Anda di halaman 1dari 5

DALAM MENGHADAPI BUDAYA MUSIK MODERN Published : 02:44 Author : Raden Mas A.D.

Putra

Perkembangan budaya musik yang pesat sendiri ternyata tak membuat masyarakat Indonesia redup untuk melestarikan budayanya. Bahkan kearifan lokal menjadi bahan untuk melawan arus perkembangan budaya musik yang pesat sekarang ini. Berbagai musik daerah dan tradisional di Indonesia sendiri, ternyata juga turut dilestarikan, dikembangkan dan bahkan dikenalkan ke internasional untuk tetap eksis dan lestari di jaman sekarang yang budaya musiknya berkiblat negara Korea dan negara Barat. Seperti dalam Sarasehan Budaya yang diadakan BEM FBS UNY pada hari Jumat 24 Februari 2012 yang lalu di Laboratorium Karawitan FBS UNY. Mengajak para kawula muda FBS UNY dan siapapun yang tertarik dengan nguri-uri kebudayaan , Falsafah, dan Tradisi Jawa, dipandang dari nilai kearifan lokal (local wisdom). Local Wisdom yang menyediakan berbagai cara dan jalan forum, pendekatan akal, sejarah, dan hati nurani. Musik angklung yang notabene kalah modern dengan musik jaman sekarang ternyata sedikit demi sedikit malah banyak diminati. Sam Udjo yang merupakan pembicara dalam acara tersebut sekaligus adalah pengurus Saung Angklung Udjo menuturkan bahwa, musik angklung mengalami perjalanan yang begitu panjang. Berawal dari, mind set yang mengatakan angklung sebagai musik rendahan atau kalangan bawah. Namun semenjak berjalannya waktu serta usaha dari penggiat kesenian angklung, predikat angklung sebagai musik kalangan bawah terhapus sedikit demi sedikit. Sam Udjo sendiri contohnya, ia telah mendedikasikan hidupnya sejak kecil hingga saat ini telah mengantarkan musik angklung sebagai warisan budaya dunia. Disamping itu, musik angklung telah mendapatkan perhatian dari pemerintah Indonesia. Pemerintah akan memberikan SK, perihal pengajaran musik angklung sejak SD. Oleh karena itu, guru musik angklung akan segera dibutuhkan. Kebijakan pemerintah ini sendiri sangat membantu untuk tetap eksisnya budaya lokal dan daerah kita. Namun yang disesalkan menurut Sam Udjo adalah persepsi orang-orang ketika mengapresiasi budaya lokal dengan nilai rendah. Berbanding terbalik, ketika mengapresiasi musik ecek-ecek dengan kulit industrialisasi, dinilai sangat mahal. Seperti misalnya ada pertunjukkan musik keroncong dihargai murah sedangkan musiklipsync malah dihargai mahal. Dalam sarahsehan tersebut juga munculStatement yang mencitrakan bahwa budaya mempunyai peranan penting dalam membentuk pola berpikir dan pola pergaulan dalam kampus, yang berarti juga membentuk kepribadian dan pola pikir mahasiswa tertentu. Budaya mencakup perbuatan atau aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh suatu individu maupun masyarakat, pola berpikir mereka, kepercayaan, dan ideologi yang mereka anut. Misal saja mahasiswa menggandrungi

budaya K-Pop, maka akan berpola pikir dan bergaya hidup seperti orang Korea. Padahal seharusnya menjunjung budaya sendiri. Ini sungguh ironi sebetulnya.

Mengenai budaya yang terkena perubahan akibat perkembangan jaman, Giddens menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Arus perkembangan jaman yang pesat membuat masyarakat tak sadar ikut berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Namun walaupun banyak yang terbawa arus perubahan budaya, budaya lokal masih ada masyarakat yang berusaha melestarikan dan mengembangkannya. Musik keroncong dalam menerapkan kearifan lokal sendiri tak berkecil hati. Musik keroncong Indonesia yang menurut kebanyakan masyarakat adalah musik biasa, namun sebenarnya adalah musik yang berkelas internasional. Sebab, kadangkala hotel-hotel bertaraf internasional menampilkan musik keroncong untuk mereka yang bernostalgia dengan lagu-lagu, misalnya ciptaan Ismail Marzuki dan Gesang ataupun untuk para turis asing yang tertarik dengan musik keroncong dari Indonesia. Bahkan Pondok pesantren terbesar di Asia sendiri, Al-Zaytun memberi tempat terhormat bagi musik keroncong. Hiburan keroncong selalu ditampilkan pada setiap acara menerima tamu-tamu terhormat Al-Zaytun. Keroncong sendiri dulunya berasal dari sejenis musik Portugis yang dikenal sebagai fado yang diperkenalkan oleh para pelaut dan budak kapal niaga bangsa itu sejak abad ke-16 ke Nusantara. Masuknya musik ini pertama kali di Malaka dan kemudian dimainkan oleh para budak dari Maluku. Melemahnya pengaruh Portugis pada abad ke-17 di Nusantara tidak dengan serta-merta berarti hilang pula musik ini. Bentuk awal musik ini disebut moresco yaitu sebuah tarian asal Spanyol, seperti polka agak lamban ritmenya, di mana salah satu lagu oleh Kusbini disusun kembali kini dikenal dengan nama Kr. Muritsku, yang diiringi oleh alat musik dawai. Musik keroncong yang berasal dari Tugu disebut keroncong Tugu. Dalam perkembangannya di Indonesia sendiri, masuk sejumlah unsur tradisional nusantara, seperti penggunaan seruling serta beberapa komponen gamelan. Pada sekitar abad ke-19 bentuk musik campuran ini sudah populer di banyak tempat di Nusantara, bahkan hingga ke Semenanjung Malaya. Masa keemasan ini berlanjut hingga sekitar tahun 1960-an, dan kemudian meredup akibat masuknya gelombang musik populer yaitu musik rock yang berkembang sejak 1950, dan berjayanya musik Beatle dan sejenisnya sejak tahun 1961 hingga sekarang. Meskipun demikian, musik keroncong masih tetap dimainkan dan dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat di Indonesia dan Malaysia hingga sekarang. Masyarakat kota Solo sendiri pada Oktober 2008 lalu mengadakan Festival Keroncong Internasional atau International Keroncong Festival. Penyelenggaraan IKF itu sebenarnya untuk

