Anda di halaman 1dari 6

[BAHASA VISUAL]

Volume 1 Nomor 1 2019


e-ISSN : 0000-0000

Semiotika Terhadap Seni Tari Kuda lumping di jawa

David Yohannes F1, Supriyanto2, Fairuz Zalfa Hadiputra3


Program Studi Desain Komunikasi Visual, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas
Indraprasta PGRI Jl. Nangka No. 58 C, Tanjung Barat, Jakarta 12530, Indonesia
Davidfransisco75@gmail.com

Abstrak

DI dalam Nusantara ini terdapat berbagai ragam seni kebudayaan seperti seni tari yang ada di
disetiap wilayah nusantara ini mulai dari sabang dibagian barat Indonesia sampai ke merauke yang
berada dibagian timur Indonesia dan tentunya kita sebagai penerus bangsa dapat mewarisi seni tari
tersebut. Seni tari kuda lumping berasal dari jawa timur atau Ponorogo yang di mana dalam tariannya
menunggangi kuda tetapi bukan kuda asli melainkan kuda mainan yang terbuat dari anyaman bambu
dan tari kuda ini sendiri merupakan salah satu bagain pergelaran tari reog ponorogo. Tari kuda lumping
ini juga sering disebut juga Jathilan atau Jaran kepang Sedangkan kata Jathilan, bagi massyarakat
Magelang berasal dari kata ‘jath’ yang bermakna banyak atau amat, dan ‘thil-thilan’ yang bermakna
gerak. Jika dihubungkan dan dalam terjemahan bebas, maka kata Jathilan bermakna Banyak Gerak
seperti kuda yang sangat sering bergerak.

Kata kunci: Kuda Lumping, Jawa, seni tari

PENDAHULUAN

Kesenian kuda lumping merupakan salah satu kebudayaan yang dimiliki masyarakat
Indonesia dan kesenian kuda lumping ini juga menyajikan unsur unsur yang terkandung
didalam nya seperti gerak, tata rias, tata busana, properti, sesaji, pawang dan iringan music
dan dalam penampilannya, biasanya tarian ini diiringi oleh alat musik tradisional seperti gong,
kenong, kendang, dan juga slompret (Susanti Ria, P. 2018). Di dalam unsur unsur tersebut
terdapat makna simbolis serta nilai estetis (Meika Puji Lestari, 2005.), kuda lumping ini juga
merupakan pertunjukan seni magis dengan media utama yang digunakan adalah kuda mainan
yang terbuat dari anyaman bambu terdapat hiasan dan motif direka seperti kuda. Selain
mengandung unsur hiburan, kesenian tradisional kuda lumping Karya Budaya juga
mengandung unsur ritual. Karena sebelum pagelaran dimulai, biasanya seorang pawang kuda
lumping akan melakukan ritual, untuk berdoa memohon kelancaran dalam melaksanakan
hiburan kuda lumping. Ritual yang dilakukan tidak luput dari adanya sesajen yang dihidangkan
(Susanti Ria, P. 2018).

Kuda Lumping yang sering disebut sebagai Jaran kepang, Jaranan, dan Jatilan, yang
merupakan kesenian rakyat bersifat ritual warisan nenek moyang. Kuda Lumping merupakan
salah satu kesenian yang berasal dari masyarakat Jawa dan kesenian ini tidak hanya kesenian
yang bersifat menghibur, tetapi juga menjadi tradisi (Susanti Ria, P. 2018). Kesenian Kuda
Lumping berasal dari daerah Ponorogo Jawa Timur. Di dalam sebuah legenda yang ada yang
berkaitan, Raja Ponorogo selalu kalah dalam peperangan. Sang raja yang akhirnya pergi ke

1
Semiotika Terhadap Seni Tari Kuda Lumping Di Jawa
David Yohannes Fransisco1, Supriyanto2, Fairuz Zalfa Hadiputra3(© 2020)

sebuah pertapaan. Ketika sedang khusuk-khusuknya memohon kepada dewa Jawata sang raja
dikejutkan oleh sebuah suara. Suara itu ternyata wangsit dari Sang Jawata. Isinya apabila raja
ingin menang perang, ia harus menyiapkan sepasukan berkuda. Ketika pergi ke medan perang,
para prajurit penunggang kuda itu diiringi dengan "bande" dan rawe-rawe(Sandi Irawan, A.
Totok Priyadi, Henny Sanulita).

