Anda di halaman 1dari 19

KOSMOLOGI DAN ETIKA NIAS

Blasius Toni Lahagu dan Silfanus Harefa

1. Pengantar

Berbicara soal budaya, kita tidak bisa lepas dari sistem nilai budaya itu sendiri.
Setiap budaya mempunyai nilai dan konsep-konsep mengenai sesuatu yang ada dalam alam
pikiran masyarakat. Konsep tersebut berharga dan penting dalam alam hidup sehingga dapat
berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi pada kehidupan
masyarakat.1

Nusantara adalah tempat di mana beragam kebudayaan lahir menghiasi seluruh


kehidupan masyarakat yang begitu signifikan. Kebudayaan menjadi pedoman hidup
masyarakat yang memberi arah dan tuntunan agar masyarakat mampu menjalankan
keteraturan hidup yang damai dan rukun. Dengan kebudayaan, masyarakat mampu mengenai
masalah dan persoalan yang mereka alami dalam memelihara kelangsungan hidupnya atau
eksistensinya. Dari banyaknya kebudayaan yang ada di Nusantara ini, penulis akan
memaparkan salah satu dari kebudayaan itu, yakni kebudayaan suku Nias. Suku Nias
merupakan masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih
tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi
kehidupan mulai dari kelahiran hingga pada akhir hidup.

Sebelum kekristenan tiba di tanah pulau Nias, istilah agama tradisional di sana tak
disebutkan secara spesifik. Tetapi yang jelas bahwa orang Nias memiliki kepercayaan.
Mereka datang ke tempat-tempat tertentu untuk melakukan ritual. Sebutan untuk yang Ilahi
belum terlalu spesifik. Setelah masuk kekristenan, maka tersebarlah istilah Lowalangi.
Lowalangi adalah istilah yang dipilih dan digunakan oleh Kristen di Nias (Protestan dan
Katolik) untuk menyebut Yang Ilahi. Nama itu diambil oleh Deninger R.M.G. Barmen dari
salah satu nama dewa mitologi Nias. Mengenai pilihan nama Lowalangi itu, banyak ahli
menolaknya seperti Schroder, Steinhart sebagai maha kuasa dan dewa pencipta, sebab paham
tentang Lowalangi dalam mitologi Nias bukalah dewa tertinggi melainkan Sihai.

Mitologi tentang dewa Sihai tidak terlalu dikenal oleh masyarakat Nias. Walaupun
Sihai tidak digunakan sebagai sebutan kepada yang ilahi namun mitologi tentang Sihai masih

1
Koentjaraningrat (ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1981), hlm. 153.

1
memiliki pengaruh besar dalam cerita tradisional orang Nias. Misalnya pemberian norma
(fondrakö) kepada manusia.

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan buku sumber yang lebih muda dari pada
kehadiran para misionaris di pulau Nias. Pengaruh masuknya kekristenan di Nias sangat
penting dalam mitologi Nias. Akibatnya, penciptaan jagad raya menurut orang Nias memiliki
kemiripan dengan penciptaan dunia dalam Kitab Suci.

2. Pengertian Fondrakö

Secara etimologis, istilah fondrakö berasal dari akar kata rakö (sumpah). Kata ini
merupakan bentuk imperatif yang harus ditaati. Barang siapa yang melanggar fondrakö akan
mendapat kutuk akibat sumpah. Sebaliknya, barang siapa yang menaati dan mengamalkannya
akan mendapat kelimpahan berkat.2

Fondrakö ditempuh melalui musyawarah agung. Keterlibatan rakyat dalam fondrakö


menunjukkan kesediaan mereka untuk melaksanakan dan menaatinya. Bila di kemudian hari
seseorang melanggar Fondrakö, maka ia akan mendapat hukuman menurut ketetapan
tersebut. Unsur kebersamaan, musyawarah, dan konsensus cukup menonjol dalam fondrakö.
Fondrakö adalah penyatuan orang untuk merumuskan kebulatan ketetapan atau kebulatan
keputusan di dalam rapat (orahua) yang dilaksanakan di si öfa handrauli. Di situ dirumuskan
jenis hukum tentang pemeliharaan dan perlindungan kehidupan.3

Norma, hukum, dan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat setempat


merupakan hasil kesepakatan dalam forum adat paripurna. Itulah sebabnya Fondrakö dapat
disebutkan sebagai kumpulan dan sumber hukum. Fondrakö merupakan kumpulan hukum
karena memuat pelbagai aspek hukum yang berlaku dalam masyarakat Nias. Sebagai sumber
hukum, fondrakö menjadi dasar pemikiran dan patokan untuk menyelesaikan aneka masalah
yang dihadapi dalam masyarakat.4

Fondrakö merupakan forum adat tertinggi dalam masyarakat Nias. Sejumlah koreksi
dan revisi terhadap hukum, peraturan, dan adat-istiadat yang berlaku sebelumnya turut
ditinjau dalarn forum agung ini. Unsur revisi menunjukkan sifat fleksibel Fondrakö.
2
Sōkhiaro Welther Mendrōfa, Fondrakō Ono Niha: Agama Purba - Hukum Adat Mitologi - Hikayat
Masyarakat Nias (Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1981), hlm. 39-40.
3
Johannes M. Hämmerle, Ritus Patung Harimau dan Pemahaman tentang Arti Lowalangi di Nias
Masa Agama Purba (Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias, 1996), hlm. 26.
4
Sōkhiaro Welther Mendrōfa, Fondrakō Ono Niha…, hlm. 11.

2
Fleksibilitas fondrakö tampak manakala ada peraturan dan hukum yang dianggap tidak lagi
relevan atau tidak menjawab kebutuhan masyarakat.5

3. Asal Mula Fondrakö

Asal mula fondrakö terkait erat dengan konteks mitos orang Nias tentang penciptaan
kosmos. Fondrakö lahir dalam kerangka mitos penciptaan sebagai amanat Yang Adikodrati
kepada manusia. Mitos asal mula fondrakö memperlihatkan suatu kebenaran dan
hubungannya dengan realitas. Benar bahwa fondrakö ada dan dihidupi oleh masyarakat Nias
hingga kini.

