Anda di halaman 1dari 9

TARI GANDRUNG; TARIAN SAKRAL SUKU OSING BANYUWANGI

Pengantar Ilmu Budaya

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Airlangga

Dea Novi Mahfiro 121911433018

deanovi62@gmail.com

ABSTRAK: Indonesia merupakan negeri yang kaya mulai dari sumber daya alam,
keanekaragaman masyarakat, dan juga kebudayaannya. Kebudayaan Indonesia yang
sangat banyak dan unik menyebabkan Indonesia dikenal dimata dunia.. Salah satunya
yakni Tari Gandrung yang telah ditetapkan oleh UNESCO menjadi Warisan Budaya Tak
Benda (WBTB) pada tahun 2013. Tari Gandrung merupakan tarian dari suku Osing yakni
suku asli Banyuwangi. Tarian ini menggambarkan tentang terpesonanya masyarakat
Blambangan terhadap Dewi Sri atau Dewi Kesuburan. Tarian ini menampilkan gerakan-
gerakan yang erotisme sehingga terkesan negatif. Akan tetapi, tarian ini tetaplah
mengandung unsur yang sakral bagi masyarakat suku Osing. Peneliti berupaya menggali
fakta tentang tari Gandrung dengan metode kepustakaan. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui makna gerakan, musik, elemen-elemen pendukung dalam tari
Gandrung dan kesakralan Tari Gandrung bagi masyarakat suku Osing serta mengajak
pembaca untuk turut melestarikan kebudayaan Indonesia. Hasil penelitian ini adalah
mengenai sejarah tari Gandrung,
PENDAHULUAN

Kebudayaan merupakan keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang


harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan
karyanya itu (Koentjaraningrat,1974).1 Kebudayaan tercipta apabila terdapat
beberapa unsur pembentuknya yakni manusia dalam kelompok dan
lingkungannya. Diberbagai belahan dunia dapat kita temui kebudayaan, tidak
terkecuali Indonesia.

Indonesia merupakan negeri yang kaya raya. Negeri ini memiliki sumber
daya alam yang melimpah ruah, multikulturalnya masyarakat, serta ratusan lebih
kebudayaan. Tidak mengherankan jika Indonesia terkenal diseluruh belahan dunia
karena keunikanya. Salah satu kebudayaan Indonesia yang mendunia dan telah
ditetapkan oleh UNESCO (United Nations of Educational, Scientific, and
Cultural Organization) menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada tahun
2013 yaitu tari Gandrung.

Tari Gandrung merupakan tarian daerah masyarakat suku Osing


Banyuwangi. Gandrung berarti tergila-gila atau terpesona. Hal ini diwujudkan
dalam setiap gerakan tarian. Gerak tari Gandrung ini sendiri terdiri dari 3 fase
yaitu jeger,rerepen dan sebleng subuh. Selain dari gerakan, elemen lain dalam
tarian ini juga memiliki makna tersendiri mulai dari aksesoris, musik, dan yang
lainnya memiliki nilai filosofis.

Seni tari adalah hasil karya cipta manusia yang diungkapkan lewat media
gerak yang memiliki keindahan.2 Sudut pandang kita mengenai tarian daerah ini
adalah sebagai sebuah bentuk kesenian dan keindahan yang bisa dinikmati. Tarian
ini juga merepresentasikan dari kecantikan Dewi Sri yang dianggap sebagai dewi
kesuburan. Akan tetapi, dalam tarian ini menampilkan gerakan-gerakan yang
erotis sehingga menimbulkan pandangan negatif terhadap sebagian masyarakat.

1
Koentjaraningrat. 2015. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama. hal 11
2
Dewi, Resi Septiana. 2012. Keanekaragaman Seni Tari Nusantara. Jakarta Timur: Balai Putaka
(Persero). hal 1
Namun, lain halnya dengan masyarakat suku Osing. Tarian ini menjadi
tarian sakral yang biasanya ditampilkan disetiap masa panen. Meskipun banyak
menuai dukungan dan pertentangan, tarian ini tetap dijaga dan dilestarikan
sebagai sebuah warisan budaya yang biasanya ditampilkan pada acara
pemerintahan, pernikahan, pariwisata, dan momen-momen tertentu lainnya.

