Anda di halaman 1dari 17

PERKEMBANGAN BUDAYA DI INDONESIA

Seperti yang kita ketahui, perkembangan budaya indonesia salalu saja naik dan turun. Pada
awalnya, indonesia sangat banyak mempunyai peninggalan budaya dari nenek moyang kita
terdahulu, hal seperti itulah yang harus dibanggakan oleh penduduk indonesia sendiri, tetapi
sekarang-sekarang ini budaya indonesia agak menurun dari sosialisasi penduduk kini telah
banyak yang melupakan apa itu budaya Indonesia. Semakin majunya arus globalisasi rasa
cinta terhadap budaya semakin berkurang, dan ini sangat berdampak tidak baik bagi
masyarakat asli Indonesia. Terlalu banyaknya kehidupan asing yang masuk ke Indonesia,
masyarakat kini telah berkembang menjadi masyarakat modern.. namun akhir-akhir ini
indonesia semakin gencar membudidayakan sebagian budaya indonesia, buktinya,
masyarakat luar lebih mengenal budaya indonesia dibandingkan masyarakat indonesia.

Sebagai contoh adalah batik hasil dari budaya indonesia, batik tersebut belakangan ini
termasuk bahan-bahan yang diminati oleh masyarakat luar. Muncul trend ini dikarenakan
batik telah diresmikan bahwa batik tersebut telah ditetapkan oleh UNESCO pada hari jumat
tanggal 02 oktober 2009 sebagai warisan budaya indonesia, dan hari itulah ditetapkannya
sebagai hari batik nasional.

Ada sejumlah kekuatan yang mendorong terjadinya perkembangan sosial budaya masyarakat
Indonesia. Secara kategorikal ada 2 kekuatan yang mmicu perubahan sosial, Petama, adalah
kekuatan dari dalam masyarakat sendiri (internal factor), seperti pergantian generasi dan
berbagai penemuan dan rekayasa setempat. Kedua, adalah kekuatan dari luar masyarakat
(external factor), seperti pengaruh kontak-kontak antar budaya (culture contact) secara
langsung maupun persebaran (unsur) kebudayaan serta perubahan lingkungan hidup yang
pada gilirannya dapat memacu perkembangan sosial dan kebudayaan masyarakat yang harus
menata kembali kehidupan mereka .

Didalam budaya seni, indonesia mempunyai kemajuan. khususnya Tarian tradisional telah
mengalami kemajuan yang cukup baik dan telah meranjak ke internasional. Akan tetapi ada
beberapa bagian dari budaya indonesia yang di klaim oleh negara lain. Berikut, data dari
budaya yang di klaim oleh negara lain:

1. batik dari jawa oleh Adidas

2. Naskah kuno dari riau oleh pemerintah malaysia

3. Naskah kuno dari sumatera barat oleh pemerintah malaysia

4. Naskah kuno dari sulawesi selatan oleh pemerintah malaysia

5. Naskah kuno dari sulawesi tenggara oleh pemerintah malaysia

6. rendang dari Sumatera Barat oleh Oknum WN Malaysia

7. Sambal bajak dari jawa tengah oleh oknum WN belanda

8. Sambal petai dari riau oleh oknum WN belanda


9. tempe dari jawa oleh beberapa perusahaan asing

10. lagu rasa sayange dari maluku oleh pemerintah malaysia

11. Tari reog ponorogo dari jawa timur oleh pemerintah malaysia

12. Lagu soleram dari riau oleh pemerintah malaysia

13. Lagu injit-injit semut dari jambi oleh pemerintah malaysia

14. Alat musik gamelan dari jawa oleh pemerintah malaysia

15. Tari kuda lumping dari jawa timur oleh pemerintah malaysia

16. tari piring dari sumatera barat oleh pemerintah malaysia

17. Lagu kakak tua dari maluku oleh pemerintah malaysia

18. Lagu anak kambing saya dari nusa tenggara oleh pemerintah malaysia

19. Kursi taman dengan ornamen ukir khas jepara jawa tengah oleh oknum WN perancis

20. Pigura dengan ornamen ukir khas jepara dari jawa tengan oleh oknum WN inggris

21. Motif batik perang dari yogyakarta oleh pemerintah malaysia

22. Desain kerajinan perak desak suwarti dari bali oleh oknum WN amerika

23. Produk berbahan rempah-rempah dan tanaman obat asli indonesia oleh shiseido Co. Ltd

24. Badik tumbuk lada oleh pemerintah malaysia

25. kopi gayo dari aceh oleh perusahaan multinasional (MNC) belanda

26. kopi toraja dari sulawesi selatan oleh perusahaan jepang

27. Musik indang sungai garinggiang dari sumatera barat oleh malaysia

28. Kain ulos oleh malaysia

29. alat musik angklung oleh pemerintah malaysia

30.Lagu jali-jali oleh pemerintah malaysia

31. tari pendet dari bali oleh pemerintah malaysia

Dari data tersebut, bisa dibuktikan bahwa masyarakat indonesia sendiri kurang
memperhatikan bagian dari budaya indonesia. dan diharapkan untuk masyarakat indonesia
lebih memperhatikan bagian dari peninggalan budaya indonesia. dan sekarang akan
diupayakan oleh pemerintah agar mendidik anak-anak muda untuk perduli terhadap hal
tersebut, dan lebih mengenalkan dari dini sikap akan pentingnya pengetahuan budaya
indonesia.