3.1 Sihai: Pencipta Alam Semesta

Sökhiaro Welther Mendröfa menuturkan dalam hoho6 perihal mitos penciptaan alam
semesta ini. Sihai dipandang sebagai Pencipta alam semesta.7 Sihai tidak diciptakan. la ada
sebelum dunia dijadikan. Eksistensi-Nya bersifat kekal. la tidak beribu-bapak dan tidak
berpermaisuri. Sihai memiliki kekuasaan dan kekuatan ajaib yang tiada taranya. Oleh karena
itu, la dapat menciptakan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya. Ia tinggal di tempat yang
disebut Tanö Nihaehaenangi atau Tanö Nihaehaembara. Tak seorang pun dapat menjangkau
tempat kediaman Sang Adikodrati ini. Tempat itu menceminkan suasana damai dan bahagia,
suatu tempat di mana tiada dosa dan musuh, tiada insan yang mati dan binasa.8

Pada awal mula, berpikirlah Sihai untuk menciptakan segala sesuatu. la mengadu
hawa dan udara sedemikian dahsyatnya. Suatu benda laksana lumut (lölöu nuwu nangi) yang
amat halus muncul setelah peristiwa itu. Sihai mengambil dari lumut itu sebesar dua butir
padi. Itulah yang dijadikan sebagai pokok segala sesuatu yang diciptakan. Dengan kekuatan
Sihai maka lumut itu bertambah besar hingga menjadi lapisan langit. Dari lapisan pertama ini

5
Sōkhiaro Welther Mendrōfa, Fondrakō Ono Niha…, hlm. 20-22.
6
Hoho adalah syair-syair kuno yang dirilis secara puitis. Di dalam hoho diungkapkan hal-hal yang
berkaitan dengan sejarah, hukum, adat-istiadat, dan sebagainya. [Lihat Sōkhiaro Welther Mendrōfa, Fondrakō
Ono Niha…, 16.]
7
Sumber lain mengatakan bahwa pencipta alam semesta ini adalah Lowalangi. Masyarakat Nias yang
beragama Kristen memakai Lowalangi untuk menyebut nama Allah. Nama ini diambil alih oleh E. Denninger
(misionaris dari Zending). Pemilihan nama ini bersifat kontroversial mengingat Sihai diklaim juga sebagai
Pencipta. Namun menurut Suzuki bahwa pemilihan tersebut tidak dapat dipersoalkan sebab Lowalangi adalah
dewa yang penting dan paling banyak disembah oleh orang Nias. Lowalangi adalah dewa yang baik, memberi
kesejahteraan dan memberi nafas hidup kepada manusia. [Lihat Peter Suzuki, The Religious System and
Culturaal of Nias, Indonesia (Washington U.S.A: Gravenhage, 1959), hlm. 1-6; bdk. Koentjaraningrat (ed.),
Manusia dan Kebudayaan …, hlm. 51.]
8
Sōkhiaro Welther Mendrōfa, Fondrakō Ono Niha…, hlm. 17-18.

3
maka diciptakan lapisan kedua hingga lapisan ke sembilan. Lapisan ke sembilan ini
merupakan lapisan terakhir yang di huni oleh masyarakat Nias yang disebut dengan Tanō
Niha.9

3.2 Penciptaan Manusia

Sihai kembali mengadu hawa dan udara hingga muncul bekas ampas. Sihai
mengambil kurang lebih sebesar butir beras dari benda itu dan dibungkuskannya dengan
benda halus bagaikan kain sutera. la menanam benda itu pada tempat yang amat halus dan
selalu ditiup oleh angin sepoi-sepoi basa. Dari butiran itu muncul suatu kecambah seperti
jarum, akarnya masuk ke dalam tanah, dan berdaun kecil. Dalam sekejap saja, tumbuhan itu
berkembang. Daunnya melebar, batangnya membesar, dan tingginya tak terjangkau oleh mata
memandang. la memberikan nama kepada tumbuhan itu, Tora’a.10

Pohon Tora’a menghasilkan suatu mayang atau bunga yang amat bagus rupanya.
Bunga pohon itu pecah dan jatuh ke tanah tidak jauh dari pohon induknya. Sihai bangkit lalu
mengambilnya. la membentuk dan menciptakan rupa manusia. Pada awalnya, manusia itu
masih amat lembut, belum berdaya, dan tidak berjiwa. Sihai memberkati dan memberi nafas
jiwa kepadanya. Akhirnya, manusia tadi dapat bergerak dan berakal budi. la memberi nama
kepada ciptaannya itu, Tuha Sangehangehao (laki-laki). Beberapa waktu kemudian, muncul
lagi mayang dari pohon Tora’a. Bunga itu jatuh lagi. Sihai mengambilnya lalu membentuk,
menciptakan rupa, dan paras yang amat cantik. Sihai memberi nama kepada ciptaan itu,
Buruti Sangazöngazökhi (perempuan). Sihai membawanya kepada pria tadi sebagai isterinya.
Mereka saling mencintai sebagai pasangan suami-isteri. Akhirnya, mereka berputera dan
menjadi nenek moyang orang Nias.11

3.3 Fondrakö: Amanat Sihai

Dalam mitos orang Nias disebutkan bahwa nenek moyang orang Nias ialah Sirao.
Sirao berada di Tetehöli Ana’a (kerajaan emas). Tetehöli Ana'a disebut sebagai bumi yang
setingkat berada di atas bumi. Dari Tetehöli Ana’a inilah nenek moyang orang Nias

9
Faogōli Harefa, Hikajat dan Tjerita Bangsa-bangsa serta Adat Nias ([Tanpa tempat terbit]: Rapatfons
Residentie Tapanoeli, 1939), hlm. 5.
10
Johannes M. Hämmerle, Asal Usul Masyarakat Nias, Suatu Intepretasi (Gungnungsitoli: Yayasan
Pusaka Nias,1999), hlm. 202.
11
Sōkhiaro Welther Mendrōfa, Fondrakō Ono Niha…, hlm. 35-39.

4
diturunkan.12 Tanö Niha (pulau Nias) merupakan tempat yang didiami oleh orang Nias
sekarang.

Sirao mempunyai 9 orang putera. Dari ke-9 orang itu, puteranya bernama Balugu
Wemöna menggantikan takhta ayahnya sebagai raja di Tetehöli Ana 'a. Salah seorang dari
puteranya yang tidak menjadi raja bernama Hia Walangi Sinada. Ia diturunkan (ladada) ke
Pulau Nias (tepat di Gomo). Ukuran (afore), takaran (lauru), dan timbangan emas (fali'era)
diikutsertakan kepadanya. Ketiga hal itu merupakan pegangan hidup Hia Walangi Sinada
untuk dibawa ke bumi Pulau Nias dan disebut sebagai Fondrakö.13

Di dalam fondrakö terdapat lima amanat Sihai, yakni kultus, kekayaan, tata krama,
tatanan hidup sosial, dan kasih mengasihi.

