maka peraturan yang ada dalam negara pun tidak dapat

berjalan secara teratur. Kebijakan juga merujuk pada proses pembuatan

keputusan-keputusan yang penting pada suatu organisasi. Kebijakan juga dapat

sebagai mekanisme politis, finansial ataupun dalam bentuk apapun. Dalam suatu

kebijakan harus selalu dipikirkan matang-matang dalam memiliki suatu

keputusan. Jadi Pengertian Kebijakan merupakan suatu seperangkat keputusan

yang diambil oleh para politik dalam rangka untuk memilih tujuan dan juga cara

untuk mencapainya.

Dalam suatu pemerintahan kebijakan merupakan suatu hal yang penting,

hal ini karena kebijakan dapat memberikan dampak yang baik bagi kehidupan

warga negara Indonesia. Oleh karena itu dalam suatu pemerintahan kebijakan

harus mampu berjalan dengan baik. Jika kebijakan pemerintah dapat berjalan

sesuai dengan harapan, maka kehidupan masyarakat pun pasti akan terjamin.

Dalam berbagai sistem politik, kebijakan publik diimplementasikan oleh badan-

badan pemerintah. Badan-badan tersebut melaksanakan tugas yang telah

diberikan oleh pemerintah sesuai yang telah ditugaskan, pelaksanaan tugas

yang telah diberikan pun harus mampu dilakukan dengan baik dan juga benar

agar hal tersebut tidak merugikan pemerintahan.

Untuk sampai pada suatu kebijakan, serangkaian keputusan harus

diambil, untuk mengimplementasikan suatu kebijakan, serangkaian keputusan

selanjutnya harus diambil, dan untuk analisis kebijakan diperlukan serangkaian


76

keputusan lainnya. Botes et al, (1992:311) menyebutkan bahwa ada beberapa

tingkatan kebijakan yang meliputi kebijakan partai politik, kebijakan pemerintah

atau kabinet, kebijakan departemen dan kebijakan administratif. Ia lebih lanjut

menyebutkan ciri-ciri kebijakan publik sebagai otoritatif, dapat ditegakkan,

fleksibel dan adaptif, layak, jelas dan kepentingan publik. Mbigi (1997:21)

menyebutkan bahwa ada lima fase yang dapat diidentifikasi dalam proses

pembuatan kebijakan publik yang dapat diidentifikasi sebagai formulasi, otorisasi,

artikulasi, pelaksanaan dan umpan balik.

2.3.1 Pengorganisasian

Ronsenbloom (1993:138) organisasi adalah suatu bentuk koordinasi

aktivitas manusia yang dibangun dan direkonstruksi untuk mencari tujuan

tertentu. Mokgoro (1997: 66) pengorganisasian terdiri dari mengklasifikasikan

dan mengelompokkan fungsi-fungsi serta mengalokasikan kelompok-kelompok

fungsi tersebut kepada lembaga dan pekerja dalam suatu pola yang teratur

sehingga segala sesuatu yang dilakukan pekerja diarahkan untuk mencapai

tujuan yang telah ditetapkan. Departemen negara bagian dibentuk untuk

mengimplementasikan ketentuan khusus dalam legislasi dan untuk

melaksanakan arahan dari pejabat politik. Susunan organisasi akan diubah

sejauh para pengurus politik eksekutif yang bertanggung jawab atas lembaga

eksekutif tertentu dapat meyakinkan legislator bahwa perubahan harus dilakukan

dan jika perlu, dana harus disediakan untuk tujuan ini. Di sektor publik akun

harus diberikan di depan umum atas segala sesuatu yang dilakukan atau

dibiarkan dibatalkan. Konsekuensinya, organisasi setiap lembaga publik harus

tertulis.Diagram menunjukkan dasar fungsional serta tingkat otoritas dalam

struktur organisasi departemen tenaga kerja. Harus selalu diingat bahwa


77

kegiatan yang terlibat dalam organisasi harus dilakukan secara sistematis. Garis

otoritas langsung akan dari atas ke bawah, penyelia akan menjadi spesialis

fungsional, dan masing-masing akan menjalankan otoritas dan perintah hanya

atas fungsi khusus yang ditugaskan kepadanya. Oleh karena itu para asisten ahli

akan melakukan pekerjaan penelitian dan bertindak sebagai penasehat pejabat-

pejabat tingkat atas (Mbigi, 1997:22

2.3.2 Pembiayaan

Pengaturan organisasi untuk pembiayaan di sektor publik memiliki implikasi

politik dan administrasi yang berbeda. Pengaturan keuangan harus bersifat

restriktif untuk mencegah para pejabat eksekutif politik menyalahgunakan dana

publik. Pengaturan organisasi harus fleksibel dan adaptif sehingga dapat

digunakan sebagai alat bantu administratif yang konstruktif untuk mendorong

administrasi publik yang efektif dan efisien, ini berarti harus ada keseimbangan

antara pengaturan restriktif dan stimulatif (Fourie, 2005: 679).

2.3.3 Kontrol

Anderson (1984:136) menyebut kebijakan publik sebagai promosi cuaca,

regulasi, larangan, dan redistributif atau apapun yang mengandung unsur kontrol.

Mereka dirancang untuk membuat orang melakukan sesuatu atau terus

melakukan sesuatu atau menahan diri dari melakukan sesuatu. Salah satu

komponen penting dari kebijakan publik adalah kontrol teknik yang akan

diterapkan. Departemen pembangunan sosial memperkenalkan kebijakan hibah

bantuan sosial untuk memerangi kemiskinan yang meningkat dan untuk

membantu orang-orang yang tidak mampu mengurus diri mereka sendiri

terutama anak-anak, orang tua dan orang cacat. Departemen juga

memperkenalkan teknik atau mekanisme kontrol untuk mewujudkan kepatuhan


78

atau beberapa langkah untuk meluncurkan distribusi hibah sosial selancar

mungkin dan efektif. Anderson (1994:138) mendefinisikan inspeksi sebagai

pemeriksaan terhadap suatu hal untuk menentukan apakah hal tersebut sesuai

dengan standar yang ditetapkan secara resmi. Dalam hal ini departemen

pembangunan sosial telah memperkenalkan Badan Jaminan Sosial Afrika

Selatan untuk memastikan bahwa implementasi kebijakan hibah sosial dilakukan

secara adil tanpa korupsi dan kecurangan.

2.3.4 Kepegawaian

Mokgoro (1997:23) mendefinisikan sebagai operasi penyediaan tenaga

kerja dan pengaturan mereka untuk bekerja. Di lembaga publik, kepegawaian

merupakan bidang pekerjaan yang luas dan melibatkan banyak kegiatan terpisah.

Fungsi kepegawaian juga dikenal sebagai fungsi personalia, administrasi

personalia, dan pekerjaan personalia. Botes et al, (1992:323) mendefinisikan

administrasi kepegawaian sebagai setiap kegiatan publik yang mencakup

kegiatan-kegiatan yang secara fungsional terspesialisasi, terkait dengan

perekrutan, seleksi, penempatan, pelatihan, promosi, pembayaran, pendisiplinan,

pensiun dan pemberhentian pegawai. Dia lebih lanjut menyebutkan bahwa tidak

ada lembaga publik yang dapat berfungsi tanpa penunjukan personel yang

sesuai. Tujuan di balik kebijakan personel yang tepat adalah untuk merekrut dan

mempertahankan personel yang sesuai. Otoritas kepegawaian pusat biasanya

terdiri dari para ahli khusus di bidang administrasi kepegawaian yang diangkat

oleh kepala negara atas saran Kabinet. Itu UU Pelayanan Publik, 1994(UU 103

Tahun 1994) saat ini diterapkan dalam administrasi pelayanan publik dan

dianggap sebagai kebijakan personalia tetap.

2.3.5 Prosedur
79

Untuk memastikan bahwa setiap orang dalam unit organisasi tertentu

bekerja sama dalam mencapai tujuan kebijakan dan tidak membuang waktu

dalam prosesnya, penting untuk menetapkan prosedur kerja khusus untuk setiap

tugas. Administrasi publik terdiri dari kegiatan tetap yang merupakan karakteristik

dari negara beradab. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa manusia harus

berusaha untuk mengembangkan prosedur kerja yang tepat untuk menjalankan

fungsi legislatif, pemerintahan dan administrasi. Oleh karena itu, perlu untuk

menetapkan secara tertulis prosedur-prosedur khusus mengenai tindakan-

tindakan yang salah yang dilakukan oleh pejabat-pejabat publik. Perlu dijelaskan

bahwa ada jenis-jenis prosedur kerja di sektor publik (Cloete, 1993:192).

Prosedur penting lainnya adalah kebijakan departemen karena mengatur

perilaku manusia dan menyediakan pemanfaatan tenaga kerja yang lebih baik,

alur kerja yang cepat, peningkatan produktivitas, dan pengurangan biaya layanan

dan produk (Hanekom, 1992: 71). Prosedur yang jelas dalam hal pendistribusian

dan pencairan dana bantuan sosial penting dalam arti dapat membantu

menciptakan keseragaman dan juga memberantas kecurangan dan korupsi

dalam pengguliran dana bantuan sosial.

2.3.6 Fungsi manajerial

Collins (1999:44) mendefinisikan manajemen publik sebagai bagian dari

manajemen publik dan harus diingat bahwa bagian manajerial dari fungsi

administrasi generik akan dilakukan terutama oleh lembaga dan pejabat yang

bertugas melaksanakan arahan yang dikeluarkan departemen dan pejabat yang

menjalankan fungsi konseptual yang berpuncak pada undang-undang, tata cara,

peraturan, proklamasi, instruksi, kode atau perintah lainnya. Botes et al,

(1992:301) menyatakan bahwa prinsip-prinsip administrasi publik tidak dapat


80

diabaikan oleh sektor publik dan administrator publik dipercayakan dengan

manajemen publik.

2.3.7. Teori Kebijakan Publik

Berbagai macam definisi dan penjabaran tentang apa yang dimaksud

dengan kebijakan publik (public policy) dikemukakan para ahli. Variasi definisi

tersebut memberikan penekanan yang berbeda-beda karena ditimbulkan

beragamnya konteks permasalahan yang dikaitkan dengan sebuah kebijakan.

Teori tentang kebijakan publik merupakan suatu kajian yang bersifat

multidisipliner yang melibatkan banyak disiplin ilmu, seperti ilmu sosial, politik,

budaya, ekonomi, hukum, hankam, lingkungan dan juga psikologi.

Menurut Carl J Federick yang dikutip Leo Agustino (2008) yaitu

kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok

orang atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu untuk mengatasi

masalah atau memanfaatkan kesempatan dengan cara mencapai tujuan

tertentu. Pendapat ini mencerminkan bahwa ide kebijakan melibatkan

pelaku yang memiliki maksud dan tujuan, oleh karena itu maksud dan tujuan

merupakan bagian yang penting dari definisi kebijakan itu sendiri. Pandangan

agak berbeda dikemukakan Thomas R Dye, sebagaimana dikutip Islamy

(2009) bahwa kebijakan publik adalah sebagai bentuk apapun yang dipilih

pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Definisi ini

menekankan bahwa kebijakan publik adalah mengenai perwujudan “tindakan”

dan bukan merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat publik

semata. Jadi keputusan untuk tidak melakukan sesuatu juga merupakan

bentuk kebijakan publik karena juga mempunyai pengaruh yang sama

dengan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu.


81

Pandangan senada dikemukakan George C. Edwards III dan Ira

Sharkansky dalam Suwitri (2008) bahwa kebijakan publik adalah apa yang

dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang biasa

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan atau pernyataan yang

diungkapkan pejabat politik / pemerintah yang segera ditindaklanjuti dengan

program-program dan tindakan. Baik Dye dan Edwards III dan Sharkansky

sama-sama menyetujui bahwa kebijakan publik juga termasuk juga dalam hal

“keputusan untuk tidak melakukan tindakan apapun”. Contohnya keputusan

presiden untuk menunda pencabutan subsidi energi juga merupakan suatu sikap

yang membawa implikasi di tengah masyarakat.

Beberapa ahli ada yang menekankan bahwa kebijakan publik sebagai

tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam merespon suatu krisis atau

masalah publik. Seperti Chandler dan Plano, dikutip dalam Tangkilisan (2003)

yang mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan strategis

terhadap sumber daya-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-

masalah publik atau pemerintahan. Definisi kebijakan publik yang ditegaskan

dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

Nomor PER/04/M.PAN/4/2007 menyatakan bahwa kebijakan publik adalah

keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan untuk

mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu atau

untuk mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan

manfaat orang banyak. Dalam Peraturan Menteri tersebut, kebijakan publik

mempunyai dua bentuk yaitu peraturan yang dinyatakan secara formal dan

legal dan pernyataan pejabat publik di depan publik.


82

Jadi dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian

tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah yang

berorientasi pada tujuan tertentu guna memecahkan masalah-masalah publik

atau demi kepentingan publik. Kebijakan tersebut umumnya dituangkan dalam

ketentuan-ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang dibuat

pemerintah sehingga memiliki sifat yang mengikat dan memaksa atau dapat juga

pernyataan pejabat publik yang ditindaklanjuti dengan pelaksanaan program.

Dari berbagai uraian tentang kebijakan publik di atas, maka kebijakan

publik memiliki ciri pokok sebagai berikut :

(1) Kebijakan publik memiliki tujuan, nilai-nilai, serta metode pelaksanaannya.

(2) Kebijakan publik tersebut dikeluarkan oleh organisasi pemerintah, jadi

bukan oleh organisasi swasta.

(3) Kebijakan publik tersebut mencakup pilihan untuk melakukan sesuatu atau

tidak melakukan sesuatu.

2.3.8. Model Kebijakan Publik

Apabila kebijakan publik dipandang sebagai suatu sistem,

maka .kebijakan publik dapat diuraikan ke dalam berbagai elemen atau

komponen pembentuknya. Telah banyak model kebijakan publik yang

dikemukakan para ahli diantaranya Thomas R. Dye dalam Dunn (2000) yang

membagi kebijakan publik dalam tiga elemen yaitu kebijakan publik, pelaku

kebijakan, dan lingkungan kebijakan. Ketiga elemen ini saling memiliki kontribusi

dan saling mempengaruhi.

Kebijakan publik juga dapat dipandang sebagai proses, ini dikemukakan

oleh David Easton dalam Nugroho (2008) yang menjelaskan bahwa proses

kebijakan dapat dianalogikan dengan kehidupan sistem politik. Kebijakan


83

publik dengan model sistem menggambarkan bahwa kebijakan merupakan

hasil atau output dari sistem politik. Seperti dalam ilmu politik, sistem politik terdiri

dari input, sistem politik, dan output, seperti gambar 2.1 berikut.

Lingkungan Lingkungan

input Tuntutan Sistem Politik output

Keputusan /
kebijakan

Dukungan

Umpan Balik

Gambar 2.1 Proses Kebijakan Publik David Easton

Sumber: David Easton dalam Nugroho (2008)

Selain model proses kebijakan dari David Easton terdapat model lain

seperti yang dikemukakan William N. Dunn dan Patton & Savicky. Baik Dunn

maupun Patton & Sawicky menggambarkan model-model proses kebijakan yang

lebih bersifat siklus daripada berbentuk tahapan. Dunn menambahkan proses

forecasting, recommendation, dan monitoring. Hampir sama seperti Anderson,

dkk. maupun Dye, Dunn membuat analisis pada tiap tahap dari proses

kebijakan. Dunn menggambarkan analisis pada tiap tahap proses kebijakan

pada gambar 2.2.


84

Perumusan Masalah Penyusunan agenda

Formulasi Kebijakan
Peramalan

Adopsi
Rekomendasi Kebijakan

Implementasi
Pemantauan Kebijakan

Penilaian
Penilaian
Kebijakan

Gambar 2.2 Model Analisis Kebijakan Dunn


Sumber : Dunn (2000)

Pada tiap tahap kebijakan Dunn selalu menguraikan analisis

kebijakan yang harus dilakukan. Misalnya pada tahap penyusunan agenda ,

analisis yang mesti dilakukan adalah perumusan masalah kebijakan. Pada tahap

formulasi kebijakan berikutnya terdapat langkah analisis yang seharusnya

dilakukan yaitu peramalan. Dunn menjelaskan bahwa peramalan memperkirakan

masa depan secara normatif mengestimasi akibat dari kebijakan atau yang

diusulkan, mengenali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi dalam

pencapaian tujuan, dan mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan

oposisi) dari berbagai pihak. Pada tahap adopsi kebijakan adalah tahap yang

harus dilakukan analisis rekomendasi kebijakan. Pada tahap implementasi

kebijakan, Dunn menyarankan agar dilakukan analisis berupa pemantauan

untuk menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak

diinginkan, mengidentifikasi hambatan, dan menemukan pihak-pihak yang


85

bertanggungjawab pada tiap tahap kebijakan. Proses selanjutnya adalah

mengevaluasi terhadap implementasi, kinerja dan dampak kebijakan. Menurut

Riplye dalam Subarsono (2009) bahwa “hasil evaluasi ini bermanfaat bagi

penentuan kebijakan baru di masa yang akan datang.

2.3.9. Tahapan Kebijakan Publik

Penjabaran dari tahap-tahap kebijakan publik adalah sebagai berikut.

Tahap 1: Penyusunan Agenda (Setting Agenda)

Pada tahap ini ditentukan prioritas masalah yang akan diselesaikan. Para

pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik—

jika sebelumnya, setiap masalah berkompetisi terlebih dahulu untuk masuk ke

dalam agenda kebijakan. Penyusunan agenda merupakan kondisi yang

menimbulkan ketidakpuasan masyarakat sehingga perlu dicarikan

penyelesaiannya (Lester & Steward, 2000).

Tahap 2: Perumusan Kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh

para pembuat kebijakan. Masalah tersebut didefinisikan untuk kemudian dicari

pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai

alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives/policy options) yang ada.

Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda

kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan, masing-masing alternatif bersaing

untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil dalam memecahkan masalah.

Pada tahap ini, setiap aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan

masalah terbaik.

Tahap 3: Adopsi Kebijakan


86

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para

perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut

diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur

lembaga atau keputusan peradilan.

Tahap 4: Implementasi Kebijakan

Suatu kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elite jika tidak

diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan program harus segera

diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun

agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil

dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya

finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan

saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para

pelaksana (implementors), tetapi beberapa yang lain mungkin akan ditentang

para pelaksana.

Tahap 5: Evaluasi Kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi

untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan

masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang

diinginkan. Dalam hal ini adalah untuk memecahkan masalah yang dihadapi

masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria

yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah mencapai

dampak yang diinginkan. Hasil dari evaluasi akan menentukan apakah kebijakan

akan terus dilaksanakan sesuai dengan kebijakan yang telah dibuat, terus

dilaksanakan dengan perubahan/ penyesuaian kebijakan, atau justru determinasi.


87

Menurut Lindblom (1986) tujuan pembagian proses kebijakan tersebut

adalah untuk memudahkan dalam mengkaji kebijakan publik. Kekuatan dari

penahapan tersebut, menurut Parsons (1995) adalah tersedianya pendekatan

yang sistematis untuk menangkap keberagaman dalam kenyataan dari suatu

kebijakan. Setiap tahap berhubungan dengan konteks khusus pembuatan

kebijakan. Beragam variabel dan pendekatan dapat dilihat sesuai dengan setiap

konteks tersebut. Tahapan tersebut berguna dalam analisis dan penyelidikan

bagi studi dan praktik proses kebijakan. Namun demikian, Parsons juga

memberikan ketentuan tambahan bahwa penahapan tersebut harus mencakup

kontekstualisasi yang lebih luas dari berbagai kerangka berpikir dan metode,

maupun pendekatan yang berbeda.

“The idea of ‘stages’ must be expanded to include a wider


contextualization of different frameworks and methods or approaches.
There can be no one definition of policy analysis (Wildavsky, 1979, p. 15),
and no one theory or model can capture or explain the complexity
involved in what Easton once termed the ‘web of decisions’ (Easton, 1953,
p. 130) which comprise public policy.” (Parsons, 1995).

2.4. Implementasi Kebijakan

dapat dijelaskan sebagai pelaksanaan kewajiban. Ini adalah salah satu

tahapan yang paling penting, karena membuat keputusan atau rencana berlaku

(Anderson, 1994: 32).

Penerapan adalah pelaksanaan keputusan dasar, biasanya dimasukkan

dalam undang-undang tetapi juga dapat berupa perintah eksekutif penting dari

badan pembuat keputusan yang tinggi (Anderson, 1994: 38)

Ilmu Pemerintahan sebagai bidang studi awalnya dianggap oleh

Woodrow Wilson sebagai bagian dari Ilmu Politik, terutama berurusan dengan

cabang eksekutif. Ini terutama difokuskan pada bidang studi yang ditentukan
88

yang merupakan perumusan dan implementasi kebijakan yang menyangkut

publik. Maka sudah selayaknya administrasi publik secara tepat dapat

didefinisikan sebagai sisi administrasi pemerintahan bagian dari eksekutif.

Administrasi publik juga dapat disebut sebagai pengambilan keputusan dan

perencanaan pekerjaan publik yang perlu dilakukan (Farhan, 1996: 66). Ini

adalah perumusan tujuan dan sasaran pemerintah, membangun dan merevisi

organisasi dengan mengarahkan, mendukung dan mengawasi karyawan.

Administrasi publik dapat dilihat sebagai pedoman yang menentukan

metode dan prosedur kerja, penilaian kinerja dan manajemen kinerja. Dalam

konteks penelitian ini, konsep Administrasi Publik akan mengacu pada bidang

studi sedangkan Administrasi Publik akan secara jelas mengacu pada praktik

penyelenggaraan urusan publik melalui perumusan dan implementasi kebijakan

publik.

Pengelolaan berarti proses mengelola atau dikelola, tindakan mengelola,

administrasi profesional badan usaha dan usaha publik. Manajemen bertujuan

untuk mengamankan kemakmuran maksimum pemberi kerja, ditambah dengan

kemakmuran maksimum setiap karyawan. Manajemen tidak identik dengan

administrasi, sebenarnya manajemen di sektor publik dapat dipahami sebagai

aspek administrasi yang menitikberatkan pada pemanfaatan sumber daya.

Namun dalam konteks penelitian ini, konsep manajemen akan dirujuk sebagai

tindakan mengatur urusan publik dalam suatu organ atau lembaga negara

(Gladden, 1953: 213).

Organisasi dapat disebut sebagai badan yang terorganisir, kebanyakan

departemen pemerintah, dan lembaga lainnya (McNabb, 2002: 41-43).

Organisasi juga dapat dilihat sebagai pembingkaian dan penyusunan metode


89

untuk melakukan fungsi tertentu. Organisasi yang baik sangat dibutuhkan untuk

keberhasilan setiap lembaga. Korupsi dapat didefinisikan sebagai perilaku tidak

etis para pejabat atau seseorang di jabatan tinggi (De Vos, 1998: 65). Ini adalah

ketika seorang pejabat individu menggunakan jabatan publik untuk keuntungan

individu atau keuntungan pribadinya yang egois. Korupsi akan dibahas sebagai

salah satu faktor yang menghambat penyampaian layanan yang efektif di dalam

pemerintahan (IDASA, 2002).

Masyarakat sipil adalah perkumpulan atau badan-badan terorganisir

lainnya yang merupakan perantara antara negara dan keluarga. Masyarakat sipil

dan kelompok Kepentingan memainkan peran sentral dalam pembuatan

kebijakan dan implementasi kebijakan di sejumlah negara demokrasi (Patton,

2002: 69). Meskipun masyarakat sipil independen dari pemerintah, mereka

terikat untuk tunduk pada intervensi pemerintah. Konsep ini, bersama dengan

kelompok kepentingan akan dibahas secara menyeluruh di salah satu bab dalam

penelitian ini untuk menyoroti peran yang dapat dimainkan oleh organisasi non-

pemerintah dalam perumusan dan implementasi kebijakan. Pemerintah dapat

dijelaskan sebagai ekspresi otoritatif negara. Fungsi formalnya meliputi

pembuatan hukum, pelaksanaan dan penerapan hukum serta interpretasi dan

penerapan hukum (Hanberger, 2001: 36). Dalam penelitian ini, konsep ini akan

disebut sebagai badan/organisasi terpilih secara periodik yang mengurusi

urusan-urusan wilayah kecil negara.

Pemberdayaan dapat dijelaskan sebagai tahap di mana hubungan

kekuasaan bergeser ke arah orang-orang yang mencapai kendali dan pengaruh

yang lebih besar atas keputusan dan sumber daya yang berdampak pada

kualitas hidup mereka melalui hubungan yang semakin saling tergantung (Patton,
90

2002: 61). Melimpahkan memiliki beberapa arti. Ini bisa berarti tindakan

mendelegasikan (Creswell, 1998: 83). Namun dalam konteks ini, ini akan disebut

sebagai membawa tugas pengawas ke tingkat yang lebih rendah untuk

mendorong partisipasi yang lebih luas dan pelaksanaan tugas yang lebih cepat

yang harus dilaksanakan oleh organisasi.

Efisiensi mengacu pada jumlah upaya yang diperlukan untuk mencapai

tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi memiliki implikasi moneter, misalnya

kebijakan di sektor publik dianggap efisien jika antara lain hemat biaya. Sehingga

diharapkan kebijakan di kotamadya yang berhubungan dengan kegiatan rekreasi

seharusnya tidak berimplikasi biaya besar-besaran kepada pemerintah dan

banyak uang harus diinvestasikan dalam kegiatan dengan prioritas tinggi dan

tidak terbuang percuma untuk kegiatan kecil (Dunn, 1994: 267).

2.4.1. Teori Implementasi Kebijakan Publik

Teori good governance mengharuskan upaya merancang bangun

perumusan kebijakan, sampai proses implementasi kebijakan dan evaluasi

kebijakan. Rancang bangun ini saling berkomplementer satu sama lain yang

merupakan fokus dari ilmu pemerintahan. Implementasi kebijakan bukanlah

sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan

politik ke dalam prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih

dari itu ia menyangkut masalah konflik keputusan dan siapa yang memperoleh

apa dari suatu kebijakan. Oleh sebab itu tidak berlebihan jika dikatakan

implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses

kebijakan.
91

Mengenai implementasi kebijakan, Nugroho (2008) menyatakan bahwa

bobot rencana kontribusinya 20% dari keberhasilan, bobot implementasi adalah

60% dan bobot 20% sisanya adalah bagaimana mengendalikan

implementasi. Jadi Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat,

karena di sini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep,

muncul di lapangan. Selain itu, ancaman utama, adalah konsistensi

implementasi. Melihat bahwa implementasi merupakan tugas yang memakan

sumber daya, maka tugas implementasi kebijakan harus mendapatkan perhatian

lebih. Banyak dalam praktik proses kebijakan publik terdapat pandangan

bahwa implementasi akan bisa berjalan secara otomatis setelah formulasi

kebijakan berhasil dilakukan. Terkadang sumber daya sebagian besar

dihabiskan untuk membuat perencanaan padahal justru tahap implementasi

kebijakan yang seharusnya memakan sumber daya paling besar, bukan

sebaliknya.

Mazmanian dan Sabatier (dalam Safi’i, 2007) mengemukakan bahwa

mengkaji masalah implementasi kebijakan berarti berusaha memahami apa yang

senyatanya terjadi sesudah program dirumuskan dan diberlakukan. Dalam hal

ini yang dikaji adalah berbagai peristiwa dan kegiatan yang terjadi setelah proses

pengesahan kebijakan, baik yang menyangkut usaha-usaha

mengadministrasikannya maupun untuk dampak riil yang ditimbulkannya pada

masyarakat pada kejadian-kejadian tertentu. Bridgman & Davis, Fenn, dan

Turner & Hulme dalam Badjuri dan Yuwono (2002), mengemukakan beberapa

pelajaran yang bisa diambil dari keberhasilan sebuah kebijakan, yaitu:

(1) Apabila kebijakan publik didesain tidak didasarkan pada kerangka acuan

teori yang kuat dan jelas, maka implementasinya berpotensi besar terganggu.
92

(2) Antara rencana kebijakan dan implementasi kebijakan harus disusun suatu

korelasi yang detil dan jelas, sehingga konsekuensi yang diharapkan pun

juga jelas.

(3) Sosialisasi kebijakan terhadap mereka yang dibebani tugas

melaksanakan kebijakan sangatlah penting karena akan sangat

mempengaruhi keberhasilan implementasi.

(4) Implementasi kebijakan publik akan gagal jika terlalu banyak lembaga,

badan-badan atau otoritas-otoritas lain yang tidak perlu ikut terlibat bermain

atau melakukan intervensi.

(5) Evaluasi kebijakan secara terus menerus (dimonitoring) terhadap sebuah

kebijakan sangatlah krusial karena sebuah kebijakan akan berkembang

menjadi lebih baik dan efisien apabila ada evaluasi yang terus menerus

dan berkesinambungan.

(6) Untuk memastikan berhasil dengan baik, pembuat kebijakan publik harus

menaruh perhatian yang sama baik terhadap perumusan kebijakan maupun

pada implementasinya.

Sesungguhnya proses implementasi kebijakan tidak hanya menyangkut

perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab pelaksanaan

program, melainkan juga menyangkut lingkaran kekuatan-kekuatan politik,

ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi

perilaku dari semua pihak yang terlibat. Pada akhirnya membawa konsekuensi

logis terhadap dampak yang diharapkan maupun dampak yang tidak diharapkan.

Terkait hal ini telah banyak dimunculkan berbagai mode implementasi kebijakan.

Diantaranya model Edwards III, Van Meter dan Van Horn, Grindle.
93

Grindle, (2000) memperkenalkan model implementasi sebagai proses

politik dan administrasi, model tersebut menggambarkan proses pengambilan

keputusan yang dilakukan oleh beragam aktor dimana keluaran akhirnya

ditentukan oleh baik materi program yang telah dicapai maupun melalui interaksi

para pembuat keputusan dalam konteks politik administratif. Proses politik dapat

terlihat melalui proses pengambilan keputusan yang melibatkan berbagai aktor

kebijakan sedangkan proses administrasi terlihat melalui proses umum

mengenai aksi administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu.

Berdasarkan aspek pelaksanaan terdapat model implementasi kebijakan

publik yang efektif yaitu model interaktif (Baedhowi, 2004). Berdasarkan model

interaktif fase pengambilan keputusan merupakan aspek yang terpenting,

sedangkan fase pelaksanaan kebijakan kurang mendapat perhatian atau

dianggap sebagai tanggung jawab kelompok lain. Keberhasilan pelaksanaan

kebijakan tergantung pada kemampuan instansi pelaksana, jika implementasi

kebijakan gagal maka yang disalahkan biasanya adalah pihak manajemen yang

dianggap kurang memiliki komitmen sehingga perlu dilakukan upaya yang lebih

baik untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan pelaksana.


94

Gambar 2.3 Model Interaktif Implementasi Kebijakan Grindle

Berdasarkan gambar 2.3 menyatakan bahwa model interaktif

menganggap pelaksanaan kebijakan sebagai proses yang dinamis karena setiap

pihak yang terlibat dapat mengusulkan perubahan dalam berbagai tahap

pelaksanaan. Hal itu dilakukan ketika kebijakan publik dianggap kurang

memenuhi harapan stakeholders ini berarti bahwa berbagai tahap implementasi

kebijakan publik akan dianalisis dan dievaluasi oleh setiap pihak sehingga

potensi, kekuatan dan kelemahan setiap fase pelaksanaannya diketahui dan

segera diperbaiki untuk mencapai tujuan.

Berdasarkan gambar 2.3 terlihat bahwa meskipun persyaratan input

sumber daya merupakan keharusan dalam proses implementasi kebijakan tetapi


95

hal itu tidak menjamin suatu kebijakan akan dilaksanakan dengan baik. input

sumber daya dapat digunakan secara optimum jika dalam proses pengambilan

keputusan dan pelaksanaan kebijakan terjadi interaksi positif dan dinamis antara

pengambil kebijakan, pelaksana kebijakan dan pengguna kebijakan (masyarakat)

dalam suasana dan lingkungan yang kondusif.

Selain model implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn

mengembangkan model proses implementasi kebijakan, (Grindle dalam Tarigan,

2000). Keduanya meneguhkan pendirian bahwa perubahan, kontrol dan

kepatuhan dalam bertindak merupakan konsep penting dalam prosedur

implementasi. Keduanya mengembangkan tipologi kebijakan menurut, (1) jumlah

perubahan yang akan dihasilkan dan (2) jangkauan atau ruang lingkup

kesepakatan mengenai tujuan oleh berbagai pihak yang terlibat dalam proses

implementasi.

Tanpa mengurangi kredibilitas model proses implementasi kebijakan dari

Van Meter dan Van Horn terlihat bahwa elemen yang menentukan keberhasilan

penerapannya termasuk ke dalam elemen model proses politik dan administrasi

menurut Grindle. Kata kunci yakni perubahan, kontrol dan kepatuhan termasuk

dalam dimensi isi kebijakan dan konteks implementasi kebijakan. Demikian pula

dengan tipologi kebijakan yang dibuat oleh keduanya termasuk dalam elemen isi

kebijakan dan konteks implementasi menurut Grindle (dalam Tarigan, 2000),

Tipologi jumlah perubahan yang dihasilkan termasuk dalam elemen isi kebijakan

dan tipologi ruang lingkup kesepakatan termasuk dalam konteks implementasi.

Korten, (dalam Tarigan, 2000) menyatakan bahwa suatu program akan

berhasil dilaksanakan jika terdapat kesesuaian dari tiga unsur implementasi

program. Pertama, kesesuaian antara program dengan pemanfaat yaitu


96

kesesuaian antara apa yang ditawarkan oleh program dengan apa yang

dibutuhkan oleh kelompok sasaran (pemanfaat). Kedua, kesesuaian antara

program dengan organisasi pelaksana yaitu kesesuaian antara tugas yang

disyaratkan oleh program dengan kemampuan organisasi pelaksana. Ketiga,

kesesuaian antara kelompok pemanfaat dengan organisasi pelaksana yaitu

kesesuaian antara syarat yang diputuskan organisasi untuk dapat memperoleh

output program dengan apa yang dapat dilakukan oleh kelompok sasaran

program.

Berdasarkan pola yang dikembangkan Korten dapat dipahami bahwa jika

tidak terdapat kesesuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan kinerja

program tidak akan berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan. Jika output

program tidak sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran jelas outputnya tidak

dapat dimanfaatkan. Jika organisasi pelaksana program tidak memiliki

kemampuan melaksanakan tugas yang disyaratkan oleh program maka

organisasinya tidak dapat menyampaikan output program dengan tepat atau jika

syarat yang ditetapkan organisasi pelaksana program tidak dapat dipenuhi oleh

kelompok sasaran maka kelompok sasaran tidak mendapatkan output program.

Oleh karena itu kesesuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan mutlak

diperlukan agar program berjalan sesuai dengan rencana yang telah dibuat.

Berdasarkan penjelasan di atas maka model yang penulis anggap cocok

untuk diimplementasikan adalah model implementasi kebijakan interaktif yang

dikembangkan oleh Grindle (dalam Tarigan, 2000:21), model ini penulis anggap

cocok karena kebijakan ini relevan dengan regulasi kebijakan yang ada untuk

meningkatkan kualitas mulai dari sumber daya manusia sampai dengan institusi,

ini dapat dilihat secara konstruktif bahwa model interaktif implementasi kebijakan
97

relatif mencakup semua unsur dari model-model implementasi kebijakan yang

dikembangkan oleh para ahli misalnya model proses politik dan administrasi

yang dikembangkan oleh Grindle ini terlihat adanya kesamaan dan representasi

elemen yang mencirikannya tujuan kebijakan, program aksi dan proyek tertentu

yang dirancang dan dibiayai, urgensi fase pengambilan keputusan sebagai fase

terpenting dalam model interaktif sehingga ini bisa terlihat kelebihan model

interaktif dalam cara yang digunakan untuk mengukur keberhasilan implementasi

kebijakan, beserta output dan outcomesnya.

Untuk melengkapi uraian tentang kebijakan, dalam hal ini Grindle dan

Thomas menentang gagasan bahwa 'keputusan untuk mereformasi adalah

keputusan kritis dan yang mengikuti hanyalah proses mekanis' (1991). Model ini

menekankan bahwa proses pembuatan kebijakan bersifat interaktif, bukan linier.

Elemen sentral dalam model ini adalah bahwa inisiatif reformasi kebijakan dapat

diubah atau dibalik pada tahap apa pun dalam siklus hidupnya dengan tekanan

dan reaksi dari mereka yang menentangnya. 'Berbeda dengan model linier,

model interaktif ini memandang reformasi kebijakan sebagai proses, di mana

pihak-pihak yang berkepentingan dapat memberikan tekanan untuk perubahan di

banyak titik. Memahami lokasi, kekuatan dan taruhan yang terlibat dalam upaya-

upaya ini untuk mempromosikan, mengubah, atau membalikkan inisiatif

reformasi kebijakan merupakan inti untuk memahami hasil kebijakan.

Ini berarti memandang reformasi kebijakan sebagai suatu proses. dan

bukan sebagai serangkaian fase, seperti model linear akan mendorong kita untuk

melakukannya. Hal ini menjelaskan bahwa para pembuat keputusan sering

hanya memikirkan diri mereka sendiri dengan keputusan tersebut, dan

mengabaikan atau mengabaikan implementasi. Mereka umumnya memiliki


98

alasan untuk menyesali rabun jauh ini. Bukti keberhasilan, seperti stabilisasi

gabah di Indonesia atau perubahan strategi pembangunan di Kosta Rika. Oleh

karena itu, reformasi adalah proses jangka panjang dan implementasi harus

menjadi bagian dari perhitungan pembuat kebijakan. (Thomas, Grindle, 1990)

Lasswell (1988) memperkenalkan suatu model proses kebijakan yang

terdiri atas 7 (tujuh) tahap, yaitu intelligence, promotion, prescription, invocation,

application, termination, and appraisal (Jann & Wegrich, 2017). Tahapan tersebut

terus berkembang hingga saat ini tahapan proses kebijakan yang konvensional

mencakup agenda-setting, policy formulation, decision making, implementation,

and evaluation (eventually leading to termination). Tabel 2.2 berikut ini

merupakan proses kebijakan menurut Anderson (1984).

