Anda di halaman 1dari 7

Ludruk 

adalah pertunjukan seni theater tradisional yang berasal dari Jawa timur. Ludruk ini biasanya
dipentaskan oleh satu grup kesenian di panggung besar yang di dalamnya terdapat beberapa pemain.
Cerita yang dibawakan pada pementasan Ludruk biasanya merupakan cerita rakyat sehari – hari yang
diselingi dengan lawakan, bahkan kritik sosial. Kesenian ini sangat popular di Jawa timur dan menjadi
salah satu warisan kesenian tradisional yang masih ada hingga sekarang.

Kesenian Ludruk ini sekilas hampir sama dengan kesenian ketoprak. Yang membedakan kesenian Ludruk
dan ketoprak adalah cerita yang dibawakannya. Kesenian ketoprak sendiri biasanya mengangkat cerita
tentang kehidupan istana atau cerita legenda. Berbeda dengan kesenian Ludruk yang biasanya
mengangkat cerita tentang kehidupan masyarakat sehari – hari dan di selingi dengan lawakan dan kritik
sosial. 

Cerita yang diangkat tersebut biasanya dibawakan dengan bahasa Jawa timur, sehingga dapat dengan
mudah dimengerti oleh para penonton disana. Namun apabila pertunjukan diselenggarakan untuk umum
atau luar daerah, biasanya juga diselingi dengan bahasa Indonesia agar mudah dimengerti. Dalam
pertunjukan Ludruk ini sebernarnya tidak ada pakem yang pasti mengenai pertunjukan, jumlah pemain,
jumlah babak dan jalan cerita yang dibawakan, karena pertunjukan ini hanya bersifat hiburan bagi
masyarakat.

Salah satu keistimewaan pemain Ludruk ini adalah dia harus memiliki kemampuan untuk berimprovisasi
dan dapat mengembangkan cerita. Terkadang pemain Ludruk hanya diberikan tema dan garis besar
cerita saja, namun mereka dapat mengembangkan cerita dengan selipan lawakan yang membuat
suasana pertunjukan meriah dengan tawa dari penonton dan tidak membosankan.

Ludruk biasanya dipentaskan di panggung besar dengan latar belakang yang sudah dibuat sesuai
dengan cerita yang akan dibawakan. Begitu juga dengan kostum yang digunakan, kostum tersebut juga
disesuaikan dengan peran masing – masing. Hal itu dilakukan agar terlihat menarik dan dapat menyatu
dengan cerita. Dalam pertunjukan Ludruk ini diawali dengan tari remo, berbeda dengan pertunjukan tari
remo pada umumnya, pada pembukaan pertunjukan Ludruk ini biasanya hanya dibawakan oleh seorang
penari saja. Setelah memasuki cerita, pertunjukan Ludruk ini juga diiringi oleh iringan gamelan, sehingga
pertunjukan dapat lebih hidup dan meriah.
Gambar : Petunjukan Ludruk

Ludruk ini merupakan salah satu kesenian tradisional yang sangat terkenal di Jawa timur. Sebagai
warisan kesenian tradisional tentu wajib untuk dijaga eksistensinya. Dalam perkembangannya, walaupun
tergolong kesenian klasik, namun kesenian Ludruk ini masih tetap di lestarikan dan sering dipentaskan di
daerah – daerah bahkan TV lokal di Jawa timur. 

Cukup sekian pengenalan tentang “Ludruk Kesenian Tradisional Dari Jawa timur”. Semoga bermanfaat
dan menambah pengetahuan anda tentang kesenian tradisional di Indonesia.

