Anda di halaman 1dari 6

Re-Identitas Budaya Osing:

Perkembangan Tari Gandrung di Banyuwangi pada Tahun 1950-2016

Thesya Arna Putri1

Seni merupakan salah satu karya yang dibuat oleh manusia yang memiliki berbagai
macam bentuk, baik seni rupa, seni sastra ataupun seni pertunjukan. Umar Kayam menyebut
kesenian sebagai sesuatu yang tidak akan pernah berdiri lepas dari masyarakat kesenian
menjadi ungkapan kreativitas dari kebudayaan dan masyarakat itu sendiri.2 Perkembangan
kesenian sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial, budaya, ekonomi dan politik. Hal itu
dikarenakan kesenian diciptakan oleh jiwa manusia yang meliputi pikiran dan perasaan. Jiwa
manusia sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar dimana pencipta kesenian itu
berada. Dalam seni pertunjukan terdapat interaksi-interaksi yang lebih dari model seni yang
lain, seperti misalnya seni rupa ataupun seni sastra. Interaksi ini dalam bentuk interaksi
antara pelaku seni dengan penonton maupun antara penonton dengan penonton, yang mana
hal ini memungkinkan terjadi hubungan yang lebih dari sekedar mempertunjukan tarian
ataupun menikmati pertunjukan tari.3

Di daerah Banyuwangi banyak sekali jenis kesenian yang ada seperti, tari Gandrung,
kuntulan, kebo-keboan, singo barong, petik laut dan lain-lain. Gandrung merupakan kesenian
tradisional Suku Osing di Banyuwangi yang di gunakan sebagai ritual yang dipersembahkan
kepada Dewi Sri agar diberi kesuburan dan sebagai ucapan rasa syukur masyarakat setiap
habis panen. Tarian Gandrung dibagi menjadi beberapa jenis antara lain jejer Gandrung,
Gandrung dor, Gandrung marshan, paju Gandrung, dan gama Gandrung. Tarian Gandrung
dipentaskan di berbagai acara seperti perkawinan, pethik laut, tujuh-belasan, khitanan, dan
biasanya digunakan oleh pemerintah untuk menyambut tamu. Pada dasarnya, dulu
pertunjukan Gandrung hanya dilakukan dari jam 21.00 malam sampai jam 04.00 subuh.
Tetapi, sekarang tarian Gandrung bisa dilakukan kapanpun selama acara itu masih
berlangsung.

Pada awalnya tarian Gandrung ditarikan oleh penari laki-laki. Gandrung pada saat itu
digunakan untuk mengelabuhi para penjajah yang ada di Banyuwangi. Cara untuk
mengelabuhi para penjajah, para penari gandrung laki-laki menyamar sebagai wanita dimana
mereka melakukan pertunjukan didepan para penjajah. Gandrung tersebut dikenal sebagai
Gandrung Marsan yang merupakan penari Gandrung laki-laki pertama yang ada di
Banyuwangi. Pertunjukan dilakukan untuk menghibur para penjajah yang sedang
mengadakan pesta, ketika para penjajah sudah mulai mabuk dan tak sadarkan diri, para penari
Gandrung mulai menbunuh satu persatu para penjajah. Setelah itu ada seorang perempuan
yang bernama Mbah Temu sangat ingin menarikan tarian Gandrung, akan tetapi keinginan

1
Mahasiswa Pendidikan Sejarah Off.B. Fakultas Ilmu Sosial. Universitas Negeri Malang 2017. Alamat:
Banyuwangi, Email : thesyaarna99@gmail.com
2
Umar Kayam, “Seni, Tradisi, Masyarakat”, (Jakarta : Sinar Harapan, 1981), p. 38
3
erepo.unud.ac.id, diakses pada 30 Juli 2015 pukul 06.27 WITA
tersebut ditentang oleh keluarganya. Pada akhirnya, dia belajar tarian Gandrung secara
sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh keluarganya. Mulai saat itu gandrung
dikembangkan yang semula penari gandrung yang dulunya seorang lelaki sekarang penari
Gandrung menjadi perempuan. 4

