Anda di halaman 1dari 6

Seni Pertunjukan Pribumi di Provinsi Sumatera:

Kebangkitan Sakura
Teater Topeng, 1990-2012

Author: Thomas,Karen kartomi


Volume: Indonesia, Vol.097
Date Issued: 2014-04
Reviewers: Hafizh Ardiansyah (13030123140100)

Pendahuluan:
Karena program transmigrasi besar-besaran yang dilakukan oleh Belanda sejak tahun
1905 dan masih berlangsung di bawah pemerintahan Indonesia sejak tahun 1950an hingga saat
ini, ulun lampung (masyarakat adat lampung), yang jumlahnya hanya 13 persen dari total
penduduk provinsi lampung di sumatera, harus hidup lebih lama. selama beberapa dekade masih
menjadi minoritas yang terlupakan dan terabaikan di provinsi mereka sendiri. Seni pertunjukan
asli Lampung menyoroti masalah sosial ini seperti yang ditunjukkan oleh topik artikel ini “Teater
Topeng Sakura” yang dibawakan oleh suku Saibatin yang tinggal di pegunungan barat laut
Lampung.
Seni Pertunjukan Pribumi di Provinsi Sumatera, khususnya dalam konteks Kebangkitan
Sakura Teater Topeng, merupakan sebuah perjalanan yang kaya akan keberagaman budaya,
ekspresi seni, dan upaya pelestarian warisan tradisional.mSeni pertunjukan pribumi di Sumatera
memiliki akar yang dalam dalam kebudayaan lokal, memancarkan kekayaan tradisi yang unik
dari masing-masing suku dan daerah. Kebangkitan Sakura Teater Topeng pada periode tersebut
adalah sebuah pergerakan penting dalam mendorong kembali minat terhadap seni pertunjukan
tradisional, khususnya seni teater topeng yang menjadi salah satu warisan budaya yang berharga
di Provinsi Sumatera.
Berbeda dengan seni pertunjukan di Jawa dan daerah lain di Indonesia, yang sebagian
besar diatur oleh kebijakan seni nasional Depdikbud (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) di luar ibu kota negara, Jakarta, sejarah topeng sakura
memiliki sejarah yang panjang. telah ditentukan oleh marginalisasi ulun Lampung melalui
program transmigrasi yang sudah berusia satu abad; Hal ini mengakibatkan stigmatisasi sosial
terhadap mereka, yang diabadikan oleh komunitas pendatang (pendatang baru). Kebangkitan
kesenian tersebut dilakukan melalui program pemajuan filosofi Lampung yaitu pi'il pesenggiri
(harga diri) dengan memanfaatkan komponen keramahtamahan tradisional, termasuk
penganugerahan gelar Lampung pada upacara adat.
Metode Penelitian:
Metode penelitian ini menggunakan metode literatur Review dengan menganalisis dan
membaca jurnal, artikel dan buku.

Hasil Pembahasan Resume:


