Anda di halaman 1dari 11

AGAMA TRADISIONAL

SUKU NIAS
Ariani Baroroh Baried (11140321000027)
Salwa Anwar (11140321000021)
Chairul Anam (11140321000042)
Jurusan : Perbandingan Agama 4A

ASSALAMUALAIKUM

SUKU NIAS
A.

Pengertian Suku Nias.

Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang
masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrak yang mengatur segala segi
kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya
megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih
ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem
kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk
mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang
ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.
Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal usul suku Nias berasal dari sebuah pohon
kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a" yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehli
Ana'a". Menurut mitos tersebut di atas mengatakan kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias
dimulai pada zaman Raja Sirao yang memiliki 9 orang Putra yang disuruh keluar dari Tetehli
Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Ke 9 Putra itulah yang dianggap menjadi orangorang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.

SELANJUTNYA

B.

Leluhur Masyarakat Suku Nias.


1.

Ada tiga kuntum bunga di pucuk, yaitu:

Lowalangi (Allah)
Lature (bukan roh jahat)
Nadaoya/Afokha (roh-roh jahat)
2.

3.

Ada tiga kuntum bunga di tengah, menumbuhkan :


Barasi luluo (bukan roh jahat)
Baliu (bukan roh jahat)
Feto-Alito (yang melahirkan roh-roh jahat)
Ada tiga kuntum bunga diakar:
Awalnya tidak ada yang tumbuh dari ketiganya
Lature dan Baliu, bertentangan karena masing-masing ingin jadi walinya
Kemudian diputuskan, yang berhak adalah yang sanggup menjadikannya manusia
Lature gagal
Lowalangi bekerjasama dengan Baliu untuk mencoba
Baliu hanya sanggup membentuk tubuh 8 memberi jenis kelamin
Lowalangi menyuruh Baliu untuk mengambil angin angin (disebut sumba fondrugio: satu kwantitas yang sama
beratnya dengan 42 ringgit) dan meniupkannya dalam mulut mereka agar sanggup bicara
Mereka ini pasangan manusia pertama. Dan mendiami dunia ke-3. mereka adalah Futi (istri) dan Tuha-BaregeDano (suami)

C. Budaya Masyarakat Nias.

Dalam budaya Ono Niha (Nias) terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam
Yaahowu (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia semoga diberkati). Dari arti Yaahowu tersebut
terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa.
Dengan kata lain Yaahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan.
Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain :
tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat
Yaahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya.
Jadi makna yang terkandung dalam Yaahowu tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh
dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama.
D. Tradisi Lisan Masyarakat Nias.
1. Keyakinan Terhadap Dewa
lowalangi, dewa alam atas, sumber segala yang baik,
laturedano, dewa alam bawah, yang pada umumnya lebih menampakkan aspek-aspek yang negative
Lowalangi menentukan hidup dan mati manusia, memberikan berkat dan kutuk, kekayaan dan
kemiskinan, menetapkan dan yang memberhentikan kepala-kepala suku, dan menghukum yang jahat.
Lature dano menyebabkan adanya penyakit, kematian, gempa bumi, angina ribut, dll.

2. Keyakinan tentang Jiwa (noso dan bekhu).


Noso datang dari dewa lowalangi atau dari salah satu bentuk penampakan dewa itu. Sesudah

yang memiliki noso itu mati, noso kembali kepada lowalangi. Hakikat noso sering diuraikan
sebagai napas, hidup, atau asa yang di alaminya.
Bekhu tampil jika orang sudah mati. Ia pergi kealam orang mati. Dalam praktiknya, bekhu
sama dengan bentuk eksistensi yang baru dari orang yang mati itu.