Pemain ludruk:

Ludruk mempunyai ciri khusus sebagai berikut. Pemain ludruk semuanya terdiri dari laki-laki, baik
untuk peran laki-laki sendiri maupun untuk peran wanita. Oleh karena biasa memainkan peran
wanita, para pemain ludruk cenderung terbentuk menjadi kelompok travesti. Bahasa yang
digunakan dalam ludruk adalah bahasa yang mudah dicerna masyarakat, yakni bahasa Jawa logat
Surabaya. Selain itu, sesuai dengan tuntutan cerita, di dalam bentuk seni ini sering pula digunakan
kata-kata Cina, Belanda, Inggris dan Jepang. Selain dalam hal pemain dan bahasa, kekhasan
ludruk juga terdapat dalam cerita, dekorasi, kostum dan urutan pementasan. Cerita ludruk dapat
dibedakan menjadi dua macam, yakni cerita pakem dan cerita fantasi. Cerita pakem adalah cerita
mengenai tokoh-tokoh terkemuka dari wilayah Jawa Timur, seperti Cak Sakera dan Sarif Tambak
Yoso. Cerita fantasi adalah cerita karangan individu tertentu yang biasanya berkaitan dengan
kehidupan masyarakat sehari hari. Hasil penelitian Suripan Sadi Hutomo, menurut kamus
javanansch Nederduitssch Woordenboek karya Gencke dan T Roorda (1847), Ludruk artinya
Grappermaker (badutan). Sumber lain menyatakan ludruk artinya penari wanita dan badhut artinya
pelawak di dalam karya WJS Poerwadarminta, Bpe Sastra (1930). Sedangkan menurut
S.Wojowasito (1984) bahwa kata badhut sudah dikenal oleh masyarakat Jawa Timur sejak tahun
760 masehi di masa kerajaan Kanyuruhan Malang dengan rajanya Gajayana, seorang seniman tari
yang meninggalkan kenangan berupa candi Badhut. Hingga sekarang belum didapat kepastian
mengenai tempat asal kelahiran ludruk. Usaha untuk menentukannya biasanya selalu terbentur
pada dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama mengatakan bahwa kesenian ini berasal dari
Surabaya, sedang pendapat yang ke dua menganggap bahwa ludruk berasal dari Jombang. Kedua
pendapat ini sama-sama kuat argumentasinya. Menurut penuturan beberapa narasumber dan
kalangan seniman ludruk, embrio kesenian ludruk pertama kali muncul sekitar tahun 1890.
Pemulanya adalah Gangsar, seorang tokoh yang berasal dan desa Pandan, Jombang. Gangsar
pertama kali mencetuskan kesenian ini dalam bentuk ngamen dan jogetan. Ia mengembara dan
rumah ke rumah. Dalam pengembaraannya ini Gangsar kemudian melihat seorang lelaki sedang
menggendong anaknya yang sedang menangis. Lelaki itu berpakaian perempuan, dan ini dianggap
Gangsar lucu dan menarik, sehingga dia terdorong menanyakan alasan pemakaian baju perempuan
tersebut. Menurut si lelaki, ia memakai baju perempuan tersebut untuk mengelabui anaknya, untuk
membuat anaknya merasa bahwa dia digendong oleh ibunya. Menurut narasumber ini, peristiwa
itulah yang menjadi asal munculnya laki-laki yang berperan sebagai wanita dalam kesenian ludruk.
Narasumber lain menuturkan bahwa bermula dari pengembaraan seorang pengamen yang bernama
Alim. Seperti halnya Gangsar, dalam pengembaraannya, Alim berjumpa dengan seorang lelaki yang
sedang menghibur anaknya. Laki-laki itu mengenakan pakaian wanita. Diceritakan bahwa Alim
berasal dari daerah Kriyan yang kemudian mengembara sampai ke Jombang dan Surabaya. Dalam
pengembaraannya Alim disertai oleh beberapa orang temannya. Mereka bersama-sama
memperkenalkan bentuk seni ngamen dan jogetan. Kemudian kelompok Alim ini mengembangkan
bentuk tersebut menjadi bentuk seni yang berisi parikan dan dialog. Oleh karena tarian yang
dibawakan selalu menghentakkan (gedruk-gedruk) kaki, seni itu kemudian diberi nama “ludruk”.
