Anda di halaman 1dari 4

B.

Deskripsi Singkat Mengenai Kesenian Rodat

Rodat merupakan salah satu seni pertunjukan yang berasal dari Dusun Gunung Jayan, Desa
Bancak, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Rodat ini merupakan kesenian
rakyat yang berupa tarian-tarian yang diiringi menggunakan instrumen musik berupa rebana
dengan syair atau pantun dan juga sholawatan jawa. Sholawatan jawa merupakan tembang atau
lantunan yang pasti ada dalam setiap pertunjukan Rodat.

Kesenian Rodat, yang berarti maju-mundur atau bolak-balik, di dusun Gunung Jayan lahir pada
tahun 1960-an, oleh Mbah Ramlan, tidak lama setelah munculnya Gerakan 30 September PKI.
Kesenian ini merupakan bentuk perlawanan masyarakat yang beragama Islam, kelompok hijau
atau putih, terhadap masyarakat yang terpengaruh oleh PKI, yang pada saat itu gencar dengan
Lekra dan menggunakan kesenian untuk dijadikan alat propaganda, dengan kesenian ledek, kuda
lumping atau reyog. Kesenian Rodat digunakan sebagai alat untuk menarik perhatian masyarakat
yang sangat tertarik dengan seni pertunjukan, dengan tujuan masyarakat tidak terpengaruh oleh
paham yang dibawa oleh kelompok abangan, orang-orang PKI. Selain itu, kesenian ini juga
sebagai pembeda antara kelompok putih dan merah.

Kesenian yang dimainkan oleh 16 pemain dan empat dalang ini, menggunakan pakaian atau
kostum baju lengan panjang putih, celana pendek putih, kabaret, bersepatu dengan kaos kaki
setinggi setengah betis, sering dimainkan pada saat ada hajatan, seperti khitanan, pernikahan, dan
juga merti deso atau sedekah desa pada hari lahir sebuah desa. Alat yang digunakan adalah
rebana, tanjidur, simbal, dan kipas. Rebana, tanjidur, dan simbal digunakan untuk mengiringi
sholawatan atau syair pantun yang dinyanyikan selama pertunjukan berlangsung. Kipas
digunakan oleh penari yang menjadi satu dengan pemain musik dalam dua baris yang saling
berhadapan. Lama pertunjukan ini adalah kurang-lebih sekitar 30 menit, karena setelah itu
dilanjutkan dengan pertunjukan Noknik, sebuah pertunjukan drama tradisional semacam wayang
dan ludruk atau ledek oleh kelompok abangan, yang bercerita tentang cerita-cerita mengenai
kerajaan-kerajaan. Akan tetapi, terkadang pertunjukan ini tidak dilanjutkan dengan Noknik,
sesuai permintaan yang punya hajat.

Pertunjukan Rodat dimulai oleh salah seorang, dari empat, dalang diikuti oleh tabuhan tanjidur
dilanjutkan oleh alat instrumen lain. Lagu pembukaan pada umumnya adalah sholawatan yang
diambil dari Al-Barjanji, yaitu yaa arkhamarrohimin... kemudian sholawatan jawa, yang
merupakan pakem atau selalu ada dalam setiap pertujukan, dan pantun-pantun seperti kecipir-
melati. Selain sholawatan dan pantun, ada juga lagu-lagu bertema perjuangan atau kebangsaan,
seperti lirik berikut:

Sekarang sudah merdeka seluruh Indonesia 2x

Saya menjadi satu semua saudaraku

Kami punya kipas buat main adalah di sini


Lagu-lagu tersebut dinyanyikan dengan diiringi gerakan maju-mundur para pemain yang
diulang-ulang secara terus-menerus. Satu lagu biasanya dibawakan oleh satu dalang bergantian,
namun terkadang satu dalang bisa lebih dari satu lagu.

Kesenian Rodat Jaya Sakti di Dusun Gunung Jayan ini sangatlah unik, karena seluruh pemain
adalah laki-laki. Akan tetapi keunikan itu tidak diikuti oleh proses regenerasi yang baik,
sehingga kesenian tersebut sangatlah rawan hilang. Proses pembelajaran yang dilakukan untuk
melestarikan kesenian ini dilakukan secara lisan, dan belum ada upaya untuk membukukan
kesenian tersebut. Hal ini dikarenakan kesenian rakyat semacam adalah sebuah tradisi yang
merupakan bentuk identifikasi kebudayaan dalam masyarakatnya. Ketika penulis bertanya
kepada narasumber mengenai proses regenerasi, Bapak Margono hanya mampu menjawab
dengan jawaban yang menunjukkan kepasrahan dan kegelisahan;

nggih niku kan kersane lan kekarepane bocahe, mas. Sakbenere kula kalih ingkang sepuh ting
mriki mpun nguri-nguri, ngajak, lare-lare enom supaya tumut maenke Rodat. Tapi sampun sami
susah mas. Lha, larene kula men nggih wegah-wegahan.

