Anda di halaman 1dari 24

Unsur Budaya (Suku

Bugis)
KELOMPOK 02

MUH. NAUFAL 1915140005


NURDIANTI 1915140007
SAFIRA MAYADA 1915141007
NURUL FALAH 1915142005
NURUL AULYA JAMAL 1915142008
RISKA TAMARA 1915142011
SISTEM RELIGI DAN UPACARA
KEAGAMAAN
Sejak dahulu, masyarakat Sulawesi Selatan telah memiliki aturan tata hidup. Aturan
tata hidup tersebut berkenaan dengan, sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan
dan sistem kepercayaan. Orang Bugis menyebut keseluruhan sistem tersebut
Pangngadereng, orang Makassar Pangadakang, Orang Luwu menyebutnya
Pangngadaran, Orang Toraja Aluk To Dolo dan Orang Mandar Ada’. Dalam hal
kepercayaan penduduk Sulawesi Selatan telah percaya kepada satu Dewa yang
tunggal. Dewa tersebut mereka sebut dengan nama Dewata Mattanrue. Dihikayatkan
bahwa dewa tersebut kawin dengan Enyi’li’timo’ kemudian melahirkan PatotoE.
Dewa PatotoE kemudian kawin dengan Palingo dan melahirkan Batara Guru. Batara
Guru dipercaya oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan sebagai dewa penjajah
Saat agama islam masuk ke Sulawesi Selatan pada awal ke-17, ajaran agama islam mudah
diterima masyarakat. Karena sejak dulu mereka telah percaya pada dewa tunggal. Proses
penyebaran islam dipercepat dengan adanya kontak terus menerus antara masyarakat setempat
dengan para pedagang melayu Islam yang telah menetap di Makassar. Pada abad ke 20 karena
banyak gerakan – gerakan pemurnian ajaran Islam seperti Muhammadiyah, maka ada
kecondongan untuk menganggap banyak bagian – bagian dari panngaderreng itu sebagai syirik,
tindakan yang tak sesuai dengan ajaran Islam, dan karena itu sebaiknya ditinggalkan. Demikian
Islam di Sulawesi Selatan telah juga mengalami proses pemurnian. Sekitar 90% dari penduduk
Sulawesi Selatan adalah pemeluk agama Islam, sedangkan hanya 10% memeluk agama Kristen
Protestan atau Katolik. Umat Kristen atau Katolik umumnya terdiri dari pendatang – pendatang
orang Maluku, Minahasa, dan lain-lain atau dari orang Toraja. Mereka ini tinggal dikota-kota
terutama di Makassar.
Contoh upacara keagamaan suku bugis Mappadendang Suku Bugis yang ada di
Sulawesi Selatan memiliki upacara adat bernama Mappadendeng yang dilakukan
sebagai ritual untuk merayakan masa panen. Mappadendeng dilakukan dengan cara
menumbuk gabah yang sudah diletakkan pada lesung dengan menggunakan bambu
atau kayu. Tujuan dari ritual ini adalah untuk menyucikan gabah sebelum menjadi
beras yang akan dikonsumsi oleh masyarakat. Saat bambu atau kayu dipukulkan ke
lesung, maka akan ada bunyi – bunyian indah yang tercipta. Dari suara inilah,
beberapa orang laki – laki akan mulai menari dan menyanyi, yang isinya adalah
ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang sudah memberikan rezeki.
SISTEM ORGANISASI KEMASYARAKATAN ATAU
KEKERABTAN
Dalam kehidupan masyarakat yang masih sederhana atau paling tidak kelompok yang memiliki