Pada tahun 1950-an sampai awal tahun 1965 tari Gandrung bagian dari geliat seni
budaya dan politik nasional. Tarian Gandrung pada masa itu sering menggelar acara atas
undangan dari partai politik, terutama yang paling seling sering merupakan Partai Komunis
Indonesia. Kesenian terkena dampak peristiwa gerakan 30 September (G 30 S) pada tahun
1965. Pada waktu itu, hampir semua jenis kesenian banyak yang mulai mati tak terkecuali tari
Gandrung. Tari gandung tidak menyelenggarakan acara atau vakum selama 6 tahun. Hal itu
disebabkan karena pemerintah yang pada saat itu berkuasa di Indonesia berusaha untuk
melenyapkan dan memberantas semua golongan Partai Komunis Indonesia terkait dengan
peristiwa Gerakan 30 September. Sehingga keadaan sosial dan politik yang ada disekitar
masyarakat menjadi tidak kondusif, dan membuat mereka tidak bisa menggelar sebuah
pertunjukan. Dalam kurun waktu enam tahun tersebut, tarian Gandrung mengalami
perubahanyang sangat penting. Perubahan tersebut yakni adanya penambahan musik melayu
dalam pertunjukannya. Pandangan terhadap tarian Gandrung pada saat itu hanya dianggap
sebagai hiburan, hal itu disebabkan karena banyak undangan acara kampanye dari partai
politik. Keadaan tersebut bertambah kuat ketika Indonesia sudah mulai memasuki masa orde
baru.

Pada tahun 1970-an tarian Gandrung mulai muncul lagi, hal ini dibarengi dengan
munculnya kebijakan Revitalisasi Kebudayaan Daerah Bupati Djoko Supaat Selamet. Bapak
Djoko Supaat Selamet yang membawa tari Gandrung lebih terhormat, ia menjabat pada tahun
1966 sampai tahun 1976. “Bupati Djoko Supaat layak disebut Bapak tari Gandrung.
Perhatiannya terhadap Gandrung sangat luar biasa. Meski kelahiran Sidoarjo, dia marah jika
ada pihak yang melecehkan Gandrung,” cetus Sumitro Hadi, Minggu (26/3/2017)5. Pada
tahun 1974 untuk pertama kalinya Pemerintah Banyuwangi mengadakan Festival kesenian
Gandrung. Festival ini diadakan dengan tujuan untuk melestarikan dan mengembangkan
kesenian Gandrung. Selain itu, seniman dan budayawan Banyuwanagi membentuk Dewan
Kesenian Blambangan (DKB) pada tahun 1978. Pembentukan Dewan Kesenian Blambangan
bertujuan agar kesenian dan kebudayaan yang ada di Banyuwangi tetap dilestarikan dan
dijaga.

Pada saat itu, gandrung kembali digunakan hanya sebagai sarana hiburan dalam
bidang politik. Pertunjukan tari Gandrung pada saat itu berisi banyak pesan-pesan tentang
politik seperti progam pembangunan yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Gandrung
digunakan sebagai alat kampanye, terutama oleh partai Golkar. Hal itu bisa dibuktikan
dengan selendang yang digunakan penari gandrung untuk menari berwarna kuning, padahal
warna asli dari selendang penari gandrung ialah warna merah. Selain itu, tarian gandrung
juga digunakan untuk keperluan pariwisata. Jika sebelumnya penari Gandrung harus bisa
4
Wawancara dengan Kristin Ega Oktafiana, mantan penari Gandrung Sewu, pada tanggal 30 November 2017
pada pukul 17.36 WIB.
5
Mengutip di Mtimesindo.co.id,diakses tanggal 26 Maret 2017 pukul 17:47
merangkap menjadi penyanyi atau sinden, namun pada masa ini banyak Gandrung yang
hanya bisa menari saja tanpa ada kemampuan bernyanyi. Hal itu mulai menimbulkan
kemunduran kualitas Gandrung dan sangat tampak saat banyak sekali gandrung-gandrung
nakal.

Pada masa pasca reformasi gandrung masih sangat dipengaruhi masa sebelumnya.
Selain itu, peristiwa penting terjadi pada masa ini yaitu kebijakan pemerintah Banyuwangi
dalam hal pariwisata. Pada tahun 2002 melalui Surat Keputusan Bupati No. 173 tanggal 31
Desember 2002, kesenian Gandrung dijadikan sebagai maskot pariwisata Banyuwangi,
setelah sebelumnya terjadi perdebatan yang panjang antara bupati Samsul Hadi yang
didukung seniman budayawan Banyuwangi dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR).6 Setelah munculnya surat keputusan tersebut, pemerintah Banyuwngi mendirikan
pusat pelatihan yang disebut dengan Akademi Gandrung. Pusat pelatihan didirikan di Desa
Kemiren ini dengan tujuan untuk mendidik dan dan melatuh tari Gandrung, agar generasi
muda menjadi penari Gandrung.