Tabel 2.2 Proses Kebijakan

Termi- Tahap 1: Tahap 2: Tahap 3: Tahap 4: Tahap 5:


nologi Agenda Perumusan Adopsi Implement Evaluasi
Kebijak Kebijakan Kebijakan Kebijakan asi Kebijakan
an Kebijakan
Definisi Sejumlah Pengembang Pengembang Aplikasi Upaya
permasalahan an usulan an dukungan kebijakan pemerinta
diantara akan terhadap oleh mesin h untuk
banyak tindakan sebuah administras menentuk
permasalahan yang terkait proposal i an apakah
lainnya yang dan dapat tertentu pemerintah kebijakan
mendapat diterima sehingga efektif,
perhatian untuk sebuah serta
serius dari menangani kebijakan mengapa
pejabat publik permasalaha dapat efektif
n publik dilegitimasi atau tidak
atau efektif
disahkan
Commo Membuat Apa yang Membuat Aplikasi Apakah
n sense pemerintah diusulkan pemerintah kebijakan kebijakan
untuk untuk untuk pemerintah bekerja
mempertimba dilakukan menerima terhadap baik?
ng-kan terhadap solusi masalah
tindakan masalah? tertentu
terhadap terhadap
masalah masalah
99

Sumber: Anderson, (1984)

2.4.2. Model Implementasi Kebijakan

Esensi utama dari implementasi kebijakan adalah memahami apa yang

seharusnya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan.

Pemahaman ini mencakup usaha untuk mengadministrasikan dan menimbulkan

dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian. Menurut Van Metter dan

Van Horn (Grindle, 1980), implementasi kebijakan adalah

tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/ pejabat-


pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang
diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam
keputusan kebijakan.

Implementasi kebijakan dapat dimaknai sebagai pelaksanaan

kegiatan/aktivitas mengacu pada pedoman-pedoman yang telah disiapkan

sehingga dari kegiatan/aktivitas yang telah dilaksanakan tersebut dapat

memberikan dampak/akibat bagi masyarakat dan dapat memberikan kontribusi

dalam menanggulangi masalah yang menjadi sasaran program. Sedangkan

menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Agustino (2016) implementasi

kebijakan adalah:

pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-


undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-
keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.
Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah-masalah yang
ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan dan sasaran yang ingin
dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses
implementasinya.

Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam

keseluruhan struktur kebijakan karena melalui prosedur ini proses kebijakan

secara keseluruhan dapat dipengaruhi tingkat keberhasilan atau tidaknya

pencapaian tujuan. Seperti yang dikemukakan Lester dan Stewart ,


100

implementasi kebijakan sebagai tahap penyelenggaraan kebijakan segera

setelah ditetapkan menjadi undang-undang. Dalam pandangan luas

implementasi kebijakan diartikan sebagai pengadministrasian undang- undang

ke dalam berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik-teknik yang bekerja

secara bersama-sama untuk mencapai tujuan dan dampak yang ingin

diupayakan oleh kebijakan tersebut.

Sedangkan menurut Bressman dan Wildansky, implementasi kebijakan

adalah suatu proses interaksi antara suatu perangkat tujuan dan tindakan yang

mampu mencapai tujuan. Implementasi kebijakan merupakan proses lanjutan

dari tahap formulasi kebijakan. Pada tahap formulasi ditetapkan strategi dan

tujuan-tujuan kebijakan sedangkan pada tahap implementasi kebijakan,

tindakan (action) diselenggarakan dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

Dalam sejarah perkembangan studi implementasi kebijakan, terdapat

dua pendekatan guna memahami implementasi kebijakan. Pertama,

pendekatan top down misalnya dapat disebut sebagai pendekatan yang

mendominasi awal perkembangan studi implementasi kebijakan, walaupun

dikemudian hari terdapat perbedaan-perbedaan sehingga menelurkan

pendekatan bottom up, namun pada dasarnya dua pendekatan ini bertitik-tolak

pada asumsi-asumsi yang sama dalam mengembangkan kerangka analisis

tentang studi implementasi. Inti dari kedua pendekatan ini adalah sejauh mana

tindakan para pelaksana (administrator dan birokrat) sesuai dengan prosedur

serta tujuan yang telah digariskan oleh para pembuat kebijakan.

2.4.2.1. Model Implementasi Kebijakan Van Metter dan Van Horn

Model implementasi kebijakan yang dirumuskan oleh Van Metter dan

Van Horn menjelaskan bahwa proses implementasi kebijakan merupakan


101

sebuah abstraksi atau performansi yang pada dasarnya secara sengaja

dilakukan untuk meraih kinerja implementasi dan dipengaruhi oleh enam

variabel, yaitu: ukuran dan tujuan kebijakan, sumber daya, karakteristik agen

pelaksana, sikap dan kecenderungan para pelaksana, komunikasi antar

organisasi dan lingkungan sosial, ekonomi juga politik.

Gambar 2.4 Model Pendekatan Van Metter Dan Van Horn


Sumber: Van Meter & Van Horn (1975)

2.4.2.2. Model Implementasi Kebijakan Mazmanian dan Sabatier

Model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Mazmanian dan

Sabatier disebut dengan A Framework for Policy Implementation Analysis.

Model ini berpendapat bahwa peran penting dari implementasi kebijakan publik

adalah kemampuannya dalam mengidentifikasikan variabel-variabel yang

mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses

implementasi. Variabel-variabel yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi


102

tiga kategori besar, yaitu:

a. Mudah tidaknya masalah yang akan digarap, meliputi: kesukaran-


kesukaran teknis, keberagaman perilaku yang diatur, tingkat dan ruang
lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki

b. Kemampuan kebijakan menstruktur proses implementasi secara tepat

c. Faktor-faktor di luar undang-undang yang mempengaruhi implementasi

Gambar 2.5 Implementasi Kebijakan Menurut Mazmanian dan Sabatier


Sumber: Daniel A Mazmanian; Paul A Sabatier (1983)

2.4.2.3. Model Implementasi Kebijakan George C. Edward III

Model implementasi kebijakan dengan menggunakan pendekatan top

down, dalam menganalisis implementasi kebijakan model ini berfokus pada

empat variabel yang dianggap menentukan proses implementasi kebijakan,

yaitu: komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi.


103

Komunikasi

Sumber Daya

Implementasi

Disposisi

Struktur
Birokrasi

Gambar 2.6 Model Implementasi Kebijakan Menurut George C. Edward III


Sumber: Edward III (1980)

2.4.2.4. Model Implementasi Kebijakan Christopher Hood

Model implementasi kebijakan yang dirumuskan oleh Christopher Hood

dalam bukunya Limit To Administration menjelaskan bahwa sekurang-

kurangnya terdapat lima syarat agar implementasi kebijakan dapat berlangsung

sempurna, yaitu: (1) implementasi adalah produk dari organisasi yang padu

seperti militer dengan garis komando yang jelas, (2) norma-norma ditegakkan

dan tujuan ditentukan dengan jelas, (3) orang-orangnya dipastikan dapat

melaksanakan apa yang diminta, (4) harus ada komunikasi yang sempurna di

dalam dan antar organisasi, (5) tidak ada tekanan waktu.

2.4.2.5. Model Implementasi Kebijakan Brian W. Hogwood

Model implementasi ini sangat menekankan pentingnya pendekatan

Top- Down dalam proses implementasi. Bagi penganut pendekatan Bottom-Up,

cenderung mendekati permasalahan kasus per kasus dianggap tidak menarik

apalagi para pembuat kebijakan adalah orang-orang yang telah dipilih secara

demokratis. Model implementasi kebijakan ini memberikan proposisi-proposisi


104

untuk mencapai implementasi yang sempurna, sebagai berikut:

Gambar 2.7 Model Implementasi Kebijakan Menurut Hogwood-Gunn


Sumber: Brian W Hogwood; Lewis A Gunn (1984)

situasi di luar badan/organisasi tidak menimbulkan kendala besar bagi

proses implementasi, tersedia cukup waktu dan cukup sumber daya untuk

melaksanakan program, tidak ada kendala dalam menyediakan sumber daya

yang dibutuhkan termasuk sumber daya yang dibutuhkan dalam setiap tahapan

implementasi, kebijakan yang diimplementasikan didasarkan pada teori sebab

akibat yang valid, hubungan sebab akibat tersebut setidaknya ada hubungan

antara (intervening links), diimplementasikan oleh lembaga tunggal yang tidak

tergantung pada lembaga lainnya.

2.4.2.6. Model Implementasi Kebijakan Thomas B. Smith

Kebijakan pemerintah didefinisikan sebagai tindakan yang disengaja oleh

pemerintah untuk membentuk pola atau institusi transaksi baru atau untuk

mengubah pola yang sudah ada dalam institusi lama. Kebijakan yang

dirumuskan oleh pemerintah kemudian berfungsi sebagai kekuatan pembangkit


105

ketegangan dalam masyarakat. Ketegangan yang ditimbulkan oleh implementasi

kebijakan dapat menyebabkan pola transaksi dalam pembentukan institusi yang

diperlukan untuk merealisasikan tujuan kebijakan. Selain itu, proses

implementasi kebijakan dapat menimbulkan ketegangan yang memicu

perubahan di lembaga terkait lainnya. Ketika kebijakan diimplementasikan,

interaksi di dalam dan di antara komponen sistem implementasi kebijakan

menghasilkan perbedaan dan ketegangan. Ketegangan-ketagangan itu

menghasilkan pola-pola tidak tetap yang terkait dengan maksud dan tujuan

kebijakan (Smith, 1973). Model implementasi kebijakan menurut Thomas B.

Smith disajikan dalam gambar berikut.

Gambar 2.8 Model Implementasi Kebijakan Menurut Thomas B. Smith


Sumber: Smith (1973)

Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel dengan

berbagai kompoenen sebagai berikut.

1. The Idealized Policy, kebijakan yang diidealkan didefinisikan

sebagai pola interaksi yang diidealkan dan diusahakan oleh para

pembuat kebijakan.

2. The Target Group, kelompok sasaran didefinisikan sebagai target

yang diharuskan menyesuaikan pola interaksi kebijakan yang baru.

Target ini adalah orang-orang dalam organisasi atau kelompok


106

paling terpengaruh oleh kebijakan tersebut. Target inilah yang

seharusnya berubah untuk memenuhi tuntutan kebijakan.

3. The Implementing Organization, organisasi pelaksana bertanggung

jawab atas implementasi kebijakan. Pada kebanyakan kasus,

organisasi adalah unit dari birokrasi pemerintah. Terdapat tiga

variabel kunci yang perlu diperhatikan dalam implementasi

kebijakan, yaitu the structure and personnel, the leadership of the

administrative organization, dan the implementing program and

capacity.

4. Environmental Factors, faktor lingkungan merupakan faktor-faktor

yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh implementasi

kebijakan. Faktor-faktor lingkungan dapat dianggap sebagai koridor

penghambat yang harus dipaksakan melalui implementasi kebijakan.

Pada setiap jenis kebijakan yang berbeda, kondisi budaya, sosial,

politik, dan ekonomi yang berbeda mungkin berlaku. Misalnya,

dalam kebijakan yang berkaitan dengan pemerintahan sendiri,

budaya dasar dan gaya hidup sosial di tingkat desa mungkin

merupakan kendala lingkungan yang sangat besar.

2.4.2.7. Model Implementasi Kebijakan Grindle

Menurut Merilee S. Grindle (1980) kebijakan (content of policy) dan

lingkungan implementasi (context of implementation) merupakan dua hal yang

memengaruhi keberhasilan implementasi. Variabel tersebut mencakup: sejauh

mana kepentingan kelompok sasaran atau target group termuat dalam isi

kebijakan, jenis manfaat yang diterima oleh target group, sejauh mana

perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan, apakah letak sebuah program
107

sudah tepat, apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya

dengan rinci, dan apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang

memadai.

Keunikan dari model Grindle terletak pada pemahamannya yang

komprehensif akan konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan

implementor, penerima implementasi, dan arena konflik yang mungkin terjadi di

antara para aktor implementasi, serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi

yang diperlukan.

Selama akhir 1960-an dan awal 1970-an serangkaian kajian dan artikel

yang bermanfaat dan provokatif muncul di Amerika Serikat yang membahas

secara eksplisit masalah implementasi. Banyak di antaranya didorong oleh

keinginan untuk menjelaskan mengapa program Great Society of the Johnson

Administration memiliki tidak mencapai hasil yang mereka prediksi. Masing-

masing studi ini mempertimbangkan bagaimana kebijakan atau program itu

sendiri. Tujuannya, desain implementasi, dan ketersediaan sumber daya

membantu membentuk hasil yang diamati. Selain itu, studi mengungkapkan

variabel penjelas lainnya dalam pembagian kekuasaan politik dalam masyarakat

dan dalam konflik dan pengaruh yang dibawa pada keputusan pelaksanaan,

faktor-faktor yang memusatkan perhatian pada lingkungan yang lebih luas di

mana program-program itu dijalankan. dikejar. Baru-baru ini, muncul beberapa

penelitian yang mencoba untuk mendefinisikan parameter dari proses umum

implementasi dengan membuat katalog berbagai variabel yang mengintervensi di

dalamnya dan dengan menentukan beberapa hubungan di antara variabel-

variabel tersebut.
108

Pertimbangan eksplisit tentang seringnya perbedaan antara tujuan dan

hasil dalam implementasi kebijakan publik di Dunia Ketiga, bagaimanapun,

cenderung lebih terfokus secara sempit pada aparatur administratif dan prosedur

pelaksanaan birokrasi atau pada karakteristik pejabat birokrasi. • Sampai

sekarang, hanya ada sedikit perhatian yang diberikan untuk menghubungkan

karakteristik kebijakan dan program dengan implementasi selanjutnya, untuk

menghubungkan masalah implementasi dengan karakteristik rezim politik di

mana mereka dijalankan, atau untuk mengeksplorasi sifat umum implementasi di

Dunia Ketiga. ." Ini adalah kepentingan yang telah mendorong penyuntingan

volume ini.

Lebih khusus lagi, adalah hasil dari keyakinan yang dipegang oleh para

kontributornya bahwa proses implementasi sangat penting bagi politik di negara-

negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin dan karenanya layak untuk diselidiki dan

dianalisis. Bab-bab dalam kumpulan ini ditujukan pada dua pertanyaan luas

tentang implementasi secara umum yang dihubungkan oleh penulis dengan

kondisi spesifik seputar pelaksanaan program publik di Dunia Ketiga. Pertama,

penulis prihatin dengan dampak isi: Apa pengaruh isi kebijakan publik terhadap

implementasinya? Pertanyaan kedua, tentang konteks, menjadi perhatian yang

sama bagi mereka: Bagaimana konteks politik tindakan administratif

mempengaruhi implementasi kebijakan? Pertanyaan seperti itu menarik bagi

para sarjana ini karena mereka memiliki perspektif yang sama tentang

implementasi itu sendiri. Bagi mereka, ini adalah proses pengambilan keputusan

yang berkelanjutan oleh berbagai aktor, yang hasil akhirnya ditentukan oleh isi

program yang dijalankan dan oleh interaksi para pengambil keputusan dalam

konteks politik-administratif yang diberikan. Tugas penulis telah menetapkan


109

untuk diri mereka sendiri adalah untuk mengembangkan generalisasi atas dasar

bahan studi kasus tentang bagaimana dan mengapa konten dan variabel

kontekstual campur tangan dalam proses implementasi di Dunia Ketiga. Sebelum

mengeksplorasi secara lebih rinci kontribusi untuk volume ini, bagaimanapun,

adalah berguna untuk mendefinisikan secara lebih eksplisit apa yang dimaksud

dengan implementasi, konten, dan konteks, dan untuk mempertimbangkan

mengapa Dunia Ketiga telah dipilih sebagai fokus studi muncul di sini.

1. Penerapan: Dari Kebijakan Ke Program Ke Hasil

Secara umum, tugas implementasi adalah untuk membangun suatu mata

rantai yang memungkinkan tujuan dari kebijakan publik dapat diwujudkan

sebagai hasil dari kegiatan pemerintah. Oleh karena itu, ini melibatkan

penciptaan "sistem penyampaian kebijakan", di mana sarana-sarana khusus

dirancang dan dikejar dengan harapan mencapai tujuan tertentu.' Jadi, kebijakan

publik—pernyataan yang luas tentang tujuan, sasaran, dan sarana diterjemahkan

ke dalam program aksi yang bertujuan untuk mencapai tujuan yang dinyatakan

dalam kebijakan. Maka, jelaslah bahwa berbagai program dapat dikembangkan

sebagai tanggapan terhadap tujuan kebijakan yang sama. Program aksi itu

sendiri dapat dipilah menjadi proyek yang lebih spesifik untuk dikelola. Maksud

dari program aksi dan proyek individu adalah untuk menyebabkan perubahan

dalam lingkungan kebijakan, perubahan yang dapat dianggap sebagai hasil dari

program tersebut.

Perbedaan yang dibuat di sini antara kebijakan dan program menyiratkan

bahwa implementasi kebijakan adalah fungsi dari implementasi program dan

bergantung pada hasilnya. Konsekuensinya, studi tentang proses implementasi

kebijakan hampir pasti melibatkan investigasi dan analisis program aksi konkrit
110

yang telah dirancang sebagai sarana untuk mencapai tujuan kebijakan yang

lebih luas. Ini terlihat dalam studi yang dikumpulkan di sini, misalnya. Masing-

masing membahas tujuan pembangunan umum yang diharapkan oleh

pemerintah Dunia Ketiga untuk mencapai produktivitas pertanian yang lebih

besar, penyediaan perumahan perkotaan berpenghasilan rendah,

pemberantasan permukiman kumuh, pembangunan pedesaan—dan kemudian

menganalisis program khusus yang ditujukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Pembedaan yang jelas antara kebijakan dan program seperti itu sulit

dilakukan untuk mempertahankan dalam praktek, namun. Hal ini sampai tingkat

tertentu dikaburkan oleh berbagai tingkatan di mana istilah "kebijakan" sering

digunakan. Sebagai contoh, suatu kebijakan dapat melalui tahapan-tahapan

yang berurutan di mana tujuan-tujuan didefinisikan dengan lebih tepat.

Pernyataan umum bahwa kebijakan pertanian pemerintah untuk meningkatkan

produktivitas dapat diterjemahkan ke dalam kebijakan pemberian bantuan

pemerintah kepada petani kecil yang berorientasi komersial. Hal ini pada

gilirannya dapat diterjemahkan ke dalam kebijakan penyediaan sarana irigasi

dan transportasi bagi orang-orang ini. Pada definisi fase terakhir ini, istilah

kebijakan dan program sering digunakan secara bergantian. Selain itu, karena

implementasi kebijakan dianggap bergantung pada hasil program, sulit untuk

memisahkan nasib kebijakan dari program konstituennya. Pada titik apa,

misalnya, apakah kegagalan program menandakan kegagalan keseluruhan

kebijakan umum? Selain itu, untuk mengatakan bahwa implementasi kebijakan

tergantung pada implementasi program mengasumsikan bahwa program-

program tersebut sebenarnya diarahkan dengan tepat untuk mencapai tujuan

kebijakan, sebuah asumsi yang tidak selalu terbukti dalam praktiknya.


111

Dalam volume ini kami telah mencoba memecahkan masalah ini dengan

mempertimbangkan implementasi sebagai proses umum dari tindakan

administratif yang dapat diselidiki pada tingkat program tertentu. Kesuksesan

atau kegagalannya dapat dievaluasi dalam hal kapasitas sebenarnya untuk

menyampaikan program seperti yang dirancang. Pada gilirannya, implementasi

kebijakan secara keseluruhan dapat dievaluasi dengan mengukur hasil program

terhadap tujuan kebijakan. Proses umum implementasi dengan demikian dapat

dimulai hanya ketika tujuan dan sasaran umum telah ditentukan, ketika program

tindakan telah dirancang, dan ketika dana telah dialokasikan untuk mengejar

tujuan tersebut. Ini adalah kondisi dasar untuk pelaksanaan setiap kebijakan

publik yang eksplisit. Secara teoritis, pada titik ini proses perumusan kebijakan

super- didorong oleh proses implementasi kebijakan, dan program diaktifkan.

Tetapi perbedaan antara perumusan dan implementasi juga sulit dipertahankan

dalam praktiknya, karena umpan balik dari prosedur implementasi dapat

mengarah pada modifikasi tujuan dan arah kebijakan; atau tuntutan agar aturan

dan pedoman ditafsirkan atau ditafsirkan kembali dapat menyebabkan banyak

pembuatan kebijakan di lokasi implementasi. Lebih penting dalam hal proses

implementasi adalah kenyataan bahwa keputusan yang dibuat pada tahap

desain atau formulasi memiliki dampak yang cukup besar pada bagaimana hasil

implementasi. Hal ini jelas dengan mempertimbangkan, misalnya, dampak pada

implementasi selanjutnya dari keputusan untuk mengalokasikan tiga juta dolar

untuk mencapai tujuan kebijakan daripada tiga puluh atau tiga ratus juta.

Sebagai tambahan, proses implementasi sangat dipengaruhi oleh jenis tujuan

yang telah ditentukan untuknya dan oleh cara tujuan tersebut dinyatakan. Artinya,

keputusan perumusan tidak dibuat—tentang jenis kebijakan yang akan ditempuh


112

dan bentuk program yang akan dilaksanakan merupakan faktor integral dalam

menentukan seberapa sukses program itu sendiri akan disampaikan.

2. Isi Kebijakan

Theodore Lowi telah menunjukkan bahwa jenis kebijakan yang dibuat

akan berdampak besar pada jenis aktivitas politik yang dirangsang oleh proses

pembuatan kebijakan. dari berbagai program. Misalnya, sejauh tindakan publik

berusaha untuk memperkenalkan perubahan dalam hubungan sosial, politik, dan

ekonomi, mereka umumnya merangsang oposisi yang cukup besar dari mereka

yang kepentingannya terancam oleh mereka. Pemilik tanah yang menentang

langkah-langkah reformasi agraria, seringkali dengan kekerasan, adalah bukti

dari reaksi ini. Perbedaan juga dapat dibuat antara program yang memberikan

manfaat kolektif, yang mendorong pembuatan permintaan kategoris, dan

program yang memberikan manfaat yang dapat dibagi, yang dapat memobilisasi

jenis tuntutan yang lebih partikularistik pada tahap implementasi. Dengan

demikian, program pengiriman barang kolektif seperti penyediaan penerangan

dan air di lingkungan kumuh perkotaan dapat segera dilaksanakan di Dunia

Ketiga karena kepatuhan kelompok atau daerah yang terkena dampak akan

cenderung terjadi dengan biaya minimal.

Jumlah konflik atau perbedaan pendapat." Program dengan manfaat yang

dapat dibagi seperti perumahan, sebaliknya, dapat memperburuk konflik dan

persaingan di antara mereka yang mencari keuntungan darinya dan mungkin

lebih sulit untuk dilaksanakan sebagaimana dimaksud."

Perbedaan tingkat perilaku mengubah visi program untuk penerima

manfaat yang dituju adalah cara lain isi kebijakan mempengaruhi

implementasinya. Pengenalan teknologi baru untuk pembangunan pertanian


113

adalah contoh yang sering dikutip dari program yang membutuhkan adaptasi

perilaku dan partisipasi yang cukup besar dari pihak penerima. Sebaliknya,

menyediakan perumahan bagi kelompok berpenghasilan rendah mungkin

memerlukan sedikit cara untuk mengubah pola perilaku. Selain itu, program-

program yang dirancang untuk mencapai tujuan jangka panjang mungkin lebih

sulit untuk dilaksanakan daripada program-program yang keuntungannya

langsung terlihat oleh para penerima manfaat. Sebagai contoh, kecilnya

dukungan dan partisipasi yang dapat diperoleh dari program kesehatan preventif

dari populasi sasaran di Dunia Ketiga seringkali sangat kontras dengan

penerimaan calon penerima sertifikat tanah di permukiman liar perkotaan. Sebab,

kebijakan terakhir berdampak langsung pada kondisi ekonomi dan rasa aman

warga.

Isi dari berbagai kebijakan juga menentukan tempat pelaksanaannya.

Aktivasi kebijakan moneter, misalnya, biasanya tergantung pada sejumlah unit

keputusan kunci di ibukota nasional, seperti aktor tingkat tinggi di kementerian

keuangan dan bank sentral. Kebijakan pendidikan, di sisi lain, dijalankan oleh

sejumlah besar pembuat keputusan individu yang tersebar di seluruh wilayah

geografis yang luas tetapi biasanya tergabung dalam satu organisasi birokrasi.

Pada akhirnya, setiap direktur sekolah dapat dibayangkan sebagai pelaksana

program apa pun yang dirancang. Yang lebih rumit lagi adalah kasus kebijakan

perumahan atau pertanian yang bergantung pada jaringan unit keputusan yang

tersebar luas yang tanggung jawabnya juga tersebar secara organisasional.

Misalnya, semua dapat terlibat sebagai pelaksana kebijakan pembangunan

pedesaan di negara tertentu. Karena lokasi implementasi menjadi lebih tersebar,

baik secara geografis maupun organisasi, tugas melaksanakan program tertentu


114

menjadi lebih sulit, mengingat peningkatan keterlibatan unit pengambilan

keputusan, dl * Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa implementasi de

desa - program pengembangan akan jauh lebih berat daripada melaksanakan

program baru untuk pengajaran sekolah dasar.

Keputusan yang dibuat selama perumusan kebijakan juga dapat

menunjukkan siapa yang akan ditugaskan untuk melaksanakan berbagai

program, dan keputusan tersebut dapat mempengaruhi bagaimana kebijakan

tersebut dijalankan. Mungkin ada, misalnya, perbedaan kapasitas berbagai

lembaga birokrasi untuk mengelola program dengan sukses. Beberapa akan

memiliki personel yang lebih aktif, ahli, dan berdedikasi daripada yang lain,

beberapa akan menikmati dukungan yang lebih besar dari elit politik dan memiliki

akses yang lebih besar ke sumber daya, dan beberapa akan lebih mampu

mengatasi berbagai tuntutan yang dibuat atas mereka. Selain itu, bentuk di mana

tujuan kebijakan itu sendiri dinyatakan mungkin memiliki dampak yang

diputuskan pada implementasi.

3. Konteks Kebijakan

Maka jelaslah bahwa isi program dan kebijakan publik merupakan faktor

penting dalam menentukan hasil inisiatif implementasi. Tetapi seperti yang

ditunjukkan oleh banyak contoh di atas, dan seperti terlihat pada Gambar 2.8, isi

kebijakan atau program seringkali merupakan faktor penting karena dampak

nyata atau potensial yang mungkin ditimbulkannya pada tatanan sosial, politik,

dan ekonomi tertentu. Oleh karena itu, perlu untuk mempertimbangkan konteks

atau lingkungan di mana tindakan administratif dilakukan. Kami telah memahami

implementasi sebagai proses pengambilan keputusan yang berkelanjutan yang

melibatkan berbagai aktor. Dalam proses penyelenggaraan program tertentu,


115

banyak pelaku diminta untuk membuat pilihan tentang alokasi spesifik sumber

daya publik dan banyak lainnya mungkin mencoba untuk mempengaruhi

keputusan. Daftar singkat dari mereka yang mungkin terlibat dalam pelaksanaan

program tertentu akan mencakup perencana tingkat nasional; politisi nasional,

regional, dan lokal; ekonomis kelompok elit, terutama di tingkat lokal; kelompok

penerima; dan pelaksana birokrasi di tingkat menengah ke bawah. Aktor-aktor ini

mungkin terlibat secara intens atau sedikit dalam implementasi, tergantung pada

isi program dan bentuk pelaksanaannya. Masing-masing mungkin memiliki

kepentingan tertentu dalam program, dan masing-masing mungkin berusaha

untuk mencapainya dengan membuat tuntutan pada prosedur alokasi. Seringkali,

tujuan para aktor akan berkonflik langsung satu sama lain dan hasil dari konflik

ini dan akibatnya, siapa mendapat apa, akan ditentukan oleh strategi, sumber

daya, dan posisi kekuasaan masing-masing aktor yang terlibat. Apa yang

diimplementasikan dengan demikian mungkin merupakan hasil dari kalkulus

politik kepentingan dan kelompok yang bersaing untuk mendapatkan sumber

daya yang langka, respons pejabat pelaksana, dan tindakan elit politik, semua

berinteraksi dalam konteks kelembagaan tertentu. Oleh karena itu, analisis

implementasi program-program khusus dapat menyiratkan penilaian

“kemampuan kekuatan” para aktor, kepentingan mereka dan strategi untuk

mencapainya, dan karakteristik rezim di mana mereka berinteraksi.' Hal ini pada

gilirannya dapat memfasilitasi penilaian potensi untuk mencapai tujuan kebijakan

dan program.
116

Gambar 2.9 Model Implementasi Kebijakan Menurut Grindle


Sumber: Grindle (1980)

Dalam mencapai tujuan tersebut pejabat menghadapi dua masalah

bawahan yang menyoroti interaksi lingkungan program dan administrasi program.

Pertama, pejabat harus mengatasi masalah bagaimana mencapai kepatuhan

dengan tujuan yang dinyatakan dalam kebijakan.'" Mereka harus, misalnya,

memperoleh dukungan dari elit politik, dan kepatuhan badan pelaksana, dari

birokrat yang bertugas melaksanakan program, elit politik tingkat yang lebih

rendah, dan penerima manfaat yang dimaksudkan. Mereka harus mengubah

oposisi dari mereka yang mungkin dirugikan oleh program menjadi penerimaan

mereka, dan mereka harus menjaga mereka yang dikecualikan, tetapi yang ingin

memperoleh manfaat, dari menumbangkan Menimbulkan kepatuhan semacam

ini dapat berarti banyak tawar-menawar, banyak akomodasi, dan sekali lagi,

contohnya konflik siderable. Namun, jika tujuan kebijakan secara keseluruhan

ingin direalisasikan, sumber daya yang diperjualbelikan untuk memperoleh


117

kepatuhan tidak boleh membahayakan dampak atau fokus program tertentu.

Namun, seringkali justru inilah yang terjadi.

Sisi lain dari masalah pencapaian kebijakan dan tujuan program dalam

lingkungan tertentu adalah daya tanggap. Idealnya, lembaga publik seperti

birokrasi harus tanggap terhadap kebutuhan mereka yang ingin mereka

manfaatkan agar dapat melayani mereka dengan sebaik-baiknya. Selain itu,

tanpa cukup tanggap selama implementasi, pejabat publik kehilangan informasi

untuk mengevaluasi pencapaian program dan dukungan penting untuk

keberhasilannya. Namun, dalam banyak kasus, ketanggapan dapat berarti

bahwa tujuan kebijakan tidak tercapai karena intervensi dari individu atau

kelompok yang sama, baik untuk memperoleh jenis barang dan jasa tertentu

dalam jumlah yang lebih besar atau untuk menghalangi pencapaian program

tertentu. yang mungkin tidak diterima oleh mereka sebagai sesuatu yang

bermanfaat. Ini adalah keseimbangan yang sulit untuk dicapai, dan yang

membutuhkan ketajaman politik yang cukup besar dalam perhitungan

kemungkinan tanggapan dari para aktor yang terlibat dan kapasitas mereka

untuk menumbangkan tujuan program. Agar efektif, maka para pelaksana harus

terampil dalam seni politik dan harus memahami dengan baik lingkungan di

mana mereka berusaha untuk mewujudkan kebijakan dan program publik. Ini

adalah keseimbangan yang sulit untuk dicapai, dan yang membutuhkan

ketajaman politik yang cukup besar dalam perhitungan kemungkinan tanggapan

dari para aktor yang terlibat dan kapasitas mereka untuk menumbangkan tujuan

program. Agar efektif, maka para pelaksana harus terampil dalam seni politik dan

harus memahami dengan baik lingkungan di mana mereka berusaha untuk

mewujudkan kebijakan dan program publik.


118

Terkait dengan ini adalah tema yang muncul dalam sejumlah studi kasus

dalam volume ini: sejauh mana rezim politik dan organisasi administratif memiliki

kekuatan untuk mengimplementasikan kebijakan yang menjadi komitmen mereka.

Niat baik mungkin tidak berarti apa-apa jika mereka yang bertanggung jawab

atas berbagai kebijakan atau program tidak dapat mengendalikan pengejaran

mereka. Masalah di sini mungkin sejauh mana kegiatan implementasi harus

didesentralisasi atau, di sisi lain, dikendalikan dari pusat politik atau birokrasi

negara. Studi kami menunjukkan bahwa sistem politik yang tidak memusatkan

sejumlah besar kekuasaan di pusat seharusnya tidak mendesentralisasikan

otoritas atau tanggung jawab implementasi jika mereka ingin melihat tujuan

mereka tercapai. Mereka mungkin gagal karena mereka memiliki sedikit kendali

atas penghargaan atau hukuman yang diperlukan untuk mencapai tujuan

program. Studi implementasi di Amerika Serikat juga menunjukkan kemungkinan

subversi tujuan program ketika kekuasaan di pusat tersebar luas. Namun,

desentralisasi mungkin merupakan strategi yang layak di mana otoritas pusat

mempertahankan kapasitas untuk memastikan bahwa pelaksanaan kegiatan

tetap berada dalam batas-batas tujuan dan struktur program.

Hal ini menunjukkan bahwa pertimbangan konteks tindakan administratif

juga melibatkan variabel-variabel seperti struktur institusi politik dan jenis rezim di

mana kebijakan atau program dijalankan. Sejumlah studi implementasi di

Amerika Serikat, misalnya, telah memilih struktur federal lembaga politik Amerika

sebagai faktor kontekstual yang membentuk hasil kebijakan dan program.'•

Dalam buku ini, beberapa studi menunjukkan bahwa proses implementasi dapat

sangat bervariasi tergantung pada apakah rezim politik adalah rezim otoriter,

atau sistem yang lebih terbuka di mana pemilihan memberlakukan tingkat


119

respons yang lebih besar pada pejabat politik dan administratif dan membatasi

kapasitas untuk "solusi" yang dipaksakan. Masalah ideologi, budaya, aliansi

politik dan imbalan, dan peristiwa internasional adalah pengaruh lingkungan lain

yang mungkin juga memiliki dampak yang cukup besar pada proses administrasi.

Selain itu, program tidak dilaksanakan secara terpisah dari kebijakan publik

lainnya; keberhasilan suatu program dapat dengan mudah dipengaruhi oleh

prioritas pejabat politik atau hasil dari program lain. Faktor-faktor ini menyiratkan

bahwa program-program yang identik dalam konten masih dapat dilaksanakan

secara berbeda jika konteks di mana mereka dikejar berbeda secara substansial.

Ini Faktor-faktor ini menyiratkan bahwa program-program yang identik dalam

konten masih dapat dilaksanakan secara berbeda jika konteks di mana mereka

dikejar berbeda secara substansial. Ini Faktor-faktor ini menyiratkan bahwa

program-program yang identik dalam konten masih dapat dilaksanakan secara

berbeda jika konteks di mana mereka dikejar berbeda secara substansial. Ini

pertimbangan lingkungan di mana implementasi terjadi mengarah pada

pertanyaan mengapa kami memilih untuk mencurahkan volume untuk studi

implementasi dan politik di Dunia Ketiga, pertanyaan yang dapat dijawab terbaik

melalui diskusi tentang aspek karakteristik politik. di negara-negara Asia, Afrika,

dan Amerika Latin.

2.4.2.8 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Menurut Van Metter dan Van Horn dalam Agustino (2016) menyatakan

bahwa ada enam faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan:

1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan

Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika

dan hanya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan
120

budaya sosial yang ada di level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran

kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal untuk dilaksanakan pada level

warga, maka agak sulit merealisasikan kebijakan publik pada level yang

dikatakan berhasil.

2. Sumber Daya

Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari

kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia

merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu

keberhasilan proses implementasi.

3. Karakteristik Agen Pelaksana

Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan

organisasi informal yang akan terlibat dalam implementasi kebijakan publik.

Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan akan sangat

banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen

pelaksananya. Selain itu cakupan atau luas wilayah implementasi

kebijakan juga perlu diperhitungkan manakala hendak menentukan agen

pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka

seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan.

a. Sikap/ Kecenderungan (disposition) para pelaksana

Sikap penerimaan atau penolakan dari pelaksana akan sangat banyak

mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi

kebijakan. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang

dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal

betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan.


121

b. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana

Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi

kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak-

pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya

kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula

sebaliknya.

c. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik

Hal terakhir yang juga perlu diperhatikan guna menilai kinerja

implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut

mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Karena

itu lingkungan ekonomi, sosial, dan politik yang kondusif juga perlu

diperhatikan dalam proses implementasi kebijakan.

2.4.2.9 Variabel yang Memengaruhi Implementasi Kebijakan

Menurut Grindle (1980), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh dua

variabel besar yaitu:

1. Isi Kebijakan (Content of Policy)

Variabel isi kebijakan mencakup sejauh mana kepentingan kelompok

sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan, jenis manfaat yang

diterima oleh target group, sejauh mana perubahan yang diinginkan dari

suatu kebijakan, apakah letak dari sebuah program sudah tepat, apakah

sebuah kebijakan telah menyebutkan implementatornya dengan rinci dan

apakah sebuah program di dukung oleh sumber daya manusia.

2. Lingkungan Implementasi (Context of Policy)


122

Variabel lingkungan kebijakan mencakup seberapa besar kekuasaan,

kepentingan, strategi yang dimiliki para aktor yang terlibat dalam

implementasi kebijakan, Karakteristik institusi dan rejim yang sedang

berkuasa dan Tingkat kepatuhan dan responsivitas sasaran.

Sedangkan menurut Mazmanian dan Sebastier (1983) terdapat tiga

kelompok variabel yang berpengaruh terhadap implementasi suatu kebijakan

yaitu:

1. Karakteristik dari masalah (Tractability of The Problem)

Kelompok variabel karakteristik masalah mencakup: a) Tingkat kesulitan

teknis dari masalah yang bersangkutan; b) Tingkat kemajemukan dari

kelompok sasaran; c) Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi;

dan d). Cakupan perubahan perilaku yang diinginkan.

2. Karakteristik kebijakan/undang-undang (Ability of Statute to Structure


Implementation).

Kelompok variabel karakteristik kebijakan/ undang-undang mencakup: (a)

Kejelasan isi kebijakan; (b) Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki

dukungan teoritis; (c) Besarnya alokasi sumber daya finansial terhadap

kebijakan tersebut; (d) Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan

antar berbagai institusi pelaksana; (e) Kejelasan dan konsistensi aturan yang

ada pada badan pelaksana; (f) Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan

kebijakan; dan (g) Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk

berpartisipasi dalam implementasi kebijakan.

3. Variabel lingkungan (Nonstatutory Variables Affecting Implementation).

Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup a) Kondisi sosial


123

ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi; b) Dukungan publik

terhadap sebuah kebijakan; c) Sikap dari kelompok pemilih; dan d) Tingkat

komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementator.

2.5. Kerangka Pikir

Gambar 2.10. Kerangka Penelitian


Sumber: Olahan Peneliti
124

Berdasarkan kerangka penelitian di atas, bahwa penelitian yang digunakan oleh


penelitian berdasarkan normatif yang berlaku dari peraturan Pusat dan Provinsi.
Penggunaan teori Grindle dalam penelitian ini sesuai dengan kondisi lapangan
yang ada dan implementasi kebijakan yang diterapkan. Secara teoritis,
komponen teori Grindle sesuai penelitian yang dilakukan, dilihat dari kepentingan
yang mempengaruhi, tipe manfaat yang diperoleh, derajat perubahan yang
diinginkan, letak pengambilan keputusan, pelaksana program, dan sumber-
sumber daya yang digunakan. Komponen yang termasuk dalam konteks
implementasi terdiri dari kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat,
karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa, dan tingkat kepatuhan dan
adanya respon dari pelaksana.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian tentang Model Implementasi Kebijakan Program Percepatan

Pengendalian Pencemaran Dan Perusakan Daerah Aliran Sungai Citarum

termasuk dalam penelitian deskriptif yang mengungkapkan tema yang diangkat

secara mendalam sehingga penelitian ini masuk dalam penelitian kualitatif.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena bertumpu pada

keterlibatan langsung dengan peserta penelitian sehingga pendekatan ini

merupakan tempat terbaik untuk memulihkan dan memajukan bentuk-bentuk

baru ilmu pengetahuan dan pemerintahan. Pada pendekatan kualitatif ini

pengumpulan data berdasarkan kata-kata (dari wawancara) atau dari gambar

dari sejumlah kecil individu sehingga diperoleh pandangan partisipan.

Miles & Hubermen (2002), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis

data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus

sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Ukuran kejenuhan data ditandai dengan

tidak diperolehnya lagi data atau informasi baru. Aktivitas dalam analisis meliputi

reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) serta Penarikan

kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing/ verification).

3.2. Fokus Penelitian

Fokus penelitian dari disertasi yang berjudul “Implementasi Kebijakan

Percepatan, Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai

Citarum” sebagai berikut :


126

1. Content of Policy Tentang Kebijakan Percepatan, Pengendalian

Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum, yang

didalamnya terdiri dari beberapa sub dimensi yaitu :

a Kepentingan yang Mempengaruhi

b Tipe Manfaat yang Diperoleh

c Derajat Perubahan yang Diinginkan

d Letak Pengambilan Keputusan

e Pelaksana Program

f Sumber-Sumber Daya yang Digunakan

2. Context of Implementation tentang Kebijakan Percepatan, Pengendalian

Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum, yang

didalamnya terdiri dari beberapa sub dimensi yaitu :

a Kekuasaan, Kepentingan dan Strategi Aktor yang Terlibat

b Karakteristik Lembaga dan Rezim yang Berkuasa

c Tingkat Kepatuhan dan Adanya Respon Dari Pelaksana

3. Outcome dari implementasi tentang Kebijakan Percepatan, Pengendalian

Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum.

4. Pengembangan Model Implementasi Kebijakan tentang Percepatan,

Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum

3.3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan

seluruh Kabupaten serta Kota yang juga merupakan Daerah Aliran Sungai

Citarum dengan melakukan pengumpulan data pada masyarakat di sepanjang

Sungai Citarum, khususnya masyarakat yang menerima fasilitas BPJS

Kesehatan di sepanjang Sungai Citarum. Daerah Aliran Sungai Citarum menjadi


127

lokasi penelitian karena DAS ini telah diklaim sebagai sungai terkotor di dunia

(Kompas, 2017), padahal keberadaan Sungai Citarum memegang peran sangat

strategis terhadap kehidupan warga Jawa Barat dan DKI Jakarta (Kompas,

2018b). Untuk itu, perlu dilakukan kajian implementasi Kebijakan Percepatan,

Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum.

Dengan demikian, pelayanan publik menjadi lebih efisien dan efektif karena telah

adanya integrasi data identitas secara nasional.

3.4. Informan

Informan dalam penelitian ini dipilih dengan teknik pengambilan sampel

yaitu, purposive sampling. Teknik pengambilan sampel dengan purposive

sampling adalah penentuan informan dengan maksud dan tujuan tertentu

sehingga cara menentukan informan yaitu dengan menyesuaikan kriteria sesuai

dengan penelitian ini. Informan penelitian ini dipilih berdasarkan alasan yaitu

informan-informan ini memahami mengenai kondisi Sungai Citarum, mulai dari

kebijakan yang diimplementasikan, pengendalian pencemaran, dan perusakan

daerah tersebut. Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh informan sebagai

berikut :

1. CH sebagai Kepala Dinas Pendidikan Kab. Bekasi.

2. AD sebagai Analis Kebijakan, Ahli Pertama Kementerian Koordinator

Bidang Kemaritiman dan Investasi

3. SB sebagai Kasubdit Wilayah I Direktorat Sanitasi, Ditjen Cipta Karya

Kementerian PUPR.

4. NA sebagai Koordinator Air Minum dan Sanitasi, Drijen Perumahan dan

Kawasan Pemukiman Bappenas.

5. AF sebagai Fungsional Penyuluh Lingkungan Ahli Muda Kementerian LH


128

dan Kehutanan.

Pada daerah pinggir Sungai Citarum sendiri terbagi menjadi 23 sektor di bawah

arahan langsung Dansektor. Fokus penanganan pada daerah sempadan

tersebar di 629 kelurahan/desa, 111 kecamatan, dan 11 kabupaten/kota. Daftar

Desa dan Kecamatan per kabupaten/kota.

Dalam penelitian ini, menggunakan dua sumber, yaitu data primer dan

data sekunder. Sumber primer atau primary source adalah data yang diperoleh

dari informan secara langsung atau dari tangan pertama berupa pendapat yang

sifatnya subyektif dari informan berupa persepsi pribadi namun data yang ada

belum diolah. Dalam penelitian dengan menggunakan data primer peneliti

menggunakan informan yang telah dipilih dengan menggunakan, kuesioner

wawancara dan observasi yang berhubungan dengan penelitian.

Sedangkan data sekunder atau secondary source adalah sumber yang

objektif yang telah teruji dan terukur biasanya sudah diolah oleh pihak ketiga

dan dapat ditemukan dalam monografi, data dalam angka hasil penelitian

terdahulu yang menjadi acuan penelitian, berupa informasi atau keterangan

tertulis berkaitan dengan objek penelitian berupa catatan-catatan, arsip-arsip

resmi dan dokumen-dokumen yang berisi informasi berkaitan dengan data yang

diperoleh di lapangan.

Dalam pemilihan informan peneliti menentukan informan sesuai dengan

kriteria, seperti dapat berkomunikasi dengan baik, memiliki pengetahuan yang

baik terhadap obyek yang akan diteliti, budayawan atau tokoh adat, pihak

pemerintah, pihak institusi atau instansi, dan pelaku aktivitas fisik. Informan

yang baik adalah: “mereka yang menguasai permasalahan yang benar-benar


129

diperlukan oleh peneliti, penguasaan yang dimaksudkan diperoleh melalui

pengalaman yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun sehingga mereka

dapat menjelaskannya tanpa memikirkannya (Spradley, 2007). Informasi atau

data yang dikumpulkan sehubungan dengan sosial dan sub sosial penelitian,

sumber data primer maupun sekunder yang digunakan dalam penelitian baik

informan, peristiwa maupun dokumen.

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam

penelitian, Karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.

Tanpa mengetahui metode pengumpulan data, maka peneliti tidak akan

mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan.

Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai sumber, dan berbagai

cara. Jika dilihat dari settingnya, data dapat dikumpulkan pada setting alamiah

(natural setting), sedangkan dari sumber datanya, maka pengumpulan data

dapat menggunakan sumber primer, dan sumber sekunder. Sumber primer

adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data

dan sumber sekunder merupakan sumber merupakan sumber yang tidak

langsung memberikan data kepada pengumpulan data, misalnya lewat orang

lain atau lewat dokumen. Pengumpulan data kualitatif dilakukan pada natural

setting (kondisi yang alamiah), sumber data primer, dan teknik pengumpulan

data lebih banyak pada, wawancara dan dokumentasi, yang meliputi sebagai

berikut.

3.5.1 Studi Dokumentasi

Teknik mencari berbagai laporan kebijakan dengan mendownload dari


130

situs-situs milik lembaga negara. Laporan yang diterbitkan secara resmi adalah

laporan yang lebih bisa diandalkan sebagai bahan kajian melalui penelaahan

berbagai literatur, buku, naskah ilmiah, laporan penelitian, dokumen, perundang-

undangan negara maupun peraturan yang berkaitan dengan Implementasi

Kebijakan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan

Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum, Studi

Pelayanan Kesehatan Berbasis Single Identity Number.

3.5.2. Observasi

Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan

teknik melihat dan mengamati fenomena sosial yang terjadi di lokasi penelitian.

Observasi yang dilakukan yaitu dengan mengunjungi beberapa titik lokasi

penelitian di Sungai Citarum untuk melihat pencemaran di sekitar lingkungan.

Selain itu, observasi ini juga dilakukan untuk mengamati sistem pelayanan

kesehatan, relokasi penduduk yang tinggal di sepanjang DAS Citarum,

pembangunan WC umum serta pengelolaan limbah bangkai dan kotoran hewan.

3.5.3. Wawancara

Data yang diperoleh adalah dari hasil wawancara mendalam dengan

bentuk rekaman hasil wawancara dengan informan dan disampaikan secara

transkrip. Kemudian peneliti melihat kalimat atau paragraf terhadap informasi

yang diperoleh menunjukkan konsep yang ada di dalam teori. Setiap sesi

wawancara diharapkan dapat memberikan informasi mengenai langkah-langkah

yang perlu ditambahkan dalam implementasi kebijakan yang merupakan

temuan atau kontribusi penelitian.


131

Dokumen yang diperlukan dalam penelitian ini adalah berbagai dokumen

seperti dokumen kebijakan tertulis, arsip, dokumen sejarah, catatan resmi atau

tulisan pribadi dan gambar atau foto. Selain itu, dokumen yang diperlukan dalam

penelitian ini juga dokumen terkait dengan perencanaan jangka menengah dan

tahunan, dokumen perencanaan pembangunan nasional, serta melakukan reviu

atas pelaksanaan program prioritas pengelolaan terpadu DAS Citarum.

3.6. Keabsahan Data

3.6.1. Uji Credibility (Validitas Internal)

Merupakan penetapan hasil penelitian kualitatif yang kredibel atau

dapat dipercaya dari perspektif partisipan dalam penelitian tersebut. Tujuannya

adalah mendeskripsikan atau memahami fenomena yang menarik perhatian dari

sudut pandang partisipan. Dalam konteks penelitian ini, perspektif partisipan

dilihat dari para pemangku kepentingan yang terlibat dalam implementasi

kebijakan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 di antaranya Pemerintah

Provinsi Jawa Barat, Kodam III/Siliwangi, dsb.

Dalam penelitian kualitatif peneliti menggunakan metode wawancara,

observasi, dan survei. Untuk memperoleh kebenaran informasi yang andal dan

gambaran yang utuh mengenai informasi tertentu, peneliti bisa menggunakan

metode wawancara dan observasi atau pengamatan untuk mengecek

kebenarannya. Selain itu, peneliti juga bisa menggunakan informan yang

berbeda untuk mengecek kebenaran informasi tersebut. Triangulasi tahap ini

dilakukan jika data atau informasi yang diperoleh dari subjek atau informan

penelitian diragukan kebenarannya. Triangulasi antar-peneliti dilakukan dengan

cara menggunakan lebih dari satu orang dalam pengumpulan dan analisis data.

Teknik ini untuk memperkaya khasanah pengetahuan mengenai informasi yang


132

digali dari subjek penelitian. Namun orang yang diajak menggali data itu harus

yang telah memiliki pengalaman penelitian dan bebas dari konflik kepentingan

agar tidak justru merugikan peneliti dan melahirkan bias baru dari triangulasi.

1. Triangulasi sumber data adalah menggali kebenaran informasi tertentu

melalui berbagai metode dan sumber perolehan data. Misalnya, selain

melalui wawancara dan observasi, peneliti bisa menggunakan observasi

partisipan (participant observation), dokumen tertulis, arsip, dokumen

sejarah, catatan resmi, catatan atau tulisan pribadi dan gambar atau foto.

Masing-masing cara itu akan menghasilkan bukti atau data yang berbeda,

yang selanjutnya akan memberikan pandangan (insights) yang berbeda

pula mengenai fenomena yang diteliti (Hendratno & Fitriati, 2016; Wilopo

& Fitriati, 2016).

2. Triangulasi teori, hasil akhir penelitian kualitatif berupa sebuah rumusan

informasi atau thesis statement. Informasi tersebut selanjutnya

dibandingkan dengan perspektif teori yang relevan untuk menghindari

bias individual peneliti atas temuan atau kesimpulan yang dihasilkan.

Selain itu, triangulasi teori dapat meningkatkan kedalaman pemahaman

asalkan peneliti mampu menggali pengetahuan teoritik secara mendalam

atas hasil analisis data yang telah diperoleh.

Untuk melakukan hal ini, peneliti membandingkan tiga sumber data yaitu

dokumen kebijakan, hasil focus group discussion, dan hasil wawancara.

Walaupun wawancara bersifat terbuka, dari paparan akan terlihat sejumlah

informasi yang dapat dibandingkan menggunakan literatur yang ada serta hasil

focus group discussion. Jika terdapat hasil yang berbeda, keputusan mengenai
133

mana yang benar tergantung pada penafsiran peneliti. Agar proses penelitian

dapat lebih jelas dan terpahami, peneliti membuat diagram alur proses penelitian.

Proses penelitian dimulai dari desain wawancara dan focus group

discussion, penentuan narasumber, penentuan waktu pelaksanaan wawancara

dan focus group discussion. Setelah dilakukan, data dikumpulkan dan direkam

sehingga dapat dilakukan proses transkripsi. Transkripsi dan pengelompokan

tidak dilakukan pada literatur dokumen (kebijakan, rencana strategis, gambaran

SDM, laporan). Setelah itu, dilakukan triangulasi data pada data-data yang dapat

dibandingkan. Hasil analisis dideskripsikan dan sejumlah isu ditarik dari hasil ini.

Isu ini kemudian menjadi bekal untuk wawancara pakar yang bertujuan

melakukan mengetahui solusi atas permasalahan.

Dengan kata lain, deskripsi hasil dapat langsung ditarik dari transkrip

wawancara. Hal ini dimungkinkan karena telah tertanam dalam pertanyaan yang

diajukan pada narasumber pakar. Sungguhpun demikian, tahap triangulasi masih

dapat dilakukan dengan membandingkan pendapat pakar dengan literatur teoritis

maupun empiris, dan relevan. Hasil akhir adalah analisis pemecahan masalah

dengan pendapat pakar yang kemudian diolah menjadi rekomendasi penelitian.

Analisis diarahkan untuk menemukan keteraturan-keteraturan tertentu

melalui pendekatan interaktif atau siklus pertanyaan dan jawaban. Analisis

diakhiri ketika inferensi dipandang “valid” dalam arti dipandang merupakan

sesuatu yang mungkin (probable), reasonable, dan tampaknya benar.

Pengolahan data dapat dilakukan melalui tahapan-tahapan melakukan klasifikasi:

rekaman wawancara, catatan lapangan (field notes), data sekunder.

Dalam hubungan ini data yang tersaji, berupa kelompok-kelompok atau

gugusan-gugusan yang kemudian saling dikait-kaitkan sesuai dengan kerangka


134

teori yang digunakan. Analisis dilakukan pada beberapa tingkatan, yaitu untuk

mengeksplorasi, mendeskripsikan, atau menjelaskan pola-pola hubungan

(kausalitas) dari sejumlah kategori konseptual tertentu. Dalam penelitian kualitatif,

hubungan kausal dipahami sebagai hubungan yang terjadi secara langsung

maupun secara longitudinal pada proses-proses lokal yang mendasari suatu

rangkaian (serial), kejadian-kejadian (events), dan keadaan (states), yang

menunjukkan bagaimana semuanya ini mengarah pada sebuah hasil tertentu,

dan menggugurkan hipotesis lain.

3.6.2. Uji Transferability (Validitas Eksternal)

Transferabilitas merupakan tanggung jawab seseorang dalam

melakukan generalisasi. Peneliti kualitatif dapat meningkatkan transferabilitas

dengan melakukan suatu pekerjaan mendeskripsikan konteks penelitian dan

asumsi-asumsi yang menjadi sentral dari penelitian tersebut. Orang yang ingin

mentransfer hasil penelitian pada konteks yang berbeda bertanggungjawab

untuk membuat keputusan tentang bagaimana transfer tersebut masuk akal.

Dalam konteks penelitian ini, deskripsi konteks penelitian dan asumsi-

asumsi yang menjadi sentral perspektif partisipan dilihat dari tokoh kunci

implementator kebijakan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 di

antaranya Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Komandan Sektor 1-23 yang

merupakan perpanjangan tangan dari Kodam III/Siliwangi, dsb.

3.6.3. Uji Dependability (Reliabilitas)

Tujuannya untuk mengulangi atau mereplikasi proses penelitian

tersebut. Uji dependability dilakukan dengan melakukan audit terhadap

keseluruhan proses penelitian, mengingat sering terjadi peneliti tidak melakukan


135

proses penelitian di lapangan, tetapi bisa memberikan data. Peneliti seperti itu

perlu dilakukan uji dependability.

Jika proses penelitian tidak dilakukan tetapi datanya ada, maka

penelitian tersebut tidak reliable atau dependable. Untuk itu pengujian

dependability dilakukan dengan cara melakukan audit terhadap keseluruhan

proses penelitian. Hal ini dilakukan auditor yang independen, atau pembimbing

untuk mengaudit keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian.

Bagaimana peneliti mulai menentukan masalah atau sosial, memasuki lapangan,

menentukan sumber data, melakukan analisis data, melakukan uji keabsahan

data, sampai membuat kesimpulan harus dapat ditunjukkan peneliti. Jika peneliti

tidak dapat menunjukkan Jejak aktivitas lapangannya maka dependabilitas

penelitiannya patut diragukan.

Terdapat tiga teknik dalam menguji reabilitas penelitian, yaitu peneliti

memberikan penjelasan detail mengenai fokus penelitian, peran penelitian,

kedudukan informan, dan dasar penelitian. Kemudian, dalam mengumpulkan

dan menganalisis data diterapkan traingulasi dan beberapa metode lain. Lalu,

dalam memberikan gambaran yang jelas dan akurat terkait metode yang

digunakan dalam penelitian perlu dilakukan pelaporan secara detai mengenai

strategi pengumpulan dan analisis data. Diperlukan seorang auditor luar yang

ahli dan berpengalaman dalam metode peneltian kualitatif untuk memeriksa

semua tahap dalam penelitian (J. W. Creswell, 2015).

Dalam konteks penelitian ini, audit terhadap keseluruhan proses

penelitian dilakukan oleh rekan sejawat dan Pemerintah Pusat cq. Ditjen

Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri yang ikut terlibat dalam


136

kajian dan memberikan masukan untuk Program Citarum Harum Juara sesuai

dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018.

3.6.4. Uji Confirmability (Objektivitas)

Penelitian dikatakan obyektif bila hasil penelitian telah disepakati banyak

orang. Menguji confirmability berarti menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan

proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari proses

penelitian yang dilakukan maka penelitian tersebut telah memenuhi standar

confirmability.

Dengan perpanjangan pengamatan akan dapat meningkatkan

pengamatan kepercayaan atau kredibilitas data, Dengan perpanjangan

pengamatan peneliti kembali ke lapangan, melakukan pengamatan,

wawancara lagi dengan sumber data yang pernah ditemui maupun baru; dan

Meningkatkan ketekunan. Meningkatkan ketekunan berarti melakukan

pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan, maka kepastian data

dan urutan peristiwa akan dapat direkam secara pasti dan sistematis.

Dalam konteks penelitian ini, pengujian hasil penelitian yang dikaitkan

dengan proses dilakukan dengan melibatkan para pemangku kepentingan

yang terlibat dalam implementasi kebijakan Peraturan Presiden Nomor 15

Tahun 2018 di antaranya Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Kodam III/Siliwangi,

dsb.
137

Uji Kredibilitas data

Uji Transferability

Uji Keabsahan data Uji Dependability

Uji Confirmability
Uji Confirmability

Gambar 3.1 Keabsahan Data dalam Penelitian Kualitatif

Sumber: W. J. Creswell & Creswell (2018)

Perpanjangan
pengamatan

Peningkatan
ketekunan

Trianggulasi
Uji Kredibilitas data
Diskusi dengan
teman

Analisis kasus
negatif

Member Check

Gambar 3.2 Uji Kredibilitas Data dalam Penelitian Kualitatif

Sumber: W. J. Creswell & Creswell (2018)

3.7. Analisis Data

Analisis data adalah proses untuk menemukan pola dengan cara

melakukan penelusuran melalui catatan dokumentasi dan hasil wawancara

dalam rangka untuk mencapai tujuan penelitian. Dalam konteks Implementasi

Kebijakan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 tujuan analisis data

diorientasikan untuk menemukan jawaban apakan hasil kebijakan Implementasi


138

Kebijakan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 benar-benar telah

menjawab permasalahan kebijakan yang dirumuskan. Menurut Miles dan

Huberman (1992), proses analisis data kualitatif terdiri dari tiga alur kegiatan

setelah pengumpulan data (data collection) yaitu reduksi data (data reduction),

penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan atau verifikasi

(conclusion drawing verivication). Pada gambar 3.3 berikut ini telah dimodifikasi

disesuaikan dengan kebutuhan penelitian yang prosesnya sebagai berikut:

1. Reduksi Data, pada tahap ini, data yang diperoleh dari pengumpulan data

dituangkan dalam uraian atau laporan yang lengkap dan terinci. Laporan

lapangan akan direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan

pada hal-hal yang penting kemudian dicari tema atau polanya (melalui proses

penyuntingan, pemberian kode, dan pentabelan). Reduksi data ini dilakukan

secara terus menerus selama proses penelitian berlangsung.

2. Penyajian Data, atau display data dimasudkan untuk memudahkan dalam

melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari

penelitian. Dengan kata lain merupakan pengorganisasian data ke dalam

bentuk tertentu sehingga kelihatan dengan sosoknya lebih utuh.

3. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi, dalam penelitian kualitatif, penarikan data

dilakukan secara terus menerus sepanjang proses penelitian berlangsung.

Sejak awal memasuki lapangan dan selama proses pengumpulan data,

berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari data yang

dikumpulkan yaitu dengan cara mencari pola, tema, hubungan persamaan,

hal-hal yang sering timbul, yang dituangkan dalam kesimpulan yang masih

bersifat tentatif, akan tetapi dengan bertambahnya data melalui proses

verifikasi secara terus menerus, maka akan diperoleh kesimpulan yang


139

senantiasa terus dilakukan verifikasi selama penelitian berlangsung yang

melibatkan interprestasi.

Gambar 3,3 Komponen Analisis Data: Model Interaktif


Sumber: Miles dan Huberman, 1992.

Pengolahan data sebagian menggunakan HyperResearch untuk memetakan

jawaban dari informan.

Fokus penelitian ini adalah melakukan analisis Implementasi Kebijakan

Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 Tentang Percepatan Pengendalian

Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum. Data yang diperoleh

dari hasil wawancara, dalam bentuk rekaman diubah dan disampaikan secara

transkrip. Kemudian peneliti melihat kalimat atau paragraf terhadap informasi

yang diperoleh yang menunjukkan konsep yang ada di dalam teori yakni konsep-

konsep unit analisis pengembangan organisasi berdasarkan teori

pengembangan organisasi (Werner & Desimone, 2012).

Analisis dengan pendekatan kualitatif sendiri, telah dimulai sejak

pengembangan desain penelitian. Sejalan dengan perkembangan pengumpulan

data di lapangan, analisis dilakukan terus-menerus secara interim sampai

menemukan jawaban yang memadai atas masalah penelitian. Data kemudian

disusun menjadi narasi setelah data-data ini dikelompokkan sesuai tema dalam
140

transkrip hasil wawancara. Perolehan data lapangan praktik pengembangan

organisasi tentang apa yang terjadi di cek, apakah sesuai dengan teori yang ada

(deduktif) dan selanjutnya diharapkan akan melihat pada hal-hal baru, langkah-

langkah baru yang perlu ditambahkan, yang merupakan temuan atau kontribusi

ilmiah yang tidak terdapat dalam teori, hal ini merupakan induktif. Validitas terkait

hasil penafsiran dapat diperiksa dengan menggunakan triangulasi.


BAB IV

GAMBARAN UMUM DAN PERMASALAHAN PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Sungai Citarum sebagai Tujuan Kebijakan

4.1.1. Demografi Daerah Aliran Sungai Citarum

Lokasi penelitian adalah Sungai Citarum yang merupakan salah satu

sungai utama di Jawa Barat. Sungai ini memiliki hulu yang berasal dari mata air

di Gunung Wayang, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung pada ketinggian

+2.182 m dpl dan bermuara di laut Jawa daerah Kabupaten Karawang dengan

panjang sungai kira-kira 300 Km. Sungai Citarum mengaliri 7 kabupaten dan 1

kota yaitu, Kabupaten Bandung, Sumedang, Cianjur, Purwakarta, Bogor, Bekasi,

Karawang, dan Kota Bandung dengan luas DAS sekitar 6.540 Km2.

DAS Citarum secara fisik terbagi menjadi 3 bagian, yaitu bagian Hulu,

Tengah dan Hilir dengan panjang sungai masing-masing sekitar 100 km. Citarum

Hulu sampai dengan inlet waduk Saguling dengan luas 1.771 km2. Bagian

Tengah yaitu inlet dari waduk Saguling sampai outlet Waduk Jatiluhur dengan

luas 4.242 km2 dan bagian Hilir yaitu dari waduk Jatiluhur sampai muara seluas

527 km2 dengan panjang 125 Km.

Selain itu, Sungai Citarum memiliki potensi ekonomi, ekologi, dan sosial

yang sangat penting bagi Jawa Barat karena tingginya tingkat ketergantungan

masyarakat terhadap Sungai Citarum. Hal ini dapat dilihat dari adanya

pembangunan tiga waduk, yaitu Waduk Saguling, Cirata, dan Juanda yang

menerapkan pola listrik-listrik-multiguna.


142

Waduk Saguling yang terletak di Kabupaten Bandung memiliki manfaat untuk

PLTA yang menghasilkan listrik hingga sebesar 700 MW. Waduk Cirata yang

terletak di antara Kabupaten Bandung, Kabupeten Cianjur, dan Kabupaten

Purwakarta juga dimanfaatkan untuk PLTA yang menghasilkan listrik dengan

daya terpasang sebesar 2 x 500 MW (tahap I dan tahap II) dan energi

pertahunnya kurang lebih sebesar 14.124 juta KW jam (KWh). Lalu, Waduk

Jatiluhur yang terletak di Kabupaten Purwakarta selain dimanfaatkan untuk PLTA,

waduk ini dimanfaatkan juga untuk berbagai keperluan yaitu sumber air minum,

perikanan, pertanian, rekreasi dan sarana olahraga. Selain itu Waduk Jatiluhur

juga merupakan penyuplai air baku air minum dan penggelontoran kota DKI

Jakarta.

Berdasarkan Pusat Litbang SDA, sungai Citarum memiliki panjang kurang

lebih 225 km, berhulu di Cisanti, lereng Gunung Wayang, salah satu anak

Gunung Malabar, Bandung Selatan, Sungai Citarum mengalir ke bagian tengah

Provinsi Jawa Barat dari selatan kearah utara dan akhirnya bermuara di Laut

Jawa. Sungai Citarum hulu adalah sungai Citarum yang melewati DAS Citarum

bagian hulu.

Dulu kehadiran Sungai Citarum yang cukup jernih dan bersih sangat

membantu penghidupan masyarakat sekitar, bahkan penduduk sekitar juga

sangat memelihara kondisinya. Kini, Sungai Citarum tak lagi berfungsi sebagai

pemasok air untuk pertanian. Di sekitarnya, dibangun Pembangkit Listrik Tenaga

Air (PLTA) serta waduk. Keberadaan PLTA maupun waduk tidak sejalan dengan

pemeliharaan lingkungan sekitar. Keadaan lingkungan di sekitar Sungai Citarum

telah banyak berubah sejak tahun 1980. Industrialisasi yang pesat di kawasan

sekitar sungai ini sejak akhir tahun 1980 telah menyebabkan menumpuknya
143

sampah buangan pabrik-pabrik, limbah pabrik dan sampah rumah tangga

menggenangi permukaan sungai. Bahkan sungai dengan nilai sejarah, ekonomi,

dan sosial yang tertinggi ini sejak 2007 menjadi salah satu sungai dengan tingkat

ketercemaran tertinggi di dunia (2007).

Kecamatan Majalaya merupakan salah satu sentra dari kawasan industri

tekstil Majalaya yang menghasilkan air limbah. Kawasan industri yang pertama-

tama dilalui oleh Sungai Citarum hulu adalah kawasan insdustri tekstil Majalaya

yang mulai terbentuk sejak tahun 1910-an (2011). Terdapat sekitar 800 pabrik

tekstil beroperasi di wilayah tersebut dengan tingkatan konsentrasi bahan

pencemar dari berbagai jenis polutan nilainya lebih tinggi dari standar normal

(ambang batas pencemaran). Disisi lain, kontaminan yang mempengaruhi

Sungai Citarum selain dari limbah industri juga berasal dari limbah pertanian

(pupuk sintetis dan pestisida), jasa (minyak dan logam) dan domestik (detergen,

logam, dan plastik). Sungai yang didominasi oleh aktivitas pertanian pada daerah

hulu, kandungan DDT dalam badan air terdeteksi dalam kadar yang tinggi,

meskipun larangan menggunakan DDT dalam kegiatan pertanian sudah diatur

oleh hukum (2005). Selain itu, hasil investigasi terdahulu di Waduk Saguling

pada tahun 1997 mengungkapkan fakta bahwa konsentrasi logam berat seperti

kadmium (Cd), tembaga (Cu), nikel (Ni) dan timbal (Pb) ditemukan berada dalam

konsentrasi yang tinggi dalam dua spesies ikan yang biasa dikonsumsi

masyarakat, yakni spesies Oreochromis nilotica dan Hampala macrolepidota

(1997). Sedangkan pada tahun 2004, dalam sebuah penelitian yang dilakukan

oleh PT Indonesia Power dan Lembaga Ekologi Universitas Padjajaran di Waduk

Saguling menyatakan bahwa kualitas air Sungai Citarum sudah tidak memenuhi

standar kualitas normal (2004).


144

Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum, Yudha Mediawan

mengatakan, banjir yang menerjang wilayah Bandung tak lepas dari gambaran

permasalahan dari citarum hulu menuju hilir. Menurutnya permasalahan Citarum

Hulu yakni lahan kritis 26,022 hektare (20 persen) dan erosi sebesar 592.11 ton

per hektare per tahun, sampah 500.000 meter kubik per tahun yang tidak dapat

ditampung masuk ke sistem drainase dan sungai. Kemudian sedimentasi 7,9 juta

ton per tahun masuk ke sungai Citarum akibat tingginya erosi yang terjadi di

daerah hulu sungai dan sungai tercemar dari limbah industri yang dibuang ke

Sungai Citarum setiap harinya. Selanjutnya adalah permukiman berkembang

tanpa perencanaan yang baik dan juga tanpa memperhatikan tata ruang yang

ada serta penurunan tanah di cekungan bandung 4-5 centimeter per tahun

karena pengambilan air tanah yang berlebihan oleh industri (2018).

4.1.2. Kebijakan untuk Mengatasi Pencemaran

Dalam mengatasi permasalahan yang ada, sudah banyak tindakan yang

diambil oleh pemerintah dalam mengatasi pencemaran di Sungai Citarum.

Sungai sepanjang 269 kilometer yang melintasi 13 kabupaten dan kota di Jawa

Barat ini dinobatkan sebagai satu dari sepuluh wilayah terkotor di dunia. Predikat

yang disandang Citarum berdasar laporan dari Green Cross Switzerland dan

Blacksmith Institute pada 2013. Pemerintah Indonesia bukannya diam. Jauh

sebelum Citarum dinobatkan sebagai sungai terkotor di dunia, Pemerintah

Provinsi Jawa Barat telah berulang kali menjalankan program rehabilitasi untuk

sungai terpanjang di Jawa Barat.

4.1.2.1. Program Citarum Bergetar

Pada periode 2000-2003, dicanangkan program Citarum Bergetar. Kata

“bergetar” ialah singkatan bersih, geulis (cantik dalam bahasa Sunda), dan lestari.
145

Program dan rencana aksi yang dilakukan dalam pengelolaan Sungai Citarum

sudah melibatkan banyak pihak. Termasuk program Citarum Bergetar (bersih,

geulis dan lestari) ini yang meliputi kebijakan dan hukum, pengendalian

pemulihan konservasi, dan pemberdayaan masyarakat. Pola induk Citarum

Bergetar lahir sebagai respon keprihatinan atas kondisi daya dukung sumber air

dan lingkungan yang kian kritis. Langkah ini digagas oleh Pemerintah Provinsi

Jawa Barat. Citarum Bergetar dimulai 2001, salah satunya membentuk tim

investigasi permasalahan DAS Citarum. Kemudian dibentuk action plan

pengendalian kerusakan, pencemaran dan pemulihan DAS Citarum. Misi penting

yang diemban yaitu memperbaiki proses dan kualitas penataan ruang berbasis

ekosistem Citarum. Namun di kemudian hari, program ini dianggap belum

optimal mengatasi pencemaran di sungai yang menghidupi setidaknya 27,5 juta

jiwa warga Jawa Barat dan DKI Jakarta. Citarum Bergetar berjalan tanpa

diketahui tingkat keberhasilannya. Terindikasi, adanya tumpang tindih regulasi

yang menjadi penyebab. Faktualnya, di DAS Citarum ditangani banyak pihak,

mulai pemerintah pusat, provinsi, daerah, serta BUMD dan BUMN. Mengingat,

peran sungai sepanjang 297 kilometer ini memang vital.

4.1.2.2. Investasi Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu Citarum

Program yang diusung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

(Bappenas) tahun 2008 ini merupakan kebijakan baru melihat banyaknya

perkara di salah satu sungai strategis nasional ini. Dengan menyepakati tawaran

pinjaman dari Asian Development Bank (ADB) untuk memulihkan Citarum,

pemerintah menjalankan program dengan besar paket pinjaman itu senilai USD

500 juta atau sekitar Rp 6,7 triliun untuk program selama 15 tahun. Program

jangka panjang 2008-2023 ini bernama Integrated Citarum Water Resources


146

Management Investement Program (ICWRMIP) atau Pengelolaan Sumber Daya

Air Terpadu di Wilayah Sungai Citarum. Singkatnya, sebut saja program Citarum

Terpadu. Program ini bertujuan memperbaiki kualitas Citarum, mengatasi

persoalan lingkungan di DAS Citarum, menyediakan pasokan air baku

berkualitas serta pengendalian banjir. ICWRMIP meliputi seluruh jalur Citarum

yang mencakup 12 kabupaten/kota di Jawa Barat, dengan total area 13.000

kilometer persegi. Dikutip dari laman citarum.bappenas.go.id, keseluruhan

proyek ini diperkirakan menelan total biaya hingga Rp 9,1 triliun. Program yang

juga melibatkan akademisi, LSM, hingga kalangan usaha ini bertujuan untuk

perbaikan daerah tangkapan air di hulu hingga peningkatan kualitas dan

ketersediaan air minum.

Seharusnya, program ICWRMIP ini menjanjikan harapan besar bagi

warga Jawa Barat pelanggan banjir luapan Sungai Citarum, seperti di Baleendah,

Majalaya, dan Dayeuhkolot. Namun, baru berjalan tiga tahun, program ini

diprotes oleh kalangan akademisi bersama Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air

(KRuHA). Mereka meminta Dewan Direktur ADB tidak menyetujui program

ICWRMIP atau Citarum Terpadu sampai ada perbaikan-perbaikan terukur. Saat

itu mereka menemukan ketidakcocokan jumlah masyarakat terdampak dengan

proyek Rehabilitasi Kanal Tarum Barat--proyek pertama Citarum Terpadu.

Program justru dianggap merugikan warga, tidak jelas, bahkan tidak sesuai

dengan tujuan awal pelaksanaan proyek, serta minus transparansi anggaran.

Selain itu program yang dirancang selama 15 tahun ini, hanya fokus membangun

fisik yaitu memperbaiki Kanal Tarum Barat sepanjang 54 kilometer, dari

Karawang hingga Bekasi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas suplai air
147

baku di DKI Jakarta. Dan lagi, program ini pun kembali tidak diketahui sejauh

mana keberhasilannya, setelah 10 tahun bergulir.

4.1.2.3. Citarum Bestari

Pemerintah sudah sejak lama berusaha untuk menangani permasalahan

pencemaran sungai Citarum. Program terakhir yang digaungkan oleh pemerintah

yaitu pada tahun 2013, Gerakan Citarum Bersih, Sehat, Indah dan Lestari

(Bestari). Namun ternyata meleset dari target yang prestisius. Harapannya, di

2018, air Sungai Citarum dapat diminum. Tetapi, sampai saat ini kualitasnya

belum memenuhi baku mutu air yang telah ditetapkan, sehingga tidak

memungkinan untuk dikonsumsi. Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengklaim,

program Bestari telah menorehkan hasil memuasakan. Misalnya, meminimalisir

sampah Citarum serta membangun kultur warga sadar lingkungan. Setidaknya,

begitu ungkapan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan di berbagai

kesempatan. Namun sejauh ini, program Citarum Bestari belum dievaluasi

keberhasilannya secara komprehensif.

