Anda di halaman 1dari 64

Aji Jawoto A.P., S.Pd.

Drs. Sunarno
Mengenal Kesenian Nasional 4

Ludruk

Penulis Aji Jawoto A.P., S.Pd.

Drs. Sunarno
Editor Inung

Perancang Sampul Gatot

Perwajahan Fendy
Ilustrasi Fajar

Setting dan layout Eko

Penerbit : PT. Bengawan Ilmu


Jl. Sriwijaya No. 59 G
Telp. (024) 8442227

Cetakan : Tahun 2010


ISBN : 978-979-021-414-9

Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-Undang


Kata Pengantar

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat limpahan rahmat
dan karunia-Nya, buku Mengenal Kesenian Nasional 4 Ludruk ini dapat
tersusun. Maraknya media elektronik yang sebagian besar menyajikan
tampilan-tampilan bernuansa budaya Barat, telah memberikan dampak
yang kurang baik bagi generasi muda dan anak-anak. Mereka menjadi
lupa pada kesenian tradisional milik bangsa sendiri. Tanpa disadari,
kesenian-kesenian nasional yang menjadi kekayaan bangsa akan
mengalami kepunahan, karena tidak adanya usaha pelestarian.

Buku ini disusun untuk memenuhi kebutuhan bacaan tentang kesenian


tradisional. Melalui buku ini, diharapkan pembaca dapat memahami dan
mau melestarikan budaya Indonesia, terutama kesenian ludruk.

Buku ini masih perlu perbaikan. Kritik dan saran sangat dibutuhkan
demi kesempurnaannya. Semoga buku ini dapat bermanfaat.

Penyusun

iii
Daftar Isi

Kata Pengantar ___ iii

Daftar Isi ___ iv

Bagian 1 Pendahuluan ___ 1

Bagian 2 Sejarah Ludruk ___ 7

Bagian 3 Perkembangan Ludruk ___ 17

Bagian 4 Animo Masyarakat terhadap Ludruk ___ 50

Daftar Pustaka ___ 60

iv
Bagian 1

Pendahuluan

Ludruk merupakan kesenian tradisional di Jawa Timur.


Kesenian ini menjadi kekayaan budaya yang ada di tanah Jawa,
selain wayang kulit, wayang orang, ketoprak, langendriyan, dan
sebagainya. Berbagai kesenian tersebut merupakan kekayaan yang
perlu dilestarikan. Mengapa demikian? Selain sebagai hiburan dan
memberikan pengaruh, kesenian sekaligus juga merupakan penyu-
luhan yang sangat bermanfaat bagi penggemar atau masyarakat.

Kesenian ludruk umumnya menceritakan keperwiraan


seseorang. Hanya saja, generasi muda sekarang kurang mengenal
kesenian tersebut. Itu sebenarnya bukan semata-mata kesalahan
mereka. Namun, orang tua juga tidak pernah memperkenalkan
kesenian tersebut. Untuk itu, perlu adanya media yang dapat
memperkenalkan kesenian tersebut kepada para pemuda,
misalnya televisi, radio, majalah, dan sebagainya.

Ludruk termasuk jenis teater tradisional Jawa yang lahir dan


berkembang di tengah-tengah rakyat. Kesenian ini bersumber
pada spontanitas kehidupan rakyat. Ludruk disampaikan dengan

Ludruk 1
penampilan dan bahasa yang mudah dicerna masyarakat. Selain
berfungsi sebagai hiburan, pertunjukan ini juga berfungsi sebagai
pengungkapan suasana kehidupan masyarakat pendukungnya. Di
samping itu, kesenian ini juga sering dimanfaatkan sebagai
penyaluran kritik sosial. Hingga sekarang belum dapat ditentukan
daerah asal munculnya ludruk. Usaha untuk menentukannya
biasanya selalu terbentur pada dua pendapat yang berbeda.
Pendapat pertama menyatakan bahwa kesenian ini berasal dari
Surabaya. Adapun pendapat lain menganggap bahwa ludruk
berasal dari Jombang. Kedua pendapat ini memiliki alasan yang
kuat. Menurut penuturan beberapa narasumber dan kalangan
seniman ludruk, kesenian ludruk pertama kali muncul sekitar
tahun 1890. Pemulanya adalah Gangsar, seorang tokoh yang
berasal dan Desa Pandan, Jombang. Gangsar pertama kali
mencetuskan kesenian ini dalam bentuk ngamen dan jogedan. Ia
mengembara dari rumah ke rumah. Dalam pengembaraannya ini,
Gangsar kemudian melihat seorang lelaki menggendong anaknya
yang sedang menangis. Lelaki itu berpakaian perempuan. Gangsar
menganggapnya lucu dan menarik.

Ia terdorong menanyakan alasan pemakaian baju perempuan


tersebut. Menurut lelaki itu, ia memakai baju perempuan untuk
mengelabui anaknya. Ia ingin membuat anggapan agar anaknya
merasa digendong oleh ibunya. Menurut narasumber, peristiwa
itulah yang menjadi asal munculnya laki-laki yang berperan
sebagai wanita dalam kesenian ludruk. Narasumber lain
menuturkan bahwa hal terakhir ini bermula dari pengembaraan
seorang pengamen yang bernama Alim. Seperti halnya Gangsar,
dalam pengembaraannya, Alim berjumpa dengan seorang lelaki

2 Mengenal Kesenian Nasional 4


yang sedang menghibur anaknya. Laki-laki itu mengenakan
pakaian wanita. Diceritakan bahwa Alim berasal dari daerah
Kriyan. Ia kemudian mengembara ke Jombang dan Surabaya.
Dalam pengembaraannya, Alim disertai beberapa orang teman.
Mereka memperkenalkan bentuk seni ngamen dan jogedan.
Kelompok Alim ini selanjutnya mengembangkan bentuk tersebut
menjadi bentuk seni yang berisi parikan dan dialog. Karena tarian
yang dibawakan selalu menghentakkan (gedruk-gedruk) kaki, seni
itu kemudian dinamakan ludruk.

Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, ludruk dikenal


sebagai media penyalur kritik sosial kepada pemerintah. Kritik
sosial ini ditampilkan melalui parikan (pantun), berisi sindiran
terselubung yang disebut besutan. Oleh karena itu, ludruk yang
mengandung sindiran disebut ludruk besutan. Ludruk besutan
tidak hanya menyamarkan kritik sosial, tetapi juga nama para
pemain seperti Jumino, Ruswini, Singogambar, dan sebagainya.
Permainan ludruk besutan tersusun dari tandakan (menari
bebas), dagelan (lawak), dan besutan. Ludruk ini belum mengenal
cerita yang utuh, masih berupa dialog yang dikembangkan secara
spontan. Sejak tahun 1922 hingga tahun 1930, ludruk mengalami
perkembangan dengan masuknya unsur-unsur cerita di dalamnya
secara berangsur-angsur. Perkembangan ini banyak dipengaruhi
oleh peredaran film tanpa kata di Indonesia. Ludruk yang telah
memasukkan unsur cerita disebut ludruk sandiwara. Jenis ludruk
ini menampilkan adegan-adegan cerita yang mencerminkan
situasi kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Ludruk
sandiwara secara nyata berani mengungkapkan keprihatinan
masyarakat saat itu yang sedang terjajah. Selain itu, kesenian ini

Ludruk 3
mengandung unsur-unsur yang mendorong perjuangan. Kostum
ludruk sendiri terdiri dari warna merah dan putih yang men-
cerminkan bendera kebangsaan Indonesia.

Pada zaman Jepang, kesenian ludruk berfungsi sebagai media


kritik terhadap pemerintah. Ini tampak terutama dalam ludruk
Cak Durasim yang terkenal dengan parikan Pagupon omahe dara,
melok Nippon tambah sengsara. Dengan parikan serupa itu, Cak
Durasim ternyata berhasil membangkitkan rasa tidak senang
rakyat terhadap Jepang. Cak Durasim akhirnya ditangkap dan
meninggal dalam tahanan Jepang. Pada zaman kemerdekaan, seni
ludruk masih hidup dan berkembang sebagai kesenian rakyat
berbentuk teater. Hanya saja, kesenian yang sebelumnya berfungsi
sebagai penyalur kritik sosial, kini bergeser menjadi penyampai
kebijaksanaan pemerintah.

Ludruk juga digunakan sebagai media promosi produk oleh


sponsor tertentu. Menurut Sensus Kesenian yang dilakukan oleh
Kanwil P dan K Jawa Timur, sampai tahun 1985 terdapat 58
perkumpulan ludruk dengan 1530 orang pemain. Jumlah ini dapat
dikatakan cukup banyak dan menunjukkan besarnya minat
masyarakat Jawa Timur (Surabaya) terhadap kesenian ini.
Beberapa warga masyarakat yang ditemui dan diwawancarai
secara acak, seperti misalnya pengemudi becak dan penjaga toko,
masih dapat menceritakan dengan baik berbagai cerita ludruk.
Termasuk tokoh-tokoh, perkumpulan yang ada, serta para pemain
ludruk yang terkemuka. Catatan sensus tersebut tidak memberikan
gambaran mengenai jenis perkumpulan ludruk. Sumber ini tidak
dapat menjelaskan perbedaan atau persamaan antara jumlah
perkumpulan ludruk amatir, semiprofesional, dan profesional.

4 Mengenal Kesenian Nasional 4


Pertunjukan ludruk mempunyai ciri khusus. Seluruh pemain
ludruk terdiri dari laki-laki yang memerankan tokoh laki-laki
sekaligus wanita. Karena biasa memainkan peran wanita, para
pemain ludruk cenderung terbentuk menjadi kelompok parodi
(travesi). Ludruk menggunakan bahasa Jawa logat Surabaya yang
mudah dicerna masyarakat. Sesuai tuntutan cerita, kesenian ini
sering pula menggunakan kata-kata Cina, Belanda, Inggris dan
Jepang. Kekhasan ludruk juga terdapat dalam cerita, dekorasi,
kostum, dan urutan pementasan. Cerita ludruk dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu cerita pakem dan cerita fantasi. Cerita
pakem adalah cerita mengenai tokoh-tokoh terkemuka dari
wilayah Jawa Timur seperti Cak Sakera dan Sarif Tambak Yoso.
Cerita fantasi adalah cerita karangan individu tertentu yang
biasanya berkaitan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Lakon yang dipentas-kan oleh Ludruk Bintang Jaya berupa lakon
pakem dan lakon fantasi. Lakon fantasi meliputi lakon horor dan
drama rumah tangga.

Lakon fantasi banyak dipentaskan karena para penonton


cenderung menyenanginya. Mamat, seorang penonton Girilaya,
juga menyenangi lakon fantasi yang menyajikan drama kehidupan
rumah-tangga sehari-hari. Cerita dalam ludruk biasanya diselingi
dengan adegan tragedi dan humor. Dekorasi ludruk amat terbatas.
Di antaranya berupa dekorasi interior rumah, alam pedesaan,
pegunungan, kuburan, dan resepsi perkawinan. Panggung
ditampilkan dengan geber, dekorasi, dan peralatan panggung
seperti meja, kursi tamu, bufet, atau kursi pengantin.

Setiap kelompok kesenian ludruk sedikitnya memiliki kostum


pakaian harian, pakaian pengantin, seragam tentara, dan sebagainya.

Ludruk 5
Kostum digunakan sesuai dengan cerita yang ditampilkan. Kostum
prajurit untuk cerita perjuangan atau lakon pakem, kostum hantu
untuk lakon horor, dan kostum pengantin untuk cerita drama rumah
tangga. Bintang Jaya juga memiliki perangkat gamelan yang
sederhana. Perangkat gamelan ini disebut sengganen, yaitu klenengan
gong kecil yang terdiri dari saron dan demung, peking, penerus,
kendang, dan gong kecil. Penabuh gamelan terdiri dan empat orang,
masing-masing memegang peralatan rangkap. Ada yang menangani
saron, demung, peking dan penerus. Kendang dan gong kecil
masing-masing dipegang oleh satu orang. Urutan adegan ludruk
mempunyai kekhasan. Pentas biasanya dimulai dengan ngremo.
Kidungan (pembawaan tembang), bedayan (tari-tarian umum),
dan cerita inti berturut-turut mengikuti adegan ngremo tersebut.
Dalam adegan cerita inti terdapat penggantian babakan yang
biasanya diselingi dengan humor. Bintang Jaya menambahkan
pula beberapa hal lain. Salah satunya berupa kontes pakaian
daerah seluruh Nusantara yang dibawakan oleh para pemain.

Penyutradaraan pertunjukan dilakukan secara longgar dan


spontan. Sekitar satu jam sebelum pentas, sutradara terlebih
dahulu mengumpulkan para pemain yang ada. Kemudian ia
menjelaskan lakon yang akan dimainkan. Setelah itu, satu per satu
pemain didatangi dan ditunjuk sebagai pemeran tokoh tertentu.
Selanjutnya, sutradara memberikan petunjuk mengenai acting,
garis besar cerita serta pola dialog yang harus dibawakan oleh
pemain tersebut. Apabila waktu tidak mencukupi, adegan tertentu
diatur pada waktu adegan sebelumnya sedang berlangsung.
Apabila ada pemain yang semula ditunjuk, tetapi tidak dapat
melaksanakan tugasnya karena berbagai alasan, pemain itu dapat
dengan mudah diganti oleh pemain lainnya.

6 Mengenal Kesenian Nasional 4


Bagian 2

Sejarah Ludruk

Pada tahun 1994, ludruk keliling tinggal 14 kelompok saja.