3.3.1 Kultus

Masyarakat Nias mengenal ritual fo’adu. Secara etimologis, istilah fo'adu berasal
dari kata adu (patung). Fo'adu berarti penyembahan dan pemujaan kepada Patung. Patung
merupakan benda yang sakral (suci) dalam kepercayaan tradisional orang Nias. Patung
menjadi mediator untuk menghadirkan sosok yang gaib, suci, agung, dan murni. Orang Nias
kerap melontarkan ungkapan fo'adu ndraugö. Ungkapan ini bertujuan agar seseorang
bersikap baik, membuat dirinya cantik, berwibawa, anggun, terhormat, dan disegani. Jadi,
fo'adu merupakan tindakan untuk berbakti kepada sesuatu yang dipuja dan harapkan.14

3.3.2 Kekayaan

Perihal pengadaan harta milik disebut fangaso atau foharato (kekayaan). Hal itu
mencakup cara bercocok tanam, beternak, dan terkait pinjam-meminjam. Semua hal di atas
harus ditempuh dengan cara yang jujur dan menurut jalur hukum yang telah ditentukan.15

3.3.3 Tata Krama

12
Sōkhiaro Welther Mendrōfa, Fondrakō Ono Niha…, hlm. 10.
13
Sōkhiaro Welther Mendrōfa, Fondrakō Ono Niha…, hlm. 40.
14
Yohannes Maria Hämmerle, (ed.), Hikaya Nadu (Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias, 1995), hlm.
37.
15
Sebelum masyarakat Nias mengenal dunia dagang sapai sekitar abad ke-17, hal-hal yang berkaitan
dengan harta milik dan kepemilikkan berjalan menurut garis dan jalur yang dibenarkan Fondrakō. [Lihat Peter
Suzuki, The Religious System…, hlm. 8-9.

5
Amanat Sihai yang ketiga adalah fo'ölö'ölö haohao (tata krama). Tata krama
berperanan penting dalam melaksanakan hal-hal yang menyangkut tata hidup sehari-hari,
relasi sosial antarindividu maupun antarkeluarga. Selain itu juga dapat menyatakan tinggi
atau rendahnya mental seseorang, dalam atau dangkalnya cita rasa seseorang untuk
melaksanakan Fondrakö, serta rapi atau kacaunya susunan kemasyarakatan dalam suatu
kampung. Dengan kata lain, semua tata sopan santun dalam menghadapi segala situasi di
dalam masyarakat berdasar pada amanat ini. 16

3.3.4 Tatanan Hidup Sosial

Tatanan hidup sosial dalam fondrakö amanat Sihai adalah fobarahao. Istilah
fobarahao berasal dari pokok kata barahao, yang berarti, kelompok-kelompok atau
pengelompokan masyarakat. Dengan demikian, fobarahao berarti cara menyusun, menata,
dan mengelompokkan masyarakat mulai dari kelompok yang besar hingga kelompok yang
kecil.

3.3.5 Kasih Mengasihi

Kasih mengasihi disebut dengan istilah böwö masimasi. Böwö masimasi amanat
Sihai yang terakhir - diberikan kepada siapa saja yang berhak dan layak menerimanya, entah
sebagai kawan atau lawan. Böwö masimasi ini terwujud bila seseorang memberikan haknya
kepada orang lain menurut fondrakö di setiap wilayah teritorial.

4. Jiwa Fondrakö

Pada dasarnya, fondrakö menyuruh orang untuk berbuat baik dan melarang untuk
berbuat jahat. Fondrakö juga mengajak, mendorong, dan memberi petunjuk kepada segenap
masyarakat agar dalam melaksanakan sesuatu harus berdasarkan pada Fondrakö.17

Manusia dengan segala kelemahannya - dapat saja melupakan, atau bahkan


melanggar hukum-hukum Fondrakö. Karena itu, timbullah aneka petitih laksana lonceng bagi
masyarakat setiap saat. Petitih ini mengingatkan masyarakat agar berhati-hati dan tetap

16
Bambōwō Laiya, Solidaritas Kekeluargaan dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias-Indonesia
(Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1979), hlm. 25.
17
Faogōli Harefa, Hikajat dan Tjerita…, hlm. 10.

6
waspada. Ragam petitih menjadi falsafah yang sangat bermanfaat. Isinya mengacu pada jiwa
fondrakö sendiri. Jiwa fondrakö adalah kasih sayang, pencegahan, dan pendorong berbuat.18

4.1 Kasih Sayang

Kasih sayang disebut dengan istilah masimasi. Masimasi mengajak orang untuk
berbuat baik. Untuk merealisir hal ini, setiap orang dituntut untuk bersikap saling mengasihi.
Setiap orang saling menghormati dan tidak merendahkan satu sama lain. Setiap individu tidak
boleh menilai dan menempatkan orang lain di bawah lututnya, melainkan ke dalam jantung
hatinya.

Mengapa demikian? Manusia dipanggil untuk saling mengasihi sehingga fondrakö


membawa berkat dan kebahagiaan, hidup rukun dan damai, adil dan makmur bagi masyarakat
sepanjang zaman. Semangat untuk saling mengasihi dapat terwujud bila orang senantiasa
mengingat Fondrakö. Karena itu, fondrakö tetap ditaati agar manusia tidak menerima
hukuman-hukuman yang mengerikan dan rupa-rupa bentuk penderitaan.19

4.2 Pencegahan

Petitih tentang pencegahan menganjurkan orang agar tetap menjadikan fondrakö


sebagai pegangan dalam hidupnya, kapan dan di mana pun ia berada. Pencegahan ini dapat
dipahami sebagai mölimöli. Sebelum bertindak maka seseorang harus berpikir dan menyadari
lebih dahulu apakah perbuatannya sesuai dengan fondrakö atau tidak. Artinya, mölimöli
bertujuan agar setiap orang hendaknya mempertimbangkan tindakannya. Maksud dan tujuan
mölimöli dapat kita selami melalui falsafah si’o'si'oi fönau i'o dotowau na mofanötö
(hendaknya engkau merintis jalan di hadapanmu dengan mempertongkat tangkai tombakmu
waktu berjalan).

Dalam falsafah molimöli di atas, kita menemukan suatu nasehat dan ajakan. Di kala
berjalan, setiap orang hendaknya merintis jalan terlebih dahulu dengan tongkat. Tongkat itu
adalah tombak. Tombak punya fungsi ganda, yakni sebagai tongkat yang memperkuat orang
tatkala berjalan dan sekaligus sebagai alat/senjata untuk menangkis bahaya. Bagian yang
digunakan dalam merintis jalan itu adalah tangkai tombak yang selalu mendahului langkah
seseorang. Dalam hubungannya dengan Fondrakö, tongkat itu adalah segala hukum yang

18
Sōkhiaro Welther Mendrōfa, Fondrakō Ono Niha…, hlm. 11.
19
Peter Suzuki, The Religious System…, hlm. 15-17.

7
berlaku dan bersumber dari Fondrakö. Fondrakö diibaratkan sebagai tongkat yang memberi
petunjuk pada setiap perilaku hidup guna menghindarkan diri dari ancaman.20

