Anda di halaman 1dari 19

Keberagaman Dalam Konteks Ajeg Bali

I Made Titib**

Janaý bibhrati bahudhà vivàcasaý

nànàdharmanaý påthivì yathaikasam,

sahasraý dhàrà dravióasya me duhàý

dhraveva dhenuranapasphuranti.

Atharvaveda XII.1.45.

(Berikanlah penghargaan kepada bangsamu yang menggunakan berbagai bahasa daerah,


yang menganut kepercayaan (agama) yang berbeda. Hargailah mereka yang tinggal
bersama di bumi pertiwi ini. Bumi yang memberi kesejahteraan, bagaikan sapi yang
memberi susunya kepada anak-anaknya. Demikian ibu pertiwi memberikan kebahagiaan
yang berlimpah kepada umat-Nya).

Pendahuluan

Keberagaman bagi masyarakat Bali merupakan realitas empirik, kenyataan yang harus
dan patut diterima serta disyukuri, karena sesungguhnya tidak ada suatu masyarakat yang
homogen dalam arti dalam hubungan antar etnis di bumi Nusantara ini. Di Bali
masyarakat multietnis dan multikultural merupakan kenyataan dan untuk itu diperlukan
pembelajaran atau kajian terhadap realitas empirik tersebut.

Bali yang kini dikenal sebagai satu destinasi pariwisata terbaik dunia, sesungguhnya
sejak zaman prasejarah telah bersentuhan dengan budaya global. Demikian pula ketika
Bali dan sekaligus kepulauan Nusantara mendapatkan sentuhan Agama Hindu dan
budaya India, yang mengantarkan bangsa Indonesia menuju alam sejarah, dengan
dikenalnya tulisan-tulisan baik berupa huruf Pallawa maupun Devanagari berbahasa
Sanskerta. Akibat sentuhan Agama Hindu dan budaya India, di samping budaya China
tersebut, akar-akar budaya Bali menjadi subur dan menumbuhkan budaya Bali yang kita
kenal dewasa ini.

Berkaitan dengan hal tersebut keberagaman atau multikultural perlu dipahami kembali
melalui berbagai pendekatan, di antaranya pendekatan historis, sosiologis, teologis, dan
kultural. Dengan pemahaman yang komprehensif terhadap masyarakat yang multikultural
akan menumbuhkembangkan hubungan yang harmonis antar etnis, budaya dan penganut
agama yang berbeda-beda. Masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang memiliki
pandangan hidup dan dasar negara Pancasila sangat menghargai keberagaman dan
keberagaman dalam membangun semangat nasionalisme telah lama dicanangkan oleh
para pendiri negara (founding fathers), karena keberagaman, dalam istilah yang lain,
kebhinekaan sudah diamanatkan dalam perjalanan

bangsa Indonesia dalam proses menuju bangsa menegara yang tampak pada zaman
keagungan kerajaan Nusantara Majapahit dengan lahirnya sasanti ‘bhinneka tunggal ika
tanhana dharma mangrwa’ (berbeda-beda, tidak ada kebenaran yang mendua) yang
kemudian ketika Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara dengan lambang Garuda
Pancasila sasanti itu dituliskan pada sebuah pita yang membentang dipegang oleh kedua
kaki burung garuda yang sedang mengepakkan sayapnya dengan menghilangkan kata
dharma mangrwa, karena konteks masalahnya bukan hanya pada kebenaran (agama)
tetapi jauh lebih luas seperti yang umum disebut dengan istilah suku, agama, ras, dan
antar golongan (SARA) yang kiranya lebih tepat disebut masyarakat yang multikultural.

Masa Prasejarah Bali

Untuk dapat mengetahui awal sinergi dan dinamika Agama Hindu dan dinamika
kebudayaan Bali, maka perlu dikemukakan kebudayaan dan alam pikiran orang-orang
Bali sebelum menerima Agama Hindu menjadi agama yang merupakan pegangan hidup
dan keyakinannya. Konsepsi alam pikiran prasejarah ternyata merupakan landasan yang
kuat bagi perkembangan selanjutnya, terutama setelah Agama Hindu menjadi agama
yang dianut dan diyakini kebenarannya.

Masa perundagian adalah puncak segala kemajuan yang berhasil dicapai yakni
merupakan perkembangan lebih lanjut dari masa bercocok tanam. Penduduk yang hidup
bergabung dalam suatu desa, sudah berhasil mencapai suatu taraf yang baik dengan
penguasaan teknologi yang tinggi seperti teknik pembuatan gera¬bah, kepandaian
menuang perunggu. Masa perundagian telah menghasilkan kebudayaan Indonesia asli
yang bernilai tinggi ka¬rena dijiwai oleh konsepsi alam pikiran yang hidup di dalam
masyarakat pada waktu itu (Putra, 1987:50).

Kepandaian menuang benda-benda perunggu yang dibentuk menjadi bermacam-macam


benda yang diinginkan, dapat disebut¬kan sebuah di antaranya yang ditemukan di Bali
yang kini disim¬pan di Pura Penataran Sasih Pejeng, Gianyar yakni oleh masyarakat
dinamakan “Bulan Pejeng” atau Nekara. Pembuatan Nekara ini dengan cara cire perdue
atau cetakan hilang. Namun, yang perlu diperhatikan di sini adalah fungsi benda tersebut
se¬bagai benda upacara keagamaan seperti upacara untuk mohon hujan, di samping
ditemukannya hiasan kodok pada bagian bidang pukul¬nya dan juga sebagai genderang
perang. Selain kemajuan dalam bidang perundagian, sebelum masuknya Agama Hindu ke
Bali, masyarakat telah memiliki kepercayaan akan adanya arwah nenek moyang. Gunung
dianggap sebagai tempat tinggalnya roh-roh leluhur yang telah meninggal. Kepercayaan
kepada roh nenek moyang ini dibuktikan dengan adanya tradisi penguburan dengan
sarkofagus dan penguburan dengan tempayan. Selanjutnya, untuk roh nenek moyang itu
dibuatkan wujud bangunan yang dise¬but menhir dan lazimnya berdiri di atas bangunan
teras piramida. Hal ini terbukti dengan letak kepala sarkofagus tersebut selalu mengarah
ke arah gunung yang terdekat. Hal tersebut menyebabkan timbulnya kepercayaan
terhadap gunung sebagai tempat suci, yaitu tempat tinggalnya arwah nenek moyang
mereka. Di samping itu, mereka percaya bahwa setelah hidup di dunia ini berakhir, maka
ada alam lain lagi sebagai tempat kehidupan baru, oleh karena itu orang yang mening¬gal
disertai bekal kubur dengan wujud benda-benda seperti manik-¬manik, perhiasan, tajak
dan lain-lainnya.