Dari sini peneliti mengajak pembaca untuk memahami tentang tarian sakral
masyarakat suku Osing. Melalui artikel ini diharapkan pembaca memahami
makna-makna dalam tarian Gandrung dan ikut sera dalam melestarikan
kebudayaan-kebudayaan Indonesia. Jangan sampai generasi muda zaman
sekarang tiak mengetahui kebudayaanya sendiri.

PEMBAHASAN

Banyuwangi merupakan salah satu daerah di ujung paling timur provinsi


Jawa Timur. Kota Banyuwangi ini menjadi kota terluas di provinsi Jawa Timur
bahkan di pulau Jawa. Kota ini merupakan akses dari pulau Jawa menuju ke pulau
Bali. Tidak mengherankan jika terdapat beberapa kemiriripan antara budaya
Banyuwangi dengan budaya Bali. Salah satunya yakni tari Gandrung. Tari
Gandrung yang berasal dari Banyuwangi ini meyebari ke pulau Bali hingga
Lombok.

Tari Ganadrung merupakan tarian daerah masyarakat suku Osing di


Banyuwangi. Menurut kamus Jawa Kuno, kata gandrung bermakna pandanglah
dia, cinta, atau dapat juga berarti terpesona maupun terharu. Dengan demikian,
dari pengertian tersebut istilah gandrung bisa dimaknai tergila-gila karena dicintai
dan tarian asmara juga disebut gandrung.3 Definisi dari kata gandrung telah
mencerminkan makna tarian ini sendiri yakni berupa kecintaan masyarakat suku
Osing terhadap Dewi Sri atau Dewi Kesuburan yang telah memberikan anugerah
hasil panen di tanah agraris tersebut. Dewi Sri sendiri merupakan istri dari Dewa
Wisnu.

3
Soelarto dan Ilmi. 1957. Kesenian Rakyat Gandrung Dari Banyuwangi. Jakarta: Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan, Depdikbud. hal 24.
1. Sejarah Tari Gandrung

Sejarahnya pada tahun 1890, tari Gandrung merupakan pengembangan


dari tari Seblang. Tari Gandrung ini ada sejak kerajaan Blambangan.
Awalnya tari Gandrung ditampilkan oleh laki-laki yang lanjut usia yang
berbusana wanita. Orang tersebut tidak pandai menari akan tetapi dia dapat
menari dengan bantuan kekuatan roh yang merasukinya. Penari diiringi musik
kendang dan terbang, setelah menari mereka mendapat imbalan berupa beras.
Penari Gandrung laki-laki yang terakhir kali dikenal adalah Marsan dan
Rogojampi pada tahun 1890.4 Pada tahun 1914 tari Gandrung wanita pertama
yakni Semi, seorang gadis kecil yang sakit-sakitan yang berkaul jika sembuh
akan menjadi penari Gandrung5

Tari Gandrung setiap zamannya mengalami perkembangan. Mulai dari


kemasukan pengaruh-pengaruh Arab, Cina, dan India. Lalu adanya
modifikasi terhadap tari Gandrung menjadi tari kreasi. Gandrung asli yang
sesuai pakemnya semakin sepi penonton.. penonton lebih senang dengan tari
Gandrung yang dikreasikan dan dimainkan oleh anak-anak gadis.

2. Gerak Tari Gandrung

Tari Gandrung memiliki makna yang yang sakral disetiap gerakannya.


Akan tetapi mengandung unsur erotisme juga sehingga menimbulkan kesan
negatif bagi masyarakat awam. Rangkaian tarian ini terdiri dari tiga fase
yakni jejer, ngrepen, dan seblang subuh. Jejer merupakan rangkaian awal
pementasan Gandrung. Gerakan tarinya diiringi gendhing jejer. Penari
menari mengikuti irama gendhing dengan menebarkan senyuman sebagai
gambaran keceriaan dan kelincahan serta erotis sambil menggerakkan
pinggul. Setelah penari menari dengan lincah, tempo geraknya pun berubah
menjadi lembut. Kemudian penari menari dengan menggunakan kipas dan