a. Sakura Festival
Pada bulan Agustus 2010, puluhan pemuda dan pemudi berkumpul dengan mengenakan
topeng kayu berukir kasar yang disebut sakura kamak di jalan utama desa Skala Brak Canggu,
yang terletak di kabupaten (kabupaten) Lampung Barat, Sumatera. Topeng komik tersebut
menggambarkan wajah manusia, hewan, atau raksasa yang jelek dan terdistorsi, termasuk wajah
lelaki tua, raja, tentara, pejuang, monyet, harimau, hewan lain, dan badut. Acaranya adalah
prosesi bersih desa yang dilakukan seminggu sebelum Idul Fitri sebagai persiapan menyambut
akhir bulan Puasa.
Wajah topeng simetris dan asimetris menghidupkan setan dan makhluk halus lainnya,
serta berfungsi mengusir makhluk jahat yang diyakini membawa penyakit, bencana, dan/atau sial
bagi masyarakat. Kostumnya terdiri dari pakaian bekas dan dahan rindang yang dipetik dari
pohon kopi atau palem. Berproses bersama perlahan-lahan secara berkelompok mengelilingi
jalan-jalan desa pada paruh pertama acara, para topeng sakura menyanyikan bait-bait bebandung
dan mengiringi diri mereka sendiri dengan menabuh irama yang saling bertautan (tetabuah
terbangan) pada frame drum (rebana), secara berkala terhenti. depan rumah dan di jalan untuk
menampilkan duel silat (seni bela diri) gaya lokal dan sandiwara komik untuk menyenangkan
penonton dari Canggu dan desa-desa sekitarnya. Sebagai imbalan atas hiburannya, para masker
menerima sumbangan berupa makanan dan minuman dari keluarga-keluarga yang datang untuk
menyaksikan dan/atau mengikuti prosesi tersebut. Karena diadakan pada awal bulan Islam
Syawal, acara tersebut memberikan kesempatan kepada keluarga untuk melaksanakan
silaturahmi guna membina tali kekerabatan, dan menjalin ikatan kekeluargaan yang kuat (ajang
ngejalang).
Sepanjang acara, saya mengamati bahwa sebagian besar dari ratusan penonton, termasuk
orang dewasa, remaja, dan anak-anak yang berjajar di jalan utama desa dan menonton dari
balkon di rumah-rumah terdekat, tetap asyik dengan pemandangan, suara, dan pemandangan.
gerakan yang dihasilkan oleh masker pengolah. Pidato dan formalitas awal, serta tabuhan bedug
(gendang besar), dilanjutkan dengan musik yang dibawakan oleh ansambel tab balak,6
menyadarkan penduduk desa akan segera dimulainya festival. Koreografer tari sakura helau
adalah seniman kelahiran Bali dan didikan Yogyakarta I Wayan Mulyawan, yang sudah lama
menetap di Liwa, ibu kota Lampung Barat. Setelah direkrut oleh Dinas Pariwisata Seni dan
Budaya Lampung Barat (Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Lampung Barat) pada awal tahun
1990an, ia mendirikan sanggar tari dan musik sendiri di Liwa yang dikenal dengan nama
Sanggar Seni Setiawan (Sanggar Kesenian Setiawan) di memerintahkan keduanya untuk
meregenerasi Lampung Barat tradisi seni pertunjukan dan menciptakan bentuk tari baru yang
terinspirasi dari Saibatin (I. kreasibaru).
Sebagai Kepala Dinas Kebudayaan, beliau mendapat amanah dari pemerintah Lampung
Barat untuk menghidupkan kembali seni pertunjukan Lampung Barat, termasuk teater bertopeng
sakura. Hal ini ia lakukan bersama anggota masyarakat desa yang belajar tari, musik, dan
pertunjukan di bawah bimbingannya. Laki-laki muda setempat, banyak di antaranya pernah
mengalaminya belajar bermain frame-drum secara informal, berlatih sejak kecil, berpartisipasi
dalam prosesi sakura kamak setelah diundang untuk tampil pada acara perayaan oleh tetua
setempat dan pejabat penyelenggara sakura. Penari helaud Sakura dapat mengikuti prosesi sakura
kamak selama mereka tahu cara memainkan frame-drum; namun, pemain sakura kamak
kemungkinan besar tidak akan menampilkan tarian sakurahelau kecuali mereka mempelajari