Tradisi penguburan de¬ngan sarkofagus hanya dipakai untuk pemuka masyarakat,


sedangkan¬ rakyat biasa dikuburkan di dalam tanah. Sikap mayat dalam peti batu ada
yang terlentang dan ada pula yang terlipat (seperti sikap bayi dalam kandungan) atau
jongkok, sehingga sarkofagus juga berbentuk kecil. Sikap dengan sistem jong¬kok atau
sistem terlipat ini melambangkan bahwa mereka telah kembali di dalam kandungan untuk
kemudian akan menitis kembali. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukan sebuah
sarkofagus di Desa Ambyasari, di Bali Barat berbentuk kelamin wanita. Bentuk kelamin
wanita ini melambangkan jalan lahir kembali. Orientasi atau arah sarkofagus di Bali
disebut dalam bahasa daerah kaja-kelod atau mengarah ke gunung dan ke laut. Kepala
mengarah ke gunung dan kaki mengarah ke laut. Ada dugaan bahwa gunung adalah
lambang laki-laki dan laut lambang perempuan. Laki-laki-pe¬rempuan adalah lambang
pencipta dan kesuburan. Bentuk sarkofagus itu pada kedua belah ujungnya terdapat
tonjolan-tonjolan yang kadang-kadang dibentuk menyerupai kepala manusia dengan
mata bulat, hidung pesek, mulut menganga, lidah menjulur ke luar. Se¬mua hal itu
mempunyai arti magis religius untuk melindungi diri dari serangan kekuatan jahat dalam
perjalanannya menuju alam arwah (Putra, 1987:51, Ardana, 1982:50).

Selanjutnya di Gilimanuk dijumpai tradisi penguburan dengan urn (tempayan) yang


disertai dengan bekal kubur seperti benda dari perunggu dan emas serta gigi
tengkoraknya telah dipanggur. Sistem penguburan yang demikian itu disebut sistem
penguburan yang kedua setelah mayat ditanam pada tahun pertama. Hal ini dimaksudkan
untuk menghormati roh leluhur atau roh nenek moyang. Pemujaan roh nenek moyang di
Bali sudah dikenal jauh sebelum Agama Hindu masuk ke Bali. Hal itu dapat dibuktikan
dengan ditemukannya beberapa buah arca primitif di Desa Depaa, Poh Asem, Pura
Penataran Jero Agung Gelgel, Pura Besakih, dan di Desa Keramas. Apabila diperhatikan
karakteristik arca-arca tersebut, yakni mempunyai sifat megalitik seperti bentuk muka
persegi, alis mata yang panjang, teknik pembuatan sederhana, kedua lengan (tanpa
tangan) menyilang di dada dipahatkan pada vagina seperti arca yang ditemukan di
Gelgel. Semua arca tersebut di atas mempunyai latar belakang alam pikiran yang
berpangkal kepada pemujaan terhadap nenek moyang (Putra, 1987:52).

Dari peninggalan-peninggalan arkeologi yang dapat dijumpai pada zaman prasejarah Bali
tersebut maka dapat diambil suatu simpulan bahwa masyarakat prasejarah Bali telah
memiliki kepercayaan yang telah bersistem meskipun dalam wujud yang masih
sederhana. Kepercayaan itu adalah seperti di bawah ini.

a) Pada zaman prasejarah Bali telah ada kepercayaan kepada gunung sebagai alam
arwah karena tempat bersemayam roh nenek moyang. Gunung sebagai ciptaan Tuhan
Yang Mahakuasa dirasakan langsung memberikan kehidupan kepada manusia berupa
kesuburan pertanian, karena pohon-pohon besar yang berguna bagi kehidupan dan
sumber-sumber mata air berasal dari gunung. Di samping itu, penguburan sarkofagus itu
mengarah ke gunung dan laut. Gunung dan laut melambangkan laki-laki dan perempuan.
Pertemuan gunung dan laut atau laki-laki dan perempuan menciptakan kesuburan yang
didambakan oleh setiap manusia yang lahir ke dunia ini.

b) Adanya kepercayaan alam nyata dan tidak nyata. Alam nyata ini tempat kehidupan di
dunia ini sedangkan yang tidak nyata adalah alam yang dituju oleh orang yang telah
meninggal. Dan di alam yang tidak nyata itu pun ada kemungkinan kembali ke alam
nyata.

c) Adanya kepercayaan bahwa setelah mati, ada kehidupan di alam lain dan akan
menjelma kembali, ini berarti sebelum masuknya Agama Hindu ke Bali telah ada unsur-
unsur kepercayaan pada adanya kelahiran kembali.

d) Adanya kepercayaan terhadap roh nenek moyang atau leluhur yang dapat dimintai
perlindungan oleh keturunannya (Putra, 1987:53).

Demikian kepercayaan masyarakat sebelum masuknya Agama Hindu ke Bali yang dapat
disebut memiliki nilai yang sangat tinggi dan dilatarbelakangi oleh konsepsi pemikiran
yang sudah maju. Unsur-¬unsur kepercayaan asli inilah yang menjadi landasan sangat
kuat terhadap masuknya Agama Hindu ke Bali. Agama Hindu masuk ke Bali tidak sulit
diterima oleh masyarakat saat itu, karena ajaran agama yang masuk itu sesuai dengan
kepercayaan yang berakar pada masyarakat saat itu. Kepercayaan kepada para dewa dan
roh-roh suci yang bersemayam di puncak-puncak gunung merupakan pula kepercayaan
(Sraddha) dalam Agama Hindu, demikian pula kepercayaan terhadap kelahiran kembali
(Samsara), dan roh-roh suci yang memberi perlindungan kepada umat manusia juga
merupakan kepercayaan Agama Hindu. Agama Hindu masuk Bali memberi pencerahan
kepada kepercayaan prasejarah yang telah tumbuh dan berkembang sebelumnya.