Menurut Hendricus Supriyanto, dosen Universitas Negeri Surabaya dan juga peniliti ludruk, bahwa
ludruk sebagai teater rakyat dimulai tahun 1907 oleh Pak Santik dari Desa Ceweng, Kecamatan
Diwek Kabupaten Jombang. Diwek adalah kampung kelahiran Asmuni anggota Srimulat, dan Kholik
pelawak anggota Depot Jamu Kirun. Awalnya, ludruk dimulai dari kesenian ngamen yang berisi
syair-syair dan iringan musik sederhana, Pak Santik berteman dengan Pak Pono dan Pak Amir
berkeliling dari desa ke desa. Pak Pono mengenakan pakaian wanita dan wajahnya dirias coret-
coretan agar tampak lucu. Dari sinilah penonton melahirkan kata “Wong Lorek”. Akibat variasi dalam
bahasa, maka kata “Lorek” berubah menjadi kata “Lerok”. ludruk sudah mengalami metamorfosa
yang cukup panjang. kalau di ibaratkan sebuah perjalanan, ludruk sudah sangat jauh berjalan,
sudah sangat melelahkan. kalaupun dipaksa untuk berjalan, pasti jalannya pun akan terseok-seok.
Dibutuhkan energi baru untuk membuatnya hidup lagi. butuh kreasi dan inovasi yang lebih segar,
dan mengemasnya menjadi sesuatu yang lebih ngepop, lebih kekinian. Ludruk dari masa ke masa
Ditengarai, ludruk merupakan budaya rakyat yang lahir untuk “memberontak” model kesenian
keraton dan istana semacam wayang dan ketoprak yang ceritanya terlalu elit dan tak menyentuh
rakyat. Cerita-cerita ludruk umumnya mengangkat masalah kehidupan orang kecil sehari-hari
dengan penggunaan bahasa yang lebih egaliter dan terkesan “kasar” tanpa unggah-ungguh bila
dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam pewayangan ataupun ketoprak. Pada jaman
revolusi, ludruk bukan hanya berfungsi sebagai sarana hiburan saja melainkan juga sarana
komunikasi antara pejuang bawah tanah dengan rakyat yang menyaksikannya. Pakem- pakem yang
terbentuk dalam aktivitas ludruk menyimpulkan keadaan tersebut : 1. Tarian Ngeremo
menyimpulkan ejekan terhadap pria yang tidak ikut berjuang, pakaian dan dandanan perempuan
tetapi dimainkan oleh laki laki. 2. Weloed (wedo’ane loedroek) membawakan lagu lagu pembuka
yang akan memberikan gambaran tentang situasi yang seharusnya dicita-citakan dalam kehidupan
dimainkan oleh banci-banci. 3. Ngidung membawakan syair-syair yang intinya melambangkan apa
yang seharusnya diperjuangkan oleh rakyat dalam situasi dan kondisi yang ada saat ini. Ada empat
alur yaitu : a. Guyonan untuk mengesankan bahwa syair ini tidak serius b. Serius, dimana
menceritakan misi dan cerita sandiwara yang akan dibawakan c. Guyonan yang sangat lucu, untuk
menghapus kesan serius sebelumnya d. Penutup dengan kesan permintaan maaf apabila ada pihak
pihak yang tersinggung dengan apa yang telah dibawakan. 4. Sandiwara, yang merupakan sebuah
drama yang menyimpulkan keadaan yang terjadi pada saat ini. Ludruk sandiwara secara realistis
berani mengungkapkan keprihatinan masyarakat yang sedang terjajah. Di samping itu, bentuk seni
ini mengandung unsur-unsur yang mendorong perjuangan. Kostum ludruk sendiri terdiri dari warna