tarian tersebut di sanggar tari seperti yang pertama dimiliki Mulyawan. Para pemain sakura
dipilih dari komunitas desa setempat.
Dalam perayaan festival sakura yang dijelaskan di sini, di mana pejabat pemerintah,
seniman, dan anggota masyarakat berkumpul, Mulyawan telah meminta izin dari camat di
Canggu untuk anggota studio tariannya tampil dengan beberapa karya tari orisinalnya, termasuk
tarian sakura dan kreasi lainnya. Kontribusinya dalam festival sakura pada perayaan tahunan
membersihkan desa terkait dengan Idul Fitri—fakta bahwa ia memberikan hiburan gratis selama
siang hari—memungkinkannya untuk memberikan sesuatu kembali kepada anggota masyarakat
yang menyambutnya ketika ia tiba sebagai transmigran Bali beberapa tahun lalu (setelah
menyelesaikan pelatihan seni pertunjukan di Jogja). Dalam pidato pembukaannya, Mulyawan
secara terbuka menyatakan rasa terima kasihnya kepada para pemeran dan kru atas kesediaan
mereka untuk bekerja bersama (beguai jejama) dan bekerja sama dengannya untuk
mempersiapkan, memproduksi, dan menampilkan prosesi topeng sakura dan tarian sakura
kontemporer sebagai bagian dari festival sakura Canggu.
Kedudukan seni di kalangan masyarakat dan fungsi diplomasinya sebagai perantara
antara pejabat, seniman, dan masyarakat memfasilitasi acara tersebut tanpa
hambatan.perkembangan seni di provinsi tersebut, dan penerimaan publik terhadap versi barunya
tari topeng sakura helau.Secara historis, genre pertunjukan di Lampung telah lama mengalami
derajatintervensi resmi, seperti di wilayah lain di Indonesia (lihat bagian selanjutnya). milik
Mulyawan pendekatan yang cermat dalam berkolaborasi secara artistik baik dengan seniman
maupun komunitas lokal,namun, dan kemampuannya untuk bernegosiasi dengan sukses dengan
para pemangku kepentingan yang terlibat—komunitas seni pertunjukan, penduduk desa Skala
Brak, dan masyarakat setempatpemerintah—sangat penting untuk penerimaan koreografi sakura
barunya.
b. Seni Pertunjukan, Otonomi Daerah, dan Marginalisasi: Orde Baru di Era Reformasi
Kontrol ketat dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dari dalam negerimodal atas
pengelolaan kebijakan seni dan budaya telah banyak dilakukan didokumentasikan. Pada awal
tahun 1970-an, sebuah proyek besar "rekayasa budaya" dimulai dengan fokus pada seni.
Pemerintahan Orde Baru mencatat secara sistematis kedaerahan kebudayaan ketika Rencana
Pembangunan Lima Tahun kedua mulai berlaku pada tahun 1974. Kegiatan Depdikbud dalam
bidang kesenian daerah di seluruh tanah air, mulai dari tingkat provinsi hingga tingkat desa,
termasuk ...
mendaftarkan pemain, menginventarisasi genre, mendukung sejumlah kecilkonservasi
dan akademi musik tingkat sekolah menengah atau perguruan tinggi, pemantauan konten,
menyarankan perubahan teknis atau gaya dalam pertunjukan, pemilihan individu dan
kelompok untuk bantuan keuangan, produksi festival dan kompetisi, menugaskan
pertunjukan untuk kunjungan pejabat dan negarakesempatan, mensubsidi penampilan di
televisi lokal, dan bahkan mengaturberangkat ke Jakarta untuk tampil di taman hiburan
nasional, Taman Mini
Pada periode ini, Depdikbud mengatur muatan politik dan moral kinerja di seluruh
wilayah Indonesia. Para pemain sepertinya bersedia mengikuti Saran Depdikbud untuk
“memperbarui” bentuknya sehingga menyelaraskan isinya dan penyampaian kesenian
tradisionalnya dengan jalur resmi. Mereka yang mensubordinasikan estetika lokal untuk
memenuhi harapan Depdikbud mempunyai harapan yang lebih besar untuk diterima undangan
untuk tampil di festival dan kompetisi yang diadakan di tingkat kabupaten, provinsi, atau tingkat
