Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

SISTEM RELIGI DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT


BUGIS

DISUSUN OLEH :

Sena
Putri
Nur wandah
Ina sutrisno

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PAREPARE


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
KESEHATAN MASYARAKAT
2022/2023
PENDAHULUAN
Suku bangsa Bugis dan Makassar yang lebih banyak mendiami zone
tengah dan tengah jazirah Sulawesi Selatan. dua suku bangsa ini, hampir tidak dapat
dibedakan, karena keduanya penganut agama Islam yang patuh, di samping sudah
terjadi pembauran lewat perkawinan. Perbedaan utama yang tampak pada bahasa dan
aspek budaya tertentu yang khas dimiliki oleh komunitas di daerah pedalaman.1
Perbedaan ini cukup memiliki perbedaan yang signifikan dalam berbagai aspek
kehidupan. Orang Makassar lebih dominan mendiami sisi selatan, sedangkan orang
Bugis banyak bermukim di sisi barat wilayah propinsi Sulawesi Selatan.

Pada umumnya orang Bugis-Makassar telah mengenal suatu kepercayaan


sebelum mengenal agama Islam. Kepercayaan mereka itu disebut dengan attorioloang,dan
beberapa tempat, mereka menyebut dengan istilah attaurioloang. Kepercayaan ini
adalah religi asli yang merupakan gelombang migrasi yang tertua suku bangsa
protomelayu (Toala dan Tokea) di Sulawesi yang untuk beberapa kurun waktu
bercampur dengan kepercayaan suku bangsa gelombang kedua Deutromelayu yang
bergerak dalam lingkungan agama yang universal kemudian.2 Akan tetapi unsur-unsur
rohani dari kedua kepercayaan itu tetap lestari dalam keadaan yang menyamar, ia
bergerak bersama dengan agama resmi namun ia tak diperkenankan menjalankan
suatu organisasi atau melaksanakan manivestasi tebuka. Usaha-usaha untuk tidak
menyinggung perasaan penganut agama resmi pribumi, maka mereka menyamarkan
dengan istilah mappanre galung artinya memberikan makan sawah/tanah, dan
maccera tasi’, yaitu memberi korban kepada laut dan lain-lain.
A. Sistem Kepercayaan

Sistem kepercayaan dimaksudkan adalah bayangan manusia terhadap berbagai


perwujudan yang berada di luar jangkauan akal dan pikiran manusia. Wujud-wujud
tersebut tidak terjangkau oleh kemampuan akal dan pikiran sehingga perwujudan
tersebut harus dipercaya dan diterima sebagai dogma, yang berpangkal kepada
Religiusitas dan Kepercayaan Masyarakat Bugis- Makassarkeyakinan dan kepercayaan.
Bayangan dan gambaran tersebut antara lain tentang alam gaib yang mencakup
sejumlah perwujudan seperti dewa-dewa, mahkluk halus, roh-roh dan sejumlah
perwujudan lainnya yang mengandung kesaktian. Termasuk rangkaian dari sistem
kepercayaan tersebut adalah bayangan manusia tentang kejadiannya serangkaian
peristiwa terhadap orang-orang yang sudah meninggal dunia dan peristiwa-peristiwa
lainnya yang terjadi pada alam ini.

Demikian pula sikap orang Bugis-Makassar terhadap “Yang Ilahi”, yang


“Adikodrati” bertumbuh dari pengalaman hidup dengan masa-masa yang penuh
dengan sukacita dan hari-hari sedih yang diawali dengan suatu perasaan gaib yang
menaungi insani dan segala aspek kehidupan, sehingga rasa “keilahian” yang
terpendam dalam batin sukar untuk diungkapkan, baik pernyataan yang berupa
transenden (mempesona) maupun yang tremendum (menakutkan). Sebab itu untuk
kurun waktu yang cukup lama sejarah kepercayaan manusia tidak menyebutkan nama
TUHAN SWT. Tuhan pencipta lalu dianggap oleh mereka tersembunyi jauh di atas
ciptaannya, Dia telah menjadi serba gaib atau mereka jadi cenderung untuk
mendekatkan diri kepada yang gaib dan menghayalkannya sebagai penjelmaan
kepada leluhur (animisme) mereka, penghuni pohon/benda-benda tertentu
(dinamisme). Serta dapat mewujudkan diri kedalam diri manusia terutama dalam
diri seorang raja (dewa, dewaraja dsb.)