4.1.2.4 Citarum Harum

Pada bulan Febuari 2018, program baru digulirkan yakni Program

Citarum Harum yang kemudian digelorakan kembali untuk memulihkan sungai

terpanjang di Jawa Barat. Konsep dan gagasan hampir sama dengan program-

program terdahulu. Hanya saja, lebih terintegritas karena dibawahi langsung

pemerintah pusat melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. Hal ini

sebagaimana, Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2012, menyatakan

bahwa Wilayah Sungai merupakan Kawasan Strategis Nasional. Termasuk

Citarum, sehingga pengelolaan sumber daya air kewenangannya ada pada

pemerintah pusat. Ini pula yang kemudian melatarbelakangi Presiden Joko


148

Widodo meninjau langsung hulu Sungai Citarum yang berlokasi di Situ Cisanti,

Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat,

Kamis (22/2/2018). Presiden Jokowi pun melakukan penanam sebagai tanda

dimulainya upaya pemulihan kawasan hulu Citarum. Beliau menyampaikan

bahwa Penanganan Citarum akan dibagi dalam tiga tahap yakni hulu, tengah,

dan hilir. Pelaksanaannya dilakukan terintegrasi oleh pemerintah pusat, provinsi,

kabupaten/kota juga semua kementerian terkait. Termasuk, Kodam III/Siliwangi

serta Polda Jawa Barat. Presiden menekankan, tata ruang wilayah hulu perlu

diperhatikan dan diprioritaskan. Kemudian beliau berjanji akan lihat secara rutin,

misalnya per tiga bulan atauper enam bulan, untuk memastikan program ini

betul-betul berjalan.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, Dadan Ramdan

mengatakan target tujuh tahun realistis secara kerangka program kerja untuk

menangani permasalahan Citarum ini. Namun, pada upaya pemulihan maupun

perbaikan lingkungan yang rusak, memerlukan langkah panjang. Apalagi, bila

melihat angka kerusakan lebih tinggi ketimbang pemulihan. Ia mengungkapkan

bahwa pemulihan Citarum hulu mungkin memerlukan 10 – 15 tahun untuk

dirasakan dampaknya. Target presiden 7 tahun realistis dalam ranah

pelaksanaan proyek. Tetapi, regulasinya belum jelas begitu juga road map-nya.

Maka seharusnya ada rapepres (Rancangan Peraturan Presiden) terlebih dulu

sebagai rujukan. Selain itu yang terpenting adalah penataan tata ruang dan

perizinan harus akuntabel. Perihal pendanaan program Citarum Harum, ADB

kembali menawarkan pinjaman senilai Rp200 triliun selama 20 tahun. Dana asing

memang menawarkan bantuannya termasuk juga IMF (International Monetary

Fund). Tapi, Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman di


149

Bandung mengatakan tawaran tersebut terlalu banyak juga dan sebenarnya bisa

diselesaikan jauh lebih murah dengan melibatkan berbagai pihak juga dibantu

TNI dan Polri.

4.1.3. Program Aksi dan Proyek yang di Desain dan di Danau Daerah Aliran

Sungai (DAS) Citarum

4.1.3.1. Pencemaran Lingkungan di DAS Citarum

Dari hasil temuan lapangan data BPLHD Provinsi Jawa Barat tahun 2018

ditemukan sedimentasi sebanyak 8.465 ton/tahun baik yang terjadi hutan dan

kebun yang mengakibatkan tanah longsor yang meliputi hulu 4.819 ton/hari,

tengah 2.068 ton/tahun bahkan hilir 1.579 ton/tahun. Survei tersebut

dilaksanakan terhitung dari tanggal 20 s.d 27 Des 2017 dan menunjukkan tinja

manusia sebanyak 35.5 ton/hari.

Gambar 4.1 Hasil TIM SURVEY KODAM

Sumber: Kodam III/Siliwangi, 2017


150

Gambar 4.2 Buang Air Besar di Sungai Citarum


Sumber: Kodam III/Siliwangi, 2017

Gambar 4.3 Buang Kotoran ternak di Sungai Citarum

Sumber: Kodam III/Siliwangi, 2017


151

Sedangkan hasil kotoran ternak sebanyak 56 ton/hari. Sementara data BBWSC

per 8 Januari 2018, sampah organik & anorganik 20.462 ton/hari dimana 71%

tidak terangkut.

Gambar 4.4 Buang Limbah Medis di Sungai Citarum

Sumber: Kodam III/Siliwangi, 2017

4.1.3.2. Hasil Pengujian Pencemaran Merkuri pada Air Sungai Citarum

Mengacu hasil uji klinis maka dilihat adanya pencemaran pada Citarum.

Tabel 4.1 Merkuri pada Ikan di Sungai Citarum

Sumber: Kodam III/Siliwangi, 2017


152

Gambar 4.5 Laporan Hasil Pengujian Pencemaran

Sumber: Kodam III/Siliwangi, 2017

Hasil penelitian dari Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di

Bandung menunjukkan, melalui sediaan Ikan Lele Cilampeni, PK Cemaran HG

terbukti telah terjadi pencemaran sebesar 6.57 x 10(2) ug/g dari yang syaratnya

adalah kurang dari sama dengan 0,5 ug/g.

Hasil penelitian dari Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di

Bandung menunjukkan, melalui sediaan Ikan Lele Cimaranggi, PK Cemaran HG

terbukti telah terjadi pencemaran sebesar 8.64 x 10(2) ug/g dari yang syaratnya

adalah kurang dari sama dengan 0,5 ug/g.


153

Gambar 4.6 Laporan Hasil Pengujian

Sumber: Kodam III/Siliwangi, 2017

Hasil penelitian dari Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di

Bandung menunjukkan, melalui sediaan Ikan Lele Cisanti, PK Cemaran HG

terbukti telah terjadi pencemaran sebesar 5.32 x 10(2) ug/g dari yang syaratnya

adalah kurang dari sama dengan 0,5 ug/g.

2. BOD, COD, bakteri e-coli, pseudomonas aeruginosa, logam berat


154

Gambar 4.7 Laporan Hasil Pengujian

Sumber: Kodam III/Siliwangi, 2017


155

Tabel 4.2 Hasil Pengujian pada Sungai


156

Sumber: Kodam III/Siliwangi, 2017


157

4.1.3.3. Dampak Pencemaran Air Sungai Citarum

Di sisi lain, 80% air di sepanjang Daerah Aliran Sungai Citarum

dikonsumsi penduduk DKI Jakarta. Jika mengacu pada UU nomor 11 Tahun

2017 Konvensi Minamata mengenai Mercury, dampak keracunan merkuri dapat

berpotensi menyebabkan: (a) gangguan otak & mental (bingung, gagal orientasi,

pelupa, susah belajar); (b) tremor; (c) radang dan pembengkakan gusi; (c)

gangguan perut dan ginjal; (d) terganggunya perkembangan otak janin pada

wanita hamil; (e) tangan & kaki bengkak, kebas/kesemutan; (f) kulit tubuh

mengelupas.

Sedangkan dampak bakteri E-Coli akan menyebabkan: (a) kram perut; (b)

diare berdarah; (c) gagal ginjal kronis (30%); (d) stroke (5%); (e) kematian (3% -

5%). Dampak pseudomonas aeuroginosa, karena susah diobati karena tahan

terhadap antibiotik, karena menyebabkan: (a) meningitis /radang selaput otak: (b)

radang selaput mata; (c) radang saluran kemih; (d) luka membusuk; (e) anak

penderita cacat, autis dan kanker.

Berdasarkan hasil laporan Dinas Kesehatan Jawa Barat 2017-2018,

maka Tabel 4.3 menunjukkan lima penyakit rawat jalan dan rawat inap di

kedeputian wilayah Jawa Barat. Hasil laporan Dinas Kesehatan Jawa Barat

2017-2018 ini sejalan dengan hasil temuan penyebab rawat inap adalah penyakit

infeksi bakteri dan parasit, yang diikuti nyeri perut (abdomen) dan infeksi

lambung (gastroenteritis) yang menyebabkan muntah dan diare, serta infeksi non

bakteri ringan. Sedangkan hasil temuan penyebab rawat jalan adalah penyakit

kronis menahun. Jenis penyakit kronis yang paling umum adalah kanker,

penyakit jantung, stroke, diabetes, dan radang sendi, selanjutnya prosedur

dialisis yang dikenal kalangan awam sebagai prosedur cuci darah.


158

Tabel 4.3 5 Diagnosa Terbesar Rawat Jalan dan Rawat Inap di Jawa Barat Tahun 2017-2018

Sumber: Dinas Kesehatan Jawa Barat 2017-2018


159

Penyakit kronis adalah kondisi kesehatan manusia yang memberikan efek

bertahan lama atau penyakit yang datang seiring waktu. Istilah kronis pada

umumnya diterapkan ketika perjalanan penyakit berlangsung selama lebih dari

tiga bulan. Penyakit kronis cenderung terjadi pada orang dewasa yang lebih tua,

biasanya dapat dikendalikan namun tidak dapat sembuh. Namun, kini dengan

dampak lingkungan, termasuk pencemaran Dungai Citarum, penyakit kronis juga

banyak diderita pada paruh baya bahkan anak muda. Kondisi dan penyakit

kronis yang juga berkontribusi signifikan terhadap beban penyakit pada individu,

keluarga, masyarakat dan negara. Contohnya termasuk gangguan mental,

gangguan penglihatan dan pendengaran, penyakit mulut, gangguan tulang dan

sendi, dan gangguan genetik, yang termasuk di antaranya dampak keracunan

merkuri dan dampak bakteri E-Coli seperti dampak Sungai Citarum yang

digunakan masyarakat sepanjang DAS Citarum, budidaya perikanan air tawar

serta irigasi 420.000 ha sawah (Kerawang, Purwakarta, Subang dan Indramayu).

4.1.3.4. Sistem Pelayanan Kesehatan bagi Masyarakat Sepanjang DAS


Citarum

Untuk menjawab berbagai permasalahan rujukan kesehatan, termasuk

permasalahan kesehatan di Sungai Citarum, maka kemudian BPJS Kesehatan

membangun gate sistem BPJS Kesehatan dibidang IT sebagai Sistem Rujukan

Kesehatan dari Desa sampai Tingkat Nasional. Sistem ini akan terintegrasi

mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi,

pembayaran hingga pelaporan.


160

Gambar 4.8 Sistem Rujukan Kesehatan dari Desa sampai Tingkat Nasional

Sumber: Kementerian Kesehatan, 2018

4.1.3.5. Pelaksanaan Program Citarum Harum Berdasarkan Sektor

Setelah Perpres No. 15/2018 tentang Percepatan Pengendalian

Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum untuk melakukan

revitalisasi dan rehabilitasi Citarum. Maka dilakukan penataan di bawah

Kemenko Martitim (lihat hal 257). Kodam Siliwangi sebagai salah satu leading

sektor mengangkat jumlah personel sebanyak 300 orang/sektor & personel

cadangan sebanyak 300 orang dengan perincian sebagai berikut:


161

Gambar 4.9 Peta Sektor Sungai Citarum

Sumber: Kodam III/Siliwangi, 2018

1. Dibagi menjadi 22 Sektor yang dipimpin oleh Komandan Sektor atau

Dansektor.

2. Kolonel / Perwira Menengah TNI sebagai KOORDINATOR atau

Dansektor

Tim SOSIALISASI
162

TNI, POLRI, Ahli Hukum, Ulama, Sosiolog, Budayawan, Seniman,

Aktivis, Relawan, Mahasiswa, Akademisi, Ahli², Penyuluh² dan

Citizen Jurnalism

Tim AKSI

Mulai dari tugas dan fungsi melakukan penegakan hukum,

relokasi penduduk di hulu Sungai Citarum, alih profesi perambah

hutan, pekerja keramba jaring apung (KJA) & nelayan pembibitan

tanaman ekologis & ekonomis pembuatan MCK, pipa gendong,

septic tank, WC komunal pengolahan kotoran ternak &

pengolahan sampah, pembangunan instalasi penghancur sampah

TPS 3R, pengolahan IPAL terpadu, penghijauan hutan

pengangkatan sedimentasi

4.1.3.6. Pendekatan Revolusi Mental pada Program Citarum Harum

Selain itu, sejak Perpres No.15/2018 diberlakukan, tahun 2018 Kodam

Siliwangi membagi tugas dan fungsi dengan mengacu pada Program

NAWACITA dengan semangat Revolusi Mental sebagai berikut.


163

Gambar 4.10 Program Revolusi Mental Tahun 2018

Sumber: Kodam III/Siliwangi, 2018


164

Revoulsi mental tersebut ditandai dengan adanya sosialisasi yang

diberikan oleh pemerintah setempat. Selanjutnya, ada pula relokasi dan

pelatihan untuk masyarakat yang ingin beralih profesi. Sebagai sebuah usaha

penegakan hukum yang nyata dari pendekatan ini, bagi industri yang membuang

limbah ke sungai dan perambah hutan, akan dikenakan sanksi.

4.1.3.7. Pendekatan Relokasi Penduduk yang Tinggal di Sepanjang DAS


Citarum

sebagai bagian Program Citarum Harum

Menurut Tim survei KODAM 20 sampai 27 Desember 2017, dilakukan

relokasi 2.403 orang penduduk hulu Sungai Citarum

Gambar 4.11 Kependudukan di Sekitar Sungai Citarum

Sumber: Kodam III/Siliwangi, 2018

4.1.3.8. Pendekatan Rencana Tata Ruang sebagai bagian Program Citarum


165

Harum

Rencana tata ruang baraya tani di lahan tanah bongkor PTPN VIII tempat

relokasi pemukiman warga sempadan sungai di hulu Sungai Citarum Desa

Tarumajaya. Rencana tata ruang ini berkaitan dengan pendataan penduduk

yang berkorelasi dengan pendataan Single Identity Number sehingga

memudahkan pendekatan edukasi bagi masyarakat yang tinggal di sepadan

Sungai Citarum.

Gambar 4.12 Rancangan Hunian

Sumber: Kodam III/Siliwangi, 2018

4.1.3.9. Pembangunan WC Umum sebagai Solusi sebagai Pengganti Kamar

Mandi di Sepanjang Aliran Sungai Citarum

Sementara untuk mengatasi tinja manusia, dilakukan pembangunan

berupa WC perorangan sejumlah 25.501 unit, pipa gendong sepanjang 19 km,

septic tank pipa gendong sejumlah 38 unit, dan wc komunal sejumlah 403 unit.

Pembangunan fasilitas-fasilitas di atas dibangun sebagai solusi dari kamar mandi

yang selama ini berada di sepanjang aliran Sungai Citarum dan membuat air

sungai tercemar.
166
167

Gambar 4.13 Pembangunan Mengatasi Kotoran Manusia


Sumber: Kodam III/Siliwangi, 2018

4.1.3.10 Pengelolaan Limbah Bangkai dan Kotoran Hewan di DAS Citarum

Sedangkan untuk pendekatan preventif dan promotif bagi pendekatan

kesehatan, maka untuk mengatasi limbah bangkai hewan dan kotoran ternak,
168

maka dilakukan dua pendekatan. Pertama, bangkai hewan maka akan ditanam

atau dikuburkan, kedua, untuk mengatasi kotoran ternak dijadikan pupuk &

biogas.

Gambar 4.14 Hasil Pengolahan Limbah


169

Sumber: Kodam III/Siliwangi, 2018

4.1.3.11. Pemurnian Air Waduk Sebagai bagian dari Program Citarum


Harum

Selanjutnya, untuk mengatasi pencemaran merkuri untuk pemurnian air

waduk, Kodam III/Siliwangi melakukan penanaman pohon viriter.

Gambar 4.15 Penanaman Pohon Viriter

Sumber: Kodam III/Siliwangi, 2018

4.1.3.12. Pengangkatan Sedimentasi sebagai bagian dari Program Citarum


170

Harum

Untuk pengangkatan sedimentasi, maka Kodam III/Siliwangi melakukan

dua langkah strategis, yaitu: (1) jangka pendek mengangkat semua sampah

permukaan dan sedimentasi pada bantaran sungai serta tempat-tempat urgen; (2)

jangka Panjang, melakukan pengangkatan semua sedimentasi tahun ke 3 dan 4.

Gambar 4.16 Pengangkatan Sedimentasi

Sumber: Kodam III/Siliwangi, 20


BAB V

HASIL PENELITIAN

Bab ini menjelaskan hasil penelitian, yaitu terdiri atas implementasi

kebijakan yang didukung dengan hasil wawancara mendalam, context

implementation, outcomes, dan model empirik penelitian yaitu model existing

implementasi Kebijakan Pengendalian Pencemaran Dan Kerusakan Daerah

Aliran Sungai Citarum, sehingga didapatkan temuan dari hasil penelitian ini.

5.1. Implementasi Kebijakan

5.1.1. Content of Policy

Data hasil penelitian yang ada hubungannya dengan Content of Policy

dan Context of Policy sebagai berikut :

5.1.1.1 Kepentingan yang Mempengaruhi

Konten kebijakan publik berdasarkan model implementasi kebijakan

Grindle, terdiri dari beberapa dimensi, yang pertama adalah dimensi kepentingan

yang mempegaruhinya. Dari sini kepentingan pemerintah untuk memperbaiki

DAS citarum didukung berbagai temuan. Temuan tersebut adalah : temuan

lapangan data BPLHD Provinsi Jawa Barat tahun 2018 bahwa sedimentasi

sebanyak 8.465 ton/tahun baik yang terjadi hutan dan kebun yang

mengakibatkan tanah longsor yang meliputi hulu 4.819 ton/hari, tengah 2.068

ton/tahun bahkan hilir 1.579 ton/tahun. Survei tersebut dilaksanakan terhitung

dari tanggal 20 s.d 27 Des 2017 dan menunjukkan tinja manusia sebanyak 35.5

ton/hari. Sedangkan hasil kotoran ternak sebanyak 56 ton/hari. Sementara data

BBWSC per 8 Januari 2018, sampah organik & anorganik 20.462 ton/hari

dimana 71% tidak terangkut.


172

Hasil penelitian dari Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di

Bandung menunjukkan, melalui sediaan Ikan Lele Cilampeni, PK Cemaran HG

terbukti telah terjadi pencemaran sebesar 6.57 x 10(2) ug/g dari yang syaratnya

adalah kurang dari sama dengan 0,5 ug/g. Hasil penelitian dari Balai Besar

Pengawas Obat dan Makanan di Bandung menunjukkan, melalui sediaan Ikan

Lele Cimaranggi, PK Cemaran HG terbukti telah terjadi pencemaran sebesar

8.64 x 10(2) ug/g dari yang syaratnya adalah kurang dari sama dengan 0,5 ug/g.

Hasil penelitian dari Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Bandung

menunjukkan, melalui sediaan Ikan Lele Cisanti, PK Cemaran HG terbukti telah

terjadi pencemaran sebesar 5.32 x 10(2) ug/g dari yang syaratnya adalah kurang

dari sama dengan 0,5 ug/g.

Dari dimensi kepentingan yang mempegaruhi sebagaimana dipaparkan di atas,

diperkuat pernyataan Informan (AF) yaitu :

“Target kebijakan yang dilaksanakan adalah DAS Citarum yang bersih bebas
dari kerusakan dan bebas dari sampah dan polutan lain serta aliran airnya
menjadi salah satu sumber air minum setelah melalui sebuah proses”.

Selanjutnya informan (NA) menambahkan :

“Kami di BAPPENAS saat ini Bersama dengan program improvement solid waste

management project sedang Menyusun yang kita sebut dengan platform

kebijakan tata kelola persampahan nasional”.

Kemudian secara lugas (AD) memperkuat dengan menyatakan :

Kebijakan yang dibuat dan sedang dilaksanakan memang pada hakekatnya

untuk meningkatkan kesejah teraan rakyat.

Disamping itu (AF) memaparkan akan kepentingan yang mempengaruhi

kebijakan adalah :

“Saya yakin masyarakat sangat diuntungkan dan terlindungi, karena dengan

adanya kebijakan ini masyarkat pada Das Citarum bisa menikmati hasilnya”.
173

Hal ini senada dengan penyataan (CH) bahwa :

“Sudah diperhitungkan pada kebijakan yang sudah dirumuskan, agar masyarakat

tidak ada yang dirugikan”.

Pada akhirnya tentang hal tersebut diperkuat (NA) yang menyatakan :

Yang menjadi target adalah menuntaskan permasalahan sampah di DAS


Citarum

5.1.1.2 Tipe Manfaat yang Diperoleh

Selanjutnya Konten kebijakan publik berdasarkan model implementasi

kebijakan Grindle, dimensi yang ke dua, Tipe Manfaat yang diperoleh, pada hasil

wawancara dengan para informan pada penelitian ini dapat ditemukan manfaat

yang diperoleh sebagaimana dinyatakan oleh :

(CH) bahwa “menanggulangi sampah di berbagai macam tempat dan DAS

Citarum menjadi bersih bebas dari sampah dan polusi”

Penyataan ini diperkuat dengan apa yang dikatakan :

(NA), “Dengan menyelesaikan permasalahan polusi sampah di kawasan

DAS Citarum berarti memberikan perlindungan masyarakat sasaran

kebijakan dari bahaya polusi”

Di sisi lain, (CH) menambahkan informasinya bahwa :

(CH) “ekologi lingkungan hidup yang bersih dan sehat bahkan airnya

dapat diproses menjadi bahan baku air bersih”, dalam hal ini selanjutnya

(AD) melengkapinya dengan menyatakan bahwa “Manfaat lingkungan

hidup yang bersih bebas polusi dan ketersediaan air bersih yang cukup”.

Beriktnya (SB) menyatakan “Masyarakat bisa hidup lebih sehat bebas

dari polusi terutama sampah dan polutan lain di kawasan DAS Citarum”
174

Terkait dengan kesehatan,

(AF) menjelaskan dengan menyatakan “Masyarakat sasaran kebijakan

dapat menghirup udara bersih yang bebas dari polusi sampah dan dapat

menggunakan airnya yang bersih sehingga mereka dapat menjalani

hidup sehat”, Kemudian (NA) melengkapinya dengan menyatakan bahwa :

‘Mereka dapat hidup sehat bebas dari polusi dan pemncemaran DAS

Citarum”

Berikutnya, tambahan informasi dari ;

(SB) menyatakan bahwa “Sebenarnya kebijakan dibuat seringkali

berdasarkan kepentingan publik, saya yakin bahwa tidak masyarakat

yang dirugikan tetapi malah sebaliknya. Apalagi di masa pemerintahan

Pak Jokowi, beliau sangat pro rakyat”, kemudian dilengkapi oleh (CH)

dengan menjelaskan bahwa “Target kebijakan yang dilaksanakan adalah

DAS Citarum bersih bebas dari sampah”, dan pada akhirnya (NA)

mencoba membuat kalimat kunci dengan mengatakan “Ya intinya adalah

Citarum sudah menjadi perhatian dunia ya bagaimana Citarum dianggap

sebagai salah satu sungai yang terpolusi berat sekali khususnya dari

polusi sampah”.

Di sisi lain, 80% air di sepanjang Daerah Aliran Sungai Citarum

dikonsumsi penduduk DKI Jakarta. Jika mengacu pada UU nomor 11 Tahun

2017 Konvensi Minamata mengenai Mercury, dampak keracunan merkuri dapat

berpotensi menyebabkan: (a) gangguan otak & mental (bingung, gagal orientasi,

pelupa, susah belajar); (b) tremor; (c) radang dan pembengkakan gusi; (c)

gangguan perut dan ginjal; (d) terganggunya perkembangan otak janin pada
175

wanita hamil; (e) tangan & kaki bengkak, kebas/kesemutan; (f) kulit tubuh

mengelupas.

Sedangkan dampak bakteri E-Coli akan menyebabkan: (a) kram perut; (b)

diare berdarah; (c) gagal ginjal kronis (30%); (d) stroke (5%); (e) kematian (3% -

5%). Dampak pseudomonas aeuroginosa, karena susah diobati karena tahan

terhadap antibiotik, karena menyebabkan: (a) meningitis /radang selaput otak: (b)

radang selaput mata; (c) radang saluran kemih; (d) luka membusuk; (e) anak

penderita cacat, autis dan kanker.

Berdasarkan hasil laporan Dinas Kesehatan Jawa Barat 2017-2018,

maka Tabel 4.3 menunjukkan lima penyakit rawat jalan dan rawat inap di

kedeputian wilayah Jawa Barat. Hasil laporan Dinas Kesehatan Jawa Barat

2017-2018 ini sejalan dengan hasil temuan penyebab rawat inap adalah penyakit

infeksi bakteri dan parasit, yang diikuti nyeri perut (abdomen) dan infeksi

lambung (gastroenteritis) yang menyebabkan muntah dan diare, serta infeksi non

bakteri ringan. Sedangkan hasil temuan penyebab rawat jalan adalah penyakit

kronis menahun. Jenis penyakit kronis yang paling umum adalah kanker,

penyakit jantung, stroke, diabetes, dan radang sendi, selanjutnya prosedur

dialisis yang dikenal kalangan awam sebagai prosedur cuci darah.

Penyakit kronis adalah kondisi kesehatan manusia yang memberikan

efek bertahan lama atau penyakit yang datang seiring waktu. Istilah kronis pada

umumnya diterapkan ketika perjalanan penyakit berlangsung selama lebih dari

tiga bulan. Penyakit kronis cenderung terjadi pada orang dewasa yang lebih tua,

biasanya dapat dikendalikan namun tidak dapat sembuh. Namun, kini dengan

dampak lingkungan, termasuk pencemaran Dungai Citarum, penyakit kronis juga

banyak diderita pada paruh baya bahkan anak muda. Kondisi dan penyakit

kronis yang juga berkontribusi signifikan terhadap beban penyakit pada individu,
176

keluarga, masyarakat dan negara. Contohnya termasuk gangguan mental,

gangguan penglihatan dan pendengaran, penyakit mulut, gangguan tulang dan

sendi, dan gangguan genetik, yang termasuk di antaranya dampak keracunan

merkuri dan dampak bakteri E-Coli seperti dampak Sungai Citarum yang

digunakan masyarakat sepanjang DAS Citarum, budidaya perikanan air tawar

serta irigasi 420.000 ha sawah (Kerawang, Purwakarta, Subang dan Indramayu).

5.1.1.2.1 Sistem Pelayanan Kesehatan bagi Masyarakat Sepanjang DAS

Citarum

Untuk menjawab berbagai permasalahan rujukan kesehatan, termasuk

permasalahan kesehatan di Sungai Citarum, maka kemudian BPJS Kesehatan

membangun gate sistem BPJS Kesehatan dibidang IT sebagai Sistem Rujukan

Kesehatan dari Desa sampai Tingkat Nasional. Sistem ini akan terintegrasi

mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi,

pembayaran hingga pelaporan.

Selain itu, sejak Perpres No.15/2018 diberlakukan, tahun 2018 Kodam

Siliwangi membagi tugas dan fungsi dengan mengacu pada Program

NAWACITA dengan semangat Revolusi Mental sebagai berikut.

Revolusi mental tersebut ditandai dengan adanya sosialisasi yang

diberikan oleh pemerintah setempat. Selanjutnya, ada pula relokasi dan

pelatihan untuk masyarakat yang ingin beralih profesi. Sebagai sebuah usaha

penegakan hokum yang nyata dari pendekatan ini, bagi industri yang membuang

limbah ke sungai dan perambah hutan, akan dikenakan sanksi.

5.1.1.2.2 Pendekatan Relokasi Penduduk yang Tinggal di Sepanjang DAS

Citarum sebagai bagian Program Citarum Harum


177

Menurut Tim survey KODAM 20 sampai 27 Desember 2017, dilakukan

relokasi 2.403 orang penduduk hulu Sungai Citarum

5.1.1.2.3 Pendekatan Rencana Tata Ruang sebagai bagian Program

Citarum Harum

Rencana tata ruang baraya tani di lahan tanah bongkor PTPN VIII tempat

relokasi pemukiman warga sempadan sungai di hulu Sungai Citarum Desa

Tarumajaya. Rencana tata ruang ini berkaitan dengan pendataan penduduk

yang berkorelasi dengan pendataan Single Identity Number sehingga

memudahkan pendekatan edukasi bagi masyarakat yang tinggal di

5.1.1.2.4 Pembangunan WC Umum sebagai Solusi sebagai Pengganti

Kamar Mandi di Sepanjang Aliran Sungai Citarum

Sementara untuk mengatasi tinja manusia, dilakukan pembangunan

berupa WC perorangan sejumlah 25.501unit, pipa gendong sepanjang 19 km,

septic tank pipa gendong sejumlah 38 unit, dan wc komunal sejumlah 403 unit.

Pembangunan fasilitas-fasilitas di atas dibangun sebagai solusi dari kamar mandi

yang selama ini berada di sepanjang aliran Sungai Citarum dan membuat air

sungai tercemar.

5.1.1.2.5 Pengelolaan Limbah Bangkai dan Kotoran Hewan di DAS Citarum

Sedangkan untuk pendekatan preventif dan promotif bagi pendekatan

kesehatan, maka untuk mengatasi limbah bangkai hewan dan kotoran ternak,

maka dilakukan dua pendekatan. Pertama, bangkai hewan maka akan ditanam

atau dikuburkan, kedua, untuk mengatasi kotoran ternak dijadikan pupuk &

biogas.

Pemurnian Air Waduk Sebagai bagian dari Program Citarum Harum

Selanjutnya, untuk mengatasi pencemaran merkuri untuk pemurnian air waduk,

Kodam III/Siliwangi melakukan penanaman pohon viriter.


178

5.1.1.2.6 Pengangkatan Sedimentasi sebagai bagian dari Program Citarum

Harum

Untuk pengangkatan sedimentasi, maka Kodam III/Siliwangi melakukan

dua langkah strategis, yaitu: (1) jangka pendek mengangkat semua sampah

permukaan dan sedimentasi pada bantaran sungai serta tempat-tempat urgen; (2)

jangka Panjang, melakukan pengangkatan semua sedimentasi tahun ke 3 dan 4.

5.1.1.3 Derajat Perubahan yang Diinginkan

Selanjutnya Konten kebijakan publik berdasarkan model implementasi

kebijakan Grindle, dimensi yang ke tiga, Derajat Perubahan yang Diinginkan,

pada data hasil wawancara dengan para informan pada penelitian ini.

Dari hasil wawancara dengan para informan diperoleh penjelasan bahwa Derajat

Perubahan yang Diinginkan dapat ditemukan sebgaiannya dari informasi yang

disampaikan oleh :

1. (SB) menyatakan “Jadi adalah sebenernya pemanfaatan penyelamatan

DAS Citarum ini untuk menigkatkan kualitas air baku untuk air minum”.

2. (AF) menyatakan “Boleh jadi pelaksanaan kebijakan ini menyerap tenaga

kerja utamanya warga sekitar DAS Citarum”

3. (SB) menyatakan “Dan kami berharap legacy dan ISWMP ini menjadikan

Citarum ini bersih bukan hanya saat program Ciatrum Harum

berlangsung, ISWMP berlangsung, termasuk paska kegiatan ISWMP”

4. (SB) menyatakan “Ini suatu perpres yang sangat bagus ya untuk

mendorong Citarum yang lebih bersih. Tadikan sudah ada paparan juga

dari Pak Direktur, dari SUPD 3 Dagri, menyatakan dan dari BAPPEDA

Provinsi Jawa Barat bahwa Citarum itu kemaren sudah ada improvement

selama dua tahun terakhir ini mengenai kualitas, indeks kualitas air. “
179

5. Dan (CH) menyatakan “kita mengutamakan tenaga kerja lokal khususnya

dari masyarakat sekitar sasaran”

Berdasarkan Revisi Rencana Aksi Pengendalian Pencemaran dan

Kerusakan DAS Citarum (2021), tujuan pengendalian pencemaran dan

kerusakan DAS Citarum adalah sebagai berikut:

1) Meningkatkan kuantitas dan kualitas air menuju klasifikasi mutu air kelas II

2) Meningkatkan kondisi daerah aliran sungai yang bebas limbah dan sampah,

produktif untuk aktivitas prasarana/sarana rekreasi air/pariwisata, serta

aktivitas perekonomian lainnya yang ramah lingkungan.

3) Meningkatkan kondisi daerah aliran sungai yang berketahanan terhadap

bencana dan dampak perubahan iklim.

Pengendalian pencemaran dan kerusakan DAS Citarum mempunyai

tujuan sebagai pelestarian fungsi DAS Citarum sehingga tujuan perlindungan

dan pengelolaan lingkungan hidup tercapai (Satgas PPK DAS Citarum, 2019b).

Kemudian, visi pengendalian pencemaran dan kerusakan DAS Citarum adalah

menjadi DAS yang bersih, sehat, produktif, bermanfaat secara berkelanjutan,

dikelola secara kolaboratif dan menjadi harapan kesejahteraan seluruh

masyarakat di sekitarnya. Dimana visi tersebut dicapai melalui 3 Misi

Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum, yakni

1) Mengembalikan kondisi DAS Citarum yang bersih dan bermanfaat;

2) Mempertahankan fungsi DAS Citarum sebagai daerah konservasi sekaligus

sumber penghidupan untuk masyarakat;

3) Meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan di daerah aliran

sungai.

Hasil pemeriksaan BPK menyimpulkan bahwa pengelolaan dan

pengendalian pencemaran DAS Citarum TA 2018-semester I tahun 2018


180

belum sepenuhnya efektif karena masih ditemukan permasalahan antara

lain:

Pertama, Kegiatan pengendalian pencemaran air di DAS Citarum belum

memiliki perencanaan terpadu yang melibatkan semua pemangku

kepentingan dan terintegrasi dengan dokumen perencanaan jangka

menengah dan tahunan. Berdasarkan hasil pemeriksaan, diketahui bahwa

Program Citarum Harum ditetapkan setelah APBN dan APBD tahun 2018

telah ditetapkan, sehingga belum ada kementerian/lembaga maupun

pemerintah daerah yang membuat perencanaan dan mengalokasikan

anggaran untuk Program Citarum Harum dalam dokumen perencanaan dan

penganggarannya. Akibatnya, pelaksanaan kegiatan pengendalian

pencemaran DAS Citarum yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat

maupun daerah belum terarah dan keberhasilan kegiatan dan kinerja

masing-masing pemangku kepentingan pada kegiatan pengendalian

pencemaran DAS Citarum tidak dapat diukur dengan pasti. Hal ini terjadi

karena, pemerintah pusat dan daerah belum optimal melakukan koordinasi

dalam menyusun perencanaan pengendalian pencemaran DAS Citarum

dan Gubernur Jawa Barat selaku Komandan Satgas Citarum Harum belum

melibatkan semua pemangku kepentingan, terutama pemerintah

kabupaten/kota dalam struktur organisasi Satuan Tugas (Satgas) Citarum

Harum.

Kedua, Peran antar sektor dalam pengelolaan DAS Citarum belum

terkoordinasi secara optimal. Program pengendalian pencemaran DAS

Citarum merupakan program multi sektoral, yang melibatkan banyak pihak

pada institusi pusat maupun daerah. Untuk memudahkan koordinasi

dibentuklah Satgas Citarum Harum melalui Perpres Nomor 15 Tahun 2018

tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah


181

Aliran Sungai Citarum. Namun demikian, Satgas Citarum Harum belum

dapat melaksanakan tugasnya secara optimal karena belum didukung

dengan sumber daya yang memadai. Akibatnya, pengendalian DAS Citarum

melalui operasi pencegahan, penanggulangan pencemaran dan kerusakan,

serta pemulihan DAS Citarum secara sinergis dan berkelanjutan belum

dapat terlaksana secara optimal. Hal tersebut terjadi karena pengendalian

DAS Citarum oleh para pihak yang berwenang, yaitu Balai Pengelolaan

Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Citarum Ciliwung,

BBWS Citarum dan Pemprov Jawa Barat masih bersifat sektoral.

Ketiga, Pengelolaan dan pengendalian pencemaran air limbah domestik

pada DAS Citarum belum optimal. Hasil pemeriksaan atas upaya

pengendalian pencemaran air dari limbah domestik menunjukkan bahwa

upaya yang dilakukan belum memberikan dampak signifikan terhadap

peningkatan kualitas air sungai di DAS Citarum. Antara lain, pembangunan

sarana prasarana pengelolaan air limbah domestik yang telah dilakukan

oleh satker Pengembangan Sistem Penyehatan Lingkungan Permukiman

(PSPLP) Provinsi Jawa Barat, tetapi atas upaya tersebut kualitas air Sungai

Citarum masih menunjukkan kondisi tercemar. Berdasarkan hasil pengujian

kualitas air yang diambil pada 4 titik di sepanjang DAS Citarum diketahui

bahwa status mutu pada 1 titik pantau menunjukkan status cemar berat, 2

titik pantau menunjukkan status cemar sedang, dan 1 titik pantau

menunjukkan status cemar ringan. Akibatnya, limbah cair domestik yang

masuk ke Sungai Citarum melebihi daya tampung beban pencemar Sungai

Citarum. Hal tersebut terjadi karena Direktorat Pengendalian Pencemaran

Air (PPA) pada Kementerian LHK, Satker PSPLP Provinsi Jawa Barat pada

Kementerian PUPR, dan dinas lingkungan hidup kabupaten/kota terkait di


182

wilayah DAS Citarum belum optimal dalam pembangunan dan pengelolaan

sarana dan prasarana pengelolaan air limbah domestik.