jumlah anggota terbatas, biasanya hubungan antara masing anggotanya saling mengenal secara
mendalam. Pengetahuan mendalam tentang prinsip – prinsip kekerabatan sangat diperlukan
guna memahami apa yang mendasari berbagai aspek kehidupan masyarakat yang dianggap
paling penting oleh orang Bugis dan saling berkaitan dalam membentuk tatanan sosial mereka.
Austronesia, khususnya orang – orang Nusantara seperti Melayu, Jawa, Kalimantan, Filipina,
dan orang Bugis pun menganut sistem kekerabatan bilateral. Kelompok kekerabatan bilateral
seseorang ditelusuri melalui garis keturunan dari pihak ayah maupun ibu.”19 Namun demikian
dalam keluarga Bugis, dalam sebuah rumah tangga tidak hanya terdiri dari anak dari ayah dan
ibu, tetapi juga terdapat anggota keluarga yang lainnya, seperti sepupu, keponakan dari suami
atau istri, nenek dan kakek.Terminologi kekerabatan masyarakat Bugis cukup sederhana dan
tergolong sistem kekerabatan “angkatan”. Seluruh kerabat yang berasal dari garis generasi yang
sama, baik laki-laki maupun perempuan
Sistem kekerabatan masyarakat Bugis Bone memiliki struktur bati na wija sebagai
pranata sosial yang menjadi wadah pembentukan knalitas masyarakat untuk
mendukung sistem sosial dan sistem budaya masyarakat yang harmonis. Masyarakat
Bugis Bone sejak dahulu telah menjadikan bati na wija sebagai sarana yang
membentuk sistem pemerintahan efektif dan efisien. Membantu pemimpin dan
pemuka masyarakat yang berkualitas dan mampu menjadi pioner dalam membangun
sistem kerajaan yang besar yaitu kerajaan Bone, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Luwu.
Namun, saat ini peran wija na bati mulai tergeser berangsur-angsur ke pembentukan
kualitas individual, masyarakat dan pemimpin pada pendidikan dan harta benda
menjadi tolak ukur.
Bergesernya peran wija na bati tersebut sebagai akibat lemahnya ketahanan budaya
orang Bugis – Bone untuk menjadikannya sebagai sarana pembentukan kualitas
individual, kemimpinan dan kualitas masyarakat. Peranan sistem kekerabatan yang
menyimpan nilai – nilai kekerabatan yang dianut pada masa lalu tidak lagi menjadi
sarana yang efektif membentuk struktur sosial masyarakat Bugis – Bone yang
harmonis. Meskipun demikian, mash ada sebagian kecil kelompok masyarakat Bugis-
Bone yang masih konsisten menggunakan nilai-nilai kekerabatan sebagai sarana
pembentukan kualitas individual, pemimpin dan masyarakat, teruma pada daerah-
daerah yang masih terdapat orang – orang yang menjunjung tinggi tradisi budaya
masyarakat Bugis – Bone yang diyakini sebagai tradisi yang sudah dianut oleh para
pendahulunya.
SISTEM PENGETAHUAN
Orang bugis memiliki sistem pengetahuan di
antaranya: pengetahuan tentang alam, flora,
fauna, pengetahuan tentang ramuan obat,
pengetahuan tentang tubuh manusia,
pengetahuan tentang huubungan sesama
manusia, pengetahuan tentang ruang dan
waktu, pengetahuan tentang bahasa dan
tulisan.
❑ Pengetahuan tentang Alam

