Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH AGAMA DAN KEBUDAYAAN

“Agama Suku Towoni Tolotang”

DI SUSUN OLEH

KELOMPOK 7

672012004 Jacob Andrew W Tumundo

672012114 Harvey Andarias Mandacan

712012010 Ni Nyoman Dewi Ajeng Prihartina

712012086 Delvi.s.Banunaek

712012069 Angel Latuheru

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2015

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Manusia memiliki fenomena yang unik dan penuh dengan misteri, fenomena tersebut adalah
kepercayaan pada yang gaib atau sacral dan melakukan ritual-ritual didalam kehidupannya. Ekspresi
kehidupan religious ada di kalangan masyarakat tradisional maupun modern. Dalam masyarakat
tradisional kehidupan beragama merupakan system social budaya, sedangkan dalam masyarakat modern
kehidupan beragama adalah salah satu aspek dari kehidupan sehari-hari. Akan tetapi agama modern
maupun agama tradisional mempunyai implikasi bagi kehidupan setiap pemeluknya. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika agama diwarnai dan dipengaruhi, oleh kebudayaan.

Didalam keluarga yang tradisional, setiap orang tua menanamkan nilai-nilai budaya, dan kepercayaan
religious terhadap anak-anaknya. Kaum beragama tradisional menamakan prinsip dan pegangan hidup
yang berlandaskan pada kepercayaan religious. Oleh karena itu untuk memahami fenomena social
keagamaan, memerlukan cara pandang tertentu.

Setiap Agama mempunyai bentuk keyakinan terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati, yang mampu
menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama-Agama juga memiliki nilai-nilai
bagi kehidupan manusiasebagai individu maupun kelompok. Selain itu agama juga memberikan dampak
bagi kehidupan sehari-hari.

Ada enam agama yang diakui oleh Negara (Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, dan Konghucu).
Akan tetapi didalam kenyataan Indonesia, terdapat juga agama-agama tradisional yang telah ada sebelum
adanya agama-agama modern. Dalam kenyataan seperti ini sangat disayangkan bahwa, agama-agama
tradisional tidak mendapat tempat di dalam Negaranya sendiri, bahkan agama-agama tradisional
tersingkirkan oleh agama-agama yang diakui Negara. Oleh karena itulah tulisan ini mengangkat
kepercayaan Agama Tradisional, sebagai sebuah kasadaran bahwa kepercayaan tersebut merupakan
bagian dari kearifan local.

Dari sekian banyak agama tradisional yang ada di Indonesia, tulisan ini akan berfokus pada agama
tradisional yang berada di Sulawesi, tepatnya di Makassar, dan agama tersebut adalah agama Suku
“Towoni Tolotang”. Tulisan ini mengangkat agama suku “Towoni Tolotang” karena agama suku tersebut
ada di ambang kepunahan, ataupun mungkin saat ini hanya ritual-ritual yang dapat dijalankan. Agama
suku tersebut berlahan mulai ditinggalkan karena masyarakat dipengaruhi oleh Agama-Agama modern,

2
serta peraturan pemerintah yang seakan mendesak agama suku tersebut untuk memeluk agama-agama
yang diakui Negara.

BAB II

ISI

1.2 Deskripsi
Koentjaraningrat, menyebut aspek kehidupan beragama dengan komponen reiligi yaitu: a) emosi
keagamaan, merupakan kekuatan yang menggerakan jiwa manusia untuk melakukan kegiatan-kegiatan
keagamaan berdasarkan yang diyakini.; b) system keyakinan, berwujud nilai-nilai tentang keyakinan dan
konsep manusia akan sifat-sifat Tuhan, alam Gaib, Kejadian-kejadian, kekuatan sakti, serta makhluk
halus.; c) system ritus dan upacara, merupakan tata kelakuan manusia dalam kegiatan keagamaan yang
bersifat resmi serta diketahui oleh kelompok keagamaan tertentu.; d) peralatan ritual dan upacara,
umumnya dipergunakan dalam pelaksanaan upacara keagamaan sebagai alat khusus dari seluruh alat yang
diperlukan; e) umat beragama, merupakan kelompok masyarakat yang meyakini dan melaksanakan
ajaran-ajaran agama tertentu yang dianutnya.
Menurut Tylor, Animisme lama kelamaan berefolusi menjadi politeisme, dan kemudian menjadi
monoteisme. Di Indonesia benda atau tempat yang memiliki animatisme biasanya dikenal dengan benda
atau tempat keramat. Tylor, mengatakan bahwa esensi agama digambarkan sebagai kepercayaan sebagai
wujud spiritual, percaya kepada adanya roh gaib yang berfikir, bertindak dan merasakan sama dengan
manusia.