Mereka juga mempercayai adanya dewa-dewa disamping Dewata Seuwae


dalam Bugis (Tuhan Yang Maha Esa), To rie A’ra’nadalam Makassar (Yang Maha
Berkehendak). Konsepsi DewataSeuwae atau To rie A’ra’na mengisyaratkan bahwa
jauh sebelum Islam masuk ke Sulawesi Selatan, konsep pemikiran tantang
ketuhanan telah melembaga. Manusia Bugis-Makassar sudah menanam
kepercayaan dalam diri mereka terhadap Dewata Seuwae sebagai dewa tunggal.
Tidak terwujud (de’ watangna), tidak makan dan tidak minum, tidak diketahui
tempatnya, tidak berayah dan tidak beribu, tapi mempunyai banyak pembantu.4 Hal
serupa dikemukakan pula Mattulada, bahwa religi orang Bugis-Makassar pada masa
praIslam seperti tergambar dalam kitab I La Galigo, sebenarnya sudah mengandung
suatu kepercayaan kepada suatu dewa yang tunggal, yang disebut dengan beberapa
nama, seperti: PatotoE (Dia penentu Nasib), Dewata SeuwaE (Tuhan yang Maha
Esa), dan Turie A’ra’na (Yang memiliki kehendak mutlak). Sisa-sisa kepercayaan
tersebut masih tampak jelas hingga kini di beberapa daerah, seperti Tolotang di Sidenreng
Rappang, dan Kajang di Bulukumba.

Maka adanya gejala kepercayaan terhadap dewa-dewa, roh-roh nenek moyang


dan sebagainya adalah merupakan suatu kepercayaan pada manusia dalam tingkat
teknologi sederhana.

Selanjutnya Schmidt menegemukakan istilah ‘urmonotheismus’ sebagai


tingkat kepercayaan manusia yang masih hidup dalam tingkat tekhnologi sederhana.

Dalam kaitannya dengan kepercayaan yang tua pada masyarakat orang


Bugis-Makassar, menurut Aminah adalah kepercayaan animism dan dinamisme.
Sedangkan Kepercayaan pra-Islam, seperti yang dikemukakan oleh Abu Hamid, pada
dasarnya dapat dilihat dalam tiga aspek, yaitu:

a. Kepercayaan terhadap arwah nenek moyang,


b. Kepercayaan terhadap dewa-dewa Patuntung,
c. Kepercayaan terhadap pesona-pesona jahat.

Kepercayaan orang Bugis-Makassar terhadap arwah nenek moyang, dinyatakan


dalam bentuk pemujaan terhadap kuburan dan tempat-temapt tertentu. Pemujaan
diberikan terhadap kuburan orang-orang tertentu yang mereka anggap berjasa pada
masyarakat, baik karena mereka pernah memeberi sumbangan dalam pemukiman atau
karena semasa hidup mereka dianggap sebagai tokoh rohaniawan dalam masyarakat.
Kepercayaan semacam ini berlanjut pada masa-masa pasca-Islam dan masih dapat
ditemukan dalam masyarakat Gowa sampai sekarang. Selain itu, mereka juga
melaksanakan pemujaan terhadap tempat dan benda-benda tertentu yang dianggap
sacral, seperti: batu naparak (batu datar), pohon kayu besar, gunung, sungai dan posi
butta (tiang tengah sebuah rumah).

Ritual-ritual yang berkaitan dengan kepercayaan pada kuburan, tempat,


dan benda-benda tertentu, dipimpin oleh seorang pinati.Fungsipinatiadalah untuk
menjaga tempat-tempat sakral serta melayani upacara sesajen. Upacara sosial yang
dilakukan oleh masyarakat setelah panen disebut upacara saukang.Tempat upacara
biasa dilaksanakan di posi butta dikayuara (jenis pohon kayu besar). Dalam rumah tangga
bangsawan atau kepala-kepala adat, disimpan suatu benda sakral, seperti keris,
kalewangdan Panji. Benda-benda itu disebutpantasak dan merupakan simbol status
keluarga dalam masyarakat. Mereka juga mempercayai terhadap fenomena-fenomena
alam yang dianggap bisa mempengaruhi kehidupan manusia. Seperti contoh, dapat
dilihat dalam kepercayaan mereka terhadap gerhana bulan atau gerhana matahari.
Dalam Lontara Pangisengeng disebutkan:

Religiusitas dan Kepercayaan Masyarakat Bugis- Makassar

Rekko muharrang ngi na siamek uleng nge/ ma ega jak na paturung Allah
Taala ri tana e/ Ma ega to sara ininnawa na arung nge/ Enreng nge tau tebbek na/
Ma deceng ngik mas-sidekka ro to namase-mase.8Jika terjadi gerhana bulan pada
bulan muharram, banyak kejahatan yang diturunkan Allah Ta’ala (didalam
negeri banyak. Banyak kesusahan hati yang menimpa pada raja dan rakyatnya.
Sebaiknya, (untuk menghindari itu) kita banyak bersedekah kepada orang miskin.

