Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH WAYANG KULIT PURWA YOGYAKARTA

SEBAGAI TUGAS PENGGANTI UTS

MPK SENI WAYANG SEMESTER 1

DOSEN PEMBIMBING :

DR. DARMOKO, S.S., M.HUM.

DWI RAHMAWANTO, S.HUM, M.HUM

PURNA LALA ALFARADHEA

1906366614

KELAS MPK SENI WAYANG D

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS INDONESIA

OKTOBER 2019

1
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Budaya adalah cara hidup sebuah kelompok masyarakat yang diwariskan dari gen
erasi ke generasi. Oleh karena itu, budaya adalah investasi sebuah bangsa untuk m
aju di masa depan. Kebudayaan Indonesia sangatlah beragam karena didukung de
ngan banyaknya suku dan ras yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Kebu
dayaan di Indonesia erat kaitannya dengan kesenian. Kesenian di Indonesia menu
njukan ciri khas setiap daerah. Kesenian dan kebudayaan mengandung nilai-nilai f
olosofi yang dianut dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut akan membentuk jati di
ri dan karakter bangsa Indonesia. Namun, sayangnya kesenian dan kebudayaan In
donesia saat ini sudah mulai luntur karena pengaruh globalisasi. Kebudayaan bang
sa lain yang masuk ke Indonesia mulai digemari anak muda, sehingga kebudayaan
bangsa sendiri mulai terkikis.

Rumusan Masalah

1. Apa pengertian wayang kulit purwa Yogyakarta?


2. Apa saja perbedaan wayang kulit purwa Yogyakarta dan Surakarta?
3. Apa ciri-ciri wayang kulit purwa Yogyakarta?
4. Apa saja seni drama dan seni musik pada wayang kulit purwa Yogyakarta?
5. Apa saja seni sastra pada wayang kulit purwa Yogyakarta?
6. Apa saja seni tari atau gerak pada wayang kulit purwa Yogyakarta?

Tujuan

1. Menjelaskan pengertian wayang kulit Yogykarta.


2. Menjelaskan perbedaan wayang kulit purwa Yogyakarta dan Surakarta.
3. Menjelaskan ciri-ciri wayang kulit purwa Yogyakarta.
4. Menjelaskan seni drama dan musik pada wayang kulit purwa Yogyakarta.
5. Menjelaskan seni sastra pada wayang kulit purwa Yogyakarta.
6. Menjelaskan seni tari atau gerak pada wayang kulit purwa Yogyakarta.

2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wayang Kulit Purwa Yogyakarta


Wayang kulit purwa Yogyakarta atau wayang kulit gaya Yogyakarta adala
h wayang yang dimodifikasi atau dikembangkan oleh seniman-seniman as
al Yogyakarta. Wayang ini mempunyai morfologi dengan ciri bentuk, pola
tatahan dan sunggingan atau pemberian warna yang khas. Selain itu, waya
ng kulit purwa Yogyakarta juga mempunyai unsur khas yang lain seperti p
ada lakon wayang atau penyajian alur cerita dan maknanya, catur atau nara
si dan percakapan, karawitan atau gendhing, sulukan dan properti panggun
g. Contoh wayang khas Yogyakarta adalah Antasena, Wisanggeni, dan Pu
nokawan.

B. Perbedaan Wayang Kulit Purwa Yogyakarta dan Wayang Kulit Surakarta

Terpecahnya Kerajaan Mataram menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Kasu


nanan Surakarta, membuat dua daerah tersebut mempunyai nuansa kebuda
yaan tersendiri. Misalnya dalam seni wayang, terdapat perbedaan di antara
keduanya. Pertama, dari segi postur tubuh. Wayang purwa Yogyakarta me
mpunyai tubuh yang lebih berisi dan gemuk, sehingga wayang purwa Yog
yakarta terkesan “cebol”. Sedangkan, wayang purwa Surakarta bertubuh le
bih ramping. Yang kedua, dari posisi gerak kaki saat melangkah. Pada way
ang kulit purwa Yogyakarta pergerekan kaki bagian belakang terlihat terbu
ka seperti jinjit, sedangkan pada wayang kulit purwa Surakarta terlihat stat
is dan menutup. Yang ketiga, wayang gagahan Yogyakarta pada bagian ku

3
misnya berwarna merah dan jenggotnya sampai pangkal telinga, sedangka
n untuk gagrak Surakarta kumisnya dibludiri tanpa diwarnai dan jenggot h
anya sampai bagian bawah dagu. Yang keempat, kain wayang putri gagrak
Yogyakarta menjuntai ke depan, sedangkan wayang Solo jatuh ke belakan
g.

C. Ciri-Ciri Wayang Kulit Purwa Yogyakarta

1. Wayang kulit purwa Yogyakarta mempunyai kesan “cebol”. Wayang i


ni mempunyai tubuh yang tambun atau pendek dan gemuk. Di bagian
kepala tampak besar, bagian tubuh menghadap ke muka, dan lakahan k
aki lebar.
2. Wayang ini menggambarkan wayang yang bergerak, hal ini dapat diam
ati dari posisi kaki yang melangkah lebar, terutama pada wayang-waya
ng Jangkahan. Sedangkan, pada wayang-wayang putren atau wayang
wanita menggambarkan wayang yang tancep atau diam. Hal ini dapat d
iamati dari “wiron nyamping” atau lipatan kain yang selalu berada di d
epan.
3. Wayang ini diukir dengan menggunakan pecahan “inten-intenan”.
4. Sunggungan yang digunakan adalah sungging tlancapan atau sungging
sawutan dan sungging cinden dengan warna emas, warna hitam dengan
dasar warna merah.
5. Biasanya pada bagian “lemahan” atau bagian yang menghubungkan ka
ki muka dengan kaki bagian belakang berwarna merah.

4
6. Sungging ulat-ulatan pada wayang yang bermuka hitam menggunakan
warna merah saja. Sedangkan, sunggingan drenjeman menggunakan w
arna hitam saja.

D. Seni Drama dan Seni Musik pada Wayang Kulit Purwa Yogyakarta

Saya akan membahas seni drama dan seni musik pada wayang kulit pu
rwa gagrag Yogyakarta secara bersamaan, karena biasanya iringan mus
ik digunakan untuk pembabakan suatu drama.

Seni musik yang digunakan dalam wayang kulit purwa Yogyaarta adal
ah seperangkat gamelan Jawa. Gamelan Jawa dibagi menjadi dua jenis,
yaitu laras Slendro dan laras Pelog. Laras Slendro memiliki lima tangg
a nada, sedangkan laras Pelog memiliki tujuh tangga nada. Penabuh ga
melan disebut Niyogo. Penyanyi wanitanya disebut swarawati atau pes
inden, sedangkan penyanyi pria disebut wiraswara. Musik berfungsi se
bagai penunjuk pembabakan dalam cerita dan memberikan ilustrasi per
adeganan dalam. Alat musik yang digunakan antara lain rebab, kendan
g, gender, boning, slenthem, demung, saron, kethuk, kenong, kempul,
gong, gambang, siter, dan suling.

Berikut adalah adegan drama serta iringan alat musik yang digunakan
pada wayang kulit purwa Yogyakarta.
1. Jejer pathet nem atau jejer pathet lasem => Sang Prabu bersama pat
ih berada di ruang persidangan untuk membahas suatu hal. Adegan
ini menggambarkan suatu hal yang akan terjadi. Alat musik yang d

5
igunakan adalah ayak-ayak gending karawitan.
2. Kadhatonan atau Gupitmandragini => pertemuan Sang Prabu deng
an Prameswari yang menggambarkan bersatunya pikiran dan peras
aan menadi karsa atau niat, yaitu keinginan untuk mempunyai ketu
runan. Musik yang digunakan adalah gendhing ayak-ayak laras Sle
ndro pathet nem.
3. Paseban jaba => patih menyampaikan inti persidangan kemudian
memberikan mandate untuk menyiapkan pasukan. Adegan ini men
ggambarkan kelahiran seorang anak.
4. Bodholan => berangkatnya pasukan dari kerajaan. Agedan ini men
ggambarkan seorang anak yang bertambah usia. Adegan ini ditand
ai dengan suluk “Ada-ada Hastakuwala” dan “Ada-ada Budhalan
Mataraman”.
5. Jejer sebrangan => Sang Prabu bersama patih membahas suatu hal
di kerajaan sebrang. Adegan ini menggambarkan anak yang sudah
menjadi anak-anak dan mulai mempunyai keinginan.
6. Pergang gagal => terdapat dua macam perang, yaitu:
a. Perang ampyak => pasukan kerajaan yang mempercepat jalan.
Adegan ini dimainkan setelah adegan bodholan. Alat musik ya
ng digunakan adalah srepegan Slendro, pathet nem.
b. Perang simpangan => pasukan kerajaan bertemu dengan pasuk
an kerajaan sebrah dan terjadi konflik. Namun keduanya meng
hindari terjadinya pertempuran dan memilih untuk menyimpan
g. Adegan ini dimainkan setelah jejeran kerajaan sebrang.

Di pathet enem hanya ada satu perang dan belum ada tokoh wa
yang yang mati. Adegan ini menggambarkan anak yang belum
dewasa serta belum bisa menahan keinginan dan mengendalika
n hawa nafsu. Pathet enem berakhir dan masuk ke pathet sanga
atau babak kedua.
7. Gara-gara => di dunia menghadapi banyak bencana alam, seolah m
enghadapi kiamat. Manusia panik lari kesana kemari mencari perli

6
ndungan. Para pandhita tidak bisa bersemedi, Sang Prabu juga han
ya bisa mengharap pertolongan Dewa. Namun, Dewa juga bersedih
karena bencana melanda Suralaya. Tiba-tiba muncul dua orang ker
dil, yang seorang membawa tempurung berlubang tiga hendak men
guras air samudra dan mengeringkannya. Dan seorang lain memba
wa sebatang lidi hendak menggiring angin menyapu jagad. Keduan
ya berebut kebenaran yang justru menambah parah bencana. Lamb
at laun gara-gara mereda ditandai dengan munculnya cahaya sepert
i purnama. Dalam sinar tersebut muncul sosok manusia yang gemu
k, dia adalah Semar atau Sang Hyang Ismaya. Musik yang digunak
an adalah ayak-ayak laras Slendro pathet sanga, srepegan laras slen
dro pathet sanga, dan sampak pathet sanga. Pathet bisa berubah ke
pathet mayura, yaitu ketika panyandra untuk tokoh Semar dengan
Sekar Pucung.
8. Jejer pandhita => Bambang yaitu kesatria muda menghadap pandhi
ta dan menerima mandate. Adegan ini menggambarkan anak yang
mulai menjadi pemuda dan mulai mencari pengetahuan.
9. Jejer madyaning alas => di tengah hutan, Bambang dan punakawan
bertemu dengan tiga raksasa, kemudian terjadi pekelahian. Pekelah
ian tersebut dimenangkan oleh Bambang. Tiga raksasa tersebut me
nggambarkan watak angkara murka yang berhasil ditundukan oleh
kesatria muda setelah mendapatkan ilmu pengetahuan.
10. Adegan warna-warni => menggambarkan bahwa dalam menempuh
perjalanan hidup manusia akan menempuh berbagai macam pengal
aman.
11. Perang bubruh => raja dari sebrang dan pasukannya menyerang ker
ajaan jejer kawaitan dan terjadi perang amuk-amukan atau bubruh.
Raja sebrang kalah, kemudian ia kembali ke wujud yang sebenarny
a. Musik yang digunakan dalam adegan ini adalah ayak-ayakan dan
gendhing sampak.
12. Berkumpulnya raja => raja dan putra raja berkumpul dalam suasan
a yang gembrira, hal ini menggambarkan manusia yang meninggal

7
dunia dengan tenang, karena telah menjalankan kewajibannya seba
gai perintah dengan baik.

E. Seni Sastra pada Wayang Kulit Purwa Yogyakarta


Dunia perwayangan dan perdalangan di Kerajaan Yogyakarta terus ber
kembang pada masa Sri Sultan Hamengku Bhuwama V. Beliau memer
intahkan Mangkubumi, yang merupakan cucunya untuk menulis kitab l
akon wayang Yogyakarta yang disebut dengan Kitab Purwakanda. Kit
ab ini kemudian menjadi pakem dan babon wayang gaya Yogyakarta.
Namun, cerita wayang gaya Yogyakarta juga bersumber pada beberapa
kitab tua seperti Ramayana, Mahabharata, dan Pustaka Raja Purwa.

F. Seni Tari atau Gerak pada Wayang Kulit Purwa Yogyakarta


Sabetan yang digunakan dalam wayang kulit purwa Yogyakarta menur
ut Ki Faizal Nor Singgih, sabet Jogja itu sederhana, tidak cepat namun
artistic. Jika berperang, sabet Jogja seperti menari, contohnya pada Wa
yang Wong. Dalam perang juga terdapat adegan tangan kedua wayang
yang berperang saling berpegangan. Pergerakan wayang meninggalkan
kelir juga tidak terlalu cepat, namun juga mempunyai alur.

KESIMPULAN

Wayang kulit purwa Yogyakarta mempunyai morfologi dengan ciri bentuk, pola t
atahan dan sunggingan atau pemberian warna yang khas. Beberapa ciri-ciri wayan
g kulit purwa Yogyakarta adalah bentuk tubuh wayang ini terkesan cebol dengan
wajah yang lebih menunduk jika dibandingkan dengan wayang Surakarta. Selain i

8
tu, wayang Yogyakarta juga menggambarkan wayang yang bergerak. Hal ini dapa
t dilihat dari kaki bagian belakang yang terangkat ke atas.

Wayang kulit purwa Yogyakarta termasuk pertujukan total karena mempunyai be


berapa aspek berikut. Yang pertama adalah aspek seni drama. Aspek drama yang
ditunjukan pada pertunjukan wayang kulit purwa Yogyakarta adalah urutan-uruta
n kejadian ditampilkan seperti adegan jejer pathet nem, kadhatonan, paseban sabd
a, jejer sebrangan, perang gagal, gara-gara, jejer pandhita, jejer madyaning alas, a
degan warna-warni, perang bubruh, dan berkumpulnya raja. Yang kedua adalah as
pek seni sastra. Seni sastra yang digunakan adalah Kitab Purwakanda karangan M
angkubumi. Selain itu, cerita yang digunakan mengambil dalam kisah Ramayana,
Mahabharata, dan Pustaka Raja Purwa. Yang ketiga adalah seni musik. Seni musi
k yang digunakan adalah seperangkat gamelan Jawa yang didukung oleh swarawa
ti atau sinden dan wiraswasra atau penyanyi pria. Yang keempat adalah seni gerak
Menurut Ki Faizal Nor Singgih, sabet Jogja itu sederhana, tidak cepat namun arti
stik. Jika berperang, sabet Jogja seperti menari. Dalam perang juga terdapat adega
n tangan kedua wayang yang berperang saling berpegangan.

REFERENSI

Priyanto dan Darmoko. 2012. Buku Ajar MPK Seni Wayang.

Mertosedono, Amir. 1994. Sejarah Wayang. Semarang: Dahara Prize

Sunarto. 1989. Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta. Jakarta: Balai Pustaka

9
Sunarto dan Sagio. 2004. Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta. Bentuk dan Cer
itanya. Yogyakarta: Balai Pustaka: Pemprov Kanwil

Kasidi. Estetika Jenturan Wayang Kulit Purwa Yogyakarta Gaya. Yogyakarta: BP


ISI Yogyakarta

https://wayangku.id/wayang-kulit-purwa-yogyakarta-khas-yogyakarta/

https://belindomag.nl/id/seni-budaya/5-macam-wayang-indonesia

https://www.academia.edu/14480873/MODUL_MATA_KULIAH_SENI_WAYA
NG

http://www.hadisukirno.co.id/artikel-detail.html?id=Wayang_Kulit_Gaya_Yogya
karta

https://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_kulit_Gagrag_Yogyakarta

https://tahuilmu.wordpress.com/2010/08/24/iringan-wayang-gaya-jogjakarta/

https://www.kompasiana.com/hrayana/54ff628ea333114e4a510165/wayang-kulit-
purwa-4-instrumen-musik-gamelan-jawa

https://yogahart.wordpress.com/2012/09/22/makna-di-balik-pagelaran-wayang-ku
lit-bag-2-selesai/

https://jiwajawajawi.wordpress.com/2013/12/13/sastra-pewayangan/

https://kluban.net/2015/10/12/wayang-jogja-yang-endemik/

10

Anda mungkin juga menyukai