Lebih jauh menurut informasi Dr. Bachchan Kumar, Ph.D.D.Litt, seorang peneliti dari
Indira Gandhi School of Art, New Delhi yang kini sedang meneliti perkembangan arca
Dewi Durga di Indonesia mengemukakan beberapa topeng dan perhiasan dari emas
sebagai bekal kubur pada masa prasejarah di Indonensia didatangkan dari India,
menunjukkan bahwa sejak zaman prasejarah telah terjadi hubungan dengan kebudayaan
India. Demikian pula manilk-manik bekal kubur lainnya yang ditemukan di Bali serta
peninggalan berupa nekara dan moko (genderang perang dari perunggu) menunjukkan
telah terjadi kontaks dengan budaya China dan Dongson (Asia Tenggara). Baik budaya
India, China, dan Asia Selatan telah memberi sumbangan yang sangat berarti dalam
perkembangan Agama Hindu dan budaya Bali dewasa ini.
Sentuhan Bali dengan Agama Hindu1

Berita tertua dari bangsa asing satu-satunya mungkin yang berasal dari orang Cina. Di
dalam kitab sejarah dinasti T’ang Kuna (buku 197, 2b, 618-908 Masehi), disebutkan
antara lain bahwa Ho-ling terletak di kepulauan di lautan sebelah selatan. Di sebelah
timurnya terletak P’o-li, yang menurut Pelliot P’o-li adalah Pulau Bali dan di sebelah
baratnya adalah To-po-teng, di sebelah utara adalah Chen-la (Kamboja) dan di sebelah
selatannya lautan. Di dalam sejarah dinasti T’ang Baru (buku 222.2, 3b) disebutkan
bahwa Ho-ling disebut juga Shë-p’o dan letaknya di sebelah selatan. Di sebelah timurnya
P’o-li (Bali), di sebelah baratnya To-p’o-tëng (Sumatra). Di selatannya lautan, sedangkan
di sebelah utaranya Chën-la (Kamboja) perjalanan ke P’o-li dari Canton menempuh
waktu kira-kira dua bulan. Di dalam kitab Chu-fan-chih bagian Suchi-tan, Bali disebut
dengan nama Ma-li (Sumadio, 1976:133-134).

Tinggalan prasasti dan arkeologi yang ditemukan di Bali menunjukkan Agama Hindu dan
Agama Buddha hampir bersamaan tiba di Bali. Berdasarkan fragmen prasasti yang
ditemukan di Pejeng, Gianyar, Agama Hindu sekta Saiva (Saivapaksa) diduga
berkembang pada abad ke-8 Masehi. Fragmen prasasti ini ditulis memakai bahasa
Sanskerta dan bila dibandingkan dengan stempel tanah liat yang berisi mantram Agama
Buddha yang disebut dengan ye-te mantra..... rupanya sezaman sehingga diduga berasal
dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari prasasti tersebut tertulis: “Sivas.....ddh.....
yang tidak mungkin berarti Sivasiddhanta (Ardana, 1982:20).

Data lainnya yang juga dapat menunjukkan sekta Saiva berkembang di Bali pada abad
ke-8 Masehi adalah peninggalan purbakala, yakni berupa sebuah arca yang disebut arca
Siva yang ditemukan pada sebuah pura bernama Putra Bhattara Desa di Desa Bedahulu
(Sttuterheim, 1935:35). Arca ini berasal dari periode Hindu-Balinese Art, yakni dari abad
ke-8 Masehi, pada saat yang bersamaan juga ditemukan arca Siva pada beberapa candi di
kompleks Candi Dieng, Jawa Tengah (Kempers, 1959: 31). Data yang lebih autentik
adalah data prasasti Sukawana A I yang berasal dari tahun 882 Masehi, yakni
menyebutkan tiga tokoh agama, yaitu: bhiksu (pandita Buddha) Siva Kangsita, Siva
Nirmala, dan Sivaprajña yang membangun pertapaan di puncak gunung Cintamani
(Goris, I, 1954: 53). Di sini tidak dijelaskan agama yang dipeluk oleh ketiga pandita itu.
Oleh karena ada kata bhiksu yang menunjukkan pandita Buddha dan nama Siva atau
barangkali kedua agama itu disatukan (Sivabuddha) seperti pada masa pemerintahan Raja
Udayana, karena sejak abad ke-10 Masehi kedua agama itu, yakni Siva dan Buddha
menjadi agama negara (agama resmi)(Ardana, 1982:21).
Menurut Goris (1960:98), kedatangan Agama Hindu di Bali dalam dua bentuk, yakni
dalam bentuk agama yang dibawa oleh para pandita (priestly religion) dan dalam bentuk
kepustakaan (literature), khususnya dalam bentuk epik besar. Dalam epik besar ini, tidak
semuanya sekta Saivasiddhanta, tetapi dapat diketahui dan diakui adanya tiga Dewa
Brahma, Siva dan Visnu meskipun dalam epik itu ada yang spesifik, yaitu penekanan
kepada Sivaistik dan Visnuistik. Dari kepustakaan tersebut diketahui akar dari hukum-
hukum dan orang Bali mengetahui ajaran Agama Hindu. Dalam epik Agama Hindu
ditemukan banyak Dewa (Brahma dengan Saktinya Sarasvati, Siva dengan Durga, Visnu
dengan Sri dan juga Ganesa, Dewa-Dewa yang populer dalam epik), banyak raksasa, dan
roh-roh jahat. Di samping itu, terdapat penjelasan tentang persembahan, tempat-tempat
pemujaan, dan kalender untuk menentukan waktu penyelenggaraan upacara. Selain itu,
juga terdapat upacara-upacara untuk keperluan rumah tangga, upacara pembakaran
jenasah (kremasi) bagi orang yang meninggal, upacara siklus hidup dari sejak lahir
sampai mati, arti upacara-upacara, dan juga persembahan yang besar. Dalam hal ini
Agama Hindu banyak berhubungan dengan ajaran agama asli orang Bali, sehingga
merupakan daya tarik bagi orang Bali untuk menjadi penganut Agama Hindu-Bali yang
baik. Sebagaimana dinyatakan oleh Goris, seperti tersebut di atas, maka kedatangan
Agama Hindu yang dibawa oleh para pandita

sangat memungkinkan untuk mendapat dukungan sepenuhnya dari raja-raja Bali yang
berkuasa pada masa yang silam. Hal ini terbukti hingga kini masih tampak peranan
pandita istana (purohita atau bhagawanta) sangat menentukan dalam kaitannya dengan
upacara Yajña yang dilakukan oleh pihak kerajaan. Demikian pula dalam pengembangan
susastra Hindu, peranan raja tidak kalah pentingnya. Perkembangan susastra Hindu di
Bali, baik dengan media bahasa Jawa Kuna dan Tengahan maupun sastra Bali hingga kini
masih berlangsung.