Lontara pangissengeng di atas menyinggung nama bulan dalam kalender


Islam, yakni bulan Muharram. Hal ini menunjukkan bahwa lontara tersebut ditulis
setelah Islam diterima di Sulawesi Selatan. Selain itu, dapat diartikan bahwa
kepercayaan lama masih tetap berlangsung setelah Islam diterima baik oleh masyarakat.

Kepercayaan kepada dewa-dewa disamping Dewata Seuwwae, karena mempunyai


tingkatan-tingkatan dalam pemujaan dan persajian, sehingga membaginya menjadi tiga
tingkatan sesuai dengan tempat dimana dewa-dewa itu bersemayam dan bertugas, yaitu:

a. Dewata Langie, yaitu suatu dewa yang menghuni langit. Dewa ini
diharapakan mendatangkan hujan yang sekaligus kemkmuran. Disamping itu
dewata langie dapat membawa kerusakan pada ummat manusia dengan jalan
menurunkan petir yang dalam bahasa Bugis nakenna uling, atau dengan
mendatangkan kemarau yang panjang. Dalam persajian, maka
rakyat/penduduk menyajika makanan berupa empat macam warna ketan
yang dalam bahasa Bugis disebut massorong sokko patanrupa9di dalam
sebuah balasujidi atas loteng rumah. Dewa ini rupanya pernah hidup di antara
manusia, akan tetapi kini sudah gaib yang dalam bahasa Bugis disebut
mallajang.

b. Dewata Mallinoe, yaitu suatu dewa yang banyak menempati tempat-tempat


tetentu, tikungan-tikungan jalan, posi tana (pusat bumi), pohon yang
rindang daunnya, batu-batu besar Mustaqim Pabbajahatau belukar. Mereka
melakukan persajian dengan meletakkan telur dua kali Sembilan biji dan
beberapa sisir pisang, manuk mallebu (ayam masak yang tak ada bulunya),
meletakkan sokko patanrupa dalam sebuah anca yang terbuat pucuk ijuk yang
disebut daung bompong, dan diletakkan atau digantung pada pohon dalam
hutan atau tempat-tempat persajian lainnya. Persajian eperti ini disebut
dalam bahasa Bugis mattoana Tautenrita,maksudnya mempersembahkan korban
kepada dewata yang tak tampak.

c. Dewata Uwae, yaitu yang tinggal di air biasanya dilakukan dengan iringan
gendang dimana sebuah balasuji berisi benda-benda tertentu, seperti sejumlah
telur yang belum masak, sokko patanrupa, daun sirih yang dianyam bersilang
dan bermacam-macam daun tertentu serta daun paru yang diatasnya
diletakkan beras yang sudah diberi kunyit dan sebagainya. Pada beberapa
tempat upacara pelaksanaan serupa ini dilakukan sebelum subuh, yang
dalam bahasa Bugis disebut denniari.

Menurut kepercayaan orang Bugis-Makassar dahulu, bahwa dewata/dewa


dahulu kala itu mempunyai tempat bersemayam tertentu, akan tetapi tidak selalu disuatu
tempat. Para dewata itu baru berada di tempat bersemayam jika sedang ada upacara atau
persajian, seperti upacara minta hujan, minta berkah dewata, tulak bala, massorong
sokko patanrupa, mappanre galung, mattoana, manre sipulung, dan sebagainya

Berbagai ritual dilakukan untuk memohon dan menyembah para dewata


tersebut. Ritual penyembahan massompa antara lain dise-but : tulakbala, massorong,
mappaenre, mattoana, millau bosi, mattedduk arajang, mappedaung arajang, manre
sipulung, maddoja bine, mappalili danmappalettuk.Ritual semacam ini dihadiri oleh
sebagian komunitas dan biasa jg dihadiri oleh semua masyarakat setempat.

