Anda di halaman 1dari 6

PARIWISATA SENI-BUDAYA: TARIAN GANDRUNG BANYUWANGI

PENDAHULUAN

1.

Latar Belakang
Kabupaten Banyuwangi atau sering disebut kota gandrung merupakan
Kabupaten yang terletak diujung paling timur pulau Jawa dan bersebrangan
dengan pulau Bali. Secara tidak langsung posisi tersebut menyebabkan
perpaduan antara budaya Jawa dan Bali. Perpaduan inilah yang disebut
dengan Akulturasi budaya yang meliputi beberapa aspek tari, musik dan
pakaian adat.
Salah satu bukti bahwa Banyuwangi merupakan tempat terjadinya
akulturasi budaya adalah di lihat dari sebutan kota gandrung untuk
Banyuwangi.

Sebutan

gandrung

diambil

dari

tarian

tradisional

Banyuwangi yaitu tarian gandrung, di mana tarian ini merupakan tarian


tradisional yang menjadi identitas Banyuwangi yang merupakan hasil
akulturasi budaya Jawa dan Bali. Akulturasi ini terlihat baik dari segi pakaian
sang penari sampai alat musik yang di pakai untuk mengeringi tarian
gandrung ini.
Namun pada saat ini tarian gandrung telah jarang dimainkan, saat ini
banyak
didirikan organisasi untuk belajar tari yang lebih modern dan terarah.
mungkin

ini

faktor

dari

lingkungan

lingkungan

yang

mempengaruhi

seseorang untuk lebih tertarik terhadap budaya asing yang di anggap lebih
modern bukan budaya negeri sendiri yang sudah di lestarikan sudah sejak
dahulu, Oleh sebab itu juga tarian tersebut jarang ada yang mengenalnya.
Melihat peristiwa tersebut perlu adanya pengembangan khusus tentan
tarian gandrung. Hal ini agar masyarakat secara luas mengerti tentang
tarian gandrung dan dapat melestarikannya.
1.2 Tujuan
Kesenian tari gandrung ini sering dipentaskan pada berbagai acara,
seperti perkawinan, pethik laut, khitanan, tujuh belasan dan acara-acara
resmi maupun tak resmi lainnya baik di Banyuwangi maupun wilayah
lainnya.

Sehingga

secara

tidak

langsung

tarian

gandrung

bisa

mempersatukan tali kekeluargaan dan bisa dijadikan ikon suatu daerah

serta bisa mengundang ketertarikan para wisatawan. Maka dari itu dengan
penulisan ini diharapkan masyarakat atau pembaca mengetahui lebih dalam
tentang tarian gandrung yang meliputi sejarah, tata busana, musik
pengiring dan tahapan pertunjukkan.

2. SENI-BIDAYA TARIAN GANDRUNG


2.1 Sejarah Tarian Gandrung
Tari Gandrung Banyuwangi berasal dari kata gandrung, yang berarti
tergila-gila

atau

cinta

habis-habisan

dalam

bahasa

Jawa.

Dengan

melibatkan seorang wanita penari profesional yang menari bersama-sama


tamu (terutama pria) dengan iringan musik (gamelan). Menurut catatan
sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani
seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama
yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Pada saat itu,
biola telah digunakan. Namun demikian, gandrung laki-laki ini lambat laun
lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran
Islam melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti
perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada
tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan.
Menurut

sejumlah

sumber,

kelahiran

Gandrung

ditujukan

untuk

menghibur para pembabat hutan, mengiringi upacara minta selamat,


berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker. Gandrung wanita
pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak
kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut
cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup
parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga
kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti
Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing (Bila
kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi).
Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai
babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh wanita.
Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik
perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama
panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero
Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung
hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya,
namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan
keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya
sebagai

sumber

mata

pencaharian

di

samping

eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.

mempertahankan

2.2 Tata Busana Penari


Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna
hitam, dihiasi dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik yang
mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedang
bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka. Di bagian leher
tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup tengah dada dan sebagai
penghias bagian atas. Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan
satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan
sembong serta diberi hiasan kain berwarna-warni sebagai pemanisnya.
Selendang selalu dikenakan di bahu. Kepala dipasangi hiasan serupa
mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang disamak
dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen yang
berkepala manusia raksasa namun berbadan ular serta menutupi seluruh
rambut penari gandrung.
Penari gandrung juga menggunakan kain batik dengan corak bermacammacam. Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri
khusus adalah batik dengan corak gajah oling, corak tumbuh-tumbuhan
dengan belalai gajah pada dasar kain putih yang menjadi ciri khas
Banyuwangi. Sebelum tahun 1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus
kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung selalu memakai
kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya. Di samping itu penari juga
menggunakan kipas sebagai pelengkap tariannya itupun digunakan hanya
pada bagian tahapan tertentu.
2.3 Musik Pengiring
Musik pengiring untuk gandrung Banyuwangi terdiri dari satu buah
kempul atau gong, satu buah kluncing (triangle), satu atau dua buah biola,
dua buah kendhang, dan sepasang kethuk. Di samping itu, pertunjukan
tidak lengkap jika tidak diiringi panjak atau kadang-kadang disebut
pengudang (pemberi semangat) yang bertugas memberi semangat dan
memberi efek kocak dalam setiap pertunjukan gandrung. Peran panjak
dapat diambil oleh pemain kluncing. Selain itu kadang-kadang diselingi
dengan saron Bali, angklung, atau rebana sebagai bentuk kreasi dan diiringi
electone.

