Drs. Sunarno
Mengenal Kesenian Nasional 4
Ludruk
Drs. Sunarno
Editor Inung
Perwajahan Fendy
Ilustrasi Fajar
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat limpahan rahmat
dan karunia-Nya, buku Mengenal Kesenian Nasional 4 Ludruk ini dapat
tersusun. Maraknya media elektronik yang sebagian besar menyajikan
tampilan-tampilan bernuansa budaya Barat, telah memberikan dampak
yang kurang baik bagi generasi muda dan anak-anak. Mereka menjadi
lupa pada kesenian tradisional milik bangsa sendiri. Tanpa disadari,
kesenian-kesenian nasional yang menjadi kekayaan bangsa akan
mengalami kepunahan, karena tidak adanya usaha pelestarian.
Buku ini masih perlu perbaikan. Kritik dan saran sangat dibutuhkan
demi kesempurnaannya. Semoga buku ini dapat bermanfaat.
Penyusun
iii
Daftar Isi
iv
Bagian 1
Pendahuluan
Ludruk 1
penampilan dan bahasa yang mudah dicerna masyarakat. Selain
berfungsi sebagai hiburan, pertunjukan ini juga berfungsi sebagai
pengungkapan suasana kehidupan masyarakat pendukungnya. Di
samping itu, kesenian ini juga sering dimanfaatkan sebagai
penyaluran kritik sosial. Hingga sekarang belum dapat ditentukan
daerah asal munculnya ludruk. Usaha untuk menentukannya
biasanya selalu terbentur pada dua pendapat yang berbeda.
Pendapat pertama menyatakan bahwa kesenian ini berasal dari
Surabaya. Adapun pendapat lain menganggap bahwa ludruk
berasal dari Jombang. Kedua pendapat ini memiliki alasan yang
kuat. Menurut penuturan beberapa narasumber dan kalangan
seniman ludruk, kesenian ludruk pertama kali muncul sekitar
tahun 1890. Pemulanya adalah Gangsar, seorang tokoh yang
berasal dan Desa Pandan, Jombang. Gangsar pertama kali
mencetuskan kesenian ini dalam bentuk ngamen dan jogedan. Ia
mengembara dari rumah ke rumah. Dalam pengembaraannya ini,
Gangsar kemudian melihat seorang lelaki menggendong anaknya
yang sedang menangis. Lelaki itu berpakaian perempuan. Gangsar
menganggapnya lucu dan menarik.
Ludruk 3
mengandung unsur-unsur yang mendorong perjuangan. Kostum
ludruk sendiri terdiri dari warna merah dan putih yang men-
cerminkan bendera kebangsaan Indonesia.
Ludruk 5
Kostum digunakan sesuai dengan cerita yang ditampilkan. Kostum
prajurit untuk cerita perjuangan atau lakon pakem, kostum hantu
untuk lakon horor, dan kostum pengantin untuk cerita drama rumah
tangga. Bintang Jaya juga memiliki perangkat gamelan yang
sederhana. Perangkat gamelan ini disebut sengganen, yaitu klenengan
gong kecil yang terdiri dari saron dan demung, peking, penerus,
kendang, dan gong kecil. Penabuh gamelan terdiri dan empat orang,
masing-masing memegang peralatan rangkap. Ada yang menangani
saron, demung, peking dan penerus. Kendang dan gong kecil
masing-masing dipegang oleh satu orang. Urutan adegan ludruk
mempunyai kekhasan. Pentas biasanya dimulai dengan ngremo.
Kidungan (pembawaan tembang), bedayan (tari-tarian umum),
dan cerita inti berturut-turut mengikuti adegan ngremo tersebut.
Dalam adegan cerita inti terdapat penggantian babakan yang
biasanya diselingi dengan humor. Bintang Jaya menambahkan
pula beberapa hal lain. Salah satunya berupa kontes pakaian
daerah seluruh Nusantara yang dibawakan oleh para pemain.