Kuda lumping juga memiliki makna penting di dalam tariannya bagi kehidupan
manusia yang bisa dipetik. Di Ponorogo misalnya, kehadiran roh ditandai dengan salah satu
penari yang berubah sikap menjadi lebih bringas dan biasa disebut sebagai warok. Lawan dari
warok gemblakan. Dari keduanya, masing-masing digambarkan sebagai singa hitam untuk
warok, sedangkan merak untuk gemblakan. Dan sewaktu pergelaran kuda lumping itu
dilaksanakan terjadilah suatu pertandingan yang melibatkan warok dan gemblakan. Warok dan
gemblakan memiliki suatu hubungan diantara sifat manusia seperti sifat yang baik dan jahat,
lalu mereka yang baik biasanya meiliki sifat sabar, lebih rendah diri, dan senang memberi
petuah-petuah. untuk mereka yang memiliki sifat jahat, akan memiliki sifat sombong,
seenaknya sendiri, tamak, dan lebih liar (Candriko Pratisto, 17 Febuari 2017).

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Penelitian kualitatif lebih
menekankan pada penggunaan diri si peneliti sebagai instrument dan makna symbol yang
terdapat pada pergelaran seni tari kuda lumping tersebut. Lincoln dan Guba mengemukakan
bahwa dalam pendekatan kualitatif peneliti seyogianya memanfaatkan diri sebagai instrumen,
karena instrumen nonmanusia sulit digunakan secara luwes untuk menangkap berbagai
realitas dan interaksi yang terjadi serta makna symbol yang terdapat dapat pada pergelaran
tari kuda lumping ini terdapat pada serangkain jurnal yang ada dalam mengetahui informasi
makna yang terkandung dari dalam symbol seni tari itu sendiri. Peneliti harus mampu
mengungkap gejala sosial di lapangan dengan mengerahkan segenap fungsi inderawinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tari kuda lumping atau Jathilan ini sudah ada sejak dari zaman primitf yang diggunakan
sebagai sarana upacara ritual yang memiliki sifat magis. Pada semula seni tari kuda lumping ini
hanya menggunakan alat alat yang sederhana serta cara berpakaian penarinya nya yang juga
sederhana. Sehingga seiringnya perkembangan zaman alat musik yang digunakan untuk tari
kuda lumping ini semakin lengkap serta pakaian penari kuda lumping ini semakin bagus dan
kreatif. Pada semulanya seni tari ini hanya dijadikan sebagai sarana upacara saja sekarang
sebagai seni pertunjukan. Di dalam Tarian Kuda Lumping ini melambangkan peperangan
dengan menaiki kuda yang bersenjatakan pedang selain ada yang menaiki kuda ada juga yang
tidak menaiki kuda tetapi memakai topeng yang sebagai penthul, bejer, cepet, gendruwo, dan
barongan. Pada penari Kuda Lumping biasanya ada penari yang sampai mengalami keadaan
trance, yaitu keadaan dimana penari mengalami keadaan tidak sadarkan diri. Bahkan penari
yang mengalami kesurupan tersebut bisa makan barang-barang dari kaca. Hal itu mustahil bisa
dilakukan oleh penari biasa apabila tidak sedang mengalami trance.

Makna simbol yang terkandung di dalam seni tari kuda lumping

2
Semiotika Terhadap Seni Tari Kuda Lumping Di Jawa
David Yohannes Fransisco1, Supriyanto2, Fairuz Zalfa Hadiputra3(© 2020)

Kesenian pada tari kuda lumping ini juga terdapat hal hal mistis didalamnya. Atraksi
yang dilakukan pada seni tari kuda lumping ini memiliki hal yang gaib sehingga dapat
mengundang decak kagum yang terjadi pada penonton karena atraksi itu sendiri dan pada seni
tari kuda lumping ini terdapat makna pada simbolnya. Makna simbol kesenian kuda lumping
merupakan sebuah arti dalam pementasan yang diadakan saat acara akan dimulai. Seperti
makna kuda Simbol yang menggambarkan suatu sifat keperkasaan yang penuh semangat,
pantang menyerah, berani dan selalu siap dalam kondisi apapun. Seperti macam macam
makna symbol yang terdapat didalam seni tari kuda lumping ini.

A) Simbol kuda

Simbol Kuda dapat menggambarkan suatu sifat keperkasaan yang penuh semangat,
pantang menyerah, berani dan selalu siap dalam kondisi keadaan apapun, kuda dibuat dari
anyaman bambu, anyaman bambu juga memiliki makna, dalam kehidupan manusia ada
kalanya sedih, susah dan senang, seperti halnya dengan anyaman bambu kadang di selipkan ke
atas, kadang diselipkan kebawah, kadang kekanan, juga kekiri semua sudah ditakdirkan oleh
yang kuasa, tinggal manusia mampu atau tidak menjalani takdir kehidupan yang telah
digariskan- Nya.