2.4 Tahapan tahapan pertunjukkan


Dalam tarian gandrung tedapat beberapa tahapan yaitu, Jejer, maju dan
seblang subuh. Jejer merupakan pembuka seluruh pertunjukan gandrung.
Pada bagian ini, penari menyanyikan beberapa lagu dan menari secara solo,
tanpa tamu. Para tamu yang umumnya laki-laki hanya menyaksikan.
Tahapan yang kedua adalah Maju, pada tahapan ini sang penari mulai
memberikan selendang-selendang untuk diberikan kepada tamu. Tamutamu pentinglah yang terlebih dahulu mendapat kesempatan menari
bersama-sama. Biasanya para tamu terdiri dari empat orang, membentuk
bujur sangkar dengan penari berada di tengah-tengah. Sang gandrung akan
mendatangi para tamu yang menari dengannya satu persatu dengan
gerakan-gerakan yang menggoda, dan itulah esensi dari tari gandrung,
yakni tergila-gila atau hawa nafsu. Setelah selesai, si penari akan
mendatangi rombongan penonton, dan meminta salah satu penonton untuk
memilihkan lagu yang akan dibawakan. Acara ini diselang-seling antara
maju dan repn (nyanyian yang tidak ditarikan), dan berlangsung sepanjang
malam

hingga

menjelang

subuh.

Kadang-kadang

pertunjukan

ini

menghadapi kekacauan, yang disebabkan oleh para penonton yang


menunggu giliran atau mabuk, sehingga perkelahian tak terelakkan lagi.
Tahapan yang terakhir adalah Seblang subuh. Bagian ini merupakan
penutup dari seluruh rangkaian pertunjukan gandrung Banyuwangi. Setelah
selesai melakukan maju dan beristirahat sejenak, dimulailah bagian seblang
subuh.

Dimulai

penghayatan,
menurut

dengan

kadang

irama

atau

gerakan

penari

yang

sambil

membawa

kipas

tanpa

membawa

kipas

perlahan
yang
sama

dan

penuh

dikibas-kibaskan
sekali

sambil

menyanyikan lagu-lagu bertema sedih seperti misalnya seblang lokento.


Suasana mistis terasa pada saat bagian seblang subuh ini, karena masih
terhubung erat dengan ritual seblang, suatu ritual penyembuhan atau
penyucian dan masih dilakukan (meski sulit dijumpai) oleh penari-penari
wanita usia lanjut. Pada masa sekarang ini, bagian seblang subuh kerap
dihilangkan

meskipun

sebenarnya

pertunjukan pentas gandrung.


3. KESIMPULAN

bagian

ini

menjadi

penutup

satu

Tari Gandrung dalam pementasannya didukung oleh berbagai unsur,


yaitu penari, pemusik, alat musik, nyanyian, gerak tari, dan arena atau
panggung. Masing-masing unsur mempunyai tugas dan peranannya sendirisendiri. Selain itu dalam pementasan juga didukung oleh pemaju, yaitu
penonton

yang

menari

bersama

penari

Gandrung.

Setiap

penonton

mempunyai kesempatan untuk menari bersama Gandrung. Sebagai suatu


hasil kebudayaan, Tari Gandrung mengalami perkembangan. Perkembangan
terjadi tidak secara revolusioner. Perubahan atau perkembangan terdapat
dalam busana atau pakaian. Tari Gandrung dewasa ini mendapat perhatian
yang besar dari Departemen Pendidikan Nasional. Di sekolah-sekolah
khusunya di Banyuwangi diadakan kegiatan ekstrakurikuler Tari Gandrung.
Upaya ini tidak lain untuk melestarikan dan mewariskan Tari Gandrung
kepada generasi muda.
Untuk melestarikannya Kita dapat belajar melalui dua jalur, yaitu jalur
tradisional dan jalur akademis. Misalnya di jalur tradisional kita dapat
mendirikan sanggar sanggar agar dapat mengajarkan tentang tarian
tarian Indonesia kepada anak-anak sebagai penerus bangsa. di dalam jalur
akademis , perlu ada penyuluhan ke sekolah-sekolah yang ada , terutama
yang masih jenjang kecil (SD) karena jika kita pupuk saat dini Tarian ini tak
akan lekang di makan waktu.

Daftar Pustaka:
Saugi, Ahmad. (2009). Tari Gandrung. Diakses 13 Agustus 2010 pada World
Wide Web:http://achmadsaugi.wordpress.com/2009/12/11/tari-gandrung/
Syahri. (2009). Analisa Tari Gandrung. Diakses 13 Agustus 2010 pada World
Wide Web:http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/11/29727/
Velmots. ( 2009). Tari Gandrung. Diakses 13 Agustus 2010 pada World Page
Wide: http://grafityindonesia.wordpress.com/category/tari-gandrung/
Oktaviani Tyas, Ratna, Kesenian Gandrung Banyuwangi dan Nilai-nilai yang
Bermanfaat bagi pendidikan. Jurnal P&PT, (106).

Anda mungkin juga menyukai