Pada tahun 2003 tari Gandrung mulai digunakan sebagai tarian penyambutan atau
tarian selamat datang bagi tamu yang datang di Banyuwangi. Jenis tari Gandrung yang
digunakan dalam tari penyambutan yaitu tari jejer Gandrung. Pada tahun 2004 pemerintah
berupaya untuk membangun kesadaran keontetikan Banyuwangi, hal itu dapat terlaksana
dengan cara membangun patung gandrung di sudut Kota Banyuwangi. Pembangunan tersebut
di bawah pimpinan Bupati Samsul Hadi. Pembangunan patung gandrung banyak ditemukan
di daerah perbatasan dengan banyuwangi seperti arah ke Jember maupun Situbondo, dan
yang paling besar dibangun di daerah pintu masuk utara Banyuwangi, tepatnya di Pantai
Watudodol yang termasuk jalan menuju ke arah Situbondo. Pembangunan tersebut
merupakan hasil dari Surat Keputusan Bupati nomor 173 tahun 2002.

Di tahun 2010 terjadi pergantian bupati,pada tahun ini daerah Banyuwangi dipimpin
oleh Bupati Abdullah Azwar Anas. Dibawah pimpinan Bupati Anas, Banyuwangi lebih maju
dibidang kebudayaan dan di bidang pariwisata. Progam yang paling menonjol yang dilakukan
oleh Bupati Anas untuk Gandrung berupa festival atau pagelaran yang dilakukan secara
massal, yang di kemas dalam program tahunan Festival Banyuwangi. Panggelaran tersebut
ialah BEC (Banyuwangi Ethno Carnival) dan Grandrung Sewu. Walaupun masih banyak
pagelaran yang dilakukan, akan tetapi kedua festival tersebut yang menonjolkan kesenian
Gandrung Banyuwangi. Kedua festival tersebut dibuka oleh tarian Gnadrung, terutama
festival Gandrung sewu. Sedangkan BEC lebih ke semua budaya yang ada di Banyuwangi,
akan tetapi pertama kali BEC di selenggarakan menerapkat tema Gandrung.

Gandrung Sewu pertama kali digelar pada tanggal 17 November 2012 di Pantai Boom
Banyuwangi. Festival tersebut diikuti oleh 1.000 lebih penari, yang terdiri dari para pelajar
Sekolah Dasar, SMP dan SMA di seluruh daerah yang ada di Banyuwangi. selain itu juga
diikuti penari Gangrung Profesional di Banyuwangi. Tidak hanya menampilkan tarian
Gandrung saja, melainkan juga menampilkan drama kolosal sejarah tari Gandrung yang ada

6
Dikutip dari Bahagio Raharjo,Dinamika Kesinian Gandrung di Banyuwangi 1950-2013.
di Banyuwangi. Dari tahun ke tahun tema yang disugguhkan dalam festival Gandrung Sewu
berbeda-beda. Pada tahun 2012, festival Gandrung sewu mengambil tema Jejer Gandrung dan
diikuti oleh 1.004 penari. Pemilihan penari dilakukan dengan cara diseleksi, namun pada
tahun pertama ini seleksi lebih mudah. “Seleksi tiap tahunya berbeda-beda, di tahun 2012 ini
seleksi pemelihan lebih mudah karena masih awal dan pertama kali diadakan festival ini,
mudah itu dalam artian siapa saja boleh ikut. Tetapi yang ikut harus sudah memiliki bekal
menari” cetus Kristin Ega Oktafiana (31 November 2017).7 Penari tidak hanya dari kaum
perempuan saja melainkan juga dari kaum lelaki. Peran penari pria selain sebagai penari
Gandrung Marshan, mereka juga sebagai pasangan dari penari gandrung wanita dan juga
sebagai pemeran drama kolosal.

Pada tahun 2013 Gandrung Sewu diselenggalarakan pada tanggal 23 November 2017.
Tema yang diambil yaitu Paju Gandrung Sewu yang ditarikan secara berpasangan oleh penari
perempuan dan penari pria atau yang disebut dengan Paju. Pada tahun ini banyak sekali yang
mengikuti dua kali lipat dari tahun 2012 yaitu berjumlah 1.106 penari. Seleksi yang
dilakukan yaitu dengan melakukan penyusutan penari perempuan karena mulai ada
penambahan penari laki-laki. Di tahun 2014 festival Gandrung Sewu diadakan pada tanggal
29 November 2014 dengan mengambil tema Seblang Subuh. Tema seblang Subuh
menceritakan perjuangan para pemuda yang menyamar menjadi penari Gandrung. Partisipan
yang mengikuti festival ini mengalami penyusutan karena sudah mulai diadaknya seleksi
yang cukup ketat, penari yang mengikuti festival pada tahun ini berjumlah 1.258 penari.
Sleksi yang dilakukan sudah mulai ada kualifikasi seperti pembatasan jumlah peserta, dipilih
jenjang sekolah dan mulai mnyeleksi tinggi badan.