Keempat, Pemantauan, pelaporan, dan evaluasi kegiatan satgas

percepatan pengendalian pencemaran DAS Citarum belum optimal. Antara

lain, dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa pemerintah kabupaten/kota

belum memiliki mekanisme pemantauan dan evaluasi khusus atas kegiatan

pengendalian pencemaran di DAS Citarum. Selain itu kegiatan monitoring

dan evaluasi yang dilakukan baru sebatas penyampaian laporan harian

informal (melalui pesan daring lewat media sosial) berupa perkembangan

kegiatan dari para Dansektor kepada Asisten Teritorial Kodam III/Siliwangi,

yang kemudian diteruskan kepada Gubernur Jawa Barat dan Menteri

Koordinator Bidang Kemaritiman. Akibatnya, kegiatan pengendalian

pencemaran DAS Citarum yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat

maupun daerah belum terarah dan terintegrasi, keberhasilan kegiatan dan

kinerja masing-masing pemangku kepentingan pada kegiatan pengendalian

pencemaran DAS Citarum tidak dapat diketahui, dan tidak menjadi masukan

perbaikan dalam perencanaan berikutnya. Hal tersebut terjadi karena

pemerintah kabupaten/kota di DAS Citarum belum mengintegrasikan

kegiatan pengendalian pencemaran DAS Citarum pada Gerakan

Cikapundung Bersih (GCB) dan Citarum Harum, Kemenko Maritim selaku

Ketua Tim Pengarah Percepatan Pengendalian Pencemaran dan

Kerusakan DAS Citarum dan Gubernur Jawa Barat selaku Komandan

Satgas Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS

Citarum belum memiliki mekanisme pemantauan dan evaluasi terpadu atas

kegiatan pengendalian pencemaran DAS Citarum serta instrumen yang

dapat memastikan dilaksanakannya pemantauan dan evaluasi kegiatan.


183

Kemudian BPK RI merekomendasikan kepada Menteri Lingkungan Hidup

dan Kehutanan antara lain agar:

a. Melakukan koordinasi dan komunikasi dengan para pemangku

kepentingan, baik di pusat maupun di daerah untuk menyusun

perencanaan pengendalian pencemaran secara terpadu dalam program

Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum.

b. Bersama Menteri PUPR agar berkoordinasi dengan Gubernur Jawa Barat

dalam menyinergikan program/kegiatan dari berbagai sektor untuk

mendukung pelaksanaan Perpres Nomor 15 Tahun 2018.

c. Menginstruksikan Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan

Kerusakan Lingkungan (PPKL) berkoordinasi dengan Direktur Jenderal

Cipta Karya c.q. Kepala Satker PSPLP Provinsi Jawa Barat Kementerian

PUPR, dan Kepala DLH pada Pemprov Jawa Barat dan kabupaten/kota

pada DAS Citarum untuk membangun dan memelihara sarana dan

prasarana pengolahan air limbah domestik dengan memanfaatkan

sumber dana APBN/APBD maupun non APBN/APBD.

d. Bersama Menteri PUPR agar berkoordinasi dengan Menteri Koordinator

Bidang Kemaritiman selaku Ketua Tim Pengarah Percepatan

Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum dan Gubernur

Jawa Barat selaku Komandan Satgas Percepatan Pengendalian

Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum untuk menyusun mekanisme

pemantauan dan evaluasi terpadu atas kegiatan pengendalian

pencemaran DAS Citarum serta instrumen yang dapat memastikan

dilaksanakannya pemantauan dan evaluasi kegiatan.

e. Hasil pemeriksaan kinerja atas efektivitas pengelolaan dan pengendalian

pencemaran daerah aliran sungai (DAS) Citarum mengungkapkan 20


184

temuan yang memuat dua puluh sembilan (29) permasalahan

ketidakefektifan senilai Rp647,01 miliar.

5.1.1.4 Letak Pengambilan Keputusan

Selanjutnya Konten kebijakan publik berdasarkan model implementasi

kebijakan Grindle, dimensi yang ke empat, Letak Pengambilan Keputusan, pada

uraian di bawah ini adalah data hasil wawancara dengan para informan pada

penelitian ini.

1. (AD) menjelaskan hal yang terkait dengan Letak Pengambilan Keputusan,

dengan mengatakan “Kebijakan ini tepat dan cukup tepat sasaran

mengingat persoalan sampah dan limbah di DAS Citarum sudah sangat

urgent untuk ditindaklanjuti”, selanjutnya;

2. (NA) menyatakan “Permasalahan DAS Citarum sudah menjadi

permasahan sampah yang sangat serius secara lokal dan nasional.

Keluarnya prepres nomer 15 tahun 2018 ini menunjukkan keseriusan

pemerintah dalam menuntaskan permasalahan pencemaran kawasan

DAS Citarum”, dan

3. (AF) menabahi dengan menyatakan “Saya pikir itu adalah salah satu

tujuan yang akan dicapai dengan adanya keluarnya perpres tersebut”.

4. Di pihak laian (AF) mengatakan bahwa “Sungai Citarum telah mencapai

kondisi yang sangat parah pada saat itu bahkan merupakan sungai yang

paling tinggi tingkat polusinya. Kehadiran perpres nomer 15 tahun 2018

tersebut sebagai jawaban untuk pemulihan DAS Citarum seperti semula

yaitu Citarum yang bersih, indah, bebas sampah, dan terhindar dari

kerusakan. Dengan demikian warga sekitarnya dapat menikmati”


185

5. Dan (AD) menambahkan dengan menyatakan “Targetnya adalah

tercapainya DAS Citarum yang bersih, bebas sampah dan polutan lain,

airnya bersih, tidak terdapat bekas dan limbah galian penambangan”

6. Serta (AF) melengkapi dengan mengatakan “terutama untuk

pembangunan fisik yang tujuanya adalah untuk melakukan pengelolaan

sampah yang berasal dari sumber-sumbernya.”

Hal utama yang harus dilakukan saat ini adalah melakukan pendekatan

hukum ke pada para pengambil keputusan di masing-masing level pemerintahan

dan pemberdayaan masyarakat di bantaran sungai. Namun, yang menjadi

pertanyaan adalah berapa banyak masyarakat yang mengalami gangguan

kesehatan akibat dari pencemaran sungai Citarum.

5.1.1.5 Pelaksana Program

5.1.1.5.1. Pelaksanaan Program Citarum Harum Berdasarkan Sektor

Setelah Perpres No. 15/2018 tentang Percepatan Pengendalian

Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum untuk melakukan

revitalisasi dan rehabilitasi Citarum. Maka dilakukan penataan di bawah

Kemenko Martitim (lihat hal 257). Kodam Siliwangi sebagai salah satu leading

sektor mengangkat jumlah personel sebanyak 300 orang/sektor & personel

cadangan sebanyak 300 orang dengan perincian sebagai berikut:

1. Dibagi menjadi 22 Sektor yang dipimpin oleh Komandan Sektor atau

Dansektor.

2. Kolonel / Perwira Menengah TNI sebagai KOORDINATOR atau

Dansektor

Tim SOSIALISASI
186

TNI, POLRI, Ahli Hukum, Ulama, Sosiolog, Budayawan, Seniman,

Aktivis, Relawan, Mahasiswa, Akademisi, Ahli², Penyuluh² dan

Citizen Jurnalism

Tim AKSI

Mulai dari tugas dan fungsi melakukan penegakan hukum,

relokasi penduduk di hulu Sungai Citarum, alih profesi perambah

hutan, pekerja keramba jarring apung (KJA) & nelayan pembibitan

tanaman ekologis & ekonomis pembuatan MCK, pipa gendong,

septic tank, WC komunal pengolahan kotoran ternak &

pengolahan sampah, pembangunan instalasi penghancur sampah

TPS 3R, pengolahan IPAL terpadu, penghijauan hutan

pengangkatan sedimentasi

5.1.1.6 Sumber-Sumber Daya yang Digunakan

Selanjutnya Konten kebijakan publik berdasarkan model implementasi

kebijakan Grindle, dimensi yang ke lima, Sumber-Sumber Daya yang Digunakan,

Adapun hasil wawancara dengan para informan pada penelitian ini sebagai

berikut :

Hal yang ada hubungannya dengan pendanaan implementasi kebijakan, berikut

ini beberapa informan bahwa :

1. (NA) menyatakan “Keempat tentu saja tadi ya butuh pendanaan

pembiayaan. Makanya poluntary principle bahwa retribusi itu harus

ditanggung oleh setiap masyarakat, Pemda menjamin gitu ya bahwa

mereka juga mengalokasikan anggaran yang dibutuhkan untuk sampah

itu menjadi sangat penting gitu ya. Opsi kerja sama dengan swasta dan

lain sebagainya tentu saja itu juga penting dalam hal menutupi gap

pendanaan”.
187

2. (AF) menyatakan “Implementasi dari program ini di biayai dari APBN,

APBD, dan khusus program ‘Improvement of Solid Waste Management

Project’ ini didanai dari loan World Bank dari tahun 2020 sampai dengan

2025. Jadi tentang ketersediaan biaya tidak ada masalah”.

3. (NA) menyatakan “Implementasi kebijakan ini didanai oleh Pemerintah

Daerah (Pemda), bekerja sama dengan pihak swasta, dan khusus untuk

program ‘Improvement of Solid Waste Management Project’ ini didanai

dari loan World Bank, tapi secara makro, ketersediaan dana masih belum

mencukupi, oleh karena itu perlu rencana anggaran yang lebih akurat”.

4. (AF) menyatakan “Saya yakin bahwa sumber daya manusia (SDM) dalam

implementasi kebijakan ini tidak ada masalah alias memadai”

5. (SB) menyatakan “Terkait dengan kegiatan Improvement off Solid Waste

Management Project (ISWMP) didanai dari loan World Bank dari tahun

2020 sampan dengan tahun 2025. Jadi ketersediaan dana dari pemda

dan juga ada kerjasama dengan swasta”

6. (CH) menyatakan “ketersediaan dana masih menjadi kendala tersendiri”

Dari informasi yang didapatkan menunjukkan bahwa pendanaan implementasi

kebijakan tersebut masih memerlukan dana tambahan, hal ini ada masalah

dengan kebutuhan pendanaan.

1. (CH) menyatakan “Mengenai sumber daya manusia saya rasa gak ada

masalah”

2. (AD) menyatakan “Iya. Jadi sampai sejauh ini kita selalu mempekerjakan

masyarakat sekitar wilayah sasaran kebijakan dan tetap memprioritaskan

tenaga kerja local”

3. (NA) menyatakan “Sumber daya manusia (SDM) dalam implementasi

kebijakan ini cukup memadai dan tidak ada kendala”


188

Sedangkan hal yang terkait dengan sumberdaya manusia, implementasi

kebijakan in sangat akomodatif.

1. (CH) menyatakan “alat pengangkut sampah dari sumber sampah dalam

hal ini dari DAS Citarum ke tempãt pembuangan akhir (TPA) cukup

tersedia”

2. (SB) menyatakan “Dalam hal mengangkut sampah dari sumber sampah

ke tempat pembuangan akhir (TPA) tentu saja membutuhkan tenaga

kerja local”

3. (NA) menyatakan “Sedapat mungkin pelaksanaan kebijakan ini

mengutamakan tenaga kerja local”

Hal yang terkait dengan persampahan ternyata telah mencukupi.

1. (SB) menyatakan “Sarana prasarana dalam implementasi tidak ada

masalah dan dapat terpenuhi dengan baik”

2. (NA) menyatakan “Sarana prasarana yang menunjang dalam

implementasi kebijakan ini cukup memadai alias tidak ada kendala”

3. (AF) menyatakan “Sarana prasarana yang menunjang saya rasa tidak

ada kendala dan dapat terpenuhi dengan baik”

Hal yang terkait dengan Sarana prasarana ternyata telah mencukupi.

Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari

kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan

sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses

implementasi. Aktor yang paling sering diakses dan paling menonjol oleh aktor

lain dalam kebijakan terkait dengan implementasi Citarum adalah SATGAS.


189

Hasil pemetaan ini menunjukkan bahwa SATGAS memainkan peran paling

penting sebagai fasilitator, menjembatani dalam regulasi Citarum.

Terdapat beberapa aktor yang memiliki nilai gelar lebih tinggi. Hasil

pengolahan data dengan Analisis Jaringan Sosial menunjukkan nilai tingkat

tertinggi dalam kebijakan implementasi Citarum adalah Peraturan Menteri

Koordinator Bidang Maritim, yang paling sering diakses oleh aktor lain dalam

kebijakan terkait dengan implementasi Citarum. Dengan kata lain, Peraturan

Menteri Koordinator Bidang Maritim dalam hubungan dengan aktor lain sering

memainkan peran sebagai objek dalam Kebijakan DAS Citarum ini.

5.2. Context Implementation

5.2.1. Kekuasaan, Kepentingan dan Strategi Aktor yang Terlibat

Konteks kebijakan publik berdasarkan model implementasi kebijakan

Grindle, terdiri dari beberapa dimensi, yang pertama adalah dimensi Kekuasaan,

Kepentingan dan Strategi Aktor yang Terlibat, pada data hasil wawancara

dengan para informan pada penelitian ini. Dalam hal ini bahwa para informan

menginformasikan sebagai berikut :

1. (AF) menyatakan “Arah pelaksana kebijakan ini sangat berkomitmen

terhadap pencegahan, pengendalian, dan pemulihan DAS C5itarum agar

menjadi bersih, indah, bebas sampah dan polusi”

2. (NA) menyatakan “Harus lebih memusatkan perhatian pada pengendalian

pencemaran dan kerusakan DAS Citarum. Dengan begitu akan

meminimalisir kepentingan-kepentingan lain”

3. (AD) menyatakan “kegiatan kemenkomarves ini sangat apa ya,

terintegrasi dan juga bukti nyatanya sudah terlihat gitu ya. Jadi kami

kemarin baru saja melakukan jambore ya, jambore DAS Citarum”


190

4. (AD) menyatakan “kemenkomarves pada intinya sangat mendukung

terkait perpres ini”

5. (SB) menyatakan “Kewenangan ada pada Kementerian Lingkungan

Hidup dan lembaga lembaga lain yang terkait yaitu Kementerian PUPR,

dan Kementerian Dalam Negeri”

6. (AF) menyatakan “Kewenangan berada pada pemerintah daerah dalam

hal ini Dinas Lingkungan Hidup, Kementerian PUPR, dan juga

Kementerian Dalam Negeri terutama ada 8 kabupaten dan kota yang

terlewati DAS Citarum”

7. (NA) menyatakan “Kewenangan dalam melaksanakan program ini berada

pada Dinas Lingkungan Hidup, Kementerian PUPR, Kementerian Dalam

Negeri (Pemerintah Daerah) , dan lembaga-lembaga terkait lain di

delapan kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat yang terlewati DAS

Citarum.”

8. (CH) menyatakan “menyatakan “Lebih fokus dan mempusatkan perhatian

pada pengendalian pencemaran dan kerusakan DAS Citarum maka

kepentingan-kepentingan lain akan berkurang”

9. (NA) menyatakan “Pelaksana kebijakan ini Dalam hal ini Pemerintah

Daerah sangat berkomitmen dalam Pencegahan pencemaran,

pengendalian dan pemulihan kondisi kawasan DAS Citarum”

10. (NA) menyatakan “Saat ini BAPPENAS bersama dengan program

‘Improvement of Solid Waste Management Project (ISWMP)’ menyusun

platform kebijakan tata kelola persampahan nasional dan salah satu

lokasi prioritasnya adalah kawasan DAS Citarum. Ada lima aspek penting

dalam pengelolaan sampah : regulasi dan retribusi, kelembagaan,

teknologi, pendanaan, partisipasi masyarakat. Kelima hal tersebut saling

terkait satu sama lain, tak satupun dari mereça dapat dihilangkan.”
191

11. (SB) menyatakan “Saya rasa komitmen pelaksana kebijakan ini cukup

besar. Mereka semua memiliki kepedulian terhadap persoalan DAS

Citarum yang melibatkan langsung delapan kabupaten kota di provinsi

Jawa Barat itu.”

12. (SB) menyatakan “Semua pelaksana menjalankan tugasnya sesuai

dengan aturan yang berlaku”

13. (CH) menyatakan “tetap mendukung kebijakan tersebut dan tekad dari

pemerintah kabupaten Bekasi “

14. (NA) menyatakan “Yang kedua adalah mengenai kelembagaan jadi

memaang harus jadi dipastikan ada yang menangani sampah, urusan

sampah ini gitu ya ada operatornya di daerah. Masing-masing daerah

harus punya operator sendiri yang terpisah dari regulator.”

15. (SB) menyatakan “Yang pertama dengan program Improvement of Solid

Waste Management Project (ISWMP) kita menyusun platform kebijakan

Tata kelola persampahan nasional. Dan kawasan DAS Citarum dijadikan

lokasi prioritas kegiatan ini”

5.2.2. Karakteristik Lembaga dan Rezim yang Berkuasa

Konteks kebijakan publik berdasarkan model implementasi kebijakan

Grindle, terdiri dari beberapa dimensi, yang ke dua adalah dimensi Karakteristik

Lembaga dan Penguasa, pada hasil wawancara dengan para informan

menginformasikan sebagai berikut:

1. (NA) menyatakan “Kami di BAPPENAS saat ini Bersama dengan program

improvement solid waste management project sedang Menyusun yang

kita sebut dengan platform kebijakan tata kelola persampahan nasional”.


192

2. (AD) menyatakan “Kebijakan yang dibuat dan sedang dilaksanakan

memang pada hakekatnya untuk meningkatkan kesejah teraan rakyat”

3. (AD) menyatakan “Saya yakin masyarakat sangat diuntungkan dan

terlindungi, karena dengan adanya kebijakan ini masyarkat pada Das

Citarum bisa menikmati hasilnya.”

4. (CH) menyatakan “sudah diperhitungkan pada kebijakan yang sudah

dirumuskan, agar masyarakat tidak ada yang dirugikan,”

5. (NA) menyatakan “Yang menjadi target adalah menuntaskan

permasalahan sampah di DAS Citarum”

5.2.3. Tingkat Kepatuhan dan Adanya Respon Dari Pelaksana

Konteks kebijakan publik berdasarkan model implementasi kebijakan

Grindle, terdiri dari beberapa dimensi, yang ke tiga adalah dimensi Kepatuhan

dan Daya Tanggap, pada hasil wawancara, para informan memberikan

penjelasan sebagai berikut “

1. (NA) menyatakan “Apapun alasannya dalam menjalankan kebijakan

pelaksana harus tetap konsisten dengan tupoksinya, konsisten dengan

prosedur atau juklaknya”

2. (AF) menyatakan “Dalam menjalankan kebijakan para pelaksana harus

tetap konsisten dengan tupoksinya, konsisten dengan kewajibanya”

3. (CH) menyatakan “InsyaAllah tidak ada satupun peraturan yang dilanggar

oleh pelaksana dalam melaksanakan kebijakan ini”

4. (NA) menyatakan “Pelaksanaan kebijakan ini harus sesuai dengamn

aturan yang berlakut”

5. (CH) menyatakan “Saya pikir merela konsisten walaupun tidak 100

persen, namun kategori batas wajar”


193

6. (SB) menyatakan “Saya yakin mereka semua sangat konsisten dengan

kewajibannya.”

7. (SB) menyatakan “Komunikasi dan koordinasi dari para pelaksana

kebijakan berjalan baik tidak ada masalah. Mereka saling bahu membahu

menangani”

8. (SB) menyatakan “Oke salah satunya adalah kegiatan ISWMP, terkait

dengan Improvement of Solid Waste Management to Support Regional

and Metropolitan Cities Program, didanai oleh loan World Bank, didanai

dari tahun 2020 sampai tahun 2025.”

9. (NA) menyatakan “Antar para pelaksana program ini saling terjalin

komunikasi dan koordinasi yang cukup baik, saling bahu membahu untuk

suksesnya program yang mulia tersebut”

10. (AF) menyatakan “Dengan lebih fokus dan prioritas pada kebijakan

percepatan pengendalian pencemaran dan kerusakan DAS Citarum.

11. (SB) menyatakan “ memahami hal ini yang agak sulit saya ungkapkan,

karena faktanya belum ada struktur organisasi yang dirancang untuk

pelaksanaan kebijakan ini. Berdasarkan pengalaman seperti ini untuk

watktu mendatang perlu diperhitungan struktur organisasi pelaksana yang

bagus. P : Bisa dijelaskan Pak bagaimana komunikai dan koordinasi dari

pelaksana kebijakan ini”

12. (AF) menyatakan “Ini yang banyak dikeluhkan para implementator

"kebijakan karena belum adanya strukutr organisasi yang jelas.”

13. (NA) menyatakan “Iya para pelaksana kebijakan bagaimanapun harus

melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan yang berlaku”

14. (AD) menyatakan “Jadi dengan power yang dimiliki kemenkomarves, jadi

kita karena emang kementrian koordinator kita dapat istilahnya lebih


194

mudah untuk merangkul semua pihak gitu ya, karena memang kita tidak

punya ego sectoral”

15. (SB) menyatakan “Kita curahkan lebih banyak pada pengendalian

pencemaran dan kerusakan DAS Citarum”

16. (CH) menyatakan “Kita selalu berkoordinasi dan berkomunikasi dengan

baik antar para pelaksana kebijakan ini”

17. (SB) menyatakan “Oke salah satunya adalah kegiatan ISWMP, terkait

dengan Improvement of Solid Waste Management to Support Regional

and Metropolitan Cities Program, didanai oleh loan World Bank, didanai

dari tahun 2020 sampai tahun 2025. Untuk DAS Citarum kita menangani

delapan kabupaten kota yang ada di DAS Citarum. Nah dalam bentuk

intervensi lima aspek secara terintegrasi yaitu teknis, kelembagaan,

pengaturan, peran serta masyarakat, serta pendanaan”

18. (AF) menyatakan “Para pelaksana program dalam hal ini para Pemerintah

Daerah dan lembaga-lembaga pemerintah dan juga lembaga-lembaga

non pemerintah yang terkait saling berkomunikasi dan berkoordinasi bahu

membahu untuk mewujudkan DAS Citarum bersih indah bebas sampah

dan polusi”

19. (SB) menyatakan “ Penyelamatan DAS Citarum ini untuk meningkatkan

kualitas air baku untuk air minum”

20. (SB) menyatakan “Sumber daya manusia cukup memadai. Tidak ada

masalah”

21. (NA) menyatakan “Wah ini dillematis, mau saya diam tapi faktanya belum

ada struktur organisasi. Begitulah adanya walaupun dirasa perlu tapi

belum ada, he he”

22. (CH) menyatakan “Wah ini yang menjadi kendala, karena belum ada

struktur yang jelas sebagai pelaksana program pada kebijakan tersebut.


195

Dalam kebijakan yang terkait dengan Kebijakan DAS Citarum, ada

beberapa aktor yang memiliki nilai gelar lebih tinggi. Hasil pengolahan data

dengan Analisis Jaringan Sosial menunjukkan nilai tingkat tertinggi dalam

kebijakan implementasi Citarum. Gambar 5.1 adalah visualisasi analisis in-

degree yang menunjukkan nilai in-degree tertinggi adalah Peraturan Menteri

Koordinator Bidang Maritim, yang paling sering diakses oleh aktor lain dalam

kebijakan terkait dengan implementasi Citarum. Dengan kata lain, Peraturan

Menteri Koordinator Bidang Maritim dalam hubungan dengan aktor lain sering

memainkan peran sebagai objek dalam Kebijakan DAS Citarum ini.

Gambar 5.1. Visualisasi In-Degree dari Kebijakan DAS Citarum

Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2019

5.3. Outcomes

5.3.1. Penetapan Indikator Kinerja Program Citarum Harum Juara

Dalam kebijakan yang terkait dengan Kebijakan DAS Citarum, ada

beberapa aktor yang memiliki nilai out-Degree yang lebih tinggi. Gambar 5.2

adalah visualisasi out-degree yang menunjukkan nilai out-degree tertinggi adalah

SATGAS. SATGAS adalah aktor yang memainkan peran paling penting karena

SATGAS ini paling menonjol dalam mengakses aktor lain. Kemampuan untuk
196

mengakses aktor lain diperoleh dari kewenangannya sebagai SATGAS, yang

terkandung dalam kebijakan yang terkait dengan implementasi DAS Citarum.

Gambar 5.2. Visualisasi Out-Degree dari Kebijakan DAS Citarum

Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2019

Hasil in-degree dan out-degree ini, pada Perpres No. 15 Tahun 2018

tentang DAS CItarum Bab III Organisasi, terdapat uraian pemangku kepentingan

sebagai berikut:

Tim DAS Citarum terdiri atas:

a. Pengarah; dan
b. Satuan Tugas, yang selanjutnya disebut Satgas.

Pasal 5

Pengarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a terdiri

Ketua : Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman;

Wakil Ketua I : Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan;


Wakil Ketua II : Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;

Wakil Ketua III : Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan


197

Kebudayaan;

Aggota :

1. Menteri Dalam Negeri;

2. Menter Agama;

3. Menteri Keuangan;

4. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi;

5. Menteri Kesehatan;

6. Menteri Perindustrian;

7. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral;

8. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

9. Menteri Pertanian;

10. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan;

11. Menteri Kelautan dan Perikanan;

12. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional;

13. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan


Perencanaan Pembangunan Nasional;

14. Menteri Badan Usaha Milik Negara;

15. Jaksa Agung Republik Indonesia;

16. Panglima Tentara Nasional Indonesia;

17. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;

18. Sekretaris Kabinet; dan

19. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan

Mengacu kebijakan yang terkait dengan Perpres No. 15 Tahun 2018

tentang DAS Citarum, maka kabijakan ini sejalan dengan hasil in-degree yaitu

aktor yang paling sering diakses oleh aktor lain dalam kebijakan terkait dengan

implementasi Citarum adalah Peraturan Menteri Koordinator Bidang Maritim. Hal

ini mengingat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman adalah Ketua Pengarah


198

Kebijakan Percepatan, Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran

Sungai Citarum. Sedangkan out-degree, yaitu aktor yang memainkan peran

paling penting atau aktor yang paling menonjol dalam mengakses aktor lain

adalah SATGAS.

Pasal 8

(1) Satgas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, terdiri atas:

Komandan : Gubernur Jawa Barat

Wakil Komandan : Panglima Komando Daerah

Bidang Penataan Militer III/Siliwangi; Ekosistem I

Wakil Komandan : Panglima Komando Daerah

Bidang Penataan Militer Jayakarta; Ekosistem II

Wakil Komandan : 1. Kepala Kepolisian Daerah


Bidang Pencegahan Jawa Barat
dan Penindakan 2. Kepala Kejaksaan Tinggi
Hukum I Jawa Barat; dan

Wakil Komandan : 1. Kepala Kepolisian Daerah


Bidang Pencegahan Metropolitan Jakarta
dan Penindakan Hukum II
(1) Komandan Satgas dapat mengangkat Tim Ahli yang bertugas membantu

pelaksanaan tugas Satgas

(2) Tim Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah dan

bertanggung jawab kepada Komandan Satgas

(3) Dalam melaksanakan tugas Satgas, Wakil Komandan secara bersama-sama

berkoordinasi dan bersinergi sesuai dengan wilayah operasi masing-masing

dengan tetap berpedoman pada kebijakan yang ditetapkan pengarah

Dalam rangka pelaksanaan pengendalian pencemaran dan kerusakan DAS

Citarum yang dilakukan Satgas:


199

a. Menteri Agama memberikan dukungan peningkatan peran tokoh agama

dalam edukasi kepada masyarakat, melalui edukasi perilaku hidup

bersih dan sehat bagi masyarakat atas lingkungan;

b. Menteri Keuangan memberikan dukungan dalam penganggaran untuk

program dan kegiatan pengendalian DAS Citarum pada Bagian

Anggaran Belanja Kementerian/Lembaga masing-masing;

c. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi memberikan dukungan

dengan memfasilitasi riset dan keikutsertaan akademisi dalam inovasi

pengendalian DAS Citarum, serta kuliah kerja nyata tematik;

d. Menteri Kesehatan memberikan dukungan dalam rangka memberikan

edukasi perilaku hidup bersih dan sehat bagi masyarakat atas

lingkungan, dan memberikan pelayanan kesehatan serta pengendalian

penyakit terhadap masyarakat terdampak di DAS Citarum;

e. Menteri Perindustrian memberikan dukungan pengawasan dan

pengendalian atas kegiatan usaha industri di DAS Citarum termasuk

melaksanakan sosialisasi, bimbingan teknis, dan fasilitasi kepada pelaku

usaha industri untuk melakukan pengelolaan lingkungan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan;

f. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral memberikan dukungan dalam

penyediaan data dan informasi mengenai pengendalian air tanah dan

kestabilan tanah;

g. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat:

1. memberikan dukungan dalam pengelolaan sumber daya air

secara terpadu di DAS Citarum;

2. memberikan dukungan dalam ketersediaan fasilitas permukiman

bagi penduduk yang direlokasi;


200

3. memberikan dukungan penyediaan Sistem Pengelolaan Air

Limbah terpadu dan pembersihan sampah permukaan; dan

4. memberikan dukungan dalam penegakan hukum yang dilakukan

bersama dengan Kepolisian Daerah Jawa Barat, Kepolisian

Daerah Metropolitan Jakarta, dan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.

h. Menteri Pertanian memberikan dukungan pelaksanaan konservasi lahan

di DAS Citarum, melalui pelaksanaan:

1. kaidah-kaidah usaha pertanian dan peternakan yang sesuai

dengan prinsip pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup,

termasuk pelatihan dan pendampingan terhadap petani dan

masyarakat terdampak; dan

2. penyediaan sarana dan prasarana pertanian serta peralatan

mesin pertanian, termasuk penyediaan bibit, benih, dan pupuk.

i. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan:

1. melakukan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan dalam

peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup;

2. memberikan dukungan dalam penegakan hukum yang dilakukan

bersama dengan Kepolisian Daerah Jawa Barat, Kepolisian

Daerah Metropolitan Jakarta, dan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat;

3. menyediakan bibit, penanaman, dan pemeliharaan pohon di

kawasan hutan serta pembuatan bangunan konservasi tanah

dan air;

4. memberikan dukungan penyediaan sarana pengelolaan sampah;

5. memberikan dukungan untuk alih profesi bagi masyarakat

terdampak dalam program perhutanan sosial.


201

j. Menteri Kelautan dan Perikanan memberikan dukungan kegiatan

perikanan berkelanjutan di DAS Citarum dan pendampingan bagi

masyarakat terdampak untuk alih profesi.

k. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional:

1. memberikan dukungan dalam pengadaan tanah dan penataan

ruang untuk penanganan dampak sosial masyarakat yang

terdampak;

2. memberikan dukungan dalam penyediaan data dan informasi

pemanfaatan tanah; dan

3. memberikan dukungan dalam penegakan hukum yang dilakukan

bersama dengan Kepolisian Daerah Jawa Barat, Kepolisian

Daerah Metropolitan Jakarta, dan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.

l. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional melakukan penyusunan rencana

dan program prioritas pengelolaan terpadu DAS Citarum secara

terkoordinasi dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional,

serta melakukan reviu atas pelaksanaan program prioritas pengelolaan

terpadu DAS Citarum;

m. Menteri Badan Usaha Milik Negara memberikan dukungan melalui

penugasan kepada Badan Usaha Milik Negara terutama Badan Usaha

Milik Negara

n. yang terkait langsung dengan program pencegahan, penanggulangan

pencemaran dan kerusakan, serta pemulihan di DAS Citarum;

o. Jaksa Agung Republik Indonesia melakukan penegakan hukum dan

memberikan dukungan sebagai jaksa pengacara negara sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan;


202

p. Panglima Tentara Nasional Indonesia memberikan dukungan personel

dalam pengendalian DAS Citarum termasuk memobilisasi peralatan

operasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;

q. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan penegakan

hukum dalam pengendalian DAS Citarum, termasuk mencegah dan

melarang masyarakat untuk masuk kembali untuk mendirikan

permukiman di lahan yang memiliki fungsi lindung sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

r. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan:

1. melakukan dukungan terhadap peningkatan tata kelola DAS

Citarum melalui pengawasan intern atas akuntabilitas program

dan kegiatan yang dilaksanakan oleh kementerian/lembaga dan

pemerintah daerah sejak perencanaan, pelaksanaan, dan

pelaporan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan; dan

2. melakukan pendampingan terhadap BUMN/BUMD guna

peningkatan akuntabilitas dalam pelaksanaan pengendalian DAS

Citarum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Gubernur Jawa Barat 2018-2023 memandang empat masalah utama yang

harus ditangani bagi Satgas Citarum, yaitu: (1) Banjir, (2) Kotor, (3) Sedimentasi;

(4) Semrawut

Selanjutnya, Gubernur Jawa Barat selaku Kepala Satgas Citarum

menyusun Skema Rencana Aksi PPK DAS Citarum 2019-2024, sebagai berikut.
203

Gambar 5.3 Skema Rencana Aksi PPK DAS Citarum

Sumber: Satgas Citarum, 2019

Pelaksanaan program pengendalian pencemaran dan kerusakan DAS

Citarum perlu dilakukan secara efektif dan efisien untuk memperbaiki kualitas

DAS Citarum, khususnya memperbaiki kualitas air sungai Citarum.

Gambar 5.4 Skema Strategi Penanganan DAS Citarum

Sumber: Satgas Citarum, 2019

Pendekatan yang dilakukan Kodam III/Siliwangi, sayangnya tidak

dilakukan langkah yang serupa baik pada Kementerian LHK, Kementerian PUPR,

maupun Pemprov Jawa Barat. Jika Kodam III/Siliwangi telah melakukan berbagai

upaya untuk meningkatkan efektivitas kegiatan tersebut, antara lain dengan


204

rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan hulu DAS Citarum, Percepatan

Pengendalian Pencemaran DAS Citarum melalui Program Citarum Harum.

Pasca Pengesahan Perpres 15/2018, di bawah koordinasi Menteri

Koordinator Bidang Kemaritiman; hasil pemeriksaan kinerja atas efektivitas

pengelolaan dan pengendalian pencemaran Daerah Aliran Sungai Citarum yang

dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan Semester I tahun 2018 yang dilakukan

terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Kementerian

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta instansi terkait lainnya di

DKI Jakarta (Pusat) dan Provinsi Jawa Barat, menarik kesimpulan impelementasi

Kebijakan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan

Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum belum

sepenuhnya efektif.

Kementerian LHK, Kementerian PUPR, dan Pemerintah Provinsi

(Pemprov) Jawa Barat sendiri, telah melakukan berbagai upaya untuk

meningkatkan efektivitas kegiatan tersebut, antara lain dengan rehabilitasi hutan

dan lahan di kawasan hulu DAS Citarum, kegiatan normalisasi sungai Citarum,

kegiatan pemantauan kualitas air sungai dan pembentukan tim Percepatan

Pengendalian Pencemaran DAS Citarum atau program Citarum Harum yang

melibatkan seluruh stakeholders di DAS Citarum dan di bawah koordinasi

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman.

Hasil pemeriksaan BPK yang menemukan permasalahan, antara lain: (1)

kegiatan pengendalian pencemaran air di DAS Citarum belum memiliki

perencanaan terpadu yang melibatkan semua pemangku kepentingan; dan (2)

belum terintegrasi dengan dokumen perencanaan jangka menengah dan

tahunan. Pengelolaan dan pengendalian pencemaran air limbah domestik pada

DAS Citarum belum optimal. Hasil pemeriksaan atas upaya pengendalian


205

pencemaran air dari limbah domestik menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan

belum memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kualitas air sungai

di DAS Citarum.

5.3.2. Rekapitulasi Kebutuhan Pendanaan

Gambar 5.5 Indikasi Kebutuhan Pendanaan

Sumber: Satgas Citarum, 2019

Rekapitulasi kebutuhan pendanaan pengendalian pencemaran DAS Citarum

untuk tahun 2019-2025 mencapai Rp 7,99 Triliun dengan rincian perpenanganan

tersaji pada grafik berikut:

5.3.3. Hasil Yang Diharapkan dari Pelaksanaan Program

Untuk target outcome edukasi maka indikator outcome adalah: (1) jumlah

industri yang tersosialisasi dan (2) jumlah institusi pendidikan yang menerapkan

PHBS dan 3R (unit sekolah/perguruan tinggi)

Tabel 5.1. Outcome Edukasi dalam Renaksi PPK DAS Citarum


206

Sumber: Satgas Citarum, 2019


Untuk target outcome edukasi maka indikator outcome adalah:

Tabel 5.2. Quality Statement dan Indikator Setiap Program

5.4. Model Empirik Penelitian

Penulis telah mecoba menganalisis dan membahas tentang implementasi

Kebijakan Program Pengendalian Pencemaran Dan Kerusakan Daerah Aliran

Sungai Citarum, dari pembahasan tersebut penulis memetakan model

implementasi secara empirik. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Limbah Peternakan, Rumah tanggan
Kesenjangan
dan industri
pembanguna

Ketidakmerat Kebijakan Program Percepatan Outcome


Tercapainya Program Quickwins
Pencemaran, Sedimentasi
aan investasi Pengendalian Pencemaran Dan Jumlah Industri yang tersosialisasi
Perusakan DAS Citarum Jumlah Lembaga Pendidikan yang menerapkan PHBS dan
3R
Kesenjangan
Pengrusakan ekosistem
infrastruktur
mangrove

Model Implementasi Kebijakan Program Percepatan Pengendalian Pencemaran Dan Perusakan DAS Citarum
Content Of Policy : masih belum tercapianya semua tujuan kebijakan, karena masih ada Context Of Policy : daya dukung dari lingkungan masih belum optimal, karena belum
kekurangan dalam pelaksanaan kebijakan yang sesuai dengan dalam aspek sebagai mampu melibatkan peran serta semua aktor, belum ada strategi dan juga masih terlalu
berikut : focus pada kepentingan masing-masing aktor, hal yang berkaitan dengan konteks
1. Kepentingan yang sangat dipengaruhi oleh ego sektoral
kebijakan sebagai berikut :
2. Tipe manfaatnya sangat berdampak pada masyarakat
Kekuasaan, kepentingan, dan strategi dari aktor yang terlibat kurang terkoordinasi dengan
3. Derajat perubahan yang diharapkan adalah meningkatkan kesejahteraan
rakyat
baik, belum adanya struktur organisasi yang mapan.
4. Letak pengambilan keputusan ada di tangan pemerintah Karateristik Lembaga dan penguasa masih dipengaruhi budaya ego sektoral
5. Pelaksana program belum optimal Kepatuhaan dan daya tanggap masyarakat dan pemerintahan perlu terus ditingkatkan
6. Sumber daya keuangan masih dirasakan kurang memadahi

Gambar. 5.6. Model existing implementasi Kebijakan Pengendalian Pencemaran Dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum.

Sumber: Grindle Update Penulis


Berdasarkan temuan dan model existing dari penelitian ini maka dapat dijelaskan

bahwa pada Isi kebijakan, pada dimensi pelaksanaan program ditemukan

bahwa belum ada struktur organisasi pada implementasi Kebijakan

Pengendalian Pencemaran Dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum.