E. Durkheim, mengatakan dasar-dasar dari adanya agama adalah adanya emosi keagamanaa yang
timbul oleh sentimen kemasyarakatan. Tujuannya, memisahkan sifat duniawi dari hal-hal sakral. Untuk
itu dibuatlah totem sebagai perlambang masyarakat yang dijaga dan dihormati dengan upacara pemujaan,
kepercayaan, dan mitologi. Bentuk religi yang diketengahkan oleh Durkheim ini disebut Toteisme.
Durkheim mendefinisikan agama dari sudut pandang ”yang sakral” (Sacred), Ini berarti Agama adalah
kesatuan sistem keyakinan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan suatu yang sakral. Sesuatu
yang disisihkan dan terlarang, keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek yang menyatu dalam suatu
komunitas moral. Durkheim menemukan karakteristik paling mendasar dari setiap kepercayaan agama
bukanlah terletak pada elemen-elemen ”supernatural”, melainkan terletak pada konsep tentang ”yang
sakral” (Sacred).

3
1.3 Kepercayaan Towoni Tolotang

Istilah Towani Tolotang terdiri atas kata Towani dan Tolotang. Towani berasal dari kata Tau yang
berarti orang dan Wani adalah nama sebuah desa, sehingga Towani berarti orang dari desa Wani. berasal
dari kata Tau yang berarti orang dan Lotang yang berarti Selatan. Secara bahasa Tolotang diartikan orang
selatan. Namun secara istilah, penamaan Towani Tolotang adalah sebutan bagi orang yang tinggal di
sebelah selatan pasar Amparita, hal tersebut untuk membedakan Tolotang Benteng yang tinggal di sebelah
selatan benteng. Menurut Wa’ Launga, pada mulanya istilah Tolotang adalah panggilan yang digunakan
oleh Addatuang dalam hal ini Raja Sidenreng La Patiroi terhadap kelompok/komunitas Towani jika ingin
berkomunikasi. Namun pada perkembangan selanjutnya, Towani Tolotang melekat sebagai nama suatu
aliran yang diberikan orang lain kepada mereka.