(ya itukan kemauan dan keinginan anaknya, mas. Sebetulnya saya dengan yang tua di sini sudah
mengingatkan, mengajak, anak-anak muda agar ikut bermain Rodat. Tapi sudah pada sulit mas.
Lha, anak saya saja, ya tidak mau.)

Tetapi dalam kepasrahan itu, Pak Margono bersama dengan yang lain tetap mengupayakan agar
kesenian ini tetap hidup, seperti apa yang dikatakan beliau sebelum mengakhiri perbincangan,
Nggih pingine kesenian niki tetep wonten. Dasare kula nggih seneng kalih kesenian, nggih sak
bisane kula nguri-nguri kesenian, mas. eman-eman. (ya inginnya kesenian ini tetap ada.
Dasarnya saya itu ya suka dengan kesenian, ya sebisanya saya mempertahankan kesenian, mas.
sayang.)

C. Fungsi dan Makna Teks Lisan dalam Kesenian Rodat

Hakikat kesenian tradisional, dalam hal ini Rodat, merupakan wahana melegitimasi identitas dan
sebagai bagian dari prosesi ritual masyarakat pendukung. Tidak jauh berbeda dengan sastra lisan,
yang menjadi titik berat dalam sastra lisan adalah kelisanan dan kedaerahannya. Dari dua
gambaran tersebut, fungsi dan makna teks lisan sangat bergantung dengan masyarakat
pembentuk tradisi tersebut. Dalam hal ini, kehadiran teks lisan dalam masyarakat pastilah
mempunyai maksud yang jelas. Untuk itulah kita perlu mengetahui fungsi dan makna teks lisan
tersebut.

Rodat sebagai bentuk kesenian mempunyai peran sebagai media komunikasi, perlawanan,
hiburan, serta legitimasi identitas sosial masyarakat. Teks lisan yang terdapat dalam kesenian
Rodat pun memiliki fungsi yang tidak jauh berbeda dengan bentuknya. Teks lisan yang ada
dalam kesenian Rodat terdapat pada cara pembelajaran, nyanyian atau lagu-lagu yang
dilantunkan, serta proses persebarannya.

Proses pembelajaran kesenian Rodat, begitu juga dengan kesenian tradisional lain, menggunakan
sastra lisan sebagai sarana mediasi dan komunikasi. Secara jelasnya, proses pembelajaran dengan
lisan, karena belum ada teks tertulis yang menceritakan dan memberi piwulang mengenai
kesenian ini, menjadi penting, karena kesenian ini lahir, tumbuh, dan berkembang pada
masyarakat tersebut, sehingga kelisanan dalam kesenian ini tetap terjaga sampai sekarang
meskipun sudah mengalami kemerosotan, dalam hal regenerasi, disebabkan karena pergeseran
pola pikir dan kebudayaan masyarakat setempat. Selain itu, kelisanan dalam proses pembelajaran
tidak hanya mengenai bentuk kesenian ini, melainkan dari isi kesenian ini. Kesenian ini
memberikan pelajaran bagi masyarakat mengenai bagaimana mengingat Tuhan dan
menunjukkan rasa nasionalisme.

Tradisi lisan yang terdapat pada nyanyian atau lagu, yang merupakan perkembangan dari sesuatu
yang ditulis terlebih dahulu, merupakan bentuk dari sastra lisan yang menjadi sarana untuk
memvisualisasikan teks tersebut. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa teks tertulis lagu-lagu
tersebut dulunya berasal dari teks lisan yang oleh masyarakatnya dituliskan agar mampu menjadi
pembelajaran bersama, karena daya ingat seseorang juga terbatas. Proses persebaran kesenian ini
pun tidak luput hubungannya dengan sastra lisan. Persebaran dari mulut ke mulut akan lebih
cepat sampai ke telinga orang.

Singkatnya, fungsi dan makna teks lisan dalam kesenian Rodat dapat di lihat dari fungsi sastra
lisan untuk kesenian tersebut dan masyarakatnya, juga dari isi dari kesenian tersebut. Untuk itu,
fungsi dan makna teks lisan dalam seni Rodat adalah sebagai identitas masyarakat Dusun
Gunung Jayan, dan kelompok putih sebagai pembeda dengan kelompok abangan, serta berfungsi
sebagai perlawanan terhadap Gerakan PKI yang juga membawa kesenian sebagai alat
propagandanya. Selain itu, kesenian ini juga memberikan makna dari masyarakat bahwa dengan
adanya kesenian ini, tradisi yang menjadikan ciri daerah tersebut tetap terjaga (tradisi
keislaman).

D. Aspek Sosial Kesenian Rodat

Seperti halnya apa yang telah di ungkapkan di atas, sastra lisan dalam kesenian Rodat memiliki
peranan penting dalam masyarakatnya, yaitu sebagai legitimasi identitas kelompok masyarakat,
sebagai bentuk perlawanan terhadap kelompok lain, dan sebagai pembelajaran masyarakat.

Aspek sosial yang terdapat dalam teks lisan kesenian Rodat adalah bagaimana teks lisan dalam
kesenian Rodat itu bisa tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, sehingga menjadi identitas
masyarakat. Hal ini bis terjadi karena kondisi sosial pada masa itu adalah sedang terjadi
pergolakan politik yang melibatkan salah satu partai yang berpaham komunis. Masyarakat Dusun
Gunung Jayan yang sebagian besar, atau seluruhnya, beragama Islam merasa ketakutan dan
terancam, terlebih pada waktu itu Desa Bancak terbelah menjadi dua kelompok, yaitu abangan
dan putihan. Kelompok abangan terdapat di desa bagian utara dan timur, sedangkan kelompok
putihan banyak terdapat di daerah Gunung Jayan dansebagian di bagian timur desa.

Kelompok abangan yang selalu menggelar seni pertunjukan, seperti: ledek, reyog, wayang
kulit, pada malam Jumat, membuat warga Gunug Jayan resah. Karena takut warganya
terpengaruh, maka warga sepakat menggelar kesenian serupa, yaitu Rodat.cara itu terbukti jitu,
karena dengan adanya Rodat tersebut, warga Dusun Gunung Jayan tetap teguh pada
pendiriannya dan tidak terpengaruh oleh paham yang dianut kelompok abangan.
Kondisi sosial masyarakat pada waktu itulah yang membuat kesenian ini tetap hidup sampai
sekarang. Cerita mengenai sejarah singkat mengenai kesenian Rodat ini jugalah, yang
menjadikan sastra lisan sebagai media bertutur, sangat kental hingga saat ini. Bahkan sebagian
besar masyarakat masih meyakini bahwa kesenian Rodat inilah yang membuat Dusun Gunung
Jayan terasa hidup. Kesenian Rodat pun terasa kental dengan daerah ini.

Aspek sosial lain yang terdapat dalam teks kesenian Rodat ini adalah tradisi lisan mengenai
keislaman yang menjadi agama mayoritas penduduk setempat sangatlah kental. Hal ini dapat
dilihat dari inti dari pertunjukan Rodat yang menjadikan sholawatan sebagai lantunan wajib
bahkan terdapat pada pembukaan adalah bukti shahih bahwa keislaman di daerah ini sangat
kental. Terutama ormas Islam yang masih mempertahankan konsep tradisional semacam
Nahdlatul Ulama merupakan yang paling besar di daerah tersebut.

Aspek sosial terpenting dari teks lisan kesenian Rodat adalah dukungan masyarakat yang
memiliki tradisi tersebut. Dalam hal ini, kesenian Rodat bisa dikatakan bagus dan tidak bagus.
Bagus, karena dengan adanya kesenian ini, pembentukan karakter pada diri masyarakat sempat
sukses terutama pada waktu geger pada pertengahan tahun 60-an. hal ini juga dapat dilihat dari
keseriusan warga untuk menjaga tradisi seni Rodat yang dianggap sebagai warisan leluhur yang
harus tetap dipertahankan dalam kondisi apapun. Selain itu kesenian ini juga telah mengangkat
nama Dusun Gunung Jayan, khususnya, dan Desa Bancak serta Kecamatan Bancak pada
umumnya, ke tingkat Propinsi Jawa Tengah dengan pernah diundangnya kelompok Rodat Jaya
Sakti dalam berbagai event, baik tingkat kabupaten dan propinsi.

DAFTAR PUSTAKA

Teeuw, A. 1994. Indonesia Antara Kelisanan dan Keeraksaraan.Jakarta: Pustaka Jaya.

Rosidi, Ajip. 1995. Sastra dan Budaya: Kedaerahan dalam Keindonesiaan. Bandung: Pustaka
Jaya.

Anda mungkin juga menyukai