Mereka bermain di desa-desa yang belum mempunyai listrik. Grup
ini didukung oleh 50-60 orang pemain. Penghasilan mereka sangat
minim. Bila pertunjukan sepi, mereka terpaksa mengambil uang
kas untuk dapat menyambung hidup.

Sewaktu James L Peacok (1963-1964) mengadakan penelitian,


tercatat sebanyak 594 grup ludruk di Surabaya. Menurut
Depdikbud Provinsi Jatim, tahun 1984/1985 meningkat menjadi
789 grup, tahun 1985/1986 771 grup, tahun 1986/1987 621 grup,
dan 525 grup tahun 1987/1988. Suwito H.S, seniman ludruk asal
Malang mengatakan tidak lebih dari 500 grup masih ada, karena
banyak anggota grup yang memiliki keanggotaan sampai lima grup.

Hasil penelitian Suripan Sadi Hutomo, menurut kamus


Javanansch Nederduitssch Woordenboek karya Gencke dan
T Roorda (1847), ludruk artinya Grappermaker (badutan).
Sumber lain W.J.S. Poerwadarminta (1930) menyatakan ludruk
mengandung arti penari wanita dan badhut artinya pelawak.

Ludruk 7
Adapun menurut S.Wojowasito (1984), kata badhut sudah dikenal
oleh masyarakat Jawa Timur sejak tahun 760 Masehi. Saat itu
merupakan masa Kerajaan Kanjuruhan, Malang, dengan rajanya
Gjayana. Ia adalah seorang seniman tari yang menghasilkan
peninggalan berupa candi Badhut.

Ludruk tidak terbentuk begitu saja, tetapi mengalami


metamorfosa yang cukup panjang. Hendricus Supriyanto mencoba
menetapkannya berdasarkan narasumber yang masih hidup
sampai tahun 1988. Menurutnya, ludruk merupakan teater rakyat
yang muncul pertama kali pada tahun 1907, oleh Pak Santik dari
Desa Ceweng, Kecamatan Goda Kabupaten Jombang.

Bermula dari kesenian ngamen yang menyampaikan syair-


syair dan tabuhan sederhana, Pak Santik dengan ditemani Pak
Pono dan Pak Amir berkeliling dari desa ke desa. Pak Pono
mengenakan pakaian wanita dengan riasan wajah penuh coret-
coretan agar tampak lucu. Berdasarkan penampilan pemain
tersebut, penonton memunculkan istilah Wong Lorek. Akibat
variasi bahasa, kata lorek berubah menjadi kata lerok.

Periode Lerok Besud (1920-1930)

Kesenian yang berasal dari ngamen tersebut mendapat


sambutan penonton. Dalam perkembangannya, kesenian ini
sering diundang untuk mengisi acara pesta pernikahan dan pesta
rakyat yang lain. Dalam pertunjukan-pertunjukan selanjutnya,
terdapat perubahan terutama pada acara yang disuguhkan. Pada
awal acara diadakan upacara persembahan. Persembahan itu
berupa penghormatan pada empat arah mata angin atau empat

8 Mengenal Kesenian Nasional 4


kiblat, kemudian diadakan pertunjukan. Pemain utama memakai
topi merah Turki atau dengan memakai baju putih lengan panjang
dan celana stelan warna hitam. Dari sini, berkembanglah istilah
mbekta maksud. Artinya membawa maksud, yang akhirnya
mengubah sebutan lerok menjadi lerok besudan.

Periode Lerok dan Ludruk (1930-1945)

Periode lerok besud tumbuh subur pada 1920-1930. Setelah


masa itu banyak bermunculan ludruk di daerah Jawa Timur.
Istilah ludruk sendiri lebih banyak ditentukan oleh masyarakat
yang telah memecah istilah lerok. Nama lerok dan ludruk terus
berdampingan sejak kemunculannya sampai tahun 1955.
Selanjutnya, masyarakat dan seniman pendukungnya cenderung
memilih ludruk.

Sezaman dengan masa perjuangan dr. Soetomo di bidang


politik yang mendirikan Partai Indonesia Raya, pada tahun 1933
cak Durasim mendirikan Ludruk Organizatie (LO). Ludruk inilah
yang merintis pementasan ludruk berlakon dan amat terkenal
keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan Belanda maupun
Jepang.

Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat


penerangan kepada rakyat. Oleh para pemain ludruk, kesempatan
ini digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan persiapan
kemerdekaan. Puncaknya terjadi peristiwa akibat kidungan Jula
Juli yang menjadi legenda di seluruh grup ludruk di Indonesia
yaitu Pagupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro.
Akibatnya, cak Durasim dan kawan-kawan ditangkap dan
dipenjara oleh Jepang.
Ludruk 9
Periode Ludruk Kemerdekaan (1945-1965)

Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat


penerangan kepada rakyat, untuk menyampaikan pesan-pesan
pembangunan. Pada masa ini ludruk yang terkenal adalah
Marhaen, milik Partai Komunis Indonesia. Oleh sebab itu, tidaklah
mengherankan jika PKI saat itu dengan mudah mempengaruhi
rakyat. Saat itu, ludruk digunakan sebagai corong PKI dalam
melakukan penggalangan masa untuk tujuan pemberontakan.
Peristiwa Madiun 1948 dan G 30 S pada tahun 1965 merupakan
puncak kemunafikan PKI. Ludruk benar-benar mendapatkan
tempat di hati rakyat Jawa Timur. Dua grup ludruk yang sangat
terkenal pada waktu itu yaitu Ludruk Marhaen dan Ludruk Tresna
Enggal. Ludruk Marhaen pernah tampil di istana negara sebanyak
16 kali. Hal ini menunjukkan betapa dekatnya para seniman ludruk
dengan para pengambil keputusan di negeri ini. Ludruk ini juga
berkesempatan menghibur para pejuang untuk merebut kembali
Irian Jaya, TRIKORA II B yang memperoleh penghargaan dari
Panglima Mandala (Soeharto). Ludruk ini lebih condong ke kiri,
yang berhaluan sosialis. Oleh karena itu, ketika terjadi peristiwa
G 30 S PKI, ludruk ini bubar.

Periode Ludruk Pasca G 30 S PKI ( 1965-saat ini)

Peristiwa G 30 S PKI benar-benar memporakporandakan


grup-grup ludruk, terutama yang berhubungan dengan Lembaga
Kebudayaan Rakyat milik PKI. Saat itu terjadi kevakuman antara
tahun 1965-1968. Sesudah itu, muncullah kebijaksanaan baru
menyangkut grup-grup ludruk di Jawa Timur. Peleburan ludruk
dikoordinasi oleh Angkatan Bersenjata, dalam hal ini DAM VIII
Brawijaya. Proses peleburan ini terjadi antara tahun 1968-1970.

10 Mengenal Kesenian Nasional 4


1. Eks-Ludruk Marhaen di Surabaya dilebur menjadi Ludruk
Wijaya Kusuma Unit I.
2. Eks-Ludruk Anogara Malang dilebur menjadi Ludruk Wijaya
Kusuma Unit II.
3. Eks-Ludruk Uril A Malang dilebur menjadi Ludruk Wijaya
Kusuma Unit III, dibina Korem 083 Baladika Jaya Malang.
4. Eks-Ludruk Tresna Enggal Surabaya dilebur menjadi Ludruk
Wijaya Kusuma Unit IV.
5. Eks-Ludruk Kartika di Kediri dilebur menjadi Ludruk Kusuma
Unit V.

Di berbagai daerah ludruk dibina oleh ABRI hingga tahun 1975.


Sesudah itu, mereka kembali sebagai grup seniman ludruk yang
berdiri sendiri hingga kini. Dengan pengalaman pahit yang pernah
dirasakan cukup lama, kesenian ini tidak muncul ke permukaan.
Pada masa ini, ludruk benar-benar menjadi alat hiburan. Dengan
begitu, generasi muda yang tidak mendalami sejarah dapat
mengenal ludruk sebagai kelompok sandiwara lawak.

Ludruk adalah kesenian drama tradisional dari Jawa Timur


yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian. Biasanya, ludruk
dipentaskan di sebuah panggung dengan mengambil cerita tentang
kehidupan rakyat sehari-hari atau cerita perjuangan yang diselingi
dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik.

Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan


membuat penontonnya tertawa, menggunakan bahasa khas
Surabaya. Meskipun demikian, terkadang ada pula bintang tamu
dari daerah lain seperti Jombang, Malang, Madura, dan Madiun
dengan logat yang berbeda. Bahasa lugas yang digunakan membuat
kesenian ini mudah diserap oleh kalangan nonintelek seperti
tukang becak, peronda, sopir angkutan, dan lain-lain.
Ludruk 11
Tari Remo diperagakan sebagai pembuka pementasan ludruk.

12 Mengenal Kesenian Nasional 4


Sebuah pementasan ludruk biasa dimulai dengan Tari Remo.
Tarian ini menampilkan seorang pemain yang memerankan tokoh
Pak Sakera, seorang jagoan dari Madura.

Kartolo, salah satu pemain ludruk.

Kartolo adalah seorang pelawak ludruk legendaris asal


Surabaya, Jawa Timur. 40 tahun lebih ia menekuni dunia seni
ludruk. Nama Kartolo dan suaranya yang khas, dengan banyolan
yang lugu dan cerdas, dikenal hampir di seluruh Jawa Timur,
bahkan hingga Jawa Tengah.

Ludruk berbeda dengan kesenian ketoprak dari Jawa Tengah.


Cerita ketoprak sering diambil dari kisah zaman dulu (sejarah
maupun dongeng), dan bersifat menyampaikan pesan tertentu.
Sementara ludruk menceritakan cerita hidup sehari-hari, biasanya
seputar kalangan wong cilik.

Ludruk 13
Generasi muda patut melestarikan kesenian yang merupakan kekayaan
bangsa.

Ludruk memang kesenian tradisional Jawa Timur. Namun,


masyarakat Jawa Timur, terutama yang tinggal di kota-kota, sudah
tidak menggemari teater rakyat ini lagi. Generasi muda sekarang
sangat menyenangi kesenian populer di televisi, bahkan cenderung
acuh terhadap kesenian tradisional. Mereka menganggapnya
sebagai kesenian bagi orang tua saja. Itu berarti, cepat atau lambat
kesenian ludruk akan segera masuk museum di Indonesia.

Situasi saat ini memang tidak kondusif. Bapak Muhammad


Ali, seorang seniman ludruk yang memiliki grup ludruk Wahyu
Sejati Sidoarjo,memiliki anggapan. Ia menyatakan sekarang
ludruk tinggal sejarah. Padahal, hingga tahun 1990-an Pak Ali
bersama teman-temannya pernah pentas keliling Sidoarjo,
Mojokerto, Surabaya, dan kota-kota lain di Jawa Timur.

Grup ludruk Wahyu Sejati terdiri dari 30 orang pemain. Grup ini
juga dilengkapi alat musik dan perlengkapan panggung. Namun,

14 Mengenal Kesenian Nasional 4


15 tahun terakhir grup ludruk ini sudah tidak pernah manggung.
Sebagai seniman senior di Sidoarjo, Pak Ali mengaku sudah
malang-melintang di atas pentas ludruk sejak 1936. Kehidupan
bangsa serba sulit, karena kehadiran penjajah. Meskipun demikian,
seni tradisi khususnya ludruk mampu hidup dan berkembang di
masyarakat Jawa Timur. Ludruk dapat dikatakan menjadi katarsis
atau wahana pengobat penat hidup.

“Saya bahagia dan senang, karena dapat membuat orang lain


tertawa. Orang menjadi lebih semangat untuk berjuang,” tegasnya.

Menurut Pak Ali, sebelum tahun 1980-an grup ludruk di


Sidoarjo, Mojokerto, Surabaya, dan kota-kota lain di Jawa Timur
sangat banyak. Pada waktu itu, masyarakat sangat haus hiburan
yang murah, meriah, dan merakyat. Tiap malam hampir selalu
ada tanggapan. Seniman alam seperti Pak Ali sangat banyak
jumlahnya. Mereka serba bisa: nembang, memainkan karawitan,
melawak, hingga terlibat dalam manajemen ludruk. Kesenian
wayang orang pun mudah dijumpai di mana-mana.

“Saiki wis bubrah kabeh. (Sekarang sudah bubar semua)


Anggap saja itu sejarah masa lalu,” kata pria yang ramah ini.

Sempat istirahat lama, pada awal tahun 1990-an Pak Ali dan
beberapa seniman tua mendirikan Ludruk Wahyu Sejati yang
didominasi generasi muda. Anak-anak usia SMP pun diajak serta.
“Saya dan teman-teman yang sepuh berperan sebagai pembina
dan pembimbing. Kami ingin agar seni tradisi ini jangan sampai
mati,” cerita Pak Ali didampingi Anang Makruf, pelawak Ludruk
Wahyu Sejati.

Ludruk 15
Lima tahun pertama, Wahyu Sejati mendapat sambutan meriah
dari warga Sidoarjo. Tanggapan mengalir dari mana-mana, sehingga
Pak Ali sempat kewalahan menyusun jadwal. Beberapa tanggapan
terpaksa ditolak karena para pemain sudah terlalu capek.

“Kami benar-benar menikmati masa keemasan. Ini membuat


pemain-pemain mampu hidup hanya dari ludruk,” katanya.

Waktu terus berjalan. Televisi swasta makin menjamur.


Globalisasi mulai melanda Indonesia. Pelan tapi pasti, kesenian
tradisional, tak hanya ludruk, terdesak oleh ganasnya industri
budaya dan hiburan Barat. Tanpa terasa Ludruk Wahyu Sejati pun
oleng-kemoleng dan mulai mati suri. Hal serupa dirasakan oleh
beberapa grup kesenian tradisional lain di Kabupaten Sidoarjo.