merah dan putih yang mencerminkan bendera kebangsaan Indonesia. Pada zaman Jepang
kesenian ludruk berfungsi sebagai media kritik terhadap pemerintah. Ini tampak terutama dalam
ludruk Cak Durasim yang terkenal dengan parikan “Pagupon omahe dara, melok Nippon tambah
sengsara”. Dengan parikan serupa itu Cak Durasim ternyata berhasil membangkitkan rasa tidak
senang rakyat terhadap Jepang. Cak Durasim akhirnya ditangkap dan meninggal dalam tahanan
Jepang. Pada zaman Republik Indonesia, seni ludruk masih hidup dan berkembang sebagai
kesenian rakyat tradisional yang berbentuk teater. Hanya saja, kalau pada masa sebeluninya
kesenian ini berfungsi sebagai penyalur kritik sosial, pada masa yang kemudian fungsinya bergeser
menjadi penyampai kebijaksanaan pemerintah. Selain itu, ludruk juga digunakan sebagai media
promosi barang dagangan tertentu oleh Sponsor tertentu. Menurut Sensus Kesenian yang dilakukan
oleh Kanwil P dan K Jawa Timur, sampai tahun 1985 terdapat 58 perkumpulan ludruk dengan 1530
orang pemain. Jumlah ini dapat dikatakan cukup banyak dan menunjukkan bahwa minat masyarakat
Jawa Timur (Surabaya) terhadap bentuk kesenian ini masih cukup besar. Pada tahun 1994 , grup
ludruk keliling tinggal 14 grup saja. Mereka main di desa-desa yang belum mempunyai listrik dengan
tarif Rp 350. Grup ini didukung oleh 50- 60 orang pemain. Penghasilan mereka sangat minim yaitu :
Rp 1500 s/d 2500 per malam. Bila pertunjukan sepi, terpaksa mengambil uang kas untuk bisa
makan. Sewaktu James L Peacok (1963-1964) mengadakan penelitian ludruk di Surabaya tercatat
sebanyak 594 grup. Menurut Depdikbud propinsi jatim, sesudah tahun 1980 meningkat menjadi 789
grup (84/85), 771 group (85/86), 621 grup (86/87) dan 525 (8788). Suwito HS, seniman ludruk asal
Malang mengatakan tidak lebih dari 500 grup karena banyak anggota group yang memiliki
keanggotaan sampai lima grup. Menurut penelitian yang dilakukan oleh komunitas loedroek ITB,
perkembangan kesenian ludruk dibagi menjadi beberapa periode: Periode Lerok Besud (1920-1930)
Kesenian yang berasal dari ngamen tersebut mendapat sambutan penonton. Dalam
perkembangannya yang sering diundang untuk mengisi acara pesta pernikahan dan pesta rakyat
yang lain. Pertunjukkan selanjutnya ada perubahan terutama pada acara yang disuguhkan. Pada
awal acara diadakan upacara persembahan. Persembahan itu berupa penghormatan ke empat arah
angin atau empat kiblat, kemudian baru diadakan pertunjukkan. Pemain utama memakai topi merah
Turki, tanpa atau memakai baju putih lengan panjang dan celana stelan warna hitam. Dari sini
berkembanglah akronim Mbekta Maksud artinya membawa maksud, yang akhirnya mengubah
sebutan lerok menjadi lerok besutan. Dalam ludruk besutan yang disamarkan tidak hanya kritik
sosial, tetapi juga nama para pemain seperti Jumino, Rusmini, Singogambar dan sebagainya.
Permainan ludruk besutan tersusun dari tandakan (menari bebas), dagelan (lawak), dan besutan.
