Anda di halaman 1dari 6

1

NAMA : RENDY DWIE OKATRINADA

NIM : 1510578015

MATAKULIAH : ANTROPOLOGI MUSIK NUSANTARA II

Keruncong Stambul Fajar

“Udang tak tahu di bungkuknya, orang tak tahu buruknya”. Antara ideologi

kesenian dan kebutuhan perut yang harus segera diberi makan terkadang

menimbulkan gejolak yang tidak dapat dibahasakan. Sebuah keroncong hanya

dimaknai sebatas hal-hal umum oleh masyarakat karena tidak adanya seniman yang

memberikan literasi tentang keroncong. Keroncong hanya dipandang sebagai hiburan

tanpa pengantar yang baik. Dukungan pemerintah memang dibutuhkan untuk

mempertahankan sebuah seni pertunjukan, namun penyikapan dan orientasi dari

dukungan itupun tidak kalah penting. Kebudayaan harus terus berjalan, namun pindah

tidak melulu berganti. Kesadaran akan identitas kesenianlah yang belum banyak

dimiliki oleh penggiat seni hari ini, sehingga sebuah kesenian mudah untuk diubah

dan terubah.

Perumpamaan di atas kiranya tepat untuk menggambarkan keadaan penggiat

musik keroncong hari ini meskipun keberadaan keroncong secara nasional telah

diakui sebagai salah satu dari khasanah musik Indonesia. 1 Kesalahpahaman yang

1
Victor Ganap, Krontjong Toegoe (Yogyakarta: BP ISI YOGYAKARTA, 2011), 6.
2

beredar dimasyarakat tentang musik keroncong itu sendiri sangat banyak. Bengawan

Solo adalah salah satu jawaban masyarakat yang cukup populer ketika ditanya“Apa

yang anda ketahui mengenai Keroncong?”. Ini membuktikan bahwa kepopuleran

bentuk Keroncong Langgam dengan teknik-tekniknya seperti engkel, double, kotekan,

dan sebagainya mampu menyaingi bentuk awalnya yaitu Keroncong Asli dengan

teknik kencrung-nya yang tidak banyak diketahui masyarakat umum hari ini. Selain

itu, tingginya permintaan membuat para penggiat musik keroncong menghadirkan

aransemen dan karya-karya baru dengan menggunakan teknik dalam Keroncong

Langgam. Hal inilah yang akhirnya menciptakan kesalahpahaman dimasyarakat

terhadap musik keroncong. Jika hal ini terus dilakukan, maka lambat laun masyarakat

tidak akan peduli dengan bentuk awal dari keroncong itu sendiri, yang artinya akan

menggeser citra dan entitas kebudayaan yang sejak dulu terbangun. Kekhawatiran

semacam ini sudah mulai nampak dari sebuah kesenian keroncong yang ada di desa

Suak Gual, salah satu desa di pulau Mendanau yang terletak di bagian barat pulau

Belitung. Musik keroncong tersebut dinamai Keruncong Stambul Fajar oleh

masyarakat setempat.

Menurut Irwansyah dalam skripsinya yang berjudul “Keruncong Stambul

Fajar Dalam Acara Selamat Laut Di Pulau Mendanau Kabupaten Belitung”

mengatakan, Keruncong Stambul Fajar merupakan sebuah musik yang berfungsi

sebagai hiburan masyarakat. Kata keruncong terpengaruh dari kebiasaan masyarakat

Melayu Belitung dalam berdialek yang banyak menggunakan huruf “U” sebagai
3

pengganti huruf “O”, seperti kata “orang” dalam bahasa Indonesia jika disebutkan

dalam bahasa Melayu Belitung menjadi “urang”. Maka kata keruncong itu merupakan

analogi dari kata keroncong. Sedangkan kata stambul fajar berasal dari kebiasaan

masyarakat dalam memainkan musik keruncong yang dimainkan pada waktu hajatan

atau upacara tertentu, dimainkan pada malam hari hingga menjelang fajar atau pagi

hari, selama musik ini dimainkan akan diberikan tambul berarti kue yang dihidangkan

untuk para pemain musik, kebiasaan memainkan musik ini menjadikan musik

keruncong dikenal dengan Keruncong Stambul Fajar, pada pertunjukannya digunakan

untuk menunggu makanan yang sebelumnya telah dimasak pada siang hari untuk

besok disajikan pada hari hajatan atau upacara.

Menurut seniman Keruncong Stambul Fajar di desa Suak Gual yang bernama

ki’ Mat, musik keroncong ini sudah dimainkan sangat lama. Bahkan, ki’ Mat

mengenal musik ini dari almarhum kakeknya. Musik ini dulu dibawa oleh para

nelayan dari Pulau Seribu yang sering mencari ikan di perairan pulau Belitung. Para

nelayan tersebut sering menambatkan jangkar di dekat pulau Mendanau untuk

menunggu angin laut tenang sebelum mereka pulang ke Pulau Seribu. Disanalah

interaksi antara nelayan dari Pulau Seribu dengan masyarakat setempat terjadi, dan

terbentuklah keroncong masyarakat Suak Gual yang dikenal sebagai Keruncong

Stambul Fajar.