4
Sejati, Irfanda Rizki Harmono. 2012. “Biola dalam Seni Pertunjukan Gandrung Banyuwangi”
dalam HARMONIA, Vol. 12, No. 2, Desember. Semarang: Universitas Negeri Semarang. hal 96
5
Munawaroh, Siti. 2007. “Gandrung Seni Pertunjukan Di Banyuwangi” dalam JantraIi, Vol. II No.
4, Desember. Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. hal 256
menyanyikan lagu padha nonton dan pudhak sempal. Gerakan lincah pun
kembali di pertunjukan dengan menyanyikan lagu jaran dhawuk. Gerak jejer
pun selesai.

Rangkaian yang kedua yakni ngrepen. Gerakan ini diawali dengan


nyanyian-nyanyian dari penari Gandrung. Kemudian gedhong (orang yang
mengatur jalannya tarian) mengajak penari Gandrung dan para tamu untuk
menari bersama. Para tamu boleh meminta dinyanyikan lagu atau menari
bersama dengan menyediakan amplop (uang) terlebih dahulu. Penari
Gandrung pun membawakan selendang atau sampur untuk menari bersama
para tamu. Ini merupakan inti dati pertunjukan tari Gandrung sehingga
memakan waktu paling lama.

Rangkaian yang terakhir yakni seblang subuh. Setelah ngrapen selesai,


penari beristirahat sejenak. Lalu dilanjutkan dengan lagu-lagu penutup
dengan tarian seblang subuh. Lgu yang dibawakan yakni bang-bang wetan
yang mengisyaratkan bahwa fajar telah tiba dan tarian Gandrung segera
selesai. pada bait-bait akhir diselipkan uangkapan-ungkapan yang
mengandung makna agar penonton teringat dengan kecantikan penari.

3. Elemen Pendukung Tarian


Tari Gandrung diiringioleh alat-alat musik yaitu kendhang lanang dan
kendhang wadon, kethuk, biola, dan kluncing. Perangkat alat musik ini
dimainkan oleh 8 orang atau disebut panjak. Iringan musik Gandrung
merupakan perpaduan antara vokal dan tari. Pemain biola disebut ranginan
atau larasan. Biola yang dimainkan pada pertunjukan ini pun tidak jauh
berbeda dengan biola Barat. Biola ini menjadi penentu vokal bagi penari
Gandrung dalam membawakan nyanyian. Lagu yang dibawakan pada setiap
rangkaian berbeda-beda. Pada rangkaian pertama yakni jejer menggunakan
lagu padha nonton dan pundhak sempal. Lalu pada rangkaian ngrepen, lagu
sesuai dengan permintaan tamu dan penonton. Sedangkan seblang subuh
penari menyanyikan lagi bang-bang wetan.
Penari Gandung sendiri dibedakan menjadi penari profesional dan
penari amatir. Penari profesional biasannya menari pada acara-acara sakral,
sedangkan penari amatir dipentaskan untuk menyambut pemerintah, even-
even pariwisata, dan yang lainnya. Penari profesional sebelum menjalankan
tugasnya terlebih dahulu melakukan tirakat¸dengan melakukan puasa. Lalu
saat sebelum melakukan pementasan, penari merapalkan doa-doa khusus. Hal
ini dimaksudkan agar mendapatkan kelancaran dan tidak ada gangguan yang
bersifat ghaib atau nyata. Mantra yang biasanya diucapkan yakni:

“Bismillah hirrahmanirahim.
Asmarawulan ben aku Nabi Yusuf.
Suwaraku Nabi Dawud
Wong sing rungu podho mangu
Wong sing ndeleng padhalengleng
Wong sobo wono podho teko
Welas, teka asih
Jabang bayine wong sak jagad
Asio marang isun Temuk atau Mudaiyah
Ya Allah 7×

Terjemahan bebas mantra tersebut adalah sebagai berikut:


Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang
Asmara bulan agar aku Nabi Yusuf
Suara saya Nabi Dawud
Orang yang mendengar semua terlena
Orang yang melihat semua terpesona
Orang yang bekerja di ladang semua datang
Belas, datang kasih
Bayi merahnya orang sedunia
Berbelas kasihlah kepada saya (nama pembaca; Temuk atau Mudaiyah)
Wahai Allah 7×
Setelah itu penari mengentakkan kaki ke bumi 7× dan menghadap
kelangit.6 Dengan dipanjatkannya doa-doa tersebut, diharapkan agar
pementasan berjalan lancar tanpa terkendala suatu apapun.
Selain dari musik dan penari, busana dan pernak pernik yang dikenakan
penari pun sangat menunjang penampilan serta memiliki makna tersendiri
didalamnya. Berikut penjelasannya:
1. Omprong merupakan mahkota (penutup kepala) yang menggambarkan
keagunggan dan kecantikan penari Gandrung. Antareja yang mempunyai
bentuk manusia berbadan ular melambangkan masyarakat Banyuwangi
yang berkehidupan tidak terlalu mewah, tidak lebih, tidak kurang, serta
mempunyai sifat tegar.
2. Ornamen kaca mempunyai bentuk pecahan cermin kecil-kecil yang
ditata rapi di bagian mahkota. Kaca dalam mahkota tersebut
melambangkan sebagai penolak balak atau sihir hitam.
3. Pilisan berbentuk setengah lingkaran yang menjadi pembatas wajah
dengan omprong. Pilisan ini memiliki makna bahwa dalam berkehidupan
memiliki batasan yang diatur dalam norma-norma.
4. Bendera Merah Putih yang berbentuk persegi memiliki arti sebagai alat
perjuangan dan sandang pangan bagi masyarakat Banyuwangi.
5. Kelat bahu berbentuk seperti kupu-kupu dan dipakai pada lengan kiri dan
lengan kanan yang memiliki makna sebagai penari malam dalam
pengertian menari di malam hari yang mempunyai batasan serta norma
tertentu pada saat pentas.
6. Gajah oling berbentuk seperti timbuhan. Gajah oling ini memiliki
makna sebagai kesuburan pada masyarakat Banyuwangi dan tidak akan
kekurangan dalam mencari makanan.7

6
Fawaid, Moh. 2015. Eksistensi Seni Tari Gandrung Di Desa Kemiren Kecamatan Glagah
Kabupaten Banyuwangi. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Program Stusi Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik. Universitas Jember. hal 66
7
Negara, Dewi Atma. 2011. Makna Tata Busana Tari Gandrung Banyuwangi. Skripsi. Tidak
Diterbitkan. Jurusan Seni dan Desain. Fakultas Seni. Universitas Negeri Malang. hal 4
Tari Gandrung yang awalnya hanya ditampilkan pada acara sakral suku
Osing yakni pada saat musim panen (bentuk rasa syukur) mulai berkembang dan
dipertunjukkan pada acara pariwisata, even-even kota Banyuwangi, dan lain-lain.
Daftar Pustaka

Dewi, Resi Septiana. 2012. Keanekaragaman Seni Tari Nusantara. Jakarta Timur:
Balai Putaka (Persero).

Fawaid, Moh. 2015. Eksistensi Seni Tari Gandrung Di Desa Kemiren Kecamatan
Glagah Kabupaten Banyuwangi. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Program Stusi
Sosiologi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Jember.

Koentjaraningrat. 2015. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama.

Munawaroh, Siti. 2007. “Gandrung Seni Pertunjukan Di Banyuwangi” dalam


JantraIi, Vol. II No. 4, Desember. Yogyakarta: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Yogyakarta.

Negara, Dewi Atma. 2011. Makna Tata Busana Tari Gandrung Banyuwangi.
Skripsi. Tidak Diterbitkan. Jurusan Seni dan Desain. Fakultas Seni. Universitas
Negeri Malang.

Sejati, Irfanda Rizki Harmono. 2012. “Biola dalam Seni Pertunjukan Gandrung
Banyuwangi” dalam HARMONIA, Vol. 12, No. 2, Desember. Semarang:
Universitas Negeri Semarang.

Soelarto dan Ilmi. 1957. Kesenian Rakyat Gandrung Dari Banyuwangi. Jakarta:
Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Depdikbud.

Anda mungkin juga menyukai