Selain itu dari Dimensi Sumberdaya yang dilibatkan, ditemukan bahwa soal

pendaan implementasi kebijakan tersebut masih kurang memenuhi.


BAB VI

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

6.1. Content of Policy

Pendekatan Meriee S. Grindle dikenal dengan Implementation as A

Political and Administrative Procces. Menurut Grindle ada 2 variabel yang

mempengaruhi implementasi kebijakan publik, yaitu :

1. Keberhasilan implementasi suatu kebijakan publik dapat diukur dari

proses pencapaian hasil akhir (outcomes), yaitu tercapai atau tidaknya

tujuan yang ingin diraih.

Adapun hasil yang diharapkan dari pelaksanaan program citarum harum

adalah sebagai berikut.

a. Tercapainya Penetapan Indikator Kinerja Utama

b. Selain indikator utama, perlu juga ditetapkan indikator kinerja program

untuk masing masing penanganan. Sehingga disusunlah indikator

indikator keberhasilan untuk program berdampak langsung pada badan

sungai citarum sampai tahun 2025.

c. Terpenuhi nya Rekapitulasi Kebutuhan Pendanaan Program Citarum

Harum

d. Rekapitulasi kebutuhan Pendanaan Pengendalian Pencemaran DAS

Citarum untuk tahun 2019 – 2025 mencapai 7.99 trilun. Kemudian

Gubernur Jawa Barat selaku satgas Citarum Harum memperoleh

persetujuan pendanaan dari Dirjen Anggaran Kementrian Keuangan,

Biaya penanganan Citarum tahun 2019 sebesar 605 Milyard.

209
210

2. Hal ini dikemukakan oleh Grindle, dimana pengukuran keberhasilan

implementasi kebijakan tersebut dapat dilihat dari 2 hal, yakni dampak

atau efek nya pada masyarakat secara individu dan kelompok

a. Jumlah Industri yang tersosialisasi PHBS dan 3R semakin tinggi

b. Jumlah Institusi Pendidikan yang menerapkan PHBS dan 3R

semakin banyak

c. Jumlah masyarakat yang sadar dan peduli akan pola hidup sehat

semakin tinggi

d. Keseluruhan dari point point diatas digambarkan dalam tabel hasil

penelitian.

e. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan publik, juga menurut

Grindle, amat ditentukan oleh tingkat implementability kebijakan itu

sendiri, yang terdiri atas:

6.1.1. Kepentingan yang Mempengaruhi

Kepentingan yang mempengaruhi merupakan salah dimensi ikut dibahas

dalam penelitian ini. Hasil dari analisis menunjukkan bahwa dimensi tersebut

mendapatkan hasil sebagai berikut :

1. Target kebijakan yang dilaksanakan adalah DAS Citarum yang bersih

bebas dari kerusakan dan bebas dari sampah dan polutan lain serta

aliran airnya menjadi salah satu sumber air minum setelah melalui

sebuah proses.

2. Kami di BAPPENAS saat ini Bersama dengan program improvement

solid waste management project sedang Menyusun yang kita sebut

dengan platform kebijakan tata kelola persampahan nasional.

3. Kebijakan yang dibuat dan sedang dilaksanakan memang pada

hakekatnya untuk meningkatkan kesejah teraan rakyat


211

4. Saya yakin masyarakat sangat diuntungkan dan terlindungi, karena

dengan adanya kebijakan ini masyarkat pada Das Citarum bisa

menikmati hasilnya.

5. sudah diperhitungkan pada kebijakan yang sudah dirumuskan, agar

masyarakat tidak ada yang dirugikan,

6. Yang menjadi target adalah menuntaskan permasalahan sampah di

DAS Citarum

6.1.2. Tipe Manfaat yang Diperoleh

Tipe manfaat yang diperoleh dari hasil wawancara menunjukkan bahwa

banyak hal manfaat yang dihasilkannya sebagai berikut :

1. Menanggulangi sampah di berbagai macam tempat

2. DAS Citarum menjadi bersih bebas dari sampah dan polusi

3. Dengan menyelesaikan permasalahan polusi sampah di kawasan

DAS Citarum berarti memberikan perlindungan masyarakat sasaran

kebijakan dari bahaya polusi

4. Ekologi lingkungan hidup yang bersih dan sehat bahkan airnya dapat

diproses menjadi bahan baku air bersih

5. Manfaat lingkungan hidup yang bersih bebas polusi dan ketersediaan

air bersih yang cutup

6. Masyarakat bisa hidup lebih sehat bebas dari polusi terutama sampah

dan polutan lain di kawasan DAS Citarum.

7. Masyarakat sasaran kebijakan dapat menghirup udara bersih yang

bebas dari polusi sampah dan dapat menggunakan airnya yang

bersih sehingga mereka dapat menjalani hidup sehat

8. Mereka dapat hidup sehat bebas dari polusi dan pemncemaran DAS

Citarum
212

9. Sebenarnya kebijakan dibuat seringkali berdasarkan kepentingan

public, saya yakin bahwa tidak masyarakat yang dirugikan tetapi

malah sebaliknya. Apalagi di masa pemerintahan Pak Jokowi, beliau

sangat pro rakyat.

10. Target kebijakan yang dilaksanakan adalah DAS Citarum bersih

bebas dari sampah

11. Ya intinya adalah Citarum sudah menjadi perhatian dunia ya

bagaimana Citarum dianggap sebagai salah satu sungai yang

terpolusi berat sekali khususnya dari polusi sampah.

Selain hal tersebut lahirnya perpress no 15 tahun 2018 terkait Penanganan

Sungai citarum melahirkan beberapa program unggulan yang bermamfaat bagi

masyrakat sepanjang aliran sungai seperti

1) Penanganan Air Limbah Domestik

2) Pengelolaan Sampah

3) Penanganan Limbah Industri

4) Penanganan Limbah Peternakan

5) Penanganan Sumber daya Air dan Pariwisata

6) Pengendalian Pemamfaatan Ruang

7) Penegakan Hukum

6.1.3. Derajat Perubahan yang Diinginkan

Derajat Perubahan yang Diinginkan merupakan salah dimensi ikut

dibahas dalam penelitian ini. Hasil dari analisis menunjukkan bahwa dimensi

tersebut mendapatkan hasil sebagai berikut :


213

1. Jadi adalah sebenernya pemanfaatan penyelamatan DAS Citarum ini

untuk menigkatkan kualitas air baku untuk air minum.

2. Boleh jadi pelaksanaan kebijakan ini menyerap tenaga kerja

utamanya warga sekitar DAS Citarum

3. Kami berharap legacy dan ISWMP ini menjadikan Citarum ini bersih

bukan hanya saat program Ciatrum Harum berlangsung, ISWMP

berlangsung, termasuk paska kegiatan ISWMP

4. Ini suatu perpres yang sangat bagus ya untuk mendorong Citarum

yang lebih bersih. Direktur, dari SUPD 3 Dagri, menyatakan dan dari

BAPPEDA Provinsi Jawa Barat bahwa Citarum itu kemaren sudah

ada improvement selama dua tahun terakhir ini mengenai kualitas,

indeks kualitas air.

5. Kita mengutamakan tenaga kerja lokal khususnya dari masyarakat

sekitar sasaran

Selain hal tersebut di atas, edukasi dan hubungan masyarakat difokuskan

pada kampanye ber Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yaitu tidak

melakukan praktik Buang Air Besar Sembarangan (BABS), tidak membuang

sampah sembarangan, tidak merusak lingkungan, menjaga kelestarian alam.

Strategi edukasi dilakukan. Melalui kampanye PHBS dan sadar lingkungan,

pembinaan kepada masyarakat dan pelaku usaha tentang pengelolaan sampah

melaui prinsip 3R, sosialisasi di sekolah tentang PHBS, pelibatan akademisi

melalui Kuliah Kerja Nyata yang berlokasi di DAS Citarum, kegiatan penelitian

dan inovasi di DAS Citarum.

Penegakan hukum dan edukasi masih kurang dalam segala aspek, serta

rendahnya kesadaran masyarakat mengenai kebersihan lingkungan menjadi

kendala tersendiri dalam upaya pengendalian pencemaran dan kerusakan

lingkungan DAS Citarum. Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk
214

mendukung upaya pengendalian pencemaran adalah melalui edukasi yang dapat

mengubah kesadaran dan perilaku industri serta masyarakat khususnya institusi

Pendidikan terhadap lingkungan. Langkah yang dilakukan dalam mengedukasi

industri dan institusi Pendidikan dilakukan melalui strategi berikut:

1) Edukasi Industri melalui perwujudan green industry.

2) Edukasi Institusi Pendidikan melalui perwujudan Perilaku Hidup Bersih dan

Sehat (PHBS) dan skema 3R (Reduce, Reuse, dan Recycling.)

6.1.4. Letak Pengambilan Keputusan

Letak Pengambilan Keputusan merupakan salah dimensi ikut dibahas

dalam penelitian ini. Hasil dari analisis menunjukkan bahwa dimensi tersebut

mendapatkan hasil sebagai berikut :

1. Kebijakan ini tepat dan cukup tepat sasaran mengingat persoalan

sampah dan limbah di DAS Citarum sudah sangat urgent untuk

ditindaklanjuti.

2. Permasalahan DAS Citarum sudah menjadi permasahan sampah

yang sangat serius secara lokal dan nasional. Keluarnya prepres

nomer 15 tahun 2018 ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam

menuntaskan permasalahan pencemaran kawasan DAS Citarum

3. Saya pikir itu adalah salah satu tujuan yang akan dicapai dengan

adanya keluarnya perpres tersebut.

4. Sungai Citarum telah mencapai kondisi yang sangat parah pada saat

itu bahkan merupakan sungai yang paling tinggi tingkat polusinya.

Kehadiran perpres nomer 15 tahun 2018 tersebut sebagai jawaban

untuk pemulihan DAS Citarum seperti semula yaitu Citarum yang

bersih, indah, bebas sampah, dan terhindar dari kerusakan. Dengan

demikian warga sekitarnya dapat menikmati


215

5. Targetnya adalah tercapainya DAS Citarum yang bersih, bebas

sampah dan polutan lain, airnya bersih, tidak terdapat bekas dan

limbah galian penambangan, dan

6. terutama untuk pembangunan fisik yang tujuanya adalah untuk

melakukan pengelolaan sampah yang berasal dari sumber-

sumbernya.

6.1.5. Pelaksana Program

Pelaksana Program merupakan salah dimensi ikut dibahas dalam

penelitian ini. Hasil dari analisis menunjukkan bahwa dimensi tersebut

mendapatkan hasil sebagai berikut :

1. Komunikasi dan koordinasi dari para pelaksana kebijakan berjalan

baik tidak ada masalah. Mereka saling bahu membahu menangani

2. Oke salah satunya adalah kegiatan ISWMP, terkait dengan

Improvement of Solid Waste Management to Support Regional and

Metropolitan Cities Program, didanai oleh loan World Bank, didanai

dari tahun 2020 sampai tahun 2025.

3. Antar para pelaksana program ini saling terjalin komunikasi dan

koordinasi yang cukup baik, saling bahu membahu untuk suksesnya

program yang mulia tersebut

4. Dengan lebih fokus dan prioritas pada kebijakan percepatan

pengendalian pencemaran dan kerusakan DAS Citarum.

5. ini yang agak sulit saya ungkapkan, karena faktanya belum ada

struktur organisasi yang dirancang untuk pelaksanaan kebijakan ini.

Berdasarkan pengalaman seperti ini untuk watktu mendatang perlu

diperhitungan struktur organisasi pelaksana yang bagus. P : Bisa

dijelaskan Pak bagaimana komunikai dan koordinasi dari pelaksana

kebijakan ini
216

6. Ini yang banyak dikeluhkan para implementator kebijakan karena

belum adanya strukutr organisasi yang jelas.

7. Iya para pelaksana kebijakan bagaimanapun harus melaksanakan

tugasnya sesuai dengan peraturan yang berlaku

8. Jadi dengan power yang dimiliki kemenkomarves, jadi kita karena

emang kementrian koordinator kita dapat istilahnya lebih mudah untuk

merangkul semua pihak gitu ya, karena memang kita tidak punya ego

sektoral,

9. Kita curahkan lebih banyak pada pengendalian pencemaran dan

kerusakan DAS Citarum

10. Kita selalu berkoordinasi dan berkomunikasi dengan baik antar para

pelaksana kebijakan ini

11. Oke salah satunya adalah kegiatan ISWMP, terkait dengan

Improvement of Solid Waste Management to Support Regional and

Metropolitan Cities Program, didanai oleh loan World Bank, didanai

dari tahun 2020 sampai tahun 2025. Untuk DAS Citarum kita

menangani delapan kabupaten kota yang ada di DAS Citarum. Nah

dalam bentuk intervensi lima aspek secara terintegrasi yaitu teknis,

kelembagaan, pengaturan, peran serta masyarakat, serta pendanaan

12. Para pelaksana program dalam hal ini para Pemerintah Daerah dan

lembaga-lembaga pemerintah dan juga lembaga-lembaga non

pemerintah yang terkait saling berkomunikasi dan berkoordinasi bahu

membahu untuk mewujudkan DAS Citarum bersih indah bebas

sampah dan polusi

13. Penyelamatan DAS Citarum ini untuk meningkatkan kualitas air baku

untuk air minum.

14. Sumber daya manusia cukup memadai. Tidak ada masalah


217

15. Wah ini dillematis, mau saya diam tapi faktanya belum ada struktur

organisasi. Begitulah adanya walaupun dirasa perlu tapi belum ada.

16. Wah ini yang menjadi kendala, karena belum ada struktur yang jelas

sebagai pelaksana program pada kebijakan tersebut.

Selanjutnya dalam Perpress 15th 2018 tentang percepatan penanganan

citarum tidak ditemukannya struktur organisasi pelaksana. Kemudian penulis

mencoba membuat struktur organisasi perpress 15th 2018 berdasarkan kondisi

yang berjalan dilapangan. Dari hasil pembentukan struktur yang ada penulis

mengusulkan rekomendasi struktur organisasi ideal terkait implementasi

perpress no 15th 2018 ini.

6.1.6. Sumber-Sumber Daya yang Digunakan

Sumber-Sumber Daya yang Digunakan merupakan salah dimensi ikut

dibahas dalam penelitian ini. Hasil dari analisis menunjukkan bahwa dimensi

tersebut mendapatkan hasil sebagai berikut :

1. Keempat tentu saja tadi ya butuh pendanaan pembiayaan. Makanya

poluntary principle bahwa retribusi itu harus ditanggung oleh setiap

masyarakat, Pemda menjamin gitu ya bahwa mereka juga

mengalokasikan anggaran yang dibutuhkan untuk sampah itu menjadi

sangat penting gitu ya. Opsi kerja sama dengan swasta dan lain

sebagainya tentu saja itu juga penting dalam hal menutupi gap

pendanaan.

2. Alat pengangkut sampah dari sumber sampah dalam hal ini dari DAS

Citarum ke tempãt pembuangan akhir (TPA) cukup tersedia

3. Dalam hal mengangkut sampah dari sumber sampah ke tempat

pembuangan akhir (TPA) tentu saja membutuhkan tenaga kerja lokal

4. Implementasi dari program ini di biayai dari APBN, APBD, dan khusus

program ‘Improvement of Solid Waste Management Project’ ini


218

didanai dari loan World Bank dari tahun 2020 sampai dengan 2025.

Jadi tentang ketersediaan biaya tidak ada masalah.

5. Implementasi kebijakan ini didanai oleh Pemerintah Daerah (Pemda),

bekerja sama dengan pihak swasta, dan khusus untuk program

‘Improvement of Solid Waste Management Project’ ini didanai dari

loan World Bank, tapi secara makro, ketersediaan dana masih belum

mencukupi, oleh karena itu perlu rencana anggaran yang lebih akurat.

6. Jadi sampai sejauh ini kita selalu mempekerjakan masyarakat sekitar

wilayah sasaran kebijakan dan tetap memprioritaskan tenaga kerja

lokal

7. Ketersediaan dana masih menjadi kendala tersendiri

8. Mengenai sumber daya manusia saya rasa gak ada masalah

9. Sarana prasarana dalam implementasi tidak ada masalah dan dapat

terpenuhi dengan baik

10. Sarana prasarana yang menunjang dalam implementasi kebijakan ini

cukup memadai alias tidak ada kendala

11. Sarana prasarana yang menunjang saya rasa tidak ada kendala dan

dapat terpenuhi dengan baik

12. Saya yakin bahwa sumber daya manusia (SDM) dalam implementasi

kebijakan ini tidak ada masalah alias memadai

13. Sedapat mungkin pelaksanaan kebijakan ini mengutamakan tenaga

kerja lokal

14. Sumber daya manusia (SDM) dalam implementasi kebijakan ini cukup

memadai dan tidak ada kendala

15. Terkait dengan kegiatan Improvement of Solid Waste Management

Project (ISWMP) didanai dari loan World Bank dari tahun 2020

sampan dengan tahun 2025.


219

Selain hal tersebut permasalahan pelaksanaan diatas yang

mempengaruhi mekanisme komunikasi dan koordinasi dilapangan, juga terjadi

pada pos alokasi anggaran yang tidak tepat sehingga memperlambat proses

implementasi kebijakan. Hal ini bisa dilihat dari setengah anggaran biaya

operasional penanganan implementasi citarum harum milik kodam siliwangi

dititipkan pada kementrian PUPR bukan pada kementrian pertahanan sebagai

induk organisasi serta pipa anggaran TNI. Hal ini disebabkan karena Kementrian

Pertahanan tidak masuk dalam leading actor pada Perpress no 15th 2018. Dari

paparan pembahasan pada Bab 6 ini penulis merumuskan proposisi minor 1

(satu) berikut :

Proposisi minor 1(satu)

Jika konten kebijakan yang melalui kepentingan yang dipengaruhi, tipe


manfaat (secara langsung dan tidak langsung), derajat perubahan yang
diharapkan, posisi pengambil keputusan, pelaksana program, sumberdaya yang
dilibatkan data berjalan dengan optimal, maka Implementasi Kebijakan
pengendalian pencemaran dan kerusakan DAS Citarum yang bertujuan untuk
meningkatkan kesejehteraan masyarakat secara merata area DAS Citarum akan
tercapai

6.2. Context Implementation

6.2.1. Kekuasaan, Kepentingan dan Strategi Aktor yang Terlibat

Kekuasaan, Kepentingan dan Strategi Aktor yang Terlibat merupakan

salah dimensi ikut dibahas dalam penelitian ini. Hasil dari analisis menunjukkan

bahwa dimensi tersebut mendapatkan hasil sebagai berikut :

1. Para pelaksana kebijakan ini sangat berkomitmen terhadap

pencegahan, pengendalian, dan pemulihan DAS Citarum agar

menjadi bersih, indah, bebas sampah dan polusi

2. Harus lebih memusatkan perhatian pada pengendalian pencemaran

dan kerusakan DAS Citarum. Dengan begitu akan meminimalisir

kepentingan-kepentingan lain
220

3. Kegiatan kemenkomarves ini sangat apa ya, terintegrasi dan juga

bukti nyatanya sudah terlihat gitu ya. Jadi kami kemarin baru saja

melakukan jambore ya, jambore DAS Citarum

4. Kemenkomarves pada intinya sangat mendukung terkait perpres ini

5. Kewenangan ada pada Kementerian Lingkungan Hidup dan lembaga

lembaga lain yang terkait yaitu Kementerian PUPR, dan Kementerian

Dalam Negeri

6. Kewenangan berada pada pemerintah daerah dalam hal ini Dinas

Lingkungan Hidup, Kementerian PUPR, dan juga Kementerian Dalam

Negeri terutama ada 8 kabupaten dan kota yang terlewati DAS

Citarum

7. Kewenangan dalam melaksanakan program ini berada pada Dinas

Lingkungan Hidup, Kementerian PUPR, Kementerian Dalam Negeri

(Pemerintah Daerah) , dan lembaga-lembaga terkait lain di delapan

kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat yang terlewati DAS

Citarum.

8. Lebih fokus dan mempusatkan perhatian pada pengendalian

pencemaran dan kerusakan DAS Citarum maka kepentingan-

kepentingan lain akan berkurang

9. Pelaksana kebijakan ini Dalam hal ini Pemerintah Daerah sangat

berkomitmen dalam Pencegahan pencemaran, pengendalian dan

pemulihan kondisi kawasan DAS Citarum

10. Saat ini BAPPENAS bersama dengan program ‘Improvement of Solid

Waste Management Project (ISWMP)’ menyusun platform kebijakan

tata kelola persampahan nasional dan salah satu lokasi prioritasnya

adalah kawasan DAS Citarum. Ada lima aspek penting dalam

pengelolaan sampah : regulasi dan retribusi, kelembagaan, teknologi,


221

pendanaan, partisipasi masyarakat. Kelima hal tersebut saling terkait

satu sama lain, tak satupun dari mereça dapat dihilangkan.

11. Saya rasa komitmen pelaksana kebijakan ini cukup besar. Mereka

semua memiliki kepedulian terhadap persoalan DAS Citarum yang

melibatkan langsung delapan kabupaten kota di provinsi Jawa Barat

itu.

12. Semua pelaksana menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan yang

berlaku,

13. Tetap mendukung kebijakan tersebut dan tekad dari pemerintah

kabupaten Bekasi

14. Yang kedua adalah mengenai kelembagaan jadi memang harus

dipastikan ada yang menangani sampah, urusan sampah ini gitu ya

ada operatornya di daerah. Masing-masing daerah harus punya

operator sendiri yang terpisah dari regulator.

15. Dengan program Improvement of Solid Waste Management Project

(ISWMP) kita menyusun platform kebijakan Tata kelola persampahan

nasional. Dan kawasan DAS Citarum dijadikan lokasi prioritas

kegiatan ini.

6.2.2. Karakteristik Lembaga dan Rezim yang Berkuasa

Karakteristik Lembaga dan Rezim yang Berkuasa merupakan salah

dimensi ikut dibahas dalam penelitian ini. Hasil dari analisis menunjukkan bahwa

dimensi tersebut mendapatkan hasil sebagai berikut :

1. Dalam hal pengelolaan sampah maka dari pihak kami Dirjen

Pengelolaan sampah limbah dan B3 khususnya Direktorat

penanganan sampah sudah melaksanakan kegiatan terutama

pembangunan fisik yang tujuannya untuk pengelolaan smpah dari


222

sumbernya. Diantaranya bangunan fisik untuk bank sampah induk,

bak daur ulang, rumah kompos, dan kami juga menyiapkan motor-

motor sampah untuk menjaga agar sampah-sampah tersebut tidak

masuk DAS Citarum.

2. Improvement of Solid Waste Management Project (ISWMP)

3. Ini suatu perpres yang sangat bagus ya untuk mendorong Citarum

yang lebih bersih. Tadikan sudah ada paparan juga dari Pak Direktur,

dari SUPD 3 Dagri, menyatakan dan dari BAPPEDA Provinsi Jawa

Barat bahwa Citarum itu kemaren sudah ada improvement selama

dua tahun terakhir ini mengenai kualitas, indeks kualitas air.

6.2.3. Tingkat Kepatuhan dan Adanya Respon Dari Pelaksana

Tingkat Kepatuhan dan Adanya Respon Dari Pelaksana merupakan salah

dimensi ikut dibahas dalam penelitian ini. Hasil dari analisis menunjukkan bahwa

dimensi tersebut mendapatkan hasil sebagai berikut :

1. Apapun alasannya dalam menjalankan kebijakan pelaksana harus

tetap konsisten dengan tupoksinya, konsisten dengan prosedur atau

juklaknya

2. Dalam menjalankan kebijakan para pelaksana harus tetap konsisten

dengan tupoksinya, konsisten dengan kewajibanya.

3. InsyaAllah tidak ada satupun peraturan yang dilanggar oleh

pelaksana dalam melaksanakan kebijakan ini

4. Pelaksanaan kebijakan ini harus sesuai dengamn aturan yang berlaku

5. Saya pikir merela konsisten walaupun tidak 100 persen, namun

kategori batas wajar.

6. Saya yakin mereka semua sangat konsisten dengan kewajibannya


223

Dari paparan pembahasan pada Bab 6 ini penulis merumuskan proposisi minor 2

(dua) berikut :

Proposisi Minor 2 (dua)

Jika konteks implementasi kebijakan yang meliputi : kekuasaan,


kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan
penguasa, kepatuhan dan daya tanggap berjalan sebagaimana mestinya,
maka Implementasi Kebijakan pengendalian pencemaran dan kerusakan
DAS Citarum yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan hidup
masyarakat secara merata pada area DAS Citarum akan dapat
terealisasikan.

6.3. Outcomes

6.3.1. Penetapan Indikator Kinerja Program Citarum Harum Juara

Selain indikator utama, perlu juga ditetapkan indikator kinerja program

untuk masing-masing penanganan. Seiring dengan hal tersebut, disusun

indikator-indikator keberhasilan untuk program yang berdampak langsung pada

badan Sungai Citarum atau program quickwins yang perlu dicapai sampai

dengan tahun 2025. Target indikator tersebut antara lain:

a. Lahan kritis dapat tertangani 100% baik di kawasan hutan maupun di luar

kawasan hutan

b. Seluruh desa/kelurahan yang berada di pinggiran Sungai Citarum telah

ODF (Open Defecation Free)

c. Timbunan sampah penduduk di desa/kelurahan yang berada di pinggiran

Sungai Citarum 100% terkumpul dan diolah sesuai dengan jenis sampah

dan opsi pengolahan yang tersedia sehingga tidak ada sampah yang

dibuang ke sungai

d. Keramba Jaring Apung (KJA) yang ada di Sungai Citarum tertata dan

berkurang sesuai dengan daya dukungnya.

e. Masyarakat DAS Citarum, khususnya yang desa/kelurahan di pinggir

Sungai Citarum telah ber-Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)


224

f. Terselenggaranya pengawasan pemanfaatan ruang sesuai dengan

Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW)

Rencana Aksi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum

1. Fokus dan matriks rencana aksi penanganan lahan kritis

2. Fokus dan matriks penanganan limbah industri dan rencana aksi

3. penanganan limbah industri, perikanan, dan peternakan

4. Fokus dan matriks rencana aksi penanganan limbah cair domestik dan

persampahan

5. Matriks rencana aksi pengendalian pemanfaatan ruang

6. Matriks rencana aksi penegakan hukum

7. Matriks rencana aksi edukasi dan hubungan masyarakat

8. Matriks rencana aksi pemantauan kualitas air

6.3.2. Rekapitulasi Kebutuhan Pendanaan Program Citarum Harum Juara

Rekapitulasi kebutuhan pendanaan pengendalian pencemaran DAS

Citarum untuk tahun 2019-2025 mencapai Rp 7,99 Triliun dengan rincian

perpenanganan tersaji pada grafik berikut:

Kemudian, Gubernur Jawa Barat selaku Satgas Citarum Harum

memperoleh persetujuan pendanaan dari Dirjen Anggaran Kementerian

Keuangan, biaya penanganan Citarum, tahun 2019 sebesar Rp. 605 miliar yang

terdiri dari: (1) pembiayaan untuk Satgas Citarum di Kemenko Maritim sebesar

Rp. 5,2 miliar; (2) Kementerian PU PR Rp. 599,8 miliar terdiri dari (a) Rp. 300

miliar untuk operasional Kodam III/Siliwangi; (b) Rp. 200 miliar untuk

pembangunan danau retensi oleh BBWS; (c) Rp. 99,8 miliar untuk pelaksanaan

kegiatan di Ditjen SDA dan Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR. Dengan

perincian di Sekretariat Satgas sebagai berikut.


225

Yang menjadi catatan, mengapa setengah dana (Rp. 300 milyar) dari

biaya penanganan Citarum untuk operasional Kodam III/Siliwangi “dititipkan”

pada mata anggaran Kementerian PU PR, bukan Kementerian Pertahanan

sebagai pipa anggaran TNI sebagai organisasi induk Kodam III/Siliwangi? Hal ini

disebabkan karena di Perpres 15/2018 tidak memasukkan Kementerian

Pertahanan sebagai sebagai leading aktor. Padahal pasal 5, nomor 16

memasukkan Panglima TNI sebagai aktor pelaksanaan Citarum Harum.

Dalam kaitannya dengan disertasi ini, maka tulisan fokus pada

pendekatan Edukasi pada Industri dan Institusi Pendidikan.

6.3.3. Hasil Yang Diharapkan dari Pelaksanaan Program Citarum Harum

Juara

Untuk target outcome edukasi maka indikator outcome adalah: (1) jumlah

industri yang tersosialisasi dan (2) jumlah institusi pendidikan yang menerapkan

PHBS dan 3R (unit sekolah/perguruan tinggi). Pada Program Citarum Harum

Juara terlihat outcome pada EDUKASI ada PHBS, namun tidak memasukkan

aktor Dinas Pendidikan maupun Kemendikbud sebagai salah satu pemangku

kepentingan.

Pada Program Citarum Harum Juara terlihat outcome pada EDUKASI ada PHBS,

namun tidak memasukkan aktor Dinas Pendidikan maupun Kemendikbud

sebagai salah satu pemangku kepentingan. Dari paparan pembahasan pada Bab

6 ini penulis merumuskan proposisi minor 3 (tiga) berikut :

Proposisi minor 3 (tiga):


Jika output dan outcome Implementasi Kebijakan pengendalian
pencemaran dan kerusakan DAS Citarum benar-benar dapat dirasakan
oleh pemangku kepentingan maka tiujuan utama untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup masyarakat secara merata pada area DAS Citaruml
akan dapat tercapai.

6.4. Model Kebijakan


226

Dalam implementasi kebijakan, beberapa aktivitas yang dilakukan oleh

implemntator kebijakan sebgai berikut :

6.4.1 Penanganan Program Citarum Harum Juara oleh Satuan Tugas

Citarum

Mengacu temuan ini, Gubernur Jawa Barat 2018-2023 memandang empat

masalah utama yang harus ditangani bagi Satgas Citarum, yaitu: (1) Banjir, (2)

Kotor, (3) Sedimentasi; (4) Semrawut

Aksi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan DAS Citarum

Tujuan utama (ultimate goal) yang menjadi acuan bersama pelaksanaan

aksi pengendalian pencemaran dan kerusakan DAS Citarum dalam rangka

melakukan pemantauan kualitas air sungai Citarum dilakukan di 7 (tujuh) titik

pemantauan. Indikator kualitas air akan ditetapkan secara berbeda tergantung

kondisi existing setiap titik. Pada titik tertentu, pada tahun 2025, sungai Citarum

direncanakan memiliki kualitas air dengan klasifikasi air kelas II yaitu air yang

peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air,

pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan

atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan

kegunaan tersebut. Dalam pencapaiannya, disusun target per tahun yang

disesuaikan dengan kondisi saat ini yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 6.1 Ultimate Goal dan Target Pertahun


Sumber: Satgas Citarum, 2019
227

Berdasarkan pemetaan yang dilakukan Satgas Citarum Harum Juara,

permasalahan di DAS Citarum pada dasarnya diakibatkan oleh pertumbuhan

penduduk yang berakibat pada meningkatnya eksploitasi ruang dan sumber daya

air. Perubahan tata guna lahan menyebabkan terjadinya peningkatan lahan kritis

(RAM-IP, 2016). Tingginya pertumbuhan penduduk dan industri di pinggiran DAS

Citarum yang tidak diiringi dengan Pengelolaan limbah yang sesuai juga

mengakibatkan tingginya pencemaran di DAS Citarum. Hal ini menjadi penyebab

kualitas air di sepanjang Sungai Citarum berstatus tercemar berat.

6.4.2 Penataan Zonasi Tata Ruang

Berdasarkan hasil diskusi dari praktisi serta kajian-kajian yang telah ada,

akar permasalahan yang teridentifikasi antara lain: ketidaksesuaian

pembangunan berdasarkan zonasi tata ruang menyebabkan berkurangnya

fungsi kawasan lindung dan degradasi konservasi sumber daya air. Hal ini

menjadi penyebab peningkatan lahan kritis di DAS Citarum dan berdampak pada

peningkatan run-off aliran permukaan dan sedimentasi pada Sungai Citarum

(RAM-IP, 2016). Pengelolaan limbah industri, pertanian dan peternakan yang

tidak diolah dan tidak memenuhi standar baku mutu serta kurangnya penegakan

hukum dan edukasi menjadi salah satu penyebab menurunnya kualitas air

Sungai Citarum.

Sepanjang DAS Citarum, terdapat lebih dari 2.000 industri yang perlu

dikelola agar tidak mencemari badan Sungai Citarum. Selain itu, terdapat lahan

pertanian yang langsung membuang limbahnya ke badan sungai tanpa diolah

terlebih dahulu serta peternakan yang berlokasi di sempadan sungai. Limbah

peternakan, baik air bekas mencuci ternak dan kotorannya dibuang ke badan

sungai tanpa ada pengolahan.


228

Pada daerah Waduk Saguling, Waduk Cirata, dan Waduk Jatiluhur,

terdapat Limbah Perikanan yang disebabkan oleh ribuan Keramba Jaring Apung

(KJA) tidak tertata. Usaha KJA memperburuk pencemaran air disebabkan oleh

pemberian makanan ikan jaring apung yang tidak tepat dan berlebihan sehingga

menambah beban limbah. Hal ini dapat membahayakan kelangsungan instalasi

PLTA di waduk. Tidak terdapat pengelolaan Limbah Cair Domestik dan

Pengelolaan Sampah bagi penduduk di sempadan sungai menyebabkan

tingginya kadar bakteri e.coli dan tingginya sampah di badan Sungai Citarum.

6.4.3 Rencana Aksi Program Citarum Harum Juara

Dalam menanggulangi permasalahan di Citarum, maka diidentifikasi program-

program baik yang berdampak langsung maupun tidak berdampak langsung.

Program yang berdampak langsung merupakan program yang berkenaan

langsung dengan penyebab pencemaran. Program tersebut antara lain:

1. Penanganan Lahan Kritis

2. Penanganan Limbah Industri, Perikanan dan Peternakan

3. Penanganan Limbah Cair Domestik

4. Penanganan Sampah

5. Edukasi dan Hubungan Masyarakat

Sedangkan program berdampak tidak langsung merupakan penanggulangan

terhadap permasalahan yang efeknya tidak berkenaan langsung dengan

pencemaran badan sungai Citarum.

Program tersebut antara lain:

1. Pengendalian Pemanfaatan Ruang

2. Penegakan Hukum
229

Selain itu, Sungai Citarum juga dihadapi permasalahan rendahnya kualitas

performa sebagai air baku serta pengendali banjir. Pemantauan kualitas air

Citarum perlu dipantau seiring dengan pelaksanaan program-program tersebut.

6.5. Recommended Model Kebijakan

Berdasarkan existing model kebijakan yang penulis ilustrasikan pada

gambar 6.36 bahwa pada dimensi isi kebijakan ternyata pada subdimensi

pelaksana program parameter struktur organisasi tidak ditemukan pada

Implementasi kebijakan perpress nomor 15th 2018. Selain itu pada subdimensi

sumber daya yang dilibatkan ternyata parameter ketersediaan biaya yang

diperlukan tidak dapat dipenuhi secara penuh. Hal ini lah yang dijadikan penulis

sebagai dasar mengusulkan model implementasi kebijakan perpress nomor 15th

2018 dengan menambahkan subdimensi baru dari isi kebijakan yaitu struktur

organisasi pelaksana menempati subdimensi urutan kelima (5) dari model

Grindle yang digunakan sebagai pijakan pengembangan model implementasi

kebijakan. Lebih jauh terkait dengan ketersediaan biaya yang diperlukan maka

penulis memberikan penekanan khusus / perhatian khusus akan kecukupan

ketersedianya biaya yang diperlukan dalam penyediaan sumber daya dalam

kaitannya isi kebijakan.

Model yang penulis usulkan sebagaimana dipaparkan sebelumnya dapat

di gambarkan sebagai berikut :


230

Gambar: 6.2. Recomended Model implementasi Kebijakan Pengendalian Pencemaran Dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum.
Sumber: Grindle Update Penulis
231

Pada recommended Model gambar 6.1 menunjukkan bahwa penulis menawarkan

tambahan satu dimensi pada Model Grindel dengan struktur organisasi. Hal ini

berdasarkan temuan menunjukkan bahwa belum adanya struktur organisasi pada

konten kebijakan berpotensi menimbulakan masalah tersendiri pada implementasi

kebijakan publik. Pada tulisan ini peneliti mecoba mengambarkan struktur organisasi

secara spesifik untuk mendukung implementasi implementasi Kebijakan

Pengendalian Pencemaran Dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum, dapat

dilihat pada gambar 6.2 di bawah ini

Gambar 6.3 Struktur Organisasi Sesuai Perpres 15/2018

Sumber : Olahan Penulis

Dari paparan pembahasan pada Bab 6 ini penulis merumuskan proposisi mayor
berikut :

Proposisi Mayor :

Jika konten kebijakan berfungsi secara maksimal, konteks impelemntasi


kebijakan beroperasi dengan baik, output dan outcome Kebijakan
pengendalian pencemaran dan kerusakan DAS Citarum dapat dirasakan oleh
pemangku kepentingan, dan model implementasi kebijakan Kebijakan
pengendalian pencemaran dan kerusakan DAS Citarum benar-benar
bermanfaat bagi pemangku kepentingan, maka tujuan utama untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat DAS Citarum secara merata akan
tercapai.
232

Tabel 6.1 Matrik Hasil Penelitian, Pembahasan, Propoisi Minor, dan Proposisi
Mayor Penelitian

Problem
Penelitian/Pertanyaan Temuan Penelitian Proposisi Implikasi Teori
Penelitian
1. Bagaimana Konten a. Kepentingan yang Proposisi Minor Kebijakan
Implementasi dipengaruhi : Belum 1 (satu) pengembangan
Kebijakan optimalnya program Jika konten wilayah strategis
pengendalian penanganan kebijakan yang di Kabupaten
pencemaran dan pengendalian melalui Bangkalan
kerusakan Daerah pencemaran dan kepentingan mendukung teori
Aliran Sungai kerusakan Daerah yang model
Citarum ? Aliran Sungai dipengaruhi, implementasi
Citarum. tipe manfaat kebijakan dengan
(secara prespektif Top
b. Tipe Manfaat : langsung dan Down dari :
Terjadi pro-kontra di tidak langsung),
lapangan, sehingga derajat - Grindle : “Teori
minimnya tingkat perubahan yang implementasi
kesadaran akan diharapkan, sebagai proses
manfaat kebijakan posisi politik dan
pada pihak-pihak pengambil administrasi
yang terlibat di keputusan, dengan
dalamnya. pelaksana memandang
program, bahwa suatu
c. Derajat perubahan sumberdaya implementasi
yang diharapkan : yang dilibatkan sangat ditentukan
Pelaksanaan data berjalan oleh konten
kebijakan yang dengan optimal, kebijakan dan
sering overlap, maka konteks
meskipun aturan Implementasi impelemntasinya.
telah Kebijakan Teori ini
diimplementasikan pengendalian mengemukakan
pencemaran bahwa proses
d. Posisi pengambil dan kerusakan implementasi
keputusan : DAS Citarum kebijakan hanya
Perlu kejelasan yang bertujuan dapat dimulai
233

Problem
Penelitian/Pertanyaan Temuan Penelitian Proposisi Implikasi Teori
Penelitian
Kewenangan dan untuk apabila tujuan-
pertanggungjawaban meningkatkan tujuan dan
serta Struktur kesejehteraan sasaran-sasaran
Organisasi terkait masyarakat yang semula te;ah
sebagai secara merata diperinci,
implementator dapat area DAS program-program
bekerja secara Citarum akan aksi telah
optimal tercapai dirancang dan
sejumlah dana
e. Pelaksanaan telah dialokasikan
program : Pemkab untuk
Bandung, Pemprov mewujudkan
Jawa Barat, dan tujuan-tujuan dan
Pemerintah Pusat. sasaran sasaran
tersebut (Wibawa,
f. Sumberdaya yang 1994)
dilibatkan :
Kurangnya anggaran - Dye : Kebijakan
dana untuk public secara
Implementasi umum diartikan
Kebijakan sebagai segala
pengendalian sesuatu yang
pencemaran dan dipilih untuk
kerusakan Daerah dikerjakan dan
Aliran Sungai tidak dikerjakan
Citarum perlu oleh pemerintah
mendapatkan whatever
perhatian serius. government
choose to do or
not to do (Dye,
1985)

-Edwar &
Sharskansky :
234

Problem
Penelitian/Pertanyaan Temuan Penelitian Proposisi Implikasi Teori
Penelitian
Kebijakan public
adalah apa yang
dikatakan dan apa
yang dilakukan
oleh pemerintah
atau apa yang
tidak dilakukanya
(Edwar &
Sharskansky,
1978)
2. Bagaimana a. Kekuasaan, Proporsi minor 2 Penelitian ini
Konteks kepentingan, dan (dua) : Proposisi mendukung teori
Implementasi strategi dari actor Minor 2 (dua) mengenai konteks
Kebijakan yang terlibat kadang Jika konteks impelemntasi
pengendalian masih berpolemik implementasi Grindle:
pencemaran dan antara eksekutif kebijakan yang
kerusakan Daerah sebagai pembuat meliputi : “Impelemntasi
Aliran Sungai kebijakan dengan kekuasaan, kebijakan
Citarum ? Lembaga legislative kepentingan bukanlah sekedar
sebagai pihak yang dan strategi bersangkut paut
melakukan mediasi aktor yang dengan
pada tahap terlibat, mekanisme
implementasi karakteristik penjabaran
kebijakan. lembaga dan keputusan-
penguasa, keputusan politik
b. Karateristik kepatuhan dan dalam prosedur-
Lembaga dan daya tanggap prosedur rutin
penguasa perlu berjalan lewat saluran-
ditingkatkan sebagaimana saluran birokrasi,
efektifitasnya dalam mestinya, maka melainkan
memberikan Implementasi menyangkut
formulasi Kebijakan masalah konflik,
mengantisipasi pengendalian keputusan, siapa
masalah pencemaran memperoleh apa
235

Problem
Penelitian/Pertanyaan Temuan Penelitian Proposisi Implikasi Teori
Penelitian
dan kerusakan dari suatu
c. Kepatuhan dan DAS Citarum kebijakan”.
daya tanggap yang bertujuan Konteks dimana
membaik dari objek meningkatkan dan oleh siapa
kebijakan kesejahteraan kebijakan tersebut
hidup diimplementasikan
masyarakat juga akan
secara merata berpengaruh pada
pada area DAS tingkat
Citarum akan keberhasilanya,
dapat karena
terealisasikan. seberapapun bai
dan mudahnya
kebijakan dan
seberapapun
dukungan
kelompok
sasaran, hasil
implementasi
tetap bergantung
pada
implementatornya
(Abdul Wahab,
2002)
3. Bagaimana a. Output Proporsi minor 3 Penelitian ini
Outcome implementasi (tiga) mendukung teori
Implementasi Kebijakan Jika output dan model
Kebijakan pengendalian outcome implementasi
pengendalian pencemaran dan Implementasi Grindel.
pencemaran dan kerusakan Daerah Kebijakan
kerusakan Daerah Aliran Sungai pengendalian - Grindel :
Aliran Sungai Citarum masih bisa pencemaran “Keberhasilan
Citarum ? diakselerasi. dan kerusakan Impelemntasi
DAS Citarum suatu kebijakan
236

Problem
Penelitian/Pertanyaan Temuan Penelitian Proposisi Implikasi Teori
Penelitian
b. Outcome benar-benar public dapat
implementasi dapat dirasakan diukur dari proses
Kebijakan oleh pemangku pencapaian hasil
pengendalian kepentingan akhir (output dan
pencemaran dan maka tiujuan outcome), yaitu
kerusakan Daerah utama untuk tercapai atau
Aliran Sungai meningkatkan tidaknya tujuan
Citarum, dapat kesejahteraan yang ingin diraih.
meningkatkan hidup Dimana
pendapatan masyarakat pengukuran
masyarakat pada secara merata keberhasilan
DAS Citarum pada area DAS implementasi
Citaruml akan kebijakan tersebut
dapat tercapai. dapat dilihat dari 2
hal yakni : dilihat
dari prosesnya
dan dilihat apakah
tujuan kebijakan
tersebut
tercapai.”.

- “Tahapan
impelemntasi
kebijakan
menentukan
apakah kebijakan
yang ditempuh
oleh pemerintah
benar-benar
aplikable dalam
menghasilkan
output dan
outcome seperti
yang telah
237

Problem
Penelitian/Pertanyaan Temuan Penelitian Proposisi Implikasi Teori
Penelitian
direncanaka.
Output adalah
keluaran yang
diharapkan dapat
muncul sebagai
keluaran langsug
dari kebijakan
yang diharapkan
dapat muncul
sebagai keluaran
langsung dari
kebijakan. Output
yang singkat
pasca
implementasi
kebijakan.
Outcome adalah
dampak dari
kebijakan yang
diharaapkan dapat
timbul setelah
keluarnya output
kebijakan.
Outcome
biasanya diukur
setelah keluarnya
output atau waktu
yang lma pasca
impelemntasi
kebijakan

- “Impementasi
kebijakan
merupakan alat
238

Problem
Penelitian/Pertanyaan Temuan Penelitian Proposisi Implikasi Teori
Penelitian
adminsitrasi
hukum dimana
berbagai aktor,
organisasi
porsedur, Teknik
yang bekerja
Bersama-sama
untuk
menjalankan
kebijakan guna
meraih dampak
atau tujuan yang
diinginkan
4. Bagaimana Model Dalam - Peneliti ini
Implementasi pengembangan mendukung
Kebijakan pendapat :
pengendalian
pencemaran dan - Dye (1995)
kerusakan Daerah bahwa model
Aliran Sungai dapat membantu
Citarum ? untuk memahami
tentang kebijakan
public dan dapat
mengidentifikasi
aspek-aspek
seignifikan yang
sebenarnya dari
kebijakan public.
Dimana model
sebagai “an
political life:,
artinya model
adalah suatu
abstraksi dan
239

Problem
Penelitian/Pertanyaan Temuan Penelitian Proposisi Implikasi Teori
Penelitian
representasi
kehidupan politik.
Proporsi Mayor Penelitian ini
Jika konten secara
kebijakan keseluruhan
berfungsi merekonstruksi
secara teori model
maksimal, impelemntasi
konteks Grindle dalam
impelemntasi implementasi
kebijakan kebijakan
beroperasi pengembangan
dengan baik, Kawasan DAS
output dan Citarum yang
outcome meliputi Kontek
Kebijakan Kebijakan dan
pengendalian Konteks
pencemaran Impelemntasi
dan kerusakan
DAS Citarum
dapat dirasakan
oleh pemangku
kepentingan,
dan model
implementasi
kebijakan
Kebijakan
pengendalian
pencemaran
dan kerusakan
DAS Citarum
benar-benar
bermanfaat bagi
pemangku
240

Problem
Penelitian/Pertanyaan Temuan Penelitian Proposisi Implikasi Teori
Penelitian
kepentingan,
maka tujuan
utama untuk
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
DAS Citarum
secara merata
akan tercapai.
241

BAB VII

KESIMPULAN

7.1. Kesimpulan

Dalam proses implementasi sebuah kebijakan, iden dasar Grindle lebih

menegaskan kepada kaitan antara tujuan kebijakan dengan hasil-hasil kegiatan

implementasi kebijakan Program Percepatan Pengendalian Pencemaran Dan

Perusakan Daerah Aliran Sungai Citarum yang secara umum tujuan utamanya

adalah terwujudnya tatanan Daerah Aliran Sungai Citarum dengan harapan

memberikan kemajuan ekonomi yang berdasarkan kepada kekuatan industri,

perdagangan, dan jasa. Kebijakan ini diambil untuk terwujudnya penataan ruang

sepanjang aliran Sungai Citarum Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten

bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten, Kabupaten Bekasi, Kabupaten

Karawang yang dialiri Sungai Citarum sebagai sungai yang memiliki ketahanan dan

penyedia air bersih bagi kabupaten sepanjang aliran Sungai Citarum. Adapaun

kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian dan pembahasan adalah sebagai

berikut :

1. Konten kebijakan dalam implementasi kebijakan pengembangan Kawasan

strategis nasional Sungai Citarum dapat diketahui bahwa kebijakan menuntut

perubahan ruang dalam skala besar di sekitar pengembangan Kawasan Daerah

Aliran Sungai Citarum di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten

bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten,Kabupaten Bekasi, Kabupaten

Karawang. OPD menuai pro dan kontra di masyarakat tentunya berpedoman

dan memperhatikan program Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah

Pusat. Sumberdaya yang dilibatkan dalam pengembangan Kawasan strategis

adalah Kawasan Daerah Aliran Sungai CItarum.


242

2. Konteks Implementasi dalam implementasi kebijakan pengembangan kawasan

aliran sungai nasional di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten

bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten,Kabupaten Bekasi, Kabupaten

Karawang, dapat diketahui bahwa stakeholders yang terlibat dalam

pengembangan kawasan strategis di Kota Bandung, Kabupaten Bandung,

Kabupaten bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten,Kabupaten Bekasi,

Kabupaten Karawang masih menimbulkan berbagai polemic antar pihak yang

berkepentingan. Faktor budaya dan karakteristik Organisasi Perangkat Daerah

(OPD) di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten bandung Barat,

Kabupaten Cianjur, Kabupaten,Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang masih

belum terintegrasi satu sama lain dalam implementasi kebijakan pengembangan

kawasan strategis ditambah dengan kepatuhan dan daya tanggap yang masih

relative rendah dari objek kebijakan Program Percepatan Pengendalian

Pencemaran Dan Perusakan Daerah Aliran Sungai Citarum terlihat dalam tiga

bentuk yaitu hasil dapada tahap implementasi, dampak pada masyarakat,

individu, dan kelompok serta perubahan dan penerimaan oleh masyarakat.

3. Output dan outcome kebijakan pengembangan kawasan strategis nasional di

Daerah Aliran Sungai Citarum dapat diketahui nbahwa implementasi kebijakan

pengembangan kawasan Sungai Citarum di Kota Bandung, Kabupaten Bandung,

Kabupaten bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten,Kabupaten Bekasi,

Kabupaten Karawang, merupakan cara dari stakeholder bekerja Bersama-sama

untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.

Upaya program Program Percepatan Pengendalian Pencemaran Dan Perusakan

Daerah Aliran Sungai Citarum juga mempertimbangkan aspek wilayah dengan

mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya

kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan.

4. Model implementasi kebijakan pengembangan kawasan strategis nasional di

Daerah Aliran Sungai CItarum dapat disimpulkan bahwa Rencana pembangunan


243

kawasan strategis Daerah Aliran Sungai terdiri dari beberapa pusat pertumbuhan

ekonomi baru diantaranya adalah Kota Bandung, Kabupaten Bandung,

Kabupaten bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten,Kabupaten Bekasi,

Kabupaten Karawang. Sehingga perlu adanya perlakuan khusus pada beberapa

aspek yang harus dilakuakan oleh Pemerintah Kota Bandung, Kabupaten

Bandung, Kabupaten bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten,Kabupaten

Bekasi, Kabupaten Karawang agar implementasi kebijakan pengembangan

kawasan dapat terlaksana secara optimal, kelemahan dalam proses

pembangunan ini juga masih belum didukung dengan bentuk kerjasama antar

pemerintah yang sinergis, karena setiap pihak pemerintah yang berhubungan

dengan situs tersebut melaksanakan programnya sendiri dengan minimnya

proses komunikasi.

7.2 Saran

Saran yang diberikan disesuaikan dengan temuan masalah lapangan yang

telah disimpulkan, selain itu saran yang diberikan harus pula dapat untuk

dilaksanakan. Saran yang diberikan terkait dengan aspek tersebut diantaranya :

1. Perbaikan sistem komunikasi dan koordinasi antara Pemerintah Daerah Kota

Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten bandung Barat, Kabupaten Cianjur,

Kabupaten,Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, sebagai wakil dari

Pemerintah. Perbaikan tersebut dapat dilakukan dengan komunikasi dua arah

yang lebih intensif terkait dengan kegiatan yang telah dan akan dilakukan antar

pihak.

2. Perlu adanya kesepakatan antara Pemerintah Daerah Kota Bandung, Kabupaten

Bandung, Kabupaten bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten,Kabupaten

Bekasi, Kabupaten Karawang sebagai wakil apemerintah Pusat dalam

pengelolaan dan pengembangan Kawasan Daerah Aliran Sungai Citarum,

khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Kota Bandung, Kabupaten Bandung,


244

Kabupaten bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten,Kabupaten Bekasi,

Kabupaten Karawang.

3. Para unsur Pimpinan Pemerintah Daerah Kota Bandung, Kabupaten Bandung,

Kabupaten bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten,Kabupaten Bekasi,

Kabupaten Karawang harus lebih kooperatif didalam pelaksanaan Program

Percepatan Pengendalian Pencemaran Dan Perusakan Daerah Aliran Sungai

Citarum di Daerah Aliran Sungai Citarum.

4. Komitmen Pemerintah Daerah Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten

bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten,Kabupaten Bekasi, Kabupaten

Karawang untuk melaksanakan kebijakan strategis terkait Program Percepatan

Pengendalian Pencemaran Dan Perusakan Daerah Aliran Sungai Citarum di

Daerah Aliran Sungai Citarum di Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten

bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten,Kabupaten Bekasi, Kabupaten

Karawang masih perlu untuk ditinjau ulang. Hal tersebut dapat dilakukan dengan

tujuan peningkatan sinergitas , sehingga mampu untuk meningkatkan dampak

dari masing-masing program yang dilaksanakan oleh setiap pemerintahan.


245

DAFTAR PUSTAKA

Agindawati, I. N. (2019). Implementasi Kebijakan Publik dari Perspektif


Penyelenggaraan Pengawasan Implementation of Public Policy from the
Monitoring Perspective. Jurnal Inspirasi, 10(1), 98-105.
Agustino, L. (2016). Dasar-Dasar Kebijakan Publik (Edisi Revisi). In Alfa Beta.
Akib, H., & Tarigan, A. (2008). Artikulasi Konsep Implementasi Kebijakan: Perspektif,
Model dan Kriteria Pengukurannya. Jurnal, 1(8).
Anderson, J. E. (1984). Public Policy Making (3rd ed.). New York : Holt, Rinehart and
Winston.
Ayuningtias, I., . S., & Faisol, M. (2021). PENGELOLAAN KEUANGAN DANA DESA
DALAM PERSPEKTIF TEORI MARILEE S. GRINDLE. Journal of
Accounting and Financial Issue (JAFIS), 2(1).
https://doi.org/10.24929/jafis.v2i1.1391
Bardach, E. (1991). The Implementation Game. Cambridge : MIT Press.
Barnes, J. A. (1954). Class and Committees in a Norwegian Island Parish. Human
Relations, 7(1). https://doi.org/10.1177/001872675400700102
Birkland, T. A. (2001). An Introduction to the Policy Process. Armonk, New York: ME
Sharpe.
Bonoma, T. V. (1984). Managing marketing: text, cases, and readings. Simon and
Schuster.
Borgatti, S. P., & Everett, M. G. (1994). Ecological and perfect colorings. Social
Networks, 16(1). https://doi.org/10.1016/0378-8733(94)90010-8
Borgatti, S. P., Everett, M. G., & Shirey, P. R. (1990). LS sets, lambda sets and other
cohesive subsets. Social Networks, 12(4). https://doi.org/10.1016/0378-
8733(90)90014-Z
Bowker, L. H., Bogdan, R., & Taylor, S. J. (1978). Introduction to Qualitative
Research Methods: A Phenomenological Approach to the Social Sciences.
Teaching Sociology, 5(2). https://doi.org/10.2307/1317067
Brian W Hogwood; Lewis A Gunn. (1984). Policy analysis for the real world. Oxford
University Press, ©1984.
Burt, R. S. (1997). The contingent value of social capital. Administrative Science
Quarterly, 42(2). https://doi.org/10.2307/2393923
Byard, J. L., Paulsen, S. C., Tjeerdema, R. S., & Chiavelli, D. (2014). Ddt, chlordane,
toxaphene and pcb residues in newport bay and watershed: Assessment of
hazard to wildlife and human health. Reviews of Environmental
246

Contamination and Toxicology, 235. https://doi.org/10.1007/978-3-319-


10861-2_3
Cárdenas-González, M., Gaspar-Ramírez, O., Pérez-Vázquez, F. J., Alegría-Torres,
J. A., González-Amaro, R., & Pérez-Maldonado, I. N. (2013). P,p’-DDE, a
DDT metabolite, induces proinflammatory molecules in human peripheral
blood mononuclear cells “ in vitro.” Experimental and Toxicologic Pathology,
65(5). https://doi.org/10.1016/j.etp.2012.07.006
Chandra, R. (2019). Implementation of Citarum Harum Program Policy using One
Command Approach ( Study of collaborative governance mapping using
social network analysis ). 93(AICoBPA 2018), 193–197.
Creswell, John W. (2012). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Creswell, J. W. (2015). Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating
Quantitative and Qualitative Research, Enhanced Pearson eText with
Loose-Leaf Version--Access Card Package. Pearson Education, Inc.
Creswell, J. W., & Guetterman, T. C. (2019). Educational Research: Planning,
Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Research, 6th
Edition. In Pearson.
Creswell, W. J., & Creswell, J. D. (2018). Research Design: Qualitative, Quantitative
adn Mixed Methods Approaches. In Journal of Chemical Information and
Modeling (Vol. 53, Issue 9).
Daniel A Mazmanian; Paul A Sabatier. (1983). Implementation and public policy.
University Press of Americ.
Dasgupta, S. (2013). Studies in Virtual Communities, Blogs, and Modern Social
Networking: Measurements, Analysis, and Investigations. In Studies in
Virtual Communities, Blogs, and Modern Social Networking: Measurements,
Analysis, and Investigations. https://doi.org/10.4018/978-1-4666-4022-1
David Osborne; Ted Gaebler. (1997). Reinventing government: How the
entrepreneurial spirit is transforming government. Reading, Mass. : Addison-
Wesley, 1997.
Denhardt, J. V., & Denhardt, R. B. (2015). The New Public Service Revisited. Public
Administration Review, 75(5). https://doi.org/10.1111/puar.12347
Denzin, N. K., & Lincoln, Y. S. (2019). The handbook on Qualitative Research. In N.
K. Denzin & Y. S. Lincoln (Eds.), Sage Publications (Vol. 1). SAGE
Publications Inc.
Dewey, J. (2003). The public and its problems. In The Civil Society Reader.
https://doi.org/10.5840/newscholas19282253
247

Dörner, G., & Plagemann, A. (2002). DDT in human milk and mental capacities in
children at school age: An additional view on PISA 2000.
Neuroendocrinology Letters, 23(5–6).
Dutta, A., & Fischer, H. W. (2021). The local governance of COVID-19: Disease
prevention and social security in rural India. World Development, 138.
https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2020.105234
Edward III, G. C. (1984). Public Policy Implementing. In Literary and Linguistic
Computing.
Edwards III, G. C. (1980). Implementing Public Policy. W. Washington DC:
Congresional Quarterly Press.
Elmore, R. F., Nakamura, R. T., & Smallwood, F. (1980). The Politics of Policy
Implementation. Political Science Quarterly, 95(4).
https://doi.org/10.2307/2150635
Esterberg, K. G. (2002). Qualitative methods in social research. McGraw-Hill, 256.
Faludi, A., & Valk, A. (1994). Rule and Order Dutch Planning Doctrine in the
Twentieth Century. In GeoJournal library ; v. 28 (Vol. 28).
Firdayati, M. (2001). Degradasi 3-Kloroanilin oleh Pimelobacter simplex,
Corynebacterium poinsettiae dan Staphylococcus cohnii subs. Cohnii. ITB.
Fitriati, R. (2014). Membangun Model Kebijakan Nasional Keamanan Siber dalam
Sistem Pertahanan Negara, dengan Pendekatan Soft Systems Methodology
dan Social Network Analysis. Jakarta: Universitas Pertahanan.
Fitriati, R. (2018). SMART CITY DAN SISTER CITY Pembelajaran di Indonesia dan
Beberapa Kota Dunia. 356.
Fitriati, R., Rahmayanti, K. P., & Salomo, R. V. (2012). Critical Review of Triple Helix
to Quanto-Tuple Helix: Lesson Learned from Social Security System Act
Implementation. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 52.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.09.458
Freeman, L. C. (2006). Editing a normal science journal in social science. Bulletin de
Méthodologie Sociologique, 91(1).
https://doi.org/10.1177/075910630609100104
Granovetter, M. S. (1973). The Strenght of Weak TIes. JSTOR.
Gregorius Magnus, & Finesso. (2011). Majalaya : Seabad Geliat Tekstil Rakyat.
Jakarta: Harian Umum Kompas.
Gretzel, U. (2001). Social Network Analysis: Introduction and Resources. Technology
Studies in Education Research Portal.
Grindle, M. S. (1980). Politics and Policy Implementation in The Third World.
Princnton University Press, New Jersey.
248

Grindle, M. S. (2017). Politics and policy implementation in the third world. In Politics
and Policy Implementation in the Third World.
https://doi.org/10.2307/2619175
Heclo, H. H. (1972). Review Article: Policy Analysis. In British Journal of Political
Science (Vol. 2, Issue 1). https://doi.org/10.1017/S0007123400008449
Heineman, R. A., Bluhm, W. T., Peterson, S. A., & Kearny, E. N. (2001). The world of
the policy analyst : rationality, values, and politics. Chatham House Studies
in Political Thinking.
Hendratno, E. T., & Fitriati, R. (2016). the Study of Indonesia’S Readiness To Cope
With Demographic Bonus: a Review of Population Law. Journal of
Indonesian Economy and Business, 29(3).
https://doi.org/10.22146/jieb.10311
Idris, H. (2017). Analisis Triangle Kebijakan Publik Jaminan Kesehatan: Studi Kasus
Pada Sektor Informal di Indonesia. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 8(3).
Insititute of Ecology. (2004). Annual Report of Saguling Dam.
Islamy, M. I. (2001). Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Bandung: PT.
Bina Aksara.
Islamy, M. I. (2004). Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta:
Bumi Aksara.
Islamy, M. I. (2009). Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. In Jakarta:
Bumi Aksara.
J E Anderson. (1997). Public Policy-Making: An Introduction (3rd ed.). Boston:
Houghton Miffilin Compan.
jabarqr.id. (2021). Percepat Penanganan Sosial dan Kemanusiaan, Baznas Jabar
Berkolaborasi dengan Jabar Quick Response.
https://jabarqr.id/success/detail/15
Jann, W., & Wegrich, K. (2017). Theories of the policy cycle. In Handbook of Public
Policy Analysis: Theory, Politics, and Methods.
https://doi.org/10.4324/9781315093192-11
JDIH Provinsi Jawa Barat. (2019). Akses Kesehatan, Ridwan Kamil: Ada Empat
Pintu Darurat. Jdih.Jabarprov.Go.Id.
https://jdih.jabarprov.go.id/page/info/berita_detail/332
Juliet Corbin & Anselm Strauss. (2008). Basics of Qualitative Research (3rd ed.):
Techniques and Procedures for Developing Grounded Theory. Sage
Research Methods.
https://doi.org/https://dx.doi.org/10.4135/9781452230153.n4
Jupir, M. M. (2013). Implementasi kebijakan pariwisata berbasis kearifan lokal (studi
249

di Kabupaten Manggarai Barat). Journal of Indonesian Tourism and


Development Studies, 1(1), 28.
Jung, J., Uejio, C. K., Adeyeye, T. E., Kintziger, K. W., Duclos, C., Reid, K., Jordan,
M., Spector, J. T., & Insaf, T. Z. (2021). Using social security number to
identify sub-populations vulnerable to the health impacts from extreme heat
in Florida, U.S. Environmental Research, 202.
https://doi.org/10.1016/j.envres.2021.111738
Kartasasmita, G. (1996). Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan
dan Pemerataan. Economic Development-Indonesia; Economic Policy;
Economic Conditions-1945.
Koch, I., & Reeves, A. (2021). From social security to state-sanctioned insecurity:
How welfare reform mimics the commodification of labour through greater
state intervention. Economy and Society, 50(3).
https://doi.org/10.1080/03085147.2020.1844936
Kompas.com. (2019). Ridwan Kamil Minta Seluruh Rumah Sakit di Jawa Barat
Bangun Posko BPJS. Kompas.Com.
https://regional.kompas.com/read/2019/02/23/09010931/ridwan-kamil-minta-
seluruh-rumah-sakit-di-jawa-barat-bangun-posko-bpjs
Kompas. (2017, November 22). Sungai Terkotor di Dunia Pasok 80 Persen Air untuk
Jakarta. Kompas.Com.
https://regional.kompas.com/read/2017/11/22/20092611/sungai-terkotor-di-
dunia-pasok-80-persen-air-untuk-jakarta?page=all
Kompas. (2018a). Citarum Semakin Rusak. Kompas.Com.
https://www.kompas.id/baca/utama/2018/01/04/citarum-semakin-rusak/
Kompas. (2018b, January 5). Warga Terus Terancam. Kompas.Com.
https://www.kompas.id/baca/nusantara/2018/01/05/warga-terus-terancam/
Krebs, V. (1996). InFlow Software. Krebs and Assoc., Westlake, OH.
Kurnianingsih, F., Mahadiansar, M., & Setiawan, R. (2020). Implementation
Processes of Social Protection Policy in Indonesia: Study of Prakerja Card
Program. Journal of Governance and Public Policy, 7(3).
https://doi.org/10.18196/jgpp.731337
Lasswell, H. (1988). The Emerging Conception of the Policy Sciences : Policy
Sciences. The Journal of Science Policy and Research Management, 3(4).
https://doi.org/10.20801/jsrpim.3.4_478_1
Leksmanawati, W. (2016). Tata Kelola Kolaboratif Kebijakan Jaminan Kesehatan
Nasional. UI.
Lester, J. P., & Steward, J. J. (2000). Public Policy:An Evolutionari Approach.
250

Belmont: Wadsworth.
Lexy J. Moleong, D. M. A. (2019). Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). PT.
Remaja Rosda Karya. https://doi.org/10.1016/j.carbpol.2013.02.055
Lincoln, Y. S., & Guba, E. G. (1985). Establishing Trustworthiness. Naturalistic
Inquiry. Purpose Meets Execution, 289(331).
Lindblom, B. (1986). Phonetic universals in vowel systems (Ohala, Joh).
Experimental Phonology, Academic Press, Orlando.
merdeka.com. (2018). Sungai Citarum Dengan Segala Permasalahannya.
Merdeka.Com. https://www.merdeka.com/peristiwa/sungai-citarum-dengan-
segala-permasalahannya.html
Merton, R. K. (1957). Social Theory and Social Structure, Glencoe. Glencoe, IL: The
Free Press.
Meyer, J. W., & Rowan, B. (1977). Institutionalized Organizations: Formal Structure
as Myth and Ceremony. American Journal of Sociology, 83(2).
https://doi.org/10.1086/226550
Michael Hill; Peter Hupe. (2002). Implementing Public Policy : Governance in Theory
and in Practice. London ; Thousand Oaks, Calif. : Sage,.
Milgram. (1967). The Small World Problem / Milgram, Stanley. – In: Psychology
Today, Volume 1, May 1967, pp. 60-67.
Mingers, J., & Brocklesby, J. (1997). Multimethodology: Towards a framework for
mixing methodologies. Omega, 25(5). https://doi.org/10.1016/S0305-
0483(97)00018-2
Mubarok, S., Zauhar, S., Setyowati, E., & Suryadi, S. (2020). Policy Implementation
Analysis: Exploration of George Edward III, Marilee S Grindle, and
Mazmanian and Sabatier Theories in the Policy Analysis Triangle
Framework. Journal of Public Administration Studies, 005(01).
https://doi.org/10.21776/ub.jpas.2020.005.01.7
Nadel, S. F. (1957). The Theory of Social Structur. e. London: Cohen and West.
RADCLIFF-BROWN, A. R.
Pardede, A. M. H., Maulita, Y., & Buaton, R. (2018). Application modeling ipv6
(internet protocol version 6) on e-id card for identification number for
effectiveness and efficiency of registration process identification of
population. Journal of Physics: Conference Series, 978(1).
https://doi.org/10.1088/1742-6596/978/1/012017
Parikesit, Salim, H., Triharyanto, E., Gunawan, B., Sunardi, Abdoellah, O. S., &
Ohtsuka, R. (2005). Multi-source water pollution in the Upper Citarum
watershed, Indonesia, with special reference to its spatiotemporal variation.
251

Environmental Sciences : An International Journal of Environmental


Physiology and Toxicology, 12(3).
Parikesit, Takeuchi, K., Tsunekawa, A., & Abdoellah, O. S. (2005). Kebon
tatangkalan: A disappearing agroforest in the Upper Citarum Watershed,
West Java, Indonesia. Agroforestry Systems, 63(2).
https://doi.org/10.1007/s10457-004-1182-x
Parsons, D. W. (1995). Public policy: an introduction to the theory and practice of
policy analysis. Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of
Policy Analysis. https://doi.org/10.1002/(sici)1520-
6688(199724)16:1<176::aid-pam12>3.0.co;2-k
Pavlikova, N., Smetana, P., Halada, P., & Kovar, J. (2015). Effect of prolonged
exposure to sublethal concentrations of DDT and DDE on protein
expression in human pancreatic beta cells. Environmental Research, 142.
https://doi.org/10.1016/j.envres.2015.06.046
Prameswari, Y. P. (2018). Waterfront city development di kawasan sempadan sungai:
Studi kasus Sungai Wiso dan Kanal, Jepara. Jurnal Ilmiah Ilmu
Pemerintahan, 3(1). https://doi.org/10.14710/jiip.v3i1.3233
Quade, E. S. (1989). Analysis For Public Decisions. Elsevier Science Publishers,
New York.
Rahardjo, M. (2017). Studi Kasus Dalam Penelitian Kualitatif: Konsep dan
Pengertiannya. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang,
January.
Raharja, S. J. (2015). Synergy in the Watershed Management : Case Study on
Citarum Watershed - Indonesia. International Journal of Humanities and
Social Science Invention, 4(3).
Rasyid, A., & Alfina, I. (2017). E-Service Quality Evaluation on E-Government
Website: Case Study BPJS Kesehatan Indonesia. Journal of Physics:
Conference Series, 801(1). https://doi.org/10.1088/1742-6596/801/1/012036
Riani, E., Sudarso, Y., & Cordova, M. R. (2014). Heavy metals effect on unviable
larvae of dicrotendipes simpsoni (diptera: Chironomidae), a case study from
Saguling Dam, Indonesia. AACL Bioflux, 7(2).
Ripley, R. B., Franklin, G. A., & Meier, K. J. (1986). Policy Implementation and
Bureaucracy. In Public Administration Review.
Rubi, M. (2007). Hubungan Belanja Kesehatan Katastropik Dengan Belanja Protein,
Pendidikan, Dan Pemiskinan Di Indonesia, Tahun 2004. UI.
Salim, Parikesit, & Dhahiyat. (1997). Fish Divers in The Citarum River : a Preliminary
Wastes Textile Industry on The Sustainability of Rice Field. Proceeding of
252

National Seminar on Multi Function and Conversion of Agricultural Land


Used. Balai Penelitian Tanah Bogor.
Salusu, J. (2003). Pengambilan Keputusan Strategik untuk Organisasi Publik dan
Organisasi Nonprofit. Jakarta: Grasindo.
Satgas PPK DAS Citarum. (2019a). Rencana Aksi Pengendalian Pencemaran dan
Kerusakan DAS Citarum.
Satgas PPK DAS Citarum. (2019b). Ringkasan Eksekutif Rencana Aksi PPK DAS
Citarum 2019-2025. Https://Citarumharum.Jabarprov.Go.Id/.
https://citarumharum.jabarprov.go.id/eusina/uploads/docs/ringkasan_renaksi.
pdf
Satgas PPK DAS Citarum. (2021). Revisi Rencana Aksi Pengendalian Pencemaran
dan Kerusakan DAS Citarum 2021-2025. Citarumharum.Jabarprov.Go.Id.
https://drive.google.com/file/d/1VtGjzfKSi3uMEOtFjg6q3auQltH-0GZW/view
Scott, J. (1988). Trend report social network analysis. Sociology, 22(1).
https://doi.org/10.1177/0038038588022001007
Shaw, I., Burke, E., Suharyanto, F., & Sihombing, G. (2000). Residues of p,p’-DDT
and hexachlorobenzene in human milk from Indonesian women.
Environmental Science and Pollution Research, 7(2).
https://doi.org/10.1065/espr2000.04.023
Shears, R. (2007). Is this the world’s most polluted river? Dailymail.Co.Uk.
https://www.dailymail.co.uk/news/article-460077/Is-worlds-polluted-river.html
Simpson, J., Albani, V., Bell, Z., Bambra, C., & Brown, H. (2021). Effects of social
security policy reforms on mental health and inequalities: A systematic
review of observational studies in high-income countries. In Social Science
and Medicine (Vol. 272). https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2021.113717
Singh, Z. (2016). Toxic Effects of Organochlorine Pesticides: A Review. American
Journal of BioScience, 4(3).
https://doi.org/10.11648/j.ajbio.s.2016040301.13
Smith, T. B. (1973). The policy implementation process. Policy sciences, 4(2), 197-
209.
Spradley, J. P. (2007). Metode Etnografi. In Ensiklopedia Indonesia.
Stake, R. (1995). The Art of Case Study Research: Data Gathering. Thousand Oaks,
CA: Sage.
Strong, A. L., Shi, Z., Strong, M. J., Miller, D. F. B., Rusch, D. B., Buechlein, A. M.,
Flemington, E. K., McLachlan, J. A., Nephew, K. P., Burow, M. E., & Bunnell,
B. A. (2015). Effects of the endocrine-disrupting chemical DDT on self-
renewal and differentiation of human Mesenchymal stem cells.
253

Environmental Health Perspectives, 123(1).


https://doi.org/10.1289/ehp.1408188
Suhendra, E., & Kardena, E. (2013). Potensi Keberadaan Polutan Kloroanilin di
Sungai Citarum Akibat Biotranformasi Pewarna Azo dari Air Limbah Tekstil.
Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan
Lingkungan.
Tachjan. (2006). Implementasi Kebijakan Publik. AIPI: Bandung.
Tichy, N. M., Tushman, M. L., & Fombrun, C. (1979). Social Network Analysis For
Organizations. Academy of Management Review, 4(4).
https://doi.org/10.5465/amr.1979.4498309
Timbargen, J. (1987). Rencana Pembangunan. Jakarta: Universitas Indonesia.
Tri, N. M., Hau, D. T., & Duyen, N. T. T. (2021). The role of social security in social
progress in Vietnam. Linguistics and Culture Review, 5(S1).
https://doi.org/10.21744/lingcure.v5ns1.1311
Van Meter, D. S., & Van Horn, C. E. (1975). The Policy Implementation Process: A
Conceptual Framework. Administration & Society, 6(4).
https://doi.org/10.1177/009539977500600404
Wahab, S. A. (2008). Analisis Kebijaksanaan : Dari Formulasi Ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara. In Analisis Kebijaksanaan : Dari formulasi ke
implementasi kebijaksanaan negara / Solichin Abdul Wahab.
Wardhani, E., Roosmini, D., & Notodarmojo, S. (2017). PENCEMARAN KADMIUM
DI SEDIMEN WADUK SAGULING PROVINSI JAWA BARAT (Cadmium
Pollution in Saguling DAM Sediment West Java Province). Jurnal Manusia
Dan Lingkungan, 23(3). https://doi.org/10.22146/jml.18802
Wasserman, S., & Katherine Faust. (1994). Social Network Analysis: Methods and
Applications. Cambridge: Cambridge University Press.
Werner, J. M., & Desimone, R. L. (2012). Human Resource Development 6th Edition.
In IEEE Transactions on Information Theory (Vol. 58, Issue 3).
White, H. C., Boorman, S. A., & Breiger, R. L. (1976). Social structure from multiple
networks. I. Blockmodels of roles and positions. American Journal of
Sociology, 81(4). https://doi.org/10.1086/226141
Wilopo, W., & Fitriati, R. (2016). The Institutional Governance in the Strategic
Restructuring of the Information and Communication Technology Universal
Service Obligation to Strengthen National Competitiveness. Bisnis &
Birokrasi Journal, 22(3). https://doi.org/10.20476/jbb.v22i3.6441
Wiryanto, W. (2020). Population Administration Service Innovation in Indonesia
During the Covid-19 Pandemic. Iapa Proceedings Conference.
254

https://doi.org/10.30589/proceedings.2020.425
Wong, L. I. L., Labrecque, M. P., Ibuki, N., Cox, M. E., Elliott, J. E., & Beischlag, T. V.
(2015). P,p′-Dichlorodiphenyltrichloroethane (p,p′-DDT) and p,p′-
dichlorodiphenyldichloroethylene (p,p′-DDE) repress prostate specific
antigen levels in human prostate cancer cell lines. Chemico-Biological
Interactions, 230. https://doi.org/10.1016/j.cbi.2015.02.002
Wong, M. H., Leung, A. O. W., Chan, J. K. Y., & Choi, M. P. K. (2005). A review on
the usage of POP pesticides in China, with emphasis on DDT loadings in
human milk. Chemosphere, 60(6 SPEC. ISS.).
https://doi.org/10.1016/j.chemosphere.2005.04.028
255

LAMPIRAN

A. Open Coding
Open coding: proses pengamatan di lapangan yang merinci
(membeberkan), memeriksa, membandingkan, mengkonseptualisasi, dan
mengkategorikan data berdasarkan propersi dan dimensinya yang relevan
dengan topik penelitian.
1. Kepentingan yang mempengaruhi
Fenomena : kepentingan yang mempengaruhi
implementasi kebijakan
Kategori : kepentingan yang mempengaruhi
implementasi kebijakan
Properti : Sudah diperhitungkan pada kebijakan
yang sudah dirumuskan, agar masyarakat
tidak ada yang dirugikan. Kebijakan yang
dibuat dan sedang dilaksanakan memang
pada hakekatnya untuk meningkatkan
kesejah teraan rakyat. Di BAPPENAS saat
ini Bersama dengan program improvement
solid waste management project sedang
Menyusun yang kita sebut dengan platform
kebijakan tata kelola persampahan
nasional. Yang menjadi target adalah
menuntaskan permasalahan sampah di
DAS Citarum. Target kebijakan yang
dilaksanakan adalah DAS Citarum yang
bersih bebas dari kerusakan dan bebas
dari sampah dan polutan lain serta aliran
airnya menjadi salah satu sumber air
minum setelah melalui sebuah proses.
Masyarakat sangat diuntungkan dan
terlindungi, karena dengan adanya
kebijakan ini masyarkat pada Das Citarum
bisa menikmati hasilnya.
256

Dimensi : target kebijakan yang dilaksanakan


supaya bebas dari sampah dan
pencemaran.

