PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Makalah ini dibuat guna memberikan informasi tentang budaya jawa yaitu tradisi
ruwatan, yang masih tetap ada walaupun perkembangan zaman yang begitu pesat. Di era
keterbukaan ini, dan tak hilang termakan oleh usia, tetapi malah menjadi sebuah
kebudayaan yang mengakar di masyarakat Jawa dan kata “kebudayaan” merupakan
istilah yang paling luas cakupan maknanya dan setiap orang awam pasti merasa tahu
tentang apa yang dimaksud tentang “kebudayaan” itu, tetapi masing-masing
menghayatinya menurut “rasanya” sendiri-sendiri dan para ahlipun ternyata tak mudah
membuat batasan atau definisi yang memuaskan dan dapat diterima oleh semua pihak.
Definisi yang begitu banyak itu merupakan pertanda betapa luasnya aspek yang
terkandung dalam pengertian “kebudayaan” itu, yang memang meliputi aspek kehidupan
manusia melalui cipta, rasa dan karsanya.
Dalam makalah yang saya buat ini akan membahas sebab terjadinya ruwatan, ritual
ruwat dan sebagainya.
B. Rumusan Masalah
Berdasar uraian latar bekang diatas maka penyusun merumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Tujuan
a. Dapat mengetahuai sejarah ritual Ruwatan
b. Dapat memahami prosesi pelaksanaan Ruwatan
c. Dapat mengetahui macam-macam Ruwatan
d. Dapat mengetahui tujuan dari Ruwatan
2. Manfaat
a. Memiliki pengetahuan tentang ritual Ruwatan
b. Menambah pengetahuan mengenai tradisi Ruwatan
c. Ikut serta melestarikan tradisi Ruwatan
1
BAB II
PEMBAHASAN
Ruwatan adalah suatu upacara atau ritual yang bertujuan untuk mengusir nasib buruk
atau kesialan yang ada pada seseorang. Upacara adat Jawa ini masih sering terlihat,
terutama di Jogja dan Jawa Tengah serta sebagian besar Jawa Timur. Dipercaya bahwa
setelah adanya ritual ini, maka kehidupan seorang yang diruwat akan menjadi lebih baik,
lebih sejahtera dan lebih beruntung.
Asal-usul Ruwatan tidak lepas dari mitos masyarakat Jawa mengenai hal-hal yang
bersifat spiritual. Ruwatan adalah salah satunya, yakni dihubungkan dengan keberadaan
Dewa dan Dewi. Bathara Kala namanya, merupakan adik dari Bathara Guru yang
memiliki pekerjaan mengganggu manusia. Orang yang dimangsa oleh Bhatara Kala akan
mengalami Sukerta atau nasib sial sepanjang hidupnya di dunia. Menurut mitos, Bathara
Kala menyukai anak-anak yang berjumlah tertentu dalam sebuah keluarga. Berikut anak-
anak yang menjadi kegemaran Bathara Kala dalam mitologi Jawa:
1. Kedhono Kedhini, dua anak pertama laki-laki, lalu dua anak selanjutnya perempuan.
2. Pandawa, lima anak semuanya lelaki. Sedangkan Pandawa Pancala Putri adalah lima
orang anak semuanya perempuan.
3. Ontang-anting adalah anak tunggal berjenis kelamin lelaki, sedangkan unting-unting
adalah anak tunggal berjenis kelamin perempuan.
4. Gendhana-gendhini, satu anak lelaki memiliki satu adik perempuan.
5. Uger-Uger Lawang adalah dua anak lelaki, sedangkan Kembar Sepasang adalah dua
anak perempuan
6. Kembar, yakni dua anak laki-laki atau dua anak perempuan yang lahir bersamaan.
7. Gotong Mayit adalah tiga anak perempuan semua, sedangkan Cukil Dulit adalah tiga
anak lelaki semua.
8. Serimpi adalah empat anak perempuan semua, sedangkan Serambah adalah empat
anak lelaki semua.
9. Sendang Kaapit Pancuran adalah tiga anak dengan dua lelaki dan satu orang
perempuan di tengah.
10. Pancuran Kaapit Sendang adalah tiga anak dengan dua perempuan dan satu lelaki di
tengah.
11. Sumala, yakni anak yang cacat sejak lahir.
12. Wungle atau anak yang lahir dalam keadaan bule atau tanpa pigmen kulit.
13. Margana adalah anak yang lahir saat ibunya dalam perjalanan, sedangkan Wahana
adalah anak yang lahir saat ibunya dalam keadaan berpesta.
14. Wuyungan adalah anak yang lahir dalam keadaan situasi yang gawat, misalnya
peperangan atau bencana alam.
15. Julung Sungsang adalah anak yang lahir pada waktu tengah hari, sedangkan Julung
Sarab adalah anak yang lahir pada waktu matahari terbenam.
2
16. Julung Caplok adalah anak yang lahir pada waktu senja hari, sedangkan Julur
Kembang adalah anak yang dilahirkan pada saat fajar menyingsing.
B. Macam-macam ruwatan
Berbagai cara memberikan pagar gaib ini dapat dilihat pada buku-buku kuno
yang menceritakan pemagaran diri manusia, lingkungan dan wilayah yang cukup luas
dengan kepercayaan masyarakat Jawa. Tujuan utama dilakukannya pemagaran gaib
pada manusia dan pada lingkungannya ini apabila tercapai, menurut kepercayaan Jawa
akan menjadikan lingkungan yang aman, sejahtera, jauh dari gangguan makhluk halus.
Pada saat ini, bentuk pemagaran gaib yang sering ditemui dalam masyarakat Jawa
sekitar kita berbentuk menanam rajah, menanam tumbal, membaca doa untuk
membuat pagar dan masih banyak metede lainnya. Acara atau ritual ruwatan yang
3
ditujukan untuk memagari sebuah lokasi ini kemudian berubah dalam pelaksanaannya
karena sebagian masyarakat Jawa sekarang sudah cenderung mempercayai hal-hal
yang bersifat ilmiah.
