Anda di halaman 1dari 5

SENI SANDUR: SARAT AKAN KESEDERHANAAN DAN EKSISTENSINYA

PADA MASA KINI

Tsaiin Raihan Firmansyah

121911433067

Sebagai tugas Manajemen Warisan Budaya dan Aset Sejarah

Program Pendidikan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga

Tsaiin.raihan.firmansyah-2019@fib.unair.ac.id

Sebagai masyarakat agraris, warga Bojonegoro, Tuban Selatan serta sekitarnya

akan selalu identik dengan kesederhanaan. Salah satu buktinya adalah kesenian yang ada

di lingkungan tersebut. Meski tak 100% murni dari wilayah Bojonegoro maupun Tuban,

kesenian sandur mampu merepresentasikan bagaimana kehidupan sederhana masyarakat

agraris lokal dengan cukup baik. Sandur serta kesederhanaan selalu berjalan beriringan.

Dari orang kecil, melakukan kegiatan kecil, namun bermakna besar bagi lingkungan.

Kesenian ini merupakan kesenian pementasan yang diperagakan oleh sekelompok

orang, dengan penugasan masing-masing. Mulai dari bermain peran, hingga pemusik. Tak

hanya pementasan biasa, nilai-nilai yang dibawakan oleh pementasan ini selalu

mengandung unsur kemasyarakatan. Maka tak heran jika ada yang menyebut bahwa

Sandur merupakan simbol kesederhanaan. Utamanya bagi masyarakat agraris.

Kesenian ini berasal dari kata san (isan) yang berarti selesai panen dan dhur

(ngedhur) yang berarti sampai habis. Selalu dibawakan seta dipentaskan pasca panen

menjadikan masyarakat agraris, Sandur, serta kesederhanaan selalu berkaitan erat.


Kesenian ini menjadi bentuk rasa syukur serta mengeratkan persaudaraan antar

masyarakat.

Cara memainkannya sangat sederhana, hanya terdapat 4 orang aktor, pemusik dan

sekelompok penyanyi (disebut dengan Panjak Hore) yang mengiringi jalannya

pementasan. 4 orang aktor dalam pementasan teater sandur terdiri dari Balong, Wak

Tangsil, Pethak, serta Cawik. Keempat tokoh memiliki latar belakang yang berbeda serta

pewatakan yang berbeda pula sehingga dapat membawa berbagai judul cerita kea rah

yang sangat menarik. Cerita dibawakan melalui tetembangan-tetembangan yang unik dan

dibawakan secara bergantian. Serta sahut-sahutan yang menggema sehingga sampai di

telinga masyarakat jauh meski harus melalui hutan dan persawahan. Sahut-sahutan dalam

pementasan ini menandakan kekuatan yang dapat dibangun dalam sebuah kelompok

masyarakat sederhana dapat berarti besar.

Bentuk rasa syukur dalam kesenian ini dapat dilihat pada awal pementasan,

adanya sesaji sebagai elemen sacral selalu diprioritaskan sebagai bentuk rasa syukur atas

nikmat dan musibah yang telah dialami sebelum hingga masa panen. Prosesi ini dilihat

sebagai bentuk untuk mengingat serta menghormati atas kekuasaan yang lebih besar

daripada kuasa manusia itu sendiri.

Balong, petak, Cawik, serta Wak Tangsil dapat menyiratkan nilai-nilai kehidupan

dalam konteks kemasyarakatan. Hubungan tersebut terjalin atas kesadaran kebersamaan,

kesederhanaan, penghormatan, serta menyatu padukan hal yang berbeda melalui judul-

judul yang dibawakan sekali lagi dengan sangat sederhana.

Relasi harmonis antarkelas juga disajikan dalam pertunjukan ini, dimana

dihilangkannya kegagahan serta superioritas aktor dan dinaikan derajat masyarakat yang
dalam kasus ini digambarkan oleh Panjak hore. Digambarkan dengan adanya adegan

sahut-sahutan antara salah satu aktor dengan mantri sebagai perwakilan dari Panjak Hore.

Dalam akhir pertunjukan ini, terdapat atraksi menarik yang disebut dengan

Kalongking. Adegan ini mempertunjukan satu orang yang sedang berusaha untuk menari

serta bergelantungan di seutas tali yang dikaitkan kepada dua bilah bambu tinggi. Hal ini

memaknai perjalanan manusia yang telah usai di dunia dan menuju ke fase selanjutnya.

Memanjat sebilah bambu yang sangat tinggi mewakili itu. Dan menari serta

bergelantungan di atas pohon menandakan bahwa manusia tersebut telah mencapai titik

puncak hidupnya yaitu kembali ke ‘atas’.

Sebagai warisan budaya tak benda, sandur yang telah hadir di tengah masyarakat

agraris sejak era kerajaan ini memiliki tantangan yang tak jauh beda dengan warisan-

warisan lain. Dimana pada era keemasannya di tahun 1970-an hingga 1980-an terdapat

banyak sekali kelompok-kelompok yang mampu serta mau mementaskan pementasan

sederhana ini. Nampaknya, arus kemajuan teknologi serta percepatan informasi tak

berjalan beriringan dengan kesederhanaan ini.

Masyarakat agraris kini tak lagi bergotong-royong di atas kesederhanaan.

Kemewahan dan budaya modern selalu memiliki daya Tarik tersendiri bagi segala lapisan

masyarakat. Hal tersebut dengan jelas dapat dilihat pada kuantitas pementasan sandur

yang kian hari kian sedikit.

Bukan tanpa upaya, selalu ada Upaya dalam tiap hal yang hampir punah. Namun

upaya tersebut tak dapat membendung arus modern yang sangat tinggi. Di Bojonegoro,

kelompok-kelompok teater sekolah setidak-tidaknya mempelajari sandur sebagai


pembekalan mereka. Ada pula yang memainkannya. Namun dalam kuantitas yang

teramat sedikit (satu kali dalam satu tahun). Pementasan teater modern lebih diutamakan

karena memang memiliki peminat yang jauh lebih besar ketimbang yang tradisional. Pun

hal tersebut hanya mereka dapatkan pada saat menginjak bangku pendidikan menengah

atas. Pascanya? Hanya mereka bawa sebagai ingatan yang dengan momentum tertentu

akan diruwat kembali.

Pementasan yang sarat akan kesederhanaan ini meski suatu saat akan tergantikan

oleh hal baru selalu memiliki daya tarik tersendiri. Bukan soal tradisionalitas nya,

melainkan tentang nilai-nilai yang dibawakan dalam setiap pementasan yang penuh

makna filosofis khas masyarakat agraris. Meski begitu, semoga hal mengerikan

(punahnya pementasan sandur) hanya ada dalam benak, tak akan terealisasi. Dibutuhkan

peranan dari setiap elemen baik pelaku, penikmat, pemerhati, pemerintah, dan lain

sebagainya agar warisan yang sederhana sekaligus indah ini tetap berada di tengah-tengah

kemegahan serta arus yang sangat cepat dan akan makin cepat.
Daftar Pustaka

Admadja, S. Prawira. (1989), Bausastra Jawa-Indonesia Jilid 2. CV. Haji

Masagung. Jakarta

Ahimsa-Putra. (2000). Tanda, Simbol, Budaya dan Ilmu Budaya, Makalah, UGM,

Yogyakarta

Daeng, Hans J. DR., Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Pustaka Pelajar

Yogyakarta, 2000.

Susilo, Joko. Kalongking, Sebuah Persentasi Garap Karya Berlatar Seni

Pertunjukan Sandur Tuban. Dalam Jurnal Terob: Jurnal Pengkajian dan penciptaan Seni

Anda mungkin juga menyukai