mengukuhkan musik keroncong sebagai musik pusaka Indonesia. Kata Ketua Panitia IKF Pedhet Wijaya, musik keroncong telah menyebar ke seluruh dunia, tetapi benar-benar mengakar di Indonesia. Dan kota Solo yang telah dikukuhkan sebagai Kota Keroncong pada tahun 2007 menyelenggarakan Kirab Keroncong Pusaka, bersamaan dengan IKF. Penyelenggaraan IKF sebenarnya bersifat politis. Ini tak lepas dari politik budaya, karena kita menginginkan karya-karya budaya yang bersifat local genius yang ada di masyarakat, seperti musik keroncong ini, hendaknya diangkat dan memperoleh penghargaan yang semestinya, sebelum diklaim oleh bangsa lain. Melalui lagu keroncong Bengawan Solo yang menjadi duta besar bangsa Indonesia dan telah terkenal di Asia, kita bisa melihat kekuatan local genius di masyarakat, khususnya Solo, yang telah melakukan penetrasinya dengan cara kultural. IKF sendiri disebut punya makna politis karena dalam festival ini akan mengundang dua kelompok peserta dari Malaysia, negara yang akhir-akhir ini dilaporkan sering melakukan klaim atas beberapa karya budaya yang dianggap sebagai local genius bangsa Indonesia. Selain itu juga melambungkan kembali musik keroncong Indonesia yang mana beberapa waktu redup oleh aliran musik negara asing yang membanjiri industri musik tanah air. Strategi seperti yang dilakukan masyarakat Solo lah, menurut saya dapat melestarikan dan melambungkan budaya musik lokal Indonesia jaman sekarang yang redup dan kalah saing dengan budaya K-Pop. K-Pop sebenarnya juga menggunakan strategi dalam mengembangkan budayanya dan menyebarkan ke kancah internasional. Kebijakan publik negara Korea untuk memajukan pasar musik lokalnya di tingkat global, Korea mengambil kebijakan antibarat layaknya seperti meng-embargo budaya musik luar. Pemerintah Korea melarang musik asing dan dikembangkanlah musik yang harus mencerminkan identitas nasional. Hal tersebut sendiri didukung dan ditunjang oleh manajemen yang baik dan dukungan pemerintah, Korea berhasil menapaki industri musik dunia. Ini tentu berasal dari kerja keras dan kecerdasan membaca pasar untuk mengembangkan budaya lokal. Bersandar pada K-Pop yang menjadi soft power Korea, Korea melakukan inflitrasi budaya di berbagai negara. Dalam konsep hubungan internasional, kekuatan lunak mencakup pengaruh budaya seperti demam K-Pop saat ini. Seharusnya keroncong yang menjadi budaya Indonesia meniru strategi pengembangan budaya K-Pop tersebut. Sehingga nantinya budaya Indonesia selain terkenal dikancah internasional juga negara lain terinfiltrasi budaya Indonesia. Manajemen pengembang budaya Indonesia seperti keroncong juga perlu meniru manajemen negara Korea untuk menjadikan keroncong soft power bagi Indonesia di negara lain. Konsep soft power yang diperkenalkan oleh Joseph Nye dari Harvard University sendiri merupakan penonjolan cara-cara nonmiliter dalam mempengaruhi negara lain atau memoles citra melalui kekuatan politik, ekonomi dan kebudayaan. Infiltrasi dilakukan bukan dengan pemaksaan, ancaman maupun kekuatan militer namun menggunakan strategi nonmiliter,

dalam hal ini menggunakan kebudayaan. Keroncong sebenarnya sudah terkenal di kancah internasional bahkan beberapa negara asing telah mengakui musik keroncong Indonesia di kancah internasional. Namun, herannya musik keroncong hanya terkenal di internasional sedang di negara sendiri terkucilkan. Inilah kenapa menurut saya negara kita perlu menerapkan strategi negara Korea dalam mengembangkan budaya lokal yaitu dengan terlebih dahulu mengembargo budaya asing dari negara kita agar budaya lokal dapat berkembang di negara sendiri dan tidak kalah saing dengan budaya asing. Selain keroncong, musik daerah lain yang tetap berkembang walaupun kalah saing oleh budaya K-Pop adalah musik Cilokak dari daerah Lombok. Musik Cilokak yang merupakan permainan seperangkat alat musik tradisional seperti mandolin, biola, gendang, suling, jidur, kempul, dan rincik untuk mengiringi lantunan lagu-lagu daerah berupa lagu kayaq, yaitu jenis lagu daerah Lombok yang berisi nasihat atau petuah berbentuk pantun. Sentuhan lagu-lagu dan irama musik Cilokak yang memiliki kekhasan tersendiri ini sangat digemari oleh masyarakat suku Sasak. Sekarang musik cilokak sudah berkembang di berbagai tempat di Pulau Lombok dan sampai sekarang masih eksis dan tetap digemari oleh masyarakat sasak. Musik cilokak sendiri agak berirama gambus dan tak lepas dari gendang dan mandolin. Cuma, karena tuntutan jaman yang modern, instrumen lain pun dimasukkan, seperti bas, biola, kecrek, dan ketipung. Musik cilokak untuk sekarang ini nyaris sama dengan jenis musik tradisi lainnya di negeri ini, yang bersiasat untuk tetap tabah menghadapi gencetan musik modern seperti K-Pop, rock, pop, dan seterusnya yang bisa dijumpai di mana saja, di rumah, di tempat hiburan dan tempat lainnya. Dalam usahanya melestarikan kesenian Cilokak, Pemerintah Kota (Pemkot) Mataram, menggelar festival Cilokak (musik tradisional Sasak) yang melibatkan peserta dari empat kota di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Festival musik tradisional Sasak yang diadakan sebenernya untuk menyongsong HUT ke-64 Kemerdekaan RI dan HUT ke-16 Kota Mataram dan dipusatkan di Taman Gora, Jalan Udayana bulan Maret kemarin. Pesertanya sendiri merupakan perwakilan dari sembilan sanggar kesenian tradisional Sasak yang ada di Pulau Lombok. Dalam Festival Cilokak tersebut, Walikota Mataram yaitu H.M. Ruslan, mengajak semua pihak untuk menyukseskan acara itu demi kelestarian seni musik tradisional Sasak di masa mendatang. Antusiasme masyarakat Lombok terhadap musik tradisonal yang masih tergolong baik di tengah kehidupan modernisasi sendiri membuat Festival Cilokak tersebut berjalan lancar. Kearifan lokal yang dilakukan masyarakat Lombok dalam mengembangkan budaya di negara kita dan kancah internasional beda dengan kearifan lokal kaum muda jaman sekarang dalam mengembangkan budaya. Bagaimana tidak sekarang pengembangan budaya lebih menjadi bahan untuk bisnis dan mencari keuntungan ekonomi bukan untuk melestarikan dan mengembangkannya. Culturepreneurshipseperti itu sebenarnya pengembangan dan penerapan kewirausahaan dalam industri budaya dan kreatif. Culturepreneurship sendiri merupakan