- Konsep Ketuhanan
Tuhan dalam agama atau kepercayaan Towani Tolotang, sebagaimana dianggap oleh pemeluknya,
disebut Dewata Seuwae (Tuhan Yang Maha Esa) dan juga bergelar Patotoe (Yang Menentukan Nasib
Manusia). Dewata Seuwae adalah penguasa tertinggi yang melebihi kekuasaan manusia, menciptakan
alam dan isinya, tujuan penyembahan. Selain menyembah kepada Dewata Seuwae, masyarakat Towani
tolotang juga melaksanakan penyembahan terhadap dewa-dewa lain, misalnya (Dewata Langie atau
penghui langit; Dewata Mallione atau dewa yang menempati tempat-tempat tertentu; Dewata Uwae,
dewa yang tinggal di air.
Keyakinan Towani Tolotang, percaya akan adanya Dewata Seuwae, adanya hari kemudian
(Lino Paimeng), adanya wahyu diterima oleh La Panaungi dan kumpulan wahyu itu adalah kitab
Lontarak (kitab suci), adanya kehidupan yang selamat dengan memegang teguh keyakinan mereka
itu. Oleh karena keyakinan Towani Tolotang adalah keselamatan, maka mereka sebanarnya tidak
percaya atau tidak memiliki konsep mengenai neraka.
Bagi masyarakat Towani Tolotang, kepercayaan kepada Dewata Seuwae selain karena kekuasaan
yang ditunjukkannya juga karena sifat Tuhan yang luar biasa. Mengeni kekuasaan Dewata seuwae
dipercaya sebagai sesuatu yang tidak terbatas. Dewata Seuwae-lah yang menurunkan pemimpin ke dunia
yang dipercaya sebagai titisan para dewa yang ditugaskan mengatur tata tertib umat manusia dan agar
mereka taat kepada pemilik kekuasaan yang tak terbatas itu. Beberapa tokoh pemimpin yang dikenal
antara lain Dewata mattunrue, Aji Sangkuru Wirang (To Palanroe Latogelangi-Batara Guru), Ilati Wuleng
(Batara Lattu), Sawerigading, La Galigo, dan lain-lain. Mereka semua digambarkan memiliki kekuatan
yang lahir dari keberdayaan keagamaan. Penduduk hanya menerima dan mengikutinya sebagaimana yang

4
digariskan oleh kepercayaan mereka yang bersifat magis-religius. Semua raja dan pemimpin merupakan
hukum yang harus ditaati seperti terdapat dalam sebuah ungkapan Bugis:
“Angikko sio lapuang kirakkaju, riya’ko miri riya’ko teppa matappalireng”, maksudnya
Anginlah Tuanku dan kami daun kayu kemana saja angin bertiup disitu kami terbang terbawa.

- Ritual

Dalam pelaksanaan penyembahan kepada Tuhan, Towani Tolotang tidak melakukannya secara
langsung tetapi melalui upacara ritual tertentu dengan menggunakan simbol totem. Upacara dipimpin oleh
pimpinan kelompok masyarakatnya, yaitu Uwatta dan pembantunya Uwa. Beberapa simbol upacara
adalah inanre (nasi dan lauknya), sirih, kuburan (seperti kuburan I Pabbere di Perrinyameng), sumur
(seperti yang terdapat di Wani, Wajo, tempat La Panaungi menyucikan diri sebelum menerima wahyu).
Menurut sejarah yang berkembang kepercayaan ini berasal dari Kabupaten Wajo. Yang membawa ialah
Ipabbere, seorang perempuan. Ia meninggal ratusan tahun lalu dan dimakamkan di perinyameng, sebuah
daerah sebelah barat Amparita. Makam Ipabbere inilah yang kemudian selalu dikunjungi dan ditempati
untuk acara tahunan komunitas ini yang selalu ramai. Acara adat tahunan yang dilaksanakan setiap bulan
Januari itu juga merupakan pesan dari Ipabbere. Ipabbere berpesan ke anak cucunya bahwa jika kelak ia
meninggal, kuburannya harus disiarahi sekali setahun. Makanya seluruh warga komunitas berdatangan
dari segala penjuru, mulai dari Jakarta, Kalimantan, hingga Papua. Bahkan hanya yang cacat dan anak-
anak saja yang tak hadir setiap Januari itu.

Dalam masyarakat Towoni Tolotang uwa’ta dan uwa adalah pemegang kekuasaan tertinggi,
sehingga setiap kegiatan selalu dikendalikan berdasarkan aturan yang terlah ada di leluhur mereka. Dalam
system masyarakat Tolotang ritual dan seremoni adalah bagian yang sangat penting, karena ritual yang
dilakukan dipercayai dapat memperkuat integritas social yang mneingkatkan komitmen mereka kepada
sesuatu yang sakral dan kepada sesuatu yang kolektif dibalik ritual tersebut.

