Anda di halaman 1dari 6

Nama Anggota Kelompok 2 (Bahasa Indonesia):

1. Aqiyah Nur Rizky


2. M. Sabirin Asikin
3. Muh. Rafly Yusdi
4. Nur Azizah Zochrah Yusran
5. Rahmat Al Faqih
Artikel
Pengaruh K-Pop di Indonesia

K-Pop atau korean pop adalah salah satu jenis musik yang berasal dari Korea Selatan dan
hampir seluruh warga negara Indonesia mengenalnya. Bahkan beberapa tahun lalu ada istilah
demam K-Pop yang melanda Indonesia. Tetapi tidak hanya negara Indonesia melainkan hampir
seluruh negara di dunia. K-Pop mulai masuk di Indonesia pada tahun 2002, tepatnya saat drama
korea yang berjudul “Winter Sonata” tayang di salah satu stasiun televisi Indonesia. Setelah itu,
disusul dengan judul drama korea lainnya.

K-Pop dikaitkan paling dekat dengan musik, musik K-Pop dibawakan oleh grup vokal
baik boyband maupun girlband seperti EXO, Super Junior, dan SNSD yang sudah lama menjadi
idola K-Pop. K-Pop mengandung aliran musik dance, hip-hop, serta unsur koreografi dan kostum
yang menarik. K-Pop banyak digandrungi oleh masyarakat terutama remaja. Adapula dampak
dari pengaruh K-Pop terhadap budaya, generasi penerus bangsa, dan lain-lain.

Ada beberapa dampak atau pengaruh negatif K-Pop antara lain. Pertama, mengurangi
rasa cinta terhadap musik Indonesia seperti melayu dan dangdut. Kedua, musik Indonesia lama
kelamaan akan hilang, dengan adanya K-Pop ini akan berpengaruh pula terhadap permusikan
Indonesia. Ketiga, masayarakat kita khususnya para remaja banyak yang lupa akan identitas diri
sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidup mereka cenderung meniru budaya K-Pop.
Keempat, menjadikan anak individualisme dan lebih fanatik atau rasa suka berlebihan terhadap
budaya K-Pop. Kelima, rela membeli tiket konser yang mahal untuk membeli tiket atau aksesoris
yang berbau K-Pop. Pendapat yang disajikan tersebut mungkin benar. Akan tetapi, tidak hanya
dampak negatif namun ada juga dampak positif dari budaya K-Pop.

Beberapa dampak positif dari budaya K-Pop sebagai berikut. Pertama, kecintaan
masyarakat pada musik semakin tinggi, banyaknya ragam musik dapat menambah wawasan
genre di negara ini. Kedua, bakat-bakat yang selama ini terpendam dapat dikembangkan atau
diekspresikan, dalam hal kreativitas modern dan bisa belajar dance, olah vokal, dan genre
musiknya. Ketiga, menjadikan motivasi dalam berkarya atau meunjukkan bakatnya. Keempat,
meniru semangat sifat kerja keras dan tidak berputus asa. Kelima, memiliki banyak teman dari
luar kota bahkan luar negeri, dan menambah pengalaman dengan berbagai teman di seluruh
penjuru dunia.

Adapun cara mengatasi dampak negatif budaya K-Pop di Indonesia, asalkan budaya
tersebut sama dengan kepribadian bangsa namun kita harus tetap menjaga agar budaya kita tidak
luntur. Pertama, menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, seperti mencintai produk
dalam negeri. Kedua, lebih selektif terhadap budaya asing atau korea yang masuk ke Indonesia,
seperti menyeleksi nilai-nilai budaya asing diperlukan dalam hal ini baik untuk perkembangan
kemajuan di Indonesia bisa menjadi panutan seperti etos kerja yang tinggi dan lain-lain.

Ketiga, menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dengan sebaik-baiknya


secara dini. Keempat, memelihara dan mengembangkan budaya nasional sebagai jati diri bangsa
Indonesia. Kelima, mempromosikan kebudayaan kesenian Indonesia agar masyarakat tertarik
untuk ikut melestarikan kebudayaan Indonesia tersebut, jangan sampai kebudayaan kita diakui
oleh negara lain misalnya seperti batik yang mereka akui itu adalah pakaian tradisional yang
berasal dari negaranya, reog ponorogo yang seharusnya berasal dari Jawa Timur, dengan
mudahnya mereka mengakui kalau itu adalah kesenian yang berasal dari negaranya, begitu juga
dengan alat musik angklung, lagu Rasa Sayange, bahkan rendang sampai mereka akui adalah
makanan yang berasal dari negara mereka.