Ritual ruwatan dalam masyarakat Jawa yang masih berlaku biasanya adalah
pemagaran gaib yang dilakukan dengan menyediakan berbagai jenis sesaji dan
melakukan ritual sendiri. Penerapan ritual ruwatan tidak jauh berbeda antara satu
tujuan dengan tujuan yang lain. Pelaksanaan yang umum dilakukan dalam masyarakat
Jawa adalah dengan menggelar lakon pewayangan yang berisi tentang ruwatan itu
sendiri. Dalang dalam menampilkan pagelarannya menyajikan salah satu dari
beberapa jenis lakon.
Prinsip pengendalian diri dengan “mulat sarira” suatu sikap bijaksana untuk selalu
berusaha tidak menyakiti perasaan orang lain, serta “aja dumeh” adalah peringatan pada
kita bahwa jangan takabur dan jangan sombong, tidak mementingkan diri sendiri dan lain
sebagainya.
Kepercayaan terhadap keberadaan nenek moyang, menyatu dengan kepercayaan
terhadap kekuatan alam yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia, menjadi
ciri utama dan bahkan memberi warna khusus dalam kehidupan religiusitas serta adat
istiadat masyarakat Jawa.
4
Berbagai ungkapan Jawa, merupakan cara penyampaian terselubung yang bisa
bermakna “priwulung” atau pendidikan moral, karena adanya pertalian, budi pekerti
dengan kehidupa spiritual, menjadi petunjuk jalan dan arah terhadap kehidupan sejati.
Paham mistik Jawa yang terpokok “manunggaling kawula gusti” (Persatuan
manusia dengan tuhan) dan “sangkan paraning dumani ” (asal dan tujuan ciptaan)
bersumber pada pengalaman religius, berawal dari sana manusia itu rindu untuk bersatu
dengan yang Illahi.
Tradisi “upacara/ritual ruwatan” hingga kini masih dipergunakan orang Jawa,
sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang
berdampak kesialan di dalam hidupnya. Dalam tradisi Jawa orang yang keberadaannya
dianggap mengalami nandang sikerto/berada dalam dosa, maka untuk mensucikan
kembali perlu mengadakan ritual tersebut.
Untuk pagelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala biasanya diperlukan
perlengkapan sebagai berikut:
a) Alat musik Jawa (gamelan)
b) Wayang kulit satu kota (komplit)
c) Kelir atau layat kain
d) Blencong atau lampu dari minyak
Selain peralatan tersebut di atas masih diperlukan sesajian yang berupa:
a. Tuwuhan, yang terdiri dari pisang raja setundun, yang suda matang dan baik, pohon
tebu dengan daunnya, daun beringin, daun elo, daun dadap serep, daun apa-apa dan
daun alang-alang
b. Api (batuarang) di dalam anglo, kipas beserta kemenyan (ratus wangi) yang akan
dipergunakan Kyai Dalang selama pertunjukan
c. Kain mori putih kurang lebih panjangnya 3 meter, direntangkan di
bawah debog (batang pisang) panggungan dari muka layar (kelir) sampai di belakang
layar dan ditaburi bunga mawar di muka kelir alas duduk dalang
d. Gawangan kelir bagian atas (kayu bambu yang merentang di atas layar) dihias dengan
kain batik yang baru 5 (lima) buah, diantaranya kain sindur, kain bango tulak dan
dilengkapi dengan padi segedeng (4 ikat pada sebelah menyebelah)
5
kecantikan Uma, istrinya. Saya menangkap adanya pendidikan moral yang tersirat
(berkaitan dengan pendidikan seks) dalam cerita itu, yaitu orang yang beradab tidak
selayaknya melakukan sanggama di atas kendaraan. Apalagi memiliki jabatan tertinggi
dan sangat terhormat seperti Batara Guru. Artinya, jika seseorang tidak mampu menahan
birahi dan dimanjakan di sembarang tempat, akan melahirkan bocah yang selalu membuat
durhaka kepada siapa saja, seperti Batara Kala.
Munculnya tokoh-tokoh dewa dala pertunjukan wayang, termasuk dalam ruwatan,
sering dianggap satu ungkapan kemusrikan, maka upacara ruwatan dengan menggunakan
wayang oleh masyarakat Islam tertentu yang mengharamkan.
6
BAB III
PENUTUP
Demikianlah makalah tentang tradisi ruwatan di masyarakat Jawa yang saya buat,
semoga dapat bermanfaat bagi kita semua dan semoga Tuhan meridhoi makalah yang
saya buat ini dan Tuhan selalu memberikan bimbingan dan perlindungan kepada kita
semua agar senantiasa jangan putus asa dalam menghadapi persoalan / tugas yang
diberikan.
Kesimpulan
Jadi Ruwatan pada masyarakat Jawa adalah sebuah ritual yang digunakan untuk
membersihkan diri dari pebuatan buruk yang akan kita lakukan dan menjauhkan ksialan,
maupun membuang kesialan menurut masyarakat Jawa yang menganut tradisi ruwatan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Soewirjo, Budi Adi. 1990. Ruwatan di Daerah Surakarta. Surakarta: Balai Pustaka.
Dr. Sarwosto. 1967. Pertunjukan Wayang Kulit Purwa. Semarang: gelombang Pasang
Pamungkas, ragil. 2007. Tradisi Ruwatan. Yogyakarta: Balai Pustaka.
Soewirjo, Budi Adi. 1995. Kepustakaan Wayang Purwa (Jawa). Yogyakarta: Pustaka
Jaya.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.