Kiriman I Nengah Sarwa dan Wardizal yang telah diterbitkan dalam jurnal Mudra
edisi September 2007

Gambuh (foto: blog.baliwww.com)

Pulau Bali yang juga dikenal dengan sebutan pulau seribu pura dengan mayoritas
penduduknya menganut agama Hindu, merupakan sebuah pulau yang kaya akan aneka ragam
seni pertunjukan. Menurut catatan STSI Denpasar, di awal tahun 1984 tercatat 66 jenis
kesenian yang berkembang di Bali. Berdasarkan pemetaan kesenian yang dilakukan oleh
Universitas Udayana dan STSI Denpasar pada tahun 1992, tercatat adanya 5612 kelompok
seni pertunjukan diseluruh Bali. (Bandem, 1996:62). Tidaklah berlebihan, kalau Mantle Hood
seorang tokoh ethnomusikologi dunia asal Amerika Serikat menyebut Bali adalah sorga dari
dunia seni paradise in the world of arts (Soedarsono, 1999:17).

Gambuh merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan klasik yang tumbuh dan berkembang
di tengah kehidupan sosio-kultural masyarakat Bali dari dahulu sampai sekarang. Gambuh
merupakan suatu istilah yang tidak hanya populer di Bali, akan tetapi diberbagai daerah di
Indonesia, seperti Jawa, Sunda, Sulawesi, Lombok, Madura dan lain sebagainya. Kata
Gambuh tersebut mempunyai pengertian yang berbeda-beda pada setiap daerah. Di Jawa,
kata Gambuh dipakai untuk menyebutkan sejenis kidung (vokal) dan juga nama seekor
belalang (Bandem, 1983:68-69). Secara etimologi, Gambuh berasal dari kata Gam yang
berarti jalan/bergerak dan buh = bhuh = bhu yang berarti bupati atau raja-raja. Gambuh
berarti jalan hidup atau hikayat raja-raja (Bandem, 1975:16-17). Secara ontologis dan
terminologis banyak pendapat yang bermunculan terkait dengan pengertian kata Gambuh.
Menurut I Made Bandem, Gambuh adalah terlalu kasih kepada orang yang tidak bisa
berterima kasih (bahasa Melayu); kulina wis krep nidake (bahasa Jawa); bisul dan tekes
(bahasa Sunda); bangsa kledek, sedangkan kledek itu sendiri adalah sebuah tari-tarian rakyat
Jawa Tengah yang ditarikan oleh penari-penari wanita. Penari tersebut menyajikan tariannya
di jalan-jalan diikuti oleh beberapa pemain musik Jawa. (Bandem, 1975:25-26). Gambuh
merupakan drama tari paling tua dan dianggap sebagai sumber drama tari Bali. Gambuh
merupakan warisan drama tari yang dipentaskan dalam istana Majapahit tahun 1334 sampai
abad ke 16. Setelah berakhirnya masa kejayaan kerajaan Majapahit di pulau Jawa awal abad
ke 16, terjadi gelombang perpindahan besar-besaran raja-raja Majapahit ke pulau Bali. Di
pulau Bali kebudayaan Hindu berkembang tanpa gangguan sampai Bali ditaklukan oleh
Belanda 1906-1908. Sebagai keluarga bangsawan Jawa yang terbuang ke Bali, mereka hidup
bersama para pengikutnya. Seluruh unsur kebudayaan Bali mereka masukan ke dalam
peninggalan budaya Majapahit termasuk segala aspek kesenian (Bandem, 1996:26-27).
Menurut Dibia, drama tari Gambuh adalah suatu drama tari klasik yang berbentuk total teater,
dimana didalamnya terpadu dengan baik dan harmonis unsur-unsur tari,
tembang/dialog/vokal drama dan sastra (Dibia, 1978:9).

Sebagai salah satu bentuk seni klasik dan tertua di Bali, Gambuh telah mengalami berbagai
periode historis, masa populer atau kurang populer. Gambuh pernah mengalami masa-masa
kejayaan, ketika ia terlahir sebagai seni istana dan diayomi oleh para raja. Dalam
kapasitasnya sebagai seni istana (puri) serta dukungan yang sangat kuat dari raja yang cinta
akan perkembangan kebudayaan, Gambuh mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Gambuh menjadi seni kesayangan seisi puri dan masyarakat sekitarnya. Kondisi ini telah
menyebabkan Gambuh tumbuh dan berkembang menjadi teater besar istana pada abad ke-19.
Hal ini semakin mendapat legitimasi dimana kebanyakan istana pada abad ke-19 memilki
bangsal khusus yang disebut bangsal Gambuh atau bale pegambuhan (Formagia, 2000:21).
Dalam realitasnya sekarang, masa-masa kejayaan Gambuh mungkin hanya tinggal kenangan.
Kemajuan yang begitu pesat dibidang ilmu pengatahuan dan teknologi (khususnya teknologi
informasi) telah membawa dampak yang luar biasa terhadap perubahan sosio-kultural
masyarakat. Kesenian Gambuh mulai ditinggalkan, dan pertunjukan Gambuh sepi penonton.