Dari penelitiannya terhadap 4 raja yang berkuasa pada masa Bali Kuna, Semadi Astra
(1997:280) menemukan ada 16 orang pemuka agama Siva dan 12 orang pemuka agama
Buddha, sebagai berikut.

Pemuka Agama Siva Pemuka Agama Buddha


1. Mpukwing Dharmahanyar 1. Mpukwing Kutihanyar
2. Mpukwing Hyang Padang 2. Mpukwing Canggini
3. Mpukwing Binor 3. Mpukwing Bajrasikhara
4. Mpukwing Mpukwing Lokeswara 4. Mpukwing Kadhiran
5. Mpukwing Banyu Garuda 5. Mpukwing Dharmaryya
6. Mpukwing Makarun 6. Mpukwing Waranasi
7. Mpukwing Antakunyarapada 7. Mpukwing Barabahung
8. Mpukwing Udayalaya 8. Mpukwing Karana
9. Mpukwing Kanya 9. Mpukwing Raganagara
10. Mpukwing Kusumahajika 10. Mpukwing Purwanagara
11. Mpukwing Kusumadanta (Puspadanta) 11. Mpukwing Nalnyja
12. Mpukwing Kunjarapada 12. Samgat Mangirengngireng
13. Mpukwing Pasabhan Wandami
14. Mpukwing Sikharadwara
15. Mpukwing Hyang karampas
16. Samgat Juru Wadwa

Berdasarkan jumlah pemuka agama yang tersebut dalam jabatan pemerintahan empat raja
pada zaman Bali Kuna di atas, dapat dinyatakan bahwa pemeluk agama Hindu lebih
banyak dibandingkan dengan agama Buddha. Selanjutnya mengenai bangunan suci
terkait dengan kedua agama di atas, sumber prasasti hanya menyebut beberapa istilah,
seperti satra, patapan, hyang, vihara, sima, sala, kaklungan, pendem, kamulan, meru, dan
sebagainya. Di antara nama-nama tersebut, wihara jelas merupakan pesanggrah¬an bagi
para pendeta Buddha, hyang singkatan dari istilah kahyangan yang berarti tempat suci.
Sampai sekarang di Bali tiga buah pura di tiap-¬tiap desa pakraman (desa adat) disebut
Kahyangan Tiga, yaitu Pura Desa, Puseh, dan Dalem. Patapan merupakan tempat untuk
bertapa. Sima merupakan daerah perdikan yang tugasnya memelihara bangunan suci
yang ada di daerah itu. Kamulan rupa-rupanya masih tertinggal menjadi sanggah kamulan
di Bali yang sekarang berfungsi sebagai tempat penghormatan roh suci leluhur. Meru
merupakan bangunan suci berbentuk atap tumpang terbuat dari ijuk2.

Perlu ditegaskan kembali bahwa pengaruh Jawa sangat besar di Bali sejak ibu Airlangga
(Mahendradattagunapriyadharmapatni) sebagai raja yang amat berkuasa di Bali. Prasasti-
prasasti yang diterbitkan sebelumnya berbahasa Bali Kuno yang bercampur dengan
bahasa Jawa Kuno, maka sejak tahun 1.022 semua prasasti murni menggunakan bahasa
Jawa Kuno (Satyawati, 1978:44). Dalam bidang susastra sejak pengaruh Hindu masuk ke
Bali, pada mulanya tampak pengaruh bahasa Sanskerta dan Bali kuno, namun
perkembangan berikutnya pengaruh bahasa Jawa Kuno atau Kawi sangat mendominasi,
seperti dinyatakan oleh T. Goudriaan (1980:31) berikut.

In Bali, the sign of a Hinduised culture are found from 8th century onwards. One might
rightly speak of an independent Hindu-Balinese culture besides the Hindu-Javanese one
of Java; some facts is that the oldest Balinese inscriptions are written in Sanskrit and Old
Balinese. From about the year 1000 onwards. Old Balinese is gradually pushed aside by
Old Javanese; a sign of the increasing dominance of Java over the much smaller Bali. In
the 14th century, Bali even became a centre for the study of old Javanese literatuer. The
influx of Islam, which did not touch Bali, completed the role of this island as a presever
of Hindu-Javanese culture and literary treatures, a role which it has maintained up to
these days.
Di lain pihak, selain dominasi susastra Jawa Kuno seperti tersebut di atas, I Made
Suastika menyatakan bahwa pada abad ke-18 (zaman Kerajaan Klungkung) karya sastra
Jawa Kuno dan Pertengahan digubah dalam genre baru yang disebut parikan atau
gaguritan (1995:30), maka sekitar abad ke-17 sampai dengan abad ke-19 teks-teks baik
berbentuk kidung atau gaguritan sudah sangat populer di antaranya karya sastra berupa
Kidung Panji Amalatrasmi, Gaguritan Bhimasvarga, Kidung Bagus Diarsa dan lain-lain
disusun oleh para sastrawan pada zaman tersebut yang memberi pemahaman tentang
Agama Hindu bagi masyarakat Bali. Aktivitas memahami susastra Jawa Kuno hingga
saat ini masih dilestarikan melalui Dharmagita atau Pesantian-Pesantian yang ada hampir
di seluruh Desa Pakraman di Bali.