Aspek-aspek kearifan local masyarakat Towani Tolotang dapat diklasifikasi dalam tiga hal, namun dapat
termanifestasikan dalam suatu konsep “Perrinyameng”, karena setiap aspeknya berangkat dari kata perri
yang artinya susah, dan nyameng artinya senang. Jadi susah baru senang. Aspek tersebut meliputi:

1. Hubungan kepada Dewata Seuwae Penganut Towani Tolotang mempercayai adanya Tuhan
Yang Maha Esa yang disebut Dewata Seuwae Pada prinsipnya, Ipogau’ISininna Nassurangnge nenniya
Ininiriwi Sininna NappesangkangngePuangnge. Artinya: Melaksanakan seluruh perintah dan
meninggalkan seluruh larangan-Nya. Hubungan kepada Dewata Seuwae, dapat dibagi dalam dua hal,
yakni:

5
a) Passuroang/Perintah
Passuroang disebut juga Mola Laleng berarti perintah/kewajiban yang harus dijalankan sebagai
bentuk pengabdian kepada Dewata Seuwae. Kewajiban-kewajiban tersebut meliputi;a).Mappenre’ Inanre,
mempersembahkan nasi atau makanan lengkap dengan lauk pauk dan disertai dengan daun sirih ke
rumah Uwatta dan Uwa. Ada empat macam Mappenre’Inanre, yaitu: a) Mappenre’ Inanre pada waktu
kelahiran, perkawinan, kematian dan untuk hari kemudian. b)Tudang Sipulung (duduk berkumpul).
Maksudnya, duduk berkumpul untuk melakukan musyawarah, c) Sipulung artinya juga berkumpul,
maksudnya berkumpul bersama setahun sekali untuk melaksanakan ritus tertentu di atas kuburan.
Pabbere, d) Melaporkan segala kegiatan kepada Wa’ (pemimpin/orang yang dituakan).

b) Pappesangka/Larangan
Pappesangka adalah larangan bagi masyarakat Towani Tolotang, di antaranya: dilarang makan babi,
berzina, dan membunuh dan lain sebagainya. Pada dasarnya, larangan bagi masyarakat Towani Tolotang
memiliki beberapa kesamaan dengan umat Islam dalam hal larangan. Adapun nilai yang terkandung pada
kewajiban tersebut adalah nilai ketaatan kepada Dewata Seuwae dan penghormatan kepada Wa’ selaku
pemimpin dan orang yang dituakan. Selain itu, ada nilai musyarah dalam acara tudang sipulung, ada nilai
penghormatan kepada leluhur dan appasikua (kesyukuran) serta hari raya pada acara sipulung.

- Hubungan Kepada Sesama Manusia


Konsepsi tentang manusia bagi masyarakat Towani Tolotang tidak terpisahkan dari konsepsi tentang
Tuhan. Tuhan adalah pencipta manusia bersama dengan makhluk-makhluk lainnya, seperti binatang dan
tumbuh-tumbuhan. Sebagai makhluk Tuhan, manusia mempunyai hak dan kewajiban baik kepada Tuhan
yang Maha Esa maupun terhadap sesamanya, makhluk lain dan alam lingkungannya.

Masyarakat Towani Tolotang yakin bahwa manusia adalah wujud dari watangkale (bugis) berarti
tubuh. Watangkale dari kata “batang = bola”, yang berarti “rumah” dan itulah yang dinamakan “tubuh
kasar” atau jasmani, disamping ada juga disebut “tubualusu” (tubuh halus), artinya tubuh yang tidak
nampak kemungkinan itulah yang dinamakan “rohani”. Perpaduan dari tubuh kasar (jasmani) dengan
tubuh halus (rohani) yang mewujudkan tau (manusia). Manusia (watangkale) dianggap terdiri atas unsur-
unsur tanah, air, api dan angin. Dengan kepercayaan ini, maka dalam kegiatan upacara dimanifestasikan
unsur-unsur tersebut dalam wujud yang dinamakan “sokko patanrupa”. Dewata Seuwae menciptakan
manusia, selain diberi hak untuk hidup dan mengembangkan kehidupannya, juga disertai dengan tugas
dan kewajiban. Sehubungan dengan tugas dan kewajiban Towani Tolotang.