Artikel ini, mencoba mengungkap tentang pasang surut Gambuh Pedungan di tengah laju
budaya global (global culture). Secara umum, keadaan dan perkembangan Gambuh
Pedungan (Gambuh yang ada di kelurahan Pedungan Kota Denpasar), tidak jauh berbeda
dengan Gambuh yang terdapat pada daerah-daerah lainnya di Bali. Secara historis, Gambuh
Pedungan merupakan seni istana yang erat kaitanya dengan puri Satria dan puri Pemecutan
(Formagia,2000:21). Sebagai seni istana (puri), keadaan dan perkembangan Gambuh
Pedungan mendapat perlindungan dan pengayoman dari raja. Pada waktu itu, penguasa (raja)
masih tertarik melestarikan semua bentuk tradisi teater dan seni daerah. Pada zaman
pemerintahan raja-raja di Bali, Gambuh Pedungan sering mengadakan pertunjukan di puri
Pemecutan dan puri Satria. Besarnya perhatian raja dan keterkaitan Gambuh dengan istana
(puri), khususnya puri Satria dan Pemecutan, telah menyebabkan Gambuh Pedungan tumbuh
dan berkembang dan mencapai puncak keemasannya. Kondisi tersebut juga telah melahirkan
penari-penari Gambuh handal. Satu di antara penari yang paling terkenal adalah I Gede
Geruh (almarhum), yang sangat besar jasa dan kontribusinya terhadap pelestaraian,
perkembangan dan keberlanjutan Gambuh Pedungan. Pada masa jayanya Gambuh Pedungan,
pekak Geruh memang tidak semasyur sekehe Gambuh desa Batuan, Kabupaten Gianyar.
Namun, Gambuh Pedungan yang termasuk dalam kawasan kota Denpasar itu menyimpan
mutiara yang terpendam di dalamnya, yakni I Gede Geruh. Pada masa mudanya beliau
sanggup memerankan semua tokoh yang ada dalam seni Pegambuhan. Atas kemampuannya
itu, Geruh diminta oleh masyarakat untuk mengajarkan tari Gambuh sampai ke desa Depeha
Buleleng dan desa-desa lainya di Bali. Walaupun pekak Geruh hidup dengan penuh
kesederhanaan, mengaku merasa bangga karena banyak anak didiknya menjadi orang yang
menempati posisi penting serta sukses dalam meniti karir. Beliau mengabdikan diri
sepenuhnya dalam dunia seni dan mewariskan keahliannya itu kepada pelajar/mahasiswa di
Kokar dan ASTI Denpasar. Penghargaan yang dimiliki antara lain Kerti Budaya dari Pemda
Badung tahun 1973; Tanda penghargaan sebagai Dosen luar biasa ASTI Denpasar tahun
1979; Piagam Dharma Kusuma Madya dari Pemda Bali tahun 1981; dan Cincin Emas Ciwa
Nata Raja dari STSI Denpasar tahun 1994.
Pasang surut Gambuh Pedungan sesungguhnya sudah dirasakan semenjak tahun 70-an. Pada
saat itu, Gambuh Pedungan mengalami kemunduran sampai pada taraf yang sangat
memperihatinkan. Sebagian besar penari dan penabuh Sekaa Gambuh Pedungan telah berusia
lanjut. Struktur pertunjukannya dengan komposisi tari dan tabuh yang dulunya lengkap (utuh)
sudah tidak lengkap lagi. Instrumen gamelan pengiring tari juga telah banyak yang rusak,
sehingga dalam setiap pementasan selalu memakai gamelan yang tidak lengkap (Sudana,
1993:2-3). Dalam perkembangan jaman sekarang ini yang semakin mengglobal Gambuh
Pedungan mulai ditinggalkan, dan regenerasi dibidang seni pertunjukan Gambuh dirasakan
cukup sulit (Sudiana, 2000:5).

