Anda di halaman 1dari 18

Fanömba adu

agama tradisional masyarakat Nias

Fanömba adu merupakan kepercayaan


tradisional masyarakat Pulau Nias yang
masuk daerah administrasi Sumatera
Utara. Fanömba adu sebenarnya hanya
merujuk pada sebuah ritual, yaitu
pemujaan patung tetapi kemudian
berkembang penggunaanya menjadi
istilah terhadap kepercayaan suku Nias
secara umum. Beberapa penulis
menyebut kepercayaan ini sebagai
pelebegu yang juga mengacu kepada
kepercayaan tradisional suku lain di
Indonesia seperti Batak dan Aceh.[1][2]
Dalam melaksanakan ritualnya, penganut
fanömba adu melakukan Molehe Adu,
yaitu kegiatan pemujaan roh leluhur.
Sebagai sarana ritual, dipergunakan
patung-patung kayu (adu). Patung-patung
tersebut dipercaya ditempati oleh roh-roh
para leluhur. Contoh dari patung yang
berkaitan dengan leluhur di antaranya
Adu Zatua atau patung kayu nenek
moyang dari pihak keluarga laki-laki, atau
Adu Nuwu yang merupakan patung nenek
moyang dari pihak keluarga perempuan.
Terkait patung-patung ini, penganut
fanömba adu juga membuatnya untuk
menyimbolkan berbagai sosok seperti
ksatria, pemburu andal, atau orang yang
memiliki kekuatan.[3][4]

Mitologi
Dalam kepercayaan fanömba adu,
terdapat beberapa dewa yang dikenal
oleh para penganutnya. Dewa pertama
adalah Lowalangi. Dewa ini diposisikan
sebagai dewa yang terpenting dari dewa-
dewa lainnya. Lowalangi dianggap
sebagai penguasa dunia atas atau sang
pencipta.[3] Lowalangi memiliki
wewenang untuk menjatuhkan hukuman
kepada orang yang berbuat jahat.[5]
Istilah Lowalangi kini digunakan sebagai
penyebutan Allah bagi pengikut ajaran
Kristen di Nias, pertama kali
diperkenalkan oleh misionaris Denninger
pada tahun 1865.[6]

Lowalangi dipercaya memiliki keluarga


yang anggota-anggotanya juga dewa
bagi orang penganut fanömba adu. Dewa
Lature Danö dianggap sebagai saudara
tua dari Lowalangi sekaligus raja dari
dewa-dewa di dunia bawah.[3] Lature
Danö bertindak sebagai dewa yang
menyebarkan berbagai bencana seperti
penyakit, kematian, dan gempa bumi.[5]
Selanjutnya, ada Silewe Nazarata yang
bertindak sebagai dewa pelindung para
pemuka agama sekaligus istri dari
Lowalangi. Pendapat lain juga menyebut
adanya peran lain dari Silewe Nasarata,
yaitu penghubung antara dewa yang ada
di dunia atas dengan dunia bawah, juga
antara kaum dewa dan umat manusia.[3]

Seperti halnya manusia, dewa-dewa juga


diyakini diciptakan. Adapun yang
dipercaya sebagai pencipta dari dewa-
dewa tersebut dikenal dengan nama Ida
Samihara Luo. Apa yang disebut dengan
Ida Samihara Luo ini tidak memiliki
realitas, namun darinya tercipta dua anak
kembar. Selanjutnya, dua ana kembar ini
kawin dan perkawinannya menghasilkan
para dewa dan manusia.[3] Sebelum
dewa Lowalangi dan Lature Danö ada,
kepercayaan juga menyebutkan ada
dewa-dewa lain yang eksis setelah alam
semesta masih berwujud kekacauan dan
kegelapan. Adalah Tuha Sihai yang
dianggap sebagai dewa pertama yang
ada. Tuha Sihai tinggal di alam paling
atas seukuran rumah dan mendapat
dukungan oleh angin. Dari napas Tuha
Sihai kemudian tercipta Aloloa Nangi dan
dari kepalanya muncul pohon Toro'a.
Pohon Toro'a menghasilkan tiga tunas
tumbuhan dan dari tunas paling ataslah
dewa Lowalangi dan Lature Danö lahir.
Selain keduanya, lahir pula dua roh jahat
bernama Nadaoya dan Afökha.
Sementara itu dari tunas tengah lahir
satu roh baik dan roh jahat, sedangan
tidak ada dewa atau roh yang dilahirkan
dari tunas paling bawah.[5]
Selain dewa, roh juga memiliki posisi
penting dalam kepercayaan fanömba
adu. Para penganutnya mengenal
macam-macam roh sebagai penjelmaan
dari orang yang sudah meninggal dunia.
Ada banyak roh yang dikenal dan
dibedakan berdasarkan apa yang
dialaminya semasa hidup. Misalnya ada
Matiana/Maciana, roh perempuan yang
meninggal karena melahirkan anak. Roh
ini dianggap ada untuk mengganggu para
perempuan yang akan melahirkan.
Kemudian dikenal Solofo yang
merupakan roh orang yang piawai dalam
hal berburu. Ada pula Bekhu, roh orang
yang mati biasa.[3]
Jika roh sudah sampai ke dunianya,
maka yang dilakukannya kemudian
adalah melanjutkan hidupnya seperti di
dunia semasa hidupnya. Jika adalah
seorang raja meninggal misalnya, maka
di dunia seberang (Tetehöli Ana’a) juga ia
akan tetap menjadi raja. Sebaliknya,
orang yang miskin saat hidup di dunia
manusia pun akan hidup miskin di dunia
seberang.[6]

Sistem kepercayaan
Pemaknaan tentang kehidupan dan
kematian dalam ajaran fanömba adu
tercermin dalam adanya konsep
mengenai dua macam tubuh, yaitu boto
atau tubuh kasar serta tubuh halus yang
terdiri dari dua jenis, yaitu noso (napas)
dan lumölumö (bayangan). Saat
seseorang meninggal dunia, maka noso-
nya akan kembali kepada Lowalangi
(Tuhan). Sementara itu, bayangannya
berubah menjadi bekhu atau roh.[7]

Kehidupan setelah kematian juga dikenal


dalam ajaran fanömba adu dengan
adanya gagasan mengenai perjalanan
orang yang meninggal menuju Teteholi
Ana'a atau dunia ruh. Untuk mencapai ke
sana, orang yang meninggal harus
menyeberangi sebuah jembatan yang
dijaga ketat oleh seorang dewa beserta
kucingnya (mao). Di bawah jembatan itu,
terletak neraka. Hanya orang-orang yang
melakukan kebaikan selama hidup yang
bisa masuk ke Teteholi Ana'a, sementara
orang yang berdosa dan belum
diupacarakan akan masuk ke dalam
neraka yang ada di bawah jembatan.[7]

Mitos lain mengenai Teteholi Ana'a


adalah tempat ini merupakan asal mula
orang Nias. Di Teteholi Ana'a, sembilan
orang putra dari raja Sirao diusir dari
sana karena berebut kekuasaan atas
takhta Sirao. Kesembilan orang itulah
yang dianggap sebagai orang-orang
pertama yang hadir di Pulau Nias.[8] Sirao
sendiri adalah manusia yang diciptakan
oleh Lowalangi. Manusia pertama ini
tinggal di langit lapis kedelapan yang
berada tepat di atas dunia manusia.[5]

Keadaan yang ada di Teteholi Ana'a


berbanding terbalik dengan apa yang ada
di dunia. Satu hal baik yang ada di dunia
akan menjadi buruk di Teteholi Ana'a. Hal
itulah yang membuat adanya kebiasaan
orang Nias bahwa bila menitipkan baju
dan barang-barang lainnya maka barang
itu akan dirusak. Keadaan terbalik ini juga
diyakini berlaku untuk bahasa dan waktu,
yaitu jika di dunia manusia sedang siang
hari maka di Teteholi Ana'a sedang
dalam waktu malam.[6]
Menurut versi Pastor Johannes M.
Hammerle, orang Nias tidak
mengharapkan firdaus dalam hidup yang
akan datang, tidak pula suatu neraka.
Baik hukuman maupun imbalan tidak
mereka harapkan karena orang Nias
percaya bahwa semuanya akan berakhir.
Orang Nias tidak takut akan sesuatu dan
tidak mengharapkan sesuatu. Hanya
inilah yang merupakan imbalan atau
hukuman bagi orang Nias. Mereka yang
sudah meninggal dipandang terhormat
Akan tetapi, versi ini diragukan
kebenarannya karena pada kenyataanya
orang Nias masih percaya pada arwah
leluhur dan peranannya bagi kehidupan.[6]
Keberadaan kini
Dewasa ini sebagian besar masyarakat
Nias menganut agama Kristen yang
dominannya Protestan, di samping
muslim dan penganut fanömba adu.[9]
Masyarakat Nias tergolong agamais-
pluralistik. Selain agama Kristen
Protestan yang paling banyak dianut oleh
masyarakat Nias, ada pula yang
menganut agama Katolik, Islam, dan
Buddha.[10]