6
Manusia sebagai makhluk diberikan kelebihan akal budi, melekat padanya nafsu baik dan buruk,
dibekali pula cipta, rasa dan karsa serta hati nurani. Oleh karena itu, manusia mempunyai kesempatan
untuk menjadi suatu pribadi yang mandiri. Kepribadian pada diri manusia itu dapat diartikan sebagai
suatu proses perkembangan kemanusiaan yang ditempatkan diantara alam lingkungan dan diantara
manusia-manusia lainnya. Manusia dapat mengembangkan pribadinya tidak untuk keburukan, tetapi
untuk kebaikan bersama. Dengan kata lain, manusia mempunyai kewajiban pula terhadap diri sendiri. Hal
itulah yang menjadi inti salah satu ajaran Kepercayaan Towani Tolotang.

- Nilai-Nilai Moral

Untuk mengimplementasikan keyakinan towoni tolotang, maka terdapat ketetapan (rukun) yang
harus dijalankan, yaitu menyembah hanya kepada Dewata seuwae semata, melakukan kewajiban sebagai
Towani tolotang, melakukan aktivitas sosial. Proses persembahan kepada Dewata Seuwae sendiri yang
menjadi kewajiban ritual manusia diadakan dengan cara “mola laleng” (melakukan kewajiban),
melaksanakan “paseng” dengan kosekwen dan tidak menanganggapnya sebagai suatu pantangan atau
“pemali”, memanjatkan doa kepada Dewata Seuwae (marellau). Filosofi terindah adalah damai
merupakan prinsip utama bagi masyarakat Towani Tolotang. Adapun pesan orang tua atau ajaran yang
mendukung terealisasinya filosofi damai tersebut diantaranya:

a) Namo tongekki’ narekko maelo tongeng tuae patongengngi. Artinya: meskipun kamu merasa
benar jika orang lain menganggap dirinya benar, maka benarkanlah ia. Secara filosofis, pesan ini memiliki
makna kesiapan mental dalam menjalani kehidupan. Dimana setiap orang selalu ingin menang dalam
segala hal, untuk itu sikap mengalah adalah solusinya, mengalah bukan berarti kalah melainkan upaya
dalam menjaga keharmonisan hubungan antar sesama manusia. Jika sikap itu dimiliki maka kedamaian
akan senantiasa menghiasi kehidupan manusia.Bagaimana pun juga kebenaran pastilah akan muncul,
karena Dewata Seuwae Maha Adil, membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah.

b) Narekko siduppako taue lesseko. Artinya, bila kamu berpapasan orang di jalan (sempit) maka,
minggirlah/mengalah. Namun secara filosofi ini sangat dalam maknanya bila direnungkan. Bahwa sikap
tidak mau menang sendiri, menghargai orang lain, dan lain sebagainya terangkum didalamnya.

c) Butapi’ matarupi. dapat diartikan, tidak semua perbuatan atau perkataan orang lain harus
ditanggapi. Hal tersebut membawa makna kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi segala
permasalahan.

7
d) Siloreng madeceng tessiloreng maja. Artinya: menginginkan agar orang menjadi baik dan
tidak sebaliknya. Secara filosofi, dapat dimaknai bahwa segala perbuatan senantiasa diarahkan kepada
yang baik, menginginkan orang menjadi baik, tidak sebaliknya mengupayakan orang menjadi tidak baik.
Jika suatu perbuatan merugikan orang lain, maka perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan, meskipun itu
menguntungkan bagi diri sendiri.

e) Patujui taue. Artinya dahulukan orang lain, bisa juga diartikan benarkan orang lain. Secara
filosofi mengarah kepada makna kerendahan hati. Pertanyaannya, bagaimana kalau kita juga
menginginkannya, jawabannya adalah belum tentu hari ini tidak ada, besok juga tidak ada. Kita harus
korban perasaan demi orang lain guna memupuk tali persaudaraan.