Dewasa ini, Keruncong Stambul Fajar sudah sangat berkembang dari awal

kemunculannya yang diketahui awalnya hanya dinikmati oleh masyarakat setempat,


4

ia mampu bertahan untuk terus eksis sampai akhirnya dikenal oleh masyarakat

Belitung pada umumnya. Menurut James R. Brandon, dalam bukunya yang berjudul

“Theatre in Southeast Asia”. Ada tiga cara utama di mana seni pertunjukan didukung

saat ini di Asia Tenggara; dukungan pemerintah (government support); dukungan

komersial (commercial support); dan dukungan komunal (communal support).2

Bertahannya Keruncong Stambul Fajar ini tidak terlepas dari dukungan yang Brandon

sampaikan di atas.

Pada awal kemunculannya seperti diketahui Keruncong Stambul Fajar

dimainkan untuk menghibur para panitia pesta yang sedang berjaga pada malam hari.

Mereka bermain hingga pagi dengan bernyanyi berbalas pantun. Hal ini menandakan

bahwa munculnya Keruncong Stambul Fajar di awali dari dukungan komunal

(communal support). Saat ini Keruncong Stambul Fajar sudah mulai menampilkan

diri dalam acara kebudayaan, pesta, pertunjukan musik, dan lain-lain. Walaupun tidak

menggunakan tiket, hal ini sudah bisa dikatakan sebagai keberhasilan dalam

mendapatkan dukungan komersial (commercial support). Pencapaian pulau Belitung

yang dikemukakan oleh Kementerian Pariwisata sebagai 10 destinasi “Bali Baru”, 3

turut memberikan keuntungan bagi keberlangsungan hidup Keruncong Stambul Fajar.

Pemerintah mulai mencari kesenian-kesenian daerah yang akan menjadi aset bagi

daerahnya, dalam konteks ini Keruncong Stambul Fajar dijadikan sebagai salah satu

2
James R. Brandon, Theatre in Southeast Asia (USA: President and Fellows of Harvard
College, 1974), 188.
3
https://travel.kompas.com/read/2018/11/07/234136127/10-obyek-wisata-instagramable-di-
10-destinasi-bali-baru?page=all. Diakses pada 14 Agustus 2021, jam 22;39.
5

aset kesenian musik daerah Belitung, yang berarti dukungan pemerintah-pun

(government support) sudah mampu didapat. Dengan begini kesenian Keruncong

Stambul Fajar tidak akan hilang dalam peradaban dan akan terus abadi. Hal ini

sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Hannah Standiford pada Seminar

Sesrawung PKKH UGM yang berjudul “Keroncong Stambul dan Kisah Lainnya:

Hasil Riset dan Residensi Seniman Mengajar 2018.” Ceramah budaya bertajuk

“Keruncong Stambul Fajar dan Kisah Lainnya” yang diselenggarakan pada Rabu 19

juni 2019. Ia mengatakan “hari ini musik Keruncong Stambul Fajar sudah menjadi

bagian korporasi dan government, meskipun kesenian ini masih milik komunal,

kelompok ini sudah jadi bagian industri pariwisata.”

Terdapat konsekuensi yang mungkin tidak disadari oleh seniman Keruncong

Stambul Fajar atas hadirnya dukungan pemerintah dan dukungan komersial.

Contohnya, para pemain Keruncong Stambul Fajar pada mulanya tidak pernah

memikirkan kostum, make-up, dan estetika-estetika lain. Saat ini, semua hal tersebut

harus dipenuhi demi kebutuhan sebuah pertunjukan yang merupakan konsekuensi

dari dukungan tersebut. Isi dari sebuah pantun yang dulunya bersifat jenaka yang

kadang bersifat satire, kini sudah disusun sedemikian rupa agar terdengar sopan dan

tidak menyinggung pendengar. Hal ini telah menggeser entitas kebudayaan yang telah

lama digunakan sejak awal kemunculannya. Selain itu, kesadaran pemain tentang

tekhnik bermusikpun menjadi pendorong perubahan di wilayah permainannya.

Contohnya ialah penyikapan dalam bermain piul (violin) yang dulu dimainkan
6

dengan meletakkan intrumennya di lengan, saat ini penyikapannya sudah sama

dengan violin pada umumnya. Hal ini jelas sudah berubah dari citra piul yang

terbentuk dalam kesenian Keruncong Stambul Fajar. Konsekuensi terbesar dari

bergesernya transaksi sosial menjadi transaksi ekonomi.

Selain dari dukungan-dukungan tersebut, perubahan yang terjadi di dalam

Keruncong Stambul Fajar juga pastinya tidak terlepas dari modernisasi dan

globalisasi. Hadirnya modernisasi merekonstruksi pandangan masyarakat terhadap

penyajian pertunjukan yang diidentikkan dengan gaya barat. Hadirnya Gadget dari

produk globalisasi juga ikut melancarkan proses konstruksi ini, seniman-seniman

sangat mudah untuk mengakses berbagai macam informasi yang diinginkan dari

seluruh duni sehingga perubahan gaya bermain, kostum, dan lain-lain bisa terjadi.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak semua

perkembangan berdampak baik bagi suatu kesenian. Namun, bukan berarti

perkembangan harus ditakuti atau dihindari. Kebudayaan diciptakan sebagai penanda

sebuah identitas. Dengan menjaga identitas maka kebudayaan tersebut akan tetap ada

walaupun terjadi berbagai perubahan. Menurut penulis, memperbanyak literasi

terhadap kesenian-kesenian semacam ini juga merupakan solusi, sehingga

kesalahpahaman yang disampaikan tidak perlu terulang. Paling tidak, para penggiat

seni mempunyai kesadaran terhadap masalah-masalah seperti ini.

Anda mungkin juga menyukai