Sistem pengetahuan suku bangsa bugis tentang alam representatif dengan melihat
kepercayaan asli mereka yaitu animisme dan dinamisme, yang masih mereka anggap ada.
Warisan inilah yang dianggap oleh mereka sebagai agama dan kepercayaan yang benar dan
dikenal dengan nama Toani Tolotang, Patuntung, dan Aluk Todolo.
Contoh sistem pengetahuan tentang alam dalam sebuah dongeng mitologi terkenal di Suku
Bugis, yaitu mitologi I Lagaligo, ini yang menghubungkan antara ‘dunia atas’ dengan ‘dunia
bawah’. Baik ‘dunia atas’ maupun ‘dunia bawah’ adalah tempat keluarnya dewa yang nanti
akan menurunkan para raja mereka. Adanya gejala alam seperti hujan lebat disertai kilat
dan petir, bumi berguncang, dan lain-lain adalah pertanda kedatangan dewa dari ‘dunia
atas’. Sementara gejala alam seperti bambu petung, buih air (biasanya dari lautan), dan
sebagainya adalah pertanda datanganya dewa dari ‘dunia bawah’
❑ Pengetahuan Tentang Flora

Orang Bugis juga banyak memanfaatkan tumbuhan untuk mengobati penyakit,


contohnya pemanfaatan Kasumba / Kesumba Bugis (sejenis pucuk bunga) untuk
mengobati cacar air, dalam pengetahuan mereka kesumba ini ada dua jenis, yaitu
cippe lamacui (sejenis tanaman benalu yang menempel di tanaman besar) dan
putik kuma – kuma (putik / bunga seperti teratai tapi tumbuhnya di daratan).
Orang Bugis dalam membuat ramuan Kasumba ini bisa dengan cara merebus
bunganya denga dua gelas air, bisa juga dengan diseduh air mendidih dan
meminumnya setelah dingin sebanyak tiga gelas sehari.
❑ Pengetahuan Tentang Zat, Bahan, dan Benda
Lingkungan

Pengetahuan tantang ciri-ciri dan sifat – sifat bahan mentah, benda – benda di
sekelilingnya, juga sangat penting bagi manusia untuk membuat alat-alat dalam
hidupnya, karena sistem teknologi dalam suatu kebudayaan sudah tentu terkait
dengan sistem pengetahuan tentang zat – zat, bahan – bahan mentah, dan benda
– benda ini. Seperti perahu pinisi, sepeda dan bendi, koleksi peralatan
menempa besi, dan koleksi peralatan tenun tradisional.
❑ Pengetahuan Tentang Tubuh Manusia

Pengobatan tradisional leluhur Bugis berdasarkan lontarak Bone ini juga didasarkan
pada pemahaman terhadap tumbuh – tumbuhan alam yang ada di lingkungan
sekitar, filsosofi yang diajarkan dalam kebudayaan mereka, serta ajaran Islam. Salah
satu filosofi yang dipegang teguh adalah bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya yang
disediakan oleh Tuhan di alam semesta. Contoh, orang Bugis mengatasi demam bisa
dengan berbagai cara yaitu di antaranya dengan memarut pisang muda, lalu
ditempelkan pada kepala, atau menggiling halus tawak, lalu ditempelkan pada
kepala. Bisa juga minum minyak labu pada waktu pagi. Atau dengan memasak
minyak wijen dan minyak pacar hingga airnya habis, dicampur, lalu diminum.
❑ Pengetahuan Tentang Hubungan Sesama Manusia

Pengetahuan tentang sesama manusia juga tidak dapat diabaikan. Sebelum terpengaruh
ilmu psikologi modern, sebuah suku bangsa dalam bergaul dengan sesamanya
biasanya berpegangan dengan ilmu firasat (pengetahuan tantang tipe-tipe wajah) atau
pengetahuantentang tanda – tanda tubuh tersebut. Dalam hal ini bisa dikategorikan
ada di dalamnya yaitu pengetahuan tentang sopan – santun, adat – istiadat, sistem
norma, hukum adat, silsilah, sejarah.
Ada pula istilah siri’, yaitu ajaran moralitas untuk menjaga dan mempertahankan diri dan
kehormatannya. Siri’ juga bisa dikatakan hukum adat karena jika seorang anggota
keluarga melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia dianggap
menginjak ajaran siri’ dan akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di
zaman sekarang ini. Siri’ terbagi menjadi dua yaitu, siri' nipakasiri‘ dan siri' masiri'
❑ Pengetahuan Tentang Ruang dan Waktu
Sistem pengatahuan tentang ruang dan waktu juga berhubungan dengan sistem pernikahan dalam
suku. Mereka mengenal tahap-tahap dalam pernikahan juga waktu-waktu baik untuk
menetapkan tanggal nikah. Tahap pernikahan itu ada lettu (lamaran), mappettuada
(kesepakatan pernikahan) di sinilah pihak laki – laki dan pihak perempuan membicarakan
waktu pernikahan, jenis sunrang atau mas kawin, balanja atau belanja pernikahan,
penyelanggaran pesta, lalu ada madduppa (mengundang) ialah kegiatan kesepakatan antar
kedua belah pihak untuk memberi tahu kepada semua kaum kerabat mengenai
pelaksanakan nikah. Kemudian mappaccing (pembersihan) ialah ritual ini dilakukan pada
malam sebelum akad nikah dimulai yang biasanya hanya dilakukan oleh kaum bangsawan,
dengan mengundang para kerabat dekat sesepuh dan orang yang dihormati, cara
pelaksanaannya dengan menggunakan daun pacci (daun pacar), kemudian para undangan
dipersilahkan untuk memberi berkah dan doa restu kepada calon mempelai, konon
bertujuan untuk membersihkan dosa calon mempelai, dilanjutkan dengan sungkeman
kepada kedua orang tua calon mempelai.
❑ Pengetahuan Tentang Bahasa dan Tulisan

Dari segi aspek budaya, orang Bugis mempunyai bahasa tersendiri yang dikenal
sebagai Bahasa Bugis (juga dikenal sebagai Ugi / Ugidan). BahasaBugis
adalah bahasa yang digunakan etnik Bugis di Sulawesi Selatan, yang tersebar
di kabupaten sebahagian Kabupaten Maros, sebagian Kabupaten Pangkep,
Kabupaten Barru, Kota Pare – Pare, Kabupaten Pinrang, sebagian
Kabupaten Enrekang, sebagian Kabupaten Majene, Kabupaten Luwu,
Kabupaten Sidenrengrappang, Kabupaten Soppeng, Kabupaten Wajo,
Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten
Bantaeng.
SISTEM BAHASA

Salah satu warisan kebudayaan Bugis yang tak


ternilai harganya adalah peninggalan tertulis berupa
aksara Lontara yang tertuang dalam berbagai
naskah. Lontarak adalah manuskrip yang aslinya
ditulis dengan alat yang tajam di atas daun lontar
(rontal), kemudian dibubuhi dengan cairan warna
hitam pada bekas goresan itu. Setelah ditemukannya
kertas sebagai alat tempat menulis, maka daun
lontar diganti, tetapi nama Lontara masih tetap
terpakai.
KESENIAN SUKU BUGIS

GANDRANG BULO
Gandrang Bulo merupakan sebuah
pertunjukan musik dengan perpaduan tari
dan tutur kata.

TARI PADUPPA BOSARA


Tari Padupa Bosara merupakan sebuah
tarian yang mengambarkan bahwa orang
bugis kedatangan atau dapat dikatakan
sebagai tari selamat datang dari Suku Bugis
TARI
MA’BADONG TARI PAGELLU TARI PAKARENA

Tari Ma’badong hanya Tari Pagellu merupakan salah Nama Pakarena sendiri di
diadakan pada saat upacara satu tarian dari Tana Toraja ambil dari bahasa setempat,
kematian. Penarinya bisa yang di pentaskan pada acara yaitu yang artinya main.
pria atau bisa wanita. pesta tambu Tuka, Tarian ini Tarian ini pada awalnya
Mereka biasanya berpakaian dapat ditampilkan untuk hanya dipertunjukkan di
serba hitam, namun menyambut patriot atau istana kerajaan, namun
terkadang memakai pakaian pahlawan yang kembali dari dalam perkembangannya
bebas karena tarian ini medan perang dengan tari Pakarena lebih
terbuka untuk umum. membawa kegembiraan memasyarakat di kalangan
rakyat
SISTEM MATA PENCAHARIAN
Dalam perspektif usaha/kerja, masyarakat Bugis
umumnya juga memaknai hidup ini dengan kerja keras
(reso’/jamang). Bahkan dalam adat istiadat orang
Bugis, makna reso’/jamang merupakan bagian dari
kehormatan (siri’). Dalam pandangan orang Bugis,
sangat memalukan jika seorang yang sudah cukup
umur namun tidak memiliki pekerjaan, bahkan
menjadi beban bagi orang lain (masiri narekko tuo
mappale). Sehingga tidak mengherankan jika dalam
kebudayaan petani Bugis memegang teguh prinsip
reso’ temmangingngi nalletei pammase dewata (usaha
yang sungguh – sungguh diiringi ridha Yang Maha
Kuasa), dan inilah yang menjadikan suku Bugis
terkenal sebagai salah satu suku pekerja ulet disegala
bidang, termasuk dalam bidang usahatani
Salah satu corak budaya tani orang Bugis adalah mappataneng, tradisi berusahatani ala Bugis
yang dilakukan suku Bugis di Kalimantan, khususnya Kabupaten Nunukan. Tradisi
mappataneng di lakukan oleh masyarakat tani suku Bugis yaitu bertanam padi di sawah
secara berkelompok. Sebelum acara mappattaneng dilaksanakan, tokoh adat atau orang yang
dituakan/rohaniawan (panrita) akan mengundang petani setempat untuk tudang sipulung
(bermusyawarah) menentukan waktu bertanam. Dalam acara ini biasanya unsur pemerintah
ikut dilibatkan, yaitu PPL maupun aparat desa/kecamatan setempat. Setelah waktu tanam
ditetapkan, maka acara mappataneng akan didahului dengan pembacaan do’a tolak bala
(doa salama’) dengan maksud agar usahataninya terbebas dari segala bencana dan serangan
hama – penyakit tanaman.
Dalam pembacaan do’a tolak bala ini, disajikan berbagai hasil bumi dari panen tahun lalu.
Do’a biasanya dibaca di rumah petani yang bersangkutan, atau biasa juga dibawa ke sawah
secara kolektif. Dalam kegiatan ini, benih padi yang akan ditanam diisi daun penno penno,
diturutsertakan dalam acara pembacaan do’a tersebut. Daun penno – penno adalah jenis
daun yang biasa tumbuh di sekitar rumah dan disertakan dalam upara tersebut dengan
harapan hasil panen akan melimpah ruah (kata penno dalam bahasa Bugis artinya penuh).
Setelah upacara doa salama’ di laksanakan, benih padi lalu disebar ke pesemaian.
Selanjutnya teknik budidaya usahatani pada padi sawah tetap menggunakan petunjuk PPL
setempat. Jika seluruh padi telah dituai, maka mereka kembali melakukan acara syukuran
(do’a salama) sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah
melimpahkan rahmat dan kurunia sehingga hasil panen dapat dinikmati oleh para petani.
Seiring perjalanan waktu, dan interaksi diantara berbagai budaya di Nunukan,
SISTEM TEKNOLOGI ATAU PERALATAN YANG DIGUNAKAN

Dengan terciptanya peralatan untuk hidup yang berbeda, maka secara perlahan tapi pasti,
tatanan kehidupan perorangan, dilanjutkan berkelompok, kemudian membentuk sebuah
masyarakat, akan penataannya bertumpu pada sifat – sifat peralatan untuk hidup tersebut.
Peralatan hidup ini dapat pula disebut sebagai hasil manusia dalam mencipta. Dengan bahasa
umum, hasil ciptaan yang berupa peralatan fisik disebut teknologi dan proses penciptaannya
dikatakan ilmu pengetahuan dibidang teknik. Sejak dahulu, suku Bugis di Sulawesi Selatan
terkenal sebagai pelaut yang ulung. Mereka sangat piawai dalam mengarungi lautan dan
samudera luas hingga ke berbagai kawasan di Nusantara dengan menggunakan perahu Pinisi.
SEPEDA DAN
BENDI
PERAHU PINISI

PERALATAN
MENEMPA BESI
DAN HASILNYA PERALATAN
TENUN
TRADISONAL
THANKS

Anda mungkin juga menyukai