Dengan demikian, budaya K-Pop sangat berpengaruh terhadap budaya, remaja, dan gaya
hidup di Indonesia. Saya tidak setuju dengan orang-orang yang mengatakan bahwa K-Pop
hanyalah membawa dampak negatif saja. Namun, saya lebih setuju dengan yang dikatakan
penulis bahwa K-Pop tidak hanya membawa dampak negatif tetapi juga ada dampak positifnya.
Apabila menyukai K-Pop lebih baik juga melakukan beberapa cara untuk mengatasi dampak
negatif K-Pop, terutama remaja. Karena, remaja merupakan generasi penerus bangsa yang
nantinya akan mengelola negara ini menjadi lebih baik lagi.

Kritik:
Berdasarkan teks tersebut, penulis secara tidak langsung dapat menyampaikan pesan kepada para
pembaca bahwa K-Pop merupakan bentuk kesenian dance dan musik yang melibatkan gaya
kostum yang modern, selain itu, untuk boyband dikaitkan juga dengan dandanan khusus yang
lazim menurut budaya Korea. Namun budaya tersebut terasa berbeda dengan budaya Indonesia
yang vokalisnya lebih maskulin apabila tampil di atas panggung. Namun, mau tidak mau, budaya
yang berbeda memberikan keberagaman yang patut dimaknai dan dihargai. Penulis memberikan
pembaca kesempatan untuk memahami dua budaya berbeda yang diekspresikan dalam bentuk
seni tarian atau dance. Dengan itu, para pembaca dapat memahami bahwa dua perbedaan itu
tidak dapat disatukan, tetapi memberikan kekhasannya masing-masing. Sehingga K-Pop dan
tarian baik modern, maupun tradisional Indonesia dapat saling mendukung. Dan
mengembangkan keseniannya sesuai dengan kebudayaan masing-masing.

Namun, segala upaya yang diberikan penulis untuk para remaja yang kecanduan dengan K-Pop
masih kurang kuat dan penerapan upayanya masih tidak cukup spesifik untuk membujuk
penggemar K-Pop dari Indonesia agar tidak berlebihan dalam mengagumi K-Pop. Seakan sebatas
wacana, namun pembuktian atas upaya-upaya tersebut harus tetap diusahakan. Walaupun secara
realita, masih banyak penggemar tersebut yang mengabaikan upaya-upaya tersebut dengan
alasan bahwa K-Pop lebih menarik dan mereka cenderung berlaku konsumtif atau hanya sebatas
menikmati karya K-Pop saja. Tanpa berpikir bahwa budaya kesenian Indonesia juga seharusnya
dikenal lebih luas.
Esai
Pentingnya Sastra bagi Generasi Muda

Sejatinya sastra merupakan unsur yang amat penting yang mampu memberikan wajah
manusiawi, unsur-unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif, harmoni, irama,
proporsi, dan sublimasi dalam setiap gerak kehidupan manusia dalam menciptakan kebudayaan.
Apabila hal tersebut tercabut dari akar kehidupan manusia, menusia tidak lebih dari sekadar
hewan berakal. 

Untuk itulah sastra harus ada dan selalu harus diberadakan. Sayangnya, untuk kita, bangsa
Indonesia, sastra dan kesenian nyatanya kian terpinggirkan dari kehidupan berbangsa. Padahal,
kita adalah bangsa yang berbudaya.

Dalam dunia pendidikan sastra dianggap hafalan belaka. Siswa mengenal novel-novel sastra
seperti Sengsara Membawa Nikmat, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan sebagainya hanya karena
mereka ”terpaksa” atau mungkin ”dipaksa” menghafal beberapa sinopsis dari beberapa karya
yang benar-benar singkat yang ada dalam buku pelajaran, yang mereka khawatirkan muncul
ketika ujian.

Akibatnya bagi siswa, sastra hanyalah aktivitas menghafal, mencatat, ujian, dan selesai.
Metodenya hampir sama dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi. Sehingga, minat terhadap
dunia sastra benar-benar tidak terlintas di benak kebanyakan generasi kita. 

Fenomena semacam itu semakin parah melanda generasi muda di daerah-daerah, terutama
daerah pedalaman. Walaupun begitu, tidak bisa dipungkiri, itu juga melanda generasi muda di
perkotaan.

Beberapa waktu lalu penulis sempat berbincang-bincang dengan seorang guru bahasa Indonesia
sebuah sekolah favorit di Pamekasan, Madura, di sebuah warung kopi sebelah rumah. Iseng-
iseng, penulis bertanya tentang perkembangan sastra siswasiswinya.

Dan jawabannya sungguh mengejutkan, ”Yah, menurut saya, yang terpenting bagi mereka adalah
mampu menjawab soal-soal UAN yang berkenaan dengan sastra. Sebab, malu rasanya jika nilai
bahasa Indonesia jeblok.” Sangat ironis jawaban seperti itu.

Selang beberapa waktu kemudian, setelah pembicaraan saya dengan guru bahasa Indonesia itu,
terjadi peristiwa yang mengejutkan di Pamekasan. Ada tawuran antarpelajar atau tepatnya
tawuran antarkelas yang dilakukan oleh beberapa siswa dari sekolah terfavorit di Pamekasan. 

Namun, entah karena apa, peristiwa ini tidak diekspos oleh media massa, koran lokal sekalipun.
Padahal, dalam tawuran itu dua orang siswa harus dirawat intensif di RSUD Pamekasan. Tentu
saja, terjadinya tawuran tersebut, kesalahan tidak bisa dilimpahkan sepenuhnya kepada siswa. 

Sekolah pun mestinya memiliki tanggung jawab penuh untuk merefleksi diri mengapa tawuran
antarpelajar sering terjadi akhir-akhir ini. Sebab, ada kemungkinan kesalahan dalam mendidik
dan memberikan metode pendidikan. Dan salah satunya jelas karena kurangnya pengayaan
terhadap sastra.

Sastra adalah vitamin batin, kerja otak kanan yang membuat halus sikap hidup insani yang jika
benar-benar dimatangkan, akan mampu menumbuhkan sikap yang lebih santun dan beradab.

Tentu akan lain ceritanya jika sekolah lebih mengembangkan sastra kepada siswasiswinya.
Ambil contoh kecil, misalnya pengembangan berpuisi. 

Selain keseimbangan olah jiwa, kepekaan terhadap lingkungan yang memiliki unsur-unsur
keindahan, siswa akan semakin mengerti tentang hakikat dan nilai-nilai kemanusiaan. 

Jiwa kemanusiaan semakin tebal, maka jiwa-jiwa kekerasan yang ada dalam diri manusia akan
tenggelam dengan sendirinya. Sebab, jarang sekali puisi dan kekerasan tampil dalam tubuh
kalimat
yang sama.

Terkait dengan itu, beberapa hasil penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa ternyata berpuisi
sebagai salah satu bagian dari sastra selain mampu memanajemen stress, yang notabene pemicu
dari lahirnya tindak kekerasan, juga memberikan efek relaksasi serta mencegah penyakit jantung
dan gangguan pernapasan (Hendrawan Nadesul, Kompas, 23/07/04).

Maka, tidak bisa lagi kita mengelak dengan mengatakan bahwa sastra hanyalah permainan kata-
kata. Kata-kata yang dibolak-balik, diakrobatkan, diliuk-liukan di udara imajinasi agar terkesan
wah, indah, dan bersahaja bagi siapa saja yang membacanya.

Sebab, ternyata dari hasil penelitian di atas, sastra mampu menduduki posisi sebagai terapi
alternatif terhadap beberapa penyakit. Sehingga, menjadi wajar bahwa penulis di sini sangat
menekankan untuk sekolahsekolah terus-menerus memberikan waktu yang lebih banyak pada
siswanya untuk melatih imajinasi melalui karya-karya sastra baik itu puisi, cerpen, teater,
maupun drama.

Sebab, selain untuk memupuk minat terhadap sastra dan mengembangkan imajinasinya sebagai
penunjang pengetahuan yang lainnya, diharapkan juga nantinya mampu melahirkan para
budayawan dan sastrawan terkenal sebagai pengganti ”pendekar” sastra pilih tanding yang tidak
produktif lagi karena usia dan satu per satu telah meninggalkan kita. 

Sebut saja Hamid Jabbar, Mochtar Lubis, dan Pramudya Ananta Toer. Caranya adalah sekolah
harus membuka lowongan pekerjaan untuk seniman-seniman profesional yang cenderung urakan
di mata masyarakat untuk menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia sebagai pengganti dari guru
bahasa Indonesia lulusan universitas yang selalu terikat dengan kurikulum sehingga kebanyakan
dari mereka tidak mampu mengembangkan minat sastra pada siswa-siswinya. 

Bisa juga dengan memberikan waktu khusus untuk para seniman, sastrawan muda berbakat
untuk memberikan pelajaran sastra.

Nah, kalau tidak segera digagas mulai sekarang, kapan lagi kita akan mampu melestarikan
kesastraan kita yang besar dan unik itu, serta siapa yang akan menggantikan generasi tua?

Anda mungkin juga menyukai