Anda di halaman 1dari 21

Tradisi Ruwatan Masyarakat Jawa

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Makalah ini dibuat guna memberikan informasi tentang tradisi ruwatan pada masyarakat Jawa, yang masih
tetap ada walaupun perkembangan zaman yang begitu pesat. Di era keterbukaan ini, dan tak hilang termakan oleh
usia, tetapi malah menjadi sebuah kebudayaan yang mengakar di masyarakat Jawa dan kata “kebudayaan”
merupakan istilah yang paling luas cakupan maknanya dan setiap orang awam pasti merasa tahu tentang apa
yang dimaksud tentang “kebudayaan” itu, tetapi masing-masing menghayatinya menurut “rasanya” sendiri-sendiri
dan para ahlipun ternyata tak mudah membuat batasan atau definisi yang memuaskan dan dapat diterima oleh
semua pihak.
Definisi yang begitu banyak itu merupakan pertanda betapa luasnya aspek yang terkandung dalam
pengertian “kebudayaan” itu, yang memang meliputi aspek kehidupan manusia melalui cipta, rasa dan karsanya.
Dalam makalah yang saya buat ini akan membahas sebab terjadinya ruwatan, ritual ruwat dan sebagainya.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sebab Terjadi Ruwatan


Andaikata Syiwa (Batara Guru) dapat menahan birahi, misalnya spermanya tidak memancar dan jatuh ke
laut, umpama ia bukan pembesar para dewa dan dewi. Jika Batara Kala tidak lahir dan tidak dituding sebagai biang
keladi segala kerusakan insani, maka ruwatan tidak akan menjadi bahan pembicaraan berkepanjangan. Meskipun
cerita Muwakala hanya berdasarkan pada tradisi lisan dan mitos masyarakat Jawa lama, kenyataannya upacara
ruwatan melalui pertunjukan wayang masih berlangsung sampai sekarang sebagai sebuah pertunjukan.

B. Yang Perlu atau Harus Diruwat


Menurut kepustakaan “Pakem Ruwatan Murwakala” Javanologi gabungan dari beberapa sumber, antara
lain dari serat Centhini (Sripaku Buwana V), bahwa orang yang harus diruwat disebut anak atau orang “Sukerta”
ada 60 macam penyebab, yaitu sebagai berikut:
1. Ontang-anting, yaitu anak tunggal laki-laki atau perempuan
2. Uger-uger lawang, yaitu dua orang anak yang kedua-duanya laki-laki dengan catatan tidak anak yang meninggal
3. Sendang Kapit Pancuran, yaitu 3 orang anak yang sulung dan yang bungsu laki-laki sedang anak yang kedua
perempuan.
4. Pancuran kapit sendhang, yaitu 3 orang anak yang sulung dan yang bungu perempuan sedang anak yang kedua
laki-laki.
5. Anak bungkus, yaitu anak yang ketiga lahirnya masih terbungkus oleh selaput pembungkus bayi (placenta)
6. Anak kembar, yaitu 2 orang kembar putra atau kembar putri atau kembar “dampit” yaitu seorang laki-laki dan
seorang perempuan (yang lahir pada saat bersamaan)
7. Kembang sepasang, yaitu sepasang bunga yaitu dua orang anak yang kedua-duanya perempuan.
8. Kendhana-kendhini, yaitu dua orang anak sekandung terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.
9. Saramba, yaitu 4 orang anak yang semuanya laki-laki
10. Srimpi, yaitu 4 orang anak yang semuanya perempuan.
11. Mancalaputra atau pandawa, yaitu 5 orang anak yang semuanya laki-laki
12. Mancalaputri, yaitu 5 orang anak semuanya perempuan
13. Pipilan, yaitu 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang anak perempua dan 1 orang anak laki-laki.
14. Padangan, yaitu 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan
15. Julung pujud, yaitu anak yang lahir saat matahari terbenam
16. Julung wangi, yaitu anak yang lahir bersamaan dengan terbitnya matahari
17. Julung sungsang, yaitu anak yang lahir tepat jam 12 siang
18. Tiba ungker, yaitu anak yang lahir, kemudian meninggal
19. Jempina, yaitu anak yang baru berusia 7 bulan dalam kandungan sudah lahir.
20. Tiba sampir, yaitu anak yang lahir berkalung usus
21. Margana, yaitu anak yang lahir dalam perjalanan
22. Wahana, yaitu anak yang lahir di halaman / pekarangan rumah
23. Siwah / salewah, yaitu anak yang dilahirkan dengan memiliki kulit dua macam warna
Contoh yang di atas yaitu jenis-jenis manusia yang telah dijanjikan oleh sang Hyang Betara Guru kepada
Batara Kala untuk menjadi santapan/ makanannya.
Menurut mereka yang percaya, orang-orang yang tergolong dalam kriteria tersebut di atas dapat
menghindarkan diri dari malapetaka (menjadi makanan Betara Kala). Selain Sukerta, terdapat juga “Ruwat
Sengkala atau sang kala” yang artinya menjadi mangsa sangkaa yaitu jalan kehidupannya sudah terbelenggu
serta penuh kesulitan.
C. Ritual Ruwatan dan Kebudayaan Jawa
Dalam ungkapan “Crah Agawe Bubrah, Rukun Agawe Santosa”, menghendaki keserasian dan
keselarasan dengan pola pikiran hidup saling menghormati. Perlambang dan ungkapan-ungkapan halus yang
mengandung pendidikan moral, banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya,
= merasa dirinya lebih
ani = mawas diri, introspeksi diri
jero = menghargai dan menghormati serta menyimpan rahasia orang lain
= kesuksesan perlu/butu pengorbanan
g lati = harga diri tergantung ucapannya
Prinsip pengendalian diri dengan “mulat sarira” suatu sikap bijaksana untuk selalu berusaha tidak
menyakiti perasaan orang lain, serta “aja dumeh” adalah peringatan pada kita bahwa jangan takabur dan jangan
sombong, tidak mementingkan diri sendiri dan lain sebagainya.
Kepercayaan terhadap keberadaan nenek moyang, menyatu dengan kepercayaan terhadap kekuatan
alam yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia, menjadi ciri utama dan bahkan memberi warna
khusus dalam kehidupan religiusitas serta adat istiadat masyarakat Jawa.
Berbagai ungkapan Jawa, merupakan cara penyampaian terselubung yang bisa bermakna “priwulung”
atau pendidikan moral, karena adanya pertalian, budi pekerti dengan kehidupa spiritual, menjadi petunjuk jalan
dan arah terhadap kehidupan sejati.
Paham mistik Jawa yang terpokok “manunggaling kawula gusti” (Persatuan manusia dengan tuhan) dan
“sangkan paraning dumani ” (asal dan tujuan ciptaan) bersumber pada pengalaman religius, berawal dari sana
manusia itu rindu untuk bersatu dengan yang Illahi.
Tradisi “upacara/ritual ruwatan” hingga kini masih dipergunakan orang Jawa, sebagai sarana pembebasan
dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan di dalam hidupnya. Dalam tradisi
Jawa orang yang keberadaannya dianggap mengalami nandang sikerto/berada dalam dosa, maka untuk
mensucikan kembali perlu mengadakan ritual tersebut.
Untuk pagelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala biasanya diperlukan perlengkapan sebagai berikut:
1. Alat musik Jawa (gamelan)
2. Wayang kulit satu kota (komplit)
3. Kelir atau layat kain
4. Blencong atau lampu dari minyak
Selain peralatan tersebut di atas masih diperlukan sesajian yang berupa:
1. Tuwuhan, yang terdiri dari pisang raja setundun, yang suda matang dan baik, pohon tebu dengan daunnya, daun
beringin, daun elo, daun dadap serep, daun apa-apa dan daun alang-alang
2. Api (batuarang) di dalam anglo, kipas beserta kemenyan (ratus wangi) yang akan dipergunakan Kyai Dalang
selama pertunjukan
3. Kain mori putih kurang lebih panjangnya 3 meter, direntangkan di bawah debog (batang pisang) panggungan dari
muka layar (kelir) sampai di belakang layar dan ditaburi bunga mawar di muka kelir alas duduk dalang
4. Gawangan kelir bagian atas (kayu bambu yang merentang di atas layar) dihias dengan kain batik yang baru 5
(lima) buah, diantaranya kain sindur, kain bango tulak dan dilengkapi dengan padi segedeng (4 ikat pada sebelah
menyebelah)

D. Perkembangan Tradisi Ruwatan


Di masa sekarang, disebabkan oleh pengaruh perkembangan penalaran masyarakat dan semakin mantap
keyakinannya terhadap agama-agama modern. Mengakibatkan penyelenggaraan upacara ruwatan dianggap
sesuatu yang tidak perlu lagi, mubadzir, pemborosan, tahaul, dan sebagainya. Sebaliknya masih ada anggapan
bahwa upacara ruwatan tetap relevan, meskipun tergolong masyarakat elite yang sehari-harinya telah bergaya
hidup modern dan tinggal di kota-kota besar.
Di masa lampau, upacara ruwatan dianggap sebagai wahana pembebasan para sukerta, yaitu anak-anak
yang sejak lahir dianggap membawa kesialan tidak suci, penuh dosa serta orang-orang yang berbuat ceroboh.
Anak sukerta dan/orang yang ceroboh itu dipercayakan menjadi mangsa Batara Kala. Oleh sebab itu, perlu diruwat
pantas dipertanyakan, kenapa anak-anak sukerta yang lahir di luar kemauannya itu oleh orang tuanya dianggap
sebagai pembawa sial? Dengan tidak mengusik keberadaaan mitos lama tentang arti pentingnya upacara ruwatan
bagi insan yang digolongkan orang suketa, makalah ini mencoba membahasnya atas dasar penalaran yang
bersumber dari pengamatan terhadap pelaksanaan beberapa upacara ruwatan di berbagai tempat.
Berdasarkan cerita pedalangan, Batara Guru berkelana berdua dengan istrinya, Dewi Uma di atas gigir
lembu Audini, lahirlah Batara Kala akibat pembuahan sperma Batara Guru yang tercebur ke laut, sebab tidak
mampu menahan birahi terhadap kecantikan Uma, istrinya. Saya menangkap adanya pendidikan moral yang
tersirat (berkaitan dengan pendidikan seks) dalam cerita itu, yaitu orang yang beradab tidak selayaknya
melakukan sanggama di atas kendaraan. Apalagi memiliki jabatan tertinggi dan sangat terhormat seperti Batara
Guru. Artinya, jika seseorang tidak mampu menahan birahi dan dimanjakan di sembarang tempat, akan melahirkan
bocah yang selalu membuat durhaka kepada siapa saja, seperti Batara Kala.
Munculnya tokoh-tokoh dewa dala pertunjukan wayang, termasuk dalam ruwatan, sering dianggap satu
ungkapan kemusrikan, maka upacara ruwatan dengan menggunakan wayang oleh masyarakat Islam tertentu yang
mengharamkan.