Pasang Surut Gambuh Pedungan Di Tengah Laju Budaya Global, selengkapnya

Untuk Memberikan komentar gunakan Fasilitas Forum > Berita. Fasilitas ini dapat diakses
melalui alamat: http://forum.isi-dps.ac.id

Optimalisasi Peran Mahasiswa dalam Pelestarian Budaya

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki Keanekaragaman budaya yang dipandang sebagai
sebuah kekayaan bukan kemiskinan. Bahwa Indonesia tidak memiliki identitas
budaya yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan
keanekaragaman budaya yang ada membuktikan bahwa masyarakat kita
memiliki kualitas produksi budaya yang luar biasa, jika mengacu pada
pengertian bahwa kebudayaan adalah hasil cipta manusia.
Menurut Bapak Antropologi Indonesia, Koenjtaraningrat, Kebudayaan atau
budaya berasal dari kata Sansekerta buddayah yaitu bentuk jamak dari buddhi
yang artinya budi atau akal. Oleh karena itu, kebudayaan adalah keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Pengertian
tersebut merujuk pada gagasan J. J Honigmann tentang wujud kebudayaan atau
disebut juga gejala kebudayaan. Honigmann membagi kebudayan kedalam tiga
wujud, yakni kebudayaan dalam wujud ide, pola tindakan dan artefak atau
benda-benda.
Pengertian di atas bila dikaitkan dengan perkembangan kebudayaan
modern kita patut bertanya dimanakah peranan kebudayaan Indonesia? Apa
kebudayaan Indonesia itu? Unsur apa yang mempengaruhinya? Ini menjadi
pertanyaan yang beruntun yang mesti dicarikan akar jawabannya semuanya.
Jangan sampai Indonesia menjadi bangsa yang tidak punya identitas jati diri
bangsa di era globalisasi saat ini.
Sehubungan dengan keprihatinan itu, mau tidak mau harus disadari dan
diakui bahwa eksistensi seni dan budaya daerah di Indonesia semakin lama
semakin tergerus oleh ekspansi seni dan budaya global. Apabila hal ini terus
berlangsung, maka kita semakin tidak apresiatif terhadap seni dan budaya
daerah, yang pada gilirannya akan terasing dari seni dan budaya sendiri,
sehingga akan kehilangan jati diri. Oleh karena itu, berbagai upaya harus
dilakukan untuk melestarikan seni dan budaya daerah di tengah-tengah
perubahan zaman dan pengaruh budaya asing yang semakin gencar di
Indonesia.

B. TUJUAN
Tulisan ini bertujuan untuk membahas tentang kemungkinan-kemungkinan
yang dapat dilakukan untuk mengoptimalisasi peran mahasiswa dan lembaga
kebudayaan dalam pelestarian seni dan budaya daerah.

C. SASARAN
Mengoptimalisasi peran mahasiswa dan lembaga kebudayaan dalam pelestarian
seni dan budaya daerah.
BAB II
PERMASALAHAN