Di tahun 2015 festival Gandrung diadakan pada tanggal 26 September 2015. Tema
yang diambil yaitu Podo Nonton, yang diikuti 1.028 penari. Tema Podho Nonton diangkat
karena syairnya mengandung makna heroisme dan perjuangan yang sangat berat di Bumi
Blambangan saat melawat Belanda. Pada dasarnya “Podho Nonton” merupakan tembang
wajib yang menjadi musik pengiring dalam tarian Gandrung. seleksi yang dilakukan pada
tahun 2015 lebih ketat lagi, pemilihan tidak hanya dilihat dari tinggi badan melainkan juga
dilihat dari potur tubuhnya dan bisa melakukan gerakan ngedhet (dada membusung ke depan
dan bagian bawah sedikit ke belakang, sehingga postur berbentuk seperti huruf S). Pada
tahun 2016 Festifal ini diadakan pada tanggal 17 September 2016 di Pantai Boom
banyuwangi. Di tahun ini mengambil tema Seblang Lukinto yang diikuti oleh 1.314 penari.
Tema ini menceritatakan perjuangan para pejuang melawan VOC, yang menjadi lanjutan dari
festival Gandrung Sewu sebelumnya yaitu “Phodo Nonton”. Dari tahun 2012 sampai dengan
tahun 2016 festival ini mengundang antusiasme dari seluruh masyarakat yang ada di
Banyuwangi. Bukan hanya dari masyarakat lokal saja, ada juga orang mancanegara yang ikut
menonton festival Gandrung sewu ini. Seleksinya hampir sama dengan tahun 2015, akan
tetapi lebih ketat lagi, karena pertunjukan mulai dikembangkan dan sudah mulai membentuk
formasi.

7
Wawancara dengan Kristin Ega Oktafiana yang merupakan mantan penari Gandrung Sewu pada tahun 2012,
2014, dan 2015, wawancara dilakukan pada tanggal 31 November 2017.
Bisa dikatakan bahwa tahun-tahun tersebut sampai saat ini merupakan masa kejayaan
kesenian gandrung dan kesenian-kesenian lainya yang ada di Banyuwangi. Hal ini di setujui
para budayawan serta seniman Banyuwangi. Kesenian Gandrung secara tidak langsung sudah
berhasil menjadi maskot Banyuwangi, hal yang belum bisa dicapai oleh bupati sebelumnya
yaitu Bupati Samsul Hadi. Selain gandrung terkenal di Indonesia, Gandrung juga terkenal di
luar negeri. Hal itu terbukti dengan banyaknya turis yang melihat BEC dan Gandrung Sewu,
bukan hanya itu saja mereka juga berpartisipasi dalam acara tersebut seperti mengikuti acara
BEC dengan memakai kostum Gandrung. Dari tahun ke tahun tari Gandrung berkembang
dengat pesat, banyak dibuktikan dengan banyaknya masyarakat sangat antusiasme dengan
tari Gandrung ini. Hal itu terbukti dengan diselenggarakannya Gandrung Sewu, banyak sekali
pemuda-pemudi yang mendaftar dan ikut seleksi. Dari banyaknya ribuan pendaftar belum
tentu semua yang mendaftar akan lolos dan dapat mengikuti acara tersebut. Selain itu,
perkembangan lain yang dirasakan kesenian Gandrung yaitu perubahan identitas. Semula
yang hanya digunakan sebagai hiburan semata dan hanya untuk kampanye politik, namun
sekarang Gandrung sudah berubah menjadi maskot atau identitas Banyuwangi.
Daftar Rujukan

Anoegrajekti, A. Macaryus, S. dan Prasetyo, H. (2016). Kebudayaan Using: Kontruksi,


Identitas, dan Pengembanganya. Yogyakarta:Penerbit Ombak

Raharjo, B. 2016. Dinamika Kesenian Gandrung di Banyuwangi pada Tahun 1950-2013.


(online), (http://download.portalgaruda.org/article.php?article=457490, diakses pada 20 Juni
2016 pada pukul 12.50).

Kayam, Umar. Seni, Tradisi, Masyarakat. 1981. Jakarta : Sinar Harapan.

Tim Peneliti. 2004. Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Using Banyuwangi Jawa
Timur.Yogyakarta:Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.

http://erepo.unud.ac.id/8694/2/cc9621a205764755918ea8ef80b54872.pdf (diakses pada


30/7/2015, pukul 06.27.33).

Wawancara dengan Kristin Ega Oktafiana (mantan penari Gandrung Sewu), pada tanggal 30
November 2017.

Anda mungkin juga menyukai