Masuk dan diperkenakannya agama


Kristen dan Katolik ke Nias membawa
dampak bagi eksistensi fanömba adu di
Nias. Karena pengaruh agama Kristen
dan Katolik yang kuat, agama fanömba
adu telah punah pada tahun 1967.
Berdasarkan informasi yang dicatat oleh
Parisada Hindu Dharma Indonesia,
hingga tahun 1950-an masih terdapat
tradisi megalitik yang masih hidup berupa
pelaksanaan upacara yang menggunakan
media batu-batu. Namun, tradisi tersebut
kemudian menghilang karena
bertentangan dengan ajaran Kekristenan.
Pemujaan terhadap leluhur dipandang
tidak bisa dibenarkan karena dianggap
sama dengan pemujaan terhadap setan
atau iblis.[11]

Para pedagang Islam juga pernah


mencoba menyebarkan pengaruh
agamanya di Nias. Meski demikian,
upaya ini gagal akibat adanya
pertentangan antara ajaran agama
dengan tradisi yang ada di Nias. Dalam
ajaran Islam, penganutnya diharamkan
untuk memakan daging babi sementara
dalam acara-acara adat Nias justru babi
banyak disembelih untuk dikonsumsi
dagingnya.[11]

Agama Kristen Katolik dan Protestan


masuk ke Nias pada pertengahan abad
ke-19 dengan dibawa olah para
misionaris Jerman yang mendarat
dengan ikut bersama para pengusaha.
Dalam perkembangannya, agama yang
baru masuk ini menggusur kepercayaan
lokal. Bagi agama Kristen, kepercayaan
lokal adalah hal yang bertentangan
dengan nilai-nilai mereka dan tidak bisa
ditolerir sehingga segala bentuk ritual
keagamaan juga mengalami perubahan
drastis. Upacara-upacara keagamaan
yang berkalitan dengan tradisi
megalitikum dihilangkan dan diganti
dengan misa dan kebaktian gereja.[11]

Penyebaran agama oleh para misionaris


juga menemui keberhasilan di Nias. Hal
ini ditandai dengan berdirinya bangunan-
bangunan gereja yang megah di desa. Di
sisi lain, patung-patung sisa kepercayaan
tradisional menjadi kehilangan mananya
meski secara fisik keberadannya masih
ada di depan rumah penduduk. Bahkan
sempat pula patung-patung kayu
dihancuran secara massal dalam
gerakan "Fangesa Dödö Sebua" atau
pertobatan massal pada tahun 1916
hingga 1930.[11] Sisa-sisa unsur fanömba
adu masih bisa dilihat dalam
pengamalan agama Kristen oleh
masyarakat Nias dewasa ini. Nama
Lowalangi yang awalnya merupakan
dewa, ini penggunaannya merujuk pada
Tuhan sementara istilah osali dipakai
untuk menyebut gereja. Dulu, osali
merupakan rumah tempat pemujaan
roh.[8]
Masuknya agama-agama baru oleh
orang dari luar Nias bukan hal yang
mencengangkan saat itu mengingat sejak
berabad-abad silam, sudah ada catatan
mengenai perjalanan ke Nias yang dibuat
oleh orang-orang dari daerah lain.
Seorang pedagang Persia bernama
Soleiman pernah menulis catatan
mengenai Nias mengenai keberadaan
para pemburu kepala. Pada abad ke-17,
Belanda juga sudah menancapkan
kekuasaannya sehingga Nias berada di
bawah kendali VOC. Belanda bukan satu-
satunya bangsa asing yang pernah hadir
di Nias, Inggris pun pernah merebut
kekuasaan di sana pada tahun 1756
meski tidak bertahan lama karena

Anda mungkin juga menyukai