A. PENGERTIAN SENI DAN BUDAYA DAERAH


Seni Daerah
Seni (karya seni) telah banyak didefinisikan orang. Pengertian seni yang
banyak kita pahami adalah hasil tindakan yang berwujud, yang merupakan
ungkapan suatu cita (keinginan, kehendak) ke dalam bentuk fisik yang dapat
ditangkap dengan indera (Rustopo, 2001: 98).[3] Sementara itu, seni daerah
merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut bentuk-bentuk seni
yang tumbuh dan berkembang di daerah-daerah yang didukung oleh komunitas
masyarakat setempat. Istilah itu juga digunakan untuk membedakannya dari
bentuk-bentuk seni yang dianggap seni nasional dan bentuk-bentuk seni yang
dianggap berasal dari wilayah budaya asing (Rustopo, 2001: 101-102). Oleh
karena tumbuh dan berkembang di daerah tertentu dan didukung oleh
komunitas masyarakat setempat, maka seni daerah ini biasanya berupa seni
tradisi yang salah satu di antaranya juga menjadi atau digunakan sebagai
identitas suatu daerah tertentu.
Seni tradisi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu seni kerakyatan dan seni
keraton. Seni kerakyatan memiliki ciri-ciri: a) tumbuh sebagai bagian
kebudayaan masyarakat tradisional di wilayah masing-masing, b) memiliki ciri
khas dari masyarakat petani yang tradisional, c) perkembangannya lamban, d)
merupakan bagian dari satu kosmos kehidupan yang bulat tanpa terbagi dalam
pengkotakan spesialisasi, e) karya seni bukan merupakan hasil kreativitas
perseorangan, bersifat anomim sesuai dengan sifat kolektivitas masyarakat
pendukungnya, f) bentuk seninya bersifat fungsional dalam arti tema, g) bentuk
ungkap dan penampilannya berkaitan dengan kepentingan petani, h) tidak halus
dan tidak rumit, i) penguasaan terhadap bentuk semacam itu tidak melalui
latihan-latihan khusus, j) peralatan sederhana dan terbatas, k) dalam penyajian
seolah-olah tidak ada jarak antara pemain dan penonton.
Dalam perkembangan, pusat orientasi kosmos bergeser kepada raja
penguasa, dan seni tradisi dikembangkan menjadi seni yang beorientasi ke pusat
baru, yaitu keraton. Muncullah seni keraton yang merupakan penghalusan dari
seni kerakyatan. Seni keraton memiliki ciri-ciri yang berlawanan dengan seni
kerakyatan. Ciri-ciri seni keraton adalah: a) didukung oleh komunitas keraton, b)
bentuk dan isinya tergarap halus, c) penguasaan terhadapnya memerlukan
latihan yang tekun dan lama, dan d) peralatannya kompleks. Dalam
perkembangan, seni keraton juga berkembang ke luar tembok keraton, ke
tengah-tengah masyarakat kota dan desa-desa meskipun tidak deras dan merata
(Kayam, 1981: 59-60; Humardani via Rustopo, 2001: 106-108).
Adapun contoh seni tradisi kerakyatan di Jawa Tengah adalah Tayub, Rodat,
Angguk, Dolalak, Emprak, Barongan, Sintren, dan sebagainya. Sementara itu,
seni tradisi keraton berupa seni tari, karawitan, pedalangan, seni rupa, dan
sastra. Sekedar sebagai contoh seni tradisi keraton adalah tari bedhaya, srimpi,
dan wayang wong.
Budaya Daerah
Budaya (sering juga disebut kebudayaan) adalah keseluruhan sistem
gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat,
1984: 9; dan 1986: 180). J.J. Honigmann dalam The World of Man (1959)
membedakan adanya tiga gejala kebudayaan, yaitu ideas, activities, dan
artifacts.
Sejalan dengan hal tersebut Koentjaraningrat mengemukakan bahwa
kebudayaan dapat digolongkan dalam tiga wujud. Pertama, wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan
peraturan. Wujud pertama merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang bersifat
abstrak (tidak dapat diraba, dipegang, atau difoto), berada di alam pikiran warga
masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Kebudayaan ideal ini
disebut pula tata kelakukan yang berfungsi mengatur, mengendalikan, dan
memberi arah kepada tindakan, kelakuan, dan perbuatan manusia dalam
masyarakat. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut wujud ideal dari
kebudayaan ini dengan cultural system (sistem budaya) yang dalam bahasa
Indonesia dikenal dengan istilah adat atau adat istiadat (dalam bentuk jamak).
Kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud kebudayaan tersebut dinamakan
sistem sosial (social system). Wujud kebudayaan ini dapat diobservasi, difoto,
dan didokumentasi karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-aktivitas
manusia yang berinteraksi satu dengan yang lain. Sistem sosial merupakan
perwujudan kebudayaan yang bersifat konkret dalam bentuk perilaku dan
bahasa. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia;
bersifat paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat dilihat,
diraba, dan difoto. Wujud kebudayaan yang ketiga ini disebut kebudayaan fisik
(material culture).
Ketiga wujud kebudayaan dalam realitas kehidupan masyarakat tentu tidak
dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Kebudayaan ideal mengatur dan
memberi arah kepada tindakan dan karya manusia. Ide-ide dan tindakan
menghasilkan benda-benda yang merupakan kebudayaan fisik. Sebaliknya
kebudayaan fisik membentuk lingkungan hidup tertentu yang dapat
mempengaruhi tindakan dan cara berpikir masyarakat (Koentjaraningrat, 1984:
5-6; dan 1986: 186-188).
Sementara itu, budaya daerah merupakan istilah yang biasanya digunakan
untuk membedakan suatu budaya dari budaya nasional (Indonesia) dan budaya
global. Budaya daerah adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang
menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang
dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain. Di Indonesia istilah
budaya daerah juga sering disepadankan dengan budaya lokal atau budaya
etnik/ subetnik. Setiap bangsa, etnik, dan sub etnik memiliki kebudayaan yang
mencakup tujuh unsur, yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial,
sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi,
dan kesenian (Koentjaraningrat, 1986: 203-204). Namun demikian, sifat-sifat
khas kebudayaan hanya dapat dimanifestasikan dalam unsur-unsur terbatas,
terutama melalui bahasa, kesenian, dan upacara. Unsur-unsur yang lain sulit
untuk menonjolkan sifat-sifat khas kebudayaan suatu bangsa atau suku bangsa.

