DISUSUN OLEH :
Sena
Putri
Nur wandah
Ina sutrisno
Rekko muharrang ngi na siamek uleng nge/ ma ega jak na paturung Allah
Taala ri tana e/ Ma ega to sara ininnawa na arung nge/ Enreng nge tau tebbek na/
Ma deceng ngik mas-sidekka ro to namase-mase.8Jika terjadi gerhana bulan pada
bulan muharram, banyak kejahatan yang diturunkan Allah Ta’ala (didalam
negeri banyak. Banyak kesusahan hati yang menimpa pada raja dan rakyatnya.
Sebaiknya, (untuk menghindari itu) kita banyak bersedekah kepada orang miskin.
a. Dewata Langie, yaitu suatu dewa yang menghuni langit. Dewa ini
diharapakan mendatangkan hujan yang sekaligus kemkmuran. Disamping itu
dewata langie dapat membawa kerusakan pada ummat manusia dengan jalan
menurunkan petir yang dalam bahasa Bugis nakenna uling, atau dengan
mendatangkan kemarau yang panjang. Dalam persajian, maka
rakyat/penduduk menyajika makanan berupa empat macam warna ketan
yang dalam bahasa Bugis disebut massorong sokko patanrupa9di dalam
sebuah balasujidi atas loteng rumah. Dewa ini rupanya pernah hidup di antara
manusia, akan tetapi kini sudah gaib yang dalam bahasa Bugis disebut
mallajang.
c. Dewata Uwae, yaitu yang tinggal di air biasanya dilakukan dengan iringan
gendang dimana sebuah balasuji berisi benda-benda tertentu, seperti sejumlah
telur yang belum masak, sokko patanrupa, daun sirih yang dianyam bersilang
dan bermacam-macam daun tertentu serta daun paru yang diatasnya
diletakkan beras yang sudah diberi kunyit dan sebagainya. Pada beberapa
tempat upacara pelaksanaan serupa ini dilakukan sebelum subuh, yang
dalam bahasa Bugis disebut denniari.
Suku Bugis memiliki tradisi sastra baik lisan maupun tulisan. Berbagai
karya sastra tulis sampai sekarang masih dibaca dan disalin ulang. Proses
transmisinya hampir mirip dengan hadis dari tradisi lisan menjadi tulisan. Sebelum
mengenal aksara (sekarang aksara lontara) orang Bugis mentransmisikan cerita
tersebut secara lisan dari generasi ke generasi kemudian akhirnya
didokumentasikan dalam bentuk tulisan menggunakan bahasa Bugis dengan gaya
bahasa sastra tinggi yang ditulis di atas daun lontar. Karenanya aksara Bugis
disebut aksara’ lontara’. Walaupun telah terwujud dalam bentuk tulisan, fungsinya
tetap diekspresikan melalui media lisan. Perpaduan teks lisan dan tulisan itu
kemudian menghasilkan La Galigo, salah satu epos sastra terbesar di dunia yang
lebih panjang dari Mahabharata.
Artinya:
Ketika Fajar menyingsing keesokan harinya,
We Temmamalaq bangun lalu ke depan,
Dilihatnya di bawah We Adiluwung bersaudara
Bergegas masuk ke dalam pekarangan
Kitab barzanji memiliki perananan yang penting bagi masyarakat Bugis. Begitu
juga masyarakatnya menaruh kecintaan yang tinggi kepada acara mammaulu’
(maulid Nabi). Menurut Halide, yang dikutip oleh Atang, kecintaan masyarakat
Bugis sangat berlebihan tergambar dalam sebuah ungkapan elong (nyanyian)
Maudu Lompoa di Takalar yang berbunyi:
Artinya:
Walaupun saya tidak sembahyang Asalkan saya bermaulid
Saya akan masuk juga Ke dalam surga yang nikmat Andaikata
aku disuruh memilih Bersembahyang atau maulid Lebih kusukai bermaulid
pada Nabi Juallah kerbaumu Gadaikan sawahmu Supaya ada nanti Dipakai
bermaulid pada Nabi
Peringatan maulid sendiri sangat berdampak pada hubungan sosial
masyarakat. Nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong bisa dilihat baik sebelum
maupun selama prosesi maulid. Seperti penyediaan bahan makanan yang diperoleh
dari setiap rumah tangga, persiapan tempat dilaksanakan secara gotong-royong.
Perayaan Maulid akan diiringi dengan suguhan makanan berupa kaddo’ dan tello’.
Kaddo’ terbuat dari beras ketan dan santan kemudian dimasak sehingga teksturnya
sangat lengket sedangkan tello’ adalah telur rebus yang ditancapkan pada potongan
bambu kecil. Keduanya memiliki makna filosofis. Kaddo’ melambangkan
kebersamaan dan persatuan, sedangkan tello’ bermakna kebulatan tekad dan aqidah
yang mantap sebagaimana telur itu tertancap tajam.