Sejarah Ludruk
Ludruk 7
Adapun menurut S.Wojowasito (1984), kata badhut sudah dikenal
oleh masyarakat Jawa Timur sejak tahun 760 Masehi. Saat itu
merupakan masa Kerajaan Kanjuruhan, Malang, dengan rajanya
Gjayana. Ia adalah seorang seniman tari yang menghasilkan
peninggalan berupa candi Badhut.
Ludruk 13
Generasi muda patut melestarikan kesenian yang merupakan kekayaan
bangsa.
Grup ludruk Wahyu Sejati terdiri dari 30 orang pemain. Grup ini
juga dilengkapi alat musik dan perlengkapan panggung. Namun,
Sempat istirahat lama, pada awal tahun 1990-an Pak Ali dan
beberapa seniman tua mendirikan Ludruk Wahyu Sejati yang
didominasi generasi muda. Anak-anak usia SMP pun diajak serta.
“Saya dan teman-teman yang sepuh berperan sebagai pembina
dan pembimbing. Kami ingin agar seni tradisi ini jangan sampai
mati,” cerita Pak Ali didampingi Anang Makruf, pelawak Ludruk
Wahyu Sejati.
Ludruk 15
Lima tahun pertama, Wahyu Sejati mendapat sambutan meriah
dari warga Sidoarjo. Tanggapan mengalir dari mana-mana, sehingga
Pak Ali sempat kewalahan menyusun jadwal. Beberapa tanggapan
terpaksa ditolak karena para pemain sudah terlalu capek.
Perkembangan Ludruk
Identitas Tradisi Lisan dalam Pertunjukan Teater
Ludruk 17
merupakan kerja kolaborasi antara seniman Indonesia dan Jepang
pada tahun 1998. Peter Brook yang memproduksi di tahun 1987
menampilkan kembali kodifikasi dramatik tradisi dengan cara
tampilan yang modern. Kemudian Ku Na’uka Theater Company
dari Jepang mengusung cerita-cerita dalam Mahabarata melalui
kisah Prabu Nala dan Damayanti yang ditampilkan di Yogyakarta
tahun 2005. Pertunjukan teater La Galigo juga berdasarkan cerita
lisan tentang La Galigo dari budaya Bugis Kuno, yang dipentaskan
di beberapa negara tahun 2003. Di mancanegara pun cerita lisan
memegang peranan penting bagi terciptanya sebuah naskah drama
dan pertunjukan teater.
Ludruk 19
dan teater rakyat, teater daerah dan teater kota. Istilah-istilah
tersebut yang akan dilekatkan pada sebuah pertunjukan teater
perlu didudukkan terlebih dahulu dalam rangka memperjelas
identitas dan kegunaannya bagi masyarakat.
Ludruk 21
diperuntukkan kepentingan masyarakat. Para pemain terdiri dari
berbagai kalangan anggota masyarakat. Sifat pertunjukan ini
improvisasi, tanpa koreografi yang pasti. Bentuk teater komunal
dianggap juga sebagai teater primitif. Pertunjukan teater rakyat
banyak terdapat di lingkungan kelompok suku di daerah-daerah
di Indonesia. Ciri khas pertunjukan teater rakyat antara lain dalam
bentuk dan gaya teater tutur/lisan, seperti dalam pertunjukan
Sinkrilik dari Sulawesi, Kentrung dari Jawa Timur, Bakaba dari
Minangkabau, dan Cakepung dari Bali/Lombok. Sebenarnya
pertunjukan teater jenis ini tidak menghadirkan peristiwa
dramatik. Namun, seorang pencerita akan menuturkannya secara
lisan dan dramatik.