“Tanggapan sudah tidak ada lagi. Padahal, kami punya pemain-


pemain yang siap tampil di mana saja,” ujar Pak Ali menggebu-gebu.

Bagaimana dengan nasib pemain-pemain Wahyu Sejati?


Mereka terpaksa bekerja di mana saja agar dapat bertahan hidup.
Jadi petani, ada yang jadi kuli bangunan, makelar, tukang kredit
atau ikut partai politik.

“Hidup itu mengalir saja seperti air. Kadang main ludruk,


ketoprak, wayang orang, kadang mengurus partai politik,” ujarnya.
Di usia senja, Pak Ali mengaku resah melihat seni budaya
Indonesia yang semakin tergusur dari masyarakat. Televisi tidak
memberikan sedikit ruang kepada kesenian tradisional, kecuali
TVRI serta beberapa acara kecil.

16 Mengenal Kesenian Nasional 4


Bagian 3

Perkembangan Ludruk
Identitas Tradisi Lisan dalam Pertunjukan Teater

Jan Vansina memberi batasan tradisi lisan (oral tradition)


sebagai oral testimony transmitted verbally, from one generation
to the next one or more. Tradisi lisan terbatas di dalam kebudayaan
lisan dari masyarakat yang belum mengenal tulisan. Sama seperti
dokumen dalam masyarakat yang sudah mengenal tulisan, tradisi
lisan merupakan sumber sejarah yang merekam masa lampau.
Namun, kesejarahan tradisi lisan barulah sebagian dari isi tradisi
lisan itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan banyaknya peristiwa
keseharian, nilai-nilai moral, keagamaan, adat-istiadat, cerita-
cerita khayali, peribahasa, nyanyian, dan mantra yang terkandung
dalam tradisi lisan. Dengan demikian, luas dan beragamnya
muatan dalam tradisi lisan menjadikannya sumber penulisan bagi
antropolog, sejarawan, penulis naskah drama, dan pekerja seni
lainnya. Di dalam penulisan naskah drama dan pertunjukan teater
modern, tradisi lisan sudah memberi kontribusi yang cukup
banyak. Kisah Mahabharata banyak menjadi ide penulisan naskah
drama dan pertunjukan teater, di antaranya Karno Tanding, yang

Ludruk 17
merupakan kerja kolaborasi antara seniman Indonesia dan Jepang
pada tahun 1998. Peter Brook yang memproduksi di tahun 1987
menampilkan kembali kodifikasi dramatik tradisi dengan cara
tampilan yang modern. Kemudian Ku Na’uka Theater Company
dari Jepang mengusung cerita-cerita dalam Mahabarata melalui
kisah Prabu Nala dan Damayanti yang ditampilkan di Yogyakarta
tahun 2005. Pertunjukan teater La Galigo juga berdasarkan cerita
lisan tentang La Galigo dari budaya Bugis Kuno, yang dipentaskan
di beberapa negara tahun 2003. Di mancanegara pun cerita lisan
memegang peranan penting bagi terciptanya sebuah naskah drama
dan pertunjukan teater.

Di Yunani, kisah Oidipus merupakan cerita lisan yang


disebarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, tanpa
diketahui pengarangnya. Sophocles kemudian mengangkatnya
menjadi drama trilogi, yaitu Oidipus Rex, Oidipus at Colunus, dan
Antigone. Versi Sophocles tersebut kemudian dibaca kembali oleh
seniman masa kini dalam pesan-pesan konteks yang berbeda,
seperti ketika Rendra mementaskan Oidipus sang Raja. Dengan
demikian, pertunjukan teater Indonesia tidak asing dengan
kontribusi dari cerita-cerita lisan. Banyak pertunjukan teater
modern dan kontemporer berawal dari cerita-cerita rakyat/lisan,
yang disampaikan melalui naskah drama atau langsung ke atas
panggung pertunjukan teater. Cerita lisan yang berkembang
awalnya berasal dari suku-suku bangsa yang belum mengenal tata
tulis. Pada perkembangan selanjutnya, kalangan terpelajar dengan
budaya tulisnya menyebabkan cerita lisan tersebut menjadi
dikenal di luar lingkungannya dan mendapatkan cara pembacaan
dan penanggapan yang baru. Identitas cerita lisan atau tradisi lisan

18 Mengenal Kesenian Nasional 4


tidak lagi berbicara hanya di sekitar pemiliknya, tetapi juga
bersinggungan dengan nilai-nilai budaya dari penikmatnya yang
lain.

Identitas penikmatnya menyebabkan identitas tradisi lisan


pun mengalami perubahan. Makna kehadiran tradisi lisan turut
mengalami perkembangan. Demikian juga elemen-elemen tradisi
lisan. Cara penyebaran, dan fungsinya dalam masyarakat juga
berubah. Sangatlah penting mempelajari cara seorang seniman
masa kini dalam mempelajari tradisi. Dipastikan mereka
mempelajarinya berkat versi seniman lain. Versi tersebut terekam
dalam bentuk pertunjukan dan bentuk tertulis. Persoalannya,
seberapa jauh rekaman tertulis dapat menampilkan keutuhan
tradisi lisan, karena sebuah tulisan sering hanya merekam
kepentingan penulisnya. Seberapa jauh pertunjukan merekam tra-
disi lisan, karena hal tersebut tergantung pada situasi perekaman
dan tanggapan penontonnya. Dengan demikian, versi yang dibuat
dan dikenal dari generasi ke generasi berikutnya menunjukkan
perkembangan cara perekaman dan cara menanggapinya.

Pertunjukan teater selain tari, musik, dan puisi merupakan


media yang mampu menjadi alat perekam tradisi lisan. Eric
Bentley menyebutkan bahwa sesuatu dibuat oleh A (seniman)
menjadi B (karya seni) untuk C (penonton). Peristiwa-peristiwa
faktual dalam sejarah lisan dan narasi fiktif dalam tradisi lisan
diolah kembali oleh seniman teater menjadi pertunjukan teater
untuk penonton. Di dalam pertunjukan teater, kehadiran
penonton sangatlah penting karena tanpa penonton, tak ada teater.
Di dalam pembicaraan tentang pertunjukan teater di Indonesia,
sering muncul istilah teater tradisi dan teater modern, teater istana

Ludruk 19
dan teater rakyat, teater daerah dan teater kota. Istilah-istilah
tersebut yang akan dilekatkan pada sebuah pertunjukan teater
perlu didudukkan terlebih dahulu dalam rangka memperjelas
identitas dan kegunaannya bagi masyarakat.

Istilah istana/bangsawan dan rakyat mencerminkan suatu


status sosial seniman dan fungsi pertunjukan bagi status penonton
secara sosial. Dalam hal ini, pertunjukan teater istana dan rakyat
diproduksi oleh seniman bagi kepentingan status sosial mereka.
Istilah daerah dan kota mencerminkan perubahan dan pergeseran
wilayah geografis dari desa ke kota yang disebabkan perpindahan
penduduk dari desa ke kota, serta perubahan wilayah yang dulu
desa menjadi kota secara administratif.

Istilah tradisi dan modern digunakan untuk memaknai


karakter, watak, dan pemahaman yang akan dilekatkan ke dalam
pertunjukan. Dalam istilah tersebut, gagasan ideologis ikut serta
membentuk makna pertunjukan tersebut. Dengan demikian,
kehadiran sebuah pertunjukan teater dapat diawali dari bentuk
atau identitas mereka. Setelah itu, dapat diamati perubahannya.

Teater istana/keraton/bangsawan merupakan seni pertunjukan


yang muncul di kalangan para raja dan bangsawan sejak abad ke-
4 M. Pada masa itu, kehidupan teater menjadi amat penting dalam
upacara keagamaan. Bersamaan dengan itu, Hinduisme
berkembang di Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan kemudian
di Pulau Bali. Para raja serta bangsawan pada masa itu memang
membinanya. Banyak prasasti yang mengungkapkan adanya seni
pertunjukan teater di kalangan istana, seperti relief-relief di Candi
Borobudur dan Prambanan. Wayang orang merupakan sebuah

20 Mengenal Kesenian Nasional 4


contoh pertunjukan teater yang berkembang di istana atau
keraton. Pertunjukan teater istana ini mengemuka bersamaan
dengan munculnya sistem kerajaan di Indonesia.

Pertunjukan teater istana diadakan untuk menambah


legitimasi kehadiran raja di atas tahta. Tema-tema yang
ditampilkan selalu melambangkan kesuburan yang digambarkan
lewat perkawinan atau perang antara dua keluarga, seperti
Pandawa dan Kurawa dalam kisah Mahabharata. Pertunjukan
akbar yang berlangsung sampai empat hari empat malam itu,
dilaksanakan dalam rangka memperingati peristiwa penting di
istana, seperti ulang tahun berdirinya istana, ulang tahun raja atau
sultan, dan pernikahan putra-putri raja atau sultan.

Pertunjukan teater istana menduduki tiga fungsi utama, yakni


sebagai ritus, pelengkap kebesaran raja, dan hiburan yang
menekankan pada selera estetika tinggi.

Cerita-cerita lisan tidak hanya digunakan dalam pertunjukan


teater istana, tetapi juga di dalam pertunjukan teater rakyat. Teater
rakyat yang menjadi salah satu bentuk ungkapan kehendak
masyarakat memiliki fungsi sebagai berikut. Pertama, sebagai alat
pendidikan anggota masyarakat pemilik cerita lisan tersebut.
Kedua, sebagai alat penebal perasaan solidaritas kolektif. Ketiga,
sebagai sarana untuk menegur orang lain yang melakukan
kesalahan. Keempat, sebagai alat protes terhadap ketidakadilan.
Kelima, sebagai sarana untuk menghibur diri dari kepenatan
kehidupan nyata ke dunia khayalan yang indah.

Pertunjukan teater rakyat yang diadakan di pedesaan sering


dianggap sebagai teater komunal karena sifatnya yang

Ludruk 21
diperuntukkan kepentingan masyarakat. Para pemain terdiri dari
berbagai kalangan anggota masyarakat. Sifat pertunjukan ini
improvisasi, tanpa koreografi yang pasti. Bentuk teater komunal
dianggap juga sebagai teater primitif. Pertunjukan teater rakyat
banyak terdapat di lingkungan kelompok suku di daerah-daerah
di Indonesia. Ciri khas pertunjukan teater rakyat antara lain dalam
bentuk dan gaya teater tutur/lisan, seperti dalam pertunjukan
Sinkrilik dari Sulawesi, Kentrung dari Jawa Timur, Bakaba dari
Minangkabau, dan Cakepung dari Bali/Lombok. Sebenarnya
pertunjukan teater jenis ini tidak menghadirkan peristiwa
dramatik. Namun, seorang pencerita akan menuturkannya secara
lisan dan dramatik.

Pertunjukan teater rakyat mengenal adanya pertunjukan


dengan cerita tertentu untuk peristiwa upacara tertentu, misalnya
upacara kelahiran, inisiasi, ruwatan (permohonan ampun),
kurban, perkawinan, dan meninggal dunia (seratus hari, nyadran,
nyewu). Ada juga pertunjukan yang ditujukan untuk kelompok
sosial tertentu, seperti kesenian untuk upacara tanam padi, panen,
dan bersih desa.

Teater rakyat muncul dan berkembang di daerah-daerah


tertentu dengan mengusung ciri khas daerah tersebut. Ciri-ciri
khas kedaerahan terletak pada suasana yang berlangsung selama
pertunjukan, stilisasi elemen-elemen pendukung pertunjukan,
serta sistem pelatihan yang dihasilkan dari sistem berguru atau
nyantrik. Pertunjukan teater daerah sering dianggap sebagai
teater total, karena terbentuk dari paduan berbagai elemen seni
pendukung, misalnya tarian, nyanyian, dan akting. Pertunjukan
ditujukan bagi seluruh lapisan masyarakat serta pribadi-pribadi.

22 Mengenal Kesenian Nasional 4


Biasanya teater daerah dipentaskan di daerah pedesaan. Suasana
ketika pertunjukan berlangsung santai, sehingga menumbuhkan
suasana betah bagi penontonnya. Suasana semacam itu sampai
sekarang masih ditemui dalam pertunjukan ketoprak, wayang
kulit, wayang orang, ludruk, dan drama gong yang diselenggarakan
di desa-desa di luar gedung pertunjukan. Penonton teater daerah
sering bersikap interaktif terhadap pertunjukan. Mereka menonton
dengan cara duduk melingkar di sekeliling panggung pertunjukan,
sehingga kebersamaan mereka dengan pertunjukan menjadi dekat
dan kuat. Mereka dapat langsung mengomentari adegan yang
sedang berlangsung.

Pertunjukan teater daerah dirancang untuk penonton yang


lebih menyeluruh. Sifat totalitas teater daerah ini sering men-
jadikan teater daerah sebagai alat bagi kepentingan tertentu
anggota masyarakat.