B. SIGNIFIKASI PELESTARIAN SENI DAN BUDAYA DAERAH


Seni dan budaya daerah perlu dilestarikan karena dianggap masih berguna
dan relevan dengan kehidupan. Kebergunaan dan relevansi seni dan budaya
daerah terletak pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Di setiap unsur
kebudayaan yang telah disebutkan beserta sub-sub unsurnya dapat dipastikan
mengandung nilai-nilai yang berguna bagi masyarakat pemiliknya. Kebergunaan
itu terdapat misalnya dalam hal-hal sebagai berikut.
a. Bentuk-bentuk ekspresi seni yang berkembang dalam suatu kebudayaan
dirasakan tetap memberikan rasa kepuasan estetik.
b. Nilai budaya dan norma dalam kebudayaan tertentu tetap dianggap sebagai
pemandu perilaku yang menentukan keberadaban, seperti kebajikan,
kesantunan, dan keanggunan.
c. Teknologi beserta teknik-tekniknya dalam praktik dianggap merupakan
keunggulan yang dapat dipersandingkan dan dipersaingkan dengan teknologi
yang dikenal dalam kebudayaan lain.
d. Suatu rangkaian tindakan upacara tetap dianggap mempunyai makna simbolik
yang dapat diterima meskipun sistem kepercayaan telah berubah.
e. Permainan tradisional dan berbagai ekspresi folklor lain tetap dianggap
mempunyai daya kreasi yang sehat (Sedyawati, 2008: 280).
Walaupun kebudayaan mengalami perubahan dan perkembangan, namun
jati diri suatu kebudayaan dapat lestari; artinya lestari yang dinamis, yaitu ciri-
ciri pengenalnya secara keseluruhan tetap dimiliki, meskipun bentuk-bentuk
ungkapan di dalamnya dapat mengalami perubahan (Sedyawati, 2008: 290).
Oleh karena itu, pelestarian yang dilakukan pun juga merupakan pelestarian
dinamis. Berkaitan dengan seni dan budaya daerah, upaya-upaya pelestarian
dinamis yang dapat ditempuh antara lain:
a) Pendokumentasian secermat mungkin dengan menggunakan media-media
yang sesuai; hasil dokumentasi ini selanjutnya dapat dijadikan sebagai sumber
acuan dengan syarat disimpan di tempat yang aman dan diregistrasi secara
sistematis agar penelusurannya mudah.
b) Pembahasan dalam rangka penyadaran, khususnya tentang nilai-nilai budaya,
norma, dan estetika.
c) Pengadaan acara penampilan yang memungkinkan orang mengalami dan
menghayati (Sedyawati, 2008: 280).
Dengan kegiatan pelestarian dinamis itu, diharapkan akan terbentuk suatu
kesadaran kultural yang terdapat pada setiap insan Indonesia. Sekarang
persoalannya adalah bagaimana kedudukan dan peranan mahasiswa dan
lembaga kebudayaan dalam pelestarian dinamis seni dan budaya daerah itu.
Berikut ini disampaikan cara-cara untuk mengoptimalisasikan mahasiswa dan
lembaga kebudayaan dalam pelestarian seni dan budaya daerah.