Dilihat dari seni arca, karakter arca dalam periode Hindu Bali (periode pertama Hindu
masuk ke Bali) terlihat lemah lembut, kegemuk-gemukan, bersikap tenang, mata
setengah terbuka, pandangan mengarah ke ujung hidung. Ciri-ciri arca ¬semacam ini
dapat dijumpai dalam stupika-stupika tanah liat yang banyak didapatkan di sekitar desa
Pejeng, Tatiapi, dan Blahbatuh tetapi arca ini bersifat Buddhist. Untuk arca Hindu dapat
dicontohkan arca Siwa yang terdapat di Pura Putra Bhatara Desa Bedulu. Kecuali arca
Siwa tersebut, arca Hindu lainnya, belum ditemukan tinggalannya. Konteksnya dengan
daerah lain, tak dapat dipungkiri bahwa seni arca di Bali saat itu mendapat pengaruh seni
klasik Jawa Tengah. Ciri-ciri kelemahlembutan, kegemukan, dan lain sebagainya seperti
tersebut di atas adalah ciri-ciri arca klasik Jawa Tengah. Akan tetapi arca yang berciri
demikian bukan saja didapatkan di Jawa dan Bali, tetapi juga di Kamboja, Thailand,
Bhirma, dan Malaysia. Karena itulah maka arca-arca masa klasik Jawa Tengah disebut
memiliki “Gaya Intemasional”, dan pusat persebarannya diduga di Nalanda (Redig,
1997:172). Berdasarkan uraian tersebut di atas, awal mulanya pengaruh Hindu di Bali
dari seni arca masih menampakkan gaya internasional atau gaya asli India. Dalam
perkembangan berikutnya, utamanya bentuk arca perwujudan tampak kaku, seperti pula
halnya di Jawa Timur. Dalam seni ukir yang diwarisi dewasa ini, tampak pula pengaruh
China, Arab, dan Belanda seperti Patra China, Patra Mesir, dan Patra Welanda. Dalam
seni tari, tari-tarian yang terdapat pada masa Bali Kuno tampak hingga kini masih lestari,
di antaranya adalah Partapukan yang kini dikenal dengan tari topeng, Abanwal yang
dikenal dengan lawak. Demikian pula beberapa jenis gamelan masih berkelanjutan
diwarisi kini di Bali3.
Bali menghadapi Globalisasi

Tantangan era globalisasi yang dihadapi masyarakat dan kebudayaan Bali seperti
dikemukakan oleh Ardika (2005:18) dengan mengutip Appadurai dicirikan oleh
perpindahan orang (ethnoscape), pengaruh teknologi (technoscape), pengaruh media
informasi (mediascape), aliran uang dari negara kaya ke negara miskin (financescape),
dan pengaruh ideologi seperti HAM dan demokrasi (ideoscape) tidak dapat dihindari oleh
kebudayaan Bali. Sentuhan budaya global ini menyebabkan terjadinya ketidak
seimbangan atau kehilangan orientasi (disorientasi) dan dislokasi hampir pada setiap
aspek kehidupan masyarakat. Konflik muncul di mana-mana, kepatuhan hukum semakin
menurun, kesantunan sosial diabaikan. Masyarakat cenderung bersifat sekuler dan
komersil. Uang dijadikan sebagai tolok ukur dalam kehidupan.

Dilihat dari perspektif Agama Hindu, kondisi zaman dewasa ini telah dinujumkan dalam
kitab-kitab Purana yang menyatakan bahwa sejak penobatan prabhu Pariksit cucu Arjuna
sebagai maharaja Hastina pada tanggal 18 Februari 3102 SM., umat manusia telah mulai
memasuki zaman Kaliyuga (Gambirananda,1984:XIII). Kata Kaliyuga berarti zaman
pertengkaran yang ditandai dengan memudarnya kehidupan spiritual, karena dunia
dibelenggu oleh kehidupan material. Orientasi manusia hanyalah pada kesenangan
dengan memuaskan nafsu indrawi (Kama) dan bila hal ini terus diturutkan, maka nafsu
itu ibarat api yang disiram dengan minyak tanah atau bensin, tidak akan padam,
melainkan menghancurkan diri manusia. Ciri zaman Kali (Kaliyuga) semakin nyata pada
era globalisasi yang ditandai dengan derasnya arus informasi, dimotori oleh
perkembangan teknologi dengan muatan filsafat Hedonisme yang hanya berorientasi
pada material dan usaha untuk memperoleh kesenangan nafsu berlaka. Dengan tidak
mengecilkan arti dampak postif globalisasi, maka dampak negatifnya nampaknya perlu
lebih diwaspadai. Globalisasi menghapuskan batas-batas negara atau budaya suatu
bangsa. Budaya Barat yang sekuler sangat mudah diserap oleh bangsa-bangsa Timur dan
bila hal ini tidak dikendalikan tentu menghancurkan budaya atau peradaban bangsa-
bangsa Timur. Di mana-mana nampaknya masyarakat mudah tersulut pada pertengkaran.

Kitab Skanda Purana, XVII.1 menyebutkan pusat-pusat pertengkaran yang


menghancurkan kehidupan manusia, yaitu pada: kekuasaan (politik), minuman keras,
perjudian, pelacuran, dan harta benda/kekayaan (Mani, 1989:373). Berdasarkan uraian di
atas, dampak negatif globalisasi terhadap Agama Hindu dan budaya Bali antara lain di
bidang moralitas, solidaritas, dan bahkan banalisasi. Akibat dampak negatif tersebut
cenderung bermanifes menjadi potensi konflik seperti dikemukakan oleh Suacana
(2005:5) sebagai berikut.
1) Konflik antaretnis khususnya etnis Bali dengan non-Bali. Potensi ini makin
membesar dengan munculnya kristalisasi etnis di antara manusia Bali yang makin
membuat tembok pembatas antara “kekitaan” dan “kemerekaan” (we-ness dengan other-
ness). Beberapa wacana sosial juga sudah menjadi indikator jelas mengenai hal ini.
Kenyataan ini berasosiasi dengan proses indigenisasi masyarakat Bali serta meningkatnya
migrasi dari luar pulau Bali.

2) Konflik antar kelas yang berlatar belakang ekonomi. Masyarakat kelas ekonomi
bawah yang merasa termarginalisasi sudah mulai memposisikan diri secara frontal
dengan kaum kaya, khususnya penguasa (investor). Tindakan anarkhis pun mulai
menggejala. Hal ini terlihat pada kasus-kasus pemogokan kaum buruh di berbagai
industri pariwisata.