f) Taroi masola taue na aja mua idi’ nassabari. Secara bahasa dapat diartikan, biarlah orang
rusak/celaka yang penting bukan kita yang menyebabkannya. Namun secara filosofi dapat dimaknai agar
senantiasa menjaga sikap dan perilaku sehingga tidak menyebabkan orang lain celaka.

g) Tempedding ipau jana seddie tau masagenani narekkko jata’ mo riisseng. Secara bahasa dapat
diartikan tidaklah baik menyebut kejelekan seseorang, cukup kejelekan kita yang kita ketahui. Namun
secara filosofi mengandung makna intropeksi diri, mengunjing atau menceritakan kejelekan orang lain
akan membawa kepada permusuhan.

h) Madecekki’ namadecetto padatta’ rupa tau dapat diartikan kita baik/bahagia begitu pula orang
lain. Secara filosofi dapat dimaknai sebagai asas kesalamatan bersama.

i) Aja’ tasisolangi padatta’ rupa tau. Secara bahasa dapat diartikan jangan saling
merusak/mencelakai sesama manusia. Secara filosofi dapat dimaknai sebagai asas saling menjaga
keselamatan bersama.

j) Makkatenniki’ ri decengnge. Secara bahasa dapat diartikan berpegang teguh pada kebaikan.
Secara filosofi dapat dimaknai sebagai prinsip hidup yang berpegang teguh pada kebaikan. Segala tindak
tanduk manusia senantiasa didasarkan pada prinsip kebaikan bersama.

k) De’ naparellu yisseng jana seddie tau cukup kojata’ yisseng. Nasaba’ nattiang ipau jana taue.
Aja’na jana taue yala deceng. Secara bahasa dapat diartikan tidak penting untuk mengetahui kejelekan
seseorang, cukup kejelekan sendiri yang diketahui. Karena setiap orang pasti tidak ingin kejelekannya

8
diungkapkan, jangan menjadikan kejelekan seseorang menjadi kebaikan bagi diri sendiri. Secara filosofis
dapat dimaknai sebagai intropeksi diri.

L) De’ siseng gaga laleng riaseng aleta’ tongeng. Nabasa’ Puangngemi tongeng. Secara bahasa
dapat diartikan tidak ada jalan untuk mengklaim diri benar atau klaim kebenaran hanya milik pribadi,
karena kebenaran hanya ada di sisi Dewata Seuwae. Secara filosofis, dapat dimaknai sebagai asas
penghargaan terhadap kebenaran lain. Di dunia ini, setiap orang memiliki sesuatu yang dianggapnya
benar, namun hal tersebut belum tentu benar bagi orang lain. Untuk itu, sikap toleran, saling menghargai
pendapat/klaim kebenaran orang lain adalah hal yang mutlak dimiliki.
Nilai-nilai di atas merupakan nilai-nilai yang dikembangkan oleh masyarakat Towani Tolotang
sebagai bagian dari kearifan local demi terciptanya suasana damai di masyarakat yang majemuk. Menurut
ajaran Towani Tolotang, orang yang melanggar ajaran Towani Tolotang akan mengalami: 1) De’ nita
deceng ri lino artinya, tidak bahagia di dunia, 2) Ri lino paimeng, ri sessai ri onrong passessang artinya, di
hari Kemudian kelak mereka akan disiksa di tempat penyiksaan, 3) De’ nalettu’ ri lino Paimeng, artinya,
tidak sampai di Akhirat. Siksaan yang paling berat bagi orang yang berat dosanya.