Jika disederhanakan, maka massompa kepada Dewata dalam kepercayaan


Bugis-Makassar akan digolongkan menjadi empat kategori beradasarkan
penggolongan Dewata. Massompa kepada Dewata LangiE (Dewa Langit) yang
bermukim di Bottinglangik, dicandera dengan nama mappaenrek (persembahan naik
ke atas). Massompa kepada Dewata Mallinoe (Dewa yang Membumi) yang
bermukim di Alekawa, dicandera dengan nama mappangolo (menghadapkan).
Massompa kepada Dewata TanaE (Dewa Tanah) yang bermukim di Peretiwi atau
Posiktana, dicandera dengan nama massorong (menyodorkan atau mendorong
persembahan turun). Massompa kepada Dewata UwaE (Dewa Air) yang bermukim
di Burikliuk, di candera dengan nama Mappanok (persembahan ke bawah).
Sedang, pengabdian kepada PatotoE, Dewata tertinggi, dicandera dengan nama
makkasuwiyangatau mengabdikan diri

Pranata-pranata keagamaan yang menghubungkan dengan sistem-sistem


kepercayaan orang Bugis-Makassar sebelum agama Islam dapat kita lihat dari segi
kepercayaan yang meliputi :
1). Pammasareng,
2). Dewata-dewata,
3) Tau Tenrita,
4) Bari-laya,
5) Makerre’ (mempunyai kekuatan sakti),
6) Lasa Namateng,
7) Atuwong Lino na esso rimonri, dan sebagainya

B. Kepercayaan Masyarakat Bugis Pra Islam


a. Mengenal Tradisi Maulid dan Pembacaan Barzanji di Tanah Bugi

Suku Bugis memiliki tradisi sastra baik lisan maupun tulisan. Berbagai
karya sastra tulis sampai sekarang masih dibaca dan disalin ulang. Proses
transmisinya hampir mirip dengan hadis dari tradisi lisan menjadi tulisan. Sebelum
mengenal aksara (sekarang aksara lontara) orang Bugis mentransmisikan cerita
tersebut secara lisan dari generasi ke generasi kemudian akhirnya
didokumentasikan dalam bentuk tulisan menggunakan bahasa Bugis dengan gaya
bahasa sastra tinggi yang ditulis di atas daun lontar. Karenanya aksara Bugis
disebut aksara’ lontara’. Walaupun telah terwujud dalam bentuk tulisan, fungsinya
tetap diekspresikan melalui media lisan. Perpaduan teks lisan dan tulisan itu
kemudian menghasilkan La Galigo, salah satu epos sastra terbesar di dunia yang
lebih panjang dari Mahabharata.

Kedatangan penyebar Islam ke Bugis melakukan perubahan secara bertahap.


Pada masa-masa awal kedatangan Islam, pembacaan teks La Galigo para ritual-
ritual tetap dipertahankan, dengan menyertakan pembacaan kitab Barzanji. Lama-
kelamaan pembacaan Barzanji benar-benar menggantikan teks La Galigo. Bahkan
dalam hal kesakralan, tradisi pembacaan La Galigo juga digantikan dengan
pembacaan Barzanji pada setiap upacara adat

Resepsi masyarakat Bugis terhadap kitab barzanji yang menggantikan teks


La Galigo dalam upacara dan kegiatan adat tertentu bisa jadi disebabkan adanya
kemiripan dalam dua hal. Pertama, dari segi estetika, naskah La Galigo dan kitab
Barzanji sama-sama karya sastra yang memiliki nilai seni yang tinggi dengan
masing-masing karakter rima sebagai epos dan syair. Juga keduanya bisa dijadikan
elong yaitu pembacaan dengan nada tertentu yang bisa dinikmati.18 Berikut contoh
potongan sajak dalam kitab La Galigo yang bercerita tentang anak yatim
bersaudara;

Narete langiq napappaq baja


Natokkong ronnang We’ Temmamalaq lalo saliweng
Napemagga i mai ri awa We Adiluwuq
masselinggereng Mattouq-touq ri laleng tonroq

Taddakka-rakka We’ Temmamalaq


tijjang Mamporang werreq sijeppuq
Terri makkeda uyumparengnge “Kerruq jiwamu,
Anaq Ponratu masselingereng
Cabbeng sumangeq to ri langiqmu

Artinya:
Ketika Fajar menyingsing keesokan harinya,
We Temmamalaq bangun lalu ke depan,
Dilihatnya di bawah We Adiluwung bersaudara
Bergegas masuk ke dalam pekarangan

Dengan tergesa-gesa We Temmamalaq


berdiri Menaburkan beras segenggam
Pengasuh itu menangis sambil berkata,
“Kur jiwamu, Paduka Ananda bersaudara
Datanglah semangat kahyanganmu19

Kitab barzanji memiliki perananan yang penting bagi masyarakat Bugis. Begitu
juga masyarakatnya menaruh kecintaan yang tinggi kepada acara mammaulu’
(maulid Nabi). Menurut Halide, yang dikutip oleh Atang, kecintaan masyarakat
Bugis sangat berlebihan tergambar dalam sebuah ungkapan elong (nyanyian)
Maudu Lompoa di Takalar yang berbunyi:

Menna tena kussambayang


Assala maudu mama Antama tonja
Ri suruga papinyamang Kaddeji kunipapile
Assambayang na maudu Kualleangi

A’maudu rinabbiya Balukangi


tedongnu Pappi tanggalang
tananu Naniya sallang
Nupa ‘maudukang ri nabbiya

Artinya:
Walaupun saya tidak sembahyang Asalkan saya bermaulid
Saya akan masuk juga Ke dalam surga yang nikmat Andaikata
aku disuruh memilih Bersembahyang atau maulid Lebih kusukai bermaulid
pada Nabi Juallah kerbaumu Gadaikan sawahmu Supaya ada nanti Dipakai
bermaulid pada Nabi
Peringatan maulid sendiri sangat berdampak pada hubungan sosial
masyarakat. Nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong bisa dilihat baik sebelum
maupun selama prosesi maulid. Seperti penyediaan bahan makanan yang diperoleh
dari setiap rumah tangga, persiapan tempat dilaksanakan secara gotong-royong.
Perayaan Maulid akan diiringi dengan suguhan makanan berupa kaddo’ dan tello’.
Kaddo’ terbuat dari beras ketan dan santan kemudian dimasak sehingga teksturnya
sangat lengket sedangkan tello’ adalah telur rebus yang ditancapkan pada potongan
bambu kecil. Keduanya memiliki makna filosofis. Kaddo’ melambangkan
kebersamaan dan persatuan, sedangkan tello’ bermakna kebulatan tekad dan aqidah
yang mantap sebagaimana telur itu tertancap tajam.

Pembacaan barzanji pada upacara maulid termasuk ke dalam susunan acara.


Ayat Alquran yang dibaca seorang qāri’ pun biasanya berkaitan dengan kisah dan
sifat-sifat tentang Nabi, seperti ayat “laqad kāna lakum fī raṣūlillāh uswatun
hasanah.”24 Pa’baca (pembaca) barzanji memiliki kriteria khusus yaitu mereka
harus memiliki suara yang merdu, fasih secara tajwid dan memiliki pengetahuan
tentang irama dengan baik.

Syarat-syarat bagi Pa’baca barzanji yang cukup kaku ini berbeda dengan
barzanji yang terdapat dalam tradisi yang lain, seperti pernikahan atau aqiqah yang
hanya memprioritaskan ketokohan dari sang pembaca, dan bukan karena kualitas
suaranya. Berikut beberapa bab barzanji dalam versi bahasa Bugis;

 Barzanji Bugis Ada Pa’bukkana (Abtadi al-imlā’)


 Barzanji Bugis Ri Tampu’na Nabitta (wa lammā tamma min hamlihi)
 Barzanji Bugis ‘Ajjajingenna (wabaraza Saw wādi’ān)
 Barzanji Bugis Mappatakajenne (wa ẓahara ‘inda wilādatihi) • Barzanji
Bugis Ripasusunna (wa arḍa’athu ummuhu)
 Barzanji Bugis Ritungkana (wa kāna Sayusyibbu fī alyaum)
 Barzanji Bugis Dangkanna (wa lammā balaga Saw khamsan wa’isyrīn)
 Barzanji Bugis Mancaji Suro’(wa lammā kamula lahu Saw arba’ūna)
 Barzanji Bugis Akassingenna (wa kāna Saw akmal al-nāsi khalqan)
 Barzanji Bugis Sifa’na Nabitta (wa kāna Saw syadīd alhayā’)
 Barzanji Bugis Pa’donganna (Doa)
C. Sistem Hukum Adat Dan Kepercayaan Masyarakat Bugis

a. Sistem Hukum Adat Bugis/Lontara

Di Sulawesi Selatan di kenal suatu sistem adat.Sistem ini mengatur mereka hampir
di seluruh aspek kehidupan. Mulai dari adat-istiadat, politik, agama, sosial dan hukum.
Sistem pangngaderreng (pangngadakkang) ini mengakar dalam hati tiap orang karena
terlahir dari proses budaya yang panjang. Olehnya dalam penerapannya masyarakat
menjalankannya karena kesadaran yang hadir dalam diri mereka, bukan karena suatu
kewajiban atau paksaan.

Orang Bugis-Makassar menaati aturan-aturan ini dan yang melanggarnya akan


mendapat hukuman. Hukuman yang diberikan pun berbagai macam, ada yang mendapatkan
semacam hukuman fisik dan moral sesuai dengan tingkat pelanggaran mereka terhadap
pangngaderreng.

Ketaatan mereka terhadap panggaderreng dilandaskan pada siri na passé yang


mereka pegang kokoh. Siri ini merupakan suatu perasaan malu yang sangat besar, yang
mendorong seseorang tidak ingin melanggar aturan ade’. Perasaan malu apabila melakukan
kesalahan, malu apabila harga diri disepelekan oleh orang lain, bahkan malu jika
ditertawakan di depan orang banyak,[1] termasuk malu jika keturunan mereka menikah
dengan orang yang berada di bawah derajat kebangsawanan mereka. Olehnya sistem
kekerabatan di kalangan orang Bugis-Makassar terjaga dan sangat disakralkan. Menjadi
suatu hal yang wajar dalam perkawinan seorang bangsawan Bugis, ketika pada tahap awal
pengenalan keluarga mempelai pria kepada keluarga perempuan (ma’pesupesu) keluarga
akan menelusuri nenek dari laki-laki melalui lontara.[2] Hal ini dilakukan untuk menjaga
kemurnian darah kebangsawanan mereka.

Besarnya konsekuensi yang didapatkan karena dipermalukan (ripakasiri) maupun


mempermalukan membuat siri ini mengikat masyarakat dalam bertingkah-laku. Hal ini
karena konsekuensi atas siri dapat menimbulkan suatu peristiwa berdarah (pembunuhan).
Mereka yang melanggar pangngaderreng akan merasa malu dan terbuang dari masyarakat,
bahkan apabila dianggap telah menodai pangngaderreng maka keluarga pelaku pun akan
ikut mendapatkan sanksi, seperti dikeluarkan dari daerah tempat tinggal (ripali). Sementara
itu pelaku pelanggar pangngaderreng-pun akan mendapat sanksi besar dari pemangku adat,
misalnya di hukum mati. Penjatuhan saksi ini biasanya dilakukan oleh arung atau kepala
kampung sebagai salah satu pelaksana peradilan.
Pangngaderreng lahir sebagai bagian dari budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang
dijalankan tanpa ada unsur paksaan. Pangngaderreng ini sangat menjunjung persamaan dan
kebijaksanaan. Inilah yang membedakan pangngaderreng dengan suatu adat kebiasaan.
Apabila suatu adat kebiasaan, biasanya bersifat kesewenang-wenangan dan akhirnya
diterima sebagai suatu dampak dari sistem sosial, maka pangngaderreng ini menentang
adanya unsur kesewenang-wenangan tersebut, termasuk pemerkosaan, penindasan dan
kekerasan. Pangngaderreng ini melekat sebagai bagian dari hakekat manusia, yang
melahirkan satu unsur esensi di dalam diri yang dikenal sebagai siri’. Siri’ tidak lain
merupakan cerminan martabat dan harga diri manusia. Olehnya orang Bugis, kemanapun
pergi mengembara akan membawa pangngaderrengnya yang dilandaskan pada siri’
tersebut. Biasanya orang Bugis pantang pulang ke kampung halamannya sebelum sukses di
pengembaraannya.

Kesempurnaan pangngaderreng ini juga diperoleh dari ketaatan masyarakat


terhadap pemimpinnya. Merasa memiliki dan berperan dalam proses pemilihan raja
maupun menurunkan raja memuluskan terciptanya suatu demokrasi dalam masyarakat adat.
Pengabdian masyarakat terhadap pangngaderreng ini diwujudkan dalam suatu istilah yang
dikenal dengan kasuwiyang.[4] Pengabdian ini dapat terbagi dalam dua bentuk yakni antara
rakyat dengan pemimpinnya dan antara daerah taklukan dengan pemerintahan pusatnya.
Biasanya keinginan mengabdi terhadap tuan ini muncul karena adanya pertolongan atau
perlindungan yang diperoleh dari raja. Misalnya para panglima kerajaan biasanya
melakukan ritual ma’ngaru[5] sebagai bentuk pengabdian dan rela mati untuk
mempertahankan eksistensi kerajaannya