Teater kota mencerminkan adanya pergeseran masyarakat


daerah dengan kesenian dan nilai budayanya yang bersifat
kedaerahan pula. Kelahiran kebudayaan kota terjadi pada saat
timbulnya kesadaran bahwa perangkat nilai yang ada tidak lagi
dapat menjawab tantangan yang ditimbulkan oleh adanya
perubahan lingkungan dan hubungan antarmanusia. Bentuk
kesenian kota hadir dari keseimbangan sosial baru di kota-kota
besar. Kota menjadi wilayah pertemuan antarbudaya. Oleh karena
itu, pertunjukan teater kota mencerminkan suatu potensi penyerapan
kebudayaan mancanegara, tetapi sekaligus cenderung mengacu
kepada budaya daerah yang masih meng-Indonesia. Kebudayaan
masyarakat kota hadir melalui bentuk pertunjukan teater yang
baru. Ciri-ciri teater kota sebagai berikut. Pertama, pertunjukan

Ludruk 23
teater ini dianggap sebagai teater kota yang tradisional. Teater ini
mengacu kepada bentuk kesenian serta nilai-nilai budaya yang
dikenal sebelumnya. Pada waktu wayang orang mulai diapresiasi
oleh penonton, wayang orang komersial itu pun menjadi satu
pertunjukan teater kota yang bersifat kedaerahan. Teater kota ini
lebih berorientasi kepada lingkungan kota besar yang meng-
utamakan nilai-nilai budaya komersial. Ketiga, pertunjukan teater
kini bergaya mini kata. Gaya pertunjukan teater ini berkembang
dari satu orientasi tentang kebudayaan baru sebagai konsekuensi
kemerdekaan Indonesia. Khusus untuk karakteristik ketiga, Umar
Kayam menyebutkan bahwa bentuk pertunjukan bergaya mini
kata harus mampu menciptakan satu idiom teater yang baru di
depan penonton yang baru. Artinya, idiom teater yang bersifat
Indonesia di hadapan penonton Indonesia. Namun, tetap memiliki
bingkai berbeda, yaitu konteks orientasi terhadap pilihan bentuk
sebagai pertunjukan teater Indonesia baru. Dengan demikian,
teater Indonesia berada dalam ketegangan antara identitas teater
istana dan teater rakyat, serta teater daerah dan teater kota.
Perkembangan watak masyarakat di kalangan istana dan rakyat
serta perkembangan wilayah desa/daerah menjadi kota sekaligus
menunjukkan perkembangan dan perubahan sifat pertunjukan
teater yang bersifat tradisi menjadi pertunjukan teater yang
bersifat modern, bahkan kontemporer. Modernisasi teater
Indonesia sesungguhnya mencerminkan tiga jalur perkembangan.
Jalur pertama adalah jalur pem-Baratan yang menggeser
masyarakat Indonesia yang berwajah petani menjadi wajah
keterpelajaran. Jalur kedua, jalur nasionalisme di masa
prakemerdekaan yang telah berjalan lebih dari setengah abad.
Jalur ketiga, pada saat berakhirnya satu tatanan politik negara

24 Mengenal Kesenian Nasional 4


yang berakhir dengan sebuah peristiwa benturan besar yang
dikenal sebagai gerakan G30S PKI.

Walaupun agak jauh jarak waktunya, ketiga jalur itu sekarang


bertemu dan bergulat ikut mengisi pengertian baru kata Indonesia.
Bahkan saat ini teater Indonesia mengalami perkembangan
dengan hadirnya peristiwa kebangsaan yang dikenal dengan era
reformasi. Babakan baru atau jalur keempat ini menjadi penting
karena makna ke-Indonesiaan mulai dipertanyakan dan dihadap-
kan dengan multikulturalisme kedaerahan yang cenderung
mengedepankan ketegangan antara Indonesia dan daerah dalam
wacana pluralisme, individualisme, dan, demokratisasi. Kata
Indonesia tidak lagi berarti bukan kota ataupun daerah, tetapi
sebuah bentuk dan gaya baru yang unik dalam maknanya sendiri
terhadap kepekaan yang disebut kepekaan Indonesia.

Pada saat seorang seniman berkomunikasi dengan orang


Indonesia, ia diharapkan mampu menyelesaikan masalah bahwa
orang Indonesia kebanyakan bikultural, yaitu berbicara dalam
kerangka budaya Indonesia dan daerah. Menurut Anderson,
Indonesia adalah komunitas-komunitas terbayang yang di
dalamnya membayang suatu pergumulan, tarik menarik, dan
ketegangan secara interteks nilai-nilai kedaerahan dan nilai ke-
Indonesiaan. Antara kedua nilai tersebut memiliki proses
perjalanan sinkronis yang baru. Dalam hal ini, bentuk teater
Indonesia yang berada pada posisi yang memungkinkan hadir
sebagai pihak yang hidup secara sejajar dengan teater-teater
daerah yang hadir lebih lama. Artinya, di masa prakemerdekaan,
makna kedaerahan seolah tersingkir untuk menemukan makna
Indonesia. Pascakemerdekaan makna kedaerahan seolah

Ludruk 25
mendapat tempat untuk berkembang. Namun, di tahun 1960-an
makna kedaerahan tergusur kembali dengan universalitas yang
melanda dunia saat itu. Saat ini, masalah identitas pertunjukan
teater Indonesia yang pernah mentradisi seolah dipertanyakan
kembali fungsinya. Keberadaan multikulturalisme dalam teater
Indonesia menyebabkan bentuk-bentuk pertunjukan teater istana,
teater rakyat, teater daerah, dan teater kota melekat di dalamnya.
Sifat dan ideologis dalam bentukan pertunjukan, status sosial
penggarap pertunjukan teater, dan perubahan wilayah geografis
penikmat pertunjukan teater menjadi elemen-elemen pendukung
terciptanya suatu bentuk pertunjukan teater Indonesia.

Perubahan zaman mengubah pula pertunjukan teater daerah


menjadi teater modern. Selera masyarakat pendukungnya
berubah, sehingga identitas seni daerah pun berubah. Pertunjukan
teater daerah semakin terpisah dimensinya dari kecenderungan
untuk menjadi teater daerah yang bersifat tradisi, kemudian
berubah menjadi pertunjukan teater yang lebih bersifat modern.
Elemen-elemen pertunjukan daerah difungsikan untuk kegunaan
yang lebih luas. Tidak sekedar kepentingan komunal, tetapi juga
masyarakat luas. Istilah tradisi dan modern digunakan untuk
menampilkan sifat teater daerah yang terus-menerus mengalami
perkembangan. Tradisi menjadi sifat dari suatu kondisi yang
menetap dan selalu ada secara turun temurun. Sementara itu,
modern menjadi sifat dari suatu keadaan yang selalu berubah dan
berkembang dengan mengikuti perubahan zaman. Pertunjukan
teater yang memiliki sifat atau watak tradisi menuntut totalitas
ekspresinya. Sifat perlawanan yang khas teater tradisi harus tetap
ditampilkan. Teater memang memiliki kemampuan untuk
beradaptasi dengan perubahan zaman. Hal ini menunjukkan

26 Mengenal Kesenian Nasional 4


kedekatan sifatnya dengan lingkungan. Oleh karena itu, seniman
teater tradisi dituntut untuk terus-menerus berdialog, baik dengan
persoalan teknis maupun wacana di luar tradisi mereka.

Teater tradisi dengan sifat-sifatnya yang komunal dialogis, di


satu sisi terkadang mudah dipengaruhi oleh semacam sistem
kekuasaan yang memiliki sifat-sifat yang berbeda. Hirarki
birokrasi yang menjadi sifat kekuasaan, misalnya, merasuki sifat-
sifat komunal tradisi kerakyatan. Akibatnya, kesenian tradisi
mudah dimanfaatkan oleh penguasa untuk menyampaikan pesan-
pesan ideologis mereka kepada rakyat. Pemanfaatan tersebut
menyebabkan ekspresi rakyat yang biasanya tersalurkan melalui
media teater tersumbat. Keinginan masyarakat terkadang tidak
selaras dengan hal-hal yang diinginkan dalam sistem pemerintahan.
Akhirnya, kesenian menjadi cerminan bagi konflik yang terjadi
antara penguasa dan rakyatnya.

Di sisi lain, kekuasaan mampu menjadikan teater tradisi


menjadi media yang efektif bagi rakyat dan seniman untuk
melakukan kritik terhadap pemerintah. Pertunjukan teater tradisi
dianggap sebagai media bagi budaya perlawanan atau budaya
tanding dari rakyat kepada pemerintah. Tepatlah seperti yang
disampaikan Rendra bahwa tradisi tidak harus dipandang bukan
sebagai barang mati. Sikap seniman bukanlah sikap benalu pada
tradisi. Dengan menempatkan teater tradisi sebagai teater yang
sedang berproses, maka teater tradisi memiliki ruang pembebasan
yang ada dan terjadi dalam dirinya sendiri, yaitu pembebasan
melalui nilai-nilai kedaerahannya. Proses pembebasan tersebut
dianggap Umar Kayam sebagai pembebasan budaya-budaya
daerah. Sementara itu, Rendra menyebutnya dengan memper-

Ludruk 27
timbangkan tradisi, sedangkan Emha Ainun Najib menyebutnya
dengan budaya tanding. Tradisi memang bersifat cair, plastis, dan
dinamis.

Teater Seni Rupa

Pertunjukan teater Indonesia merupakan pembacaan budaya


sumber (tradisi lisan) bagi budaya target (apresiasi penonton).
Menempatkan peran aktif pembaca sebagai pembaca karya seni
berarti menghadirkan suatu proses interpretasi. Seperti yang
disampaikan oleh Janet Wolf, bahwa proses interpretasi adalah
sebuah proses mencipta kembali, yang berarti juga refungsi makna
karya tersebut. E. D. Hirsch Jr. menganggap bahwa beralihnya
pusat pemaknaan ke tangan setiap pembaca menyebabkan makna
karya seni menjadi berbeda-beda. Tak ada lagi determinasi dan
kekuasaan pengarang. Satu hal yang ada hanyalah proses
interpretasi terus-menerus dari pembaca terhadap apa-apa yang
disampaikan pengarang. Dalam ilmu sastra, pandangan yang
memberi tempat penting kepada peran pembaca tersebut
melahirkan teori resepsi. Teori ini berangkat dari peran pembaca
dalam proses pembacaan.

Pada waktu menghadapi suatu teks, pembaca sudah mempunyai


bekal yang berkaitan dengan karya yang dibacanya. Bekal
pengetahuan inilah yang selanjutnya menyediakan kepada si
pembaca satu cakrawala harapan. Kedalaman bekal pembaca
diangkat dari gudang pengetahuan dan pengalamannya. Kondisi
ini diistilahkan sebagai literary repertoire, yaitu gudang pembaca
yang berisikan seperangkat norma-norma sosial, historis, dan
budaya yang dimanfaatkan dalam proses pembacaan pembaca.

28 Mengenal Kesenian Nasional 4


Gudang pengetahuan pembaca senantiasa bertambah dan
berubah. Dengan demikian, hasil penerimaan dan sambutan
berbeda pula. Keadaan ini memperlihatkan gejala bahwa dalam
proses membaca terjadi interaksi dialog antara pembaca dengan
teks yang dibacanya. Kondisi tersebut selanjutnya menghadirkan
varian-varian teksnya. Kehadiran varian-varian teks tersebut
menunjukkan bahwa sebenarnya sebuah teks yang belum dibaca
masih berada dalam tatanan artefak. Karya cipta dianggap menjadi
karya seni, yaitu menjadi objek estetik dan berfungsi estetik,
setelah dibaca. Teori yang merupakan manifestasi dari pandangan
resepsi estetika dalam menghadapi karya seni, memandang
pembaca melakukan tindakan yang dalam ilmu sastra disebut
konkretisasi. Hirsch menyebutnya sebagai tindakan interpretasi.
Interpretasi pembaca terhadap pertunjukan tradisi lisan yang
sesuai adalah pembaca yang membaca selaku peneliti. Peneliti
dalam tradisi lisan merupakan pembaca model (model reader),
karena di dalam proses pembacaannya teks tidak akan pernah
menjadi target. Teks adalah prafigur yang cara menang-gapinya
tergantung pada peranannya sebagai pembaca. Oleh karena itu,
proses membaca model menjadi cara berinteraksi antara teks
dengan tanggapan pembaca secara dinamis. Peran pembaca model
tersebut menempatkan teks menjadi suatu karya artisik dan teks
sebagai karya estetik. Karya artistik mengacu pada karya-karya
yang dicipta.

Seniman melalui materi-materi pilihannya dan teknik


ungkapnya, sedangkan karya fiksi menjadi estetik jika telah
direalisasi dan ditanggapi pembaca. Sebuah karya artistik menjadi
karya estetis berkat resepsi estetis pembaca atau penonton. Namun

Ludruk 29
demikian, pembaca tradisi lisan tidaklah dapat semaunya memilih
perspektif. Ia tidak sepenuhnya mampu mendekati teks secara
utuh. Pembaca hanya mampu mendekati dimensi semu (virtual
dimension) yang dimiliki teks. Dimensi semu ini bukanlah teks
sebenarnya, bukan juga imajinasi pembaca, tetapi kehadiran
bersama teks dan imajinasi pembaca. Dimensi semu karya seni
membantu pembaca untuk mengaktifkan potensi bacaannya
(imajinasinya) yang mampu mencipta kembali kebaruan dunia
teks. Hasilnya berupa sebuah bentuk baru, tetapi teksnya tetap
lama. Teks hadir dengan seluruh realitas kebaruannya, yaitu
adanya intensi pengarang, karya, dan interpretasi pembacanya.
Kegiatan membaca tradisi lisan adalah membangun kembali
dimensi semu dari teks secara aktual. Dimensi semu di dalam teks
mengungkapkan adanya ruang-ruang kosong yang menunjuk pada
kemungkinan indeterminasi. Ruang tersebut merupakan ruang
yang memberi kesempatan bagi imajinasi pembaca untuk
berpartisipasi mengkonstruksi hal-hal yang dibacanya. Hasilnya
berupa pembacaan yang berulang. Pengulangan pembacaan tidak
hanya menghadirkan serangkaian perbedaan pengalaman
membaca, tetapi juga pengembaraan pembacaan secara inovatif.