Dalam ludruk ini belum dikenal cerita yang utuh. Yang ada hanya dialog yang dikembangkan secara
spontan. Dari tahun 1922 sampai dengan tahun 1930, ludruk mengalami perkembangan dengan
masuknya secara berangsur-angsur unsur-unsur cerita di dalamnya. Perkembangan ini banyak
dipengaruhi oleh peredaran film bisu di Indonesia. Ludruk yang telah memasukkan unsur cerita
disebut ludruk sandiwara. Jenis ludruk ini menampilkan adegan-adegan cerita yang mencerminkan
situasi kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Periode Lerok dan Ludruk (1930-1945) Periode
lerok besut tumbuh subur pada 1920-1930, setelah masa itu banyak bermunculan ludruk di daerah
Jawa Timur. Istilah ludruk sendiri lebih banyak ditentukan oleh masyarakat yang telah memecah
istilah lerok. Nama lerok dan ludruk terus berdampingan sejak kemunculan sampai tahun 1955,
selanjutnya masyarakat dan seniman pendukungnya cenderung memilih ludruk. Sejaman dengan
masa perjuangan dr. Soetomo di bidang politik yang mendirikan Partai Indonesia Raya, pada tahun
1933 cak Durasim mendirikan Ludruk Organizatie (LO). Ludruk inilah yang merintis pementasan
ludruk berlakon dan amat terkenal keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan baik Belanda
maupun Jepang. Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan kepada
rakyat, oleh pemain pemain ludruk digunakan untuk menyampaikan pesan pesan persiapan
Kemerdekaan, dengan puncaknya peristiwa akibat kidungan Jula Juli yang menjadi legenda di
seluruh grup Ludruk di Indonesia yaitu: ”Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro”.
Periode Ludruk Kemerdekaan (1945-1965) Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat
penerangan kepada rakyat, untuk menyampaikan pesan pesan pembangunan. Pada masa in
Ludruk yang terkenal adalah “Marhaen” milik “Partai Komunis Indonesia”. Oleh sebab itu tidaklah
mengherankan jika PKI saat itu dengan mudah mempengaruhi rakyat, dimana ludruk digunakan
sebagai corong PKI untuk melakukan penggalangan masa untuk tujuan pembrontakan. Peristiwa
madiun 1948 dan G-30 S 1965 merupakan puncak kemunafikan PKI. Ludruk benar-benar
mendapatkan tempat di rakyat Jawa Timur. Ada dua grup ludruk yang sangat terkenal yaitu : Ludruk
Marhaen dan Ludruk tresna Enggal. Ludruk Marhaen pernah main di Istana Negara sampai 16 kali,
hal ini menunjukkan betapa dekatnya para seniman ludruk dengan para pengambil keputusan di
negeri ini. Ludruk ini juga berkesempatan menghibur para pejuang untuk merebut kembali Irian
Jaya, TRIKORA II B yang memperoleh penghargaan dari panglima Mandala (saat itu dijabat oleh
Soeharto). Ludruk ini lebih condong “ke kiri”, sehingga ketika terjadi peristiwa G 30 S PKI Ludruk ini
bubar. Periode Ludruk Pasca G 30 S PKI ( 1965 saat ini) Peristiwa G30S PKI benar benar
memporak- porandakan grup- grup Ludruk terutama yang berafiliasi kepada Lembaga Kebudayaan
Rakyat (lekra) milik PKI. Terjadi kevakuman antara 1965-1968. Sesudah itu muncullah
kebijaksanaan baru menyangkut grup-grup ludruk di Jawa Timur. Peleburan ludruk dikoordinir oleh
ABRI, dalam hal ini DAM VIII Brawijaya. Proses peleburan ini terjadi antara tahun 1968-1970. 1.
Eks-Ludruk marhaen di Surabaya dilebur menjadi ludruk Wijaya Kusuma unit 2. Eks-Ludruk
Anogara Malang dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit II 3. Eks-Ludruk Uril A Malang dilebur
menjadi Ludruk Wijaya Kusuma unit III, dibina Korem 083 Baladika Jaya Malang 4. Eks-Ludruk
Tresna Enggal Surabaya dilebur menjadi ludruk Wijaya Kusuma unit IV 5. Eks-Ludruk kartika di
Kediri dilebur menjadi Ludruk Kusuma unit V Diberbagai daerah ludruk-ludruk dibina oleh ABRI,
sampai tahun 1975. Sesudah itu mereka kembali ke grup seniman ludruk yang independen hingga
kini. Dengan pengalaman pahit yang pernah dirasakan akibat kesenian ini, Ludruk lama tidak
muncul kepermukaan sebagai sosok Kesenian yang menyeluruh. Pada masa ini ludruk benar- benar
menjadi alat hiburan. Sehingga generasi muda yang tidak mendalami sejarah akan mengenal ludruk
sebagai grup sandiwara Lawak. Ludruk dan Legendanya Beberapa warga masyarakat yang ditemui
dan diwawancarai secara acak, seperti misalnya pengemudi becak, pegawai sebuah toko fotocopy,
masih dapat menceritakan dengan baik berbagai cerita ludruk, tokoh-tokoh ceritanya, perkumpulan,
serta pemain pemain ludruk yang terkemuka. Bicara soal ludruk, pasti yang terlintas di benak kita
adalah Kartolo. Kartolo adalah seorang pelawak ludruk legendaris asal Surabaya, Jawa Timur.