3) Konflik antarkelompok homo-aequalis dan homo-hierarchicus. Kelompok homo-


aequalis dengan ideologi egalitarianisme ingin melihat masyarakat Bali yang demokratis,
tanpa adanya diskriminasi atas dasar keturunan. Di lain pihak, kelompok homo-
hierarchicus dengan segala upaya mempertahankan status quo hirarki tradisionalnya.
Konflik yang sudah berlangsung sejak tahun 1920-an ini secara awam dikenal sebagai
konflik kasta.

4) Konflik antara Hindu tradisional-ritualistik dan Hindu modern-humanistik.


Meskipun tidak terlalu menonjol, sudah ada gejala-gejala pertentangan antara penganut
Hindu tradisi, yang menekankan pada ritus-ritus besar dengan penekanan Bali, dan Hindu
modern yang menekankan pengamalan Hindu dengan konsep “back to Veda” yang dalam
bahasa sehari-hari disebut sebagai “aliran baru”. Kristalisasi indikator kontemporer
masalah ini sangat jelas tampak dengan adanya dualisme Parisada Bali yang berlangsung
hingga saat ini, yakni Parisada versi Campuhan dan Besakih.

5) Konflik antarkabupaten/kota, terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah (UU No.22


Tahun 1999), yang memunculkan arogansi kabupaten/kota secara berlebihan.

Berbagai potensi dan manifestasi konflik tersebut, makin memberi penyadaran bahwa
masyarakat multikultural di Bali ternyata tidak selamanya kondusif bagi tumbuhnya
toleransi dan demokrasi apalagi dalam kondisi masyarakat Bali yang pemilahan,
fragmentasi, serta polarisasi sosialnya relatif tinggi. Kondisi diferensiasi sosial demikian
serta berbagai ancaman konflik yang menyertainya makin memberi penyadaran bahwa
upaya untuk lebih mengaktualisasikan dan mengimplemetasikan nilai-nilai bersama, serta
mengembangkan toleransi sudah sangat mendesak dilakukan (Suacana, 2005:6).

Sejalan dengan upaya yang ditawarkan oleh I Wayan Gede Suacana di atas, I Wayan
Geriya menyatakan: “Pada dasarnya masyarakat Bali memiliki tumpuan dan referensi
potensi untuk menghadapi aneka tantangan, baik potensi normatif seperti konsep, nilai,
dan filosofis maupun potensi real yang mencakup institusi dan pengalaman bersama
dalam menghadapi berbagai gangguan dan ancaman” (20-02-0 6). Gangguan dan
ancaman terbukti dari tragedi bom Kuta (12 Oktober 2002) dan tragedi bom Jimbaran (1
Oktober 2005) yang bila tidak ada kearifan masyarakat Bali memungkinkan terjadi
konflik yang lebih besar seperti halnya yang terjadi di Ambon maupun Poso.

Berkenaan dengan potensi konflik yang dihadapi sebagai dampak negatif dari globalisasi
yang menimpa Bali kiranya perlu dilakukan beberapa langkah aksi, antara lain.

1) Menumbuh kembangkan konsep atau nilai kesadaran persaudaraan yang sejati intern
umat Hindu, antaragama, dan antaretnis, yakni kesadaran menyamabraya, sebagai wujud
solidaritas yang telah tertanam sejak pertumbuhan budaya Bali. Setiap penduduk Bali
mesti memiliki kesadaran untuk membangun Bali dan bukan membangun atau hanya
mencari keuntungan di Bali.

2) Menumbuh kembangkan kesabaran sebagai wujud pengamalan ajaran agama dengan


menempuh musyawarah untuk mufakat. Tindakan anarkhis tidak akan pernah
menyelesaikan masalah.

3) Meningkatkan kualitas pendidikan agama Hindu bagi umat Hindu di Bali yang
menekankan pada humanisme, inklusifisme, pluralisme dan dialogis, dengan demikian
konflik antarkelompok homo-aequalis dan homo-hierarchicus yang laten dan berlarut-
larut dapat direduksi. Dengan kesadaran bahwa semua makhluk (manusia) adalah
bersaudara (Vasudhaiva kutumbhakam) dan semua makhluk hendaknya sejahtera
(sarvapranihitankarah) maka orang-orang yang benar-benar mengamalkan ajaran Agama
Hindu akan menjadi rendah hati, tidak arogan, dan bahkan tidak eksklusif.

4) Memperjuangkan terus otonomi daerah di tingkat provinsi untuk mencegah konflik


antarkabupaten/kota.
5) Memperjuangkan peradilan Agama Hindu di Bali sejalan dengan Otonomi Daerah
dengan kekhasan budaya Bali untuk mencegah penafsiran yang keliru terhadap ajaran
dan hukum Agama Hindu, antara lain yang menyangkut kepanditaan, kepemangkuan,
sidhikara, perkawinan dan sebagainya.

Pengembangan identitas budaya dalam konteks Ajeg Bal

Seperti telah dijelaskan di atas, sesungguhnya keberagaman dalam arti kebhinekaan telah
menjadi sikap hidup masyarakat Bali. Banyak ditemukan berbagai peninggalan dan
ajaran (konsepsi) sebagai wujud kearifan lokal tentang menyikapi adanya perbedaan
dalam berbagai aspek kehidupan, di antaranya:

1) Kearifan untuk mengharagai kepercayaan prasejarah seperti Bhattara Da Tonta di


Terunyan, yang kini disebut sebagai Bhatara Pancering Jagat (Dewata Tertinggi
masyarakat Terunyan), dalam wujud arca megalitik dan kini ditempatkan dalam
bangunan suci meru, yang merupakan bangunan suci menurut Agama Hindu.