1.4 ANALISA

Agama merupakan unsur penting yang menentukan identitas suatu masyarakat, begitu juga
dengan masyarakat Towoni Tolotang. Mayarakat ini adalah masyarakat yang hidup dengan
konsep mereka tentang “yang Adikodrati” serta nilai-nilai yang mengatur kehidupan mereka. Jika
dilihat dari pendapat E. Durkheim, maka kepercayaan Towoni Tolotang dapat dimasukkan
kedalam Agama atau lebih tepatnya disebut sebagai Agama Suku/Agama Pribumi. Menjadi
menarik ketika membahas Agama Suku Towoni Tolotang dengan memakai Tori E. Durkheim
adalah bentuk religi yang diketengahkan oleh Durkheim ini disebut Toteisme, dan upacara ritual
terhadap penyembahan Dewata Seuwae menggunakan simbol totem. Agama suku Towoni
Tolotang melakukan ritual penyembahan yang secara teoritis sama dengan konsepsi pemikiran E.
Durkehim.
Dalam teori Koentjaraningrat tentang agama, maka dapat juga dikatakan kepercayaan
masyarakat Towoni Tolotang sudah masuk dalam kriteria-kriteria yang membentuk suatu agama.
Kriterian tersebut adalah, a) Emosi keagamaan, melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan
berdasarkan yang diyakini; b) System keyakinan; c) System ritus dan upacara; d) Peralatan ritual
dan upacara; e) Umat beragama. Kelima unsur penting ini terdapat didalam kepercayaan
masyarakat Towoni Tolotang sesuai dengan yang telah dipaparkan dalam isi makalah, oleh karena

9
itu sesuai dengan Teori dari Koentjaraningrat, Kepercayaan masyarakat Towoni Tolotang dapat
disebuat sebagai Agama suku Towoni Tolotang.
Dalam teori Tylor tentang Animisme, jika dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat Towoni
Tolotang, maka dapat dibenarkan jika mereka juga mempercayai adanya kekuatan di kuburan, di
air, di pohon, dan lain sebagainya. Kepercayaan dalam pemahaman Masyarakat Towoni Tolotang
tidak berpusat elemen supranatural, akan tetapi berpusat terhadap konsep tentang “yang sacral”.
Maka daripada itu Kehidupan dan Pemahaman Agama suku Towoni Tolotang sangat dekat
dengan Teori E. Durkheim.

1.5 REFLEKSI

Dari apa yang sudah di jelaskan di atas, kami mengambil sebuah refleksi bahwa Setiap Agama
mempunyai keunikan dan kekhasan masing-masing. Oleh karena itu, kita tidak dapat menilai ajaran
agama kitalah yang paling benar, sementara itu kita menyalahkan ajaran agama yang lain. Kami
merefleksikan bahwa Agama-Agama juga memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai individu
maupun kelompok. Agama juga memberikan dampak bagi kehidupan sehari-hari. kepercayaan
masyarakat Towoni Tolotang sudah masuk dalam kriteria-kriteria yang membentuk suatu agama seperti
yang telah di jelaskan sebelumnya, maka seharusnya kita (Agama Kristen, Khatolik, Islam, Hindu,
Budha, Konghucu) bersikap inklusive terhadap kepercayaan yang dipercayai oleh masyarakat penganut
Agama suku, salah satunya masyarakat Towani Tolotang. Harus ada rasa saling menghargai terhadap
kepercayaan yang dimiliki, karena agama sendiri merupakan ekspresi manusia sebagai sesosok makhluk
spiritual terhadap realitas diluar kemampuan manusia yang bersifat supranatural yang sakral dan suci.

Dengan pemahaman demikian, kami berpendapat bahwa dengan kita melihat kesamaan-kesamaan
dalam memahami realitas yang transenden, maka kita akan melakukan toleransi antar Agama dalam
memahami realitas yang trasenden. Dengan pengetahuan dan pemahaman seperti ini kita akan inklusi ve
terhadap agama suku, khususnya agama masyarakat Towani Tolotang dalam pembahasan kami, dan tidak
menganggap agama suku sebagai agama yang kafir yang harus ditobatkan. Dengan rasa saling
menghargai dan inklusive terhadap satu sama lain, maka kita dapat memandang agama suku khususnya
agama Towani Tolotang sebagai agama yang seharusnya diakui, karena mereka mendefinisikan agama
mereka sudah sesuai dengan kriteria-kriteria yang mereka miliki untuk membentuk suatu agama.