nasional, dan untuk mendapatkan eksposur di "sirkuit wisata.
Jatuhnya Suharto pada tahun 1998, dan kepresidenan singkat B.J. Habibie (Mei 1998-
Oktober 1999), menandai dimulainya periode Reformasi saat ini. Periode ini pengembangan
wisata budaya di bawah Presiden Megawati Sukarnoputri mulai tahun 2001 memungkinkan
kementerian dan anggaran pemerintah untuk menyelaraskan kembali seni dan budaya pariwisata
daripada pendidikan untuk membentuk Kemparsenibud (Kementerian Pariwisata, Seni dan
Kebudayaan; Kementerian Pariwisata, Seni, dan Kebudayaan). Namun, restrukturisasi berumur
pendek, dan budaya segera sekali lagi dikaitkan dengan pendidikan untuk membentuk
kementerian pemerintah Kemendiknas (Kementerian Pendidikan Nasional, Bahasa Indonesia
Departemen Pendidikan) sejak akhir tahun 2004 di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kemendiknas kemudian berganti nama menjadi Kemdikbud (Kementerian Pendidikan). Budaya,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), dan selanjutnya disebut lagi sebagai Depdikbud.
Otonomi daerah dan perubahan struktur pemerintahan pusat penyelenggaraan pariwisata
seni dan budaya sejak tahun 1998 dan seterusnya telah menghasilkan banyak hal provinsi-
provinsi di Indonesia semakin mengarahkan kegiatan lokalnya untuk meremajakan kesenian dan
tradisi lokal. Hal ini sebagian besar disebabkan oleh diperkenalkannya kebijakan seni baru yang
memberikan perlakuan lebih adil kepada daerah. Namun, di wilayah Skala Brak, Lampung Barat,
teater topeng sakura mempunyai sejarah tersendiri, diselingi oleh serangkaian peristiwa yang
terjadi secara independen dari kebijakan seni nasional yang dikelola secara terpusat dan eksternal
di daerah.
Meskipun intervensi pemerintah telah membawa perubahan signifikan terhadap kesenian
tradisional adat, tari kreasi Saibatin seperti yang dikoreografikan oleh Mulyawan diterima secara
luas di kalangan masyarakat Lampung. Berbeda dengan kesenian daerah Indonesia lainnya yang
pengelolaannya sebagian besar diatur oleh
Depdikbud pada masa Orde Baru dan kemudian diserahkan kepada pemerintah daerah
pada masa Reformasi, sakura helan dan tari Saibatin kontemporer lainnya dianggap tidak hanya
sebagai perwujudan tetapi juga unsur kontemporer budaya tradisional. Tanpa intervensi resmi
dari pemerintah daerah pada awal tahun 1990an, kemudian dari pemerintah provinsi pada
pertengahan hingga akhir tahun 2000an, posisi sakura tidak akan menikmati status tinggi sebagai
bentuk seni yang didukung secara resmi. Hal ini tidak akan mendapat pengakuan luas, juga tidak
akan membantu regenerasi identitas budaya (dan seni) Saibatin (I. jati diri masyarakat beradat
Saibatin) pada tingkat yang sama. Festival sakura Skala Brak yang dinikmati setiap tahun pada
Idul Fitri merupakan pertunjukan terbesar tahun ini dan melibatkan seluruh masyarakat.
Penyelenggara dan peserta sibuk jauh sebelum acara, mempersiapkan, merekrut peserta, dan
mengamankan tempat di luar ruangan.
Dengan demikian, ajakan gotong royong (beguai jejama) adat Lampung dilaksanakan
secara bermartabat, sehingga menambah rasa bangga peserta dan penonton terhadap warisan adat
dan pi’il pesenggiri. Pada saat yang sama bertujuan untuk mendapatkan kembali dan
melegitimasi penanda budaya penting dari iilun Lampung, teater bertopeng sakura dengan
bangga menghidupkan elemen-elemen ini dalam bentuk prosesi teater, musikal, dan tari.
Dorongan pejabat setempat untuk menghidupkan kembali dan mentransformasikan seni
pertunjukan adat yang sesuai untuk fungsi pemerintahan dilakukan dengan dukungan kolektif
dari masyarakat setempat, dan dengan tujuan untuk memulihkan dan meneguhkan martabat ulun
Lampung.