E. Jenis-jenis Ruwatan
Dalam masyarakat Jawa, ritual ruwat dibedakan dalam tiga golongan besar, yaitu:
1. Ritual ruwat untuk diri sendiri
2. Ritual ruwat untuk lingkungan
3. Ritual ruwat untuk wilayah
1. Ruwatan Diri Sendiri
Ruwat diri sendiri dilakukan dengan cara-cara tertentu seperti melakukan puasa (ajaran sinkretisme),
melakukan slametan, melakukan tapa brata. Pada saat itu, ruwatan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat
Jawa jauh berbeda dengan kebudayaan peninggalan pada zman Hindu-Budh. Ruwatan lebih cenderung dilakukan
dengan tidak mengatasnamakan ruwatan, tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yan sama. Pelaku sebagai wujud
atau bentuk dari ruwatan, bagi diri sendiri ini juga sering dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa agar
mendapatkan kebersihan jiwa.
Ritual ruwatan diri sendiri menurut kitab Primbon Mantrawara III, mantra Yuda jika orang yang merasa selalu
sial, dalam kepercayaan Jawa hars melakukan upacara ruwatan terhadap diri sendiri.
Pendeteksian yang dilakukan adalah melalui prhitungan (patungan( Jawa yaitu: ha = 1, Na = 2, Ca = 3, Ra =
4 dan seterusnya. Pendeteksian dilakukan dengan menjumlah neptu orang tuanya dengan orang yang akan
melakukan ritual ini. Jumlah keduanya kemudian dibagi 9 dan diambil sisanya, jika sisa:
1 bersemayam di sebelah kiri – kanan mata kana
2 bersemayam di sebelah kiri – kanan mata kiri
3 bersemayam di telinga kanan
4 bersemayam di telinga kiri
5 bersemayam di sebelah hidung kanan
6 bersemayam di sebelah hidung kiri
7 bersemayam di mulut
8 bersemayam di sekeliling pusat
9 bersemayam di kemaluan
2. Ruwatan untuk Lingkungan
Ruwatan yang dilakukan untuk lingkup lingkungan biasanya dilakukan dengan sebutan mageri atau
memberikan pagar gaib pada sebuah lokasi.
a. Memberikan daya magis yang bersifat menahan, menolak, atau meminahkan daya (energi) negatif yang berada
dalam rumah/hendak masuk ke dalam rumah
b. Memberikan pagar agar tidak dimasuki oleh orang yang hendak berniat jahat
c. Memberikan kekuatan gaib yang bersifat mengusir atau mengurung makhluk halus yang berada dalam lingkup
agar gaib
d. Berbagai cara memberikan pagar gaib ini dapat dilihat pada buku-buku kuno yang menceritakan pemagaran diri
manusia
e. Pemagar gaib yang sering ditemui dalam masyarakat Jawa sekitar kita berbentuk menanam rajah, menanam
tumbal.
3. Ruwatan untuk Wilayah
Pada umumnya, pangruwatan murwakala dilakukan dengan pagelaran pewayangan yang membawa cerita
tentang murwakala dan dilakukan oleh dalang khusus memiliki kemampuan dalam bidang ruwatan.
Pada ritual pangruwatan, bocah sukerta dipotong rambutnya dan menurut kepercayaan masyarakat Jawa,
kesialan dan kemalangan sudah menjadi tanggungan dari dalang karena anak sukerta sudah menjad anak dalang.
Dan karena pagelaran wayang merupakan acara yang dianggap sakral dan memerlukan biaya yang banyak, maka
pelaksanaan ruwatan pada zaman sekarang ini dengan pagelaran wayang dilakukan dalam lingkungan pedesaan
dan pedusunan.
Proses ruwatan seperti yang diterangkan ini bisa ditunjukkan untuk seseorang yang akan diruwat. Namun,
pelaksanaannya pada siang hari. Sedangkan untuk meruwat lingkup lingkungan, biasanya dilakukan pada malam
hari. Perbedaan pemilihan waktu pelaksanaan pagelaran ditentukan melalui perhitungan hari dan pasaran.
Urutan-urutan ruwatan sebagai berikut:
a. Dimulai dengan doa pembuka
b. Diteruskan dengan pembacaan cerita riwayat sang Hyangkala, yang disampaikan dengan bahasa Jawa dan mirip
dengan nyanyian
c. Diteruskan dengan membaca pakem suntheg, pakem ini dimulai dilagukan
“Hung Ilaheng pra yoganira sang syang kamasalah tangerannya, kang daging sang kemala, kadi gerah suwarane,
abra lir mustika murud, amarab”
d. Setelah pakem suntheng selesai, dibacakan:
“Aneka akem prabawa, ketug lindhu lan prahara, geter patertan pantaraalimaku tana suku, alembehan tanpa
tangan, aninyali tanpa netra”
e. Diteruskan dengan pasang tabeik dan membaca kidung sastra pinandhati:
Yanyangsiyu yusinyangya, yanyangasiyu yusinyangya, yajasiyu yusijaya, yadangsiyu yusidangya, yawangsiyu
yusiwangya, yasangsiyu, yakangsiyu yusikangya, arangsiyu yusirangya, yacangsiyu, yusicangya, yanangsiyu
yusirangya, yacangsiyu yusicangya, yanangsiyu yusinangya, yakangsiyu yusihangya, yahangsiyu yusihangya.

f. Diteruskan dengan membaca “sastra banyak dalang” lagu kentrung:


“Sang raja kumitir-kitir, ing ngendi anggonira linggih, den barung ran keli, mangore lunga ngidul, anelasar sruwa
sepi, sumun dukuh ulung kembang, bale anyar ginelaran isi kang sumur bandung, toyane ludira muncar, timbane
kepala tugel, taline ususe maling, winarna winantu aji, asri dinulu tingkahe kaya nauta, anauta lara raga, lara geng
lara wigena, sampurnaning banyak dalang”

g. Diteruskan dengan membaca sastra gumbalageru, gemi atau api yang datang dari berbagai penjuru angin yaitu
timur, selatan, barat dan utara disatukan dan ditolak kekuatan negatifnya dan diubah menjadi sesuatu yang
bermanfaat dengan melakukan pembacaan.
h. Diteruskan dengan kidung sastra Puji Bayu:
“Sang Hyang sekti naga nila wara, dadaku sang naga peksa telaleku pembebet jagad, asabung kulinting limah,
abebed kuliting singa, acawet angga genitri. Liyanan catur wisa, rinejegan rejeg wesi, pinayungan kala akra,
kinemiting panca resi, sinongsongan ash-asih premanaku ing sulasih”

i. Diteruskan dengan kidung sastra mandalagiri:


Sang Hyang Tangkep bapak kasa, kaliyan Ibu pertiwi, mijil yogyanira sang Hyang Kamasalah, tengerannya kadi
daging, swarane kadi gerah, abra lir mustikamurub, urube marab arab, anakaken prabawa, ketuk lindhu lan
prahara, geter pater tan pantara, kagyat sang Hyang Amarta arannya, wus ruwat pedhasamengko, yen ana gering
kedadak, ngelu puyeng watuk, kena wisa wutah-wutah, miring murup benceretan, kuu lumaku rinuwat iki, anata
senajata singwang, arane-mandalagiri, sang Hyang Amarta arannya wus ruwat padha samengko.”

j. Diteruskan dengan sastra kakancingan:


“Kunci nira kunci putih, angruwata metuwa sang, mentu samir lare kresna, kakrasa kama dindi, langkir tambir
pokoninjog, untuing-untuing matu tingting, tunggaking kayu aren, miwah temu pamipisan, tumunem pega pagase,
miwah kerubuhan lumbung dandang tanen, kudu lumaku rinuwat, anata sanjataning wang, arane panji kumala,
pinaputrak akengunung arane, mandalagiri, sang Hyang ngamarta arannya, wus ruwat padha samengko”
Pada proses ini merupakan penguncian kekuatan gaib yang ditimbulkan dengan cara atau ritual ruwat selesai
menyanyikan kidung untuk ruwat murwakala, selanjutnya dibuatlh rajah kalacaraka yang ditempelkan pada pintu-
pintu rumah yang diruwat.

BAB III
PENUTUP

Demikianlah makalah tentang tradisi ruwatan di masyarakat Jawa yang saya buat, semoga dapat
bermanfaat bagikita semua dan semoga Tuhan meridhoi makalah yang saya buat ini dan Tuhan selalu
memberikan bimbingan dan prlindungan kepada kita semua agar senantiasa jangan putus asa dalam menghadapi
persoalan / tugas yang diberikan.

Kesimpulan
Jadi Ruwatan pada masyarakat Jawa adalah sebuah ritual yang digunakan untuk membersihkan diri dari
pebuatan buruk yang akan kita lakukan dan menjauhkan ksialan, maupun membuang kesialan menurut
masyarakat Jawa yang menganut tradisi ruwatan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Soewirjo, Budi Adi. 1990. Ruwatan di Daerah Surakarta. Surakarta: Balai Pustaka.

Dr. Sarwosto. 1967. Pertunjukan Wayang Kulit Purwa. Semarang: gelombang Pasang

Pamungkas, ragil. 2007. Tradisi Ruwatan. Yogyakarta: Balai Pustaka.

Soewirjo, Budi Adi. 1995. Kepustakaan Wayang Purwa (Jawa). Yogyakarta: Pustaka Jaya.

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Salah satu upacara tradisi yang sekarang masih ditaati, dipatuhi, diyakini, dan dilaksanakan oleh
masyarakat Jawa yaitu tata upacara ruwatan. Ruwatan berasal dari kata “ruwat” dan
mendapatkan sufik -an. Kata “ruwat” mengalami gejala bahasa metatesis dari kata “luwar”, yang
berarti terbebas atau terlepas. Maksud diselenggarakan upacara ruwatan ini adalah agar
seseorang yang “diruwat” dapat terbebas atau terlepas dari ancaman mara bahaya (mala
petaka) yang melingkupinya. Seseorang yang oleh karena sesuatu sebab ia dianggap terkena
sukerta/ aib (klesa = Jawa Kuna), maka ia harus diruwat. Tradisi kepercayaan yang dimiliki
masyarakat Jawa, bahwa seseorang yang oleh karena suatu peristiwa terkena sukerta, ia akan
menjadi mangsa Batara Kala. Untuk dapat melepaskan/membebaskan seseorang dari ancaman
Batara Kala, maka masyarakat Jawa yang meyakini menyelenggarakan upacara ruwatan, yang
telah tertata dan diatur secara tertib. Usaha yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa dengan
mengadakan upacara ruwatan tersebut tak lain adalah untuk melindungi manusia dari segala
ancaman bahaya. Koentjaraningrat memasukkan upacara ngruwat sebagai ilmu gaib protektif,
yaitu upacara yang dilakukan dengan maksud untuk menghalau penyakit dan wabah, membasmi
hama tanaman dan sebagainya, yang seringkali menggunakan mantra-mantra untuk
menjauhkan penyakit dari bencana (Koentjaraningrat 1984). Dengan demikian masyarakat yang
melaksanakan upacara ruwatan percaya bahwa mereka akan terlindungi dari ancaman mara
bahaya. Thomas Wiyasa Bratawijaya pernah menyebutkan seseorang yang seharusnya diruwat,
seperti: kedana-kedini, ontang-anting, julung wangi, julung pujud, margana, gondang kasih,
dampit, unting-unting, lumunting, pendawa, pendawi, uger-uger lawang, kembang sepasang,
orang yang menjatuhkan dandang, mematahkan batu gilasan, menaruh beras di dalam lesung,
mempunyai kebiasaan membakar rambut dan tulang, dan membuat pagar sebelum rumahnya
jadi (Bratawijaya 1988).

Dalam upacara ruwatan sering dipergelarkan pertunjukan wayang. Wayang ialah bentuk
pertunjukan tradisional yang disajikan oleh seorang dalang dengan menggunakan boneka atau
sejenisnya sebagai alat pertunjukan (Wibisono 1983). Dalam pertunjukan wayang ini disajikan
lakon wayang secara khusus. Lakon wayang yang disajikan sebagai sarana upacara ruwatan ini
biasanya Murwakala dan Sudamala. Baik lakon Murwakala dan Sudamala, keduanya termasuk
wayang pada zaman purwa. Wayang zaman purwa terbagi atas 4 bagian, yaitu: mitos-mitos
permulaan kosmos mengenai dewa, raksasa, dan manusia; Arjunasasrabau, yang memuat
pendahuluan epos Ramayana; Ramayana; dan Mahabharata (Suseno 1985). Di dalam wayang
dikandung hakekat kehidupan yang sangat mendasar. Aspek penting dalam kaitannya dengan
hakekat wayang ialah masyarakat Jawa sering mengaitkan antara peristiwa yang terjadi di dalam
dunia wayang dengan dunia nyata. Hakekat wayang adalah bayangan dunia nyata, yang
didalamnya terdapat makhluk ciptaan Ilahi, seperti: manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan
bahkan dunia seisinya. Pembayangan itu berisi tentang gambaran kehidupan manusia, terutama
mengenai sifat keutamaan/ kemuliaan dan keangkaraan/kejahatan. Peristiwa yang terjadi dalam
dunia nyata, yang disebabkan oleh sesuatu hal sehingga seseorang terkena sukerta, akan
menjadi mangsa Batara Kala.

Dalam wayang, visualisasi Batara Kala adalah dewa berwajah raksasa yang tinggi, besar,
menyeramkan dan menakutkan. Kala berarti waktu, ini mengisyaratkan kepada seseorang,
apabila ia tidak memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, akan menjadi orang bodoh, karena tergilas
oleh waktu yang dikuasai oleh Batara Kala, sebagai Dewa Waktu (Bratawijaya 1988). Anggapan-
anggapan ini lama kelamaan menjadi keyakinan yang kokoh di dalam hati sanubari mayarakat
Jawa. Agar terhindar dari ancaman Batara Kala, mereka mengadakan upacara ruwatan dengan
sarana pertunjukan wayang dengan lakon khusus, yaitu Murwakala atau Sudamala.

Lakon Murwakala itu sendiri sangat populer dalam masyarakat Jawa, khususnya di kalangan
para dalang. Secara etimologi, murwakala berasal dari kata “murwa” dan “kala”. “Murwa”
bentukan dari kata “purwa” yang berarti awal, asal-muasal, permulaan atau sebab-musabab.
Sedangkan “kala” berarti waktu. Murwakala berarti menelusuri permulaan kala. Kala adalah
tokoh dewa/ batara, suami Batari Durga. Lakon ini mengisahkan bagaimana awal, asal-muasal,
sebab-musabab, atau permulaan tokoh Batara Kala. Murwakala adalah lakon yang pada masa
kini dikatakan paling mustajab untuk menolak bahaya magis. C.C. Berg mengatakan bahwa
lakon ini mengisahkan tokoh Batara Kala, seorang dewa raksasa yang menjelma sebagai akibat
hawa nafsu jahat dari Batara Guru lalu mencari manusia sebagai mangsanya, tetapi pada suatu
pertunjukan wayang dibinasakan oleh dalang dengan jampi-jampi, dan lakon ini dianggap
demikian besar kekuatan gaibnya, sehingga tidak dipertunjukkan tanpa mengambil berbagai
tindakan perlindungan (Berg 1974).

Lakon Murwakala dapat dipaparkan sebagai berikut (seperti yang dilaksanakan oleh dalang
Hardaguna, di kediaman Mas Hatmakarjana, seorang kamituwa desa Maja, Pracimantara,
Wonogiri, yang kemudian diceritakan kembali oleh Suparja: naskah koleksi FSUI/WY 92 - W
64.02). Upacara ruwatan itu dilaksanakan pada hari Akad (Minggu) Pon, jam 10 pagi, tanggal 6
Juli 1941 (Suparjo 1941). Batara Guru dan Narada turun ke dunia, memerintahkan dalang Sejati
supaya memberikan pertolongan kepada seseorang di desa Maja yang menjadi mangsa Batara
Kala. Pada suatu saat Batara Guru naik sapi Andini, namun di tengah jalan ia menabrak Batara
Kala, dan terbangun. Batara Kala menggugat Batara Guru karena selalu menghalang-halangi
mangsanya. Batara Guru memberikan nasihat kepada Batara Kala, bahwa ia bisa ruwat dari
segala mangsanya oleh seorang dalang yang mendalang siang hari.

Sementara Dewi Uma menggugat juga kepada dewata karena mangsa Batara Kala selalu
dikurangi, pada saat itulah Uma mendapatkan kutukan sehingga berubah wujud menjadi Durga.
Dewata memerintahkan agar Durga ke desa Maja, di situlah ia akan teruwat oleh dalang Sejati
atau dalang Sampurna. Durga kemudian mengembara dan bertemu dengan Batara Kala. Batari
Durga memberikan banyak bala tentara kepada Batara Kala yang terjadi dari air seni. Batari
Durga kemudian mencari telaga pangruwatan dan Batara Kala melanjutkan perjalanan menuju
desa Maja.

Seorang ksatria tampan, ontang-anting bernama Garuda Lare dikejar-kejar Batara Kala,
kemudian ia bersembunyi di balik periuk besar (dandang) yang sedang dipakai merebus air.
Periuk besar itu roboh sehingga air panasnya tumpah mengenai kaki Batara Kala, luluh. Butapa
dan Butapi diperintahkan Batara Kala menggoda ksatria tersebut, namun ksatria itu tetap
bersembunyi di balik periuk besar yang pecah tadi. Batara Kala setelah tidak menemukan ksatria
itu, kemudian pergi. Batara Kala bertemu dengan Bapa Truna, seorang ontang-anting mencari
telaga pangruwatan. Bapa Truna akan dimangsa Batara Kala; terjadilah perang, namun Batara
Kala lari meninggalkan tempat. Batara Kala di tengah perjalanan bertemu dengan Garuda Lare
dan ingin memangsanya. Garuda Lare lari dan Batara Kala terus mengejar. Garuda Lare
bertemu dengan seorang wanita sedang hamil di desa Sendang Kawit. Wanita itu duduk di
tengah-tengah pintu. Garuda Lare kemudian menasihatinya, bahwa tidak pantas ia duduk di
tengah-tengah pintu, karena ia akan menjadi mangsa Batara Kala.

Wanita itu pun menuruti nasihat Garuda Lare. Batara Wisnu dan Dewi Sri menerima kedatangan
Batara Narada. Batara Narada memerintahkan mereka agar turun ke dunia bertempat tinggal di
Mendanggawa. Wisnu menjadi dalang bernama Sejati atau Sampurna. Dewi Sri sebagai
penggender, dan Batara Narada sebagai nayaga bernama Cupak. Mereka berangkat menuju
Sendanggawa. Hatmakarjana minta pertolongan kepada dalang agar meruwatnya, karena baru
saja terkena sukerta, yaitu kerobohan periuk besar, termasuk salah satu mangsa Batara Kala.
Batara Kala dilempar gecko (daging mentah untuk sajen) oleh dalang. Dalang kemudian
membakar kemenyan. Dalang Sejati bertemu Batara Kala. Batara Kala bertanya: “Lakon apa
itu?”. Dalang menjawab: “Lakon Kandhabuwana menceritakan jagad gede dan jagad cilik”.
Dalang kemudian membaca ciri pada dada Batara Kala. Setelah ciri tersebut terbaca, Batara
Kala ingin melihat cirinya itu. Dalang mulai membaca mantra panulak setan brekasakan berupa
carakan balik, sebagai berikut:

Nga tha ba ga ma
Nya ya ja dha pa La wa sa ta da Ka ra ca na ha

Dilanjutkan mantra setra bedhati:

Ya midusa sadumiya Ya miruda darimiya Ya siyasa sayasiya Ya liraya


yaraliya Ya dayuda dayudaya Ya dayani niyadaya

Disambung mantra sepigeni:


“ingsun ambukak sadulurku sepigeni kang asal saka geni nurka, dim, kang
dadi wijining sakehing urip, ingsun tamakke apa kang katon luluh geseng
dadi awu saking kodratullah”

Dalang juga membaca mantra sepiangin:

“ingsun ambukak sadulurku sepiangin, kang asal saka angin ngabdul


musamad, kang dadi wijining sakehing nyawa, ingsun sapokake mangetan
terus sagara wetan, mangidul terus segara kidul, mangulon terus sagara
kulon, mangalor terus sagara lor, saking kodratullah”.

Dilanjutkan juga mantra sepibanyu:

“ingsun ambukak sadulurku sepibanyu, kang asal saka banyu tahura, kang
dadi wijining sakehing roh, ingsun siramake ing banjar pakarangane si
M. Hatmakarjana adhem asrep saking kodratullah”.

Setelah itu dalang membaca mantra sepibumi:

“ingsun ambukak sadulurku sepibumi, kang asal saka bumi bahura, kang
dadi wijining sakehing jisim, ingsun tamakake ing banjar pekarangane M.
Hatmakarjana kuwat santosa slamet, saking kodratullah”.

Dalang kemudian melanjutkan mantra kalacakra:

Kalamusa samulaka Kayaramu murayaka Kadibuda dabudika Kalibaya


yabadika

Mantra terakhir yang diucapkan yaitu pesinggahan:

“hong singgah-singgah kala singgah durga suminggah, kang cucuk wesi


sirah, sing kama salah, sakehing kala padha suminggah, aku sajatining
wasesa”.

Sebagai mantra penutup dalang kemudian membaca lagi carakan balik. Setelah dalang selesai
mengucapkan mantra-mantra, Batara Kala yang berada di balik layar hilang segala kekuatannya,
kemudian ia ingin kembali ke tengah samodra, namun minta syarat. Dalang memberikan
jawaban: “Semua sajen itu disediakan untukmu, carilah sendiri, apabila telah kamu dapatkan
janganlah merasa gembira dan pergilah sekarang juga, bawalah seluruh bala tentaramu, jangan
ada yang ketinggalan”. Batara Kala lalu pergi meninggalakan sang dalang. Durga mengalami
kesengsaraan dan ia telah tiba di desa Maja bertemu dengan dalang Sejati. Durga minta diruwat
dan dalang Sejati menyanggupinya. Akhirnya Durga teruwat, namun hanya “sifat halusnya” saja,
sedangkan “sifat kasarnya” belum dapat teruwat, karena ia masih berujud raseksi. Durga
kemudian kembali ke Kahyangan, namun setelah sampai di sana dipersilakan Batara Guru untuk
mendiami Kahyangan Setragandamayu (Krendawahana) untuk memerintah jin, setan,
brekasakan.

Batara Bayu mendapat perintah Batara Guru agar mengembalikan wujud (membadarkan)
Dalang Sejati, penggender, dan nayaga. Batara Bayu berhasil mengubah wujud (merucat) ketiga
tokoh tersebut sehingga pulih menjadi Batara Wisnu, Dewi Sri, dan Batara Narada. Mereka
kembali ke Kahyangan. Upacara ruwatan yang diselenggarakan oleh masyarakat Jawa tidak
terlepaskan dengan aspek mantra-mantra, yang kemudian dilakukan dan diucapkan oleh dalang
pada waktu ia mengungkap ciri-ciri pada dada Batara Kala.

Mantra-mantra yang diucapkan oleh dalang pada waktu meruwat tersebut yaitu: carakan balik,
setra bedhati, sepigeni, sepiangin, sepibanyu, sepibumi, kalacakra, dan pesinggahan. Demikian
sebuah kata yang berasal dari mulut manusia dapat memperoleh kekuatan gaib, yang tampak
makin kuat, bergantung pada sekticarakan balik, setra bedhati, dan kalacakra, dapat dilihat
adanya sesuatu yang terbalik. Sesuatu tersebut yang dimaksud adalah susunan kata yang
mengandung daya magi dan merupakan suatu keseimbangan, seperti halnya pada konsep
klasifi katoris (kiri-kanan, atas-bawah, baik-buruk, dsb), yang selanjutnya dapat dikaji bahwa pola
pemikiran demikian adalah suatu usaha manusia untuk selalu menjaga keseimbangan,
keselarasan, dan keharmonisan dalam kehidupan manusia di dalam masyarakat. Sedangkan
mantra sepigeni, sepiangin, sepibanyu, dan sepibumi tersebut dimaksudkan bahwa pembaca
mantra, yaitu dalang, berusaha memanggil dzat yang terdapat di alam, yaitu api, angin, air, dan
tanah yang dianggapnya sebagai saudara, selanjutnya diharapkan dapat memberikan kekuatan
dan membantu segala usaha yang diidam-idamkan. Dengan demikian maka dalang tersebut
berusaha pula untuk menyatukan dirinya dengan alam semesta. Pada mantra pesinggahan,
dalang bermaksud untuk menghalau dan menempatkan segala durga (tindakan jahat), kama
yang salah, dan si kala pada tempatnya, agar tetap “singgah” di dalam alamnya, janganlah
mengganggu kehidupan manusia yang berada di alam nyata.

Sajen termasuk perlengkapan upacara ruwatan yang seharusnya ada. Sajen adalah segala
sesuatu berupa makanan yang secara khusus diperuntukkan bagi makhluk supranatural (gaib)
yang sering disebut makhluk halus. Sajen merupakan srana, karena dipergunakan sebagai
sarana mengadakan hubungan dengan alam di luar manusia. Oleh karena alam tersebut bersifat
“halus”, maka sajen tersebut hanya disantap baunya saja. G.A.J. Hazeu mengatakan bahwa
menurut kepercayaan orang yang memberikan sesajian tadi bukanlah wujud lahiriah makanan
yang disajikan itu yang disantap oleh roh halus leluhur, melainkan hanya baunya belaka (Hazeu
1979).

Dalam upacara ruwatan terlihat jelas adanya situasi dan kondisi sakral; seperti telah diuraikan di
atas, yaitu pembacaan mantra-mantra oleh dalang, disertai sesajen dan pembakaran kemenyan,
juga bunyi-bunyian gamelan, yang semuanya ini memungkinkan munculnya daya-daya magi
tinggi. Pada dasarnya pelaksanaan upacara ruwatan ini adalah suatu usaha untuk mengadakan
kontak (hubungan) dengan dunia supranatural (gaib), sehingga para penghuninya, yaitu roh-roh
halus dapat dipanggil untuk keperluan dan tujuan tertentu. Untuk dapat menambah sarana
kesakralan pada upacara ruwatan tersebut, maka masyarakat Jawa yang meyakininya
mengadakan pertunjukan wayang purwa, yang diperkirakan timbul pada zaman neolitikum dari
praktek-praktek pemujaan roh nenek moyang (Ulbrich 1970). Wayang adalah sarana ideal untuk
mengadakan upacara ruwatan ini, karena dengan wayang, maksudnya adalah wayang di zaman
paling kuna (wayang purwa), dapat menyingkirkan mara bahaya, seperti yang dikemukakan oleh
G.A.J. Hazeu bahwa dengan wayang dimaksudkan dapat menolak bala atau sesuatu yang
buruk, misalnya menolak mala petaka yang akan tiba, atau kesengsaraan yang diderita oleh
seseorang karena perbuatan-perbuatan yang tersimpul dalam tamsil, seperti orang yang
memecahkan gandhik, orang merobohkan dandang penanak nasi (Hazeu 1979).

Dalam upacara ruwatan, kecuali unsur sesajen, dalang pun juga sangat menentukan, dalam arti
dialah sesungguhnya yang berfungsi sebagai penghubung antara dunia nyata (provan) dengan
dunia gaib (supranatural). Pada kelanjutannya masyarakat mempunyai keyakinan bahwa yang
ada di dunia nyata mendapatkan pengaruh dari dunia gaib, demikian pula mengenai alam
semesta (jagad raya), merupakan susunan yang teratur rapi dan bergerak sesuai dengan rotasi
dan revolusinya. Apabila salah satu unsur jagad raya menyimpang dari ketentuan tersebut, maka
jagad raya akan mengalami kegoncangan, oleh karena itu unsur yang satu dengan yang lainnya
di dalam jagad raya merupakan sistem yang tertata rapi, serasi, dan harmonis.

Pandangan yang menganggap bahwa alam semesta yang terdiri dari jagad gede dan jagad cilik
adalah satu kesatuan yang serasi dan harmonis, tidak lepas satu dengan yang lainnya dan
selalu berhubungan, merupakan konsep kosmis. Masyarakat Jawa beranggapan bahwa
peristiwa yang terjadi di jagad cilik, karena mendapat pengaruh dari jagad gede, atau sebaliknya
yang mengakibatkan kegoncangan. Konsep ini disebut magis. Dalam masyarakat Jawa terlihat
dengan jelas pula mengenai tatanan kehidupan yang teratur rapi, kejelasan mengenai fungsi dan
kedudukan manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, alam semesta, dan Tuhan.
Semuanya ini berkaitan pula dengan pandangan bahwa alam semesta pada prinsipnya tertata
rapi, serasi, dan harmonis, seiring dan selaras dengan kehidupan manusia dalam masyarakat.