2. Tipe manfaat
Fenomena : Tipe manfaat yang dapat diperoleh
setelah implementasi kebijakan
Kategori : Tipe manfaat implementasi kebijakan
Properti : Sarana prasarana yang menunjang tidak
ada kendala dan dapat terpenuhi dengan
baik menanggulangi sampah di berbagai
macam tempat. Target kebijakan yang
dilaksanakan adalah DAS Citarum bersih
bebas dari sampah. DAS Citarum menjadi
bersih bebas dari sampah dan polusi.
Ekologi lingkungan hidup yang bersih dan
sehat bahkan airnya dapat diproses
menjadi bahan baku air bersih. Manfaat
lingkungan hidup yang bersih bebas polusi
dan ketersediaan air bersih yang cukup.
Sebenarnya kebijakan dibuat seringkali
berdasarkan kepentingan public, tidak
masyarakat yang dirugikan tetapi malah
sebaliknya. Apalagi di masa pemerintahan
Pak Jokowi, beliau sangat pro rakyat.
Dimensi : Manfaat yang dapat diperoleh setelah
implementasi kebijakan terlaksana dengan
baik.

3. Derajat perubahan
Fenomena : derajat perubahan yang diharapkan dari
implementasi kebijakan
Kategori : Derajat perubahan implementasi
257

kebijakan
Properti : pemanfaatan penyelamatan DAS Citarum
ini untuk mennigkatkan kualitas air baku
untuk air minum. Legacy dan ISWMP ini
menjadikan Citarum ini bersih bukan hanya
saat program Ciatrum Harum berlangsung,
ISWMP berlangsung, termasuk paska
kegiatan ISWMP. Perpres yang ada
sekarang sangat bagus untuk mendorong
Citarum yang lebih bersih. Tadikan sudah
ada paparan juga dari Pak Direktur, dari
SUPD 3 Dagri, menyatakan dan dari
BAPPEDA Provinsi Jawa Barat bahwa
Citarum itu kemaren sudah ada
improvement selama dua tahun terakhir ini
mengenai kualitas, indeks kualitas air.
Boleh jadi pelaksanaan kebijakan ini
menyerap tenaga kerja utamanya warga
sekitar DAS Citarum.
Dimensi : berbagai upaya untuk mencapai derajat
perubahan

4. Letak pengambilan keputusan


Fenomena : pengambilan keputusan dalam
menanggulangi pencemaran DAS Citarum
Kategori : letak pengambilan keputusan
implementasi kebijakan
Properti : Targetnya adalah tercapainya DAS
Citarum yang bersih, bebas sampah dan
polutan lain, airnya bersih, tidak terdapat
bekas dan limbah galian penambangan.
Kebijakan ini tepat dan cukup tepat
sasaran mengingat persoalan sampah dan
258

limbah di DAS Citarum sudah sangat


urgent untuk ditindaklanjuti. Permasalahan
DAS Citarum sudah menjadi permasahan
sampah yang sangat serius secara lokal
dan nasional. Keluarnya prepres nomer 15
tahun 2018 ini menunjukkan keseriusan
pemerintah dalam menuntaskan
permasalahan pencemaran kawasan DAS
Citarum.
Dimensi : tujuan yang akan dicapai berdasarkan
perpres.

5. Sumber daya yang dilibatkan


Fenomena : tidak ada masalah mengenai keterlibatan
sumber daya yang akan dilibatkan
Kategori : Sumber daya yang dilibatkan dalam
implementasi kebijakan
Properti : Mengenai sumber daya manusia saya
rasa gak ada masalah. Alat pengangkut
sampah dari sumber sampah dalam hal ini
dari DAS Citarum ke tempãt pembuangan
akhir (TPA) cukup tersedia. Jadi sampai
sejauh ini kita selalu mempekerjakan
masyarakat sekitar wilayah sasaran
kebijakan dan tetap memprioritaskan
tenaga kerja lokal. Dalam hal mengangkut
sampah dari sumber sampah ke tempat
pembuangan akhir (TPA) tentu saja
membutuhkan tenaga kerja lokal. Terkait
dengan kegiatan Improvement off Solid
Waste Management Project (ISWMP)
didanai dari loan World Bank dari tahun
2020 sampan dengan tahun 2025. Jadi
259

ketersediaan dana dari pemda dan juga


ada kerjasama dengan swasta. Sarana
prasarana dalam implementasi tidak ada
masalah dan dapat terpenuhi dengan baik
Dimensi : ketersediaan sumber daya yang dilibatkan

6. Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat


Fenomena : program yang dibuat oleh aktor dengan
memperhatikan strategi yang diperlukan
Kategori : strategi kebijakan dalam proses
implementasi kebijakan
Properti : Improvement of Solid Waste Management
Project (ISWMP). Ini suatu perpres yang
sangat bagus ya untuk mendorong Citarum
yang lebih bersih. Tadikan sudah ada
paparan juga dari Pak Direktur, dari SUPD
3 Dagri, menyatakan dan dari BAPPEDA
Provinsi Jawa Barat bahwa Citarum itu
kemaren sudah ada improvement selama
dua tahun terakhir ini mengenai kualitas,
indeks kualitas air. Dalam hal pengelolaan
sampah maka dari pihak kami Dirjen
Pengelolaan sampah limbah dan B3
khususnya Direktorat penanganan sampah
sudah melaksanakan kegiatan terutama
pembangunan fisik yang tujuannya untuk
pengelolaan smpah dari sumbernya.
Diantaranya bangunan fisik untuk bank
sampah induk, bak daur ulang, rumah
kompos, dan kami juga menyiapkan motor-
motor sampah untuk menjaga agar
sampah-sampah tersebut kita
mengutamakan tenaga kerja lokal
260

khususnya dari masyarakat sekitar sasaran


Dimensi : program ISWMP dalam melakukan
managemen sampah di DAS Citarum.

7. Karakteristik lembaga dan penguasa


Fenomena : kewenangan penanggulangan
pencemaran DAS Citarum
Kategori : karakteristik lembaga dan penguasa
dalam proses implementasi kebijakan
Properti : Lebih fokus dan mempusatkan perhatian
pada pengendalian pencemaran dan
kerusakan DAS Citarum maka
kepentingan-kepentingan lain akan
berkurang. tetap mendukung kebijakan
tersebut dan tekad dari pemerintah
kabupaten Bekasi kemenkomarves pada
intinya sangat mendukung terkait perpres
ini. kegiatan kemenkomarves ini sangat
apa ya, terintegrasi dan juga bukti
nyatanya sudah terlihat gitu ya. Jadi kami
kemarin baru saja melakukan jambore ya,
jambore DAS Citarum. Kewenangan ada
pada Kementerian Lingkungan Hidup dan
lembaga lembaga lain yang terkait yaitu
Kementerian PUPR, dan Kementerian
Dalam Negeri. Yang pertama dengan
program Improvement of Solid Waste
Management Project (ISWMP) kita
menyusun platform kebijakan Tata kelola
persampahan nasional. Dan kawasan DAS
Citarum dijadikan lokasi prioritas kegiatan
ini. Saya rasa komitmen pelaksana
kebijakan ini cukup besar. Mereka semua
261

memiliki kepedulian terhadap persoalan


DAS Citarum yang melibatkan langsung
delapan kabupaten kota di provinsi Jawa
Barat itu. mengenai kelembagaan jadi
memaang harus jadi dipastikan ada yang
menangani sampah, urusan sampah ini
gitu ya ada operatornya di daerah. Masing-
masing daerah harus punya operator
sendiri yang terpisah dari regulator.
Kewenangan dalam melaksanakan
program ini berada pada Dinas Lingkungan
Hidup, Kementerian PUPR, Kementerian
Dalam Negeri (Pemerintah Daerah) , dan
lembaga-lembaga terkait lain di delapan
kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat
yang terlewati DAS Citarum. Saat ini
BAPPENAS bersama dengan program
‘Improvement of Solid Waste Management
Project (ISWMP)’ menyusun platform
kebijakan tata kelola persampahan
nasional dan salah satu lokasi prioritasnya
adalah kawasan DAS Citarum. Ada lima
aspek penting dalam pengelolaan
sampah : regulasi dan retribusi,
kelembagaan, teknologi, pendanaan,
partisipasi masyarakat. Pelaksana
kebijakan ini Dalam hal ini Pemerintah
Daerah sangat berkomitmen dalam
Pencegahan pencemaran, pengendalian
dan pemulihan kondisi kawasan DAS
Citarum. Kewenangan berada pada
pemerintah daerah dalam hal ini Dinas
Lingkungan Hidup, Kementerian PUPR,
262

dan juga Kementerian Dalam Negeri


terutama ada 8 kabupaten dan kota yang
terlewati DAS Citarum. Para pelaksana
kebijakan ini sangat berkomitmen terhadap
pencegahan, pengendalian, dan pemulihan
DAS Citarum agar menjadi bersih, indah,
bebas sampah dan polusi.
Dimensi : lembaga yang terlibat dalam implementasi
kebijakan

8. Kepatuhan dan daya tanggap


Fenomena : peraturan yang dilaksanakan sesuai
dengan aturan
Kategori : kepatuhan dan daya tanggap dalam
implementasi kebijakan.
Properti : tidak ada satupun peraturan yang
dilanggar oleh pelaksana dalam
melaksanakan kebijakan ini. Saya pikir
merela konsisten walaupun tidak 100
persen, namun kategori batas wajar. Saya
yakin mereka semua sangat konsisten
dengan kewajibannya. Pelaksanaan
kebijakan ini harus sesuai dengamn aturan
yang berlaku. Apapun alasannya dalam
menjalankan kebijakan pelaksana harus
tetap konsisten dengan tupoksinya,
konsisten dengan prosedur atau juklaknya.
Dalam menjalankan kebijakan para
pelaksana harus tetap konsisten dengan
tupoksinya, konsisten dengan kewajibanya.
Dimensi : pelaksanaan kebijakan sesuai dengan
aturan yang berlaku.

9. Penetapan indikator kinerja


263

Fenomena : penetapan indikator kinerja


Kategori : penetapan indikator kinerja dalam proses
implementasi kebijakan
Properti : implementasi kebijakan dalam prosesnya
harus menetapkan indikator kinerja yang
akan dicapai. Segala indikator dirumuskan
untuk mencapai tujuan implementasi
kebijakan dalam penanggulangan
pencemaran di sekitar DAS Citarum.
Dimensi : tujuan implementasi kebijakan yang
dirumuskan melalui penetapan indikator
kinerja.

10. Hasil yang diharapkan


Fenomena : hasil implementasi kebijakan dalam
pembangunan fisik
Kategori : hasil yang diharapkan dari implementasi
kebijakan
Properti : Dalam hal pengelolaan sampah maka dari
pihak kami Dirjen Pengelolaan sampah
limbah dan B3 khususnya Direktorat
penanganan sampah sudah melaksanakan
kegiatan terutama pembangunan fisik yang
tujuannya untuk pengelolaan smpah dari
sumbernya. Diantaranya bangunan fisik
untuk bank sampah induk, bak daur ulang,
rumah kompos, dan kami juga menyiapkan
motor-motor sampah untuk menjaga agar
sampah-sampah tersebut kita
mengutamakan tenaga kerja lokal
khususnya dari masyarakat sekitar sasaran
Dimensi : pengelolaan sampah dan pembangunan
fisik.
264

11. Rekapitulasi kebutuhan pendanaan


Fenomena : ISWMP terkait dengan pendanaan
Kategori : rekapitulasi kebutuhan pendanaan dalam
proses implementasi kebijakan
Properti : terkait dengan Improvement of Solid
Waste Management to Support Regional
and Metropolitan Cities Program, didanai
oleh loan World Bank, didanai dari tahun
2020 sampai tahun 2025. Untuk DAS
Citarum kita menangani delapan
kabupaten kota yang ada di DAS Citarum.
Nah dalam bentuk intervensi secara
terintegrasi yaitu teknis, kelembagaan,
pengaturan, peran serta masyarakat.
Ketersediaan dana masih menjadi kendala
tersendiri.
Dimensi : ketersediaan dana masih menjadi kendala

B. Axial Coding
Axial coding: seperangkat prosedur yang menggunakan data yang ada
dengan menggunakan “ model paradigm grounded theory” yang
dikembangkan sewaktu penelitian berlangsung, model paradigm tersebut
menggunakan alur pemikiran sebagai berikut: (A) kondisi-kondisi kausal, (B)
Fenomena, (C) Konteks, (D) Kondisi-kondisi intervening, (E) Strategistrategi
aksi – interaksi (pelaku yang diamati), (F) Konsekuensi.
1. Kondisi Kausal (causal condition)
Tata kelola kolaboratif untuk pengurangan risiko bencana pada
program percepatan pengendalian pencemaran dan perusakan
daerah aliran sungai citarum.
a. Kategori-kategori I mencakup:
1) Model tata kelola dan akses informasi bencana; 2) model
optimalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pencegahan dan
penanggulangan bencana 3) model optimalisasi kesadaran
265

masyarakat dalam pencegahan kerusakan daerah aliran sungai 4)


model kebijakan dan pembangunan secara top down dalam
pengurangan risiko bencana
b. Kategori-kategori II mencakup:
1) Penerapan strategi yang efektif

2. Fenomena
1) dorongan untuk mengumpulkan manajemen dan akses informasi
mengenai pengendalian pencemaran dan perusakan daerah aliran
sungai citarum
2) optimalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengenai
pengendalian pencemaran dan perusakan daerah aliran sungai
citarum
3) latar belakang peningkatan kesadaran masyarakat dalam
pencegahan pencemaran dan perusakan aliran sungai
4) pemanfaatan informasi risiko bencana untuk pencegahan
pencemaran dan perusakan aliran sungai
5) adopsi strategi yang efektif dan direncanakan secara matang
kemudian disesuaikan dengan peran masing-masing
6) alokasi sumber daya yang sesuai dengan kebutuhan pada semua
tingkatan dan semua sektor yang membutuhkan
7) kritisnya infrastruktur yang digunakan dalam pencegahan
pencemaran dan perusakan aliran sungai
8) kesiapan dalam implementasi kebijakan dan rencana program
yang terbaik dalam pencegahan pencemaran dan perusakan
aliran sungai
9) bantuan pemulihan kondisi pra bencana sampai pasca bencana
dengan berkoordinasi sesuai dengan prosedur yang telah
ditentukan
10)kondisi awal kolaborasi para pemangku kepentingan pada
pencegahan pencemaran dan perusakan aliran sungai
11)kepemimpinan dan kewenangan stakeholders dalam pencegahan
pencemaran dan perusakan aliran sungai
266

12)protokol dasar dalam pencegahan pencemaran dan perusakan


aliran sungai
13)proses kemitraan dan jaringan lembaga pencegahan pencemaran
dan perusakan aliran sungai
14)faktor yang mendukung pencegahan pencemaran dan perusakan
aliran sungai
15) faktor yang menghambat dalam pencegahan pencemaran dan
perusakan aliran sungai
3. Konteks
1) Situasi dimana seluruh aktor berperan aktif dalam pencegahan
dan pencegahan pencemaran dan perusakan aliran sungai
citarum untuk mengurangi risiko bencana yang ditimbulkan.
2) Partisipasi masyarakat pada kegiatan pencegahan pencemaran
dan perusakan aliran sungai
4. Kondisi Intervening
1) Letak geografis wilayah
Penelitian ini dilaksanakan di Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan
seluruh Kabupaten serta Kota yang juga merupakan Daerah Aliran
Sungai Citarum dengan melakukan pengumpulan data pada
masyarakat di sepanjang Sungai Citarum, khususnya masyarakat
yang menerima fasilitas BPJS Kesehatan di sepanjang Sungai
Citarum. Daerah Aliran Sungai Citarum menjadi lokasi penelitian
karena DAS ini telah diklaim sebagai sungai terkotor di dunia
padahal keberadaan Sungai Citarum memegang peran sangat
strategis terhadap kehidupan warga Jawa Barat dan DKI Jakarta.

C. Selective Coding
Selective coding: setelah pemeriksaan data, maka langkah selanjutnya
ialah proses memeriksa adanya inti kategori (care category) yang secara
sistematis berkaitan dengan kategori-kategori lainnya. Dalam rangka
pengurangan risiko bencana pada program percepatan pengendalian
pencemaran dan perusakan daerah aliran sungai citarum pada Pemerintah
Provinsi Jawa Barat dan seluruh Kabupaten serta Kota yang juga merupakan
Daerah Aliran Sungai Citarum. Peningkatan pengurangan risiko bencana
267

dapat dicapai melalui pemahaman risiko bencana yang baik oleh semua
elemen masyarakat. Pemahaman ini bisa berupa tanggung jawab untuk tidak
mencemarkan sungai, dan upaya untuk memberikan sosialisasi kepada
tetangga sekitar mengenai program pencegahan pencemaran. Tata kelola
risiko bencana juga menjadi poin penting karena tanpa adanya tata kelola
yang baik maka pencegahan pencemaran sungai mustahil untuk tercapai.
Aktivitas ini didukung oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupatan hingga pemerintah desa. Strategi yang diaplikasikan yaitu dengan
sebuah kebijakan atau maklumat bersifat top down sehingga dapat
diaplikasikan dengan baik di masyarakat umumnya.
268

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No Judul Penelitian Tujuan Penelitian terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
Penelitian bertujuan Hasil penelitian ini
1 Redhi Fathan Affandi Implementasi Kebijakan Disertasi ini
untuk menganalisis menunjukan bahwa
(2020) Pengelolan Sumber Daya menggunakan metode
tentang implementasi sumberdaya manusia
Air Daerah Aliran Sungai campuran.
kebijakan pengelolaan belum mampu mengelola
Cikembulan Kabupaten
Tujuan dari disertasi ini
sumber daya air Daerah adanya sumberdaya
Pangandaran
adalah untuk
Aliran Sungai Cikebulan alam di Daerah Aliran
menganalisis upaya
Kabupaten Pangandaran Sungai Cikembulan
peningkatan kondisi
sehingga implementasi
lingkungan di daerah
kebijakan tentang
aliran sungai citarum.
pengelolaan sumberdaya
alam (air) di Daerah Perbedaannya terletak
Aliran Sungai pada output dari kajian
Cikembulan kurang ini adalah pada model
efektif. Selain factor integrasi kebijakan
sumberdaya manusia program pengendalian
yang belum dapat pencemaran dan
mengelola sumberdaya kerusakan DAS
alam (air) dengan baik, Citarum
terdapat permasalahan
269

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No Judul Penelitian Tujuan Penelitian terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
struktur birokrasi
sehingga fungsi dari
bitokrasi kurang
terlaksana dalam
mengelola sumberdaya
alam (air) Daerah Aliran
Sungan Cikembulan
Penelitian ini adalah Hasil penelitian ini
2 I Gusti Ketut Purnaya dan Implementasi Kebijakan Disertasi ini
untuk mengetahui menunjukan bahwa
I Made Trisna Semara Pemerintah Terhadap menggunakan metode
implementasi kebijakan kebijakan pemerintah
(2018) Penataan Sungai Badung campuran.
pemerintah Kota dalam penataan sungai
Dalam Upaya
Tujuan dari disertasi ini
Denpasar tentang telah berjalan dengan
Pengembangan
adalah untuk
penataan sungai Badung baik, namun belum
Pariwisata Di Kota
menganalisis upaya
dalam upaya berjalan optimal
Denpasar
peningkatan kondisi
pengembangan dikarenakan pada bagian
lingkungan di daerah
pariwisata di Kota pengendalian
aliran sungai citarum.
Denpasar pencemaran karena
focus kebijakan Perbedaannya terletak
berdasarkan pada pada output dari kajian
270

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No Judul Penelitian Tujuan Penelitian terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
pentaaan sungai, ini adalah pada model
sehingga timbul integrasi kebijakan
permasalahan adanya program pengendalian
kasus pencemaran pencemaran dan
sungai. Melalui temuan kerusakan DAS
dalam penelitian ini, Citarum
maka diperlukan
kolaborasi dalam
pengelolaan Daerah
Aliran Sungai di Kota
Denpasar
Kajian ini bertujuan untuk Penelitian ini
3 Riski Mulyawan et al. Kajian Peran Stakeholder Disertasi ini
menganalisis PP, Qanun, dilatarbelakangi
(2022) Pada Implementasi menggunakan metode
stakeholders pengelola penurunan kondisi
Kebijakan Pengelolaan campuran.
DAS Krueng Aceh dan Daerah Aliran Sungai
DAS Terpadu, Studi
Tujuan dari disertasi ini
implementasi kebijakan Krueng dimana
Kasus DAS Krueng Aceh
adalah untuk
berdasarkan perubahan ditemukan beberapa hasil
menganalisis upaya
kondisi biofisik DAS. bahwa terjadi perubahan
peningkatan kondisi
Analisis yang digunakan Daerah Aliran Sungai
lingkungan di daerah
271

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No Judul Penelitian Tujuan Penelitian terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
kajian ini adalah analisis Akibat alih fungsi lahan aliran sungai citarum.
perubahan kondisi sekitar sungai.
Perbedaannya terletak
biofisik DAS, analisis Implementasi kebijakan
pada output dari kajian
stakeholders, serta pengelolaan Daerah
ini adalah pada model
analisis implementasi Aliran Sungai dalam
integrasi kebijakan
kebijakan peraturan pemerintah
program pengendalian
dan Qanun (peraturan
pencemaran dan
daerah local) belum
kerusakan DAS
berjalan optimal
Citarum
dikarenakan kurangnya
pemahaman tupoksi
stakeholder kunci dalam
mengelola daerah Aliran
Sungai Krueng Aceh
Tujuan diadakannya Hasil penelitian ini
4 Feny Irfan Muhammad Implementasi Kebijakan Disertasi ini
penelitian ini adalah menunjuukan bahwa
dan Yahya M Abdul Aziz Dalam Mitigasi Bencana menggunakan metode
untuk mengetahui sejauh terdapat permasalahan
(2020) Banjir Di Desa campuran.
mana implementasi ekonomi, social, dan
Dayeuhkolot
Tujuan dari disertasi ini
kebijakan Mitigasi structural akibat adanya
adalah untuk
272

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No Judul Penelitian Tujuan Penelitian terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
Bencana Banjir di desa banjir di Sungai menganalisis upaya
Dayeuhkolot kecamatan Dayeuhkolot sehingga peningkatan kondisi
Dayeuhkolot kabupaten terjadinya penurunan lingkungan di daerah
Bandung diterapkan fungsi Sungai aliran sungai citarum.
Dayeuhkolot. Kebijakan
Perbedaannya terletak
penanggulangan
pada output dari kajian
fenomena Sungai
ini adalah pada model
dayeuhkolot tersebut
integrasi kebijakan
diantisapis melalui
program pengendalian
Peraturan Daerah
pencemaran dan
Kabupaten Bandung
kerusakan DAS
Nomor 02 Tahun 2013,
Citarum
dimana kebijakan
tersebut belum
terlaksana secara optimal
dikarenakan kurangnya
kolaborasi dan
komunikasi dari public
dan stakeholder sebagai
273

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No Judul Penelitian Tujuan Penelitian terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
upaya mencegah banjir di
sepanjang Sungai
Dayeuhkolot.
Adapun tujuan penelitian Hasil penelitian ini
5 Harmiati et al. (2018) Implementasi Good Disertasi ini
ini adalah Penelitian ini menunjukan bahwa
Enviromental menggunakan metode
bertujuan untuk pengelolaan Daerah
Governance dalam campuran.
mengetahui upaya dan ALiran Sungai terpadu
Pengelolaan Daerah
Tujuan dari disertasi ini
kolaborasi antara pihak merupakan pelaksanaan
Aliran Sungai (Das)
adalah untuk
pemerintah, swasta, dan yang sifatnya partisipatif
Bengkulu
menganalisis upaya
masyarakat Kabupaten antara stakeholder dalam
peningkatan kondisi
Bengkulu Tengah dalam pemerintahan dan
lingkungan di daerah
pengelolaan Daerah masyarakat.
aliran sungai citarum.
Aliran Sungai Bengkulu,
sehingga terwujudnya Perbedaannya terletak
tata kelolah lingkungan pada output dari kajian
yang baik (good ini adalah pada model
enviromental integrasi kebijakan
governance) program pengendalian
pencemaran dan
274

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No Judul Penelitian Tujuan Penelitian terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
kerusakan DAS
Citarum

Penulis membahas Hasil penelitian ini


6 Riski Hidayatulloh et al. Peran Badan Disertasi ini
mengenai tahap pra menunjukan kebijakan
(2018) Penanggulangan menggunakan metode
bencana yaitu penanggulangan
Bencana Daerah campuran.
pencegahan dan bencana di Daerah Aliran
Kabupaten Jember dalam
Tujuan dari disertasi ini
kesiapsiagaan untuk Sungai Kabupaten
Pembentukan Rencana
adalah untuk
memastikan upaya yang Jember dilaksanakan
Kontijensi Daerah Aliran
menganalisis upaya
cepat dan tepat dalam dengan melakukan
Sungai (DAS) Tanggul
peningkatan kondisi
menghadapi kejadian pemetaan sumber
lingkungan di daerah
bencana dalam hal ini bencana dan
aliran sungai citarum.
adalah pembentukan pembentukan dokumen
dokumen rencana rencana secara Perbedaannya terletak
kontijensi kontinjensi pada output dari kajian
ini adalah pada model
integrasi kebijakan
program pengendalian
pencemaran dan
kerusakan DAS
275

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No Judul Penelitian Tujuan Penelitian terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
Citarum

Tujuan penelitian ini Hasil penelitian ini


7 Yusi Lastiartoro dan S Analisis Peran Para Disertasi ini
adalah menganalisis menjelaskan bahwa
Andy Cahyono (2016) Pihak Dalam menggunakan metode
peran para pihak dalam pengelolaan sumberdaya
Pengelolaan Daerah campuran.
pengelolaan DAS Daerah Aliran Sungai
Aliran Sungai Bengawan
Tujuan dari disertasi ini
Bengawan Solo Hulu, membutuhkan kolabroasi
Solo Hulu
adalah untuk
sehingga dapat diambil institusional dalam
menganalisis upaya
kebijakan yang lebih pemerintahan, sehingga
peningkatan kondisi
tepat dalam memberikan dapat menjelaskan rantai
lingkungan di daerah
gambaran nyata di komando dalam
aliran sungai citarum.
lapangan siapa yang pelaksanaan kebijakan
berperan penting dan pengelolaan sumberdaya Perbedaannya terletak
berpengaruh dalam Daerah ALiran Sungai pada output dari kajian
pengelolaan DAS Bengawan Solo Hulu ini adalah pada model
Bengawan Solo Hulu. integrasi kebijakan
program pengendalian
pencemaran dan
kerusakan DAS
Citarum
276

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No Judul Penelitian Tujuan Penelitian terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
Penelitian ini bertujuan Hasil penelitian ini
8 Yoan dan Lilin (2015) Evaluasi Rehabilitasi Disertasi ini
untuk mengevaluasi menjelaskan bahwa
Hutan dan Lahan (RHL) menggunakan metode
model untuk mengukur kebijakan Rehabilitasi
di Daerah Aliran Sungai campuran.
capaian program Hutan dan Lahan Daerah
(DAS) Juwana pada
Tujuan dari disertasi ini
rehabilitasi hutan dan Aliran Sungai Juwana
Kawasan Gunung Muria
adalah untuk
lahan pada kawasan telah berhasil dengan
Kabupaten Pati
menganalisis upaya
gunung Muria. melaksanakan pemetaan
peningkatan kondisi
pengelolaan dan
lingkungan di daerah
perlibatan masyarakat
aliran sungai citarum.
telah terlaksana
berdasarkan kebijakan Perbedaannya terletak
yang berlaku. Namun pada output dari kajian
terjadi permasalahan ini adalah pada model
dimana lemahnaya integrasi kebijakan
keterlibatan kendali program pengendalian
pemerintahan pencemaran dan
kerusakan DAS
Citarum
277

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No Judul Penelitian Tujuan Penelitian terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
Penelitian ini bertujuan Hasil penelitian ini
9 Karouw, Daud, dan Implementasi Kebijakan Disertasi ini
untuk mengevaluasi menunjukan bahwa
Grace Pengelolaan Daerah menggunakan metode
implementasi kebijakan pengelolaan dan
Aliran Sungai Tondano Di campuran.
olaan Daerah Aliran pelaksanaan kebijakan
Provinsi Sulawesi Utara
Tujuan dari disertasi ini
Sungai Tondano Di peraturan pengelolaan
adalah untuk
Provinsi Sulawesi Utara Daerah Aliran Sungai
menganalisis upaya
Tondano terlaksana
peningkatan kondisi
dengan daik dengan
lingkungan di daerah
didukung elemen
aliran sungai citarum.
organisasi dan
konstitusional yang kuat; Perbedaannya terletak
stakeholder atau pada output dari kajian
sumberdaya manusia ini adalah pada model
yang mengetahui tupoksi integrasi kebijakan
dengan baik; dan program pengendalian
implementasi kebijakan pencemaran dan
yang berjalan dengan kerusakan DAS
baik melalui program Citarum
kerja dan kegiatan yang
278

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No Judul Penelitian Tujuan Penelitian terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
terencana
Tujuan dari kajian ini Hasil penelitian ini
10 Direktorat Kehutanan dan Kajian Model Disertasi ini
adalah untuk menjelaskan kajian ilmiah
Konservasi Sumberdaya Pengelolaan Daerah menggunakan metode
memberikan alternatif tentang model alternatif
Air (2013) Aliran Sungai (Das) campuran.
model kebijakan dalam kebijakan
Terpadu
Tujuan dari disertasi ini
pengelolaan DAS terpadu pengelolaan Daerah
adalah untuk
dalam bentuk kerangka Aliran Sungai terpadu
menganalisis upaya
kerja yang dapat sebagai bentuk
peningkatan kondisi
diimplementasikan dalam pengembangan wilayah
lingkungan di daerah
jangka waktu tertentu, aliran sungai
aliran sungai citarum.
baik yang bersifat umum berkelanjutan, wilayah
untuk seluruh DAS rehabilitasi dan Perbedaannya terletak
maupun yang bersifat konservasi sumberdaya pada output dari kajian
khusus atas dasar alam, pembentukan ini adalah pada model
kelompok kriteria elemen kelembagaan integrasi kebijakan
kekritisannya yang relevan, dan program pengendalian
pendekatan dalam pencemaran dan
perencanaan serta kerusakan DAS
penyusunan program Citarum
279

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No Judul Penelitian Tujuan Penelitian terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
Daerah Aliran Sungai
Tujuan secara lebih Hasil penelitian ini
11 Iwan Mulyana (2014) Perencanaan Disertasi ini
rincinya diuraikan menjelaskan bahwa
Pengelolaan Daerah menggunakan metode
sebagai berikut : pemetaan wilayah
Aliran Sungai Di campuran.
a. memberikan batasan Daerah Aliran Sungai
Kabupaten Kuningan
Tujuan dari disertasi ini
yang jelas tentang dapat dipetakan secara
adalah untuk
DAS pada wilayah administratif dan
menganalisis upaya
administratif geografis untuk
peningkatan kondisi
Kabupaten Kuningan keperluan pemetaan
lingkungan di daerah
secara wilayah pengelolaan dan
aliran sungai citarum.
terkomputerisasi mitigasi bencana
melaui analisis Perbedaannya terletak
Sistem Informasi pada output dari kajian
Geografis; ini adalah pada model
b. menghasilkan integrasi kebijakan
gambaran karkterisi program pengendalian
DAS menurut tingkat pencemaran dan
kerawanan banjir, kerusakan DAS
kekritisan lahan, Citarum
280

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No Judul Penelitian Tujuan Penelitian terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
kerentanan gerakan
tanah, sehingga
dapat menjadi
masukan untuk
penyusunan
Kebijakan Rencana
Program (KRP) yang
membutuhkan lokasi
sasaran kegiatan; dan
c. memberikan masukan
terkait upaya- upaya
perencanaan
pengelolaan DAS
yang terpadu meliputi
proses perencanaan,
pelaksanaan dan
pengendalian KRP.
Penelitian ini bertujuan Fokus pada kajian ini
12 Raharja, S.J. (2015) Synergy in the Disertasi ini
untuk mengetahui sistem adalah sinergi pada
Watershed Management: menggunakan metode
281

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No Judul Penelitian Tujuan Penelitian terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
Case Study on Citarum pengelolaan DAS di tataran organisasi dalam campuran.
Watershed – Indonesia. indonesia manajemen pengelolaan
Tujuan dari disertasi ini
International Journal of Daerah Aliran Sungai
adalah untuk
Humanities and Social Citarum dengan
menganalisis upaya
Science Invention, Vol. 4, menggunakan metode
peningkatan kondisi
Issue. 3, Maret : 19-23 kualitatif. Hasil yang
lingkungan di daerah
didapatkan adalah
aliran sungai citarum.
pengelolaan Daerah
Perbedaannya terletak
Aliran Sungai Citarum
pada output dari kajian
belum maksimal dan
ini adalah pada model
efektif karena beberapa
integrasi kebijakan
hal: (1) Tidak ada Master
program pengendalian
Plan acuan Pengelolaan.
pencemaran dan
(2) Masalah Area
kerusakan DAS
Pengelolaan. (3) Tidak
Citarum
ada integrasi antara Visi
dan Misi. (4) Konflik
Kepentingan.
Penelitian ini bertujuan
13 Juniarti (2020) Upaya Peningkatan Disertasi ini
282

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No Judul Penelitian Tujuan Penelitian terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
Kondisi Lingkungan Di untuk mengetahui upaya Hasil penelitian yang menggunakan metode
Daerah Aliran Sungai peningkatan kondisi telah dilakukan campuran.
Citarum. Kumawula: lahan lingkungan di DAS menunjukkan adanya
Tujuan dari disertasi ini
Jurnal Pengabdian Citarum peningkatan kesadaran
adalah untuk
Kepada Masyarakat, masyarakat tentang
menganalisis upaya
3(2), 256-271. lahan kritis, konservasi
peningkatan kondisi
air, pengelolaan sampah,
lingkungan di daerah
sanitasi lingkungan dan
aliran sungai citarum.
mitigasi bencana.
Perbedaannya terletak
pada output dari kajian
ini adalah pada model
integrasi kebijakan
program pengendalian
pencemaran dan
kerusakan DAS
Citarum

penelitian ini bertujuan Hasil penelitian yang


14 Jupri (2013) Implementasi Kebijakan Disertasi ini
untuk mengkaji telah dilakukan
Parawisata berbasis menggunakan metode
283

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No Judul Penelitian Tujuan Penelitian terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
Kearifan Lokal di implementasi kebijakan menunjukkan bahwa campuran.
Kabupaten Manggarai pariwisata berbasis ketersediaan sumber
Tujuan dari disertasi ini
Barat kearifan lokal di daya pendukung
adalah untuk
Kabupaten Manggarai implementasi belum
menganalisis upaya
Barat dialokasikan dengan
peningkatan kondisi
jelas, komunikasi dan
lingkungan di daerah
koordinasi belum berjalan
aliran sungai citarum.
optimal, kondisi eksternal
Perbedaannya terletak
(sosial, ekonomi, dan
pada output dari kajian
politik) menghambat
ini adalah pada model
implementasi kebijakan
integrasi kebijakan
Pariwisata Berbasis
program pengendalian
Kearifan Lokal di
pencemaran dan
Kabupaten Manggarai
kerusakan DAS
Barat secara efektif dan
Citarum
optimal. Implikasinya
adalah aktivitas
pariwisata berbasis
kearifan lokal belum
284

Perbedaan penelitian
Nama Peneliti, Tahun Temuan atau Kontribusi
No Judul Penelitian Tujuan Penelitian terdahulu dengan
dan Judul Penelitian Penelitian
disertasi ini
berkontribusi secara
optimal bagi pemerintah,
swasta dan masyarakat
dari sisi ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai