Disusun oleh:
Kelompok 3
1. Yusni Disini
2. Afrian Lepuru
3. Leit Doru
4. Nehemia Gunena
UNIVERSITAS HALMAHERA
FAKULTAS TEOLOGI
2021
Sentralitas Teologi Kontekstual Bagi Keberadaan Kristen Dewasa Ini
Pendahuluan
Asia senantiasa berada pada jantung sejarah teologi kontekstual. Kita dapat melihat
perkembangan theologiae in loco yang sadar diri dan kemudian teologi teori kontekstual di
Asia sejak akhir tahun 1950 an. Gerakan Asia untuk teologi teologi kontekstual, seperti juga
gerakan-gerakan lain yang semacamnya di seluruh dunia sangat menyadari bahwa Injil
yang autentik atau au peristiwa Kristus untuk kita tidak dikemas sebelumnya oleh kekhasan
budaya, tetapi merupakan sesuatu yang hidup. Gereja senantiasa berada dalam suatu
pergumulan yang berketurunan berketerusan antara penerimaan peristiwa Kristus dalam
suatu budaya tertentu di setiap tempat, namun juga selalu bergulat dengan segala sesuatu
yang menghalangi penerimaan khususnya itu itu sendiri di setiap tempat. Gereja Yesus
Kristus sesungguhnya adalah sebuah persekutuan yang melampaui ruang dan waktu. Injil,
khususnya dewasa ini, hanya dapat dihayati dalam kepenuhan melalui refleksi dan praksis
teologis antarbudaya yang berkesinambungan dan meluas. Kenyataan ini ini penting bagi
orang-orang Kristen di seluruh dunia, dan terutama bagi orang-orang Kristen di Asia.
Teramat penting bagi orang-orang Kristen di seluruh dunia untuk mengindahkan teologi-
teologi pribumi secara sungguh-sungguh, bukan sekedar sebagai hal sampiran atau pernak-
pernik hiasan belaka, dalam arti bahwa didalam diri teologi-teologi pribumi itu kebenaran-
kebenaran inti iman sering diungkapkan dengan lebih jelas daripada di tempat lain. Teramat
pula bagi orang-orang Kristen Asia untuk menekankan wawasan wawasan dari teologi
teologi kontekstual sebagai inti Pati bagi pemahaman diri Kristen internasional dalam hal
dogmatika, apologetika, misiologi dan wacana antariman.
Dari sudut pandang antropologis wilayah maluku Utara di Indonesia Timur sangat
berguna untuk melakukan penelitian karena sejumlah alasan pertama, perbandingan
tentang catatan-catatan sejarah oleh para pengelana selama 4 abad belakangan ini
menunjukkan hanya sangat sedikit perubahan pada bentuk-bentuk pra tulisan pribumi
selama periode tersebut. Kedua, perubahan penduduk melalui migrasi sangat terbatas.
Ketiga, intipati bentuk-bentuk tulisan ini sangat terpencil; nyaris terjadi semacam " tipe
laboratorium".
Di Maluku Utara kata gikiri adalah istilah umum untuk salah satu dari banyak Dewa
lokal atau personal. Namun jelas bahwa kata itu pada awalnya memiliki arti yang lebih luas.
Hueting pada tahun 1908 melihat arti dasar kata itu sebagai " Levend wesen, mensch,
lemand" (makhluk hidup, roh, makhluk Insani, seseorang/ siapapun). Dengan kata lain, ia
melihat di dalamnya unsur-unsur mana, meresapi alam pada umumnya dan manusia pada
khususnya. Di tempat lain Hueting mencatat bahwa "De mensh bestaat uit roehe, gikiri of
nyawa en gurumini (manusia terdiri dari tubuh, gikiri atau nyawa dan gurumini). Yang
terpenting di sini ialah bahwa tampaknya ada dua macam mana yang bergiat dalam paham
keagamaan di Maluku; sebab kruijt telah mengamati bahwa, sementara gikiri ditemukan
dalam manusia, binatang dan tanaman, gurumini ditemukan Sebagai tambahan pada
binatang dan terutama dalam manusia. Apa yang tampak jelas adalah bahwa di antara
orang-orang Maluku Utara, gikiri pada awalnya adalah sebuah konsep bercorak mana yang
berkaitan dengan wujud tertinggi,sementara gurumini pada awalnya adalah sebuah konsep
bercorak mana yang lebih bertalian dengan kebutuhan fisik, terutama dalam hubungannya
dengan mobilitas, dalam makhluk makhluk ciptaan, meskipun dalam diri manusia keduanya
berhubungan secara sangat erat. Namun bagaimanapun juga gikiri itulah yang "is onsffelijke
het van den mensch, wat ook na datgene den Dood voortleeft" ( merupakan unsur
immaterial manusia, yang juga tetap hidup setelah kematian) .
Luasnya penerapan konsep gikiri maka istilah Gikiri Moi dikaitkan dengan gagasan
Allah Maha Tinggi. Kita dapat melihat bawa dari gikiri, yang kita terjemahkan dengan "roh"
atau "dewa" dan moi, istilah umum orang-orang Maluku Utara untuk kata "satu", Gikiri moi
menyiratkan Tuhan Yang Maha Esa atau roh tunggal. Thomas merangkum pemahaman
sekarang ini tentang gikiri moi sebagai Allah Esa atau Tuhan, yang adalah Tuhan yang satu
yang mengepalai segala kekuatan kan yang animistis, dinamistis maupun mana.
Moi Gikiri adalah istilah utama yang berkaitan dengan alat pemersatu ini. Namun
istilah-istilah lain juga ditemukan, dan yang paling umum adalah Djou Ma Datu dan Djou
Latala. Kata Djou ditemukan dalam bahasa orang-orang Tobelo, galela dan Ternate, dan
berarti Tuhan, dan karena itu itu menjadi pilar utama yang dikenakan kepada Sultan
Ternate, yang dahulunya Dianggap memiliki status semi Dewa juga. Istilah ini ini kemudian
diperluas dan diterapkan untuk Gikiri Moi namun secara umum istilah itu digunakan
bersama-sama dengan julukan Ma Datu (atau Madutu) yang pada awalnya berarti " yang
benar" atau " yang memiliki " ("eigenlijke" atau "eignaar"). Pada saat ini ini Djou Ma Datu
mirip dengan istilah Hueting " De Opperheer, het Opperwezen, de eigenlijke heer atau "de
Heer" (Yang Berdaulat, wujud tertinggi, Tuhan yang benar" atau "sang Tuhan").
Latala dikaitkan dengan frasa lain Maluku Utara, Unanga Daku, yang keduanya
berarti " yang dari atas " atau " dia yang diatas" ("Hijdaarbove"). Namun boleh jadi bahwa
Latala atau Lahatala adalah dialek lokal dari ungkapan Melayu/Indonesia untuk nama Ilahi
Arab-muslim, yakni allah Ta'ala. Oleh karena itu, Latala (atau Lafatala) pada dasarnya
adalah kata serapan dari bahasa Melayu/indonesia dan telah menggantikan kata Unanga
Daku maluku Utara; Latala Bela mendapat daya dorong dari makna istilah Unanga Daku ("di
atas") karena alam muslim tersirat lebih unggul daripada wujud tertinggi (Gikiri Moi) ala
keyakinan pra tulisan. dari sini terlihat bahwa pada awalnya Gikiri Moi barangkali diberi
nama-nama tambalan semisal Djou, Djou Ma Datu, Unanga Daku dan Djou Latala.
Di bawah Gikiri Moi terdapat rombongan gomanga, rombongan Roh-roh orang mati
atau, lebih tepat untuk Maluku Utara, orang mati yang terus hidup (geest van afgestorvenen,
pria zielen mati vereert") (" jiwa orang mati, roh-roh yang orang hormati"). Semua gomanga
adalah gikiri. Dasar kepedulian dengan para gomanga ini adalah ketidakpastian menyangkut
hubungan masa depan antara Seorang anggota suku Maluku Utara dan kerabat dekat dari
siapa yang memiliki pengaruh dalam desa atau Suku yang telah meninggal dan sekarang
hidup dengan cara. Gomanga atau orang mati yang terus hidup karenanya dapat menjadi
seorang teman sejati, pengawal, pembimbing dan penasehat atau seorang musuh pribadi
yang sangat berbahaya. Karena alasan ini adat istiadat yang dilakukan pada saat kematian
harus dibuat sangat hati-hati.
Orang-orang mati yang terus hidup ini ada sejauh mereka dengan memiliki pengaruh
di dalam kehidupan mereka sebelumnya dan telah diupacarakan dengan proses
penguburan yang selayaknya; dan orang-orang dengan pengaruh terbesar di masa lalu
mempunyai "kehadiran" Atau "keberadaan " yang paling besar pula setelah kematian. Para
gomanga seperti itu netral dalam Sikap mereka terhadap keluarga dan masyarakat mereka,
namun gomanga dengan pengaruh besar yang dirawat dengan baik dalam ritus penguburan
pada saat ia meninggal, dan juga setiap hari dan setiap tahun setelah itu, dapat menjadi
penolong utama, pelindung dan harapan seseorang dan keluarga mereka; jika, di sisi lain,
ritus itu dikerjakan secara baru baik pada saat kematian maupun setelahnya, gomanga bisa
menjadi seorang musuh yang menakutkan. Inilah yang disebut dengan gomanga madorou
yang salah satu orang mati yang terus hidup yang mengalami penghinaan pada saat
kematiannya dengan diberi proses penguburan tidak pantas. Iya karenanya akan
menularkan bencana pada setiap kesempatan, terutama terhadap keluarga dekatnya.