Anjuran ini semakin tampak melalui nasehat para pemegang pucuk pimpinan kepada
seluruh rakyat setelah menetapkan Fondrakö. Isi petitih itu mengisyaratkan agar hukum-
hukum fondrakö hendaknya menjadi tongkat di kala berjalan, menjadi lauk di waktu makan,
menjadi bantal di kala tidur, dan menjadi gelang bagi para pucuk pimpinan dalam
masyarakat. Dalam bahasa Nias, falsafah di atas dikenal dengan ungkapan: ni'ani'o ba
wofanö, ni'odiwo ba wemanga, ni'anandraya ba wemörö, ni'anöla gasa ba rutu.21

Ungkapan ni'ani'o ba wofanö (dipertongkat di kala berjalan) mengandung makna


yang kurang lebih sama dengan petitih sebelumnya, yakni merintis terlebih dahulu jalan di
depan dengan mempertongkat ujung tangkai tombak. Fondrakö adalah bagaikan tongkat ke
mana saja seseorang melangkah dan di mana saja ia berada. Fondrakö juga diibaratkan
sebagai femanga zilatao, böi femanga wa'elo. Dengan sengaja, ayam jantan dijadikan sebagai
contoh mengingat sifat-sifatnya yang terpuji. Seekor ayam jantan tidak segera makan bila
disuguhkan makanan kepadanya. Biasanya ia memanggil terlebih dahulu ayam-ayam yang
berada di bawah pengawasannya. la bahkan belum tentu mendapat bagian dari makanan
tersebut. la mendahulukan yang lain.22

Ungkapan di atas sangat penting bagi setiap orang yang hadir dalam suatu pesta adat
atau makan di tempat-tempat resmi. Setiap orang dituntut untuk memperhatikan orang lain,
mengekang kesenangan pribadi. Hal yang sama berlaku dalam mengambil keputusan.
Seseorang harus berpikir dan mempertimbangkan secara matang sebelum mengeluarkan
pendapat. Falsafah lain yang mengungkapkan hal ini berbunyi: ni'femanga gö sami,
nifatöröi'ö mbörö mboha. Artinya, bagaikan memakan makanan yang enak, hendaklah
disimak merata pada seluruh geraham. Jelas bahwa maksud ungkapan ini adalah mengajak
orang agar mempertimbangkan terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan.23

Anjuran untuk senantiasa mengingat fondrakö semakin dipertegas dengan


menjadikannya sebagai bantal di kala tidur (ni'anandraya ba wemörö). Masyarakat Nias
diingatkan agar fondrakö tidak terpisahkan dan terlalaikan dari hidupnya. Ungkapan berikut
kerap juga dilontarkan: böi femörö mbawi humago, tenga femörö manu silatao (jangan tidur
20
Johannes M. Hämmerle, Ritus Patung Harimau…, hlm. 78.
21
Bambōwō Laiya, Solidaritas Kekeluargaan…, hlm. 16.
22
Sōkhiaro Welther Mendrōfa, Fondrakō Ono Niha…, hlm. 13.
23
Yohannes Maria Hämmerle, (ed.), Hikaya Nadu…, hlm. 51.

8
seperti babi, tetapi tidurlah seperti ayam jago). Masyarakat Nias diajak untuk menjauhkan diri
dari aneka pikiran yang bertentangan dengan fondrakö. Fondrakö hendaknya dijadikan
sebagai pagar dan cermin baginya, sehingga tatkala tidur pun, fondrakö seakan-akan turut
bersamanya sebagai bantal. Seraya dengan itu, harus juga disadari bahwa sanksi kutuk turut
mengintip dari celah-celah hidup seseorang.24

4.3 Pendorong Berbuat

Jiwa fondrakö yang terakhir adalah rourou (pendorong untuk berbuat). Maksud dan
tujuan rourou ini dapat kita simak dari bagian petitih yang sudah kita Sebutkan sebelumnya,
yakni ni'anölagasa ba rutu (dipergelang oleh pemimpin tertinggi). Apa maksudnya? Di sini
disebutkan dua macam benda, yakni tölagasa dan rutu. Tölagasa adalah sejenis gelang yang
boleh terbuat dari emas atau batu putih (dawödawö). Tölagasa ini berhak dipakai oleh raja-
raja dalam masyarakat dan keluarganya setelah memenuhi persyaratan khusus.

Gelang yang dikenakan oleh seorang raja menandakan statusnya sebagai pemimpin
dalam masyarakat setempat. Pimpinan teninggi yang dipegangnya itu biasa disebut
arutu/rutu. Arutu/rutu adalah bubungan paling atas pada sebuah jala. Arutu/rutu terbuat dari
tanduk rusa yang dilobangi yang menghimpun bubungan paling atas pada jala itu. Fungsinya
tak lain adalah sebagai penghimpun, pengikat, dan pemersatu.25

Dalam hubungannya dengan Fondrakö, ungkapan di atas secara khusus ditujukan


kepada pimpinan sebagai penghimpun dan pemersatu segenap masyarakat. Petitih lain yang
merujuk pada gagasan di atas berbunyi: nangea ayau ndriala, no sinangea ayau wauru; he no
oi sumaewe gahe, ba no ö'ohe garutu (pantaslah kau pemilik jala, pantas kau pemilik
tangguk; kendatipun kaki berserak, dalam tanganmu terpegang penghimpun). Dari ungkapan
di atas jelas bahwa pimpinan masyarakat memegang peranan penting untuk mempersatukan
dan menghimpun masyarakat. Kesatuan seluruh rakyat sangat ditentukan oleh cara dan sikap
pemimpin dalam menjalankan wewenangnya. Tölagasa dan rutu menjadi simbol kebesaran
dan kuasa seorang pemimpin. Karena itu, pemimpin senantiasa menjaga agar kuasa dan
kepemimpinannya tidak ternoda oleh perbuatannya yang jahat. Seorang pemimpin
seyogianya berbuat adil, jujur, benar, dan bijaksana.

24
Sōkhiaro Welther Mendrōfa, Fondrakō Ono Niha…, hlm. 13-14.
25
Bambōwō Laiya, Solidaritas Kekeluargaan…, hlm. 20-21.

9
5. Materi Fondrakö

Berbagai hal yang menyangkut kehidupan bermasyarakat dibahas, dirumuskan, dan


ditetapkan dalam Fondrakö. Bamböwö Laiya menyebutkan tiga pokok penting dalam sidang
agung ini. Ketiga pokok tersebut menyangkut perihal kesejahteraan tubuh (huku sifakhai ba
mboto niha), keterjaminan hak atas milik (huku sifakhai ba gokhöta niha), dan kehormatan
manusia (huku sifakhai ba rorogöfö zumange niha).26

Dalam Fondrakö, ditetapkan hukuman bagi seseorang yang berbuat kesalahan.