Ludruk 23
teater ini dianggap sebagai teater kota yang tradisional. Teater ini
mengacu kepada bentuk kesenian serta nilai-nilai budaya yang
dikenal sebelumnya. Pada waktu wayang orang mulai diapresiasi
oleh penonton, wayang orang komersial itu pun menjadi satu
pertunjukan teater kota yang bersifat kedaerahan. Teater kota ini
lebih berorientasi kepada lingkungan kota besar yang meng-
utamakan nilai-nilai budaya komersial. Ketiga, pertunjukan teater
kini bergaya mini kata. Gaya pertunjukan teater ini berkembang
dari satu orientasi tentang kebudayaan baru sebagai konsekuensi
kemerdekaan Indonesia. Khusus untuk karakteristik ketiga, Umar
Kayam menyebutkan bahwa bentuk pertunjukan bergaya mini
kata harus mampu menciptakan satu idiom teater yang baru di
depan penonton yang baru. Artinya, idiom teater yang bersifat
Indonesia di hadapan penonton Indonesia. Namun, tetap memiliki
bingkai berbeda, yaitu konteks orientasi terhadap pilihan bentuk
sebagai pertunjukan teater Indonesia baru. Dengan demikian,
teater Indonesia berada dalam ketegangan antara identitas teater
istana dan teater rakyat, serta teater daerah dan teater kota.
Perkembangan watak masyarakat di kalangan istana dan rakyat
serta perkembangan wilayah desa/daerah menjadi kota sekaligus
menunjukkan perkembangan dan perubahan sifat pertunjukan
teater yang bersifat tradisi menjadi pertunjukan teater yang
bersifat modern, bahkan kontemporer. Modernisasi teater
Indonesia sesungguhnya mencerminkan tiga jalur perkembangan.
Jalur pertama adalah jalur pem-Baratan yang menggeser
masyarakat Indonesia yang berwajah petani menjadi wajah
keterpelajaran. Jalur kedua, jalur nasionalisme di masa
prakemerdekaan yang telah berjalan lebih dari setengah abad.
Jalur ketiga, pada saat berakhirnya satu tatanan politik negara
Ludruk 25
mendapat tempat untuk berkembang. Namun, di tahun 1960-an
makna kedaerahan tergusur kembali dengan universalitas yang
melanda dunia saat itu. Saat ini, masalah identitas pertunjukan
teater Indonesia yang pernah mentradisi seolah dipertanyakan
kembali fungsinya. Keberadaan multikulturalisme dalam teater
Indonesia menyebabkan bentuk-bentuk pertunjukan teater istana,
teater rakyat, teater daerah, dan teater kota melekat di dalamnya.
Sifat dan ideologis dalam bentukan pertunjukan, status sosial
penggarap pertunjukan teater, dan perubahan wilayah geografis
penikmat pertunjukan teater menjadi elemen-elemen pendukung
terciptanya suatu bentuk pertunjukan teater Indonesia.
Ludruk 27
timbangkan tradisi, sedangkan Emha Ainun Najib menyebutnya
dengan budaya tanding. Tradisi memang bersifat cair, plastis, dan
dinamis.
Ludruk 29
demikian, pembaca tradisi lisan tidaklah dapat semaunya memilih
perspektif. Ia tidak sepenuhnya mampu mendekati teks secara
utuh. Pembaca hanya mampu mendekati dimensi semu (virtual
dimension) yang dimiliki teks. Dimensi semu ini bukanlah teks
sebenarnya, bukan juga imajinasi pembaca, tetapi kehadiran
bersama teks dan imajinasi pembaca. Dimensi semu karya seni
membantu pembaca untuk mengaktifkan potensi bacaannya
(imajinasinya) yang mampu mencipta kembali kebaruan dunia
teks. Hasilnya berupa sebuah bentuk baru, tetapi teksnya tetap
lama. Teks hadir dengan seluruh realitas kebaruannya, yaitu
adanya intensi pengarang, karya, dan interpretasi pembacanya.
Kegiatan membaca tradisi lisan adalah membangun kembali
dimensi semu dari teks secara aktual. Dimensi semu di dalam teks
mengungkapkan adanya ruang-ruang kosong yang menunjuk pada
kemungkinan indeterminasi. Ruang tersebut merupakan ruang
yang memberi kesempatan bagi imajinasi pembaca untuk
berpartisipasi mengkonstruksi hal-hal yang dibacanya. Hasilnya
berupa pembacaan yang berulang. Pengulangan pembacaan tidak
hanya menghadirkan serangkaian perbedaan pengalaman
membaca, tetapi juga pengembaraan pembacaan secara inovatif.