2) Kearifan untuk menghargai kepercayaan yang berbeda di antara kepercayaan China


(Kong Hu Chu) dengan membangunan satu bangunan suci untuk memuja Ratu Subandar
(dari kata Syahbandar) yang di masa silam menangani pelabuhan termasuk pajak
berkaitan dengan pelabuhan dan lalulintas barang. Bangunan suci ratu Subandar (yang
juga disebut Kong Cho) dapat dijumpai di Pura Agung Besakih, Pura Ulundanu Batur,
Pura Dalem Balingkang, di bebera Pura Desa di Kecamatan Kintamani dan lain-lain. Di
Goa Gajah ditemukan peninggalan Agama Hindu dan Buddha hidup berdampingan. Di
Pura Silayukti, Mpu Kuturan dipuja sebagai penganut Siva dan Buddha, dan lain-lain.

3) Ajaran Tri Hitakarana yang artinya tiga hal yang menyebabkan terwujudnya
kebahagiaan dengan membina hubungan yang harmonis antara manusia dengan Sang
Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa) (Parhyangan), antar sesama umat manusia (Pawongan),
dan manusia dengan alam sekitar termasuk makhluk rendahan lainnya (Pelemahan).

4) Konsepsi Desa, Kala, dan PatraKonsepsi ruang, waktu manusia yang berintikan
penyesuaian atau keselarasan serta dapat menerima perbedaan dan persatuan sesuai
dengan motto Bhineka Tunggal Ika. Konsepsi ini memberikan landasan yang luwes
dalam komunikasi ke dalam maupun ke luar, sepanjang tidak menyimpang dari
essensinya.
5) Konsepsi Karmaphala. Konsepsi berlandaskan hukum sebab akibat karena perbuatan
yang baik akan selalu menghasilkan pahala yang baik dan demikian sebaliknya. Konsepsi
ini merupakan landasan bagi pengendalian diri dan dasar penting bagi pembinaan moral
dalam berbagai segi kehidupan.

6) Konsepsi Taksu dan Jengah. Taksu dan Jengah merupakan dua konsep dalam
kebudayaan Bali yang perlu dihayati dan dikembangkan, karena sangat relevan untuk
menjaga ketahanan dan keajegan budaya Bali, yakni sungguh-sungguh dalam melakukan
sesuatu yang dapat memunculkan talenta dan rasa untuk malu bila sesuatunya itu gagal
dilakukan.

7) Konsepsi Salunglung Sabhayantaka, Paras Parosarpanaya, atau Beriuksaguluk.


Kalimat tersebut mengandung makna solidaritas yang tinggi dalam suka dan duka, baik
dan buruk ditanggung bersama. Bersama-sama dalam kegiatan baik suka maupun
kedukaan.

8) Konsepsi Wirang dan Tindih. Konsepsi untuk membela teman seperjuangan,


membela nama baik kekerabatan, nama baik desa dan sejenisnya.

9) Konsepsi Satyam-Sivam-Sundaram. Konsepsi berkaitan dengan kebenaran-


keharmonisan-keindahan yang merupakan landasan estetika kesenian Bali.

10) Konsepsi Asih-Punya-Bhakti. Makna yang dikandung dari konsepsi ini adalah cinta
kasih, jasa, dan penghormatan yakni hubungan yang harmonis antara Manusia dengan
Tuhan Yang Maha Esa, para Dewa dan leluhur, juga hubungan yang harmonis antara
yang lebih muda, sebaya dan dengan yang lebih tua.

11) Konsepsi Desa Amawacara Nagara Amawa Tata. Makna konsepsi ini adalah untuk
menghargai perbedaan tradisi budaya masing-masing, demikian pula dalam dimensi
waktu yang berbeda.
12) Konsepsi Tri Samaya (Atita - Wartamana - Anagata). Konsepsi dalam konteks
dimensi waktu yakni: yang lalu, yang terjadi saat ini, dan yang terjadi di masa yang akan
datang, dan lain-lain.

Berkaitan dengan kearifan lokal masyarakat Bali, kiranya hampir di semua etnis dan
simpul-simpul budaya di Indonesia memiliki berbagai kearifan, yang beberapa di
antaranya sama persis dalam bahasa yang berbeda dan semuanya dapat menjadi
sumbangan dalam rangka mempertahankan identitas dan ketahanan budaya nasional.
Identitas budaya nasional tidak berarti melenyapkan eksistensi budaya lokal, melainkan
mengembangkan dan memperkuat identitas tersebut, misalnya Aceh yang dikenal dengan
serambi Mekah, maka ciri Agama Islam dan budayanya sangat kental di sana, demikian
pula Bali sebagai pulau dewata, maka Agama Hindu dan budaya Bali mesti dilestarikan
(diajegkan) di daerah ini.
Simpulan

Darinuraian di atas dapat dikemukakan beberapa simpulan sebagai berikut:

1) Keberagaman dalam arti kebhinnekakan merupakan kenyataan empirik yang mesti


dipelihara di Bali.

2) Keberagaman ini dilandasi oleh ajaran Agama Hindu yang dapat dikaji melalui
berbagai pendekatan, seperti pendekatan teologis, historis, sosiologis dan sebagainya.

3) Perkembangan budaya Bali tidak dapat dilepaskan dengan pengaruh masa prasejarah
dan telah bersentuhan dengan budaya India, China, dan Asia Tenggara.

4) Ketika Agama Hindu dan Buddha, bahkan Kong Hu Chu datang ke Bali, ketiga
agama ini memberi pencerahan dan bersinergi dengan kepercayaan lokal masyarakat
Bali.

5) Di era globalisasi Bali menghadapi berbagai tantangan, dan semua tantangan itu
ditengarai dapat diantisipasi melalui berbagai potensi dan kearifan lokal masyarakat Bali.

6) Dalam pengembangan identitas budaya lokal, maka berbagai potensi dan kearifan
lokal hendaknya dapat direvitalisasi dan dilestarikan.

Penutup

Mengakhiri tulisan ringkas ini diketengahkan untaian mutiara dari Mahatma Gandhi,
Bapak Ahimsa, non kekerasan yang menjadi acuan para humanis dunia, sebagai berikut.