C. OPTIMALISASI PERAN MAHASISWA DAN LEMBAGA KEBUDAYAAN


Optimalisasi Peran Mahasiswa
Mahasiswa memiliki kedudukan dan peranan penting dalam pelestarian
seni dan budaya daerah. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa mahasiswa
merupakan anak bangsa yang menjadi penerus kelangsungan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Sebagai intelektual muda
yang kelak menjadi pemimpin-pemimpin bangsa, pada mereka harus
bersemayam suatu kesadaran kultural sehingga keberlanjutan negara bangsa
Indonesia dapat dipertahankan. Pembentukan kesadaran kultural mahasiswa
antara lain dapat dilakukan dengan pengoptimalan peran mereka dalam
pelestarian seni dan budaya daerah.
Optimalisasi peran mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah
dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu intrakurikuler dan ekstrakulikuler. Jalur
Intrakurikuler dilakukan dengan menjadikan seni dan budaya daerah sebagai
substansi mata kuliah; sedangkan jalur ekstrakurikuler dapat dilakukan melalui
pemanfaatan unit kegiatan mahasiswa (UKM) kesenian dan keikutsertaan
mahasiswa dalam kegiatan-kegiatan seni dan budaya yang diselenggarakan oleh
berbagai pihak untuk pelestarian seni dan budaya daerah.
Jalur Intrakurikuler
Untuk mengoptimalkan peran mahasiswa dalam pelestarian seni dan
budaya daerah diperlukan adanya pemahaman mahasiswa terhadap seni dan
budaya daerah. Tanpa adanya pemahaman yang baik terhadap hal itu, mustahil
mahasiswa dapat menjalankan peran itu dengan baik.
Peningkatan pemahaman mahasiswa terhadap seni dan budaya daerah
dapat dilakukan melalui jalur intrakurikuler; artinya seni dan budaya daerah
dijadikan sebagai salah satu substansi atau materi pembelajaran dalam satu
mata kuliah atau dijadikan sebagai mata kuliah. Kemungkinan yang pertama
dapat dilakukan melalui mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) bagi
mahasiswa program studi eksakta, dan Ilmu Budaya Dasar dan Antropologi
Budaya bagi mahasiswa program studi ilmu sosial. Dalam dua mata kuliah itu
terdapat beberapa pokok bahasan yang dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap seni dan budaya daerah yaitu
tentang manusia dan kebudayaan, manusia dan peradaban, dan manusia, sains
teknologi, dan seni. Kemungkinan yang kedua tampaknya telah diakomodasi
dalam kurikulum program studi-program studi yang termasuk dalam rumpun
ilmu budaya seperti program studi di lingkungan Fakultas Sastra atau Fakultas
Ilmu Budaya.
Beberapa mata kuliah yang secara khusus dapat digunakan untuk
meningkatkan pemahaman terhadap seni dan budaya daerah adalah Masyarakat
dan Kesenian Indonesia, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, dan Masyarakat
dan Kebudayaan Pesisir. Melalui mata kuliah-mata kuliah itu, mahasiswa dapat
diberi penugasan untuk melihat, memahami, mengapresiasi, mendokumentasi,
dan membahas seni dan budaya daerah. Dengan kegiatan-kegiatan semacam itu
pemahaman mahasiswa terhadap seni dan budaya daearah akan meningkat
yang juga telah melakukan pelestarian.
Jalur intrakurikuler lainnya yang dapat digunakan untuk meningkatkan
pemahaman bahkan mengoptimalkan peran mahasiswa dalam pelestarian seni
dan budaya daerah adalah Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mahasiswa-mahasiswa yang
telah mendapatkan pemahaman yang mencukupi terhadap seni dan budaya
daerah dapat berkiprah langsung dalam pelestarian dan pengembangan seni
dan budaya daerah. Kuliah Kerja Profesi (KKP) yang merupakan bentuk lain dari
KKN di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro telah digunakan untuk
berperan serta dalam pelestarian dan pengembangan seni dan budaya daerah.
Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, khususnya yang berasal dari program studi
Sejarah, dalam tiga tahun terakhir sebagian telah membantu merevitalisasi seni
budaya yang tumbuh dan berkembang di Semarang, misalnya batik Semarang,
arsitektur Semarang, dan membantu mempromosikan perkumpulan Wayang
Orang Ngesthi Pandhawa.
Jalur Ekstrakurikuler
Pembentukan dan pemanfaatan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kesenian
Jawa (Daerah Lainnya) merupakan langkah lain yang dapat ditempuh untuk
mengoptimalkan peran mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah.
Sehubungan dengan hal itu, pimpinan perguruan tinggi perlu mendorong
pembentukan UKM Kesenian Daerah. Lembaga kemahasiswaan itu merupakan
wahana yang sangat strategis untuk upaya-upaya tersebut, karena mereka
adalah mahasiswa yang benar-benar berminat dan berbakat dalam bidang seni
tradisi. Latihan-latihan secara rutin sebagai salah satu bentuk kegiatan UKM
kesenian daerah (Jawa misalnya) yang pada gilirannya akan berujung pada
pementasan atau pergelaran merupakan bentuk nyata dari pelestarian seni dan
budaya daerah.
Forum-forum festival seni mahasiswa semacam Pekan Seni Mahasiswa
Tingkat Nasional (Peksiminas) merupakan wahana yang lain untuk
pengoptimalan peran mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah.
Optimalisasi Peran Lembaga Kebudayaan
Lembaga-lembaga kebudayaan baik yang berbentuk lembaga swadaya
masyarakat (LSM), sanggar, atau paguyuban merupakan elemen lain yang dapat
berperan serta dalam pelestarian seni dan budaya daerah. Sejauh ini lembaga
kebudayaan dipandang sebagai elemen masyarakat yang relatif memiliki
perhatian dan kepedulian terhadap eksistensi dan kelangsungan seni dan
budaya daerah.
Optimalisasi peran lembaga kebudayaan memerlukan dukungan
pemerintah. Pembentukan dewan kesenian merupakan salah satu upaya yang
dapat dilakukan untuk mengoptimalisasikan peran lembaga kebudayaan. Dewan
kesenian dapat merencanakan sejumlah kegiatan antara lain dapat berupa
penyuluhan, pembinaan, dan pelatihan bagi lembaga-lembaga kebudayaan yang
bertujuan untuk memberikan arah dalam pengembangan seni dan budaya
daerah.
Pemerintah berkewajiban untuk mendorong peran serta lembaga
kebudayaan melalui pemberian ruang ekspresi yang cukup dalam bentuk
penyediaan gedung-gedung kesenian yang dapat diakses dan dimanfaatkan oleh
para seniman untuk berekspresi. Memang, pemerintah telah menyediakan ruang
ekspresi itu, namun sering kali para seniman tidak mampu menjangkau sewa
gedung yang mahal menurut ukuran seniman (tradisi). Penyediaan fasilitas gratis
bagi seniman yang akan menyelenggarakan pergelaran merupakan kebijakan
yang ditunggu-tunggu oleh kalangan seniman tradisi. Selain itu, pemerintah juga
perlu memberikan insentif atau apa pun namanya kepada lembaga kebudayaan
yang memiliki komitmen, konsisten, dan secara kontinyu melakukan kegiatan-
kegiatan pelestarian seni dan budaya daerah. Menurut sepengatahuan penulis,
baik Pemerintah Provinsi Jawa Tengah maupun Pemerintah Kota Semarang telah
melakukan hal ini.

