Anda di halaman 1dari 5

WEJANGAN DALAM PERKAWINAN ADAT JAWA, TRADISI ORANG JAWA

Oleh : Asad Syamsul Arifin


ABSTRACT
Budaya Jawa mempunyai banyak kearifan dalam memandang
sebuah perkawinan. Perkawinan bukan hanya gebyar keindahan dari
sebuah hubungan laki-laki dengan wanita. Tetapi lebih sebagai satu
perjanjian yang kokoh dan kuat, serta lahir batinnya, untuk membentuk
keluarga bahagia (sakinah mawaddah warahmah) sesuai dengan
ketentuan dari yang Maha Kuasa, bahkandalam sebuah hadist dikatakan,
nikah itu sunnah Nabi Muhammad SAW, sebagaimana sabda beliau:
Nikah itu termasuk sunnahku, barang siapa yang tidak mengamalkan
sunnahku, maka bukanlah golonganku. (HR. Ibnu Majah).
Rambu-rambu dalam perkawinan, bukan soal harta, bukan karena
wajah, hanya hati modalnya, jika salah sekali dan jika benar pun sekali,
jika terlanjur sulit maka sulitnya luar biasa, tak bisa dibeli dengan harta.
Wanita yang taat beragama, punya nasib baik, saudara jauh, masih gadis
dan subur, itu lebih utama dari yang lainnya. Para leluhur dengan
bijaksana telah mengemas berbagai wejangan itu dalam berbagai simbol.
Mengapa selalu ada hiasan, seperti janur kuning melengkung, tebu,
cengkir(buah kelapa yang masih muda), dan pisang raja yang
ditempatkan di depan rumah, mempelai pengantin laki-laki dan
perempuan saling melempar daun sirih, dan lain sebagainya.
KATA KUNCI:
Wejangan, Adat Jawa, Tradisi Tulen, Petunjuk Leluhur
PENDAHULUAN
Pernikahan adalah suatu rangkaian upacara yang dilakukan
sepasang kekasih untuk menghalalkan semua perbuatan yang
berhubungan dengan keluarga dan meneruskan garis keturunan. Salah
satu syarat nikah yaitu, Meminang atau dalam Arab (khitbah) adalah
pernyataan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau janda yang
sudah habis masa iddah-nya, untuk dijadikan sebagai istri atau sebaliknya
dari pihak perempuan pada pihak laki-laki untuk dijadikan suami.
Guna melakukan prosesi pernikahan, orang Jawa selalu mencari hari
kebaikanberdasarkan patokan Primbon Jawa. Sebulan sebelum akad nikah,
secara fisik calon pengantin perempuan disiapkan untuk menjalani hidup
pernikahan, dengan cara diurut perutnya dan diberi jamu oleh ahlinya. Hal
ini dilakukan untuk menempatkan rahim dalam posisi yang tepat agar
dalam persetubuhan pertama memperoleh keturunan, dan minum jamu
(ramuan jawa) agar tubuh ideal dan singset.
Dalam pembicaraan tentang pernikahan, mengenai perspektif
identitas orang jawa mereka dikenal memiliki warisan dari leluhur jawa
yang identik dengan identitas kejawaannya. Meski di zaman sekarang
sudah mulai digalakkan pelestarian khasanah peninggalan kejawen,
namun dalam acara-acara tertentu masih terkesan sangat lengket dengan
kepribadian orang jawa. Misalnya, dalam acara resepsi pernikahan, reuni
keluarga jawa, perkumpulan paguyuban kaum kebatinan (kejawen).
1

Mungkin, sekitar ada lima identitas jawa yang disimbolkan dengan


wanita(istri, pasangan hidup), curiga (keris, pusaka Jawa kuno), wisma
(rumah), turangga (kuda sebagai kendaraan), dan kukila (burung
perkutut). Identitas orang jawa tersebut sebenarnya merupakan kekayaan
warisan atau peninggalan leluhur jawa yang patut dibanggakan.
Sedangkan suku-suku di pedalaman seperti di Papua, berbagai suku di
Afrika, suku Indian, dan sebagainya juga memiliki tradisi budaya
(kebudayaan) yang mereka banggakan.
IDENTITAS BUDAYA JAWA
Wanita (istri, pasangan hidup). Dalam perspektif atau pandangan
orang jawa (kejawen), keberadaan Wanita ini sangat penting dalam
kehidupan seorang laki-laki. Sebab, seorang suami akan menjadi
terhormat jika didampingi oleh istri, lebih-lebih jika istrinya sholihah
(baik). Sebaliknya, jika istri tergolong bukan wanita baik, maka hal ini
akan menyebabkan jatuhnya derajatnya dan martabat sang suami. Begitu
pula sebaliknya. Jika sang suami tergolong berandalan, tentu akan
menyebabkan buruknya citra sang istri. Tapi dalam konteks kejawen, yag
lebih ditonjolkan adalah posisi martabat sang suami. Semua itu
tergantung kesungguhan suami mendidiknya! Seorang istri benar-benar
menjadi tanggung jawab bagi suami untuk mendidik, memimpin,
menemani, merawat, dan menggaulinya.
Curiga (Keris, Pusaka). Secara umum mempunyai dua fungsi atau
kegunaan yakni Keris Agamen (keris yang dipakai dalam acara-acara
tertentu dalam tradisi kejawen)dan Keris Pusaka Tayuhan. Jelas, antara
satu dengan yang lainnya sangat berbeda jauh. Jika Keris Agamen lebih
berfungsi estetika (keindahan), tetapi Keris Pusaka Tayuhan memiliki
persyaratan tertentu. Dalam sejarahnya, keris (curiga)buatan seorang
empu dipakai sebagai senjata sakti karena beracun dengan daya serap
tinggi. Dengan demikian, curiga (keris) merupakan cekelan alias senjata
yang dipakai para raja, senapati, manggalayuda, prajurit, dan sebagainya,
bahkan termasuk Wali Sanga. Bagi orang jawa (kejawen), curiga
merupakan falsafah hidup suku Jawa Kuno, sebab keris merupakan simbol
Tuhan Yang Maha Esa. Katakanlah sebagai lambang kekuatan ghaib Ilahi.
Wisma (Rumah). Bagi manusia jawa nampaknya belum sempurna
bila seseorang belum jelas alamatnya-sehingga membutuhkan wisma
(tempat tinggal atau rumah). Biasanya model rumahnya berbentuk limas
dengan bagian tengah yang menjulang tinggi ke atas dan banyak modelmodel lainnya. Bagi masyarakat Jawa pedalaman yang strata ekonominya
tergolong lumayan, biasanya mereka memiliki bale (balai yang cukup
luas) yang terletak paling depan dan menghadap selatan. Bale ini
biasanya dipakai untuk ruang tamu, ruang pertemuan, nanggap wayang
kulit semalam suntuk atau hajatan, sarasehan, dan seterusnya.
Turangga (kuda sebagai kendaraan).Turangga atau kuda dikenal
sebagai kendaraan bagi orang-orang Jawa di zaman dulu. Secara filosofi,
turangga sebenarnya melambangkan empat nafsu manusia dan
dilambangkan empat kaki turangga. Di pedesaan, terutama di Jawa
pedalaman wilayah selatan sangat marak atraksi permainan jaranan(kuda
2

lumping). Itu adalah isyarat mengenai kuda berkaki empat yang


merupakan simbol dari empat nafsu manusia, yakni nafsu amarah,
lawwamah, supiyah (mulhimah), dan muthmainnah.
Kukila (Burung Perkutut). Bagi manusia Jawa terutama masyarakat
Jawa pedalaman yang terlihat sering memelihara burung perkutut (bhs
jawa: manuk kutut) di dalam sangkar yang dipajang depan rumahnya,
sejatinya merupakan simbolis yang amat dasyat, di samping menunjukkan
estetika (keindahan) menikmati suara burung perkutut. Burung di dalam
sangkar, sebenarnya merupakan metafora atau perumpamaan antara hati
(nurani) dengan badan wadhag (fisik, jasmaniah). Antara yang bersifat
batiniah dan lahiriah. Antar substansi (hakikat) denganfiqh (syariat).
Dengan demikian, brung perkutut melambangkan sang sukma yang
berada di dalam badan fisik manusia. Lebih tajam lagi, burung perkutut
(manuk
kutut),
oleh
manusia
Jawa
diilustrasikan
sebagai
pengejawantahan atau semacam out put (produk) dari kaum muslimin
yang secara istiqamah membaca (darusan) Al-Quran.
DOM SUMUSUPING BANYU: Bobot, Bibit, Bebet
Menurut Mifedwil Jandra, sebelum perkawinan dilaksanakan, ada
acara pemilihan jodoh yang dikenal dengan obor-obor. Ada tiga hal
penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan jodoh. Pertama, bobot;
yakni seleksi kualitas calon menantu. Terutama laki-laki sebab bahagia
tidaknya seorang istri sangat dipengaruhi oleh suaminya. Kedua, bibit;
yakni pertimbangan berdasarkan keturunan atau keadaan orang tuanya.
Apakah calon menantu punya penyakit berat , misal epilepsi (ayan), sakit
jiwa, dan sebagainya. Ketiga, bebet; yakni pertimbangan perangai atau
perilaku orangtua calon mempelai dalam hubungan bermasyarakat.
Sementara, dalam rangkaian upacara perkawinan dimulai sesudh
diterimanya lamaran dan ditentukan waktunya. Demikian tata urutan
upacara perkawinannya;
Majang Tarub. Majang artinya menghias, yang dihias antara lain
tratag (didepan rumah) kemudian kerombong (ruang utama), yaitu
sentong tengah, yaitu suatu tempat di depan kamar tidur, dan pasaren
serta berbagai fasilitas untuk tempat tidur pengantin. Sedangkan Tarub
dilingkungan Keraton diartikan sebagai suatu atap. Sementara di halaman
rumah untuk perayaan pengantin dihiasi dengan janur yang dibentuk
melengkung dan digantung di pinggir tratag di antara tiang-tiang dan
bagian tepi tarub.
Siraman, sebelum dikerik untuk malam midodareni, calon pengantin
putra maupun putri dimandikan terlebih dahulu. Maksudnya untuk
membersihkan dari noda dan dosa serta sifat buruk yang harus dilebur
sebelum upacara temu (panggih).
Midodareni, yakni berkumpul untuk berjaga-jaga saat menunggu,
caranya dengan duduk bersama pada suatu malam, yakni sehari sebelum
hari bahagia (saat resepsi).
Akad Nikah, yakni pernyataan atau perjanjian adanya hubungan
antara mempelai laki-laki dengan perempuan yang dilakukan wali
dihadapan dua orang saksi laki-laki dengan menggunakan kata-kata ijab
dan kabul
3

Dhaup, yakni upacara pertemuan resmi secara adat tradisional


kedua pengantin laki-laki dengan pengantin wanita dan diselenggarakan
di tempat pengantin wanita.
Lenggahan Agung, tahap ini merupakan acara resepsi besarbesaran.
Jangan Menir, secara etimologi, jangan menir artinya sayur
bening; secara teknis diartikan kembalinya pengantin ke rumah masingmasing.
Sepekanan (sepasaran), artinya lima hari setelah menikah. Dalam
kepercayaan Jawa, sepekan merupakan suatu waktu yang sakral dan
penuh keberuntungan.
Selapanan, yakni upacara yang dilakukan setelah jatuh pada hari
dan pasaran yang sama.
Perkawinan dalam dimensi sufistik merupakan proses menyatukan
kekuatan jamaliyah (feminin) denagn kekuatan jalaliyah (maskulin),
sehingga menjadi kekuatan yang hebat bernama kekuatan kamaliyah
(kesempurnaan). Dan kekuatan itu hanya bisa dicapai olenh manusiamanusia yang dalam terminologi sufi disebut insan kamil.
MAKNA SIMBOLIS (JANUR KUNIG, CENGKIR, TEBU, DAN PISANG RAJA)
Pujangga jawa dulu memang sangat senang dengan simbol-simbol
budaya jawa yang melambangkan isyarat kehidupan. Ini menunjukkan
betapa pedulinya orang jawa, sehingga hampir semua khasanah senibudaya jawa selalu dikontekstualkan ke dalam substansi kehidupan itu
sendiri. Dari beberapa argument, dalam tradisi atau acara-acara
seremonial khususnya dalam acara kejawen banyak dihadiri secara
sarimbit(pasangansuami-istri) dengan pakain kejawen pula. Bagi laki-laki
memakai beskap dengan jarit dan blangko-nya serta sandal slop.
Sedangkan bagi sang istri memakai busana(pakaian) kejawen komplit,
semuanya menambah keserasian dan keharmonisan. Bagi orang jawa
(kejawen), ketika para tamu datang pada acara resepsi pernikahan, di
pintu gerbang depan rumah sang tuan rumah terlihat ada janur kuning
melengkung. Makna simbolis yang terkandung, janur-berdasarkan bahasa
jawa (othak-athik mathuk) bermakna (arahnya menggapai Nur = cahaya
Ilahi). Sedangkan, kuning bermakna sabda dadi (kun fayakun-Nya Allah
SWT) yang dihasilkan dari jiwa yang bersih. Dengan demikian, janur
kuning mengisyaratkan cita-cita yang mulia untuk menggapai cahaya
(nur)-Nya dengan hati yang bersih. Ketika mempelai pengantin laki-laki
dan perempuan dipertemukan, sebelumnya masing-masing mempelai
membawa daun sirih (suruh) dan dijadikan gulungan kemudian
dilemparkan kepada pasangannya. Dari daun sirih itu, tersirat mempunyai
makna sebagai simbol selaras, serasi, dan seimbang.
Sedangkan, maksud dari sebuah simbol tebu, cengkir dan pisang
raja yang diikat pada gapura rumah ketika mengadakan resepsi yaitu,
sebuah simbol dan perlambangan nasihat (ungkapan bijak) dari orang tua
kepada anaknya yang telah memasuki kehidupan baru sebagai pengantin
agar meyiapkan masa depan dengan bersungguh-sungguh dengan
dibekali tiga hal tadi. Sedangkan itu, ada sebuah wangsit yang
menggunakan buah kelapa muda (degan)di zaman Mataram dulu Barang
4

siapa yang mampu menghabiskan air kelapa muda (degan) hijau


sekaligus, maka dia akan menurunkan raja jawa.
PENUTUP
Nampaknya, para leluhur atau nenek moyang jawa yang
meninggalkan warisan identitas budaya tersebut bukan saja patut
dibanggakan, tetapi juga memiliki simbol-simbol yang syarat akan nilainilai hidup dan kehidupan secara esensial. Bahkan, identitas budaya
jawa juga memiliki kegunaan (pragmatis), tujuan, dan simbolisasifilosofinya, disamping nilai etika dan estetikanya. Semua terlibat dengan
cinta, maka dari itu para leluhur jawa membuat wejangan nasihat yang
kuat berupa simbol-simbol. Meskipun zaman sudah berubah, tetapi masih
berlaku hingga masa sekarang. Itu menandakan betapa kuatnya warisanwarisan orang terdahulu.
Sebagai bagian dari orang dan masyarakay Jawa yang memiliki
tradisi adat dan budayanya sendiri (kejawen)-sudah barang tentu kita
harus husnudhzan (berbaik sangka), bahkan kalau bisa menggali makna
ke akar budaya yang diciptakan oleh para pujangga Jawa. Para leluhur
pujangga Jawa yang telah menciptakan tradisi atau adat dalam acara
pernikahan, tentu mengantongi nilai-nilai positif (Ilahiyah) yang dikemas
secara simbolis atau perlambang. Sebab orang Jawa biasanya dalam
memberikan nasihat tidak suka yang ngegla (vulgar, terbuka), melainkan
lebih sering menggunakan pasemon (metafora, perlambang, simbolik, dan
sebagainya)
DARTAR RUJUKAN
Fadlun, Muhammad. (tidak ada tahun). Rangkuman Pengetahuan Agama
Islam. Surabaya:CV. Pustaka Agung Harapan.
Susetya, Wawan. 2007. Ular-ular Manten Adat Jawa. Yogyakarta: NARASI.
Ridlwan Qoyyum Said, M. 2004. Seni Bercinta Versi Kitab Kuning. Kediri:
MITRA GAYATRI.
Panuti, Sujiman. 1992. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Sumarsono. 2007. Tata Upacara Pengantin Adat Jawa. Jakarta: PT. Buku
Kita.
Thalia, Najma S.S. 2008. Mengenal_Tata_Upacara_Pengantin_Adat
Informasi.
http://lubisgrafura.wordpress.com/f-kejawen/mengenal-tataupacara-pengantin-adat-jawa/#? Diakses 12 Desember 2014.

Anda mungkin juga menyukai