1.6 KESIMPULAN

10
Sesuai dengan makalah yang telah dibuat oleh kelompok tentang Agama Suku Towoni Tolotang,
maka kelompok dapat menyimpulkan bahwa Kemajemukan masyarakat Indonesia sifatnya multi
dimensional, ada yang ditimbulkan oleh perbedaan suku, tingkat sosial, pengelompokan organisasi
politik, agama dan sebagainya. Keanekaragaman suku, bahasa, adat istiadat dan agama tersebut
merupakan suatu kenyataan yang harus diterima sebagai kekayaan bangsa. Namun, di dalam
keanekaragamaan atau pluralitas ada kenyataan bahwa negara tidak sepenuhnya ampu menerima
kemajemukannya. Maka daripada itu ketidakmampuan inilah yang menghadirkan sikap eksklusif dan
diskriminatif terhadap kepercayaan-kepercayaan Asli Indonesia. Keprihatinan akan tindakan diskriminatif
dan eksklusive pun dirasakan oleh masyarakat Towoni Tolotang yang memegang kepercayaanya kepada
Dewata seuwae. Dari hasil-hasil penelitian terhadap Agama suku ini, dikatakan bahwa saat ini Agama
suku Towoni Tolotang telah bernaung dibawah naungan agama Hindu.

Pada kenyataanya Negara indonesia hanya mengesahkan 6 agama yaitu Agama Kristen,
Katholik, Islam, Budha, Hindu, dan Konghucu. Disisi lain Agama-agama asli dianggap kafir dan
menyimpang, agama asli terusir dari tempat tinggalnya. Agama suku To Lotang adalah salah satu
agama yang tidak mendapat tempat di Negara ini, namun sebenarnya mereka merupakan Agama
asli. Negara mempunyai pancasila sebagai ideologi bangsa khususnya, “Ketuhanan Yang Maha
Esa” dan semboyan “Bhineka Tunggal Ika” tetapi sesungguhnya pemerintah menolak perbedaan,
Negara yang katanya Pluralis tetapi tidak mampu menerima keberagaman. Negara tidak bisa
menghakimi keyakinan seseorang dan menghakimi kelompok Agama Suku hanya karena
keyakinannya, karena sesuai dasar negara Indonesia setiap warga negara mempunyai kebabasan
untuk memeluk agamanya dan setiap manusia juga mempunyak Hak untuk memutuskan agama
mana yang harus dipilih. Kelompok sangat menghargai kepercayaan Agama Suku To Lotang
dan segala ajarannya, serta tradisinya. Kelompok bersikap inklusif terhadap Agama To Lotang,
dan menganggap kenyataan adanya Agama Suku sebagai sebuah keberagaman yang sudah
ditentukan oleh Tuhan.

11
Daftar Pustaka

J, Hasse., Bernard Adeney Risakotta, and zainal Abidin Bagir. “Diskriminasi Negara Terhadap Agama Di

Indonesia: Studi atas Persoalan Posisi Hukum Towoni Tolotang Pasca Pengakuan Agama Resmi.”

Kawista 1, no. 2 (Agustus 2011): 103-212.


J, Hasse. “Kebijakan Negara Terhadap Agama Lokal Di Indonesia: Studi Kebijakan Negara Terhadap

Towoni Tolotang.” jurnal studi pemerintah 1, no.1 (Agustus 2011): 145-164.


Pabbajah, Mustaqim. “Religiusitas dan Kepercayaan Masyarakat Bugis-Makassar.” Jurnal Al- Ulum 12,

No.2 (Desember 2012): 397-418.

Parmalinda, Erlina. Komunitas Towoni Tolotang Di Amparita Kabupaten Sindereng Rappang: Studi Tetap
Pola Pendidikan Beragama. Makasar: Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Hassanudin,
2012.

Sutardi, Tedi. Antropologi Mengungkapkan Keragaman Budaya. Bandung: PT Setia Purna Inves, 2007.

12

Anda mungkin juga menyukai