Kesimpulan
Perbincangan dengan para seniman-seniman, dan komunitas yang ada di Lampung Barat
menegaskan bahwa komunitas seni pertunjukan setempat didorong untuk melestarikan tradisi
upacara adat. Mereka dengan bangga berbicara tentang bentuk seni tradisional dan kontemporer
yang bertujuan untuk membangun kembali dan memperkuat identitas budaya dan seni. Sakura
Masquerade membangkitkan masa lalu yang gemilang dengan hubungan spiritual kuno yang
menjaga hubungan abadi dengan akar masyarakat pra-Islam. Bentuk modern dari sakura herau
bertopeng dianggap sebagai sumber kebanggaan budaya yang sah dan mengingatkan kita pada
ritual sakura kamak yang dilakukan oleh nenek moyang masyarakat adat Buai Tumi di sekitar
Gunung Pesagi. Sejarah seni pertunjukan asli Lampung dalam seratus tahun terakhir, terutama
dalam dua puluh tahun terakhir, menunjukkan perkembangannya sendiri. Kebijakan Depdikbud
yang berasal dari Jakarta lebih berfokus pada pengaturan seni mayoritas di daerah, dan memiliki
sedikit dampak pada seni pertunjukan minoritas ulun Lampung. Pada awal tahun 1990-an,
beberapa tahun sebelum Reformasi pada tahun 1998, pejabat pemerintah setempat mendukung
Mulyawan dalam upayanya untuk menghidupkan kembali budaya dan tradisi Saibatin di daerah
tersebut. Inisiatif ini dilakukan secara berbeda dengan upaya serupa di pusat-pusat penduduk di
provinsi yang dihuni oleh komunitas besar transmigran Jawa (dan imigran lainnya), karena
upaya Mulyawan disponsori secara lokal dan difokuskan pada seni tradisional minoritas asli.
Sebagai seorang pejabat pemerintah yang berada di persimpangan dunia artistik, komunitas, dan
resmi selama dua dekade terakhir, Mulyawan mendapat dukungan penuh dari komunitas artistik
lokal dan masyarakat lebih luas.
Meskipun pergantian rezim dari Orde Baru pusat ke Reformasi pada tahun 1998 hampir
tidak berdampak pada seni pertunjukan asli Lampung, namun perubahan itu secara serius
mengubah struktur kekuasaan di Lampung. Dengan penunjukan gubernur ulun Lampung pada
tahun 2004, fokus beralih pada "segala hal Lampung." Hal ini menghasilkan implementasi
kebijakan seni yang berpusat pada filosofi pi`il pesenggiri Lampung.
Intervensi resmi dalam seni Skala Brak, yang berkembang dengan dukungan jelas dari
bupati-bupati, pemimpin-pemimpin distrik, dan pemerintahan mereka masing-masing, serta,
kemudian, dukungan kuat dari MPAL dan gubernur saat ini, tanpa ragu telah membawa
perubahan signifikan pada seni pertunjukan asli tradisional Lampung Barat. Posisi artistik tinggi
Mulyawan di kalangan masyarakat dan cara diplomatisnya sebagai perantara dalam struktur
pejabat, seniman, dan masyarakat memberikan jalur untuk perkembangan artistik yang lancar,
tanpa masalah, dan penerimaan luas terhadap kepemimpinan kreatifnya dan koreografinya.
Setiap festival sakura adalah perwujudan identitas ulun Lampung. Kegiatan seputar kebangkitan
seni pertunjukan telah membantu meregenerasi dan melegitimasi identitas budaya minoritas etnis
Saibatin, yang direnungkan kembali dalam setiap pertunjukan sakura secara langsung.

Anda mungkin juga menyukai