Hukuman tersebut mulai dari pelanggaran kecil hingga kepada yang paling besar. Tujuannya
adalah untuk menjaga dan menjamin keamanan serta kemakrnuran seluruh rakyat. Karena
adanya hukuman, orang akan berhati-hati dan berusaha menaati Fondrakö.

Hukum yang menyangkut kesejahteraan tubuh manusia menunjuk kepada praksis


adat orang Nias berhadapan dengan orang lain. Seseorang yang membuat penghinaan dan
kejahatan kepada perempuan, ia akan dikenakan hukum adat menurut beratnya pelanggaran
yang dilakukannya. Hukuman adat bagi laki-laki yang memegang jari perempuan adalah
dengan memotong jarinya. Hukuman adat ini bisa juga ditebus dengan membayar denda
(ogauta) sesuai dengan jenis dan berat perbuatannya. Hal yang sama berlaku pada
pelanggaran-pelanggaran lainnya. Orang yang melakukan pelanggaran akan dihukum secara
fisik atau menebus pelanggarannya dengan membayar utang adat. Hukuman yang paling
berat adalah hukuman bunuh (mati). Dalam hal ini, baik laki-laki maupun perempuan,
dipandang sama-sama bersalah dan keduanya dibunuh. Bila tidak mau dibunuh, ia harus
membayar denda adat sebagai penebus batang lehernya (hölihöli döla mbagi). Banyaknya
pun sesuai dengan Fondrakō.27

Hukum yang berkaitan dengan kesejahteraan tubuh manusia nyata dalam hukuman
dan utang adat yang diberikan kepada orang yang berkelahi. Hukuman dan dendanya pun
bergantung dari jenis dan berat perbuatan yang dilakukan. Hukuman yang paling tinggi
adalah hukuman seorang pembunuh. Hukumannya juga adalah hukuman mati. Pada waktu
itu, sang pembunuh ditidurkan ke tanah dan lehernya di alas dengan batang pisang, kemudian
dipancung. Kendati demikian, ada juga -pembunuh yang ditebus oleh sanak saudaranya atau
rajanya dengan membayar adat sesuai dengan ketentuan Fondrakö. Pada zaman dahulu,
pembunuh bersama seisi keluarganya bisa saja dibunuh (lahöndrögö mbumbu nomo). Ini

26
Bambōwō Laiya, Solidaritas Kekeluargaan…, hlm. 22.
27
Tageli Lahagu, Huku Fondrakō ba Danō Niha ba Nōri Talunoyo Kec. Mandrehe Kab. Nias
(Hilimbōwō: [tanpa penerbit], 1985), hlm. 17-18.

10
dapat terjadi bila ada pembunuhan yang hebat antarkampung yang menyebabkan terjadinya
peperangan. Orang yang melakukan pembalasan itu disebut sifalau horö.28

Hukum yang menyangkut keterjaminan hak atas milik turut menjadi pokok penting
dalam Fondrakö. Seseorang yang melanggar hak milik orang lain dikenakan hukuman adat
sesuai dengan jenis dan berat pelanggarannya. Hal ini dipraktekkan misalnya kepada orang
yang mencuri dengan hukuman adat yang dikenakan padanya.

Pokok lain yang tidak kalah pentingnya dalam fondrakö adalah hukum yang
berkaitan dengan kehormatan manusia. Hal ini sangat jelas tampak dalam adat perkawinan 29.
Bila seorang pemuda bertunangan dengan seorang gadis, maka pihak laki-laki harus melunasi
utang adat terlebih dahulu. Pihak yang menyebabkan suatu perkawinan tidak dapat
dilangsungkan harus dihukum menurut adat dan membayar utang adat menurut ketetapan
Fondrakö.

Di samping adat perkawinan, hukum yang menyangkut kehormatan manusia tampak


dalam owasa. Owasa adalah serangkaian upacara adat yang antara lain bertujuan untuk
melegitimasikan jenjang, status sosial, dan nama yang baru (balugu atau tuha) bagi
seseorang. Orang yang mengadakan owasa memotong sejumlah ekor babi dan menjamu
orang banyak.

6. Nilai Fondrakö dalam kehidupan masyarakat Nias

6.1 Ketaatan kepada Leluhur

Ragam norma dan hukum adat Fondrakö, yang dirumuskan oleh Bamböwö Laiya
sebagai nifakhoi zatua dan nifakhoi mbanua, harus ditaati dan dilaksanakan dalam hidup
masyarakat. Aneka norma dan hukum adat ini ditaati sebagai oroisa ndra amadaföna (apa
yang telah dipesankan atau diperintahkan oleh leluhur). Karena itu, aneka praksis dan hukum
adat yang tampaknya kaku dan ketat merupakan konsekuensi logis dari hukum adat
primordial dari nenek moyang suku Nias. Bila kita menanyakan kepada orang Nias mengapa
mereka melaksanakan hal itu, mereka akan menjawab bahwa itu pesan nenek moyang atau
nenek moyang dulu berbuat fondrakö diterima oleh nenek moyang orang Nias dari Yang Ilahi
sebagai realitas Absolut, sebagaimana diterangkan dalam mitos. Dengan demikian, dasar
ketaatan orang Nias kepada leluhur pada hakekatnya tidak lepas dari hubungannya dengan
28
Faogōli Harefa, Hikajat dan Tjerita…, hlm. 67-70.
29
Perkawinan di Nias berbeda antara Nias Utara, Nias Tengah dan Nias Sselatan. [Lihat Faogōli
Harefa, Hikajat dan Tjerita…, hlm. 29-36.]

11
Yang Adikodrati. Ketaatan mereka kepada leluhur merupakan wujud ketaatannya kepada
Yang Adikodrati.30

Ketaatan kepada leluhur ini tampak dengan jelas dalam ritus pengesahan Fondrakö.
Pengesahan fondrakö diambil alih oleh ere31 setelah kemufakatan tercapai. Keabsahan
fondrakö diteguhkan melalui sumpah (fahölusa). Pengukuhan dengan sumpah ini dilakukan
berdasarkan kepercayaan purba orang Nias terhadap kutukan leluhur atau fönu malaika
zatua.32 Orang yang melanggar fondrakö akan kena kutuk akibat sumpah, sedangkan yang
menaatinya menerima berkat. Kutuk merupakan ungkapan yang sangat ditakuti oleh
masyarakat Nias. Apa yang sudah ditetapkan dengan sumpah tidak boleh dilanggar.

