Anda di halaman 1dari 4

UPACARA TRADISI RUWATAN

KELUARGA KANJENG SUNAN KALIJAGA KADILANGU DEMAK


1. Pendahuluan
Setiap keanekaragaman kebudayaan suku bangsa di Indonesia memiliki
keunggulan lokal atau memiliki kearifan lokal (local wisdom) yang berbeda-beda.
Kearifan lokal ini tercermin dalam kebiasaan hidup masyarakat setempat yang
telah berlangsung lama. Contohnya dapat ditemui dalam bentuk nyanyian,
pepatah, petuah, ajaran, dan semboyan yang melekat dalam acara pernikahan,
kematian, melahirkan dan sebagainya.
Kearifan lokal adalah pandangan hidup suatu masyarakat di wilayah
tertentu mengenai lingkungan alam tempat mereka tinggal. Pandangan hidup ini
biasanya adalah pandangan hidup yang sudah berurat akar menjadi kepercayaan
orang-orang di wilayah tersebut selama puluhan bahkan ratusan tahun. Untuk
mempertahankan kearifan lokal tersebut, para orang tua dari generasi sebelumnya,
dan lebih tua akan mewariskannya kepada anak-anak mereka dan begitu
seterusnya. Mengingat kearifan lokal adalah pemikiran yang sudah lama dan
berusia puluhan tahun, maka kearifan lokal yang ada pada suatu daerah jadi begitu
melekat dan sulit untuk dipisahkan dari masyarakat yang hidup di wilayah
tersebut. Didalam suatu daerah pasti ada kearifan lokal yang sudah melekat dari
zaman dulu yang dilakukan secara turun-menurun. Salah satu jenis kearifan lokal
yang ada di kabupaten demak adalah tradisi Ruwatan.
Ruwat adalah salah satu upacara dalam kebudayaan Jawa yang ditujukan
untuk membuang keburukan atau menyelamatkan sesuatu dari sebuah gangguan.
Seseorang atau sesuatu yang telah diruwat diharapkan mendapat keselamatan,
kesehatan, dan ketenteraman kembali. Gangguan dalam hal ini dapat berupa
banyak hal, seperti nasib buruk, terkena ilmu hitam, atau makhluk gaib. Ruwat
dalam keratabasa Jawa dapat diartikan "kudu bisa luru lan bisa ngrawat" yang
bermakna harus bisa mencari dan merawat. akhirnya menjelma menjadi raksasa,
yang dalam tradisi pewayangan disebut “Kama salah kendang gumulung “. Ketika
raksasa ini menghadap ayahnya (Batara guru) untuk meminta makan, oleh Batara
guru diberitahukan agar memakan manusia yang berdosa atau sukerta. Atas dasar
inilah yang kemudian dicarikan solosi, agar tak termakan Sang Batara Kala ini
diperlukan ritual ruwatan. Kata Murwakala/purwakala berasal dari kata purwa
(asal muasal manusia),dan pada lakon ini, yang menjadi titik pandangnya adalah
kesadaran: atas ketidak sempurnanya diri manusia, yang selalu terlibat dalam
kesalahan serta bisa berdampak timbulnya bencana (salah kedaden).
Untuk pagelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala biasanya
diperlukan perlengkapan sebagai berikut:
1. Alat musik jawa ( Gamelan )
2. Wayang kulit satu kotak ( komplet )
3. Kelir atau layar kain.
4. Blencong atau lampu dari minyak
Diruwat (jawa) atau diruat (sunda) berasal dari adat istiadat Jawa, istilah
ruwat berasal dari istilah Ngaruati artinya menjaga dari kecelakaan Dewa Batara.
Biasanya ruwat dilaksanakan ketika: anak yang sedang sakit, anak tunggal yang
tidak memiliki adik maupun kakak, terkena sial, jauh jodoh, susah mencari
kehidupan, mempunyai tanda Wisnu (tanda putih pada badannya, dll.
Ruwatan merupakan salah satu ritual penyucian yang hingga kini masih
dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Jawa dan Bali. Ritual atau upacara ini
bertujuan untuk membebaskan seseorang dari hukuman atau kutukan dewa yang
membawa bahaya.
Daerah Cak Nun: Ruwatan Bagian dari Ajaran Islam,NU Online
Budayawan asal Jombang, Jawa Timur, Emha Ainun Nadjib bersama Lembaga
Pers Mahasiswa (LPM) Edukasi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
IAIN Walisongo Semarang meresmikan “Ruwatan” sebagai bagian dari ajaran
Islam yang diambil dari al-Quran dan Hadits."Ruwatan bukan sebagai budaya
Hindu-Budha melainkan sebagai bagian dari ajaran al-Quran yang dijalankan oleh
umat Islam. Ruwatan juga bukan asal usul kebatilan maupun bid'ah melainkan
ajaran yang terkandung di dalam Al-Qur’an," ucap Cak Nun, sapaan akrabnya.
Istilah "ruwatan" sebagai budaya Hindu-Budha ditolak oleh budayawan berusia 60
tahun itu. Hal itu dikatakanya dalam Guyub Rukun Bareng Cak Nun Jilid 3, di
halaman Ma’had Walisongo, Kampus II IAIN Walisongo Semarang, belum lama
ini. Ia menjelaskan, ajaran ruwatan tidak sekedar dilestarikan saja, melainkan
juga harus tamasyuk dibumikan.
Hal itu sesuai dengan istilah KH Fadlan Musyafak selaku pengasuh
Ma’had Walisongo ruwatan ialah harokatut tamasyuk bis tsaqafah wal hadloroh al
Indonesiyah. Menanggapi kelompok yang mentafsirkan ruwatan sebagai bid'ah
dholalah pihaknya menolak. "Keliru dan salah bila mengartikan istilah ruwatan
sebagai bid'ah. Sebab bid'ah ada yang diperbolehkan dan dilarang dalam hukum
syara’. Tamasyuk merupakan bid'ah khasanah yang harus dijaga dan dibumikan,"
beber suami Novia Kolopaking. Ia mengajak Jamaah Maiyah yang hadir agar
tidak memaknai ruwatan secara menyeluruh. Sebab lanjutnya suatu ajaran yang
diturunkan dari langit ke bumi adalah sesuatu ketentuan, anjuran, perintah yang
sudah baku dan permanen lebih dari itu ada pula ibadah atau kebaikan yang
bermula dari bumi ke langit yang tidak ada dalil larangannya. Bagian anjuran
yang dibolehkan ajaran agama, kata penerima penghargaan Satyalancana
kebudayaan tahun 2010 itu, ibadah dibagi menjadi 2 yang diperintahkan dan
dilarang sesuai ketentuan Aluran. Pertama, ibadah melalui jalur vertikal antara
makhluk dengan sang pencipta yang sudah tidak bisa ditawar dan menjadi
ketentuan baku. Kedua, sambungnya ibadah melalui jalur horizontal, yakni
hubungan ibadah dengan alam, sesama makhluk semisal ruwatan yang merupakan
kebudayaan dari ajaran Islam yang patut dijalankan dan dijaga.
Karena itulah, mereka yang dilahirkan pada weton Jumat Wage harus
diruwat, karena mereka sering kali mengalami kesialan. Ruwatan yang dilakukan
untuk menghilangkan kesialan yang dibawa oleh anak yang lahir pada weton
Jumat Wage tersebut. Makna dari Ruwatan Jawa adalah memohon dengan tulus
agar orang yang diruwat dapat terbebas dari bencana dan mendapatkan
keselamatan. Oleh karena itu, upacara Ruwatan dilakukan untuk melindungi
manusia dari berbagai bahaya yang ada di dunia.
Dengan adanya tradisi Ruwat Desa ini nilai-nilai seperti gotong royong, toleransi,
moral, kerukunan, dan religius dapat ditanamkan.
2. PEMBAHASAN PROSES dan ASAL-USUL
Asal Usul Tradisi Ruwatan
Mengutip dari surakarta.go.id, dalam bahasa Jawa, ruwatan memiliki arti
'dilepas' atau 'dibebaskan'. Pengertian tersebut sejalan dengan fungsi utama
ruwatan yang merupakan sebuah upacara untuk 'membebaskan' seseorang dari
kutukan. Sebenarnya, asal-usul ruwatan berasal dari cerita pewayangan. Terdapat
kisah yang menceritakan seorang tokoh Batara Guru yang memiliki dua orang
istri, yaitu Pademi dan Selir. Dari Pademi, Batara Guru memiliki seorang anak
laki-laki bernama Wisnu. Sementara dari Selir, ia memiliki seorang anak laki-laki
bernama Batarakala. Ketika Batarakala dewasa, ia menjadi sosok yang jahat dan
kerap mengganggu anak-anak manusia untuk dimakan. Konon, sifat jahat
Batarakala disebabkan oleh hawa nafsu sang ayah yang tidak terkendali.
Dalam sebuah peristiwa, Batara Guru dan Selir sedang mengelilingi
samudera dengan menaiki punggung seekor lembu. Tiba-tiba, hasrat seksual
Batara Guru muncul dan ia ingin bercinta dengan Selir.Namun, Selir menolak dan
sperma Batara Guru jatuh ke tengah samudera. Sperma tersebut kemudian
berubah menjadi raksasa yang dikenal dengan nama Batara Kala. Meminta
Makanan. Konon, Batara Kala meminta makanan berupa manusia kepada Batara
Guru. Batara Guru mengizinkan dengan syarat bahwa manusia yang dimakan
haruslah 'wong sukerta', yaitu orang-orang yang mendapat kesialan, seperti anak
tunggal. Dari cerita tersebutlah kemudian muncul tradisi bahwa setiap anak
tunggal harus menjalani ruwatan agar terhindar dari malapetaka dan kesialan.
Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, salah
satunya sajen.
Sajen adalah makanan dan benda lain, seperti bunga, yang digunakan
sebagai sarana komunikasi atau interaksi dengan makhluk tak kasat mata. Dalam
tradisi ruwatan, terdapat beberapa jenis sajen yang diperlukan. Tak hanya
makanan, dalam sajen juga harus terdapat bunga, padi, kain, dan sejumlah barang
lainnya yang tak terhitung. Dalam upacara ruwatan, biasanya disertai dengan
pertunjukan wayang. Lakon yang dipentaskan adalah lakon khusus yang disebut
Murwakala. Selain itu, juga disajikan sesaji khusus untuk memuja Batara Kala.
Dengan melaksanakan ruwatan, diharapkan orang yang diruwat dapat
terbebas dari bencana dan mendapatkan keselamatan. Hingga saat ini, tradisi
ruwatan masih dipercayai oleh sebagian besar masyarakat karena berhubungan
dengan keselamatan anak tunggal dan keluarganya. Menurut kepercayaan Jawa,
beberapa anak sukerta yang butuh diruwat antara lain; Ontang-anting (anak
tunggal), Pancuran kapit sendang (tiga anak, laki-laki di tengah), Sendang kapit
pancuran (tiga anak, perempuan di tengah), serta Uger-uger lawang (dua anak
laki-laki).
Proses Tradisi Ruwatan

3. NILAI YANG TERKANDUNG

4. KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai