Abstract
Ruwatan is a kind of traditional art form, appear and developing notably in Java ethnic. This ritual aim
to breaking out an unfortunate called “sukerta” that often meaning “unfortunate innately” that is
natural cause, so that make unbalance in their live. This ritual in essence is a form of how ancient
tribesman are striving to get a prosperous live. Afterwards, this ritual now have been developed in any
new tradition ceremony like the autentic one but in reality have already leaved from the autentic ritual
of ruwatan. When the medium is already changed to be purpose, ruwatan now have became a comodity
in cultural industries, where prosperous is being main purpose no more.
Diakui atau tidak, kebudayaan klasik atau yang biasanya dibumbu dengan santen. Jika
budaya asli pribumi khususnya tradisi ruwatan sukerta ada yang laki-laki maka biasanya
sukerta yang merupakan kebudayaan asli dari dilengkapi dengan lampu teplok dan alat
Jawa ini, seringkali dianggap dekat dengan hal-hal pertukangan seperti palu, gergaji, caping, pacul,
yang berbau mistis dan mengingatkan kita pada arit, cambuk dan semacamnya. Tak ketinggalan
peradaban animisme nenek moyang kita dulu, pula jarik beberapa jenis, dari jarik poleng (kotak-
ketika generasi pendahulu itu masih meyakini kotak hitam putih), jarik dringin, sindur, hingga
adanya kekuatan roh-roh sebagai bagian dari jarik kembar, yang biasanya disampirkan di atas
penyeimbang alam dan sekaligus manifestasi dari geber/ kain layar untuk wayang, dan dihiasi pula
rasa penyeraha n dan kepercayaan atas tebu wulung dan godhong opo-opo di kanan –
pengejawantahan “Sang Murbeng Dumadi” itu kirinya. Sebenarnya masih banyak sekali sesaji
sendiri. Untuk dapat hidup sejahtera maka yang disyaratkan untuk pelaksanaan ruwatan
manusia harus dapat menyesuaikan diri atau sukerta ini, namun akan penulis kupas lebih jauh
sinergi dengan alam lingkungannya. dalam pembahasan khusus.
Ruwatan sebenarnya sarat akan perlambang Selain memiliki serangkaian sesaji yang sarat
dan ajaran-ajaran kehidupan. Secara simbolis akan perlambang, tradisi ruwatan dilaksanakan
menggugah kesadaran manus ia atas dengan serangkaian upacara diantaranya doa
pengakuannya bahwa di kehidupan dunia ini tidak tirakat bersama, sungkeman anak sukerta kepada
hanya ditempati oleh manusia saja, tetapi juga orang tuanya, dilanjutkan upacara jamasan (mandi
terdapat keterikatan dan keterlibatan dengan alam jamas dengan air londho merang – berwarna
dimensi lain terutama alam semesta yang masih hitam) yang dalam hal ini sang sukerta
berada pada dimensi yang sama baik udara, tanah, mengenakan pakaian yang paling disukainya
air, hewan, tumbuhan dan semacamnya yang untuk dilarung nantinya. Setelah jamasan, sukerta
semua itu tersirat dalam rangkaian sesaji sebagai mengenakan pakaian serba polos (biasanya mori
salah satu syarat diadakannya ruwatan. putih), lalu menyaksikan bersama pertunjukan
Rangkaian sesaji/ sajen ruwatan antara lain wayang kulit dengan lakon khas “Murwakala”,
terdiri dari tetanaman buah-buahan yang tumbuh yang ditengah/ akhir cerita Ki Dhalang
di sekitar kita, seperti “pala kesimpar/ kumleser” membacakan mantra khusus ruwatan yang disebut
(waluh, semangka, blewah, dll), “pala Sastra Pinedhati. Setelah Ki Dhalang membacakan
kependhem” (tela, kacang, gembili, uwi, mantra tersebut sang sukerta dipotong sebagian
ganyong), “pala gumantung/ gumandhul” (jeruk, rambutnya, kemudian yang terakhir yaitu
blimbing, pelem, jambu,dll), dilengkapi pula melarung pakaian yang dikenakan jamasan oleh
gedhang mas, gedhang raja, kinang, serta sang sukerta, sebagai tanda keikhlasan dan
kemenyan/ dupa hio dan jenewer/ arak. Selain dari sekaligus ajaran tentang kesadaran bahwa manusia
jenis tetumbuhan, ada pula dari jenis hewan yang tidak berhak memiliki apa yang digelar di dunia,
dijadikan sesaji antara lain “kewan darat” (ayam karena semua yang digelar ini pada hakikatnya
sajodo – dere lancur), “kewan iber-iberan” (burung adalah milik Tuhan, dan manusia hanya diberi
dara, kepodang), “kewan banyu” (ikan lele, ikan kewenangan memanfaatkan titipan-Nya tersebut.
mas) yang kesemuanya itu mengajarkan kita Kemudian salah satu yang membedakan
tentang falsafah hidup yang masing-masing telah antara ruwatan sukerta ini dengan ruwatan yang
digariskan untuk menempati posisi yang lain yaitu adanya kategori sukerta (orang yang jadi
semestinya karena semua itu menjadi pelengkap mangsa Bathara Kala) yang harus diruwat.
bagi yang lain, oleh karena itu siapapun kita Sebenarnya ada sejumlah seratus lebih jenis
selayaknya bersyukur atas takdir yang telah sukerta, antara lain ; ontang anting lumunting,
digariskan. uger-uger lawang, gedhana gedhini, gedhini
Dalam falsafah Jawa ada pula ungkapan gedhana, saramba, kembang sepasang, pandhawa,
sedulur papat lima pancer yang tersimbolkan pandhawi, pandhawa ipil-ipil, bantheng ngirit
dalam bentuk bubur abang – putih (asale urip, getih jawi, jawi ngirit bantheng, sendhang kapit
lan banyu), bubur heneng (warna hitam), bubur pancuran, pancuran kapit sendhang, orang yang
hening (warna kuning), jenang baro-baro (segala menempati rumah yang belum jadi, dan
warna). Dari jenis masakan juga dilengkapi rujak sebagainya. Jika dilihat dari kacamata psikologi,
crobo, gecok kebo (kerbau satu potong yang secara semua yang masuk dalam kategori sukerta adalah
utuh diwakili dari potongan-potongan bagian saja orang yang perlu mendapatkan pengarahan/
lengkap dari kepala hingga kaki) biasanya penyelarasan untuk menjalani hidup agar tidak
dibumbui dengan kunir untuk menghilangkan bau menyimpang dari takdir “Sang Adi Kodrati”, oleh
amisnya. Selain gecok kebo ada juga gecok pithik karenanya dinamakan ruwatan, yaitu meruwat
69
TOPIK UTAMA
atau mengeluarkan dari/ memberi pencerahan atas tidak menyertakan mantra tersebut karena tidak
sesuatu hal. Kita ambil contoh seorang sukerta tahu atau sengaja menghilangkannya agar bagi
yang termasuk dalam kategori ontang-anting yaitu kalangan yang resisten terhadap kesenian yang
anak tunggal, perlu diruwat untuk diberikan bernuansa mistik dan berkesan pemujaan terhadap
pencerahan atau semacam penyadaran tentang roh-roh leluhur masih mau mengapresiasi. Banyak
kehidupan, posisi, tanggung jawab, konsekuensi alasan yang bisa dituliskan untuk hal tersebut.
yang perlu diemban sebagai anak tunggal yang Ruwatan masal telah kehilangan maknanya
notabene biasanya lebih egois, manja, suka seperti ketika tradisi itu diciptakan. Ruwatan lebih
menang sendiri dan sebagainya. Diharapkan menarik menjadi berita, bahan penelitian,
dengan ruwatan tersebut si anak ontang anting promosi, publikasi, pencitraan, sorotan media dan
lebih bisa bersikap dewasa dan bijak dalam publik karena keanehan, kelangkaan dan
menjalani hidup. sebagainya. Seperti yang diutarakan Barthes
Bagaimana ruwatan sekarang? Dari berita- dalam “The Discurse of History” hilangnya makna
berita yang muncul yang bisa dilihat pada itu bersifat imanen pada semua sejarah atau
pendahuluan di atas, ruwatan kuno telah berubah representasi budaya, karena adanya intervensi dari
menjadi ruwatan masal yang secara tegas berbeda tanda-tanda bahasa. Jadi tulisan tentang pelbagai
jauh dari bentuk ritual ini aslinya. Ruwatan telah peristiwa atau praktik budaya tidak bisa lagi
diadaptasi, dikikis dan ditambahi abik bentuk dianggap sebagai perunutan pelbagai detail secara
ritualnya, sesajinya, bahkan tujuan utamanya. objektif. Sejarah tak lagi mendokumentasikan
Masyarakat dahulu melakukan upacara ini “yang nyata” melainkan mencipta “yang bisa
dimaksudkan untuk mencari kesejahteraan hidup, dipahami” (Barker, 2009: 20-21)
namun kini barangkali kepentingan industri Ruwatan kini tidak lagi dipandang dalam
budaya yang justru lebih dominan sehingga ritual sakralitas ritualnya, sebagian masyarakat telah
tampakan lebih dikemas menghibur dan dibuat mengambilnya sebagai istilah saja atau olokan
agar dapat menjadi konsumsi media dan untuk orang yang selalu sial dalam kesehariannya.
diperbincangkan sebagai hal yang memiliki nilai- Bahkan ritualnya tidak lagi harus direferensikan
nilai konsumtif. sebagaimana dahulu upacara ini dilakukan, namun
J a m e s o n m e n ga m b i l da r i ga ga s a n t e l a h di l a ku ka n p e n i ru a n s e o l a h -o l a h
Baudrilla rd dalam Barker (2009: 167) memasukkan unsur mistik di dalamnya. Ada yang
pascamodernisme terlibat dalam kesadaran yang berperan sebagai sang dhalang, dilengkapi sesaji
dangkal tentang masa kini dan kehilangan yang dikemas sedemikian rupa mereproduksi
pemahaman historis, yang dicirikan di antaranya upacara aslinya, ada pula yang berpartisipasi
dengan hilangnya gaya artistik autentik karena sebagai sang sukerta, demikian simulasi upacara
digantikan oleh patische (peniruan), munculnya ruwatan dilaksanakan. Ruwatan masal telah
kebudayaan simulacrum atau tiruan (di mana tidak menjadi budaya pop, yaitu terutama adalah
ada yang asli). kebudayaan yang diproduksi secara komersial dan
Demikianlah melihat acara ruwatan masal tidak ada alasan untuk berfikir bahwa tampaknya
sekarang ini. Banyak unsur yang hilang atau ia akan berubah di masa mendatang. Ini adalah
berubah dari aslinya. Di mana upacara tersebut kebudayaan di mana tidak ada objek yang
dahulu tidak bisa digelar secara masal, bahkan ada memiliki nilai yang esensial atau mendalam
satu sesi di dalam pementasan wayang kulit bahkan nilai ditentukan melalui pertukaran makna
murwakala yang tidak boleh secara masal simbolis. Komoditas bukan objek dengan nilai
didengarkan untuk umum, yaitu pembacaan guna melainkan tanda-komoditas(Barker, 2009:
mantra Satra Pinedhati. Saat pembacaan mantra 50).
tersebut berlangsung, maka anak atau orang yang
diruwat tersebut mendekat kepada Dhalang, dan PENUTUP
Dhalang tidak boleh membacakan mantra tersebut
secara keras karena dalam mitosnya akan Tradisi ruwatan sukerta kini sudah kian
berpengaruh negatif utamanya bagi perempuan memudar dan mulai dilupakan orang, yang lebih
yang sedang berhalangan (haid) atau sedang ironis lagi oleh orang Jawa sendiri. Selain itu perlu
hamil. adanya penjelasan mengenai budaya ruwatan yang
Namun yang terjadi dalam pementasan dulu menjadi tradisi turun-temurun dipertemukan
ruwatan masal sang Dhalang membacakan mantra dengan budaya modern, oleh karenanya perlu
tersebut secara lugas, keras, barangkali agar penyadaran bahwa esensi dari tradisi ruwatan
tampak nuansa mistisnya sehingga menarik untuk bukanlah pada peradaban animisme yang
mengundang perhatian, atau bahkan ada yang melatarbelakanginya, melainkan lebih pada upaya
70
TOPIK UTAMA
71