Konsep pangngaderreng ini meliputi sistem norma, tata tertib dan aturan-aturan
adat, yang mengatur tingkah laku setiap orang dalam lingkungan sosialnya. Sistem norma
dan aturan-aturan adat yang mengatur kehidupan orang Bugis ini kemudian dikenal dengan
ade’. Di dalamnya terdapat tata tertib yang bersifat normatif yang menjadi pedoman sikap
hidup dalam menghadapi, menanggapi, dan menciptakan harmoni kehidupan

Sistem pangngaderreng ini diatur dalam suatu sistem yang kuat yang saling
mengikat, meliputi ade’(adat-istiadat), tentang bicara (peradilan), tentang rapang
(pengambilan keputusan/kebijakan berdasarkan perbandingan dengan negara lain), tentang
wari (sistem protokoler kerajaan) dan tentang sara (syariat islam). Sara ini merupakan
aturan baru yang masuk dalam konsep pangngaderreng pascamasuknya Islam di Sulawesi
Selatan .

Ade’ mengatur tata hidup dan tingkah laku setiap individu dalam bermasyarakat. Ada yang
dikenal dengan ade puraonro yang kurang lebih merupakan suatu tingkah atau cara
memperlakukan sesama di dalam masyarakat. Adat ini sudah ada dan berlaku secara turun
temurun sehingga meninggalkannya akan dianggap telah meninggalkan ade’ atau sudah
tidak memiliki etika, misalnya ikwal tata cara peminangan. Ada juga yang dikenal dengan
ade’ maraja, yang lahir dari suatu kebiasaan yang disepakati dan telah disahkan dalam suatu
perjanjian yang dikenal dengan wari’.

Siapapun yang melanggar ketentuan pangngaderreng akan mendapatkan hukuman


sesuai dengan apa yang telah diputuskan dalam bicara (sistem peradilan). Dalam bicara ini
akan dibahas masalah hak dan kewajiban setiap orang atau badan hukum dalam
masyarakat. Bicara mengatur semua aktivitas maupun konsep yang berkaitan dengan
peradilan. Unsur ini mengatur tingkah laku setiap orang atau badan hukum untuk
berinteraksi secara timbal balik. Olehnya itu sangat erat kaitannya dengan keadilan hukum.
Segala hal yang telah diputuskan dalam bicara hendaknya menjadi pembelajaran bagi setiap
orang agar tidak melakukan kejahatan karena memelihara ade’ sama dengan memelihara
keserasian. Dalam penjatuhan sanksi terhadap setiap pelanggar, bicara tidak boleh
melakukan penundaan, karena membiarkan suatu kesalahan tanpa melakukan hukuman
diyakini akan menimbulkan kesukaran atau kesusahan bagi penguasa sendiri dalam hal ini
raja. Termasuk apabila pelanggar pangngaderreng adalah seorang penguasa.

Selanjutnya dalam proses pelaksanaannya masing-masing memiliki wewenang yang


telah diamanahkan dari raja. Di dalam urusan ade, rappang, bicara dan wari ini
dilaksanakan oleh pampawa ade (pelaksana adat) sedangkan untuk urusan sara
dikendalikan oleh parewa ade’ (perangkat syariat). Parewa ade ini juga bertugas untuk
menangani segala hal yang berhubungan dengan syariat Islam misalnya perkawinan,
pewarisan dan sebagainya. Jadi pangngaderreng fungsinya sama dengan undang-undang
dasar, pampawa ade dan parewa sara adalah pendamping dan pembantu raja dalam
melaksanakan undang-undang yang telah ditetapkan oleh perwakilan rakyat. Dalam hal ini
di Bone dikenal dengan istilah ade pitu, di Gowa dikenal dengan bate salapang, Wajo
dengan istilah arung patang puloe, dan di Luwu dikenal dengan istilah ade aserae. Setiap
pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat adat akan mendapatkan sanksi sesuai dengan
apa yang telah diputuskan dalam bicara. Hukuman tersebut dijatuhkan atas kesalahan yang
dilakukan baik dengan ancaman hukuman mati dan lain-lain sesuai dengan beratringan
kesalahannya.

b. Sistem Kepercayaan

Sejak dahulu, masyarakat Sulawesi Selatan telah memiliki aturan tata hidup. Aturan
tata hidup tersebut berkenaan dengan, sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan dan
sistem kepercayaan. Orang Bugis menyebut keseluruhan sistem tersebut Pangngadereng,
orang Makassar Pangadakang, Orang Luwu menyebutnya Pangngadaran, Orang Toraja
Aluk To Dolo dan Orang Mandar Ada’. Dalam hal kepercayaan penduduk Sulawesi Selatan
telah percaya kepada satu Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah
DewataSeuwaE (dewa yang tunggal). Terkadang pula disebut oleh orang Bugis dengan
istilah PatotoE (dewa yang menentukan nasib). Orang Makassar sering menyebutnya
dengan Turei A’rana (kehendak yang tinggi). Orang Mandar Puang Mase (yang maha
kehendak) dan orang Toraja menyebutnya Puang Matua (Tuhanyang maha mulia).Mereka
pula mempercayai adanya dewa yang bertahta di tempat-tempat tertentu. Seperti
kepercayaan mereka tentang dewa yang berdiam di Gunung Latimojong.

Dewa tersebut mereka sebut dengan nama Dewata Mattanrue.Dihikayatkan bahwa


dewa tersebut kawin denganEnyi’li’timo’ kemudian melahirkan PatotoE. Dewa PatotoE
kemudian kawin dengan Palingo dan melahirkan Batara Guru.Batara Guru dipercaya oleh
sebagian masyarakat Sulawesi Selatan sebagai dewa penjajah. Ia telah menjelajahi seluruh
kawasan Asia dan bermarkas di puncak Himalaya. Kira-kira satu abad sebelum Masehi
Batara Guru menuju keCerekang Malili dan membawa empat kasta. Keempat kasta tersebut
adalah kastaPuang, kasta Pampawa Opu, kasta Attana Lang, dan kasta orang kebanyakan.
Religi suku Bugis dan Makassar pada zaman pra islam adalah sure galigo,sebenarnya
keyakinan ini telah mengandung suatu kepercayaan pada satu dewa tunggal, biasa disebut
patoto e (dia yang menentukan nasib), dewata seuwae(tuhan tunggal), turie a rana
(kehendak yang tertinggi). Sisa kepercayaan ini masih tampak jelas pada orang To latang di
kabupaten Sidenreng Rappang dan orang Amma Towa di Kajang kabupaten Bulukumba.

Saat agama islam masuk ke Sulawesi Selatan pada awal ke-17, ajaran agama islam
mudah diterima masyarakat. Karena sejak dulu mereka telah percaya pada dewa tunggal.
Proses penyebaran islam dipercepat dengan adanya kontak terus menerus antara masyarakat
setempat dengan para pedagang melayu Islam yang telah menetap di Makassar.Pada abad
ke- 20 karena banyak gerakan-gerakan pemurnian ajaran Islam seperti Muhammadiyah,
maka ada kecondongan untuk menganggap banyak bagian-bagian dari panngaderreng itu
sebagai syirik, tindakan yang tak sesuai dengan ajaran Islam, dan karena itu sebaiknya
ditinggalkan. Demikian Islam di Sulawesi Selatan telah juga mengalami proses pemurnian.
Sekitar 90% dari penduduk Sulawesi Selatan adalah pemeluk agama Islam, sedangkan
hanya 10% memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Umat Kristen atau Katolik
umumnya terdiri dari pendatang-pendatang orang Maluku, Minahasa, dan lain-lain atau dari
orang Toraja. Mereka ini tinggal dikota-kota terutama di Makassar
DAFTAR PUSTAKA
Chabot, H. Th. 1956, Verwanscap Stand en Sexe in Zuid Celebes. Groningen:
Groningen University Press

Dg. Patunru, Abdurazak. 1967, Sejarah Gowa. Makassar: Yayasan


Kebudayaan Sulawesi Selatan Tenggara.
Fattah, Munawwar Abdul. Tradisi Orang-Orang Nu. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren. 2012.
Universitas Hasanuddin atas kerja sama dengan Institut Etnografi Indonesia.

Johnson, Doyle Paul, 1986. Teori Klasik Sosiologi Modern. Jakarta: PT.
Gramedia.

Katu, Samiang, 2000. Pasang ri Kajang. Makassar: Pusat Pengkajian Islam


dan Masyarakat PPIM IAIN Alauddin Makassar.

Kuntjaraningrat. 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia.


Jakarta ,Djambatan

(http://www. Desember 2009 Lingua Sastra Bugis.php)

Anda mungkin juga menyukai