Beliau sudah lebih dari 40 tahun hidup dalam dunia seni ludruk. Nama Kartolo dan suaranya yang
khas, dengan banyolan yang lugu dan cerdas, dikenal hampir di seluruh Jawa Timur, bahkan hingga
Jawa Tengah. Kartolo sudah aktif dalam dunia seni ludruk semenjak era tahun 1960-an. Ia
mendirikan grup ludruk Kartolo CS. Kartolo CS terdiri dari Kartolo, Basman, Sapari, Sokran,
Blonthang, Tini (istri Kartolo), tergabung dalam kesenian karawitan Sawunggaling Surabaya.
Masing-masing pemain punya karakter yang unik dan khas, dan punya semacam ‘tata-bahasa’
sendiri. Misalnya Kartolo yang menjadi paling cerdas, sehingga sering diceritakan ‘ngakali’ pemain
lain, Basman yang punya suara besar dan omongan nyerocos, dan Sapari yang sering nakal tapi
malah jadi korban. Namun formasi emas ini tidak bertahan sampai sekarang. Yang tersisa adalah
Kartolo, Tini dan Sapari. Basman, Sokran dan Blonthang sudah meninggal dunia. Sampai sekarang
Kartolo dan Sapari masih sering tampil di JTV (TV-nya Jawapos) di Surabaya. Tentunya bukan
hanya Kartolo yang menjadi legenda ludruk. Ada nama-nama lain seperi Cak Durasimn, Agus
Kuprit, Sidik, Ning Lasiana, Markeso, Bawong SN dan Umi Kulsum. Bahkan nama yang terakhir ini
memperoleh penghargaan Khusus dari Imam Oetomo, Gubernur Jatim atas pengabdiannya di dunia
Ludruk. Nenek yang menginjak usia 85 tahun ini telah lebih dari 55 tahun mengabdikan diri sebagai
seniman ludruk. 46 tahun diantaranya dilewati bersama siaran ludruk RRI Surabaya. Meski tidak
tamat dari sekolah rakyat, atas kesetiannya bersama ludruk RRI, Umi Kulsum diangkat menjadi
pegawai negeri dengan pangkat golongan II A pada tahun 1981 oleh Ali Murtopo, Menteri
Penerangan saat itu. Sampai kini, meskipun jumlahnya relatif sedikit dan dalam kondisi yang cukup
memprihatinkan, masih ada beberapa kelompok ludruk yang berkembang di Surabaya, Malang,
Jombang, dan sekitarnya, yang tetap aktif mengadakan pertunjukan, termasuk grup Cak Kartolo Cs.
Saat ini kita masih menunggu munculnya grup-grup ludruk baru yang akan menghidupkan kembali
kejayaan kesenian ludruk. Atau setidaknya kita masih mengingat nama-nama legendaris seperti
Ludruk Brata, Ludruk Dradjit, Ludruk Budi Utama, Ludruk Tjoleke, Ludruk Kolekturan, Ludruk
Budidojo, Ludruk Karen, Ludruk Bakri, Ludruk Murba, Ludruk Drais Ludruk Banteng Marhaen,
Ludruk Suluh Marhaen, Ludruk Marhaen Muda, Ludruk Duta Masa, Ludruk Arum Dalu, Ludruk Putra
Bahari, Ludruk Odadi Kari, Ludruk Marhaen, Ludruk Tresna Enggal, Ludruk Mari Katon, Ludruk
Massa, Ludruk Sari Rukun, Ludruk Irama Enggal, Ludruk Massa Rukun, Ludruk Panca Bakti, Ludruk
Djoko Muntjul, Ludruk Sido Dadi Slamet, Ludruk Mulya Kuntjara, Ludruk Aliran Baru, Ludruk
Nusantara, Ludruk Bond Malang Selatan, dsb. Yang tersebar di Jombang, Malang, Surabaya dan
sekitarnya. Ludruk sebagai laboratorium kearifan Proses hidup manusia sering diwarnai dengan
serba kebetulan, aksidential, tidak selalu bisa direncanakan dengan akal sehat sebagaimana ajaran
kompetisi hidup dalam filosofi kapitalisme dan modernisasi yang menggurita saat ini. Dan ajaran
terbaik dari ludruk Kartolo adalah bagaimana menyikapi hidup dengan kesederhanaan, bukan
dengan pongah dan penuh nafsu. Contohnya adalah dalam salah satu lakonnya, Ratu Cacing Anil,
di mana Kartolo berperan sebagai Prabu Minohek. Sebagai penguasa dan orang yang memiliki
berbagai kasekten dan keistimewaan, ternyata Prabu Minohek hanyalah mimpi. Prabu Minohek
hanyalah dagelan, ia sering bukan merupakan realitas yang diperankan manusia sesungguhnya.
Prabu Minohek hanyalah segumpalan arogansi untuk menguasai segala sesuatu, sementara dirinya
sendiri tidak tahu bahwa itu semua hanyalah angan-angan. Ngglethek itu hanya mimpi. Menurut Dr.
Sindhunata, budayawan serba bisa kelahiran Kota Batu, dalam bukunya berjudul Ilmu Ngglethek,
Prabu Minohek. Mengupas kiprah dan sosok grup ludruk Kartolo Cs yang sudah tak asing lagi di
Jawa Timur, dari sudut pandang perjalanan kehidupannya dengan gaya features. Ilmu ngglethek
adalah kesimpulan Sindhunata setelah menafsir gagasan dan banyolan Kartolo Cs, baik atas
pencermatan lakon yang dipentaskan maupun dari jula-juli yang didendangkan. Ilmu ngglethek
merupakan cermin akhir segala perjalanan kehidupan manusia. Dalam berbagai cita-cita dan
harapan, manusia sering diperhadapkan dengan suatu kebetulan yang sering terjadi begitu saja.
Proses hidup manusia sering diwarnai dengan serba kebetulan, aksidential, tidak selalu bisa
direncanakan dengan akal sehat sebagaimana ajaran kompetisi hidup dalam filosofi kapitalisme dan
modernisasi yang menggurita saat ini. Dan ajaran terbaik dari ludruk Kartolo adalah bagaimana
menyikapi hidup dengan kesederhanaan, bukan dengan pongah dan penuh nafsu. Ilmu ngglethek
merupakan cermin akhir segala perjalanan kehidupan manusia. Dalam berbagai cita-cita dan
harapan, manusia sering diperhadapkan dengan suatu kebetulan yang sering terjadi begitu saja.
Ludruk memberikan pelajaran kepada kita mengenai bagaimana menjalani kehidupan dengan
sederhana, tidak neko-neko. Dan ini bukan bentuk eskapisme atas perjalanan hidup yang dirasakan
makin berat, sebuah eskapisme yang mengarah pada fatalisme dan hanya menunggu keajaiban
dari langit. Namun, memang itulah inti kehidupan, hidup sederhana bukan berarti hidup tanpa kerja
keras, tidak neko-neko juga bukan berarti hidup tanpa cita-cita. Ada saat-saat bagaimana kita harus
arif memperlakukan kehidupan secara wajar dan sesuai dengan kapabilitas dan kemampuan kita.
Bermain ludruk adalah media pembelajaran untuk memahami seandainya aku menjadi orang lain.