Konsep yang ketiga ini disebut klasifi katoris. Ketiga konsep tersebut merupakan satu kesatuan
yang utuh dan saling berpautan. Keteraturan manusiawi dan kosmos adalah terkoordinasi, hal ini
bagian dari suatu keseluruhan dan bila bagian-bagian itu berusaha keras ke arah kesatuan dan
keseimbangan, hidup akan menjadi nikmat dan tentram (Mulder 1984)

TRADISI RUWATAN JAWA Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Apresiasi Budaya
DosenPengampu: Bapak Suwarno M.Pd LOGO UNY Disusun oleh : Frans
Apriliadi 12201241006 KELAS A PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS
BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013

KATA PENGANTAR

Makalah ini ditulis dengan menyalin sebagian besar dari buku tradisi ruwatan. Ruwetan sendiri
merupakan sebuah kebudayaan yang ada sebelum Islam masuk ke Jawa. Oleh karena itu masih
banyak hal yang berhubungan dengan kepercayaan yang ada pada waktu sebelumnya. Acara
ruwetan bukan hanya merupakan ruwetan mala saja. Tetapi dalam masyarakat jawa masih banyak
lagi yang lainnya. Karena itu yang masih berjalan dan berubahnya kebudayaan dengan adanya
teknologi modern, maka keberadaan ritual ruwetan sedikit tergeser. Pergeseran yang dialami
kebudayaan yang ada dalam masyarakat jawa sekarang ini, baik yang berupa ritual maupun yang lain
merupakan hal penting untuk diperhatikan. Jika memang kebudayaan yang ada sesuai dengan
kemajuan zaman. Mengapa tidak dilakukan pelestarian sebagai bukti kekayaan masyarakat
jawa? Kejawen selalu identik dengan hal-hal yang berbau mistis, spiritual, dan makhluk halus
di dalamnya. Di dalam ritual ruwetan terdapat beberapa tokoh gaib yaitu Bethera Kala, Bethera
Wisnu, dan beberapa tokoh pentng lain yang ada dalam mitos dan cerita tentang ritual ruwetan.
Manusia yang diruwet adalah manusia yang sudah pernah melakukan kesalahan sehingga ia bisa saja
menyebabkan sebuah kerusuhan di muka bum. Oleh karena itu menurut sukerta, ia harus
diruwet. Ruwet sendiri memiliki arti pelepasan, dab maksud dilakukannya ruwet adalah untuk
membebaskan atau melepaskan manusia yang tergolong sebagai sukerta. Karena bersifat sebagai
upacara pelepasan, maka upacara ini selalu berhubungan dengan dunia mistis dan tidak pernah
lepas dari pengaruh gaib di dalamnya. Dalam kepercayaan orang jawa, orang yang sudah di ruwet
akan dipercaya akan terlepas dari segala sesuatu yang akan menimbulkan kesialan baginya. BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Jawa memiliki kepercayaan yang kuat dengan dunia mistis yang kemudian memunculkan
mitos-mitos hingga saat ini masih dipercaya sebagai kejadian yang pernah terjadi dan merupakan
kenyataan. Karena kepercayaan ini ada dan sudah hampir mendarah daging dengan masyarakat
Jawa, maka setiap generasi akan menurunkan kepercayaan-kepercayaan itu kegenerasi
berikutnya. Kepercayaan yang ada dalam masyarakat Jawa ini memiliki keragaman yang
banyak sekali, baik berbentuk ritual atau upacara, maupun hal-hal lain yang bersifat
spiritual. Sedikit berbeda dengan masyarakat Jawa saat ini, kepercayaan tentang mitos-mitos
atau cerita mistis sudah banyak dilupakan dan sebagian besar masyarakat Jawa memilih teknologi
sebagai pilihan yang lebih ilmiah. Saat ini cerita mitos lebih cenderung pada sentuhan spiritual yang
hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang masih mempercayainya, yang tidak mempercayainya
tidak akan memengaruhi dirinya sama sekali. Salah satu keyakinan masyarakat Jawa yang
cukup penting adalah Ruwatan. Ruwatan dapat dibagi dalam tiga jenis ritual yang paling umum dan
sering dilakukan dalam masyarakat Jawa yaitu : 1. Ruwat diri sendiri. Ruwatan dilakukan dengan
tujuan menghindarkan diri dari kesialan yang ada dalam dirinya. Ruwatan semacam ini biasanya
dilakukan oleh sang spiritualis. 2. Ruwat untuk orang lain. Di sini, sang spiritualis melakukan
ruwatan pada orang lain. 3. Ruwat untuk umum. Ruwatan semacam ini dilakukan untuk meruat
suatu wilayah, perkarangan dan menghilangkan kekuatan unsur alam yang ada di dalamnya. BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Ruwatan

Karena di dalam masyarakat Jawa pengaruh kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat mistis
begitu kuat, maka pada zaman dahulu mereka sering menghubungkan suatu kejadian dengan
kejadian lain yang dianggap sebagai dampak suatu fenomena. Kejadian diawali dengan kesalahan,
dan kesalahan yang murni dilakukan oleh manusia ini menjadikan manusia akan tertimpa
dampaknya pada satu saat nanti, cepat atau lambat. Masyarakat Jawa pada satu abad yang lalu
sebagian besar masyarakatnya memiliki kepercayaan yang kuat terhadap keberadaan dunia mistis.
Kepercayaan Jawa ini melahirkan beberapa teori yang turun menurun dari generasi ke generasi,
menjadi salah satu kepercayaan warisan. Jawa yang merupakan salah satu suku terbesar di
Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya. Selain kebudayaan yang bersifat mistis (spiritual),
masyarakat jawa juga mengenal adanya kebudayaan arsitektur, seni musik, seni tari dan masih
banyak kebudayaan lain yang ada dan masih eksis di kalangan masyarakat Jawa. Kembali pada
masyarakat Jawa yang kental dengan kepercayaan mistis atau sering disebut juga kepercayaan
dalam dunia spiritual (rohani), masyarakat Jawa memiliki ragam teori yang menjadi dasar
dilakukannya sebuah ritual. Upacara atau ritual yang dilakukan untuk menghindarkan diri dari
dampak yang ditimbulkan akibat kesalahan manusia, yang dalam masyarakat Jawa disebut Ruwatan.
Ruwatan menjadi acara yang populer di masyarakat Jawa pada beberapa abad silam sebelum Islam
masuk ke Jawa dan sebelum Belanda menjelajah Indonesia. Keberadaan ruwaran dipercara oleh
beberapa ahli sejarah dan merupakan bawaan dari budaya Hindu-Budha yang masuk ke Indonesia.
Setelah Islam masuk ke Jawa, acara ruwatan yang asli diubah sedikit bernapaskan Islami namun
penampilan yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan budaya sebelumnya yang sudah ada.
Perkembangan Islam di tanah Jawa erat hubungannya dengan adanya ajaran para Walisanga
sehingga ruwatan adalah ajaran sinkretisme antara budaya Buddha, Hindu dan Islam. Hingga saat ini,
keberadaan acara ruwatan belum dapat ditentukan mana yang asli yang merupakan kebudayaan
Hindu-Budha dan mana yang merupakan gubahan para Walisanga yang mengembangkan Islam.
Ruwatan hingga saat ini dianggap sebagai solusi yang ampuh menurut kepercayaan masyarakat
Jawa. Daya mistis yang ditimbulkan dari ritual ini akan melindungi dari kejahatan yang merusak atau
mencelakakan diri manusia. Dalam ritual ruwatan dikenal beberapa sosok antara lain : 1. Bethara
Kala 2. Bethera Guru 3. Bethari Durga 4. Bethera Wisnu 5. Sukarta. B. Tujuan
dilakukannya Ruwatan Salah satu tujuan dilakukannya upacara ruwatan adalah : 1. Untuk
menghindarkan diri dari ketidakberuntungan yang datang dari Sang Maha Kala. Keberadaan Bethera
Kala ini sebenarnya tidak selalu mutlak ada di saat dilakukannya ruwatan, tetapi nama Bethera Kala
sendiri sering disebutkan sebagai simbol keberadaannya dalam hidup manusia. 2. Bethera Kala
tidak harus ada dalam sebuah ritual ruwatan karena tidak semua ruwatan memiliki tujuan untuk
menghindarkan diri dari Bethera Kala, tetapi terkadang memiliki tujuan untuk menghindarkan diri
dari pengaruh jahat yang ditimbulkan oleh alam atau makhluk halus. 3. Kekuatan alam bisa
merupakan sebuah bencana, kadang menjadi sebuah kekuatan mana kala bencana tersebut sudah
memberi informasi bahwa ia akan datang pada waktu tertentu. Ketakuatan semacam ini pun
menjadi manusia, tidak hanya masyarakat Jawa, merasa akan dekatnya dengan kematian. Dalam
kepercayaan masyarakat Jawa, bencana dapat dihindarkan dengan melakukan acara ruwatan. Jika
saja bencana tetap datang, kemungkinan akan menelan korban jiwa yang sedikit jika dibandingkan
tidak melakukan ruwatan.

C. Masyarakat Jawa dengan ruwatan

Masyarakat Jawa yang senantiasa mengilhami dan mempercayai mitos-mitos tersebut kemudian
menjadikan acara ruwatan sebagai acara yang wajib dilakukan dan menjadi hal yang bersifat sakral
dalam menghubungkan diri manusia dengan Tuhan dan dunia gaib. Namun, pelaksanaan ritual
ruwatan yang ada dalam masyarakat Jawa sendiri sudah sangat jarang dilakukan pada zaman
sekarang ini. Banyak masyarakat Jawa sekarang berpikir realistis,bukan bearti masyarakat Jawa pada
zaman dahulu tidak berpikir secara realistis. Banyak masyarakat Jawa pada zaman sekarang ini telah
meninggalkan adat-istiadat Jawa yang memang dianggap sebagai suatu hal yang berat dilakukan
atau terlalu rumit untuk dijalankan. Sebagai contoh banyak masyarakat Jawa yang tidak lagi
mengenal Aksara Hanacaraka yaitu huruf atau aksara Jawa yang merupakan salah satu budaya yang
tinggi nilainnya. Dari beberapa kebudayaan yang ditinggalkan masyarakat Jawa, tak luput juga jenis
kebudayaan yang bersifat spiritual. Para pelaku ritual pun sebagian sudah ada yang mulai
beranggapan dan merasa bahwa acara ruwatan bukan merupakan hal yang logis sehingga hal ini
ditinggalkan sebagai bentuk kepercayaan, kebudayaan dan ritual. Tetapi bagi masyarakat Jawa yang
masih memiliki keyakinan tentang Bethera Kala, Bethera Guru, Bethera Wisnu, dan Bethari Durga,
sukerta maka pelaksanaan ruwatan, khusunya ruwat murwa kala masih penting untuk dilakukan.