B) Barongan

Barongan yaitu uraian raut wajah yang menyeramkan, mata membelalak bengis dan
buas, hidung besar, gigi besar bertaring serta gaya gerakan tari yang seolah-olah
menggambarkan bahwa makhluk ini adalah sosok yang sangat berkuasa dan mempunyai sifat
adigang, semaunya sendiri, adigung, adiguno yaitu sifat, tidak kenal sopan santun dan angkuh.

C) Celengan atau Babi hutan

Celengan atau babi hutan dengan gaya yang sludar-sludur lari kesana kemari dan
memakan dengan rakus apa saja yang ada dihadapinya tanpa peduli bahwa makanan itu milik
atau hak siapa, dari karakteristik ini, seniman kuda lumping mengisyaratkan bahwa orang yang
rakus diibaratkan seperti celeng atau babi hutan. Sifat dari para tokoh yang diperankan dalam
seni tari kuda lumping merupakan pangilon atau gambaran dari berbagai macam sifat yang ada
dalam diri manusia. Dimana Seniman kuda lumping memberikan isyarat kepada manusia
bahwa didunia ini ada sisi buruk dan sisi baik, tergantung manusia tinggal memilih sisi yang
mana, kalau dia bertindak baik berarti celengan atau baby hutan memilih semangat kuda
untuk dijadikan motivasi dalam hidup, bila sebaliknya berarti celengan atau babi hutan
memilih semangat, dua tokoh berikutnya yaitu barongan dan elengan atau babi hutan.

D) Sesaji Atau Sajen

Sesaji merupakan sebuah bentuk penyajian makanan yang jenisnya lengkap dalam satu wadah,
sesaji ini menyimbolkan persembahan sekaligus permintaan izin kepada roh-roh yang
diundang untuk ikut serta dalam pertunjukan kesenian kuda lumping. Di luar dari konteks
magiknya, dari penjelasan yang dapat diambil pelajaran mengenai tata krama serta sopan
santun, yang mana diera 47 sekarang ini sudah sulit sekali dijumpai pendidikan yang
mengutamakan nilainilai dari kesopanan.

E) Gamelan

3
Semiotika Terhadap Seni Tari Kuda Lumping Di Jawa
David Yohannes Fransisco1, Supriyanto2, Fairuz Zalfa Hadiputra3(© 2020)

Gamelan yang merupakan kesatuan alat musik yang menghasilkan irama yang tetap
pada satu harmoni dengan kadar serta tempo yang sesuai sehingga dapat dinikmati oleh indra
pendengaran dan penaripun bisa tetap dalam ritme gerakan yang sesuai. Dimana ajarkan serta
diingatkan bahwa sebagia manusia yang seharusnya memang hidup seperti manusia yang
sudah diberikan pedoman hidup untuk diikuti agar tetap dalam keselarasan harmoni hidup
yang baik, karena jika lebih memilih untuk tidak mengikuti pedoman, maka yang terjadi pada
manusia yang mana akan keluar dari harmoni hidup yang baik dan berakhir seperti penari yang
dirasuki roh-roh asing hingga pemain terlihat paling mencolok dan mengejutkan penonton.
Bedasarkan wawancara penulis dengan Darmak, seorang ketua kesenian kelompok kuda
lumping, dimana dalam pelaksanaan kesenian kuda lumping juga tidak lepas dari simbol atau
makna tersirat yang jika penulis telaah lebih jauh, yang mana terdapat beberapa hal yang
dapat diambil sebagai pelajaran atau pedoman kehidupan.

Dalam penelitian ini juga terdapat makna simbolis sesaji pertunjukan Kuda Lumping
Diantaranya:

Degan ijo
yang berarti berdiri atau berhasil dalam mencari rejeki sehingga bisa gemah ripah loh
jinawi. Bonang- baning berfungsi untuk memohon keselamatan selama mengadakan
pertunjukan dan meminta keselamatan pada leluhur yang merasuki para penari agar tidak
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan selama penari mengalami kesurupan.

Kopi pahit
kopi manis, teh pahit, teh manis yang memiliki makna bahwa warna kopi hitam itu
melambangkan alam ghaib. Sedangkan rasa manisnya melambangkan bahwa walaupun
dihubung- hubungkan dengan alam ghaib tetapi tetap berjalan pada jalan yang lurus. Rasa
pahit pada kopi, disaat penari menarikan tarian kuda lumping tidak akan merasakan rasa lelah
dan terhindar dari kejadian- kejadian yang tidak diinginkan.