Menjadi orang lain hanya bisa dilakukan dengan bermain sandiwara. Sandiwara yang baik
membutuhkan penghayatan peran yang mendekati karakter yang diperankan, sehingga memahami
bahwa tidak mudah menjadi orang lain. Akhirnya sangat menyadari bahwa mengetahui diri sendiri
dan memainkan diri sendiri dengan baik adalah tujuan utama seorang manusia. Tetapi pernah
menjadi orang lain terutama yang kontroversial dengan watak asli tidak dapat diajarkan, tetapi harus
dialami sendiri (di lewati). Bermain ludruk merupakan sarana untuk itu. Ludruk sebagai media
bertutur sudah berhasil menempatkan posisinya dalam kehidupan masyarakat. ludruk telah
memperlihatkan peranan dalam membangun sebuah forum sosial politik yang penting dan
memberikan komentar atas isu-isu sosial, kekuasaan, otoritas, dan identitas lokal sebuah
masyarakat pada suatu periode tertentu. Ludruk dipandang sebagai dinamika yang secara efektif
membangkitkan anggapan-anggapan yang mendasar yang terdapat dalam pandangan dunia
pendukungnya. Berbagai ekspresi masyarakat yang dinyatakan dalam tradisi lisan memang tidak
hanya berisi cerita dongeng, mitologi, atau legenda seperti yang umumnya diartikan, tetapi juga
mengenai sistem kognitif masyarakat, sumber identitas, sarana ekspresi, sistem religi dan
kepercayaan, pembentukan dan peneguhan adat-istiadat, sejarah, hukum, pengobatan, keindahan,
kreativitas, asal-usul masyarakat, dan kearifan lokal mengenai ekologi dan lingkungannya.
Pengungkapan kelisanan tersebut disampaikan terutama dengan mengandalkan faktor ingatan.
Ludruk setidaknya dapat tersimpan dalam ingatan masyarakatnya dan menjadi tidak saja “living
memories”, tetapi juga “living traditions” yang dapat melintasi batas waktu melalui penuturan turun-
temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Lintas waktu dan lintas generasi ini menandakan
bahwa ingatan mampu merekam berbagai ekspresi. Dan akhirnya, ludruk harus segera berubah.
perubahan yang lebih maju, lebih kekinian, perubahan yang dapat merefleksikan dahulu dan kini.
Karena perubahan adalah bukti kehidupan. jadi tidak perlu takut dengan perubahan. Sebuah
perubahan akan terjadi kalau suatu komunitas menghendakinya. Kalau usul saya, pemerintah
propinsi Jawa Timur harus mengeluarkan keputusan bahwa di setiap SMA dan Perguruan TInggi di
Jawa Timur diwajibkan mempunyai kegiatan kesenian ludruk. Dan di setiap tahun di adakan Festival
Ludruk se-Jatim, tentunya harus di liput di semua media cetak dan televisi secara besar-besaran.
Karena saat ini, media cetak dan televisi sangat berperan dalam mempopulerkan sesuatu atau
seseorang. Mengutip kata-kata seniman popart Andy Warhol, “In the future everyone will be world-
famous for 15 minutes”. Dengan segala usaha dan doa kita semua berharap kesenian ludruk masih
tetap ada dan mungkin suatu saat nanti akan kembali besar. Semoga …”yu..painten kleleken
jendelo, cekap semanten gacoran kulo”… (sonny bdoors, ludruk lovers)/artikel diambil dari berbagai
sumber Cak Patto Made Ozawa /cakpattomadeozawa Wong Magetan Dolanan Internet Ben Podo
Koncone Selengkapnya... IKUTI Share 0 0 0 KOMPASIANA ADALAH MEDIA WARGA, SETIAP
KONTEN DIBUAT OLEH DAN MENJADI TANGGUNGJAWAB PENULIS. LABEL ludrukjawatimur
senibudaya humaniora

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/cakpattomadeozawa/sejarah-ludruk-jawa-
timur_54f711e2a33311612c8b46ae

Anda mungkin juga menyukai