D. Ritual Ruwatan Dalam masyarakat Jawa,

ritual ruwat dibedakan dalam tiga golongan besar yaitu : 1. Ritual ruwatan untuk diri sendiri
2. Ritual ruwatan untuk lingkungan 3. Ritual ruwatan untuk wilayah Dalam masyarakat Jawa,
ruwatan memiliki ketergantungan terhadap siapa yang melaksanakannya. Jika ruwatan dilakukan
oleh orang yang benar memang memiliki kemampuan ekonomi yang memadai, maka biasanya
dilakukan secara besar-besaran yaitu dengan mengadakan pegelaran pewayangan. Pegelaran
pewayangan ini berbeda dengan pegelaran pewayangan pada umumnya dilakukan. Pegelaran
pewayangan dilakukan pada siang hari khusus dilakukan oleh dalang ruwat. 1. Ruwatan diri
sendiri Ruwat diri sendiri dilakukan dengan cara-cara tertentu seperti melakukan puasa (ajaran
sinkretisme), melakukan slametan, melakukan tapa brata. Pada saat itu, ruwatan yang dilakukan
oleh sebagian masyarakat Jawa jauh berbeda dengan kebudayaan peninggalan pada zaman Hindu-
Budha. Ruwatan lebih cenderung dilakukan dengan tidak mengatasnamakan ruwatan, tetapi pada
dasarnya memiliki tujuan yan sama. Pelaku sebagai wujud atau bentuk dari ruwatan, bagi diri sendiri
ini juga sering dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa agar mendapatkan kebersihan jiwa. Ritual
ruwatan diri sendiri menurut kitab Primbon Mantrawara III, mantra Yuda jika orang yang merasa
selalu sial, dalam kepercayaan Jawa harus melakukan upacara ruwatan terhadap diri sendiri.
Pendeteksian yang dilakukan adalah melalui perhitungan patungan Jawa yaitu: ha = 1, Na = 2, Ca = 3,
Ra = 4 dan seterusnya. Pendeteksian dilakukan dengan menjumlah neptu orang tuanya dengan
orang yang akan melakukan ritual ini. Jumlah keduanya kemudian dibagi 9 dan diambil sisanya, jika
sisa: 1 bersemayam di sebelah kiri – kanan mata kana 2 bersemayam di sebelah kiri – kanan mata kiri
3 bersemayam di telinga kanan 4 bersemayam di telinga kiri 5 bersemayam di sebelah hidung kanan
6 bersemayam di sebelah hidung kiri 7 bersemayam di mulut 8 bersemayam di sekeliling pusat 9
bersemayam di kemaluan 2. Ruwatan untuk Lingkungan Ruwatan yang dilakukan untuk lingkup
lingkungan biasanya dilakukan dengan sebutan mageri atau memberikan pagar gaib pada sebuah
lokasi. a. Memberikan daya magis yang bersifat menahan, menolak, atau memindahkan daya
(energi) negatif yang berada dalam rumah/hendak masuk ke dalam rumah b. Memberikan pagar
agar tidak dimasuki oleh orang yang hendak berniat jahat c. Memberikan kekuatan gaib yang
bersifat mengusir atau mengurung makhluk halus yang berada dalam lingkup agar gaib
d. Berbagai cara memberikan pagar gaib ini dapat dilihat pada buku-buku kuno yang
menceritakan pemagaran diri manusia e. Pemagar gaib yang sering ditemui dalam masyarakat
Jawa sekitar kita berbentuk menanam rajah, menanam tumbal. 3. Ruwatan Untuk Wilayah Pada
umumnya, pangruwatan murwakala dilakukan dengan pagelaran pewayangan yang membawa cerita
tentang murwakala dan dilakukan oleh dalang khusus memiliki kemampuan dalam bidang
ruwatan. Pada ritual pangruwatan, bocah sukerta dipotong rambutnya dan menurut kepercayaan
masyarakat Jawa, kesialan dan kemalangan sudah menjadi tanggungan dari dalang karena anak
sukerta sudah menjad anak dalang. Dan karena pagelaran wayang merupakan acara yang dianggap
sakral dan memerlukan biaya yang banyak, maka pelaksanaan ruwatan pada zaman sekarang ini
dengan pagelaran wayang dilakukan dalam lingkungan pedesaan dan pedusunan. Proses ruwatan
seperti yang diterangkan ini bisa ditunjukkan untuk seseorang yang akan diruwat. Namun,
pelaksanaannya pada siang hari. Sedangkan untuk meruwat lingkup lingkungan, biasanya dilakukan
pada malam hari. Perbedaan pemilihan waktu pelaksanaan pagelaran ditentukan melalui
perhitungan hari dan pasaran. Urutan-urutan ruwatan sebagai berikut: a. Dimulai dengan doa
pembuka b. Diteruskan dengan pembacaan cerita riwayat sang Hyangkala, yang disampaikan
dengan bahasa Jawa dan mirip dengan nyanyian c. Diteruskan dengan membaca pakem suntheg,
pakem ini dimulai dilagukan “Hung Ilaheng pra yoganira sang syang kamasalah tangerannya, kang
daging sang kemala, kadi gerah suwarane, abra lir mustika murud, amarab” d. Setelah pakem
suntheng selesai, dibacakan: “Aneka akem prabawa, ketug lindhu lan prahara, geter patertan
pantaraalimaku tana suku, alembehan tanpa tangan, aninyali tanpa netra” e. Diteruskan dengan
pasang tabeik dan membaca kidung sastra pinandhati: Yanyangsiyu yusinyangya, yanyangasiyu
yusinyangya, yajasiyu yusijaya, yadangsiyu yusidangya, yawangsiyu yusiwangya, yasangsiyu,
yakangsiyu yusikangya, arangsiyu yusirangya, yacangsiyu, yusicangya, yanangsiyu yusirangya,
yacangsiyu yusicangya, yanangsiyu yusinangya, yakangsiyu yusihangya, yahangsiyu yusihangya.
f. Diteruskan dengan membaca “sastra banyak dalang” lagu kentrung: “Sang raja kumitir-
kitir, ing ngendi anggonira linggih, den barung ran keli, mangore lunga ngidul, anelasar sruwa sepi,
sumun dukuh ulung kembang, bale anyar ginelaran isi kang sumur bandung, toyane ludira muncar,
timbane kepala tugel, taline ususe maling, winarna winantu aji, asri dinulu tingkahe kaya nauta,
anauta lara raga, lara geng lara wigena, sampurnaning banyak dalang” g. Diteruskan dengan
membaca sastra gumbalageru, gemi atau api yang datang dari berbagai penjuru angin yaitu timur,
selatan, barat dan utara disatukan dan ditolak kekuatan negatifnya dan diubah menjadi sesuatu yang
bermanfaat dengan melakukan pembacaan. h. Diteruskan dengan kidung sastra Puji
Bayu: “Sang Hyang sekti naga nila wara, dadaku sang naga peksa telaleku pembebet jagad,
asabung kulinting limah, abebed kuliting singa, acawet angga genitri. Liyanan catur wisa, rinejegan
rejeg wesi, pinayungan kala akra, kinemiting panca resi, sinongsongan ash-asih premanaku ing
sulasih” i. Diteruskan dengan kidung sastra mandalagiri: Sang Hyang Tangkep bapak kasa,
kaliyan Ibu pertiwi, mijil yogyanira sang Hyang Kamasalah, tengerannya kadi daging, swarane kadi
gerah, abra lir mustikamurub, urube marab arab, anakaken prabawa, ketuk lindhu lan prahara, geter
pater tan pantara, kagyat sang Hyang Amarta arannya, wus ruwat pedhasamengko, yen ana gering
kedadak, ngelu puyeng watuk, kena wisa wutah-wutah, miring murup benceretan, kuu lumaku
rinuwat iki, anata senajata singwang, arane-mandalagiri, sang Hyang Amarta arannya wus ruwat
padha samengko.” j. Diteruskan dengan sastra kakancingan: “Kunci nira kunci putih,
angruwata metuwa sang, mentu samir lare kresna, kakrasa kama dindi, langkir tambir pokoninjog,
untuing-untuing matu tingting, tunggaking kayu aren, miwah temu pamipisan, tumunem pega
pagase, miwah kerubuhan lumbung dandang tanen, kudu lumaku rinuwat, anata sanjataning wang,
arane panji kumala, pinaputrak akengunung arane, mandalagiri, sang Hyang ngamarta arannya, wus
ruwat padha samengko” Pada proses ini merupakan penguncian kekuatan gaib yang ditimbulkan
dengan cara atau ritual ruwat selesai menyanyikan kidung untuk ruwat murwakala, selanjutnya
dibuatlh rajah kalacaraka yang ditempelkan pada pintu-pintu rumah yang diruwat. E. Yang Perlu
dan Harus di Ruwatan Menurut kepustakaan “Pakem Ruwatan Murwakala” Javanologi gabungan
dari beberapa sumber, antara lain dari serat Centhini (Sripaku Buwana V), bahwa orang yang harus
diruwat disebut anak atau orang “Sukerta” ada 60 macam penyebab, yaitu sebagai berikut:
1. Ontang-anting, yaitu anak tunggal laki-laki atau perempuan 2. Uger-uger lawang, yaitu dua
orang anak yang kedua-duanya laki-laki dengan catatan tidak anak yang meninggal 3. Sendang
Kapit Pancuran, yaitu 3 orang anak yang sulung dan yang bungsu laki-laki sedang anak yang kedua
perempuan. 4. Pancuran kapit sendhang, yaitu 3 orang anak yang sulung dan yang bungu
perempuan sedang anak yang kedua laki-laki. 5. Anak bungkus, yaitu anak yang ketiga lahirnya
masih terbungkus oleh selaput pembungkus bayi (placenta) 6. Anak kembar, yaitu 2 orang kembar
putra atau kembar putri atau kembar “dampit” yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan (yang
lahir pada saat bersamaan) 7. Kembang sepasang, yaitu sepasang bunga yaitu dua orang anak
yang kedua-duanya perempuan. 8. Kendhana-kendhini, yaitu dua orang anak sekandung terdiri
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. 9. Saramba, yaitu 4 orang anak yang semuanya
laki-laki 10. Srimpi, yaitu 4 orang anak yang semuanya perempuan.
11. Mancalaputra atau pandawa, yaitu 5 orang anak yang semuanya laki-laki
12. Mancalaputri, yaitu 5 orang anak semuanya perempuan 13. Pipilan, yaitu 5 orang anak yang
terdiri dari 4 orang anak perempua dan 1 orang anak laki-laki. 14. Padangan, yaitu 5 orang anak
yang terdiri dari 4 orang anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan 15. Julung pujud, yaitu anak
yang lahir saat matahari terbenam 16. Julung wangi, yaitu anak yang lahir bersamaan dengan
terbitnya matahari 17. Julung sungsang, yaitu anak yang lahir tepat jam 12 siang 18. Tiba ungker,
yaitu anak yang lahir, kemudian meninggal 19. Jempina, yaitu anak yang baru berusia 7 bulan dalam
kandungan sudah lahir. 20. Tiba sampir, yaitu anak yang lahir berkalung usus 21. Margana, yaitu
anak yang lahir dalam perjalanan 22. Wahana, yaitu anak yang lahir di halaman / pekarangan rumah
23. Siwah / salewah, yaitu anak yang dilahirkan dengan memiliki kulit dua macam warna Contoh
yang di atas yaitu jenis-jenis manusia yang telah dijanjikan oleh sang Hyang Betara Guru kepada
Batara Kala untuk menjadi santapan/ makanannya. Menurut mereka yang percaya, orang-orang
yang tergolong dalam kriteria tersebut di atas dapat menghindarkan diri dari malapetaka (menjadi
makanan Betara Kala). Selain Sukerta, terdapat juga “Ruwat Sengkala atau sang kala” yang artinya
menjadi mangsa sangkala yaitu jalan kehidupannya sudah terbelenggu serta penuh kesulitan. F.
Perkembangan Tradisi Ruwatan Di masa sekarang, disebabkan oleh pengaruh perkembangan
penalaran masyarakat dan semakin mantap keyakinannya terhadap agama-agama modern.
Mengakibatkan penyelenggaraan upacara ruwatan dianggap sesuatu yang tidak perlu lagi, mubadzir,
pemborosan, tahayul, dan sebagainya. Sebaliknya masih ada anggapan bahwa upacara ruwatan
tetap relevan, meskipun tergolong masyarakat elite yang sehari-harinya telah bergaya hidup modern
dan tinggal di kota-kota besar. Munculnya tokoh-tokoh dewa dalam pertunjukan wayang, termasuk
dalam ruwatan, sering dianggap satu ungkapan kemusrikan, maka upacara ruwatan dengan
menggunakan wayang oleh masyarakat Islam tertentu yang mengharamkan. Perkembangan
informasi saat ini lambat laun menggeser sedikit banyak jenis-jenis kebudayaan yang sudah dianggap
tidak realistis. Islam dalam masyarakat Jawa berkembang dengan sangat pesat pada masa
Walisanga, setelah Indonesia merdeka dan masyarakat modern. Dalam ajaran Islam terdapat ritual
yang hampir sama dengan ruwatan. Ritual ini dinamakan dengan Rukyah. Rukyah adalah upacara
yang dilaksanakan dengan alasan sebagai berikut : a. Seorang telah melakukan pelanggaran atau
dalam dirinya terdapat kekuatan magis yang seharusnya tidak ada. b. Membersihkan diri dari
kekuatan ghaib yang berada di dalam tubuh. Rukyah memang mirip dengan ruwatan, hanya saja
dalam ajarah rukyah tidak ada tokoh-tokoh seperti Bethara Kala, Bethara Guru, Bethera Wisnu dan
sukerta . yang terlibat dalam ritual Ruyah adalah orang yang di rukyah (dalam ruwatan disebut
sukerta) dan orang yang merukyah. Ritual rukyah bukan merupakan ritual yang mudah untuk
dikuasai oleh setiap orang, tetapi dengan tikat kesucian, keimanan, dan kedekatan diri sang
perukyah akan menentukan hasil akhir dari ritual-ritual yang telah dilakukan
sebelumnya.