Kembang setaman
yang artinya manusia harus menjaga keharuman namanya agar tidak terpengaruh oleh
hal-hal yang negatif. Air diberi daun dhadhap serep memiliki makna sebagian wujud bakti
kepada yang lahir lebih sehari, yang pernah tua, dan yang pernah muda, yang berada di
kiblatnya masyarakat desa Kaligono.

Berdasarkan hasil penelitian menerangkan bahwa pertunjukan Kuda Lumping terbagi dalam
tiga tahap yaitu
(1) Pra pertunjukan,

meliputi:
(a) membuat perencanaan acara,
(b) membersihkan lapangan untuk pertunjukan kuda lumping,
(c) menyiapkan sesaji,
(d) nyekar ke pepundhen,
(e) obong menyan,

4
Semiotika Terhadap Seni Tari Kuda Lumping Di Jawa
David Yohannes Fransisco1, Supriyanto2, Fairuz Zalfa Hadiputra3(© 2020)

(2) bentuk pertunjukan Kuda Lumping,


meliputi: tari kreasi, tari jaipong, tari gobyok, tari mataraman, tari jaranan versi Bali,
kesurupan atau ndadi,
(3) Pasca pertunjukan
ditutup dengan tarian yang ditarikan oleh sesepuh grup kesenian Kuda Lumping Turonggo
Tri Budoyo.

fungsi pertunjukan Kuda Lumping Turonggo Tri Budoyo yaitu


(1) sebagai sarana upacara,
(2) sebagai sarana hiburan,
(3) sebagai media pendidikan,
(4) sebagai seni pertunjukan

SIMPULAN

Kuda lumping adalah salah satu seni tari yang ada di nusantara ini yang tarian nya
menggunakan kuda sebagai tunggangan nya tetapi kuda yang digunakan tersebut bukanlah kuda
sungguhan melainkan kuda tiruan yang terbuat dari anyaman bambu disertai motif dan
hiasannya, dan tarian kuda lumping ini biasanya menampilkan adegan prajurit berkuda dengan
atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis, seperti atraksi memakan beling dan
kekebalan tubuh terhadap deraan pecut. tarian kuda lumping ini juga salah satu bagian dari
pergelaran reog serta makna yang terkandung dalam seni tari ini yang menggambarkan
semangat kepahlawanan dari kejadian perang yang menggunakan pasukan kuda atau kavaleri
yang menjadi lambang kekuatan, kegigihan, dan kegagahan.

5
Semiotika Terhadap Seni Tari Kuda Lumping Di Jawa
David Yohannes Fransisco1, Supriyanto2, Fairuz Zalfa Hadiputra3(© 2020)

DAFTAR PUSTAKA

Rati Lestari. (2018). MAKNA KESENIAN KUDA LUMPING DALAM MASYARAKAT JAWA DI DESA
SERBAGUNA KECAMATAN DARUL MAKMUR KABUPATEN NAGAN RAYA : FAKULTAS
USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY DARUSSALAM.
Banda Aceh, 1-73.

Hanifati Alifa R. (2016). DINAMIKA SENI PERTUNJUKAN JARAN KEPANG DI KOTA MALANG.
Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya. 2(2), 164-167.

Kartikasari D. (2014). BENTUK, MAKNA, DAN FUNGSI PERTUNJUKAN KUDA LUMPING


TURONGGO TRI BUDOYO DI DESA KALIGONO KECAMATAN KALIGESING KABUPATEN
PURWOREJO, program studi pendidikan bahasa dan sastra jawa, 4(1) 8-13.

Susanti Ria, P. (2018). MAKNA SIMBOLIK SESAJEN DALAM KESENIAN TRADISIONAL KUDA
LUMPING SANGGAR KARYA BUDAYA DI DESA KEMUNING MUDA KECAMATAN BUNGA
RAYA KABUPATEN SIAK. Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik –
Universitas Riau. 5(1) 1-15.

Sandi Irawan, A. Totok Priyadi, Henny Sanulita. STRUKTUR DAN MAKNA MANTRA KUDA
LUMPING. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Untan.

Meika Puji Lestari. (2018). Makna Simbolis dan Nilai Estetis Kesenian Kuda Lumping Wahyu
Budoyo Desa Legokkalong Kecamatan Karanganyar Kabupaten Pekalongan.

Candriko Pratisto. (2017). Makna Tersebunyi Dari Pagelaran Kuda Lumping. Diakses dari
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/02/17/makna-tersebunyi-yang-harus-
tahu-dari-pagelaran-kuda-lumping-biar-nggak-salah-paham-lagi

Anda mungkin juga menyukai