Sebelum pengesahan, ere terlebih dahulu melagukan foere33, lalu menghadap ke


siraha34 sambil memegang lidi dan ayam yang menyimbolkan si pelanggar hukum. Ere
memukulkan lidi ke siraha sambil mengucapkan kata-kata kutukan kepada setiap orang yang
akan melanggar Fondrakö. Kemudian imam mengambil ayam tadi, memutar lehernya sambil
menyampaikan kutukan: "Seperti putaran leher ayam inilah dia; dia tak akan berakar di bumi
dan tak berpucuk di langit”. Ere bertindak sebagai hakim yang mensahkan hasil fondrakö dan
sekaligus memberitahukan larangan-larangan dari leluhur atau kutukan-kutukan bagi
pelanggarnya.35

Leluhur orang Nias disimbolkan dalam patung (adu). Orang yang hendak
melaksanakan dan menaati fondrakö harus bersumpah terlebih dahulu di hadapan patung
leluhur (adu zatua). Adu zatua menjadi salah satu instrumen dalam pengesahan Fondrakö.
Menurut kepercayaan orang Nias, arwah leluhur (malaika zatua) bersemayam di dalam
patung. Sumpah setia di hadapan patung leluhur merupakan indikasi bahwa kedudukan arwah
leluhur menjadi alat legitimasi setiap tindakan dalam masyarakat. Dan setiap pelanggaran
30
Peter Suzuki, The Religious System…, hlm. 30.
31
Ere merupakan imam tradisional agama kuno Nias atau lebih tepat sebagai pemimpin seluruh
kegiatan keagamaan, baik baik yang bersifat upacara pribadi maupun massa. Seorang ere diyakini mempunyai
kualitas-kualitas khusus - seperti kuasa, pengetahuan istimewa dan kebajikan - yang melebihi bakat yang
dimiliki oleh orang kebanyakan. Semua potensi itu tidak berasal dari diri imam itu sendiri, melainkan diyakini
sebagai pemberian Silewe Nazara (dewi penghubung antara dunia atas dan dunia bawah). Oleh karena itu, ere
juga berperan sebagai penghubung antara manusia dengan Yang Ilahi. [Bambōwō Laiya, Solidaritas
Kekeluargaan…, hlm. 28; bdk. Peter Suzuki, The Religious System…, hlm. 48-52.]
32
Faogōli Harefa, Hikajat dan Tjerita…, hlm. 23.
33
Foere adalah doa tradisional yang dilakukan oleh imam agama kuno untuk memanggil arwah
leluhur. [Lihat Bambōwō Laiya, Solidaritas Kekeluargaan…, hlm. 110.]
34
Siraha adalah bentuk patung yang bercabang dua. Dalam kerangka pengesahan fondrakō, patung
siraha digunakan sebagai instrument menghukum orang yang melakukan kesalahan.
35
Johannes M. Hämmerle, Ritus Patung Harimau…, hlm. 41.

12
terhadap fondrakö dianggap sebagai tindakan murtad terhadap leluhur. Hal ini dikukuhkan
oleh ere sebagai penghubung antara ilah dan manusia: "Terkutuklah engkau jika engkau
melanggar perintah-perintah yang ada". Mendröfa mencatat bahwa ketika Sihai
mengamanatkan fondrakö kepada manusia pertama, sekaligus dinyatakan pula sanksi-sanksi
atau hukuman bagi para pelanggarnya.36

Berkat merupakan ganjaran bagi orang yang menaati Fondrakö. Pada saat
pengesahan fondrakö pun, ere mengangkat dan melambaikan daun kelapa muda sebagai
simbol berkat sambil berkata: "(Berkelimpahanlah dan sejahtera orang yang menaati hukum
ini, baik di bumi dan kiranya juga di langit.

Masyarakat Nias percaya bahwa berkat yang diterimanya berasal dari arwah leluhur
sebagai ganjaran ketaatan dan kesetiaannya. Di sini tampak dimensi transendental dan
religius dari berkat. Dalam praksisnya, berkat tersebut dialami lewat kenyataan-kenyataan
baik dalam hidup seseorang. Berkat ilahi dialami lewat kesehatan jiwa dan raga, keberhasilan
dalam usaha dan pekerjaan, kedamaian dan kesejahteraan dalam keluarga, pun keturunan.
Peristiwa dan pengalaman hidup itu dilihat sebagai pengejawantahan berkat yang diterima
dari leluhur dan Yang Adikodrati. Ketika Sihai memberi amanat fondrakö kepada manusia, la
turut menjanjikan berkat. Kapan dan di mana saja berada, manusia akan memperoleh berkat
melimpah bila menaati Fondrakö.37

Ritus pengesahan Fondrakö, yang dipimpin oleh ere, menunjukkan dimensi sakral
dari Fondrakö. Sementara unsur kutuk dan berkat merupakan konsekuensi dari sumpah yang
telah dilakukan. Efek berkat dan resiko kutuk ini diyakini sedemikian rupa oleh segenap
masyarakat Nias dalam Fondrakö. Kutuk dan berkat merupakan dua sisi ekstrim, laksana
hitam dan putih. Hal itu hendak menandaskan bahwa masyarakat hanya memilih antara
menaati atau melanggar Fondrakö. Keduanya mempunyai konsekuensi masing-masing.

6.2 Manusia dengan Alam

Kita telah melihat bahwa munculnya fondrakö diilhami oleh mitos penciptaan
kosmos. Dalam mitos tersebut disebutkan bahwa manusia merupakan bagian dari kosmos.
Alam merupakan bagian dari manusia, sebaliknya, manusia merupakan bagian dari alam.
Sejak masa primordial, manusia diberi tugas sebagai wali dan pemelihara alam semesta

36
Sōkhiaro Welther Mendrōfa, Fondrakō Ono Niha…, hlm. 46.
37
Sōkhiaro Welther Mendrōfa, Fondrakō Ono Niha…, hlm. 46.

13
beserta isinya. Karena itu, masyarakat Nias mengupayakan harmoni dengan-alam tempat ia
berada. Manusia tidak semena-mena memperlakukan alam untuk kepentingannya sendiri.38

Orang Nias percaya bahwa alam mempunyai kekuatan dan roh. Kekuatan alam yang
gaib ini ternyata dapat mendatangkan bencana dan kehancuran bagi hidup manusia.
peristiwa-peristiwa alam seperti gempa, banjir, tanah longsor, dan sebagainya diyakini
sebagai kemurkaan alam terhadap manusia. Alam murka karena manusia memperlakukannya
dengan tidak adil. Manusia telah melanggar hukum-hukum alam yang mengakibatkan kondisi
disharmoni. Konsekuensinya, roh yang menjaga alam itu murka terhadap manusia sehingga
mendatangkan bencana serta malapetaka baginya.

Kepercayaan orang Nias terhadap kekuatan alam cukup mewarnai tindakan mereka
dalam melakukan sesuatu. Tatkala membuka suatu ladang baru, orang Nias terlebih dahulu
mengadakan serangkaian ritus keselamatan yang disertai dengan sejumlah pantangan/tabu,
memberi persembahan, memanggil arwah leluhur, dan memohon berkat.39

6.3 Manusia dengan Manusia

Di samping menjaga harmoni-antara manusia dengan alam, fondrakö pun mengatur


hubungan manusia dengan manusia. Ragam materi fondrakö bertujuan agar kondisi hidup itu
dapat tercipta.