BAB IV PENUTUP Kesimpulan Jadi Ruwatan pada masyarakat Jawa adalah sebuah ritual yang
digunakan untuk membersihkan diri dari pebuatan buruk yang akan kita lakukan dan menjauhkan
kesialan, maupun membuang kesialan menurut masyarakat Jawa yang menganut tradisi ruwatan
tersebut. Ruwatan merupakan acara yang dilakukan dengan ritual khusus pada zaman dahulu oleh
masyarakat Jawa. Pada zaman sekarang, ruwatan sudah jarang dilakukan karena masyarakat Jawa
sebagian besar merasakan hal itu tidak diperlukan lagi. Pandangan modern memang menjadikan
kebudayaan tersingkir dari kehidupan masyarakat Jawa. Tidak hanya ritual ruwatan saja yang
mengalami pergeseran posisi dalam masyarakat Jawa, tetapi masih banyak lagi yang tersingkir dari
kehidupan masyarakat Jawa sebagai sebuah kebudayaan.

Kapan Rambut Gimbal Boleh Dipotong?


Prosesi Ruwatan Anak Gimbal

Bagaimana melakukan Ruwatan Anak Gimbal? Masyarakat Dieng memiliki dua pilihan menu. Bisa
memilih secara mandiri atau massal. Pertimbangannya menyesuaikan kemampuan keluarga yang
meruwat anak gimbalnya.

Jika keluarganya sendiri bisa memenuhi permintaan dan memiliki biaya menyelenggarakan, ruwatan
secara mandiri bisa dilaksanakan. Namun, jelas ruwatan secara mandiri membutuhkan biaya besar.
Harus menanggung segala biaya seremoni ruwatan. Saya bisa bayangkan pasti hanya keluarga
‘borjuis’ Dieng yang bisa melakukan ruwatan Anak Gimbal secara mandiri.

Maka, masyarakat Dieng lebih banyak memilih meruwat anak gimbalnya secara massal. Masyarakat
‘urunan’ gotong royong melakukan ruwatan. Biaya dan tenaga ruwatan ditanggung bersama.
Tentunya, ruwatan secara massal ini juga akan lebih meriah. Ribuan masyarakat Dieng berbondong-
bondong datang memenuhi lokasi. Bisa dikatakan, ruwatan massal sekaligus menjadi pesta rakyat
Dataran Tinggi Dieng.

Lazimnya, setiap bulan Sura dalam penanggalan Jawa atau bulan Agustus adalah saat pelaksanaan
Ruwatan. Namun, ruwatan tetap bisa dilaksanakan di luar waktu lazimnya. Tak jadi masalah
kapanpun ruwatan dilakukan.

Dalam pelaksanaannya, prosesi ruwatan ditandai dengan pembacaan doa di rumah Pemuka Adat
Dieng terlebih dulu. Kemudian dilanjutkan dengan kirab arak-arakan Anak Gimbal yang diruwat
menuju Kompleks Candi Arjuna. Halaman rumah Pemuka Adat menjadi tempat pemberangkatan
Kirab. Kirab ini menyertakan barang-barang permintaan Anak Gimbal dan ‘uborampe’ sesaji berupa
nasi tumpeng, ayam panggang, dan jajanan pasar. Kirab juga dimeriahkan dengan beragam pentas
seni dari penduduk sekitar.

Kirab berjalan dengan mengelilingi kawasan Dieng sebagai upaya napak tilas. Napak tilas ini menuju
beberapa tempat, yaitu candi Dwarawati, komplek candi Arjuna, candi Gatotkaca, candi Bima,
sendang Maerokotjo, telaga Balekambang, kawah Sikidang, komplek pertapaan Mandalasari, kali
Kepek dan komplek pemakaman Dieng. Pada saat kirab berjalan, para anak gimbal akan dilempari
beras kuning dan uang koin.

Kirab lalu singgah ke Dharmasala untuk dilakukan jamasan Anak Gimbal di Sendang Sedayu. Tatkala
memasuki sendang Sedayu, anak-anak gimbal berjalan dinaungi oleh Payung Robyong di bawah kain
kafan panjang di sekitar sendang sambil diiringi musik Gongso. Air untuk jamasan tersebut ditambah
kembang tujuh rupa (sapta warna) dan air dari Tuk Bimalukar, Tuk Sendang Buana (Kali Bana), Tuk
Kencen, Tuk Goa Sumur, Kali Pepek dan Tuk Sibido (Tuk Pitu).

Setelah penjamasan selesai, anak-anak rambut gimbal dikawal menuju tempat pencukuran, yakni di
kompleks Candi Arjuna. Prosesi pencukuran rambut gimbal merupakan puncak prosesi Ruwatan
Anak Gimbal.

Prosesi Ruwatan pencukuran Rambut Gimbal dipimpin langsung Pemuka Adat Dieng. Namun begitu,
orang yang mencukur tidak harus Pemuka Adat Dieng. Orang-orang yang ditunjuk adat, misal Bupati
dan Pejabat Pemerintah dapat menjadi pencukur rambut Anak Gimbal. Pencukuran dilakukan di
halaman Candi Puntadewa, Kompleks Candi Arjuna. Setelah rambut gimbal selesai dicukur, potongan
rambut itu diletakkan pada cawan berisi air dari Bima Lukar dan bunga setaman.
Setelah pencukuran, acara dilanjutkan dengan doa dan tasyakuran. Lalu, semua ‘uborampe’ prosesi
dibagikan kepada para pengunjung. Konon ceritanya itu dapat membawa berkah pada yang
membawanya.

Ritual terakhir dalam ruwatan anak gimbal adalah melarung potongan rambut. Larung dilakukan di
tempat yang terdapat air yang mengalir ke pantai selatan Jawa. Lokasi larung rambut gimbal ini
dilakukan di Sendang Sukorini, Kali Tulis. Biasanya juga dilakukan di Telaga Warna. Tempat-tempat
itu memiliki hubungan dengan Samudera Hindia.

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan nikmat dan
karunia-Nya kepada saya sehingga makalah dengan judul “TRADISI RUWATAN
MASYARAKAT JAWA” dapat diselesaikan tepat waktu.

Makalah ini sebagai tugas dari mata kuliah Etika dan Kearifan Lokal. Adapun tujuan dari
penyusunan makalah ini agar mahasiswa dapat memahami lebih dalam tentang budaya.
Adapun makalah tentang Tradisi Ruwatan Masyarakat Jawa ini telah saya usahakan
semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya ucapkan banyak terima kasih.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
baik dari segi isi maupun penyusunannya. Oleh karena itu dengan lapang dada dan tangan
terbuka saya membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin memberi saran dan kritik
kepada saya sehingga saya dapat memperbaiki makalah ini.

Akhirnya saya mengharapkan semoga makalah Tradisi Ruwatan Masyarakat Jawa ini dapat
diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan pengetahuan terhadap pembaca.
Terima kasih.

Bandar Lampung, Desember 2017


Penulis

A. Latar Belakang

Budaya merupakan sebuah sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang
berupa kata, benda, laku, mite, satra, lukisan, nyanyian,, musik, dan kepercayaan mempunyai
kaitan erat dengan konsep-konsep epistemologis dari sistem pengetahuan di masyarakat.

Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau yang penuh dengan aneka ragam suku bangsa dan
kebudayaan. Setiap suku bangsa di Indonesia menciptakan, menyebarluaskan dan mewariskan
kebudayaan masing-masing dari satu generasi ke generasi berikutnya. Keanekaragaman suku
bangsa dan kebudayaan itu pada hakikatnya adalah satu dan memberi identitas khusus serta
menjadi modal dasar pengembangan budaya bangsa.

Keanekaragaman kebudayaan pada setiap suku bangsa di Indonesia menunjukkan kekayaan


kebudayaan Nusantara. Masing-masing daerah di Indonesia memiliki corak kebudayaan yang
berbeda-beda. Untuk mengembangkan kebudayaan daerah yang merupakan akar dari
kebudayaan nasional, pemerintah memberikan landasan seperti yang tercantum dalam UUD
1945 pasal 32 yang berbunyi ”Pemerintah memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia”.

Kebudayaan daerah adalah akar dari kebudayaan nasional. Oleh karena itu kebudayaan daerah
harus dilestarikan dan dipertahankan. Di kalangan masyarakat Jawa yang masih kental dengan
budaya dan mistik terdapat banyak ritual, salah satudiantaranya adalah ritual Ruwatan Potong
Rambut Gembel di Dieng,dikatakan sebagai ritual karena dilakukan secara tetap pada waktu
tertentu, tidak berubah waktunya dan dilangsungkan secara turun-temurun.

Dataran Tinggi Dieng dianggap sebagai sebuah tempat yang memiliki nuansa mistis sekaligus
dianggap suci. Dieng sendiri berasal dari kata Jawa Kuno dihyang yang artinya tempat arwah
para leluhur. Dataran Tinggi Dieng memiliki kecantikan alam dalam balutan udara yang sejuk
dan dihangatkan oleh keramahan masyarakatnya. Akan tetapi, ada hal unik di Dataran Tinggi
Dieng yaitu fenomena anak gembel atau anak gimbal serta budaya ritual ruwatan potong
rambut gimbalnya.

Ruwatan adalah ritual sakral dengan tujuan untuk membebaskan, membersihkan seseorang dari
sesuatu yang dipandang tidak baik atau buruk serta jahat. Dalam ruwatan juga ada harapan,
keinginan, agar orang terhindar dari malapetaka yang akan menimpa kepada mereka apalagi
ada kepercayaan dan keyakinan bahwa diri seseorang yang memiliki karakteristik tertentu
seperti rambut gimbal akan dekat dengan malapetaka tersebut, untuk mencegah hal tersebut
maka diperlukan adanya ritual ruwatan.

Oleh karena itu disini akan mengupas secara singkat tradisi Ruwatan Potong Rambut Gimbal
yang hingga kini masih hidup dalam masyarakat di daerah Pegunungan Dieng Banjarnegara,
Jawa Tengah. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang
tradisi Ruwatan Potong Rambut Gimbal yang merupakan salah satu bentuk dari budaya
spiritual, yaitu budaya berserah diri, memohon, menyembah serta membangun upaya untuk
meraih keselamatan hidup yang telah lama menjadi ciri dalam kehidupan masyarakat Jawa.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari analisis ini maka dapat ditemukan innate dari masyarakat Desa Dieng
Banjarnegara Jawa Tengah sebagai masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa adalah
masyarakat yang luwes dan modern. Walaupun adat istiadat, tata krama, pangkat
memberikan tekanan ke arah kelakuan yang konfirm, namun orang Jawa mengakui
bahwa setiap individu mempunyai tempat dan panggilan individunya dan dalam
praktiknya mereka bersedia mengakui bahwa kemungkinan hidup dan alternatif-
alternatif untuk bertindak yang dipilih manusia itu sangat luas dan beragam. Secara
prinsipil orang Jawa bersedia untuk menerima strata jangkauan hidup alternatif yang
sangat luas asal saja alternatif-altematif tersebut tidak memutlakkan diri melainkan
dapat menyesuaikan diri terhadap perilaku dan keselarasan hidup dalam
bermasyarakat.
Orang Jawa sangat bangga dengan kemampuannya untuk dapat menerima unsur
budaya baru tanpa harus meninggalkan unsur budaya yang telah ada sebelumnya.
Bahkan orang Jawa mampu untuk menggabungkan dua unsur budaya yang berbeda dan
memunculkan unsur budaya yang baru dan dapat diterima dalam kehidupan
bermasyarakat. Contoh: muncul agama Islam kejawen. Masyarakat Desa Dieng
Banjarnegara percaya bahwa hidup itu akan baik dan selamat apabila ada keselarasan
antara kehidupan manusia dan alam sekitar tempat manusia hidup dan
bersosialisasi.(http://febryarifan.blogspot.com/)

DAFTAR PUSTAKA
- http://febryarifan.blogspot.co.id/2015/02/budaya-ritual-ruwatan-bagi-masyarakat.html
- http://salsabilarahmah2.blogspot.co.id/2014/04/makalah-tradisi-ruwatan-cukur-rambut.html
- http://digilib.uin-suka.ac.id/799/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf

DAFTAR PUSTAKA

http://www.indonesia.travel/id/destination/450/dataran-tinggi-dieng/article/81/ruwatan-gembel-
cukur-rambut-anak-gimbal-di-dataran-tinggi-dieng
http://arsipbudayanusantara.blogspot.com/2013/12/upacara-cukur-rambut-gimbal-di-
dataran.html

http://www.indosuara.com/artikel/warta/menjaga-alam-dengan-ritual-ruwat-desa-dan-tayub/
http://www.radarpekalonganonline.com/42011/sedekah-bumi-kadipaten/
http://erikawibisono.blogspot.com/2009/11/tradisi-ruwatan-bagi-masyarakat-jawa.html
https://en-gb.facebook.com/notes/wisata-magelang/upacara-ruwatan-dalam-masyarakat-jawa-
sekarang/118899391483169
http://blogkelascfitk.blogspot.com/2013/04/budaya-ruwat-selamatan-bumi.html
http://akademi-pendidikan.blogspot.com/2012/02/tradisi-ruwatan-masyarakat-jawa.html
http://archive.kaskus.co.id/thread/2532382/0/tata-cara-adat-upacara-ritual---artikel
http://jagadkejawen.com/index.php?option=com_content&view=article&id=45:ruwatan&catid
=4:upacara-ritual&Itemid=59&lang=id
http://digilib.uin-suka.ac.id/799/1/BAB%20I,%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf

http://ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika/article/view/4003/3679.

http://jogjapackertrip.blogspot.com/2014/06/sisi-lain-festival-budaya-dieng-dcf5.html

http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2012/08/06/dieng-plateau-nirwana-sunyi-anak-anak-
gimbal-476105.html

http://legendadieng.blogspot.com/2014/02/legenda-rambut-gembel-anak-anak-gunung.html

http://nonieunic.blogspot.com/2012/01/upacara-potong-rambut-gimbal-tradisi.html

https://aleganteng.wordpress.com/author/alayabis/

Kesimpulan
Ruwatan adalah ritual sakral dengan tujuan untuk membebaskan, membersihkan seseorang dari
sesuatu yang dipandang tidak baik atau buruk serta jahat. Dalam prosesi upacara ruwatan
ini,ternyata terdapat akulturasi antara nilai- nilai tradisi lokal dan nilai-nilai Islam, seperti
halnya dalam upacara ini masih terdapat seseji-sesaji sebagai perlengkapan upacara
yang menandakan sebagai tradisi lokal, sedangkan nilai Islamnya terdapat pada do’a-do’a yang
digunakan.

Beberapa yang menjadi inti dalam pelaksanaan upacara memotong rambut Gimbal Untuk itu
perlu disediakan beberapa yang harus ada misalnya dengan adanya tumpeng yang terbuat dari
nasi berbentuk kerucut melambangkan kekuasaan Tuhan, tumpeng rombyong menggambarkan
alam seisinya. Lauk-pauk yang ditancapkan ditumpeng menggambarkan rambut Gimbal.
Tumpeng rombyong ditujukan kepada Kyai Kolodete yang berambut Gimbal. Tumpeng
kuning melambangkan kekuasaan Tuhan, ditunjukkan kepada Nabi Muhammad SAW dan
sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai