Anda di halaman 1dari 3

PENGERTIAN

Janger atau yang lebih dikenal dengan Seni Damarwulan atau Jinggoan, merupakan
pertunjukan rakyat yang sejenis dengan ketoprak dan ludruk. Kesenian janger atau
jinggoan ini merupakan kesenian yang lengkap, yaitu terdiri dari seni tari, seni
drama, seni suara, seni lawak, dan seni lukis atau dekorasi. Pertunjukan ini hidup
dan berkembang di wilayah Banyuwangi, Jawa Timur serta mempunyai lakon atau cerita
yang diambil dari kisah-kisah legenda maupun cerita rakyat lainnya. Selain itu juga
sama-sama dilengkapi pentas, sound sistem, layar atau tirai. Pertunjukan ini dibagi
dalam babak-babak yang dimulai dari setelah Isya hingga menjelang Subuh.

Babak-babak tersebut antara lain:

1. Pembukaan, biasanya dibuka dengan permainan gamelan dan kemudian


dilanjutkan dengan tari-tarian, misal tari-tarian khas Bali, seperti Pendet,
Legong, Barong, Cendrawasih atau tari-tarian khas Banyuwangi seperti Jejer
Gandrung, Jaran Goyang, Seblang Lokento dan lain sebagainya.

2. Lakon atau cerita

Dalam babak lakon dan cerita juga dibagi menjadi bagian-bagian yaitu:

a) Pengenalan cerita atau lakon, biasanya diawali dengan pembacaan narasi oleh
sutradara dibalik layar tentang cerita atau lakon apa yang dimainkan dalam
pegelaran janger tersebut.

b) Pengenalan tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita. Pada babak ini cerita
sudah mulai dimainkan, biasanya setting bertempat di pendopo kerajaan atau taman
sari. Pada babak ini terdiri dari beberapa adegan yang berisi pengenalan cerita.

Dalam babak ini biasa diselingi dengan unjuk kebolehan pemain di bidang suara.
Biasanya penonton bisa mengajukan permintaan kepada pemain untuk membawakan lagu-
lagu populer, tembang Jawa atau Banyuwangen, gending, pantun, atau tarian.

c) Konflik, menampilkan konflik yang terjadi dalam cerita atau yang lakon yang
dimainkan. Dalam babak ini biasanya terdapat adegan perang. Dalam penampilannya
gerakan perang biasanya diperhalus. Disinilah biasanya efek lampu sangat dominan
karena terdapat unjuk kekuatan dalam bertarung dan divisualisasikan dengan lampu-
lampu dan musik gamelan yang mendukung.

d) Lawak, dalam babak ini dalang, atau sutradara biasa menyebutnya dengan
“Goro-goro” di babak ini terdapat dua atau lebih pelawak yang menampilkan
lawakannya melalui cerita, lagu atau bahkan tarian. Lawakan yang dilemparkan
biasanya sesuai dengan daerah masing-masing dan sesuatu yang sedang hangat
dibicarakan. Dalam babak ini bahasa Jawa Kromo sedikit sekali pemakaiannya,
biasanya dalam Bahasa Using atau Jawa Ngoko.

Dalam akhir babak ini biasanya kunci dari penyelesaian konflik dipaparkan.

e) Penyelesaian konflik, pada babak ini konflik cerita berakhir dan


diselesaikan. Dengan berakhirnya babak ini berarti berakhirlah cerita atau lakon
yang dimainkan dalam sebuah pertunjukan janger.

B. SEJARAH

Pada abad ke-19, di Banyuwangi hidup suatu jenis teater rakyat yang disebut Ande-
Ande Lumut karena lakon yang dimainkan adalah lakon Andhe-Andhe Lumut. Dan dari
sumber cerita dari mulut ke mulut, pelopor lahirnya Janger ini adalah Mbah Darji,
asal Dukuh Klembon, Singonegaran, Banyuwangi kota. Mbah Darji ini adalah seorang
pedagang sapi yang sering mondar-mandir Banyuwangi-Bali, dan dari situ dia tertarik
dengan kesenian teater Arja dan dia pun berkenalan dengan seniman musik bernama
Singobali yang tinggal di Penganjuran, dari situlah kemudian terjadi pemaduan
antara teater Ande-Ande Lumut dengan unsur tari dan gamelan Bali, sehingga lahirlah
apa yang disebut Damarwulan Klembon atau Janger Klembon.

Semenjak itu, mulai lahir grup-grup Damarwulan di seantero Banyuwangi. Mereka bukan
hanya memberikan hiburan, namun juga menyisipkan pesan-pesan perjuangan untuk
melawan penjajah dengan kedok seni. Di masa revolusi, kerap kali para pejuang
kemerdekaan menyamar sebagai seniman Janger untuk mengelabui Belanda dan para mata-
matanya.

Menurut Dasoeki Nur, seorang pelaku kesenian Janger, teater ini juga sempat
berkembang hingga melampaui wilayah Banyuwangi sendiri. Bahkan menurutnya lagi,
pada tahun 1950an pernah berdiri dua kelompok Janger yang berada di wilayah Samaan,
dan Klojen, kota Malang.

C. KEUNIKAN JANGER BANYUWANGI

Teater Janger Banyuwangi ini merupakan salah satu kesenian hibrida, dimana unsur
Jawa dan Bali bertemu jadi satu didalamnya. Gamelan, kostum dan gerak tarinya
mengambil budaya Bali, namun lakon cerita dan bahasa justru mengambil dari budaya
Jawa. Bahasa yang dipergunakan dalam kesenian ini adalah bahasa Jawa Tengahan atau
bahasa Jawa Kromo Inggil yang merupakan bahasa teater ketoprak. Namun pada saat
lawakan, digunakan bahasa Using sebagai bahasa pengantar. Lakon ceritanya banyak
diambil dari Serat Damarwulan

D. CERITA ATAU LAKON

Lakon atau cerita yang akan dipentaskan, disesuaikan dengan permintaan penanggap
atau scenario kelompok itu sendiri. Lakon yang paling banyak dipentaskan antara
lain, Minakjinggo Mati, Damarulan Ngenger, Damarulan Ngarit, dan lain sebagainya.
Selain dari cerita panji, lakon juga diambil dari legenda rakyat setempat seperti
Sri Tanjung.

Kepercayaan Penduduk Sekitar

Dalam pemilihan cerita bukan merupakan hal yang sembarangan, karena menurut
kepercayaan, cerita yang tidak sesuai akan membawa dampak buruk bagi kehidupan
selanjutnya bagi penanggap. Cerita atau lakon Janger memiliki pakem atau pedoman
mana cerita yang bagus dimainkan atau tidak. Misal,cerita yang bagus untuk
dimainkan untuk orang yang menikah atau khitanan adalah Sabdo Palon Diwisuda,
ceritanya bagus karena dalam cerita mengisahkan orang kecil atau orang yang tidak
punya namun suatu saat mendapatkan kedudukan yang tinggi di kerajaan. Lakon yang
tidak bagus misalnya Suminten Edan, cerita ini mengisahkan tentang seorang gadis
yang mencintai seseorang namun tidak terwujudkan dan menjadi gila. Menurut
kepercayaan orang yang menanggap janger dengan lakon ini salah satu dalam
keluarganya akan menjadi gila.

Ada ritual tertentu yang biasanya dilakukan untuk menangkal hal buruk dalam cerita
tertentu misalnya dalam cerita Minakjinggo Mati, dalam lakon ini terdapat adegan
dimana Minak Jinggo dipenggal kepalanya, menurut kepercayaan orang yang menanggap
janger dengan lakon ini salah satu keluarganya akan ada yang meninggal. Untuk
menangkal balak, pada saat pemenggalan kepala Minakjinggo, di belakang panggung
biasanya dilakukan ritual pemotongan ayam.

Oleh karena itu, untuk memilih cerita, biasanya penanggap yang paham akan hal
tersebuat biasanya konsultasi terlebih dahulu kepada pihak kelompok Janger, cerita
mana yang bagus untuk ditampilkan.

E. BUSANA

Busana pemain disesuaikan dengan peran mereka. Pada peran prajurit, raja, panglima
dan tokoh kalangan atas biasanya menggunakan busana khas Bali yang biasa dipakai
dalam pertunjukan Arja. Pada pemain yang menggambarkan ksatria dan orang dari
kalangan baik biasanya memakai pakaian putih hitam, sedangkan pemain yang
memerankan sebagai orang jahat atau bangsa siluman biasanya digambarkan dengan
orang besar dan memakai pakaian berwarna merah, biasanya juga memakai sarung Bali
kotak-kotak hitam putih. Sedangkan kaum wanita istana memakai busana Bali yang
dimodifikasi, yakni kuluk yang dihias bunga kamboja dengan manik-manik, ter atau
penutup dada, dan biasanya memakai kain jarit berwarna mengkilap. Yang unik, peran
rakyat jelata justru memakai busana khas Jawa.

F. PERKEMBANGAN SAAT INI

Kesenian Janger masih tetap digemari, meski sudah berkurang dan tidak seramai
sebelum adanya kesenian modern lainnya. Tapi, di daerah Banyuwangi masih banyak
kelompok-kelompok Janger yang masih berkembang hingga saat ini. Ada beberapa
organisasi yang cukup populer di Banyuwangi, di antaranya, "SETYO KRIDHO BUDOYO"
Parijatah wetan Kec. Srono yang di pimpin oleh Bripda Pol. Arief Yudistya. " DHARMA
KENCANA" glondong yang di pimpin oleh I MADE SWEDEN. "SRI BUDOYO PANGESTU"
Parijatah Wetan, yang di pimpin oleh Ir.Punto Hadi.

Anda mungkin juga menyukai