Pertunjukan tradisi lisan berarti menuliskan rangkaian


konkretisasi dari transformasi elemen-elemen pertunjukan
teatrikal tradisi lisan kepada penontonnya. Keadaan tersebut dapat
dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, pembentukan mise en
scene, konkretisasi pemanggungan tradisi lisan. Kedua, rekonstruksi
dan refungsi langkah-langkah penciptaan artistik secara metodis,
sistematis, dan teknis. Patrice Pavis menyebutkan dua faktor yang
harus diperhatikan dalam membentuk mise en scene, yaitu

30 Mengenal Kesenian Nasional 4


kekuatan budaya sumber dan budaya target. Melalui uraian
berikut, Pavis menjelaskan pertemuan antara budaya sumber (pro-
duser, si pengirim) kepada budaya target (si penerima, penonton)
melalui mise en scene.

Mise en scene merupakan wilayah pertemuan teatrikal antara


wilayah ucapan situasi pengirim yang sebenarnya dan wilayah
ucapan situasi yang diharapkan penerima. Antara keinginan
pengirim yang sebenarnya dengan harapan yang diterima
penerima tidak berlangsung secara utuh. Pertunjukan tradisi lisan
sebagai wilayah konkretisasi mise en scene tetap menyisakan
wilayah semu atau abu-abu. Tahapan pertemuan budaya sumber
dan budaya target (T) dalam mise en scene pertunjukan berlangsung
sebagai berikut.

Tahapan proses pertemuan budaya sumber dan budaya target.


a. Tahap pertama (To), yaitu identifikasi gagasan tradisi lisan.
Tahapan ini berada dalam wilayah budaya sumber yang
dikenal seniman. Gagasan masih abstrak dan berada di angan
dan pikiran seniman, sehingga gagasan ini belum memiliki
bentuk yang jelas. Tahapan ini dapat digunakan sebagai cara
menemukenali kembali cerita lisan yang pernah hidup dan
berkembang di masyarakat. Tahapan ini menjadi sumber
garapan pertunjukan dan juga menjadi sumber budaya yang
menjadi pesan kepada penerimanya.
b. Tahap kedua (T1), yaitu observasi artistik tradisi lisan. Tahapan
ini merupakan textual concretitation (konkretisasi tekstual),
yaitu usaha seniman mengkonkretkan gagasan melalui bentuk
artistik. Cara yang dilakukan adalah mencari spirit tradisi yang
pernah dikenali. Misalnya, kisah Palguna-Palgunadi, kisah

Ludruk 31
Roro Jonggrang, kisah Srikandi Belajar Memanah, atau kisah
Djoko Tingkir dapat menjadi sumber pesan yang akan di-
sampaikan seniman.
c. Tahap ketiga (T2), perspektif seniman. Tahapan ini merupakan
tahapan dramaturgical concretization (konkretisasi drama-
turgis), yaitu usaha penyesuaian antara eksplorasi seniman
dengan perspektifnya. Konteks-konteks mulai diperhitungkan
seniman. Budaya target penerima mulai ditanggapi oleh
pengirim, karena dramaturgi menampilkan keterkaitan antara
seniman dan penonton. Selera penonton mulai diamati
dengan cermat. Kecenderungan artistik yang disukai menjadi
bahan olahan mereka.
d. Tahap keempat (T3), stage concretitation (konkretisasi
pemanggungan), transfer gagasan melalui konkretisasi
pemanggungan. Tahapan ini merupakan usaha mendekatkan
perspektif seniman dengan penerimanya melalui elemen-
elemen media pemanggungannya.
e. Tahap kelima (T4), receptive concretitation (konkretisasi
resepsi) penonton. Tahapan ini merupakan konkretisasi
penerimaan, yaitu uji coba mendekatkan ungkapan gerak
spontan dengan penerimanya melalui pertunjukan. Budaya
target yang dimiliki penonton mulai diperhitungkan seniman.
Selera modern bertemu dengan artistik seni tradisi.

Proses penyampaian tentu saja menuntut kreativitas artistik


yang saling tarik ulur dengan penonton. Pertunjukan teatrikal
tradisi lisan ditampilkan di hadapan penonton Indonesia yang
memiliki beragam interpretasi. Tahapan Pavis tersebut dapat
digunakan untuk membaca cara seorang seniman membangun
kreativitas artistiknya dan menyampaikannya pada penonton.

32 Mengenal Kesenian Nasional 4


Ludruk merupakan kesenian teater rakyat yang berasal dari
kalangan rakyat jelata. Kesenian ini dipelopori Santik, petani dari
Desa Ceweng, Kec. Gudo, Jombang, Teater rakyat ini biasanya
menceritakan tentang jagoan, kepahlawanan yang dibawakan
dengan nyanyian atau banyolan.

Keberadaan ludruk timbul tenggelam, seiring dominasi budaya modern.

Di Surabaya, ludruk masih tetap bertahan walaupun hanya


beberapa puluh pemain saja. Hal ini dapat dilihat dari laju
pengunjung yang biasanya menonton di sebuah gedung di Jalan
Pulo Wonokromo, Surabaya. Jumlah pengunjung yang datang tiap
hari rata-rata 10-15 orang saja. Penghasilan yang begitu rendah
membuat para pemain memiliki pekerjaan sambilan seperti perias
pengantin dan lain-lain.

Sejalan dengan perkembangan zaman pula, ludruk terancam


punah. Hal ini ditandai dengan kurang minatnya masyarakat
Surabaya untuk menonton ludruk, jumlah pemain yang bertahan

Ludruk 33
semakin berkurang, harga tiket yang murah masih belum dapat
mendongkrak jumlah pengunjung, dan lain-lain. Masyarakat saat
mengadakan pesta lebih menyenangi hiburan musik daripada
nanggap ludruk. Pertanyaannya sekarang, sampai kapan ludruk
dapat bertahan? Peran pemerintah sangat diperlukan untuk tetap
melestarikan budaya khas Jawa Timur ini. Selain itu, pemerintah
seharusnya juga berusaha memperhatikan kesejahteraan para
pemain. Jangan sampai kesenian ini punah dikikis zaman.

Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya ternyata tidak memberikan


tempat bagi ludruk dalam peringatan hari jadi kota ini. Memang
ironis, tetapi itu realistis, karena pada praktiknya ludruk memang
bukan lagi menjadi ikon kota Surabaya. Kalau selama ini ludruk
masih disebut-sebut sebagai milik kota Surabaya, itu hanya sebatas
realitas politis, bukan realitas empiris.

Sebagaimana ditulis Widodo, mengutip pernyataan Hengky


Kusuma, bahwa ludruk RRI Surabaya sendiri ternyata juga amat
jarang pentas di Surabaya. Satu-satunya grup ludruk yang ber-tahan
hanya Irama Budaya di Pulo Wonokromo. Itupun miskin penonton,
dan entah sampai kapan sanggup bertahan. Kalau toh ada pentas
ludruk di Surabaya, paling-paling digelar di seputaran kampung
Tambak Asri atau seputar Putat, yang notabene merupakan
kawasan lokalisasi.

Kenyataan inilah yang kemudian menjadikan beberapa


pengamat mengklaim bahwa nasib ludruk semakin terpinggirkan.
Ludruk hampir punah, langka, bahkan dianggap sudah tidak
diminati masyarakat lagi. Benarkah begitu? Kalau mau dicermati,
sebetulnya ludruk tidak punah, tidak langka, bahkan masih
diminati masyarakat. Sekadar menyebut contoh, ludruk Karya

34 Mengenal Kesenian Nasional 4


Budaya di Mojokerto malah rajin mendapatkan tanggapan hampir
setiap hari. Nyaris tidak ada hari yang kosong tanggapan dalam
sebulan. Hal yang sama juga terjadi pada beberapa grup ludruk
lainnya. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa nasib ludruk bukan
mengenaskan, bukan ditinggalkan penontonnya, melainkan
memang tumbuh di habitat yang seharusnya cocok untuk ludruk.
Kalau ludruk bernasib merana di Surabaya, itu karena kota
Surabaya yang sekarang ini memang bukan lagi menjadi habitat
yang subur bagi ludruk. Kenangan zaman Cak Gondo Durasim
sudah menjadi sejarah. Ludruk pernah berjaya di Surabaya, itu
dulu. Kota Surabaya sudah jauh berubah, sudah menjadi
metropolis, yang semakin jauh dari nilai-nilai lokalitas masyarakat
urban yang membutuhkan hiburan semacam ludruk. Selama ini
ada tuduhan bahwa posisi gedung Srimulat di belakang mal
merupakan penyebabnya. Padahal sebetulnya (pertunjukan
panggung) Srimulat sudah tidak memberikan daya tarik apapun
bagi masyarakat.

Sajian panggung Srimulat malah kalah bagus dibanding sajian


di televisi. Ironisnya, mereka yang berkibar di televisi itu selama
ini merupakan pembelot Srimulat. Namun, mereka malah berjaya
dengan tetap menggunakan nama Srimulat, atau setidaknya
dikenal masyarakat seolah-olah mereka masih di Srimulat.

Jadi, upaya untuk menghidupkan ludruk di Surabaya yang


pernah dilakukan beberapa pihak selama ini, sebetulnya tak
ubahnya sebagai sebuah klangenan belaka. Seperti halnya ketika
berlangsung Festival Ludruk dalam payung Festival Budaya 2003
di Balai Pemuda, atau juga pentas ludruk gabungan di tempat yang
sama tahun lalu. Untuk kota metropolis seperti Surabaya, ludruk

Ludruk 35
hanya dipandang sebagai sesuatu yang pernah dimiliki Surabaya,
namun secara kultural sudah tidak mendapatkan dukungan lagi
dari masyarakatnya. Dukungan kultural itu justru terjadi di
Mojokerto, Jombang dan bahkan Malang. Mengapa Karya Budaya
menjadi laris ditanggap di mana-mana? Itu juga karena dukungan
kultural masyarakatnya. Analog dengan teori habitat dalam
ekologi, bahwa setiap makhluk hidup akan tumbuh subur atau
hidup layak manakala lingkungan ekologinya memang sesuai
dengan kebutuhan hidupnya.

Semakin kecil nilai dukungan itu, maka keberadaannya hanya


sekadar ada, seperti pohon yang tetap tumbuh namun tak bakal
berbuah. Ludruk, ketoprak, dan wayang berkembang di daerah
yang cenderung abangan karena ekologi budayanya memang cocok
untuk kesenian-kesenian yang profan. Tentu saja rumus seperti
itu memang tidak seratus persen berlaku lantaran ada sejumlah
variabel lainnya. Oleh karena itu, kalau ternyata HUT kota Surabaya
ternyata tidak menyertakan ludruk di dalamnya, sebetulnya tidak
terlalu salah, meskipun sangat mungkin hal ini dilakukan memang
karena ketidaktahuan. Hanya saja, kalau bukan ludruk, lantas apa?
Masih adakah kesenian lain yang pantas dibanggakan sebagai ikon
Surabaya? Loro Pangkon adalah sebuah upacara adat perkawinan
khas Surabaya, dan bukan seni pertunjukan sebagaimana ludruk
yang dapat dipertontonkan sebagai hiburan. Tetapi, kalau memang
Pemkot Surabaya bertekat mengklaim ludruk sebagai ikon kota
Surabaya, bisa-bisa saja hal itu dilakukan. Artinya, realitas politis
itu harus ditindaklanjuti dengan kebijakan menumbuhkembang-
kan ludruk secara sistematis dan dilakukan dalam konsep
kebijakan yang jelas. Misalnya saja, dengan memberikan subsidi

36 Mengenal Kesenian Nasional 4


permanen terhadap ludruk tobong di Pulo Wonokromo itu. Bukan
membiarkan saja mati segan hidup tak mau sebagaimana sekarang
ini. Grup yang pentas dapat dibuat giliran. Kedua, mendirikan
semacam Pusat Pelatihan Ludruk agar tumbuh generasi baru
penerus seni ludruk. Para pelaku ludruk tradisional yang selama
ini terbukti eksis dapat menjadi narasumber di lembaga ini. Ketiga,
menggelar festival ludruk antarkampung sehingga nantinya ludruk
menjadi kesenian alternatif yang dapat dibanggakan anak-anak
muda di kampung-kampung Surabaya. Model pendekatan festival
ini, asal dilakukan dengan simultan, masih terbukti ampuh untuk
menumbuhkan kecintaan masyarakat. Apa boleh buat, masyarakat
kita memang masih menganut budaya seperti itu.

Sebagaimana halnya kampanye kampung bersih melalui


Lomba Green and Clean. Keempat, mempromosikan dan mengelola
ludruk secara profesional sebagai kesenian yang pantas dijual
sebagai atraksi wisata. Dinas Pariwisata harus serius membina
dan menjalin akses seluas-luasnya demi mengangkat pamor
ludruk di berbagai kesempatan. Dalam kaitan ini, institusi-institusi
pemerintah yang terkait (Taman Budaya dan Subdin Kebudayaan
serta RRI Surabaya) harus mau bergandeng tangan demi
mengangkat dan mempopulerkan ludruk. Kelima, memberikan
penghargaan yang layak kepada para pelaku ludruk. Mereka
selama ini sudah berjuang menguri-uri kesenian rakyat yang
pernah mengharumkan nama Surabaya lewat kidungan Cak
Durasim itu. Penghargaan ini tidak hanya sebatas bingkisan uang
atau barang, melainkan lebih penting lagi, misalnya memberikan
pelatihan untuk menciptakan lapangan kerja sebagai penghasilan
tambahan, di samping bermain ludruk. Tidak hanya berhenti

Ludruk 37
dengan cukup memberikan nama Gedung Cak Durasim. Per-
tanyaannya, apakah betul pemerintah memiliki keseriusan seperti
itu? Jujur saja, selama ini banyak pejabat yang mengaku cinta
kesenian, yang suka pamer kepedulian terhadap kesenian rakyat,
Namun sayangnya, tidak disertai dengan tindakan konkret yang
betul-betul tepat guna, bukan hanya sekadar karitatif belaka.
Perhatian yang diberikan pemerintah terhadap ludruk selama ini
masih sebatas memberikan subsidi temporer, memberi
kesempatan pentas, atau kadang-kadang hadiah lebaran bagi
pemainnya. Memang itu sudah lumayan, meski belum dapat
bermakna banyak bagi pengembangan ludruk itu sendiri. Memang
susah menumbuhkembangkan ludruk dengan persyaratan seperti
tersebut. Kalau tidak, jangan sekali-sekali mengklaim bahwa
ludruk milik kota Surabaya. Harus diakui, bahwa Pemkab Jombang
ternyata lebih serius membina ludruk. Demikian juga Dewan
Kesenian Kabupaten Malang (DKKM) yang ternyata memiliki
perhatian dan semangat juang tersendiri mengembangkan ludruk.
Jadi, kalau dalam HUT Surabaya tidak ada pentas ludruk, memang
begitulah kenyataannya. Jangan-jangan kota Surabaya harus
mengucapkan, “Selamat Tinggal Ludruk.” Apakah begitu?

Ludruk sudah senasib dengan kesenian tradisional lainnya.


Ia bukan lagi menjadi tontonan populer. Popularitasnya kian
meredup. Kelompok-kelompok kesenian ini banyak yang bubar.

Irama kendang terdengar rancak mengiringi, gong, bonang,


saron dipadu rebab, seakan saling memacu semangat penari remo
di atas panggung. Dengan mimik ekspresif, gerak gemulai mereka
membawakan sebuah tari yang biasa menjadi pembuka setiap
pertunjukan kesenian ludruk.

38 Mengenal Kesenian Nasional 4


Ludruk merupakan kesenian drama tradisional dari Jawa
Timur. Kesenian ini dapat disejajarkan dengan mamanda yang
populer di masyarakat Kalimantan Selatan.

Ludruk populer di Jawa Timur, terutama di kawasan


Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Gresik dan Jombang dan sekitar
daerah itu. Oleh karena itu, ludruk tampil dengan gaya khas Jawa
Timuran. Mulai dari bahasa sampai gamelan yang mengiringinya.
Bahasa Jawa Timuran merupakan bahasa yang menurut orang
Jawa kebanyakan dianggap agak kasar dan lugas.

Di situlah sekaligus menjadi cermin karakter orang Jawa


Timuran yang dikenal apa adanya, blak-blakan dan sesekali
menimbulkan gelak tawa, karena lelucon yang dibawakan pemain.
Hal yang demikian itu justru menjadikan sebuah hiburan segar.

Siapa yang tidak kenal dengan Kartolo. Bagi masyarakat


Surabaya, Malang, Mojokerto atau Jombang dan sekitarnya,
Kartolo bukan tokoh yang tak asing lagi. Suaranya yang khas, biasa
terdengar di radio-radio atau kaset-kaset.

Kartolo adalah salah satu pentolan ludruk. Ia dikenal dengan


tembang-tembang Jula Julinya yang konyol, menggelitik, dan
sesekali menyentil. Sampai saat ini Kartolo masih tetap eksis.
Namun, ia lebih banyak tampil di media elektronik. Ludruk
banyolan Kartolo dan kawan-kawan adalah tayangan komedi yang
dibawakan khusus oleh Cak Kartolo dan teman-temannya.

Dimotori para pelawak yang tidak asing lagi, Cak Kartolo, Cak
Sapari, Ning Kastini, Agus Kuprit. Kelucuan dan improvisasi para
pemain membuat kita selalu tertawa.

Ludruk 39
Ludruk dapat juga disejajarkan dengan kesenian ketoprak.
Namun, ketoprak lebih berkembang di Jawa Tengah dan
Jogjakarta. Bahasa ketoprak adalah bahasa kraton dan
mengangkat cerita-cerita seputar istana.

Sedang kesenian ludruk, pada umumnya, mengangkat masalah-


masalah sosial yang terjadi sekarang, dengan menggunakan
bahasa masyarakat kebanyakan.

Ketika kesenian ini masih mengalami masa kejayaan, para


seniman ludruk hampir tak pernah sepi tawaran. Mereka biasa
pentas di tempat-tempat hajatan atau menggelar panggung,
keliling dari kota ke kota.

Pada tahun 1970-an, ketika musim kemarau atau sehabis masa


panen, rombongan-rombongan kesenian ludruk masih sering
dijumpai. Mereka menggelar pentas dengan mendirikan
panggung, berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain.

Masyarakat pun begitu antusias menikmati kesenian ini.


Hampir setiap pertunjukan tak pernah sepi dari penonton.
Manusia mengalir ke tengah lapangan, berdesak-desakan untuk
mendapatkan sebuah tiket masuk.

Pemandangan seperti ini, kini sulit dilihat lagi. Ludruk,


seperti kesenian tradisional lainnya, bukan lagi menjadi tontonan
populer.

Popularitas ludruk kian meredup, seiring dengan hadirnya


aneka hiburan di televisi dan kemajuan teknologi informasi. Tak
mengherankan apabila kelompok-kelompok kesenian ludruk
banyak yang bubar.

40 Mengenal Kesenian Nasional 4


Lihat saja kondisi sebuah panggung di Taman Hiburan Rakyat
(THR) Surabaya. Ketika ludruk masih berjaya, ludruk THR begitu
populer di kota itu.

Para pemainnya kini tidak dapat memaksakan diri untuk


pentas. Satu per satu penontonnya mulai hilang. Akhirnya, para
pemain ludruk di tempat itu bubar.

Kepala Taman Budaya Jawa Timur Drs. Pribadi Agus S, M.M.


mengaku prihatin dengan kondisi ini. Dia menyebutkan, beberapa
kelompok ludruk terkenal di Surabaya, seperti Ludruk Wijaya
Kusuma dan Tri Buana kini tinggal nama.

Di kota metropolis itu, sekarang tinggal dua kelompok, yakni


Irama Budaya dan Mega Budaya. Itu pun, salah satunya akan
pindah ke Pasuruan.

Agus menilai, pudarnya kesenian ludruk disebabkan oleh


beberapa faktor. Pertama, faktor luar. Minat masyarakat untuk
menikmati hiburan ini jauh menurun. Hal ini disebabkan semakin
banyaknya pilihan hiburan.

Kedua, faktor dari dalam ludruk sendiri. Ludruk-ludruk tra-


disional tampil monoton dan kurang inovatif dalam pertunjukannya.

“Kami tak punya kekuatan sendiri. Perlu keterlibatan semua


pihak. Harus ada dukungan instansi terkait maupun swasta,” kata
Kepala Taman Budaya Jawa Timur.

Siang di kota Surabaya terasa panas sekali. Panasnya terik


matahari seolah-olah membuat kulit setiap orang yang ada di
bawahnya terbakar. Asap kendaraan dan pabrik serta bau sampah
menyengat. Dari jauh terdengar suara motor yang tidak pernah

Ludruk 41
berhenti berbunyi. Sesekali suara pesawat terbang menambah
kebisingan dan hiruk-pikuk kota Surabaya. Tidak jauh dari
keramaian kota Surabaya, tampak sebuah gedung ludruk. Gedung
ini bernama Gedung Ludruk Irama Budaya. Tepatnya berada di
Wonokromo, di pinggir Sungai Brantas. Gedung itu sangat
sederhana. Arsitekturnya masih model lama. Gedung itu hanya
memuat penonton sekitar 120 orang. Peralatan yang digunakan
juga masih sederhana. Pada saat pertunjukan, gedung ini hanya
menggunakan seperangkat gamelan dan beberapa alat pengeras
suara. Di gedung inilah Ludruk Irama Budaya setiap malam
melakukan pementasan dengan lakon yang berbeda-beda.

Anggota Ludruk Irama Budaya ini berasal dari berbagai


tempat. Ada yang berasal dari Tulungagung, Lumajang, Banyuwangi,
bahkan ada yang berasal dari luar Jawa. Jumlah keseluruhan
personil ludruk Irama Budaya 25 orang. Personil itu terdiri dari
10 laki-laki dan 15 waria. Mereka berkumpul di gedung ini siang
dan malam untuk berbagi suka cita bersama.

Di gedung yang serba pas-pasan seperti inilah karya-karya


ludruk diproduksi dan dimainkan. Seolah para anggota Ludruk
Irama Budaya tidak menghiraukan hiruk pikuknya kota Surabaya.
Mereka tetap berlatih dan mencari kreasi baru untuk pertunjukan
malam harinya. Walaupun honor yang mereka terima hanya cukup
untuk membeli rokok dan makan sehari-hari, mereka tetap
mempertahankan posisinya sebagai seniman ludruk.

Tepat berada di atas gedung Ludruk Irama Budaya itu ada


sebuah kamar kecil yang letaknya di belakang panggung. Kamar
berukuran 3 x 5 meter itu terletak di lantai dua gedung Ludruk

42 Mengenal Kesenian Nasional 4


Irama Budaya. Hiasan kamar itu sangat beragam. Beberapa foto
Pak Karno terpajang rapi di sana. Selain itu, makanan dan buah-
buahan yang dijadikan sajen tampak layu. Di samping foto Pak
Karno tampak foto Pak Sakiya sewaktu dia masih muda, berdandan
ala perempuan. Kamar berukuran kecil ini dilengkapi dengan
keberadaan kipas angin sehingga panasnya kota Surabaya dapat
sedikit berkurang. Kamar sederhana itu dihuni Sakiya seorang diri.
Di sinilah laki-laki yang usianya lebih dari setengah abad ini
tinggal. Pada siang itu seseorang dari Puspek Averroes menemui
Sakiya di kamar pribadinya yang sekaligus ia jadikan sebagai
kantor Irama Budaya.

Mak Yah. Begitulah laki-laki setengah baya ini akrab dipanggil


oleh anggotanya. Laki-laki berperawakan kecil dan bermata lebar
ini memiliki nama lengkap Sakiya Sunaryo. Pimpinan Ludruk
Irama Budaya ini dilahirkan di Surabaya 56 tahun yang lalu.
Ludruk adalah kesenian yang menarik bagi Sakiya. Dia memulai
karirnya sebagai pemain ludruk sejak masih remaja.

Ludruk Irama Budaya ini didirikan pada tahun 80-an. Ludruk


ini didirikan karena kegemaran Sakiya menonton pertunjukan-
pertunjukan ludruk di Surabaya. Selain itu, alasan ludruk ini
didirikan adalah kegelisahan Sakiya melihat keberadaan ludruk
yang kembang kempis di Surabaya. Laki-laki yang masih lajang
ini, bertekad untuk terus memelihara keberadaan ludruk di
Surabaya.

Walaupun tanpa sentuhan pemerintah, Ludruk Irama Budaya


yang dipimpin oleh Sakiya ini mampu bertahan hidup di tengah
kota metropolitan. Hal ini lebih disebabkan oleh rasa kekeluargaan

Ludruk 43
yang tinggi antaranggota. Selain itu juga anggotanya yang memiliki
rasa kepemilikan terhadap ludruk. Kreativitas dan inovasi teman-
teman anggota ludruk juga mendukung eksistensi ludruk di
Surabaya. Kemandirian dan keuletan seorang Sakiya menjadi
kunci utama dalam pengembangan Ludruk Irama Budaya.

Walaupun hanya dengan nobong (ngamen keliling) dari satu


tempat ke tempat lainya, yang penting bagi Sakiya, kesenian ludruk
sebagai kesenian asli Jawa Timur ini tetap terjaga keberadaannya.
“Biasanya saya berpindah setiap 6 bulan sekali dari daerah satu
ke daerah yang lainnya di kota Surabaya. Berhubung tahun ini
kami tidak memiliki dana untuk menyewa gedung, kami tahun
ini tidak pindah,” terang Sakiya.

“Nobong seperti ini sudah saya lakukan bersama Ludruk


Irama Budaya sejak 20 tahun yang lalu,” terang Sakiya dengan
penuh semangat. Sakiya dengan teman-temannya melakukan
pementasan dari satu tempat ke tempat lainnya sekedar untuk
melestarikan keberadaan ludruk di Surabaya. Selain itu,
penghasilan teman-teman juga hanya dari pertunjukan yang
diadakan setiap hari. Penghasilan teman-teman hanya cukup
untuk membeli rokok dan makan setiap hari. “Kalau untuk makan
biasanya teman-teman anggota urunan (patungan) dan masak
bersama di Gedung Ludruk Irama Budaya ini,” tambah Sakiya.

Penonton yang melihat penampilan Ludruk Irama Budaya


setiap harinya antara 15 sampai 20 orang. Saat malam Minggu,
penonton dapat mencapai 30 sampai 40 orang. Dalam sekali per-
tunjukan, tiap orang dikenai biaya masuk sebesar Rp 3.000,00.
Biasanya, penonton yang melihat pertunjukan ludruk adalah peng-
gemar setia. Mereka terdiri dari anak-anak muda dan orang tua.

44 Mengenal Kesenian Nasional 4


Penonton tidak jenuh melihat Ludruk Irama Budaya. Hal ini
dikarenakan teman-teman selalu menampilkan lakon-lakon yang
relatif baru setiap harinya. “Dengan menampilkan lakon yang baru
dan banyolan-banyolan yang segar seperti ini, dengan sendirinya
penonton tidak jenuh melihat penampilan kami,” tutur laki-laki
yang dahulu biasa berperan sebagai perempuan ini.

Ludruk Irama Budaya ini tidak menggantungkan diri pada


pemerintah. Ludruk ini juga tidak mendapatkan dana pengem-
bangan dari pemerintah. Hanya jika ada peristiwa-peristiwa besar
saja Sakiya dan teman-temannya baru membuat proposal.
Biasanya pada saat acara Agustusan, Lebaran, dan Suroan Sakiya
dan teman-teman membuat proposal. Sakiya dan teman-temannya
mengajukan proposal ke Subdin Kebudayaan atau ke Dinas
Pariwisata Jawa Timur. Dana yang diajukan lewat proposal ke
dinas-dinas itu jarang sekali cair. Kalau dana itu tidak cair, Sakiya
mencari dana lain. Bahkan tidak jarang dalam acara-acara besar
Sakiya menggunakan uang pribadinya.

“Seharusnya kesenian seperti ludruk ini diprogramkan untuk


mendapatkan dana pengembangan,” protes Sakiya. Sakiya
rupanya melihat bahwa ludruk merupakan kesenian tradisional
jarang sekali diperhatikan pemerintah. Dalam pandangan mantan
tandak ini, pemerintah selama ini hanya berkutat pada kesenian-
kesenian modern saja. Mereka hanya mengadakan Festival Cak
Durasim dan lain sebagainya. Pemerintah tidak mau memperhati-
kan lagi keberadaan seniman tradisional. “Jangankan memberikan
dana, melihat pertunjukan kami saja mereka tidak mau,” lanjut
Sakiya.

Ludruk 45
Sakiya bersama Ludruk Irama Budaya sudah meludruk
nobong selama 20 tahun. Akan tetapi, mereka belum pernah
sekalipun dikirim ke Jakarta. Padahal setahu pendiri Ludruk
Irama Budaya ini, ludruk yang ada di Jawa Timur rata-rata sudah
pernah dikirim ke Taman Mini anjungan Jawa Timur di Jakarta.
“Entah apa yang dipikirkan pemerintah. Mereka hanya mendanai
ludruk yang tidak-tidak,” kata Sakiya. Ludruk yang tidak-tidak ini
adalah ludruk yang ada orangnya jika ada dana kalau tidak ada dana
ya tidak ada senimannya. Kalau Ludruk Irama Budaya ini, ada
dana ataupun tidak tetap melakukan pertunjukan,” lanjut Sakiya.

Dalam penyusunan dan pelaksanaan program di Dinas


Pariwisata, Taman Budaya ataupun Subdin Kebudayaan, Sakiya
sebagai seniman ludruk jarang sekali dilibatkan. Saya tidak mau
tahu tentang program pemerintah. Kalau menurut saya ada
koordinasi ataupun tidak antara seniman dan pemerintah terkait
penyusunan dan pelaksanaan program, saya tidak mau tahu. Hal
yang paling penting bagi Sakiya adalah kesenian ludruk yang ia
pimpin masih tetap eksis di Surabaya.

“Pokoknya saya tidak rela kalau ludruk di Surabaya hilang.


Apalagi saya asli Surabaya,” terang Sakiya bersemangat. Sakiya
dan teman-teman Ludruk Irama Budaya akan senantiasa
menjaganya dalam berkontestasi dengan kesenian-kesenian
modern. “Andaikata pemerintah tidak mau menjaga keberadaan
ludruk, biarlah saya dan teman-teman yang akan menjaga dan
melestarikan serta mengembangkan ludruk asli Jawa Timur ini,”
lanjut Sakiya.

Walaupun usia senja, Sakiya masih giat mempertahankan


ludruk di Surabaya. Upaya yang dilakukan dengan mengkader

46 Mengenal Kesenian Nasional 4


anak-anak muda untuk menjadi pemain ludruk. Dengan
melakukan pengkaderan dan memberikan arti pentingnya
keberadaan ludruk kepada anak-anak muda ini, Sakiya berharap ada
yang dapat meneruskan keberadaan kesenian ludruk di Surabaya.

Seniman ludruk ini hanya meminta agar pemerintah tahu diri.


Posisi seniman yang setiap hari hanya mengandalkan pertunjukan
sebagai basis ekonominya ini, harusnya diperhatikan. Pemerintah
jangan hanya memperhatikan kepentingan sendiri. Sakiya sebagai
pimpinan ludruk sudah jenuh meminta kepada pemerintah. Jika
tidak meminta mereka butuh, akan tetapi kalau mereka meminta
jarang sekali diberi. Dalam anggapan laki-laki yang sudah tidak
mau menikah lagi ini, sebenarnya pemerintahlah yang
berkewajiban melayani masyarakat, bukan sebaliknya. Kalau
pemerintah tanggap terhadap kebutuhan seniman, kejadian yang
seperti ini tidak akan terjadi.

Seharusnya DPRD Jatim menganggarkan sendiri dana untuk


seniman. Jadi, seniman jika ada kebutuhan dapat langsung
mengambil di Dinas Diknas Jawa Timur. Sebelumnya pemerintah
harus mencatat seluruh kesenian yang ada di Jawa Timur.
Kemudian pemerintah menganggarkan kebutuhan pengembangan
kesenian. Dengan demikian, para seniman dapat berekspresi dan
berkreasi dengan tenang.

Sebenarnya di Jatim ada lembaga kesenian yang menampung


keluhan-keluhan seniman. Lembaga itu bernama Dewan Kesenian
Jawa Timur (DKJT). Namun dalam pandangan Sakiya, DKJT tidak
ubahnya dengan pemerintah. Mereka hanya mengurusi kebutuhan-
nya sendiri. Kesenian ludruk selalu dinomorduakan dalam setiap
programnya.

Ludruk 47
Penampilan Ludruk Irama Budaya.

Dinas Pariwisata sebagai lembaga pemerintah yang


berkewajiban mengembangkan kesenian dan kebudayaan Jatim,
juga tidak mampu mempromosikan Ludruk Irama Budaya
kepada wisatawan. Sebenarnya, Irama Budaya adalah satu-
satunya ludruk yang eksis di Surabaya. Kalau begitu adanya, sudah
seharusnya pemerintah memberikan dukungan kepada Ludruk
Irama Budaya ini. Melihat pemasalahan yang seperti ini,
sebenarnya pemerintah perlu melakukan beberapa hal. Pertama,
pemerintah harus mendorong semua elemen yang ada di
masyarakat untuk peduli terhadap kesenian. Kedua, pemerintah
juga sudah seharusnya memberikan peluang-peluang kreatif
kepada seniman untuk berkreasi. Bukan hanya subsidi berupa
materi saja, akan tetapi pada wilayah perhatian dan kebijakan juga

48 Mengenal Kesenian Nasional 4


perlu. Hal yang seperti ini akan memberikan stimulus kepada
seniman untuk senantiasa berkreasi.

Ketiga, pemerintah harus memikirkan lembaga-lembaga


kesenian, seperti halnya Ludruk Irama Budaya ini. Program-
program pemerintah itu harusnya memberikan dukungan kepada
lembaga-lembaga kesenian. Mungkin pemerintah memang belum
memiliki respon dan sensibilitas yang tinggi terhadap seniman-
seniman yang ada di komunitas-komunitas seni.

“Terakhir, saya berharap Dinas Pariwisata, Dinas Diknas lewat


Taman Budaya dan Subdin Kebudayaan mampu mengangkat
keberadaan ludruk di Surabaya. Saya melihat Dinas Pariwisata
hanya mengurusi tempat-tempat wisata. Seharusnya, Dinas
Pariwisata lebih memperhatikan kesenian-kesenian tradisional
daripada dana dari pemerintah hanya digunakan untuk foya-foya
saja,” pungkas Sakiya Sunaryo.

Ludruk 49
Bagian 4

Animo Masyarakat terhadap Ludruk

Arek sing komentar nang “Ludruk di Surabaya di ambang


kepunahan”
Nang 9th December 2007 8:57 pm
Perlu ditingkatkan dan dikomersilkan.
Nang 9th December 2007 9:21 pm
Seneng dapat vertamaxxx.. ini baru komen seriusnya.
Wah kenapa lagi-lagi pemerintah yang ditodong? Memang sih
pemerintah kita ini kurang care ama yang beginian, juga aset
budaya bangsa yang lain. Cuman kita sebagai warga masyarakat
harusnya berpartisipasi aktif dong. Ayo, kalo ada pertunjukan
ludruk ditonton, ato kalo ada waktu luang gak ada salahnya belajar
ludruk. Maka ketika tahun lalu ada anak DKV Despro ITS yang
mengerjakan TA tentang visual biografi Cak Kartolo sebagai ikon
ludruk Surabaya, saya sangat setuju dan salut. Ternyata masih
ada anak muda yang care. Tapi patut dipertanyakan pula, kelanjutan
dari visual biografi itu apa. Apakah tujuan mulia untuk memper-
kenalkan ludruk kepada generasi muda sudah tercapai?

50 Mengenal Kesenian Nasional 4


Ayo sekarang jujur, kalo di TV A ada ludruk, di TV B ada bola,
di TV C ada gosip, sampeyan pilih mana?

Solusi

Lagi-lagi peran orang tua adalah nomer 1. Saya masih yakin,


kalau orang tua suka dengan ludruk, kemudian memperkenalkan
ludruk ini sejak anaknya masih kecil. Kemungkinan ketika
anaknya sudah besar, juga akan suka ludruk. Lha, sekarang ini
kan orang tua itu, terutama yang tinggal di kota, bangga kalau
dapat merayakan ultah anaknya yang masih balita di mal dengan
atraksi badut atau sulap. Kenapa gak ludrukan? Takut dicap
kampungan kan?

Siapa Lagi yang akan Melestarikan Budaya Bangsa kalau


bukan Diri Kita?

Nang 9th December 2007 11:00 pm


Terakhir yang menyaksikan ludruk Cap Tugu Pahlawan yang
kebetulan beberapa pentolannya adalah alumni elektro ITS yang
manggung saat reuni akbar alumni elektro ITS. Padahal enak
banget, loh. Guyon dan isinya nyentuh banget. Moga-moga masih
ada. Oia pentolan ludruk Cap Tugu Pahlawan itu pernah tampil
di republik BBM.
@ deT : dilarang vertamax loh di sini berdasarkan aturan postingan
ntar ada yang marahin loh secara elo org pertama yg vertamax.

Nang 10th December 2007 1:23 am


Ludruk….eh ke mana tuh Loedroek Tjap Toegoe Pahlawan?
Kalo memang dulu kata Cak Dargombes dkk, mereka tampil
melestarikan seni budaya yang satu ini. Terus, gimana kelanjutan-

Ludruk 51
nya? Kalau memang ada cita-cita melestarikan ludruk, para
pelakunya terutama, juga harus terus melestarikannya. Ya seperti
Cak Kartolo itu, meski usaha sampingan juga pastilah… wong
ludruker juga manusia. Namun, memang yang seperti ini butuh
kerja pemerintah juga. Buat apa membuat Departemen Budaya
dan Pariwisata, kalau ternyata kesenian kita punah satu per satu?
Kan bisa tuh bikin semacam pekan budaya atau bulan budaya
seperti yang di Malang sekarang ini. Jadi harapannya, kesenian
kita nggak ilang atau dipreteli negara lain.

aRuL nang 10th December 2007 1:54 am


Oia baru ingat Cak Dargombes namanya, hehehe. Iyah
penampilannya terakhir itu saya liat pas reuni akbar elektro ITS
itu. Masih lengkap kok perlengkapan mereka, termasuk personil-
nya. Mungkin sekarang jarang yang undang jadinya jarang
muncul. Atau Mas Yuki mau mengundang buat jadi pembicara?

gandhi nang 10th December 2007 7:42 am


Ludruk.. Riwayatmu dulu
Zaman saya masih kuliah dulu, Loedroek Tjap Toegoe Pahlawan
ngetop banget. Selain banyolannya khas anak muda, berisi banget,
dan pas dengan kondisi keadaan pada saat itu. Waktu saya kecil,
Kartolo Cs juga sempat singgah.

Saat sekarang benar-benar prihatin banget dengan kondisi


ludruk yang benar-benar terpuruk. Terakhir sempat menyaksikan
Kartolo cs di TVRI Surabaya, tapi sekarang udah gak pernah
nemuin lagi. Apakah sudah habis masa tayangnya?

Hal yang membuat miris lagi adalah Surabaya sebagai kota


tempat ludruk pernah besar dan berkembang gak peduli lagi.

52 Mengenal Kesenian Nasional 4


Secara kasar, dapat dikatakan kota Surabaya udah menjadi
semacam kota dagang. Semua dinilai dari kemampuan daya
jualnya. Ludruk dengan daya jual yang kecil bahkan boleh dibilang
tidak laku untuk sekarang ini, sudah tidak ada tempat lagi di kota
Surabaya. Bandingkan dengan festival band atau audisi mencari
bakat yang sering kita jumpai di sini. Animo masyarakat sangat
menakjubkan. Mereka rela antri bahkan sampai menginap hanya
untuk mendapatkan tempat atau nomor terhormat.