“Aku tidak ingin setiap sisi rumahku tertutup tembok dengan jendela serta pintu yang
terkunci. Aku ingin budaya dari semua negeri berhembus ke dalam rumahku sebebas
mungkin. Yang ada padaku bukanlah suatu agama yang seperti penjara”

Mahatma Gandhi (2004:166)

Catatan

1 Tentang sejarah perkembangan Agama Hindu di Bali dapat dilihat pada Disertasi
penulis “Persepsi Umat Hindu di Bali tentang Svarga, Naraka, dan Moksa dalam
Svargarohanaparva, Perspektif Kajian Budaya” yang akan diterbitkan oleh Paramita,
Surabaya, pada bulan Agustus 2006, demikian pula dapat dilihat pada I G. P. Phalgunadi,
‘Bali Embraces Hinduism’ dalam ‘Kompetensi Budaya Dalam Globalisasi, Kusumanjali
untuk Prof. Dr. Tjokorda Rai Sudharta, MA, Editor Darma Putra & Windhu Sancaya,
2005, Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Pustaka Larasan.
2 Meru dilihat dari fungsinya dibedakan menjadi (1) Meru sebagai sarana untuk memuja
manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, dan (2) Meru sebagai salah satu sarana untuk memuja
roh suci leluhur, yakni roh suci yang telah diupacarakan melalui upacara “Nuntun Dewa
Hyang”, pada zaman Majapahit disebut upacara Sraddha yakni men-dharma-kan roh suci
leluhur pada tempat suci yang ditentukan untuk itu. Upacara Sraddha ini hingga kini juga
dilaksanakan di India, sebagai bentuk penghormatan dan pemujaan kepada leluhur.

3 Tentang keberadaan kesenian, khususnya seni pertunjukkan lihat Claire Holt, 2000.
Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, Terjemahan dari Art in Indonesia:
Continuities and Change. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Juga dalam
Sartono Kartodirdjo, Maewati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, 1976.
Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hal.84-
85.

Daftar Pustaka

Ardana, I Gusti Gede.1982. Sejarah Perkembangan Hinduisme. Denpasar: Tanpa


Penerbit.

Ardika, I Wayan, 1997. ’Bali dalam Sentuhan Budaya Global’ dalam Dinamika
Kebudayaan Bali. Denpasar: Upada Sastra.

Ardika, I Wayan, 2005. ’Strategi Bali Mempertahankan Kearifan Lokal di Era Global’
dalam Kompetisi Budaya dalam Globalisasi, Kusumanjali untuk Prof. Dr. Tjokorda Rai
Sudharta. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Pustaka Larasan.

Astra, Semadi. I Gde.1997. Birokrasi Pemerintahan Bali Kuno Abad XII-XIII: Sebuah
Kajian Epigrafis. Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor dalam Ilmu Sastra,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Darsana, I Gusti Putu.1997. Akar Kebudayaan Bali. Denpasar: Upada Sastra.

Gambirananda, Swami. 1984. Brihadaranyaka Upanisad. Calcuta: Shri Ramakrishna


Mission.

Geriya, I Wayan.2006. Bali dan Paradigma Kultural untuk Bangkit. Bali Post, 20 Februari
2006.
Goris, R.1954. Prasasti Bali, I-II. Bandung: NV Masa Baru.

------. 1960. “The Religious Character of the Village Community” dalam Bali Studies in
Life, Thought, and Ritual, Ed. J.L. Swellerebel, The Hague and Bandung: W. Van Hoeve
Ltd.

Goudriaan, T. 1980. Sanskrit Texts and Indian Religion in Bali, dalam Jurnal
Vivekananda Kendra Patrika, Madras, India: February, 1980

Koentjaraningrat.1980.Pengantar Ilmu Antropologi.Jakarta: Aksara Baru.

Mani, Vettam.1989. Puranic Encyclopaedia. New Delhi: Motilal Banarsidass.

Phalgunadi, I Gusti Putu, 2005. “Bali Embraces Hinduism” dalam Kompetensi Budaya
Dalam Globalisasi, Kusumanjali untuk Prof. Dr. Tjokorda Rai Sudharta, MA, Editor
Darma Putra & Windhu Sancaya, 2005, Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana
dan Pustaka Larasan.

Putra, I Gusti Agung dkk. 1987. Sejarah Perkembangan Agama Hindu di Bali. Denpasar:
Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.

Redig, I Wayan.1997. Ciri-Ciri Ikonografis Beberapa Arca Hindu di Bali: Studi Banding
Dahulu dan Sekarang dalam Dinamika Kebudayaan Bali. Editor: I Wayan Ardika dan I
Made Sutaba. Denpasar: Upada Sastra.

Satyawati Sulaiman, 1978. Consise Ancient History of Indonesia. Jakarta: The National
Research Centre of Archeology.

Suacana, I Wayan Gede. 2005. Diferensiasi Sosial dan Penguatan Toleransi dalam
Masyarakat Multikultur, dalam Jurnal Kajian Budaya, Indonesia Journal of Cultural
Studies. Nomor 3 Volume 2 , 2 Januari 2005.

Suastika, I Made. 1995. Calon Arang dalam Tradisi Bali: Suntingan Teks, Terjemahan,
dan Proses Pem-Bali-an: Disertasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Suastika, I Made. 1995. Calon Arang dalam Tradisi Bali: Suntingan Teks, Terjemahan,
dan Proses Pem-Bali-an: Disertasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Titib, I Made.1996. Veda, Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan.Surabaya: Penerbit


Paramita.

-------------------

* Makalah disampaikan pada acara LATIHAN KEDER II (INTERMEDIATE


TRAINING) SE -JAWA DAN NUSA TENGGARA, HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
(HMI) CABANG DENPASAR, bertempat di Gedung KNPI, Tembau, Denpasar, Bali,
tgl.28 Februari – 2 Maret 2007.

** Dr I Made Titib, Ph.D, mantan Direktur Urusan Agama Hindhu Ditjen Bimas Hindu
dan Buddha, Departemen Agama R.I, mantan Ketua I Pengurus Harian Parisada Hindu
Dharma Indonesia Pusat, dan mantn Ketua Sekolah Tinggi Agama Hindu Denpasar. Kini
Dekan Fakultas Brahma Widya (Fakultas Fisafat dan Teologi). Memperoleh gelar
Doktor of Philosophy (Ph.D) dalam Vedic Literature pada Vedic Departement, Gurukula
Kangri University, Haridwar, Uttar Pradesh, India, !993 dan memperoleh gelar Dr. pada
Program Studi Kajian Budaya, Universitas Udayana, 2005.

Anda mungkin juga menyukai