3. Keyakinan tentang Kekuatan Ghaib.


Suku nias mengenal adanya eheha.
Eheha adalah kekuatan yang berjiwa dan menjiwai, yang dapat diwariskan dari ayah kepada

anak lelakinya.
Sebenarnya eheha ini hanya berarti bagi para pemimpin, itu pun laki-laki. Pada orang-orang
yang tidak penting, tidak pernah terucap adanya eheha.
Jika pemilik eheha itu mati, anak laki-lakinya meletakkan mulutnya pada mulut sang wafat
untuk menerima eheha nya, yang tampak seperti buih pada mulut sang wafat itu.
Eheha menjadikan orang yang memilkinya bijaksana, cakap, berpengaruh, dsb.
Eheha hanya tampak pada orang-orang yang tinggi mertabatnya, umpamanya para kepala
desa atau suku, para imam dan para bangsawan.
Eheha dapat tampak dalam hal-hal yang luar biasa. Umpamanya kedaulatan, kehormatan, dsb.
Eheha juga dapat tampak dalam hal-hal yang negative, umpamanya untuk mencelakakan
orang lain dan sebagainya.

E . Ritual Keagamaan
Upacara ini menunjukkan betapa eratnya hubungan antara suku Nias dengan kebudayaan megalithikum,
yaitu kebudayaan yang berciri pendirian bangunan-bangunan besar yang terbuat dari batu.
1.
Pesta Jasa (Owasa).
Tujuan pesta religius ini ialah untuk memperoleh kehormatan, nama, kedudukan, dan gelar. Jika pesta
ini diselenggarakan oleh kaum bangsawan, pada kesempatan ini diadakan juga korban manusia dan
pendirian suatu monumen megalitikum. Oleh karena itu, pesta-pesta ini diselenggarakan di luar desa. Jika
pesta ini diselnggarakan oleh rakyat biasa, segala sesuatu dilakukan secara sederhana dan hanya
diselenggarakanbagi masyarakat desa itu sendiri, tanpa mengundang tamu dari luar. Baik bagi kaum
bangsawan maupun bagi rakyat jelata berlaku aturan, bahwa orang boleh mengadakan owasa segera setelah
ia kawin. Segera setelah kawin, ia harus berusaha untuk mengumpulkan emas dan babi yang cukup untuk
menyelenggarakan owasa yang pertama.
Tuntutan dalam Owasa adalah memamerkan kekayaan dalam bentuk barang-barang yang terbuat dari
emas dan menghamburkan kekayaan miliknya dalam bentuk babi yang disembelih pada pesta ini dimakan.
Yang tampak dalam Owasa adalah adanya aspek-aspek peperangan, yang memperhadapkan penyelenggara
pesta dengan para tamunya. Sedangkan emas dan babi menggambarkan senjatanya.
Peperangan ini masih sering diteguhkan dengan adanya peperangan semua. Dua kelompok yang
antagonis, yaitu penyelenggara pesta dan tamunya, dihubungkan dengan dualism religious kosmis. Dengan
bermacam-macam cara tampak hubungan antara para dewa dan penjadian serta perwakilannya di dalam
pohon hidup.

2. Pesta Boronadu
Pesta ini adalah puncak hidup kultur suku nias, sebab secara langsung pesta ini dihubungkan dengan penciptaan
dan terjadinya suku nias. Pesta ini diselenggarakan di tempat-tempat yang dipandang sebagai tempat nenek moyang
dahulu turun dari alam atas dan sekaligus juga dipandang sebagai tempat kediaman pertama nenek moyang masingmasing kelompok.
Kata boro berarti suku, dasar, atau sebab. Jadi kata boronadu berarti permulaan perbuatan suci, asal atau sumber
tertua penyucian. Selain itu, boronadu adalah sebutan imam suku yang tertinggi, yang senantiasa berdiaman ditempat
nenek moyang suku turun dari alam atas dan menyelenggarakan pesta boronadu. Ada 2 macam boronadu di Nias Selatan,
yang satu untuk memuja nenek moyang yang bersifat laki-laki, sedang yang lain untuk memuja dewa nenek moyang
yang bersifat perempuan. Keduanya memelihara sebatang pohon suci yang disebut fosi.
Pesta Boronadu diadakan karena orang merasa perlu untuk menyatakan kepada tokoh dewa yang tertinggi, bahwa
mereka merasa dan menghayati, bahwa dunia ini ada hubungannya dengan alam atas, bahwa kekuatan hidupnya datang
dari atas, dan bahwa mereka akan kembali kesana, dan akhirnya bahwa mereka sangat senang diperkenankan hidup di
bawah hukum-hukum hidup ini.