Kepada siapa kesenian ludruk akan mengadu? Jujur saja, tidak


ada tempat lagi bagi ludruk untuk mengadu. Hal yang ada,
masyarakat Surabaya yang harusnya ambil peduli, lebih peka, lebih
mempunyai rasa memiliki bahwa ludruk itu milik masyarakat
Surabaya. Ludruk jangan sampai mati, atau mungkin kita
menunggu ludruk diklaim kembali oleh malingsia, kita akan
peduli? Dimulai dari TPC saja Mas. Kita bikin banner misal Save
our Loedroek atau apapun namanya. Paling tidak orang yang baca
tahu bahwa di Surabaya ada kesenian bernama loedroek. Atau
mungkin semboyan TPC dapat dibuat jadi “Loedroeknya blogger
Surabaya” . Cuma saran saja Mas.

aRuL nang 10th December 2007 2:44 pm


@ gandhi : sepakat mas, tapi tidak sekedar banner nantinya.
Ada tindakan nyata untuk mengembangkan loedroek ini. Oia, saya
juga mempertanyakan sikap pemerintah, terutama dinas yang
mengurusi tentang kebudayaan, seperti apa menyikapi hal ini.
Apakah tetap dipertahankan atau dibiarkan?

Salah satu peran generasi muda sebenarnya adalah mem-


bentuk komunitas ludruk, seperti yang teman-teman di jurusanku

Ludruk 53
membuka divisi ludruk untuk mengembangkan bakat teman-
teman di ludruk.

filyung nang 10th December 2007 3:03 pm


Tidak ada solusi untuk ludruk dan kesenian daerah lainnya.
Masalahnya, kita mau tidak mempertahankan kesenian itu. Kalau
memang kita sudah tidak mau, ya jangan salahkan Malaysia kalau
mereka mengambil semua kesenian daerah kita. Kalau dibilang
kesenian daerah kita akan punah, itu salah! Hal yang benar,
kesenian kita sudah punah! Menurut saya, tidak ada solusinya
untuk itu. Adanya cuma kesadaran, kalau kita mau sadar dan mau
berbenah secepatnya, mungkin tidak ada kasus negara lain
mengklaim kesenian kita.
Kesenian itu muncul dari budaya manusia.
Kesenian itu manifes dari budaya manusia.
Kesenian berakar dari budaya manusia.
Mungkin kita melupakan kesenian kita. Itu berarti, kita melupakan
budaya kita yang menjadikan kita manusia yang berbudaya.

gempur nang 11th December 2007 1:54 pm


Wis suwe rek gak ndelok ludruk! Terakhir, kapan awakmu
kabeh ndelok ludruk?! Paling2 lek JTV muter ludruk, channel
langsung dipindah nang MTV, iyo opo iyo?! Ngaku reeeekkk!
Paling2 wis podho isin ndelok ludrukan. Ndisik, aku paling
seneng lek ngrungokno Kartoloan jam 11 bengi sampe kiro2 jam
1 nang radio opo yooooo?! Lali aku rek! Jamane sik onok
Basman! Wah saiki wis ganti kabeh acarane! Mbuh saiki opo?!
Tapi, bojoku sing wong sundo iku, nate ngrungokno acara
ludrukan jam sewelas bengi, ning yo embuh radio opo?
Hehehehehehe yek opo awakmu?

54 Mengenal Kesenian Nasional 4


magma nang 11th December 2007 3:08 pm
Lagi-lagi tentang budaya yang terlupakan. Tapi hal-hal seperti
ini harus terus kita bahas dan ingatkan lagi kalau kita sebenarnya
punya beragam budaya dan sebenarnya pula kita telah melupakan
budaya tersebut. Jujur, secara langsung saya tidak pernah melihat
yang namanya ludruk. Biasanya cuma dengerin mp3-nya Cak
Kartolo, itu pun punya teman. Juga melihat di JTV. Mungkin
pendapat si det benar kalau yang paling berperan dalam
melestarikan budaya adalah orang tua. Kalau kita dari kecil sudah
diperkenalkan budaya oleh orang tua, paling enggak besarnya kita
masih mengenal dan tahu. Bukan berarti pemerintah harus lepas
tangan donk. Ini memang menjadi kewajiban negara untuk
melestarikan budaya kita. Jangan sampai terjadi lagi klaim negara
lain terhadap budaya kita. Kalau ini terjadi, semuanya bingung
seperti kebakaran jenggot.

Sepakat juga dengan Mas Gandhi kalau TPC buat kampanye


untuk menyelamatkan loedroek ini. Opini ini salah satunya. Tak
hanya itu saja. Mungkin dapat untuk banner seperti usul Bang
Gandhi. Atau meliput loedroek di daerah Wonokromo tersebut.
Bagus lagi kalau dibarengi dengan tindakan nyata.

alief nang 11th December 2007 3:13 pm


Sori ya gak bisa bantu, ikut prihatin aja…

filyung nang 11th December 2007 3:47 pm


Bagaimana kalau TPC buat acara ludruk modern, gak usah
susah-susah. Cari tempat yang umum saja dan cari sponsor lalu
kita buat itu, sekalian promo TPC cinta Lodrok. Bagaimana teman-
teman?

Ludruk 55
aRuL nang 11th December 2007 4:12 pm
@ filyung : Sekali lagi ide yang brilian, oke dibuatkan posting
tersendiri aja. Ntar di situ kita tentukan metode acaranya seperti
apa. Salut buat filyung *tapi kenalan dulu rek di hte heroes*

gandhi nang 11th December 2007 6:01 pm


Sedikit usul lagi, itu spanduk yang biasanya dibawa buat
kopdar kalau bisa gak usah dikasih tanggal kalau memang mau
buat banner untuk loedroek, di spanduk juga dipasang Mas. Jadi
kalau spanduk itu dipajang sekalian kelihatan kalau TPC adalah
komunitas cinta budaya juga.

anasmcguire nang 11th December 2007 8:32 pm


Terakhir saat saya masih belum kuliah, ludruk ala Sapari cs.
pernah on air langsung dari Radio Suzana FM jam 3-4 sore. Saat
itu, saya demen banget dengerin soalnya ceritanya lucu-lucu. Tapi
entah sekarang masih ada atau enggak?

@ det: Memang bener. Peran orang tua sangat diperlukan.


Namun, saat ini mungkin sangat sulit. Karena kebanyakan orang
tua sekarang sudah jadi orang tua yang modern, gak mau ama
yang berbau jadul. Maunya hanya dengan hal-hal yang serba
berbau modern, yang kuno sudah mulai ditinggalkan. Memang sih
ada beberapa orang tua yang masih peduli ama ludruk. Tapi itu
sangat langka. Paling kalau gak orang desa, ya orang pinggiran kota.

@ mas yuki: Memang bener. Peran dari Dinas Pariwisata dan


Budaya sangat diperlukan. Jangan sampai deh budaya kita hilang
trus dicaplok ama Malaysia lagi.

@ filyung: Bener Mas kata sampeyan.

56 Mengenal Kesenian Nasional 4


hai_hai_sby nang 12th December 2007 11:11 am
Sebenarnya yang ngebangunin lagi karya Jawa yang namanya
ludruk tu ya generasi-generasi muda. Coba aja pemerintah atau
siapa aja yang suka ludruk ngeganti pemain ludruk. Jangan yang
udah tua-tua. Ganti aja pemainnya ama anak-anak muda Surabaya.
Kan kebanyakan fasih bahasa Jawa. Tampangnya yang dapat
dibilang cakep atau cantik. Terus temanya agak dimodifikasi,
mudah dimengerti. Sepertinya itu termasuk salah satu pancingan
supaya ludruk hidup kembali. Setuju ga?

intan nang 11th February 2008 2:44 am


Aku cuma woro-woro, sederek sedoyo mbok bileh wonten
dok dalm bntuk vcd-ne ludrukan ngone cak kartolo hub aku yo.
Matur nuwun sak durunge.

Eva Nurma nang 23rd February 2008 7:36 pm


Para dulur, aku kepengen takok. opo ludruk mesti ono tari
ngremo karo gamelan? Suwun.

Ivan nang 16th March 2008 6:35 pm


Hi, boleh tahu bagaimana cara mengkontak pemain ludruk
tersebut? Saya lagi mengerjakan tesis tentang ludruk.

Ludruk Reformasi Kirun

Keberhasilan menyajikan acara ketoprak, mengilhami sebuah


stasiun televisi swasta untuk menyajikan kesenian tradisonal
dalam kemasan komedi. Stasiun televisi tersebut menggamit
Kirun, seniman Jawa Timur untuk mengemas sajian ludruk
bertajuk Ludruk Bintang Timur. Ini bukan ludruk pertama yang
tampil di layar kaca. Sebelumnya sudah pernah ditayangkan acara

Ludruk 57
ludruk lain. “Tapi, dijamin ini ludruk yang benar-benar asli,” tutur
Kirun di Jakarta, pekan lalu.

Ludruk Bintang Timur menawarkan sajian ludruk secara


utuh. Segmen klenengan, tari remo, lawakan, dan inti cerita
dihadirkan Kirun secara utuh. Tak heran jika tayangan Ludruk
Bintang Timur menjadi panjang, 2,5 jam penuh. Itu belum
seberapa. Jika kesenian ini disajikan di tengah masyarakat, dapat
mencapai semalam suntuk. “Kami mengambil seni ludruk, dengan
tata panggung, lampu, dan lainnya untuk kemasan sajian televisi
agar pemirsa tetap nyaman menonton,” papar Didi Yulianto,
produser pelaksana Ludruk Bintang Timur.

Didi sampai perlu memboyong kru stasiun televisi ke Madiun.


Semua pemain Ludruk Bintang Timur adalah seniman Jawa
Timur pimpinan Kirun. Rekaman panggung Ludruk Bintang
Timur memang digelar di aula kesenian di Madiun untuk men-
dapatkan atmosfer suasana penonton yang pas. Tepukan riuh dan
gelak tawa penonton memang menjadi hal yang penting bagi
kesenian tradisonal seperti ludruk maupun ketoprak.

Meski mengaku menyajikan ludruk asli, namun Kirun harus


melakukan beberapa penyesuaian. Salah satunya, soal pemain.
Awak yang menghidupkan Ludruk Bintang Timur tidak semuanya
pria. H.M. Sakirun, nama lengkap Kirun, menyelipkan beberapa
seniman wanita tradisional Jawa seperti Yati Pesek dan Sunyah
Ni untuk memeriahkan cerita. Padahal, ludruk dikenal dengan
kesenian tradisional yang semua pemainnya adalah kaum Adam
untuk memerankan semua tokoh, termasuk sosok wanita. “Saat
ini susah mencari pemain ludruk pria. Nanti saya kekurangan
pemain kalau memakai wong lanang semua,” kata Kirun.

58 Mengenal Kesenian Nasional 4


Langkah Kirun melanggar pakem ini untuk menyiasati
keadaan. Toh, langkah ini sebetulnya tidak mengganggu nilai dan
keunikan ludruk sebagai sebuah sajian komedi yang menghibur.
Ludruk reformasi Kirun ini diharapkan dapat menjadi salah satu
primadona sajian kesenian tradisional. Kehadiran cerita ringan
dan celetukan segar dengan bahasa khas Jawa Timur diharapkan
bukan hanya menjadi pemikat pemirsa yang berasal dari Jawa
Timur. “Kami akan mengimbuhkan teks terjemahannya. Tapi,
pemirsa harus sabar karena ada beberapa idiom khas daerah yang
susah dicari padanannya dalam bahasa Indonesia,” papar Didi.

Bagi Kirun, inilah tantangan untuknya menyiapkan konsep


cerita yang aktual. “Sifat ludruk itu seperti kawat jemuran. Dapat
disampirkan dengan apa saja. Saya berusaha mencari kisah yang
kerapkali disajikan di kesenian ludruk tapi sudah dilupakan
generasi sekarang. Namun, ada pesan yang dapat direnungkan,”
papar Kirun. Kisah itu misalnya Sampho Kong dan Hancurnya
Kapal Dampo Awang yang ditayangkan di episode perdana.

Menilik sejarahnya, ludruk hadir di tengah masyarakat sebagai


salah satu bentuk perlawanan dan perjuangan. Cak Durasim, yang
dikenal sebagai Bapak Ludruk, lewat tembang-tembangnya
menyajikan kepiluan penderitaan rakyat atas penjajahan Jepang.
Lantaran itu, Pemerintah Daerah Jawa Timur mengukuhkan dia
sebagai salah satu pahlawan Jawa Timur. Ludruk berkembang
pesat pada zaman Orde Lama dan dikenal memiliki kekhasan sesuai
dengan daerahnya. Ada ludruk Tulung Agung, Sidoardjo, Surabaya,
Malang, Madiun, hingga Madura. Pada masa Orde Baru, ludruk
sempat dijadikan corong pemerintah untuk mensosialisasikan
program-programnya.

Ludruk 59
DAFTAR PUSTAKA

Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. 2006. Seni


Tradisi Lisan sebagai Wahana Komunikasi yang sangat
Efektif di Tengah Masyarakat yang sedang Berubah. Yogyakarta:
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Sandi. 2002. Sanggar Bharada Wadah Kreativitas Mahasiswa
Basa Jawa UNESA. Semarang: Penyebar Semangat.
anasmcguire.blogsome.com
brangwetan.wordpress.com
dongengdalam.blogspot.com
orangkampung.blogspot.com
www.melanicyber.com
www.surabaya.go.id
www.tugupahlawan.com
www.unitantri.2ofr.com
www.wikipedia.com

60 Mengenal Kesenian Nasional 4

Anda mungkin juga menyukai