D. KENDALA-KENDALA
Berdasarkan pengalaman penulis baik sebagai aktivis kegiatan seni
mahasiswa, pembina UKM, pengrawit, maupun pelatih seni (karawitan dan
Gambang Semarang), terdapat sejumlah kendala yang dihadapi dalam
optimalisasi peran serta mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah.
Jumlah mahasiswa yang berminat terhadap seni daerah sangat terbatas.
Mahasiswa lebih tertarik untuk mengikuti kegiatan minat dan bakat yang lain
daripada mengikuti kegiatan yang berkaitan dengan seni tradisi. Mahasiswa lebih
memilih bidang seni nontradisi atau bidang penalaran. Di perguruan tinggi
nonkesenian, perhatian terhadap bidang seni tradisi relatif rendah.
Keterbatasan dana menjadi kendala berikutnya yang akan muncul apabila
akan melestarikan seni dan budaya daerah. Optimalisasi peran mahasiswa
dalam pelestarian seni dan budaya daerah memerlukan adanya kegiatan
pelatihan. Kegiatan pelatihan seni yang berujung pada pergelaran membutuhkan
dana yang tidak sedikit. Perguruan Tinggi nonseni sering kali tidak memiliki dana
yang cukup atau bahkan tidak mengalokasikan dana untuk kegiatan-kegiatan
tersebut. Keterbatasan dan ketiadaan dana untuk kegiatan pelatihan dan
pergelaran seni daerah di perguruan tinggi merupakan cermin kurangnya
perhatian atau mungkin tidak adanya perhatian perguruan tinggi dalam
pelestarian seni dan budaya daerah.
BAB III
KESIMPULAN

Indonesia memiliki Keanekaragaman budaya yang dipandang sebagai


sebuah kekayaan bukan kemiskinan. Indonesia tidak memiliki identitas budaya
yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan
keanekaragaman budaya yang ada membuktikan bahwa masyarakat kita
memiliki kualitas produksi budaya yang luar biasa, jika mengacu pada
pengertian bahwa kebudayaan adalah hasil cipta manusia.
Sehubungan dengan keprihatinan, mau tidak mau harus disadari dan
diakui bahwa eksistensi seni dan budaya daerah di Indonesia semakin lama
semakin tergerus oleh ekspansi seni dan budaya global. Apabila hal ini terus
berlangsung, maka kita semakin tidak apresiatif terhadap seni dan budaya
daerah, yang pada gilirannya akan terasing dari seni dan budaya sendiri,
sehingga akan kehilangan jati diri. Oleh karena itu, berbagai upaya harus
dilakukan untuk melestarikan seni dan budaya daerah di tengah-tengah
perubahan zaman dan pengaruh budaya asing yang semakin gencar di
Indonesia.
Seni dan budaya daerah perlu dilestarikan karena dianggap masih
berguna dan relevan dengan kehidupan. Kebergunaan dan relevansi seni dan
budaya daerah terletak pada nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Di setiap
unsur kebudayaan yang telah disebutkan beserta sub-sub unsurnya dapat
dipastikan mengandung nilai-nilai yang berguna bagi masyarakat pemiliknya.
Walaupun kebudayaan mengalami perubahan dan perkembangan, namun
jati diri suatu kebudayaan dapat lestari; artinya lestari yang dinamis, yaitu ciri-
ciri pengenalnya secara keseluruhan tetap dimiliki, meskipun bentuk-bentuk
ungkapan di dalamnya dapat mengalami perubahan (Sedyawati, 2008: 290).
Oleh karena itu, pelestarian yang dilakukan pun juga merupakan pelestarian
dinamis. Berkaitan dengan seni dan budaya daerah, upaya-upaya pelestarian
dinamis yang dapat ditempuh antara lain:
a) Pendokumentasian secermat mungkin dengan menggunakan media-media yang
sesuai; hasil dokumentasi ini selanjutnya dapat dijadikan sebagai sumber acuan
dengan syarat disimpan di tempat yang aman dan diregistrasi secara sistematis
agar penelusurannya mudah.
b) Pembahasan dalam rangka penyadaran, khususnya tentang nilai-nilai budaya,
norma, dan estetika.
c) Pengadaan acara penampilan yang memungkinkan orang mengalami dan
menghayati (Sedyawati, 2008: 280).
Dengan kegiatan pelestarian dinamis itu, diharapkan akan terbentuk suatu
kesadaran kultural yang terdapat pada setiap insan Indonesia.
Mahasiswa memiliki kedudukan dan peranan penting dalam pelestarian
seni dan budaya daerah. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa mahasiswa
merupakan anak bangsa yang menjadi penerus kelangsungan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Sebagai intelektual muda
yang kelak menjadi pemimpin-pemimpin bangsa, pada mereka harus
bersemayam suatu kesadaran kultural sehingga keberlanjutan negara bangsa
Indonesia dapat dipertahankan. Pembentukan kesadaran kultural mahasiswa
antara lain dapat dilakukan dengan pengoptimalan peran mereka dalam
pelestarian seni dan budaya daerah.
Optimalisasi peran mahasiswa dalam pelestarian seni dan budaya daerah
dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu intrakurikuler dan ekstrakulikuler. Jalur
Intrakurikuler dilakukan dengan menjadikan seni dan budaya daerah sebagai
substansi mata kuliah; sedangkan jalur ekstrakurikuler dapat dilakukan melalui
pemanfaatan unit kegiatan mahasiswa (UKM) kesenian dan keikutsertaan
mahasiswa dalam kegiatan-kegiatan seni dan budaya yang diselenggarakan oleh
berbagai pihak untuk pelestarian seni dan budaya daerah

Anda mungkin juga menyukai