Ludruk 31
Roro Jonggrang, kisah Srikandi Belajar Memanah, atau kisah
Djoko Tingkir dapat menjadi sumber pesan yang akan di-
sampaikan seniman.
c. Tahap ketiga (T2), perspektif seniman. Tahapan ini merupakan
tahapan dramaturgical concretization (konkretisasi drama-
turgis), yaitu usaha penyesuaian antara eksplorasi seniman
dengan perspektifnya. Konteks-konteks mulai diperhitungkan
seniman. Budaya target penerima mulai ditanggapi oleh
pengirim, karena dramaturgi menampilkan keterkaitan antara
seniman dan penonton. Selera penonton mulai diamati
dengan cermat. Kecenderungan artistik yang disukai menjadi
bahan olahan mereka.
d. Tahap keempat (T3), stage concretitation (konkretisasi
pemanggungan), transfer gagasan melalui konkretisasi
pemanggungan. Tahapan ini merupakan usaha mendekatkan
perspektif seniman dengan penerimanya melalui elemen-
elemen media pemanggungannya.
e. Tahap kelima (T4), receptive concretitation (konkretisasi
resepsi) penonton. Tahapan ini merupakan konkretisasi
penerimaan, yaitu uji coba mendekatkan ungkapan gerak
spontan dengan penerimanya melalui pertunjukan. Budaya
target yang dimiliki penonton mulai diperhitungkan seniman.
Selera modern bertemu dengan artistik seni tradisi.
Ludruk 33
semakin berkurang, harga tiket yang murah masih belum dapat
mendongkrak jumlah pengunjung, dan lain-lain. Masyarakat saat
mengadakan pesta lebih menyenangi hiburan musik daripada
nanggap ludruk. Pertanyaannya sekarang, sampai kapan ludruk
dapat bertahan? Peran pemerintah sangat diperlukan untuk tetap
melestarikan budaya khas Jawa Timur ini. Selain itu, pemerintah
seharusnya juga berusaha memperhatikan kesejahteraan para
pemain. Jangan sampai kesenian ini punah dikikis zaman.
Ludruk 35
hanya dipandang sebagai sesuatu yang pernah dimiliki Surabaya,
namun secara kultural sudah tidak mendapatkan dukungan lagi
dari masyarakatnya. Dukungan kultural itu justru terjadi di
Mojokerto, Jombang dan bahkan Malang. Mengapa Karya Budaya
menjadi laris ditanggap di mana-mana? Itu juga karena dukungan
kultural masyarakatnya. Analog dengan teori habitat dalam
ekologi, bahwa setiap makhluk hidup akan tumbuh subur atau
hidup layak manakala lingkungan ekologinya memang sesuai
dengan kebutuhan hidupnya.
Ludruk 37
dengan cukup memberikan nama Gedung Cak Durasim. Per-
tanyaannya, apakah betul pemerintah memiliki keseriusan seperti
itu? Jujur saja, selama ini banyak pejabat yang mengaku cinta
kesenian, yang suka pamer kepedulian terhadap kesenian rakyat,
Namun sayangnya, tidak disertai dengan tindakan konkret yang
betul-betul tepat guna, bukan hanya sekadar karitatif belaka.
Perhatian yang diberikan pemerintah terhadap ludruk selama ini
masih sebatas memberikan subsidi temporer, memberi
kesempatan pentas, atau kadang-kadang hadiah lebaran bagi
pemainnya. Memang itu sudah lumayan, meski belum dapat
bermakna banyak bagi pengembangan ludruk itu sendiri. Memang
susah menumbuhkembangkan ludruk dengan persyaratan seperti
tersebut. Kalau tidak, jangan sekali-sekali mengklaim bahwa
ludruk milik kota Surabaya. Harus diakui, bahwa Pemkab Jombang
ternyata lebih serius membina ludruk. Demikian juga Dewan
Kesenian Kabupaten Malang (DKKM) yang ternyata memiliki
perhatian dan semangat juang tersendiri mengembangkan ludruk.
Jadi, kalau dalam HUT Surabaya tidak ada pentas ludruk, memang
begitulah kenyataannya. Jangan-jangan kota Surabaya harus
mengucapkan, “Selamat Tinggal Ludruk.” Apakah begitu?
Dimotori para pelawak yang tidak asing lagi, Cak Kartolo, Cak
Sapari, Ning Kastini, Agus Kuprit. Kelucuan dan improvisasi para
pemain membuat kita selalu tertawa.
Ludruk 39
Ludruk dapat juga disejajarkan dengan kesenian ketoprak.
Namun, ketoprak lebih berkembang di Jawa Tengah dan
Jogjakarta. Bahasa ketoprak adalah bahasa kraton dan
mengangkat cerita-cerita seputar istana.
Ludruk 41
berhenti berbunyi. Sesekali suara pesawat terbang menambah
kebisingan dan hiruk-pikuk kota Surabaya. Tidak jauh dari
keramaian kota Surabaya, tampak sebuah gedung ludruk. Gedung
ini bernama Gedung Ludruk Irama Budaya. Tepatnya berada di
Wonokromo, di pinggir Sungai Brantas. Gedung itu sangat
sederhana. Arsitekturnya masih model lama. Gedung itu hanya
memuat penonton sekitar 120 orang. Peralatan yang digunakan
juga masih sederhana. Pada saat pertunjukan, gedung ini hanya
menggunakan seperangkat gamelan dan beberapa alat pengeras
suara. Di gedung inilah Ludruk Irama Budaya setiap malam
melakukan pementasan dengan lakon yang berbeda-beda.
Ludruk 43
yang tinggi antaranggota. Selain itu juga anggotanya yang memiliki
rasa kepemilikan terhadap ludruk. Kreativitas dan inovasi teman-
teman anggota ludruk juga mendukung eksistensi ludruk di
Surabaya. Kemandirian dan keuletan seorang Sakiya menjadi
kunci utama dalam pengembangan Ludruk Irama Budaya.
Ludruk 45
Sakiya bersama Ludruk Irama Budaya sudah meludruk
nobong selama 20 tahun. Akan tetapi, mereka belum pernah
sekalipun dikirim ke Jakarta. Padahal setahu pendiri Ludruk
Irama Budaya ini, ludruk yang ada di Jawa Timur rata-rata sudah
pernah dikirim ke Taman Mini anjungan Jawa Timur di Jakarta.
“Entah apa yang dipikirkan pemerintah. Mereka hanya mendanai
ludruk yang tidak-tidak,” kata Sakiya. Ludruk yang tidak-tidak ini
adalah ludruk yang ada orangnya jika ada dana kalau tidak ada dana
ya tidak ada senimannya. Kalau Ludruk Irama Budaya ini, ada
dana ataupun tidak tetap melakukan pertunjukan,” lanjut Sakiya.
Ludruk 47
Penampilan Ludruk Irama Budaya.
Ludruk 49
Bagian 4
Solusi
Ludruk 51
nya? Kalau memang ada cita-cita melestarikan ludruk, para
pelakunya terutama, juga harus terus melestarikannya. Ya seperti
Cak Kartolo itu, meski usaha sampingan juga pastilah… wong
ludruker juga manusia. Namun, memang yang seperti ini butuh
kerja pemerintah juga. Buat apa membuat Departemen Budaya
dan Pariwisata, kalau ternyata kesenian kita punah satu per satu?
Kan bisa tuh bikin semacam pekan budaya atau bulan budaya
seperti yang di Malang sekarang ini. Jadi harapannya, kesenian
kita nggak ilang atau dipreteli negara lain.
Ludruk 53
membuka divisi ludruk untuk mengembangkan bakat teman-
teman di ludruk.
Ludruk 55
aRuL nang 11th December 2007 4:12 pm
@ filyung : Sekali lagi ide yang brilian, oke dibuatkan posting
tersendiri aja. Ntar di situ kita tentukan metode acaranya seperti
apa. Salut buat filyung *tapi kenalan dulu rek di hte heroes*
Ludruk 57
ludruk lain. “Tapi, dijamin ini ludruk yang benar-benar asli,” tutur
Kirun di Jakarta, pekan lalu.
Ludruk 59
DAFTAR PUSTAKA