Syarat-syarat bagi Pa’baca barzanji yang cukup kaku ini berbeda dengan
barzanji yang terdapat dalam tradisi yang lain, seperti pernikahan atau aqiqah yang
hanya memprioritaskan ketokohan dari sang pembaca, dan bukan karena kualitas
suaranya. Berikut beberapa bab barzanji dalam versi bahasa Bugis;
Di Sulawesi Selatan di kenal suatu sistem adat.Sistem ini mengatur mereka hampir
di seluruh aspek kehidupan. Mulai dari adat-istiadat, politik, agama, sosial dan hukum.
Sistem pangngaderreng (pangngadakkang) ini mengakar dalam hati tiap orang karena
terlahir dari proses budaya yang panjang. Olehnya dalam penerapannya masyarakat
menjalankannya karena kesadaran yang hadir dalam diri mereka, bukan karena suatu
kewajiban atau paksaan.
Konsep pangngaderreng ini meliputi sistem norma, tata tertib dan aturan-aturan
adat, yang mengatur tingkah laku setiap orang dalam lingkungan sosialnya. Sistem norma
dan aturan-aturan adat yang mengatur kehidupan orang Bugis ini kemudian dikenal dengan
ade’. Di dalamnya terdapat tata tertib yang bersifat normatif yang menjadi pedoman sikap
hidup dalam menghadapi, menanggapi, dan menciptakan harmoni kehidupan
Sistem pangngaderreng ini diatur dalam suatu sistem yang kuat yang saling
mengikat, meliputi ade’(adat-istiadat), tentang bicara (peradilan), tentang rapang
(pengambilan keputusan/kebijakan berdasarkan perbandingan dengan negara lain), tentang
wari (sistem protokoler kerajaan) dan tentang sara (syariat islam). Sara ini merupakan
aturan baru yang masuk dalam konsep pangngaderreng pascamasuknya Islam di Sulawesi
Selatan .
Ade’ mengatur tata hidup dan tingkah laku setiap individu dalam bermasyarakat. Ada yang
dikenal dengan ade puraonro yang kurang lebih merupakan suatu tingkah atau cara
memperlakukan sesama di dalam masyarakat. Adat ini sudah ada dan berlaku secara turun
temurun sehingga meninggalkannya akan dianggap telah meninggalkan ade’ atau sudah
tidak memiliki etika, misalnya ikwal tata cara peminangan. Ada juga yang dikenal dengan
ade’ maraja, yang lahir dari suatu kebiasaan yang disepakati dan telah disahkan dalam suatu
perjanjian yang dikenal dengan wari’.
b. Sistem Kepercayaan
Sejak dahulu, masyarakat Sulawesi Selatan telah memiliki aturan tata hidup. Aturan
tata hidup tersebut berkenaan dengan, sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan dan
sistem kepercayaan. Orang Bugis menyebut keseluruhan sistem tersebut Pangngadereng,
orang Makassar Pangadakang, Orang Luwu menyebutnya Pangngadaran, Orang Toraja
Aluk To Dolo dan Orang Mandar Ada’. Dalam hal kepercayaan penduduk Sulawesi Selatan
telah percaya kepada satu Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah
DewataSeuwaE (dewa yang tunggal). Terkadang pula disebut oleh orang Bugis dengan
istilah PatotoE (dewa yang menentukan nasib). Orang Makassar sering menyebutnya
dengan Turei A’rana (kehendak yang tinggi). Orang Mandar Puang Mase (yang maha
kehendak) dan orang Toraja menyebutnya Puang Matua (Tuhanyang maha mulia).Mereka
pula mempercayai adanya dewa yang bertahta di tempat-tempat tertentu. Seperti
kepercayaan mereka tentang dewa yang berdiam di Gunung Latimojong.
Saat agama islam masuk ke Sulawesi Selatan pada awal ke-17, ajaran agama islam
mudah diterima masyarakat. Karena sejak dulu mereka telah percaya pada dewa tunggal.
Proses penyebaran islam dipercepat dengan adanya kontak terus menerus antara masyarakat
setempat dengan para pedagang melayu Islam yang telah menetap di Makassar.Pada abad
ke- 20 karena banyak gerakan-gerakan pemurnian ajaran Islam seperti Muhammadiyah,
maka ada kecondongan untuk menganggap banyak bagian-bagian dari panngaderreng itu
sebagai syirik, tindakan yang tak sesuai dengan ajaran Islam, dan karena itu sebaiknya
ditinggalkan. Demikian Islam di Sulawesi Selatan telah juga mengalami proses pemurnian.
Sekitar 90% dari penduduk Sulawesi Selatan adalah pemeluk agama Islam, sedangkan
hanya 10% memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Umat Kristen atau Katolik
umumnya terdiri dari pendatang-pendatang orang Maluku, Minahasa, dan lain-lain atau dari
orang Toraja. Mereka ini tinggal dikota-kota terutama di Makassar
DAFTAR PUSTAKA
Chabot, H. Th. 1956, Verwanscap Stand en Sexe in Zuid Celebes. Groningen:
Groningen University Press
Johnson, Doyle Paul, 1986. Teori Klasik Sosiologi Modern. Jakarta: PT.
Gramedia.