F. Tradisi Masyarakat Nias.


1. Struktur Masyaraka.
Pada umumnya masyarakat Nias memahami perbedaan antara kasta bangsawan (Si Ulu; Salawa) dan kasta
masyarakat biasa (Sato). Ada juga yang melihat struktur masyarakat dalam tiga kasta, yaitu: bangsawan, masyarakat
biasa, dan budak (Sawuyung; Harakana). Dan ada juga yang meliohat struktur masyarakat ke dalam empat kasta,
yaitu: bangsawan, penasehat (Si Ila), masyarakat biasa, dan budak. Di Nias selatan sistem kasta sangat dipegang
erat.
2. Perkawinan di Nias.
Di Nias Selatan, seoarang si ulu tidak boleh menikahi sato karena akan kehilangan statusnya. Kejadian seperti
ini biasa disebut dengan no moi ba zato yang berarti sudah menjadi rakyat biasa. Ada juga yang mengatakan bahwa
ketidakbolehan ini karena si ulu adalah bagaikan seorang bapak (ama) dan ibu (ina) bagi masyarakat, sedangkan
sato adalah seorang anak. Tidak mungkin orang tua menikahi anaknya. Beda halnya pada zaman dahulu, seorang si
ulu yang sudah kawin dengan lawan jenis yang berkasta sama, boleh mempunyai istri lain dari kalangan sato untuk
mengurusi rumah. Seorang si ulu juga boleh mengambil istri satu atau lebih dari kalangan sato apabila hendak
mengambil hati masyarakat.
3. Lani; Langi.
Tradisi lisan Nias banyak bercerita tentang langit (lani atau langi), tentang lapisan langit yang satu (lani si sara
wenaita), tentang langit berlapis sembilan (lani si si wa wenaita), dan seseorang leluhur bernama Lani Sigoro (Satu
Langit) atau Lani Sisagoro (langit yang satu ini). Tradisi Nias Selatan mengatakan bahwa nama sebenarnya
bukanlah Lowalani, melainkan Lawalani, yang berarti (yang ada) di atas langit. Sampai saat ini, tradisi Nias Selatan
masih menyebut lawa (atas) dan tidak seperti di Nias Utara yang menyebut yawa.

4. Adu Pertama di Nias


Patung yang terbuat dari kayu, di Nias, pada umumnya disebut dengan Adu. Patung yang paling banyak
adalah patung untuk mengenang orang tua yang telah meninggal, yang disebut dengan adu zatua (patung
orang tua). Diceritakan, patung pertama di Boronadu terbuat dari besi, yang hilang dan digantikan dengan
kayu. Mite tertua mengatakan bahwa ibu Silewe Nazareta di Boronadu membuat (iwowoi) dan
menghidupkan (ifonoso) patung pertama dari kayu. Versi lain mengatakan bahwa Hia Walangi Adu adalah
yang memulai dengan mengukir batu.
5. Penghormatan
Penghormatan sangat diperhatikan di Nias. Ajaran penghormatan mengatakan tentang adanya tiga
lowalangi yang berbeda, yaitu: orang tua, paman (saudara ibu), dan yang di atas langit. Pesan (orisito) ayah
sebelum meninggal merupakan perintah dan kewajiban bagi anak-anaknya. Siulu selalu dipandang ayah
dalam suatu desa.
6. Peti mayat
Di Nias Utara, mayat dikuburkan. Di Nias Selatan, mayat digantung pada pohon dan diikat dengan
anyaman tua. Atau dengan memakai suatu tempat duduk sederhana yang terbuat dari bambu (sarambia).
Mayat digantung pada salah satu cabang pohon dengan gaya duduk lalu dibiarkan seperti itu. Atau mereka
mempersiapkan rak bambu atau kayu bulat dengan tinggi sekitar dua meter di hutan, lalu mayat dibaringkan
diatasnya (lahare yawa).

Wassalam...

Anda mungkin juga menyukai