Interaksi antara sistem ini dan 2 agama dunia, Islam dan Kristen, yang datang ke
daerah. Masing-masing dari kedua agama ini memiliki para pengikut formal sangat besar.
Mencermati segi-segi tertentu menyangkut interaksi timbal balik antara sistem tulisan pra-
tulisan dan agama Islam dan interaksi timbal balik antara wawasan pra-tulisan ini dan
agama Kristen.
Pertama, konsep Islam dipengaruhi keyakinan keyakinan para tulisan dalam sejumlah hal.
Kedua, pengaruh wawasan pra-tulisan terhadap agama Kristen sangat banyak.
Ketiga, pengaruh pra tulisan terhadap pemahaman Kristen mengenai keselamatan.
Keempat, pengaruh pra-tulisan juga bisa dilihat dalam pemahaman tentang sakramen
perjamuan Tuhan.
Kelima, pengaruh pra-tulisan terhadap pemahaman dan perayaan sengsara Kristus.
Keenam, berkaitan dengan konfirmasi/Krisma.
Bagi kekristenan, barangkali karena peristiwa Kristus tidak akan pernah dapat secara
eksklusif diserupakan baik dengan satu budaya atau satu jenis budaya maka Paulus istilah
yang mendua "Uei" ("Pendengaran ") untuk menjelaskan tindakan olehnya peristiwa Kristus
melalui kehidupan seseorang atau jemaat, yaitu langkah penting yang mengarah pada iman.
Sebab dalam arti tertentu, dalam semua interaksi peristiwa Kristus harus benar-benar
memasuki dunia kita, namun meski juga selalu berada dibawah kritik yang Ilahi. Kita dapat
melihat bagaimana peristiwa Kristus meskipun menghidupi, namun sekaligus mengubah,
budaya di mana ia ditempatkan dan selalu pada saat yang sama berjuang dengan
kenyataan bahwa yang Ilahi bagaimanapun juga telah memasuki dunia ini.
KESIMPULAN
Dari materi di atas maka kelompok dapat menarik kesimpulan adalah sangat penting ketika
kita melihat sejarah dalam Gerakan Asia maupun di sekitar orang-orang Maluku. Gerakan
Asia untuk Teologi-teologi kontekstual, seperti juga gerakan-gerakan lain yang semacamnya
di seluruh dunia sangat menyadari bahwa Injil yang autentik atau peristiwa Kristus untuk kita
tidak dikemas sebelumnya oleh kekhasan budaya, tetapi merupakan sesuatu yang hidup.
Yang terpenting disini ialah bahwa tampaknya ada dua macam mana yang bergiat dalam
paham keagamaan di Maluku; sebab kruijt telah mengamati bahwa, sementara gikiri
ditemukan dalam manusia, binatang dan tanaman, gurumini ditemukan Sebagai tambahan
pada binatang dan terutama dalam manusia.
Apa yang tampak jelas adalah bahwa di antara orang-orang Maluku Utara, gikiri pada
awalnya adalah sebuah konsep bercorak mana yang berkaitan dengan wujud
tertinggi,sementara gurumini pada awalnya adalah sebuah konsep bercorak mana yang
lebih bertalian dengan kebutuhan fisik, terutama dalam hubungannya dengan mobilitas,
dalam makhluk makhluk ciptaan, meskipun dalam diri manusia keduanya berhubungan
secara sangat erat. Kita dapat melihat bawa dari gikiri, yang kita terjemahkan dengan "roh"
atau "dewa" dan moi, istilah umum orang-orang Maluku Utara untuk kata "satu", Gikiri moi
menyiratkan Tuhan Yang Maha Esa atau roh tunggal.
Thomas merangkum pemahaman sekarang ini tentang gikiri moi sebagai Allah Esa atau
Tuhan, yang adalah Tuhan yang satu yang mengepalai segala kekuatan kan yang animistis,
dinamistis maupun mana. Kata Djou ditemukan dalam bahasa orang-orang Tobelo, galela
dan Ternate, dan berarti Tuhan, dan karena itu itu menjadi pilar utama yang dikenakan
kepada Sultan Ternate, yang dahulunya Dianggap memiliki status semi Dewa juga.