konsep yang akan membangun paradigma baru dalam melestarikan budaya Indonesia yang berbasis Keraifan Lokal Indonesia namun lebih melihat ke keuntungan dari sisi ekonomi.Culturepreneurship ini merupakan perwujudan kreatifitas pelestarian budaya yang menarik untuk dinikmati, serta memiliki misi untuk mengenalkan esensi budaya tersebut kepada dunia Internasional. Spirit Culturepreneurship merupakan perwujudan keinginan untuk mengembangkan budaya dengan berbasis Kearifan Lokal Indonesia dan nilai-nilai positif seorang wirausahawan budaya demi kemajuan dan eksistensi budaya Indonasia. Meskipun di Indonesia sekarang ini kearifan lokalnya lebih melihat ke sisi ekonomi, namun tak masalah jika hal tersebut dapat melambungkan budaya musik tradisional di kancah internasional dan membuat masyarakat Indonesia tidak lagi terbawa budaya asing. Selain dengan kearifan lokal seperti Culturepreneurship, Indonesia juga dari pihak pemerintah seharusnya meng-embargo budaya asing yang masuk ke Indonesia agar budaya dari negara kita tidak kalah saing dengan budaya asing dalam hal pembudayaannya. Melihat Indonesia sendiri yang mempunyai banyak budaya, seharusnya masyarakat sendiri dapat memilih salah satu dari ke-multikultural-an budaya Indonesia. Bukannya malah mengambil budaya asing sebagai kiblat gaya hidup. Alahkah baiknya kalau masyarakat kita perlu sadar akan kearifan lokal untuk mengatasi hal tersebut seperti yang dilakukan masyarakat Solo dan Lombok.

Sumber : Barker, Chris. 2009. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Bantul: Kreasi Wacana. Budiman, M. Arif. 2012. Cilokaq: Cilokaq, Merdu dan Menghibur. Diakses darihttp://arifhendem.blogspot.com pada tanggal 25 April 2012. Haryani, Tiyas Nur. 2012. Hallyu Menantang Indonesia. Diakses dari http://www.harianjogja.com pada tanggal 16 April 2012. Koentjaranigrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi: Edisi Baru. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya Sawega, Ardus M. 2008. Festival Keroncong Internasional di Solo. Diakses dari http://www.kompas.com pada tanggal 16 April 2012. Suryohadiprojo, Sayidiman. 1987. Menghadapi Tantangan Masa Depan. Jakarta: PT Gramedia

Anda mungkin juga menyukai