Intensi fondrakö untuk mengupayakan harmoni antarsesama kerap diungkapkan secara


negatif, berupa larangan dan perintah. Hal itu dapat disimak dalam hoho versi Nias Selatan
berikut:
"lnilah hukum fondrakö untuk yang tidak benar,
Jangan menginginkan dan jangan berzinah,
Jangan berdusta, jangan mencuri,
Jangan membunuh sesamamu,
Jangan mengambil hana milik orang lain,
Jangan menyeleweng, sumber kesalahan,
Inilah perintah, hukum Fondrakö,
Fondrakö, hukum bagi yang tidak benar.

38
Nico Syukur Dister, Pengalaman dan Motivasi Beragama (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 49-50.
39
Johannes M. Hämmerle, Famatö Harimao (Teluk Dalam: Abidin Medan, 1986), hlm. 78.

14
Tindakan dan perilaku masyarakat Nias yang terhimpun dalam satu banua dan öri
diatur oleh kontrol sosial. Ragam norma diajarkan dalam hidup keluarga. Norma-norma
tersebut kemudian diinternalisir oleh setiap indvidu melalui proses sosialisasi. Setiap orang
menjadikan norma tersebut sebagai standar pribadi maupun kelompok untuk bertindak.40

Di samping itu, masih ada lagi kontrol sosial lain sebagai kontrol eksternal. Kontrol
sosial ini terealisir dalam berbagai norma dan hukum, baik yang digariskan oleh masyarakat
maupun oleh nenek moyang. Forum fondrakö bukan hanya sekedar pesta reuni dan ritus
keagamaan belaka, melainkan juga kesempatan untuk menciptakan, merumuskan, dan
membaharui hukum yang berlaku bagi masyarakat. Dalam dan melalui Fondrakö, segenap
hukum dan norma mengikat masyarakat. Hukum dan norrna ini dipandang sebagai pemberian
ilah atau dewa dahulu kala.

Di saat Hia, nenek moyang Nias yang pertama, diturunkan oleh Lowalangi maka
kepadanya telah diikutsertakan penurunan tulo-tulo (timbangan emas), lauru (takaran padi)
danufore (tongkat pengukur besarnya babi). Benda-benda ini kemudian menjadi simbol
böwö41 dalam masyarakat.42

Ukuran-ukuran di atas dapat dipahami sebagai alat pembatasan dan pengatur


tindakan manusia dalam ruang gerak sosialnya. Masyarakat Nias harus memakai timbangan
emas, takaran padi, dan alat pengukur besarnya babi yang seragam. Dalam Fondrakö,
ukuran- ukuran di atas ditetapkan kembali.

Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa fondrakö juga mengupayakan hubungan


yang harmonis antara manusia dengan manusia. Adanya keseragaman dalam hukum dan
norma yang berlaku dalam satu öri, kiranya dapat memberi peluang kepada warga kampung
dan kampung yang lain untuk mengembangkan pelbagai aktivitas sosial yang agak seragam
pula.

6.4 Manusia dengan Yang Adikodrati

Hubungan antara manusia dengan Yang Adikodrati terungkap dalam fondrakō.


Dalam mitos Sihai tampak telah memberi amanatnya kepada manusia. Fondrakö - amanat
dari Yang Adikodrati - dilaksanakan oleh manusia dalam hidupnya. Bila hal ini terjadi,
berarti hubungan dengan Yang Ilahi tetap berlangsung dan akhirnya tercapai suatu tatanan
40
Bambōwō Laiya, Solidaritas Kekeluargaan…, hlm. 34.
41
Böwö merupakan istilah untuk menyebut jujuran di Nias.
42
Walter Gronet, Nias: Tribal Treasures: Cosmic Reflection in Stone, Wood and Gold (Delft: Museum
Nusantara, 1990), hlm. 84.

15
hidup yang harmonis dalam kosmos. Terjadinya penyimpangan dari apa yang telah
digariskan akan menyebabkan kekacauan, disharmoni dengan kosmos.

Hubungan manusia dengan alam dan Yang Adikodrati pada hakekatnya berkaitan
erat satu sama lain. Melalui peristiwa alam, orang Nias dihantar pada kepercayaan terhadap
kekuatan supranatural yang melampaui kekuatan manusia. Kepercayaan itu sebenarnya
berdasar pada pengalaman hierofam yang terjadi dalam alam.

Pengalaman hierofani dialami oleh orang Nias melalui pengalaman di mana Yang
Ilahi menampakkan diri kepada manusia dalam aktivitas hidup sehari-hari. Pengalaman orang
Nias terhadap aneka fenomen dan peristiwa hidup menghantar mereka pada kepercayaan
terhadap kekuatan supranatural. Kepercayaan terhadap Yang Adikodrati ini akhirnya
berdampak sebagai penghayatan religius.43

Kepercayaan terhadap kekuatan supranatural mendorong orang Nias untuk menjaga


keharmonisan dalam kosmos. Dalam upaya tersebut, terbentuklah pola-pola perilaku dengan
segala macam sanksi/hukuman (fogau) kepada setiap orang yang melanggarnya. Pemahaman
ini telah dimulai sejak adanya manusia dalam kandungan. Setiap orang yang masih dalam
kandungan dipandang sudah hidup dalam lingkup pemahaman kosmos. Pada zaman dahulu,
ere (imam tradisional) berperanan penting sejak kehamilan seorang ibu hingga saat
melahirkan. Ere membuat adu (patung) untuk memohon berkat agar tidak ada halangan pada
saat ibu itu melahirkan. Orang Nias meyakini bahwa nyawa atau nafas hidup dari leluhur
mereka yang bersemayam dalam patung menjadi perantara kepada pencipta yang ada di atas
dan bila ada orang yang melanggar perintah leluhur atau nenek moyang, maka bisa
mendatangkan pencobaan, atau kakinya ditarik dan dibawa ke liang kubur. Oleh karena itu,
selama bayi dalam kandungan, orang tua harus mematuhi sejumlah amonita. Amonita bisa
diartikan sebagai tabu, tetapi juga berarti yang sakral/kudus. Ketaatan pada amonita ini
menunjukkan pengakuan manusia terhadap kekuatan kosmos dan sekaligus tunduk
terhadapnya.44

Berkaitan amonita dan pembuatan adu ini sekaligus mengisyaratkan kesadaran


orang Nias terhadap kekuatan Adikodrati. Orang Nias menyadari ketergantungannya kepada
sesuatu yang berada di luar dirinya. Manusia kerap memikirkan dan mempertanyakan
hidupnya di dunia ini. Di satu pihak, ada seruan untuk tidak mati. Tetapi di pihak lain, the

43
Haris Sukendar, Tradisi Megalitik Nias: Kaiitannya dengan Jati Diri / Kepribadian serta Industri
Pariwisata ([tanpa tempat dan penerbit], 1996), hlm. 8-9.
44
Johannes M. Hämmerle, Famatö Harimao…, hlm. 117.

16
facto ada kematian. Barangkali kisah tentang Laowendröna dan istrinya si Siwaria dapat
mewakili pengalaman di atas. Hämmerle merefleksikan kisah ini secara filosofis.
Laowendröna mewakili pemikiran eksistensialis. la memikirkan dan bertanya mengapa ada
akhir hidup dan mengapa hidup manusia tidak dapat berlangsung terus. Sementara itu,
istrinya mewakili pemikiran realistis. la melihat bahwa kematian merupakan suatu fakta yang
harus diterima. Semua manusia akan menemui ajalnya. Dialog Laowendröna dengan istrinya
dapat simak dalam bagian hoho berikut:

Katanya kepada istrinya pujaan hati,


Katanya kepada istri si jantung hati.
Jantungku bersedih di atas hati,
Jantungku bosan di atas paru-paru.
Di manakah tiada jalan menuju kematian,
Yang tidak putusnya nyawa?
Kata Siwaria pemihak untuk yang ribuan,
Kata Siwaria pemihak untuk nan banyak:
Kendati engkau menjalani seluruh bumi,
Meski engkau mengelilingi seberang,
Tiada jalan yang tidak menuju kematian,
Tiada yang tidak berakhir nyawa.45

Dari hoho di atas dapat dipahami bahwa ada seruan jiwa orang Nias untuk tidak
mati. Namun, ternyata realitas maut dan kematian merupakan realitas manusia. Dengan
menerima kematian, maka manusia sekaligus mengakui kekuatan yang melebihi pemikiran
kodrati.

6.5 Etis

Fondrakö melarang orang untuk berbuat jahat dan sekaligus memberi ajakan untuk
berbuat baik. Beranjak dari pemahaman ini, nyata bahwa fondrakö mengandung nilai etis
yang tinggi. Fondrakö merealisasikan ukuran budi luhur yang tinggi sebab memberi arahan
kepada orang Nias perihal norma dan tata kesusilaan. Keagungan fondrakö telah tampak
pesan yang disampaikan Sihai ketika memberikan dan menyampaikan fondrakō dan perintah.

45
Yohannes Maria Hämmerle, (ed.), Hikaya Nadu…, hlm. 606.

17
Dia menasehati orang yang bersalah, menegur orang yang tidak baik, dan menghukum orang
yang berzinah, orang yang membunuh.46

Fondrakö mencerminkan suatu peradaban tinggi yang diwariskan oleh leluhur


kepada masyarakat Nias. Fondrakö mengajarkan bagaimana seseorang berelasi dan
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Contoh sederhana adalah perihal tata krama. Orang
Nias kerap kali melontarkan ungkapan berikut: "Engkau sungguh anak orang tuamu, anak
yang menggantikan orang tua, engkau tidak merendahkan keluhuran orang tuamu, engkau
sungguh anak yang tahu adat istiadat". Ungkapan-ungkapan tersebut hendak menekankan
agar menaati tradisi-tradisi leluhur. Secara mitologis, Hämmerle mencatat bagaimana
ungkapan senada diperingatkan kepada leluhur orang Nias sejak awal: Kalau kalian hendak
mengikuti perkataan orang tua, kalian akan sampai pada tujuan, kalian akan berjalan di jalan
kesempurnaan. Turutilah hukum dan peraturan-peraturan. Barang siapa yang tidak patuh, dia
akan kena siksaan. Inilah hukum fondrakö.47

7. Penutup

Dalam konteks penciptaan kosmos, fondrakö dipandang sebagai suatu amanat dari
Yang Adikodrati. Dalam perjalanan selanjutnya, fondrakö dimengerti sebagai musyawarah
agung. Fondrakö dapat dipahami sebagai kumpulan dan sumber aneka hukum, peraturan, dan
adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Boleh dikatakan bahwa istilah Fondrukö
merupakan bentuk pars pro toto yang sebenarnya mengungkapkan suatu latar belakang
mitologis (amanat), proses (musyawarah), dan hasil (aneka hukum, peraturan, dan adat-
istiadat). Fondrakö memperlihatkan kaitan tata tertibnya dengan dimensi kehidupan manusia.
Fondrakö tidak dapat direduksikan sebagai norma etis-yuridis belaka, walaupun memuat
pelbagai hukum, peraturan, dan adat-istiadat.

Daftar Pustaka

Dister, Nico Syukur. Pengalaman dan Motivasi Beragama. Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Gronet, Walter. Nias: Tribal Treasures: Cosmic Reflection in Stone, Wood and Gold. Delft:
Museum Nusantara, 1990.

Harefa, Faogōli. Hikajat dan Tjerita Bangsa-bangsa serta Adat Nias. [Tanpa tempat terbit]:
Rapatfons Residentie Tapanoeli, 1939.

46
Johannes M. Hämmerle, Famatö Harimao…, hlm. 152.
47
Johannes M. Hämmerle, Famatö Harimao…, hlm. 154.

18
Hämmerle, Johannes M. Asal Usul Masyarakat Nias, Suatu Intepretasi. Gungnungsitoli:
Yayasan Pusaka Nias,1999.

------------ Famatö Harimao. Teluk Dalam: Abidin Medan, 1986.

------------ Hikaya Nadu. Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias, 1995.

------------ Ritus Patung Harimau dan Pemahaman tentang Arti Lowalangi di Nias Masa
Agama Purba. Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias, 1996.

Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1981.

Lahagu, Tageli. Huku Fondrakō ba Danō Niha ba Nōri Talunoyo Kec. Mandrehe Kab. Nias.
Hilimbōwō: [tanpa penerbit], 1985.

Laiya, Bambōwō. Solidaritas Kekeluargaan dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias-
Indonesia. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1979.

Mendrōfa, Sōkhiaro Welther Fondrakō Ono Niha: Agama Purba - Hukum Adat Mitologi -
Hikayat Masyarakat Nias (Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1981), hlm. 39-40.

Sukendar, Haris Tradisi Megalitik Nias: Kaiitannya dengan Jati Diri / Kepribadian serta
Industri Pariwisata ([tanpa tempat dan penerbit], 1996), hlm. 8-9.

Suzuki, Peter. The Religious System and Culturaal of Nias, Indonesia. Washington U.S.A:
Gravenhage, 1959.

19

Anda mungkin juga menyukai